You are on page 1of 8

Demokrasi, Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia

Label: demokrasi, indonesia, sejarah

Pendahuluan Pembahasan yang pertama kali menjadi konsentrasi Negara-negara yang baru merdeka, terutama pasca perang Dunia II, adalah tentang Nation Building. Masing-masing Negara dalam membangun dasar ideologi atau sistem negaranya berbeda. Ada Negara yang tertarik untuk menggunakan Komunisme, seperti RRC dan Korea Utara. Indonesia dan Pakistan adalah contoh negara yang tertarik menggunakan sistem Demokrasi. Banyak sekali faktor-faktor yang menyulitkan negara-negara baru ini dalam menerapkan suatu sistem yang dipilihnya, antara lain adalah: Presentase buta huruf yang cukup besar, Heterogensi Sosial, serta masa damai yang minim.[1] Demokrasi yang oleh sebagaian tokoh atau mungkin juga oleh kebanyakan orang dianggap bentuk pemerintahan yang terbaik, tidak hanya dapat dipahami secara sederhana, melainkan juga perlu pemahaman lebih dalam. Berikut akan dijelaskan pengertian, hakekat beserta unsur-unsur penegak Demokrasi. Karena tentunya di negara manapun Demokrasi tidak akan berjalan sempurna tanpa adanya unsur-unsur penegak tersebut. Sekaligus ditulis mengenai sejarah dan perkembangan Demokrasi di Indonesia. Pengertian Demokrasi

Pengertian Demokrasi menurut bahasa (etimologi) berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat dan kratein artinya pemerintah. Hal ini berarti kekuasaan tertinggi (pemerintah) dipegang oleh rakyat. Sedangkan Demokrasi menurut istilah (terminologi), para ahli seperti : Abraham Lincoln, Joseph A. Schmeter, Sidney Hook, Schmitter, Terry Lynn Karl, dll. mempunyai pendapat yang berbeda-beda, namun pada hakikatnya Demokrasi mengandung pengertian : 1. 2. 3. Pemerintahan dari rakyat (government of the people) Pemerintahan oleh rakyat (government by people) Pemerintahan untuk rakyat (government for people).[2]

Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktifitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara. Moh. Mahfud MD, mengatakan ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, demokrasi dijadikan asas yang fundamental; kedua, Demokrasi secara esensial telah memberikan arah bagi perananan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.[3] Unsur-unsur Penegak Demokrasi Unsur-unsur yang dapat menopang tegaknya demokrasi antara lain : 1. Negara Hukum 2. Masyarakat Madani 3. Infrastruktur Politik 4. Pers yang bebas dan bertanggung jawab. Konsepsi negara hukum mengandung pengertian bahwa negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara melalui pelembagaan peradilan yang bebas, tidak memihak dan penjaminan hak asasi manusia. Masyarakat madani (Civil Society) mensyaratkan adanya civic engagement yaitu keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi sosial. Infrastruktur politik terdiri dari partai politik (political party), kelompok gerakan (movement group) dan kelompok penekan atau kelompok kepentingan (pressure/interest group). Terbentuknya ke-tiga kelompok tersebut merupakan wujud keterlibatan dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan yang diambil oleh negara, yang dengan demikian juga bisa dikatakan sebagai pilar penegak demokrasi.[4] Dalam proses menuju negara Demokrasi yang kuat, Indonesia banyak mengalami instabilitas baik dalam bidang politik, sosial, maupun ekonomi. Oleh karena itu para Founding Fathers kita berusaha mencari solusi tentang Demokrasi yang paling cocok untuk Indonesia. Setelah mengalami pasang surutnya, karena berbagai kendala yang menghadang, proses demokrasi Indonesia dapat dibagi ke dalam empat masa, yaitu : 1. 2. 3. 4. Masa 1945-1959 (Demokrasi Parlementer) Masa 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin) Masa 1965-1998 (Demokrasi Pancasila) Masa 1998(Demokrasi pasca Reformasi)[5]

Masa Sebulan setelah

1945-1959 Proklamasi dikumandangkan,

(Demokrasi sistem parlementer

Parlemter) mulai berlaku,

beracuan/berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950, yang menyebutkan bahwa badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara Konstitusionil (constitusional head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Sitem parlementer adalah sistem pemerintahan dimana pengawasan terhadap eksekutif oleh legislatif, pengawasan atas jalannya pemerintahan dilakukan wakil rakyat yang duduk dalam parlemen. Dengan begitu Dewan Menteri (kabinet) bersama Perdana Menteri (PM) bertanggung jawab kepada parlemen (legislatif). Presiden hanya sebagai kepala negara saja, sedangkan yang menjalankan pemerintahan adalah Perdana Menteri bersama kabinetnya.[6] Karena fragmentasi partai politik Umumnya kabinet pada masa itu tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah. Dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya.. Dalam pelaksanaannya sistem ini dianggap gagal, kabinet sering jatuh bangun, banyak mengakibatkan instabilitas politik, sosial dan ekonomi. Pemilu yang Pertama kali diadakanpun tidak membuat situasi menjadi semakin baik, malahan semakin buruk karena banyak kelompokkelompok yang merasa tidak dapat menyalurkan aspirasinya. Ketegangan antara pusat dan daerah yang tidak puas dengan pemerintahan yang ada. Dan gagalnya Konstituante dalam merumuskan Undang-undang baru.[7] Sampai pada suatu saat Ir. Soekarno (Presiden) berpikir, demokrasi tidak bisa dibiarkan liar, yang tidak cocok dengan kepribadian kita. Demokrasi harus terpimpin.[8] Kemudian keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar Masa 1945. dengan demikian sistem Demokrasi Parlemnter berakhir. 1959-1965

Dekrit presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Satu pertanyaan yang patut dikedepankan adalah bagaimana rumusan demokrasi terpimpin dan apakah butir-butir pokok demokrasi terpimpin? Demokrasi terpimpin seperti yang dikemukakan oleh Soekarno adalah demokrasi yang dipimpin oleh hiikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam kesempatan lain dikatakan bahwa demokrasi terpimpin

adalah demokrasi kekeluargaan tanpa anarkisme, liberalisme dan otokrasi diktator. Demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral yang sepuh, yang mengayomi.[9] Dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959 dengan judul Penemuan kembali Revolusi kita, Presiden Soekarno mengatakan bahwa prinsip-prinsip dasar demokrasi terpimpin ialah: 1. Tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum,masyarakat, bangsa dan Negara; 2. Tiap-tiap orang berhak mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa dan Negara. Dalam pandangan A. Syafii Maarif demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai ayah dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian kekeliruan yang terbesar dalam demokrasi terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan chek and balance dari legislatif terhadap eksekutif.[10] Ciri-ciri periode ini adalah dominasi dari Presiden, terbatasnya peranan partai politik. Selama pelaksanaannya, kecenderungannya semua keputusan hanya ada pada pemimpin besar Revolusi, sehingga berakibat rusaknya tatanan kekuasaan negara. Misal: DPR dibubarkan, Ketua MA dan MPRS menjadi menteri yang notabenenya adalah pembantu Presiden.[11] Pada tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Selain dari itu terjadi penyelewengan dibidang perundang-undangan dimana pelbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui penetapan Presiden (Perpres) yang memakai dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Lagipula didirikan badan-badan ekstra konstitusionil seperti Front Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai pusat kegiatan.[12] Masa 1965-1998 Landasan formil dari periode ini adalah Pancasila, UUD 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang telah terjadi dalam masa demokrasi terpimpin. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan Presiden kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Ketetapan MPRS No. XIX/1966 telah

menentukan ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa Demokrasi Terpimpin dan atas dasar itu Undang-Undang No. 19/1964 telah diganti dengan suatu Undang-Undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan kembali azas kebebasan badan-badan pengadilan. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong diberi beberapa hak kontrol, disamping ia tetap mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah. Pimpinannya tidak lagi mempunyai status menteri.[13] Beberapa perumusan tentang demokrasi pancasila sebagai berikut: a. Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali azas-azas negara hukum dan kepastian hukum; b. Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara. c. Demokrasi dalam bidang hukum pada hakekatnya adalah pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas yang tidak memihak.[14] Namun demikian Demokrasi Pancasila dalam rezim Orde Baru hanya sebagai retorika dan gagasan belum sampai pada tataran praksis atau penerapan. Karena, seperti yang dikatakan M. Rusli Karim Praktek pemerintahan dan kenegaraannya, rezim Orde Baru sangat tidak memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi, ditandai oleh: 1. Dominannya peran ABRI, 2. Birokratisasi dan Sentr alisasi pengambilan keputusan politik, 3. Pengebirian peran dan fungsi partai politik, 4. Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik, 5. Masa mengambang, 6. Monolitisasi ideologi negara, 7. Inkorporasi lembaga non pemerintah.[15] Demokrasi Pencasila masih belum sesuai dengan jiwa dan semangat ciri-ciri umumnya (lima sila dalam Pancasila). Hal tersebut karena Presiden dominan baik dalam supra maupun infra struktur politik. Akibatnya banyak terjadi manipulasi politik dan KKN yang telah membudaya, sehingga negara Indonesia terjemus dalam berbagai krisis yang

berkepanjangan.[16] Lagi-lagi instabilitas politik, sosial dan ekonomi yang menjadi ending pada masa ini. Krisis Multi Dimensi yang dimulai dengan krisis moneter, kemudian hilangnya kepercayaan rakyat (krisis legitimasi) kepada penguasa yang berkuasa, dan banyak hal lainnya, yang

memaksa turunnya sang Presiden Suharto dari tahtanya,, yang kemudian diikuti dengan arus Reformasi yang tak terbendung lagi. Masa 1998Peran Prof. Habibie sangat berat, karena dialah yang pertama-tama harus merombak suatu sistem otoriter menjadi sistem demokratis, ditengah-tengah masyarakat yang tidak memberikan kepercayaan kepadanya karena dia dianggap kepanjangan tangan pak Harto. Salah satu tantangan berat dalam rangka demokratisasi antara lain adalah menghapuskan Undang-Undang politik yang diberlakukan sejak 1985, yang dipandang sebagai pondasi legal Orde Baru. Maka bermunculanlah partai baru sampai sebanyak 48 partai, dari tiga dimasa Orde Baru. Habibie juga menyusun tim 7 untuk menyusun seperangkat UndangUndang baru yang diratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat tentang Partai Politik, pemilihan umum, dan susunan serta kedudukan anggota perwakilan rakyat. Terjadi pengurangan kursi untuk militer di DPR dan penetralan Pegawai negri sipil dalam pemilu. MPR mengadakan sidang tahunan bukan lagi lima tahun sekali.[17] Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya Reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis karena dalam fase ini akan ditentukan kemana arah demokrasi yang akan dibangun. Selain itu dalam fase ini pula bisa saja terjadi pembalikan arah perjalanan bangsa dan Negara yang akan menghantar Indonesia kembali memasuki masa otoriter sebagaiman yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat faktor kunci yakni: 1. Komposisi elit politik 2. Desain institusi politik 3. Kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elit dan non elit. 4. Peran Civil Society (masyarakat madani)[18] Sedangkan panjang pendeknya masa transisi tergantung pada kemampuan rezim demokrasi baru mengatasi problem transisional yang menghadang. Problem paling mendasar yang daihadapi Negara-negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi adalah ketidak mampuan membentuk tata pemerintahan baru yang bersih, transparan dan akuntabel. Akibatnya,

legitimasi demokrasi menjadi melemah. Tanpa legitimasi yang kuat, rezim demokrasi baru akan kehilangan daya tariknya. Teori hilangnya legitimasi ini juga dapat menjelaskan asal muasal keruntuhan rezim-rezim otoritarian. Hal itu disebabkan setiap rezim membutuhkan legitimasi, dukungan atau paling tidak persetujuan tanpa protes agar dapat bertahan. Bila rezim kehilangan legitimasi, ia harus mereproduksinya atau ia akan jatuh.[19] Menurut Sorensen transisi bentuk pemerintahan (rezim) non demokratis menjadi demokratis seperti yang tengah terjadi di Indonesia merupakan proses yang sangat lama dan kompleks karena melibatkan beberapa tahap. Pertama, tahap persiapan (prepatory phase) ditandai dengan pergulatan dan pergolakan politik yang berakhir dengan jatuhnya rezim non demokratis. Kedua, tahap penentuan (decision phase),di mana unsur-unsur penegak demokrasi dibangun dan dikembangkan. Ketiga, tahap konsolidasi (consolidation phase), di mana demokrasi baru dikembangkan lebih lanjut sehingga praktik-praktik demokrasi menjadi bagian yang mapan dari budaya politik. Dalam kaitan dengan transisi menuju demokrasi, Indonesia saat ini tengah berada dalam fase kedua dan ketiga.[20] Pelaksanaan demokrasi pancasila pasca reformasi telah banyak memberi ruang gerak kepada Partai politik maupun lembaga negara (DPR) untuk mengawasi pemerintah secara kritis, dan dibenarkan untuk berunjuk rasa, beroposisi maupun optimalisasi hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat seperti, hak bertanya, interpelasi, inisiatif dsb. Banyak pembenahaan-pembenahan yang dilakukan pada masa ini, diantara lain: Pembagian secara tegas wewenang kekuasaaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Penghormatan kepada beragam asas, ciri, aspirasi dan program Parpol yang multi partai.[21] Menurut M. Rusli Karim demokrasi dapat terwujud dalam tatanan negara dan pemerintah Indonesia bila tersedia delapan faktor pendukung : 1. Keterbukaan sistem politik 2. Budaya politik partisipatif egalitarian 3. Kepemimipinan politik yang berorientasi kerakyatan 4. Rakyat yang terdidik, cerdas dan berkepedulian 5. Partai politik yang tumbuh dari bawah 6. Penghargaan terhadap hukum 7. Masyarakat sipil (masyarakat madani) yang tanggap dan bertanggung jawab 8. Dukungan dari pihak asing dan pemihakan terhadap golongan mayoritas.[22]

You might also like