You are on page 1of 25

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN EMBRIO IKAN

Oleh : Nama NIM Rombongan Kelompok Asisten : Luluk Fuadah : B1J010018 : IV :2 : Muhimatul Umami

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2011

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fertilisasi pada hewan ada dua macam yaitu fertilisasi eksternal dan fertilisasi internal. Fertilisasi eksternal khas pada hewan-hewan akuatik, yaitu merupakan proses fertilisasi dimana gamet-gametnya dikeluarkan dari dalam tubuhnya sebelum fertilisasi. Fertilisasi internal khas untuk adaptasi dengan kehidupan di darat, sperma dimasukkan ke dalam daerah reproduksi betina yang kemudian disusul dengan fertilisasi. Setelah pembuahan, telur itu membentuk membran fertilisasi (membran feripitelina) untuk merintangi pemasukan sperma lebih lanjut. Kadang-kadang sperma diperlukan hanya untuk mengaktivkan sel telur. Percobaan fertilisasi dilakukan dengan berbagai perlakuan, antara lain dengan menggunakan perbedaan waktu saat pertemuan antara telur dan sperma, serta

perbedaan konsentrasi atau kekentalan dari sperma. Perbedaan waktu saat pertemuan antara telur dan sperma ini guna untuk mengetahui tingkat kecepatan fertilisasi yang terjadi, berapa lama waktu yang diperlukan oleh spermatozoid menembus untuk dinding ovum dan untuk mengetahui tahapan perkembangan yang terjadi dalam setiap waktunya. Sedangkan perbedaan konsentrasi atau kekentalan dari sperma guna untuk mengetahui konsentrasi sperma yang sesuai agar dapat membuahi sel telur hingga terjadinya fertilisasi. Pengamatan dilakaukan dengan mengambil telur secara acak karena setiap telur mempunyai waktu perkembangan yang berbeda-beda. Praktikum fertilisasi yang menggunakan telur dan milt dari ikan nilem (Osteochillus hasselti) ini mempelajari pembelahan segmentasi pada vertebrata dari proses segmentasi, morulasi, blastulasi, gastrulasi, dan diferensiasi lanjut ektoderm, entoderm dan mesoderm telur (zigot) vertebrata. Proses pembelahan segmentasi pada

vertebrata tidak dapat dilakuan dari satu classis saja, namun diperlukan perbandingan dengan proses pembelahan segmentasi dari classis yang lain. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemahaman tentang pembelahan segmentasi. Ikan Nilem dapat dipelihara dengan baik pada daerah dengan ketinggian 1501000 m dpl, daerah yang paling baik pada ketingian 1800 m dpl dengan suhu optimum 1828 C. Ikan nilem (Osteochillus hasselti) ikan yang mempunyai siklus reproduksi pendek, dapat dengan mudah diinduksi untuk memperoleh ikan betina masak telur dan mudah diovoposisikan. Telur dan sperma yang dihasilkan setiiap siklus reproduksi cukup banyak. Telur dari ikan nilem bersifat transparan sehingga mudah dilakukan pengamatan, karena alasan itulah dalam praktikum fertilisasi kali ini menggunakan sample ikan nilem.

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah dapat melakukan fertilisasi pada ikan, mengenali sel telur ikan yang telah difertilisasi dan mengidentifikasi faktor-faktor yang telah mempengaruhi fertilisasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Fertilisasi adalah pertemuan gamet jantan dan gamet betina diikuti fusi materi genetik dari keduanya untuk membetuk zigot. Fertilisasi pada hewan dapat berlangsung melalui dua metode yaitu internal dan eksternal. Fertilisasi internal dijumpai pada hewan-hewan vivipar misalnya mamalia, atau ovovivipar misalnya kadal. Fertilisasi eksternal dijumpai pada hewan ovipar misalnya ikan dan hewan invertebrata air. Ciri-ciri ikan siap pijah atau matang gonad pada betina adalah pergerakan ikan lamban, pada malam hari sering meloncat-loncat, perut membesar/buncit ke arah belakang, tidak mengempis meskipun telah dipuasakan selama satu hari dan jika diraba terasa lunak, lubang anus agak

membengkak/menonjol dan berwarna kemerahan. Ikan jantan matang gonad ditandai dengan gerakannya lincah dan mengeluarkan cairan berwarna putih (sperma) dari lubang kelamin bila dipijit (Carlson, 1999). Ikan nilem (Osteochillus hasselti) mempunyai tipe telur telolechital berat, artinya yolk tersebar tidak merata dan dapat dikatakan hampir mengisi seluruh bulatan telur. Bioplasma hanya sebagai lapisan tipis pada kutub animal yang di dalamnya terdapat inti telur. Tipe pembelahan ikan Nilem ini adalah meroblastik (Moeller, 2004). Sperma merupakan sel gamet yang terspesialisasi dan memiliki 3 fungsi yaitu menggapai sel telur, mempenetrasi dan memacu perkembangan sel telur, serta mengantarkan material genetik dan sentriola. Ukuran gamet jantan pada umumnya relative kecil, sedangkan ukuran gamet betina lebih besar. Beberapa alasan dilakukan pemeriksaan semen, pertama untuk terjadinya kebuntingan hanya diperlukan beberapa juta ekor yang disemprotkan kedalam alat kelamin betina meskipun hanya

satu ekor spermatozoa yang dibutuhkan untuk terjadinya anak, padahal dalam satu kali penampungan dapat diperoleh semen yang mengandung berjuta-juta

spermatozoa, jadi penilaian dan pemeriksaan itu perlu untuk mendapatkan perhitungan berapa kali semen yang didapatkan itu dapat diencerkan, sehingga mudah untuk membagi-baginya. Kedua, dapat diketahui berapa jumlah spermatozoa yang hidup dan yang telah mati. Sel gamet betina yang mempunyai program perkembangan untuk menjadi individu baru, setelah perkembangan tersebut diaktifkan oleh spermatozoa. Selama masa perkembangan, telur mengalami beberapa proses yang merupakan awal hidup ikan dimana berhubungan dengan stabilitas populasi ikan dalam suatu perairan (Harvey, 1979). Telur Ikan Nilem berbentuk bulat dengan yolk berwarna kuning kehijauan. Diameter telur sudah masak dan belum tercelup air 0,98-1,08 m dan setelah terbuahi diameternya 1,36-1,40 m. yolk terdistribusi tidak merata dan dapat digolongkan pada telur tipe telolechital berat, sehingga tipe pembelaha clevagenya termasuk pembelahan meroblastik. Telur terbungkus karion dengan dilengkapi satu mikropil untuk jalan masuk spermatozoa pada saat pembuahan (Moeller, 2004). Pembuahan adalah peleburan dua gamet yang dapat berupa nukleus atau selsel bernukleus untuk membentuk sel tunggal (zigot) atau peleburan nukleus. Biasanya melibatkan penggabungan sitoplasma (plasmogami) dan penyatuan bahan nukleus (kariogami). Zigot itu membentuk ciri fundamental dari kebanyakan siklus seksual eukariota, dan pada dasarnya gamet-gamet yang melebur adalah haploid. Bilamana keduanya motil maka fertilisasi itu disebut isogami bilamana berbeda dalam ukuran tetapi serupa dalam bentuk maka disebut anisogami, bila satu tidak motil dinamakan oogami (Carlson, 1999). Urutan proses utama selama fertilisasi (pembuahan) (Soeminto, 2000):

1. Kontak dan pengenalan sperma-telur untuk memastikan sperma-telur dari spesies yang sama, 2. Pengaturan masuknya sperma ke dalam telur untuk pencegahan polispermi, 3. Fusi materi genetik dari sperma dan telur, 4. Aktivasi metabolisme telur untuk mengawali perkembangan. Tahapan dalam pengenalan sperma dan telur (Soeminto, 2000): 1. Telur mengeluarkan kemoatraktant pada spesies tertentu, 2. Eksositosis vesikula akrosom, 3. Ikatan antara sperma dengan bungkus ekstraseluler telur, 4. Sperma menembus bungkus telur, 5. Fusi membran sel telur dan membran sel sperma. Tahap perkembangna embrio ikan dimulai dari tahap pembelahan pertamanya meridian, diikuti oleh pembelahan kedua tegak lurus pada bidang pembelahan pertama. Pembelahan ketiga tidak sama untuk beberapa spesies ikan. Pembelahan ini sebenarnya ada dua yang prosesnya berjalan bersama-sama dan memotong bidang pembelahan kedua di sebelah kiri dan kanan bidang pembelahan pertama. Bidang pembelahannya ada yang kedua-duanya sejajar dengan bidang pembelahan pertama dan ada pula yang tidak. Dari hasil pembelahan yang ketiga ini ialah stadium delapan sel. Pembelahan berikutnya yaitu pembelahan yang keempat terdiri dari dua pembelahan yang berjalan bersama-sama, sejajar atau tidak dan terletak di sebelah kanan dan kiri bidang pembelahan kedua. Apabila pembelahan yang keempat sudah selesai terbentuklah stadium 16 sel yang terdiri dari satu lapis, empat buah sel yang terletak di tengah-tengah dinamakan sel pusat. Pada pembelahan yang kelima, sel-sel pusat tidak membelah vertikal seperti pada pembelahan-pembelahan sebelumnya atau pembelahan sel batas, melainkan sejajar dengan permukaan. Dengan selesainya

pembelahan yang kelima maka terbentuklah stadium 32 sel dengan sel pusat yang terdiri dari dua lapis sel. Pada pembelahan berikutnya sudah tercampu aduk dan susuah diikuti dimana syncronisasi pembelahan mitosis sudah hilang (Effendy, 2002).

III. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah saringan teh dari plastik, spuit injeksi tanpa jarum 1 ml dan 10 ml, baskom inkubasi 2 buah, piring plastik kecil, aerator dan selang pembagi udara, stopwatch, mikroskop cahaya, pipet tetes, tabel isian hasil pengamatan, object glass + cover glass, sendok kecil, baki, haemocytometer, cawan plastik, beaker glass 100 ml. Bahan yang digunakan adalah larutan Ringer, air sumur, ikan nilem jantan (Osteochillus hasselti ) dan ikan nilem betina (Osteochillus hasselti) yang matang gonad, ovaprim, sediaan hormon untuk induksi dan spermiasi, label, dan tissue.

A. Metode

Cara kerja untuk melakukan praktikum fertilisasi dan perkembangan embrio pada ikan adalah sebagai berikut: Dibuat stok milt (milt diencerkan 100x, 1000x, 10000x, dan 100000x) 1. Ikan jantan disiapkan setelah diketahui masak kelamin. 2. Bagian urogenital Ikan Nilem jantan dibersihkan dan dikeringkan dengan menggunakan tisu. 3. Ikan nilem kemudian distriping hingga spermanya keluar. 4. Sperma (milt) yang keluar disedot dengan spuit injeksi 1 ml tanpa jarum. 5. Milt diencerkan dengan 2 ml milt dengan 198 ml larutan Ringer, dengan demikian diperoleh 200 ml milt yang diencerkan 100 kali dalam larutan Ringer.

Untuk Praktikan Kelompok I 1. Ikan betina disiapkan setelah diketahui masak kelamin. 2. Striping ovum kedalam saringan jamu dari plastik 300 butir telur. 3. Mencampurkan telur yang telah distriping kedalam saringan jamu plastik di atas mangkuk plastik dengan 1 ml milt yang telah diencerkan 100 kali, setelah itu langsung tambahkan air sumur dan goyang perlahan agar homogen, diamkan selama 1 menit. 4. Inkubasikan dalam baskom yang berisi air sumur. 5. Membuat ulangan 3 kali. Untuk praktikan kelompok II 1. Ikan betina disiapkan setelah diketahui masak kelamin. 2. Striping ovum kedalam saringan jamu dari plastik 300 butir telur. 3. Mencampurkan telur yang telah distriping kedalam saringan jamu plastik di atas mangkuk plastik dengan 1 ml milt yang telah diencerkan 100 kali, setelah itu langsung tambahkan air sumur dan goyang perlahan agar homogen, diamkan selama 2 menit. 4. Inkubasikan dalam baskom yang berisi air sumur. 5. Membuat ulangan 3 kali. Untuk praktikan kelompok III 1. Ikan betina disiapkan setelah diketahui masak kelamin. 2. Striping kedalam saringan jamu dari plastik 300 butir telur. 3. Mencampurkan telur yang telah distriping kedalam saringan jamu plastik di atas mangkuk plastik dengan 1 ml milt yang telah diencerkan 100 kali, setelah itu langsung tambahkan air sumur dan goyang perlahan agar homogen, diamkan selama 3 menit.

4. Inkubasikan dalam baskom yang berisi air sumur. 5. Membuat ulangan 3 kali. Untuk praktikan kelompok IV 1. Menstriping 300 butir telur dari induk betina ovulasi. 2. Mencampurkan 1 ml milt yang telah diencerkan 100 kali ke dalam telur yang telah distriping dan langsung ditambahkan air sumur. 3. Campuran telur dan milt tersebut lalu digoyangkan agar homogen dan didiamkan selama 4 menit. 4. Setelah itu diinkubasikan dalam baskom yang berisi air sumur 5. Membuat ulangan 3 kali.

Untuk praktikan kelompok V & IV 1. Mencampurkan 100 butir telur hasil striping dengan 10 milt yang diencerkan dengan jumlah larutan Ringer berbeda (1000x, 10.000x, dan 100.000x). 2. Menghitung persentase telur yang terbuahi Konsentrasi I 1 ml milt P.100x dicampur 9 ml larutan Ringer= P. 1000x Konsentrasi II 1 ml milt P.1000x dicampur 9 ml larutan Ringer= P. 10.000x Konsentrasi III 1 ml milt P. 10.000x dicampur larutan Ringer = P. 100.000x 3. 100 butir telur dicampur dengan 10 ml milt setiap pengenceran yang dibuat tadi dibiarkan selama 5 menit. 4. Menginkubasikan masing-masing di dalam baskom yang berisi air sumur. 5. Membuat ulangan 3 kali.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Persentase telur terbuahi pada control, jeda waktu 1, 2, dan dihitung dari saat pencampuran telur dan milt. Persentase telur terbuahi (%) Jeda Total Ulangan Ulangan Ulangan waktu (%) Ulangan I II III IV Kontrol 42 % 30 % 100 % 46 % 218 % 1 menit 40 % 10 % 35 % 25 % 110 % 2 menit 56,7 % 30 % 10 % 10 % 106,7 % 3 menit 23,3 % 80 % 50 % 28 % 181, 3 %

3 menit Rerata (%) 54,5 % 27,5 % 26,7 % 45,3 %

Tabel 2. Persentase telur pada setiap tahap perkembangan selama waktu pengamatan. Persentase telur terbuahi Konsentrasi Jumlah Rerata spermatozoa/ml Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan (%) (%) milt I II III IV 1.000 x 80 % 30 % 98 % 50 % 258 % 64,5 % 10.000 x 82 % 70 % 12 % 50 % 214 % 53,5 % Tabel 3. Persentase telur pada setiap tahap perkembangan pengamatan pada masing-masing perlakuan Wakt % Telur pada setiap tahap Tahap Perlakua u perkembangan perkembang n penga an U1 U2 U3 U4 matan Kontrol 5 Belum 60 % 10 % 100 % perta terjadi ma perkembang an Hylock 40% 30 % 1 sel 30 % 2 sel 20 % 4 sel 10 % Sel telur 100 % terbuahi 5 Hylock 20 % 10 % 10 % kedua Belum 100 % 90 % terjadi perkembang an Sel telur 90 % terbuahi selama waktu

Jumla h 170 %

Rerata 56,7 %

70 % 35 % 30 % 30 % 20 % 20 % 10 % 10 % 100 % 100 % 40 % 190 % 13,3 % 95 %

90 %

90 %

10

10

Abnormal Hylock Terbuahi 1 sel 2 sel Belum terjadi perkembang an Abnormal Hylock 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel Rusak Belum terjadi perkembang an Belum terjadi perkembang an Hylock 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel 16 sel 32 sel Abnormal Belum terjadi perkembang an

80 % 40% 10% 50 % 40 % 10 % 90 % 10 % 10 % 80 % 10 %

80 % 60 % 80 % 50 % 20 % 140 %

80 % 20 % 80 % 25 % 10 % 70 %

50 % 20% 30 % 20% 10% 20 % 10 % 50 % 50 % 10 % 10 % 10 % 50 % 50 %

50 % 80 % 40 % 30 % 60 % 20 % 10 % 100 %

50 % 26,7 % 20 % 15 % 30 % 20 % 10 % 50 %

60 %

60 %

60 %

10

30%

10 % 20 % 10 % 10 % 10 % 10 % 10 % 20 %

60 %

100 % 20 % 60 % 40 % 60 % 30 % 10% 30 % 50 %

10% 20% 10%

40 % 30 % 10 %

20 % 20 %

20 % 30 %

33,3 % 20 % 20 % 20 % 15 % 15 % 10% 15 % 25 %

Perlaku an Jeda waktu 1 menit

Waktu pengamatan 5 pertama 5 kedua

% Telur pada setiap tahap Tahap perkembangan perkembang an U1 U2 U3 U4 Tidak ada 100 % 100 % 100 % 100 % perkembang an Tidak ada 60 % 10 % 100 % perkembang an Hylock 30 % 70 %

Jumlah 400 %

Rer ata 10 0 % 56, 7 % 50

170 %

100 %

1 sel 2 sel Terbuahi Abnormal 10 Hylock 1 sel 2 sel 4 sel Belum berkembang Abnormal 10 Hylock 1 sel 2 sel 10 % 70 % 30 % 10 % 10 %

10 % 30 % 50 %

30 %

40 % 30 % 50 % 10 %

70 % 10 % 10 % 10 % 10 % 80 % 80 % 20 % 10 %

80 % 10 % 60 % 30 % 150 % 80 % 20 %

20 % 10 % 20 % 10 % 10 %

20 % 40 %

4 sel 8 sel Belum berkembang Abnormal 10 Hylock 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel 16 sel 32 sel

30 %

20 % 40 %

40 % 50 %

90 % 90 % 60 % 70 %

40 % 70 %

20 %

40 % 20 % 10 % 10 % 20 % 20 % 30 % 60 %

40 % 20 % 10 % 10 % 20 % 50 % 60 %

% 20 % 30 % 50 % 10 % 40 % 10 % 20 % 10 % 75 % 80 % 20 % 10 % 13, 3 % 30 % 45 % 30 % 70 % 40 % 20 % 10 % 10 % 20 % 25 % 60

>32 sel Abnormal Belum berkembang Perla kuan 60 % 60 %

10 % 50 %

10 %

20 % 110 % 60 %

% 10 % 55 % 60 %

% Telur pada setiap tahap Waktu Tahap perkembangan pengam perkembang atan an U1 U2 U3 U4 Jeda 5 Hylock 100 % 10 % waktu pertama Belum 90 % 90 % 100 % 2 berkembang menit Abnormal 10 % 5 Belum 60 % 100 % 100 % kedua berkembang Terbuahi 60 % Hylock 40 % 20 % Abnormal 20 % 10 Hylock 20 % 20 % 10 % 1 sel 10 % 10 % 2 sel 20 % 10 % 10 % 20 % 4 sel 20 % Belum 40 % 60 % 50 % 60 % berkembang Abnormal 20 % 20 % 10 Hylock 40 % 50 % 1 sel 10 % 2 sel 20 % 10 % 20 % 4 sel 10 % 20 % 10 % 8 sel 10 % 16 sel 10 % Belum 20 % 70 % 20 % 60 % berkembang Abnormal 20 % 10 Hylock 40 % 1 sel 50 % 2 sel 20 % 4 sel 10 % 8 sel 40 % 16 sel 80 % 30 % Belum 90 % 10 % berkembang Abnormal 20 % 10 % Perla kuan Waktu pengama tan Tahap perkembang an % Telur pada setiap tahap perkembangan U1 U2 U3 U4

Jumla h 110 % 280 % 10 % 260 % 60 % 60 % 20 % 50 % 20 % 60 % 20 % 210 % 40 % 90 % 10 % 50 % 40 % 10 % 10 % 170 % 20 % 40 % 50 % 20 % 10 % 40 % 110 % 100 % 30 % Jumla h

Rerata 55 % 93,3 % 10 % 86,7 % 60 % 30 % 20 % 16,7 % 10 % 15 % 20 % 52,5 % 20 % 45 % 10 % 16,7 % 13,3 % 10 % 10 % 42,5 % 20 % 40 % 50 % 20 % 10 % 40 % 55 % 50 % 15 %

Rerata

Jeda waktu 3 menit

5 pertama 5 kedua

Tidak ada perubahan Hylock Hylock 1 sel 2 sel Belum berkembang Abnormal Hylock Rusak Belum berkembang 1 sel 2 sel Hylock 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel Belum berkembang Hylock 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel 16 sel 32 sel >32 sel Abnormal Belum berkembang

100 %

90 % 10 % 50 %

30 % 70 % 10 % 30 %

100 % 320 % 80 % 80 % 30 % 10 % 270 % 10 % 50 % 10 % 300 % 30 % 10 % 10 % 60 % 80 % 20 % 10 % 220 % 20 % 70 % 50 % 50 % 60 % 20 % 20 % 40 % 10 % 60 % 60 %

80 % 40 % 26,7 % 30 % 10 % 67,5 % 10 % 16,7 % 10 % 75 % 15 % 10 % 10 % 30 % 20 % 10 % 10 % 55 % 10 % 35 % 16,7 % 30 % 10 % 20 % 40 % 10 % 20 % 20 %

20 %

90 % 10 %

50 %

60 %

10 % 70 %

10

30 % 10 % 70 % 10 % 10 %

10 %

10 %

50 % 20 % 10 % 30 % 10 %

90 %

90 %

10

40 % 10 % 10 % 40 %

30 % 10 %

20 % 10 % 70 %

50 % 10% 40% 20 %

60 % 10 % 10 % 10 % 10 % 20 % 40 %

10

30 % 20 %

10 %

40 %

10 % 20 %

10 %

10 % 10 % 30 %

Tabel 4. Persentase telur pada setiap tahap perkembangan selama waktu pengamatan pada perlakuan tingkat pengenceran. Waktu % Telur pada setiap tahap Tahap Per pengam perkembangan perkembang Jumlah Rerata lakuan at an U1 U2 U3 U4 an Tingka 5 Terbuahi 100 % 100 % 100 % t peng pertama Hylock 90 % 90 % 90 % encera Abnormal 10 % 10 % 10 % n 1.000 Tidak ada 100 % 100 % 200 % 100 % x perubahan 5 Terbuahi 80 % 80 % 80 %

kedua

10

10

10

Hylock Belum ada perkembang an 1 sel Abnormal Hylock 1 sel 2 sel Abnormal Belum ada perkembang an Terbuahi Hylock 1 sel 4 sel 8 sel Belum ada perkembang an Abnormal Terbuahi 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel 16 sel Abnormal Belum ada perkembang an Tahap perkemba ngan Tidak terjadi perubahan Hylock Tidak terjadi perubahan Hylock 1 sel Abnormal Tidak terjadi

90 %

10 % 50 %

40 % 20 % 60 %

140 %

46,7 %

130 % 43,3 % 10 % 40 % 40 % 80 % 40 % 50 % 190 % 100 % 10 % 90 % 60 % 40 % 50 % 10 % 40 % 13,3 % 40 % 20 % 50 % 63,3 % 100 % 10 % 45 % 30 % 20 % 25 %

10 % 40 % 10 % 10 % 50 % 30 % 20 % 10 % 10 % 80 % 80 % 100 % 80 % 10 % 10 % 10 % 10 % 50 % 30 % 20 %

70 % 30 %

30 %

50 % 40 % 10 % 40 % 10 % 40 % 50 % 10 % 100 % 10 %

80 % 10 %

50 % 40 % 20 % 40 % 10 % 120 % 60 % 10 % 100 %

50 % 40 % 10 % 40 % 10 % 60 % 30 % 10 % 100 %

Per lakuan Tingkat peng enceran 10.000 x

Waktu pengam a tan 5 pertama 5 kedua

% Telur pada setiap tahap perkembangan U1 40 % U2 30 % U3 100 % U4 50 %

Jumla h 220 %

Rerata 55 %

60 % 40 %

70 % 90 %

100 %

50 % 50 %

180 % 280 %

60 % 70 %

50 % 10 % 10 % 100 %

50 %

10

70 %

100 % 10 % 10 % 170 %

50 % 10 % 10 % 85 %

10

10

perubahan Hylock 1 sel 2 sel Hylock 1 sel 4 sel 8 sel Belum berkemba ng Abnormal Hylock 1 sel 2 sel 4 sel 8 sel 16 sel Belum berkemba ng Abnormal

50 % 30 % 20 % 50 % 10 % 30 % 10 %

70 % 30 % 50 % 10 %

30 %

50 % 10 % 30 % 80 % 10 % 40 %

150 % 60 % 20 % 110 % 60 % 40 % 20 % 150 %

50 % 30 % 20 % 36,7 % 30 % 20 % 10 % 50 %

40 % 20 % 20 % 10 %

20 % 50 % 20 %

10 % 20 %

50 % 10 % 10 %

10 %

10 % 60 %

30 %

20 % 90 % 100 % 50 % 10 % 10 % 10 % 100 %

20 % 45 % 25 % 16,7 % 10 % 10 % 10 % 33,3 %

30 %

30 %

30 %

Tabel 5. Persentase telur ikan yang menjadi larva % Telur ikan yang menjadi larva Perlakuan U1 U2 U3 U4 Kontrol 35 % 0% 28,3 % 42 % Jeda waktu 1 0% 0% 23, 3 % 95 % menit Jeda waktu 2 0% 0% 25 % 52 % menit Jeda waktu 3 0% 0% 8,2 % 44 % menit Tingkat pengenceran 0% 0% 29,8 % 91 % 1.000 x Tingkat pengenceran 0% 0% 0% 2% 10.000 x Keterangan : U1 = ulangan 1 U2 = ulangan 2

Jumlah (%) 105,3 % 118,3 77 % 52,2 % 120,8 %

Rerata (%) 35,1 % 39,4 % 19,25 % 13,05 % 30,3 %

2%

0,5 %

U3 = ulangan 3 U4 = ulangan 4

Gambar-gambar Tahap Perkembangan Zigot

Gambar 1. Telur terbuahi

Gambar 2. Terbentuknya Hylock

Gambar 3.4 Sel

Gambar 4. 8 Sel

Gambar 5. 32 sel

Gambar 6. Rusak

Gambar-gambar Tahap Perkembangan Zigot (hasil yang di dapat sampai praktikum berakhir)

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan dalam praktikum fertilisasi dan perkembangan embrio ikan yang menggunakan Ikan Nilem sebagai preparat dengan perlakuan tingkat pengenceran 1000x diperoleh hasil bahwa terdapat 80% telur yang telah mengalami tahap perkembangan hylock pada waktu 5 menit pertama pada ulangan I, sedangkan pada ulangan II sebanyak 30%, ulangan III sebanyak 98% dan ulangan IV sebanyak 50%. Pengamatan dengan perlakuan 1 menit pada 10 menit pertama diperoleh tahap perkembangan hylock sebanyak 40% dan yang 60% telur belum mengalami tahap perkembangan (ulangan I). Ulangan II menunjukkan bahwa tidak terdapat tahap perkembangan hylock, 10% berada pada tahap 4 sel, 80% telur mengalami kelainan pembelahan dan 0% belum nampak tahapan

perkembangannya. Ulangan III menunjukkan bahwa tidak adanya tingkat perkembangan hylock dan pada ulangan IV terdapat 70% yang berada pada tahap hylock. Setelah 20 menit sebanyak 20 % telur telah mengalami tahap perkembangan menjadi 8 sel pada ulangan I, lebih dari 32% pada ulangan III. Telur membelah menjadi 16 sel pada ulangan I dan 30% pada ulangan IV. Berikut ini adalah grafik antara jeda waktu dengan telur yang terbuahi : Grafik hubungan antara jeda waktu dengan jumlah telur yang terbuahi
120% Presentase telur terbuahi (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% Kontrol 1 2 3 Jeda waktu (menit) Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV

Gambar 1. Grafik Hubungan antara persentase jumlah telur yang terbuahi dengan jeda waktu. Berdasarkan grafik di atas maka pola yang didapat adalah pola acak karena persentase telur yang dibuahi pada kelompok dengan jeda waktu kontrol, 1 menit, 2 menit, dan 3 menit tidak 100% terbuahi. Kelompok pada pengamatan kontrol dengan waktu 5 menit pertama terbuahi 100%. Lima menit pertama, kelompok dengan tingkat pengenceran 1.000x dan 10.000x juga mengalami hal yang sama yaitu telah mengalami hylock. Sedangkan lima menit kedua, kelompok dengan tingkat pengenceran 1.000x dan 10.000x sudah 2 sel. Sepuluh menit pertama, kelompok dengan tingkat pengenceran 1.000x sudah 8 sel, dan 10.000x sudah hylock. Sepuluh menit kedua, kelompok dengan tingkat pengenceran 1.000x sudah 16 sel dan 32 sel dan tingkat pengenceran 10.000x sudah 32 sel. Sedangkan sepuluh menit ketiga, kelompok dengan tingkat pengenceran 10.000x sudah lebih dari 32 sel. Berikut ini adalah grafik antara tingkst pengenceran dengan telur yang terbuahi :
Grafik Presentase Jumlah Telur yang terbuahi dengan tingkat pengenceran
120 100 Jumlah telur yang terbuahi (%)

Ulangan I
80 60 40 20 0 1000 Tingkat pengenceran 10000

Ulangan II Ulangan III Ulangan IV

Gambar 2. Grafik Hubungan antara persentase jumlah telur yang terbuahi dengan tingkat pengenceran. Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa pada penenceran 1000 x ke pengenceran 10000 x tidak ada peningkatan. Pola grafik diatas adalah acak karena

persentase jumlah telur yang terbuahi dengan tingkat pengenceran yang berbeda setiap kelompok tidak sama. Semakin tinggi tingkat pengenceran, maka lama motilitas spermatozoa semakin pendek, begitu juga sebaliknya, ini menunjukkan bahwa semakin pendek motilitas sperma berarti semakin sedikit pula jumlah spermatozoa yang hidup dan dapat teramati. Perlakuan yang dilakukan dengan tingkat pengenceran dan jeda waktu yang berbeda-beda, diperoleh rata-rata banyaknya telur yang terbuahi oleh sperma tidak dapat menetas menjadi larva ikan. Ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya ikan dalam keadaan stress akibat faktor lingkungan yang kurang mendukung misalnya media dan tempat pemijahan yang kurang bersih, suasana yang kurang terang, kandungan O2 yang rendah dan factor cahaya. Ikan yang digunakan belum matang kelamin, sehingga meskipun belum hipfisasi dengan hormon ovaprin tetap tidak akan memijah karena kandungan hormon gonadotropin dalam kelenjar hipofisisnya sedikit. Penyuntikan ikan resipien yang tidak hati-hati sehingga memungkinkan tejadi kerusakan pada sisik ikan, maka ikan akan memijah walaupun sudah diinduksi hormon ovaprin. Lemahnya sperma, sifat pergerakan sperma menentukan kemampuan untuk melakukan pembuahan. Gerakan yang terlalu lembut dan arahnya tidak menentu akan mempersult proses pembuahan. Sperma mudah sekali tergantung oleh suasana lingkungan, suhu medium yang terlalu tinggi atau sebaliknya dan perubahan pH akan merusak pertumbuahan kemampuan untuk membuahi (Yulferius, 2001). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Verma, et al.(2009) ultra struktur yang diperlihatkan dalam mikroskop elektron menunjukkan bahwa spermatozoon Gurame terdiri dari kepala tanpa kompleks akrosom dengan nukleus yang bundar hingga lonjong dan ekor atau flagellum dengan cincin mitokondria.

Fitur mikrostruktur dari kanal mikropilar tidak dapat diandalkan untuk identifikasi telur yang dibuahi, tetapi dapat digunakan sebagai identifikasi untuk telur yang tidak dibuahi. Jadi dalam identifikasi telur, karakter signifikan adalah ukuran telur, diameter daerah mikropil, jumlah ridges sekitar mikropil danj proyeksi luar pegunungan (Chen, et al, 2007). Telur ikan Nilem (Osteochillus hasselti) yang telah terbuahi hanya mencapai tahap terbentuknya hylock dan ada beberapa yang tidak terbentuk sama sekali pada pengenceran 1000x sedangkan pada pengenceran 10000x ada yang sudah terbentuk 1 sel, 2 sel, dan 4 sel. Pengenceran 10000x, larva yang terbentuk hanya sedikit karena sperma telah diencerkan sebanyak 10000x sehingga tidak dapat membuahi sel telur. Ini dikarenakan beberapa faktor , yakni keadaan temperatur lingkungan sehingga sel telur tidak mengalami pembelahan secara sempurna, waktu praktikum yang kurang lama, waktu melakuakn pembuahan yang telalu lama, dan terjadi kerusakan pada telur. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan telur ikan antara lain sebagai berikut, suhu ikan yang teah terbuahi mampu berkembang baik pada suhu lingkungan normal, pengartuh fisik terutama air yang mengandung polusi berpengaruh pada perkembagan ikan, yang dinyatakan atas ambang konsentrasi (Effendy, M.I. 1997). Presentase telur ikan yang menjadi larva pada pengamatan kontrol dari semua ulangan diperoleh rata-rata terbentuknya larva 35,1%. Pengamatan jeda waktu 1 menit dari semua ulangan diperoleh rata-rata 39,4%. Pengamatan jeda waktu 2 menit dari semua ulangan diperoleh rata-rata 19,25%. Pengamatan jeda waktu 3 menit dari semua ulangan diperoleh rata-rata 13,05%. Pengamatan pengenceran 1000x dari semua ulangan diperoleh rata-rata 30,3% dan pengamatan pengenceran 10000x dari semua ulangan diperoleh rata-rata 0,5%.

Presentase rata-rata(%) Telur Ikan yang menjadi Larva dari Ulangan I, II, III dan IV
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 kontrol 1 menit 2 menit 3 menit 1000 Tingkat pengenceran 10000

Presentase telur ikan yang menjadi larva (%)

Sperma mudah sekali tergantung oleh suasana lingkungan, suhu medium yang terlalu tinggi, sebaliknya perubahan ph akan merusak pertumbuhan kemampuan untuk membuahi. Kualitas air sangat mempengaruhi pembelahan sel (penetasan telur), terutama yaitu suhu air media khususnya ada 4 komponen yang mempengaruhi proses fertilisasi yaitu kemampuan si jantan untuk fertilisasi saat ejakulasi, waktu yang dibutuhkan oleh sperma untuk koordinasi dengan telur betina, persentase sperma aktif dan pergerakan sperma seperti berenang (Linder, M.C. 1992)

I.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pengamatan dapat disimpulkan bahwa 1. Tahapan perkembangan embrio adalah morula, blastula, gastrula, neurulasi, morfogenesis, diferensiasi, dan organogenesis. 2. Munculnya hylock pada pengenceran 1000 x dan 10.000 x terjadi pada 5 menit pertama. 3. Fertilisasi pada ikan sangat dipengaruhi oleh faktor fisik kimia perairan tempat ikan memijah. Faktor-faktor tersebut antara lain temperatur dan salinitas. B. Saran

Dalam mencampurkan sperma yang telah diencerkan dengan ovum sebaiknya dilakukan dengan hati-hati. Apabila terlalu kencang dalam mengaduk atau menggoyangkannya akan menyebabkan telur menjadi rusak.

DAFTAR REFERENSI

Carlson, Bruce M. 1999. Human Embryology and Developmental Biology. Mosby. New York. Chen, et al. 2007. Chorion microstructure for identifying five fish eggs of Apogonidae. Institute of Zoology, Academia Sinica, Taiwan. Effendy, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Nusatama. Bogor. Harvey, B. J. 1979. The Theory and passion. Ichtiologi. John Willy and Sons. New York. Linder, M.C. 1992. Biokimia nutrisi dan metabolisme (terjemah). Universitas Indonesia, Jakarta. 781 hal. Moeller, R. B. 2004. Biology of Fish. California Animal Health and Food Safety Laboratory. System University of California, Caifornia.

Soeminto. 2000. Embriologi Vertebrata. Unsoed, Purwokerto. Verma, D.K. Routray, P. Dash, C. Dasgupta, S. and Jena, J.K. 2009. Physical and Biochemical Characteristics of Semen and Ultrastructure ofSpermatozoa in Six Carp Species. Orissa, India. Yulferius, 2001. Pengaruh kadar vitamin E dalam pakan terhadap kualitas telur ikan patin Pangisius hypophthalamus. Tesis, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 40 hal.

You might also like