Professional Documents
Culture Documents
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis persembahkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menjadi rahamat sekalian alam. Seiring dengan itu, tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini. Makalah ini menjelaskan secara ringkas mengenai klasifikasi hadis dari segi kuantitasnya. Penulis menyadari akan kekurangan dari makalah ini. Karena Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, saran dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat berguna bagi pembaca.
BAB I PENDAHULUAN
Pada Awalnya rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur'an. Perintah untuk melukiskan hadis yang pertama kali oleh khalifah umar bn abdul azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm alalsory untuk membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat). Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja. Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri. dalam makalah ini akan dikemukakan pembaian hadis dari tinjauan kuantitas perawi. Sedangkan tinjauan mengenai kualitas akan dibahas oleh makalah yang dibawakan oleh kelompok lain. Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda.
Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.
Penulis
BAB II PEMBAHASAN
Kuantitas hadis disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad , disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadis mutawatir , hadis masyhur (hadis mustafidh) dan hadis ahad .
A. Hadis Mutawatir
1. Pengertian Hadis Mutawatir Dari segi bahasa, mutawatir, berarti sesuatu yang dating secara beriringan tanpa diselangai antara satu sama lain. Adapun dari segi istilah yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad. Dan sanadnya mereka adalah pancaindra. Berdasarkan definisinya ada 4 kriteria hadis mutawati, yaitu sebagai berikut : a. Diriwayatkan Sejumlah Orang Banyak Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari. b. Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir , tatapi dinamakan ahad atau wahid. c. Mustahil Bersepakat Bohong
Di antara alas an pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berkosensus berbohong. d. Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; Setiap yang baru itu berubah (Kullu hadis in mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadis un). Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita hadis itu logis, maka tidak mutawatir . Sandaran berita pada pancaindra misalnya ungkapan periwayatan: : Kami mendengar [dari Rasulullah bersabda begini] : Kami sentuh atau kami melihat [Rasulullah melakukan begini dan seterusnya].
Hadis tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.
b. Hadis Mutawatir Maknawi Hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain, hadis-hadis yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama. Jumlah hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir lafdhi. Contoh hadis mutawatir maknawi yang artinya: Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan (Hadis Riwayat Mutafaq' Alaihi). c. Hadis Mutawatir Amali Hadis mutawatir amali adalah hadis mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya. Contoh : Hadis-hadis Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat Id, adanya shalat jenazah, dan sebagainya. Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadismutawatir amali. Seperti hadis mutawatir maknawi, jumlah hadis mutawatir amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ied, dan kadar zakat harta.
Taraf kepastian bahwa hadis mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen. Oleh karena itu, kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad .
B. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad Ahad (baca: aahaad) menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau ahad . Bila waahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir , maka pengertian hadist ahad , menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadist ahad antara lain berbunyi: hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir , baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir , atau dengan kata lain Hadis Ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Rasulullah SAW bersabda: Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya. (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
b. Hadist Aziz Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulai atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadist aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist aziz itu jarang adanya. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi. Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist aziz. Contoh hadist aziz adalah hadist berikut ini: Yang artinya: Rasulullah SAW bersabda: Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat. (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah) Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist aziz.
c. Hadist Gharib Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadis yang berdiri sendiri seorang perawi di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad.
Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib. Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut: Yang artinya: Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya. (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain)
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhann dan itu sah-sah saja, misalnya menghadap ke kiblat ketika shalat, pemeraan air mandi janabah pada seluruh anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang yang berpuasa, dan lain-lain. Pengertianzhann tidak identik dengan syakk (ragu) dan juga tidak identik dengan waham . Zhann diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan,syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh) antomim zhann .
B. Saran
Kami selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi. DAFTAR PUSTAKA Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. As-Shalih, S. (1997). Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta. Ismail, M. S. (1994). Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa. Khon, A. M. (2008). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah. Mudzakir, M. (1998). Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia. Rahman, F. (1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma'arif. http://rud1.cybermq.com/post/detail/2237/klasifikasi-hadits Drs. H. Muhammad Ahmad dan Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung :CV Pustaka Setia, 1998) hlm. 87 AsSayuthi, Tadrib Ar-Rawi, Juz 2, hlm. 225 Baru diartikan wujudnya sesuatu setelah tidak ada atau diciptakan, tidak wujud dengan sendirinya. Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung : Angkasa, 1994) hlm. 139 Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung : Alma'Arif, 1974) hlm. 86 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta: Amzah, 2008) hlm.143 Written by Group 6 - Vebyo Arson and Dona Rahmawati | Uin Suska | PBI | Class F