You are on page 1of 2

Tulisan ini diambil dari buku ‘Muhammad Rasul Zaman Kita’ karya

dari Tariq Ramadan.

Pertanyaan

Ketika orang Quraisy sudah kehabisan cara untuk membendung penyebaran


misi Muhammad yang terus meluas.
Merekapun mengirim delegasi ke Yatsrib dan bertanya kepada para
pembesar Yahudi tentang sifat dan kebenaran wahyu baru ini. Orang Yahudi
Yatsrib dikenal memiliki keyakinan serupa tentang Tuhan Yang Maha Esa,
dan Muhammad sering merujuk pada Musa, nabi mereka; oleh karena itu,
mereka sangat layak untuk mengemukakan pendapat atau bahkan
menyarankan strategi.
Ketika dimintai pendapat tentang nabi baru ini, seorang rabi menyarankan
agar orang-orang Mekah bertanya kepadanya tentang tiga pertanyaan kunci
untuk mengetahui apakah yang Muhammad katakan adalah wahyu ataukah
ia hanya seorang pendusta.
Pertanyaan pertama terkait dengan sebuah kisah tentang sekelompok
pemuda yang mengasingkan diri dari kaum mereka; yang kedua mngenai
seorang petualang besar yang mencapai ujung dunia; dan yang ketiga
tentang hakikat ruh. Delegasi Quraisy itu kembali dengan penuh keyakinan
bahwa mereka kini memiliki cara untuk memerangkap Muhammad. Di
Mekah, mereka mendatanginya dan melontarkan tiga pertanyaan di atas.
Beliau langsung menjawabnya tanpa jeda, “Aku akan menjawab pertanyaan
kalian esok hari.”
Namun, keesokan harinya Malaikat Jibril tidak muncul. Tidak ada wahyu.
Jibril juga tidak muncul pada hari berikutnya, atau selama 14 hari.
Orang-orang Quraisy bertepuk kegirangan karena mereka akhirnya berhasil
membuktikan kebohongan orang yang mengaku sebagai nabi, yang tidak
mampu menjawab pertanyaan seorang rabi. Muhammad sendiri dirundung
kesedihan. Seiring berlalunya waktu, beliau kembali diliputi keraguan yang
diperburuk oleh ejekan lawan-lawannya. Dua minggu kemudian, beliau
menerima wahyu dan sebuah penjelasan:

Dan janganlah kau sekali-kali mengatakan terhadap sesuatu, “Sesungguhnya aku akan
mengerjakan itu esok pagi,” kecuali dengan menyebut “Insya Allah.” Dan ingatlah
kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan
memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.”
Q.18: 23-24
Sekali lagi wahyu menegur dan mengajar Nabi: ia mengingatkan Nabi
bahwa status, pengetahuan, dan nasibnya bergantung pada Rabb-nya, Tuhan
Yang Maha Esa dan Mahakuasa, dan beliau tidak boleh melupakan hal
tersebut. Beginilah kita harus memahami makna ungkapan Insya Allah “jika
Allah mengizinkan”; ia menegaskan kesadaran manusia akan
keterbatasannya, perasaan rendah hati seseorang yang hendak berbuat
sesuatu mengetahui bahwa diatas semua yang ia lakukan dan katakan,
Tuhanlah yang memiliki kekuasaan untuk mewujudkannya.
……Setelah beberapa lama, Nabi akhirnya memperoleh jawaban untuk
ketiga pertanyaan yang diajukan kepadanya, secara paradoks, penundaan ini
dimaksudkan untuk memperkuat keyakinan orang Islam dan membuat
bingung lawan bicara Nabi; ketidakmampuannya menjawab lebih awal dan
kemudian turunnya wahyu yang tidak tepat waktu membuktikan bahwa
Muhammad bukanlah penulis Kitab yang sedang dalam proses pewahyuan,
dan bahwa beliau sebenarnya bergantung pada kehendak Rabb-nya.
……..
Mudah-mudahan sedikit menyadarkan kita untuk selau bilang “Insya Allah”
terhadap segala sesuatu janji yang kita berikan, karena saat ini makna Insya
Allah sudah menjadi kata-kata kiasan untuk tidak menepati janji ataupun apa
yang akan kita kerjakan…

You might also like