You are on page 1of 70

LAPORAN FINAL

PEMETAAN PARTISIPATIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI EMPAT KECAMATAN KABUPATEN BOYOLALI

(KEC. AMPEL, BANYUDONO, WONOSEGORO, DAN MUSUK)

Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial Institute for Social Transformation Studies

Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial Institute for Social Transformation Studies

Bangunharjo Rt 07/II No. A2 Pulisen Po Box 130 Boyolali - Central Java INDONESIA Phone: 62-276-324501 Fax: 62-276-324501 Email: information@lkts.org Url: www.lkts.org

LKTS 2005

DAFTAR ISI I. KECAMATAN AMPEL ________________________________________ 1

PENDAHULUAN ___________________________________________________________________1 Letak Geografis dan Kondisi Fisik Lokasi Mata Air ___________________________________3 Pemanfaatan, Pengelolaan dan Sistem Distribusi Air _________________________________5

II.

KECAMATAN BANYUDONO __________________________________ 14

PENDAHULUAN __________________________________________________________________14 KONDISI SOSIAL MASYARAKAT ____________________________________________________14 UMBUL SUNGSANG ____________________________________________________________15 Letak Geografis dan Kondisi Fisik Lokasi Mata Air______________________________15 Pemanfaatan, Pengelolaan dan Sistem Distribusi Air ___________________________15 UMBUL PENGGING ____________________________________________________________17 UMBUL PLANANGAN __________________________________________________________17 UMBUL KENDAT ______________________________________________________________18

III.

KECAMATAN MUSUK _____________________________________ 19

PENDAHULUAN __________________________________________________________________19 WILAYAH / LOKASI PENELITIAN ___________________________________________________22 PROFIL DESA DI KECAMATAN MUSUK ____________________________________________25 DESA CLUNTANG____________________________________________________________25 Potensi dan Keberadaan air _______________________________________________26 Ekosistem _______________________________________________________________27 Air Bersih Masyarakat ____________________________________________________28 DESA SRUNI ________________________________________________________________28 DESA MRIYAN_______________________________________________________________30 Air Bersih Masyarakat ____________________________________________________30 Potensi dan Keberadaan Sumber Air. ______________________________________30 Ekosistem _______________________________________________________________31 DESA SANGUP ______________________________________________________________34 Air Bersih Masyarakat ____________________________________________________34 DESA LANJARAN ____________________________________________________________35 Potensi Sumber Air _______________________________________________________36 Air Bersih Masyarakat ____________________________________________________37 DESA LAMPAR ______________________________________________________________37 Potensi Sumber Air _______________________________________________________37 Air Bersih Masyarakat. ____________________________________________________38 Ekosistem _______________________________________________________________38 DESA DRAGAN ______________________________________________________________39 Ekosistem _______________________________________________________________39 DESA MUSUK _______________________________________________________________39 Potensi sumber air _______________________________________________________39 DESA SUMUR _______________________________________________________________45 Potensi sumber air _______________________________________________________45 DESA SUKORAME____________________________________________________________46 Potensi dan keberadaan sumber air. _______________________________________46 Air Bersih Masyarakat ____________________________________________________46 DESA PAGAR JURANG _______________________________________________________48

ii

IV.

KECAMATAN WONOSEGORO_______________________________ 49

KONDISI WILAYAH DAN PERSOALAN-PERSOALAN SUMBER DAYA ALAM/AIR _____________49 KONDISI OBYEKTIF WILAYAH SASARAN_____________________________________________49 GEOGRAFIS ___________________________________________________________________49 DEMOGRAFIS __________________________________________________________________50 PERSOALAN KEKERIINGAN DAN KELANGKAAN AIR ___________________________________51 Karakteristik Sumber Air dan Pemanfaatannya ____________________________________51 DESA BENGLE _______________________________________________________________51 DESA REPAKING _____________________________________________________________54 DESA GUNUGSARI____________________________________________________________57 DESA GARANGAN ___________________________________________________________60 EKOSISTEM SEKITAR _____________________________________________________________62 DAMPAK LINGKUNGAN, SOSIAL, DAN EKONOMI _____________________________________62 A. Dampak Lingkungan ______________________________________________________62 B. Dampak Sosial ___________________________________________________________63 C. Dampak Ekonomi_________________________________________________________64 UPAYA-UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN DAN CAPAIANNYA __________________________65

iii

PEMETAAN PARTISIPATIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI EMPAT KECAMATAN KABUPATEN BOYOLALI (KEC. AMPEL, MUSUK, BANYUDONO DAN WONOSEGORO)
I. KECAMATAN AMPEL

PENDAHULUAN Asumsi awal, wilayah Kec. Ampel adalah salah satu dari beberapa wilayah di Kab. Boyolali yang mengalami kekeringan. Terutama sekali terkait sumber daya air. Dari hasil mapping hari pertama, lokasi yang diidentifikasi adalah mata air yang berada di Dukuh Pantaran Desa Candisari, atau masyarakat menyebutnya dengan tempuran (pertemuan dua arus sungai yang menyatu dan mengalir ke wilayah Desa-Desa di bawah kaki gunung Merbabu) menurut informasi dimanfaatkan oleh PDAM Kab. Boyolali dan masyarakat sekitar sebagai sumber untuk men-supply kebutuhan air bersih. Letak geografis. Kabupaten Boyolali berada di Propinsi Jawa Tengah, terletak antara 110 22 - 110 50 Bujur Timur dan 7 36 - 7 71 Litang Selatan, dengan ketinggian antara 75 1.500 meter diatas permukaan air laut. Kecamatan Ampel berbatasan dengan Kab. Semarang pada arah Utara dan Barat, Kab. Magelang pada arah Timur dan Kecamatan Cepogo pada arah Selatan. Jenis tanah yang terdapat di daerah ini adalah Regosol Kelabu, Latosol Coklat, Andosol Coklat, Komplek Andosol Kelabu Tua dan Litosol mempunyai kontur lereng dengan kemiringan tanah antara 2 40%. Luas kecamatan Ampel 9.039,1 Ha terdiri dari 20 desa yaitu: No 1 2 3 4 5 Desa Ngangrong Seboto Tanduk Banyuanyar Sidomulya No 6 7 8 9 10 Desa Ngargosari Selodoko Ngenden Godangslamet Ngapon No 11 12 13 14 15 Desa Candi Urut Sewu Kaligentong Gladagsari Kembang No 16 17 18 19 20 Desa Candisari Ngargaloka Sampetan Ngadirojo Jlarem

Sumber Boyolali dalam angka Tahun 2003

Gambar 1. 1. Batas Administrasi Desa di Kecamatan Ampel

Demografi Jumlah penduduk di Kecamatan Boyolali menurut data dari BPS Kab. Boyolali pada tahun 2003 sebesar 68.825 yang terbagi antara laki-laki sebanyak 33.568 jiwa dan perempuan 35.257 jiwa. Sebagian besar penduduk bekerja pada sector pertanian tanaman pangan sejumlah 14.939 orang, peternakan sejumlah 2.156, kemudian diikuti oleh sector pertanian lainnya dan perkebunan. Tingkat kesejahteraan masyarakat di kecamatan Ampel menurut data dari pemerintah kabupaten menunjukkan angka yang cukup signifikan. Pada tahun 2003 keluarga yang dikategorikan dalam keluarga miskin secara keseluruhan berjumlha 12.584 Kepala keluarga (lihat table 1.1) . Sedangkan desa dengan jumlah KK miskin terbesar berada di desa sampetan.

Gambar 1. 2. Peta Sebaran Keluarga Miskin di Kecamatan Ampel

Tabel 1. 1. Jumlah Keluarga Miskin di Kecamatan Ampel Tahun 2003 Jumlah No Desa KK Klas Miskin 1 Ngangrong 775 banyak 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Seboto Tanduk Banyuanyar Sidomulya Ngargosari Selodoko Ngenden Godangslamet Ngapon 822 844 536 695 603 703 446 366 305 banyak banyak sedang banyak sedang banyak sedang sedikit sedikit

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Candi Urut Sewu Kaligentong Gladagsari Kembang Candisari Ngargaloka Sampetan Ngadirojo Jlarem Total

762 676 653 331 815 471 383 1.100 771 527 12.584

banyak banyak sedang sedikit banyak sedang sedikit sangat banyak banyak sedang

Sumber Peta Tematik Kecamatan Boyolali Tahun 2003

Letak Geografis dan Kondisi Fisik Lokasi Mata Air Secara geografis, lokasi mata air Pantaran1 terletak tepat di salah satu kaki gunung Merbabu, alirannya membentuk sungai yang membelah dua Desa yaitu Candisari yang memiliki ketinggian 1040 dpl dan desa Ngagrong dengan ketinggian 1027 dpl. Untuk menuju ke lokasi harus di tempuh dengan berjalan kaki dari Dukuh Candisari, tepatnya kendaraan roda dua hanya bisa berhenti sampai areal pemakamaman Syeh Maulana Maqribi, sedangkan jalan menuju ke pemberhentian terakhir ini menanjak dan sudah beraspal kecuali beberapa ratus meter pemberhentian jalan macadam2. Waktu tempuh ke lokasi mata air dengan berjalan kaki menyusuri dasar sungai yang sudah kering3 berbatu-batu besar4 dan mendaki kaki gunung + 2 jam.

Gambar 1. 3. Bendungan PDAM di Sumber Air Pantaran

Ada perbedaan penyebutan sumber mata air ini, walau letak geografis mata air ini tidak tepat berada di wilayah Dukuh Pantaran, pihak PDAM Kab. Boyolali menyebut dengan mata air Pantaran. Sedangkan masyarakat di sekitar lokasi menyebutnya dengan tempuran. Letak Dukuh Pantaran secara geografis berada di bawah Dukuh Candisari. 2 Beberapa Desa yang dilewati dari arah Ampel Kota yaitu, Desa Gladagsari, Kembang dan yang terakhir Candisari-Ngagrong 3 Sungai ini mengalami kekeringan sejak tahun 1997, bertepatan dengan pembangunan pipa distribusi air oleh PDAM Kab. Boyolali, untuk pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat Kec. Ampel. 4 Menurut informasi masyarakat, batu-batu besar yang berada di dasar sungai tersebut sebagai bawaan dari banjir bandang yang terjadi pada tahun 1998, pada waktu musim penghujan di sertai dengan angin kencang.
1

Sumber air yang dimanfaatkan ini berasal dari aliran sungai sisi kanan yang melintasi kaki gunung,5 akan tetapi aliran air sungai ini tidak sampai setengah perjalanan antara Dukuh Candisari Lokasi mata air, aliran tersebut meresap dalam tanah + 300 meter dari lokasi bendungan yang dibangun oleh PDAM. Pada sisi kiri sungai tersebut terdapat bekas aliran sungai yang kondisinya kering, tidak terdapat tanda-tanda didekatnya ada sumber air6. Kedua aliran sungai ini dipisahkan oleh sebuah bukit sebelum menyatu (lihat gambar 1.1).

Gambar 1. 4. Aliran Air Sungai/Sumber Air di Pantaran yang Masuk dalam Pipa Jaringan Distribusi PDAM Kab. Boyolali

Bendungan tersebut dibangun oleh PDAM pada tanggal 16 Oktober tahun 1997, terdiri dari pintu air dan terowongan yang terhubung dengan pipa air PDAM ( lihat gambar 1.2 dan 1.3). Bendungan ini dimanfaatkan untuk mengalirkan air ke pipa jaringan distribusi air milik PDAM. Sedangkan pada bagian atas dari bendungan tersebut terdapat pipa jaringan distribusi air milik masyarakat. Sisi kiri atas bendungan terdapat sebuah bangungan dari bambu yang berukuran 2,3 meter x 1,4 meter yang menurut informasi masyarakat diperuntukkan bagi para peziarah yang ingin bertirakat di lokasi.

Sumber dari aliran sungai ini belum di identifikasi lebih lanjut karena pertimbangan medan yang tidak memungkinkan untuk dilalui. 6 Kedua aliran sungai yang menyatu tersebut pada tahun 1960-an masih terdapat air, dan tahun demi mengalami penurunan debit hingga mengering, tinggal satu aliran sungai saja yang masih terdapat airnya yang saat ini dimanfaatkan.
5

Pintu air menuju ke pipa distribusi air PDAM

Pintu air bendungan yang mencegah air meluap ke sungai

Gambar 1. 5. Pintu Air Bendungan PDAM di Sumber Air Pantaran

Pemanfaatan, Pengelolaan dan Sistem Distribusi Air Sumber air Pantaran tersebut menjadi tumpuan masyarakat sekitar (Desa Ngagrong, Candisari, Ngargoloka, Sempetan, Ngadirojo, Jlarem, Kembang, Tanduk, Gladagsari, dan Seboto) untuk kebutuhan air bersih dengan cara mengelola secara mandiri dari sumber air tersebut, dan distribusi air bersih PDAM untuk masyarakat di Kec. Ampel7. Tabel 1. 2. Jumlah Penduduk Tiap Desa yang Memanfaatkan Air dari Mata Air Pantaran Tahun 2000 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Desa Ngagrong Sebolo Tanduk Gladagsari Kembang Candisari Ngargoloka Sempetan Ngadirojo Jlarem Penduduk 2.930 4.549 5.373 2.837 5.033 2.203 1.487 5.378 3.893 2.470

Informasi pelayanan distribusi air bersih PDAM dengan memanfaatkan mata air Pantaran sangat minim, dokumentasi dan data yang didapatkan dari pihak PDAM hanya terkait Data Produksi dan Sambungan Rumah Tahun 2004, dalam data tersebut disebutkan untuk Kecamatan Ampel Jumlah Sambungan Rumah Aktif yang terpasang sebanyak 516 Rumah.

Gambar 1. 6 Batas Desa di Kecamatan Ampel

Masyarakat dari 10 desa tersebut untuk memperoleh air tersebut dengan cara mengambil langsung dari mata air dengan memasang pipa-pipa yang melintasi tebing dan punggung bukit dan kaki gunung. Dari hasil identifikasi di sumber air tersebut pada sisi kanan kaki gunung yang telah disebutkan di atas terdapat tiga buah pipa pralon air masyarakat dengan diameter masing-masing 8 cm dan ketebalan 2 inci. Aliran air yang berasal dari atas oleh masyarakat di pecah alirannya sebelum turun ke bawah dan masuk ke pipa jaringan distribusi air milik PDAM. Model pemecahan air dengan menaruh tanah dan bebatuan di tengah sungai agar air dapat terbagi dan masuk ke pipa masyarakat. Jarak antara tebing dan tanah-bebatuan tersebut 1,3 meter (lihat gambar 1.5 dan 1.6). Sedangkan pada sisi kiri kaki bukit gunung masih terdapat dua buah pipa masyarakat yang mendapatkan air bersih dari air terjun Sependok yang kemudian dialirkan ke wilayah Golelo, Ngebrak, dan Cengklik (Lihat Gambar 1.5).8

Tiga buah pipa distribusi air masyarakat

Bendungan pemecah aliran air yang dibuat dari tanah dan batu

Gambar 1. 7. Pipa Distribusi Air Masyarakat di Sumber Air Pantaran

Air terjun ini belum teridentifikasi dengan baik dengan pertimbangan jarak dan waktu yang tidak mencukupi maka tim memutuskan untuk mendapatkan informasi terkait dari masyrakat sekitar.

Gambar 1. 8. Pipa Distribusi Air Masyarakat di Sumber air Pantaran (nampak dekat)

Pipa air sisi kanan diperuntukkan untuk masyarakat di desa Ngargoloko, Sampetan, Ngadirojo dan Jlarem, sedangkan pipa air pada sisi kiri diperuntukkan bagi masyarakat desa Candisari, Ngagrong, Kembang, Sebolo, Gladagsari, dan Tanduk (lihat gambar 1.7 dan 1.11).

Pipa distribusi air masyarakat pada sisi kiri dari sungai/ sumber air Pantaran

Gambar 1. 9. Pipa Distribusi Air Masyarakat Dari Air Terjun Sependok

Model distribusi yang dikembangkan dengan menggunakan gravitasi didukung oleh kontur tanah yang memadai. Sebelum pipa air tersebut masuk ke dukuh Candisari, berjarak 200 meter dari sebuah makam yang dikeramatkan masyarakat, terlebih dahulu ditampung dalam sebuah bak penampungan (berukuran 3 m x 3 m dengan ketinggian 1,5 m dan ketebalan 30 cm) (lihat gambar 1.8, 1.9 dan 1.10), kemudian didistribusikan ke bak-bak penampungan di rumah-rumah masyarakat atau bagi mereka yang tidak mampu membangun bak tersebut cukup dengan memasang pipa atau selang dari bak penampungan tetangganya (lihat gambar 1.12).

Gambar 1. 11. Bak Penampungan Air Masyarakat dari Sumber Air Pantaran

Pipa-pipa tersebut hasil swadaya masyarakat begitu pula dengan tenaga kerja yang memasang pipa di tebingGambar 1. 10. Pipa Distribusi Air tebing gunung. Masyarakat pemanfaat air tersebut tidak Masyarakat yang berasal dari Sumber Air dikenakan biaya bulanan guna perawatan pipa, hanya Pantaran jika ada kerusakan atau pergantian pipa mereka dikenakan biaya sebesar Rp. 10,000 Rp. 15,000, atau berdasarkan kerelaan dan kemampuan membayar.

Gambar 1. 12. Sistem Jaringan Distribusi Air PDAM dan Masyarakat dari Mata Air/Sungai Pantaran
Bak penampungan air pertama dari sungai/MA pantaran

Aliran sungai Pantaran


Pipa jaringan distribusi air ke bak penampungan di rumah-rumah masyarakat Jaringan pipa distribusi air masyarakat

Bendungan PDAM di Pantaran

Pipa distribusi air PDAM dari MA Pantaran ke rumah masyarakat

Bak Penampungan air PDAM dari MA Pantaran yang terletak di Dusun Candisari

Gambar 1. 13. Sistem Jaringan Distribusi Air Bersih Masyarakat dari Air Terjun Sependok
Bak penampungan air pertama dari Air Terjun Sepndok

Aliran Terjun Sependok

Pipa jaringan distribusi air ke bak penampungan di rumah-rumah masyarakat

Jaringan pipa distribusi air masyarakat

10

Gambar 1. 14. Bak Penampungan Air di Rumah Masyarakat

Dengan demikian masyarakat dari 10 desa dan beberapa wilayah lainnya tidak berlangganan air bersih dari PDAM walau pipa PDAM melewati daerah mereka, dengan alasan minimnya kemampuan financial mereka untuk membayar retribusi bulanan. Sedangkan warga desa yang berlangganan terhitung sedikit, seperti contoh di Sebolo hanya 3 KK, Sebengi 5 KK dan Drajut hanya 4 KK. Dari debit air mencukupi kebutuhan masyarakat tersebut akan air bersih, bahkan kecenderungannya berlimpah. Meski demikian model pertanian warga sekitar tadah hujan. Pengamatan di lapangan, tanah tegalan masyarakat ditanami produk unggulan seperti Kopi, Kelapa, Teh, Kenanga dan Kapuk. Sedangkan produk lainnya seperti Jagung dan Tembakau. Alasan atau pertimbangan utama masyarakat tidak memanfaatkan air untuk pengairan tegalan mereka, jika warga bagian atas memanfaatkan air tersebut di luar pemenuhan air bersih maka ditakutkan masyarakat bagian bawah kebutuhan air bersih-nya tidak tercukupi. Tabel 1. 3 Produksi Tanaman Perkebunan Tiap Desa ( Jumlah Pohon ) Kecamatan Ampel tahun 2002 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Desa Ngagrong Seboto Tanduk Banyuanyar Sidomulyo Ngargosari Selodoko Ngenden Ngampon Gondang Slamet Candi Urut Sewu Kali gentong Gladag Sari Kembang Candi sari Ngargoloko Sampetan Ngadirojo Jlarem Kopi (x100) 1221 160 162 90 365 110 85 40 85 90 155 245 1105 150 675 55 1300 265 845 185 The (x100) 1802 40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 10 1200 1030 2600 600 450 1210 Kelapa (x10) 0 100 820 175,5 1145 280 1225 1000 335 1225 560 1910 1070 600 30 0 45 160 230 60 Kapuk 0 350 100 550 600 550 250 350 400 700 250 600 250 250 0 0 0 0 0 0 Kenanga (x10) 0 0 0 450 0 0 0 0 0 0 0 7 290 500 5 0 0 325 0 0

Pola pemanfaatan dan model distribusi air yang demikian sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan sebelum PDAM Kab. Boyolali memanfaatkan sumber air/sungai Pantaran dengan membuat bendungan, masyarakat sudah terlebih dahulu memanfaatkannya.

11

Sistem distribusi air oleh PDAM dilakukan dengan memanfaat gravitasi mengalirkan air melalui pipa distribusi dari sumber air di Pantaran/tempuran kemudian ditampung dalam bak penampungan terletak di Ngagrong di dekat pemukiman penduduk. Bak penampungan ini difungsikan sekaligus sebagai water treatment sebelum didistribusikan ke pelanggan (lihat gambar 1.10 dan 1.13).

Gambar 1. 15. Bak Penampungan Air PDAM dari Sumber Air Pantaran yang Terletak di Dukuh Candisari

Ekosistem Sumber Air dan Pelestarian Lingkungan Sekitar Ekosistem sekitar sungai tempuran, pada bagian atas bukit dan kaki gunung ditumbuhi oleh pohon Pinus dan beberapa pohon besar lainnya, dalam jumlah yang relative kecil. Sebagian besar lahan yang berada di kaki gunung dan di punggung gunung Merbabu terlihat gundul dan tandus.9 Bahkan sungai di tempuran-pun kering, hanya satu sungai saja pada sisi kanan yang aliran air-nya mencapai 1/3 jarak sungai di hitung dari bendungan PDAM hingga Dusun Candisari. Selebihnya air tersebut sudah meresap ke tanah. Demikian halnya yang terjadi pada sungai-sungai di wilayah Kecamatan Ampel mengalami kering, mengapa demikian? Jika ditelusuri sumber aliran air sungai berasal dari gunung Merbabu, sedangkan ekosistem gunung Merbabu tidak mendukung bagi keberlangsungan air bawah tanah dan air permukaan. Hal ini tidak didukung pula oleh konservasi lahan lereng dan kaki gunung merbabu, baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar. Walaupun masyarakat tidak melakukan perusakan lingkungan, namun keberlangsungan air sangat ditentukan oleh environment support system.

Gambar 1. 16. Ekosistem Gunung dan Kaki Gunung Merbabu

Kondisi ini secara riil berdampak pada penurunan debit air dari sumber air di Pantaran yang kemudian mempengaruhi produksi air PDAM Kab. Boyolali. Dari tabel 1.3 dapat dilihat dari tahun ke tahun terjadi penurunan produksi air yang sangat significant dengan kecenderungan tidak adanya hasil produksi seperti pada bulan
9

Tidak adanya database yang memadai dan komprehensif dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kab. Boyolali terkait luas hutan gundul di Gunung Merbabu menyulitkan untuk melakukan analisis tingkat degradasi air dalam relasi dengan menurunnya daya dukung lingkungan sekitar, dalam hal ini hutan di gunung Merbabu

12

Oktober November tahun 2002 dan bulan Juni November 2003. Tabel 1. 4. Data Produksi Air Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Boyolali (dalam m3)

No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

Pantaran
2001 123.906 141.895 151.387 163.358 162.546 155.894 153.203 151.851 146.904 115.869 128.057 105.037 2002 40.447 51.637 35.353 31.687 22.247 13.809 753 1.539 2.222 2.441 2003 14.195 24.260 31.618 12.436 1.602 1.469

13

II.

KECAMATAN BANYUDONO

PENDAHULUAN Kec. Banyudono adalah salah satu kecamatan di kab. Boyolali yang letak geografis lebih rendah dibanding dengan kecamatan lain. Letak geografis demikian menjadikan ketersediaan air di wilayah ini cukup, bahkan cenderung supply air berlebihan. Indikasinya terdapat sebaran mata air hampir di semua wilayah. Bahkan dibeberapa mata air, luapan airnya membentuk sungai mengalir hingga ke wilayah Kartasura. Karena berlimpahnya air di kecamatan maka wilayah ini adalah wilayah pertanian (lihat gambar 2.1). Kontur tanah di wilayah ini tidak bergelombang atau berbukit, sehingga akses ke masing-masing sumber air cukup mudah. Kecamatan Banyudono dijadikan salah satu pilot project mempunyai tujuan menjadi perbandingan dengan wilayah kekeringan lainnya. Secara menyeluruh ekosistem sekitar mata air terdiri dari areal persawahan, pemukiman penduduk, pembibitan ikan dan sebagian kecil tegalan.
Gambar 2. 1. Tata Guna Lahan Kecamatan Banyudono Tahun 2003

KONDISI SOSIAL MASYARAKAT Kondisi sosial-ekonomi masyarakat Banyudono berbeda dengan masyarakat di 3 kecamatan lainnya (Musuk, Ampel dan Wonosegoro). Dari data yang ada menunjukkan bahwa jumlah KK miskin di Kecamatan Banyudono lebih rendah dengan jumlah 4593 KK dibandingkan dengan 3 kecamatan lainnya. Karena letak Banyudono yang berbatasan dengan Kartosuro dan Solo, sehingga masyarakat di Banyudono dapat dikategorikan dalam masyarakat urban.

14

Gambar 2. 2. Peta Sebaran KK Miskin di Kecamatan Banyudono Tahun 2003

UMBUL SUNGSANG Letak Geografis dan Kondisi Fisik Lokasi Mata Air Umbul sungsang terletak di tengah areal pemukiman penduduk, dengan kondisi bangunan yang terbagi dalam 4 bagian, 2 ruang tertutup dan dua ruang terbuka. Dua ruang tertutup masingmasing diperuntukkan untuk mandi laki-laki dan perempuan, sedangkan dua ruangan terbuka di peruntukkan untuk aktivitas mencuci (lihat gambar 2.4). Di umbul ini terdapat beberapa titik mata air, sehingga tidak tergantung hanya kepada satu titik saja. Luapan umbul Sungsang membentuk aliran sungai yang mengalir Gambar 2. 3 Aliran Air Sungai yang Berasal dari hingga ke Klewer-Kartasura (lihat gambar Umbul Sungsang 2.3). Pemanfaatan, Pengelolaan dan Sistem Distribusi Air Secara umum umbul ini dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan non konsumsi, termasuk di dalamnya irigasi pertanian masyarakat Banyudono dan beberapa wilayah lain yang berada di luar Kabupaten Boyolali.

15

Gambar 2. 4 Aktivitas Masyarakat di Umbul Sungsang

Untuk pemenuhan kebutuhan air bersih, masyarakat sekitar umbul ini (desa Bendan) memanfaatkan sumur gali dengan kedalaman 68 meter, bahkan di beberapa wilayah hanya 4 meter. Kondisi ini berbanding terbalik dengan desa yang bersebelahan dengan desa Bendan, tepatnya arah barat yaitu desa Temple dan ke arah Utara yaitu Desa Ketaon dan Desa Tunjungsari, kedalaman sumur di wilayah tersebut mencapai 28-30 meter sampai pada titik mengeluarkan air. Secara geografis di dua wilayah tersebut memiliki kontur tanah yang lebih tinggi. Semakin ke arah Utara sumber air tidak ditemukan, sehingga PDAM Kab. Boyolali untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat mengolah air Sungai Pepe (lihat gambar 1.14). Kedalaman sumur di wilayah ini

berkisar antara 28-30 meter.

Gambar 2. 5. Proses Water Treatment PDAM Kab. Boyolali dari Sungai Pepe

Air Kotor

Prasedimentasi

Koogulasi

Flokkulasi

Reservoir

Disinfektan

Filtriasi

Sendimentasi

Model pengelolaan umbul ini tidak ada yang istimewa, hanya dengan menjaga kebersihan dan keindahan dari bangunan dan lingkungan sekitar mata air, dana operasional tersebut didapatkan dari kotak amal yang diletakkan di depan pintu masuk umbul. Pada musim kemarau debit air umbul Sungsang memang mengalami penurunan debit, akan tetapi tidak begitu signifikan, sehingga masyarakat masih bisa memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan non konsumtif. Walau debit air umbul Sungsang cukup besar, namun tidak dimanfaatkan oleh PDAM kab. Boyolali untuk dijadikan salah satu sumber bagi distribusi air bersih masyarakat. Umbul Sungsang berada dalam penguasaan penuh masyarakat, sehingga setiap kebijakan pengelolaan sumber tersebut baik oleh pihak pemerintah maupun swasta harus berdasarkan persetujuan masyarakat. Hal ini berdasarkan pada kejadian tahun 1998, kebijakan pemerintah daerah Kab. Boyolali dan Pemerintah Daerah Solo berencana memanfaatkan

Gambar 2. 6 Areal yang di Sewa oleh PDAM Solo

16

umbul Sungsang guna distribusi air bersih bagi masyarakat Solo. Melihat dan mendengar kebijakan tersebut, masyarakat sekitar Sungsang melakukan perlawanan dalam bentuk merusak pipa-pipa air milik PDAM yang telah dipasang. Meski pada saat itu pihak PDAM Solo telah membayar sewa lahan yang akan di eksploitasi airnya selama 10 tahun dengan biaya sebesar 25 juta. Dana tersebut oleh masyarakat digunakan masyarakat untuk membangun jalan desa, dan meski rencana PDAM Solo tidak terealisir. Sementara masyarakat Kec.Banyudono Boyolali sendiri yang menggunakan atau memanfaatkan distribusi air PDAM hanyalah sebagian yaitu daerah Tempel bagian barat hingga Kec.Teras. UMBUL PENGGING Sumber ini masih berada diwilayah Bendan Banyudono, hanya sekitar meter 100 m arah selatan dari umbul Sungsang. Umbul ini telah dikelola oleh pemerintah kabupaten Boyolali sebagai obyek wisata dan kolam renang. Di dalam lokasi ini terdapat bangunan-bangunan permanen seperti kolam renang dan pemancingan, banyak terdapat pohon-pohon peneduh. Setiap orang yang masuk ke umbul Pengging dikenai retribusi sebesar Rp.1.200. Di areal ini terdapat sekitar 4 sumber, dan luapan dari umbul ini membentuk sungai yang mengairi areal persawahan di wilayah Banyudono dan Kartasuro. Pada musim kemarau, debit air umbul Pengging tidak mengalami penurunan yang signifikan, sehingga tidak banyak berpengaruh kepada lingkungan dan kehidupan social-ekonomi masyarakat. UMBUL PLANANGAN Umbul Planangan terletak di desa Plumbungan, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Banyudono, berjarak + 10 kilometer arah timur dari umbul Pengging. Lahan di sekitar umbul dan sebelum umbul sangat subur yang oleh masyarakat di tanami dengan Padi dan tanaman holtikultura lainnya. Lokasi dimana umbul di atas tanah milik perorangan, namun oleh sang pemilik, umbul tersebut diperuntukkan bagi masyarakat sekitar untuk pemenuhan kebutuhan mencuci dan mandi (lihat gambar 2.7). Tempat dimana umbul itu
Gambar 2. 7 Bilik di Umbul Planangan yang Dimanfaatkan Masyarakat

berada dibangun bilik-bilik yang masingmasing bilik dimanfaatkan untuk kebutuhan yang berbeda. Berdampingan dengan

bangunan bilik tersebut, terdapat rumah pemilik tanah umbul tersebut, dengan pekarangan yang cukup luas, sebagian pekarangan tersebut dimanfaatkan oleh pemilik untuk pembenihan ikan. Menurut keterangannya di kolam pembibitan ikan terdapat umbul lainnya, jika pipa pralon ditancapkan ke tanah kolam tersebut maka akan mengeluarkan air (lihat gambar 2.8). Kondisi fisik air nampak jernih dan luapan air dari umbul tersebut mengalir ke areal persawahan dan perkebunan di sekitarnya. Pada musim kemarau, sumber-sumber air ini tidak pernah mengalami kekeringan hanya debit air serta volumenya berkurang tapi tidak significant. Pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat diperoleh dari sumur gali yang berada di masing-

Gambar 2. 8. Kolam Pembenihan Ikan

17

masing rumah warga dengan rata-rata kedalaman 4 - 6 meter, bahkan di wilayah tertentu dengan kedalaman 1,5 meter dapat diperoleh air. Pengelolaan mata air dilakukan oleh secara swadaya oleh masyarakat tanpa memungut retribusi bulanan, pengelolaan pada aspek kebersihan, bangunan fisik dan lingkungan sekitar. UMBUL KENDAT Umbul ini terletak tidak jauh dari umbul Planangan, sekitar 300 m arah Utara dari mata air Planangan. Akses jalan menuju lokasi sangat mudah dengan kondisi jalan aspal dapat dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat. Areal sekitar umbul terdapat sawah dan pemukiman penduduk. Umbul Kendat mempunyai 3 buah sumber mata air, dan memiliki tiga buah bangunan utama10 yaitu, buah buah bilik yang tertutup diperuntukkan untuk mandi-cuci perempuan, satu bilik terbuka yang dimanfaatkan untuk mandi laki-laki, dan sebuah bangunan distribusi air bersih untuk KOPPASUS di Kartosuro. Distribusi air dari salah satu sumber dengan menggunakan pipa telah berlangsung lama sejak tahun 1965/1966. Di dekat umbul tersebut, terdapat sebuah petilasan yang keramatkan karena diyakini masyarakat sebagai petilasan Prabu Brawijaya XI. Pemanfaat mata air ini tidak hanya berasal dari masyarakat sekitar, akan tetapi juga masyarakat dari kota lain, seperti Solo dan Kartosuro. Meski demikian masyarakat sekitar tidak mengenakan retribusi bagi Gambar 2. 9 Bak Penampungan Air di Salah satu masyarakat yang berasal dari luar kota Kolam umbul Kendat tersebut. Sedangkan untuk pemenuhan air bersih, masyarakat sekitar memanfaatkan sumur gali dengan kedalaman berkisar antara 6-8 meter. Pada musim kemarau, sama seperti umbul lain di wilayah Banyudono, tidak mengalami kekeringan. Jika terjadi penurunan debitpun tidak begitu significant mempengaruhi pemenuhan kebutuhan non konsumsi masyarakat. Walau di sekitar mata air ini didominasi oleh areal persawahan masyarakat dan tanaman holtikultura lainnya. Justru luapan airnya mengairi sawah dan ladang masyarakat.

Gambar 2. 10 Ekosistem Sekitar Umbul Kendat

10

Bilik-bilik ini dibangun oleh KOPPASUS pada tahun 1966

18

III.

KECAMATAN MUSUK

PENDAHULUAN Kecamatan Musuk terletak di lereng Gunung Merapi berada di antara Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten dan Kecamatan Cepogo serta Kecamatan Mojosongo yang berada di Kabupaten Boyolali. Dengan luas areal 62.277,95 Km dengan ketinggian antara 500-2941 mdpl. Permukaan tanahnya sebagian besar bergelombang dan banyak terdapat sungai, jurang, lembah dengan kemiringan yang terjal. Dengan pemanfaatannya sebagai berikut : Pekarangan 1992.1 ha Tegal/kebun 3830.9 ha Padang gembala 100.6 ha Hutan negara 276.4 ha Tanah lainnya 304.1 ha

Gambar 3. 1. Tata Guna Lahan Tahun 2003

19

Kecamatan Musuk terdiri dari 20 desa yaitu : No 1 2 3. 4 5. 6. 7. 8. 9. 10 Desa Luas (Km) No Desa Luas (Km) Lampar 3.71094 11 Pagerjurang 1.47700 Dragan 2.09636 12 Sukorejo 5.19150 Karanganyar 3.53987 13 Sruni 3.06835 Jemowo 5.68239 14 Cluntang 2.77194 Sumur 2.26155 15 Kembangsari 3.10813 Sangup 3.39728 16 Ringinlarik 3.05440 Mriyan 2.69659 17 Kebongulo 1.34478 Lanjaran 2.63054 18. Musuk 4.00773 Karangkendal 2.69241 19 Sukorame 2.74014 Keposong 4.29063 20. Pusporenggo 2.51546 Jumlah Total luas areal Kecamatan Musuk : 62.27795 Km Sumber : Bappeda Kabupaten Boyolali

Jenis tanah di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali terdiri dari 2 macam: 1. Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol 2. Regosol kelabu

Kependudukan Dari hasil pengamatan di lapangan rumah-rumah penduduk di Kecamatan Musuk terlihat jarang/tidak padat, dengan kepadatan penduduk 915 jiwa/km. Pemukiman padat penduduk dijumpai di Desa Musuk, Sukorame, Pusporenggo, Kebongulo,dan Sukoredjo. Sedangkan sisanya terlihat antara rumah satu dengan yang lainnya saling berjauhan. Jumlah penduduk di Kecamatan Musuk pada tahun 2003 sebanyak 59.480 dengan perbandingan laki-laki 28.756 dan perempuan 30.724 jiwa, mempunyai tingkat pertumbuhan sebesar 0,03% dengan tingkat kemiskinan penduduk ; Pra sejahtera Sejahtera Alasan ekonomi Alasan non Sejahtera 1 Sejahtera II, III, Ekonomi III+ 3.990 5.927 3.241 3.664 Sumber data Boyolali dalam angka tahun 2003 Jumlah 16.882

20

Gambar 3. 2. Sebaran Penduduk Miskin di Kecamatan Musuk

Potensi pertanian dan sumber pendapatan masyarakat Lahan di wilayah Kecamatan Musuk sebagian besar dipergunakan sebagai lahan pertanian masyarakat yang sekaligus juga menjadi mata pencaharian utama masyarakat setempat. Potensi pertanian di wilayah Kecamatan Musuk adalah; Jagung, Kelapa, Cabai, Tembakau, dan Cengkeh. Dari hasil diskusi dengan masyarakat sebagian besar penduduk wilayah tersebut berprofesi sebagai petani dengan perbandingan sebagai berikut:.

21

Pertanian tanaman pangan 4.018 orang

Perkebunan 5.835 orang

Pertanian lainnya -

Komoditi utama pertanian masyarakat wilayah Kecamatan Musuk mayoritas adalah tanaman keras, dengan perbandingan hasil pertanian tersebut adalah seperti ditunjukan pada table berikut: Data hasil produksi pertanian Kecamatan Musuk pada tahun 2003. Jagung 15.331 Ton Ketela 13.021 Ton Padi 4.083 Ton Cabe 99.285 kw Kelapa 1252200 butir Cengkeh 4.267 kw Tembakau 45.4610 kg

Pada areal sekitar lahan pertanian juga banyak pohon sengon dan mahoni yang di tebang untuk dijual. Disamping itu guna menambah penghasilan mereka juga memelihara ternak. Jumlah penduduk yang bekerja pada sector peternakan sebesar 15.761 jiwa. Dengan jumlah hewan ternak : Sapi perah 16.322 ekor Sapi potong 6.861 ekor Kambing 27.107 ekor Ayam buras 73.801 ekor Itik 720 ekor Puyuh 5.000 ekor

Data dari Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Kabupaten Boyolali produksi susu di Kecamatan Musuk pada tahun 2003 adalah yang terbesar dengan jumlah 9.975.038 liter. Sumber pendapatan yang lain penduduk adalah sebagai penambang batu dan pasir. Masyarakat penambang batu dan pasir melakukan penambangan11 secara sporadis, di wilayah yang mempunyai kandungan batu dan pasir, terutama daerah sungai yang kering. Aktifitas penambangan rakyat dilakukan oleh masyarakat setempat sepanjang tahun. Masyarakat Musuk adalah masyarakat yang sangat dekat dengan tradisi budaya leluhur yang diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini terungkap setelah terlihat banyak dijumpai sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat. Mereka mempercayai bahwa hal-hal yang terjadi secara mendadak/tibatiba,itu terjadi atas kehendak jin penunggu tempat tersebut misal; sungai yang tiba-tiba banjir, oleh masyarakat setempat dikatakan banjir tersebut karena mereka Gambar 3. 3 Ekosistem Kec. Musuk tidak/lupa memberi sesajen di tempat itu WILAYAH / LOKASI PENELITIAN Kecamatan Musuk secara administrative masuk dalam wilayah Kabupaten Boyolali, yang terletak di lereng Gunung Merapi. Wilayah tersebut menjadi salah satu sasaran dalam penlitian pemetaan sumber daya air yang didasarkan pada beberapa hal diantaranya yaitu letaknya yang berada di lereng Merapi dimana wilayah Gunung Merapi sebagai salah satu daerah penyangga selain Gunung Merbabu. Di wilayah Kecamatan Musuk juga memiliki potensi kelangkaan air yang
11

Penambangan dilakukan dengan menggali tanah, tebing jurang dan di dasar sungai.

22

terjadi terutama disetiap musim kemarau yang akhirnya juga potensial membawa pada permasalahan lain sebagai ikutan seperti penurunan hasil panen, penurunan tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Dampak dari pemasalahan kelangkaan air tersebut memaksa masyarakat untuk bertindak melakukan beberapa langkah antisipasi menghadapi musim kemarau seperti membuat tandon air di setiap rumah. Sebagian besar desa dari total sejumlah 20 desa yang berada di dalam wilayah Kecamatan Musuk belum dapat dilayani oleh PDAM dalam hal pemenuhan kebutuhan air bersih. Di Kecamatan Musuk12 hanya desa Pusporenggo dan desa Musuk yang mendapatkan pelayanan dari PDAM. Menurut PDAM desa-desa yang tidak terjangkau pelayanannya disebabkan oleh kontur tanah di wilayah yang belum terlayani berbukit. Sedangkan wilayah pemukiman atau desa-desa yang belum terlayani tersebut terletak pada posisi yang lebih tinggi dari sumber air yang ada. Sehingga untuk mendistribusikan air tersebut diperlukan fasilitas khusus seperti pompa, reservoir, sehingga mengakibatkan biaya produksi air menjadi tinggi. Karena pelayanan PDAM baru mencapai sebagian kecil Kecamatan Musuk, yaitu Desa Musuk dan Pusporenggo, maka praktis, masyarakat diluar kedua wilayah desa tersebut harus mengupayakannya secara swadaya. Beberapa altenatif yang dilakukan oleh masyarakat dalam upayanya memenuhi kebutuhan air bersih adalah dengan: Membuat bak penampungan air hujan. Membeli air yang dijual oleh pihak tertentu dengan menggunakan mobil tangki. Memanfaatkan sumber air di lereng Gunung Merapi. Memanfaatkan air dari sumber air yang ada di wilayah dusun/dukuh setempat. Membuat sumur gali. Membeli hak atas mata air. Memanfaatkan bantuan yang diberikan oleh lembaga lain dan pemerintah. Upaya pemenuhan air tersebut oleh masyarakat di wilayah Kecamatan Musuk mengalami perubahan. Terutama perubahan yang terjadi pada tahun 1996 dimana masyarakat di beberapa desa berinisiatif untuk mengalirkan air di sumber-sumber yang memiliki debit relative besar ke wilayah pemukiman dengan memanfaatkan efek grafitasi. Sementara langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyikapi kondisi kelangkaan air yang biasa terjadi, masih berupa langkahlangkah yang bersifat temporer, dan belum mencakup upaya praktis kearah pemeliharaan kelestarian Gambar 3. 4 Sumur Bor di Desa Lampar lingkungan. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah selama ini diantaranya yaitu : 1. Melakukan dropping air ke wilayah-wilayah tertentu saja dalam jumlah yang sangat terbatas. 2. Membuat sumur bor.

12

Musuk pada tahun 1949 merupakan basis MMC( Merapi Merbabu Complek ) ini adalah sekelompok penjahat yang meresahkan berbagai kalangan masyarakat, dengan aksi-aksi perampokan, penjarahan dan pembunuhan yang dipimpin oleh Suradi Bledek. Mereka tidak segan-segan untuk menghabisi nyawa bagi siapa saja yang menghalangi aksi perampokan dan penjarahan yang mereka lakukan. Pada tahun 1950 gerombolan tersebut di susupi oleh orangorang PKI Muso yang berbasis di Madiun. Kemudian makin merajalela aksi yang dilakukan, hanya saja sejak saat itu hasil kejahatan yang mereka lakukan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang kurang mampu. Di tahun 1951 satuan keamanan yang dipimpin oleh Ranu Wiryo ditugaskan memberantas kegiatan gerombolan tersebut. Pada tahun 1952 MMC bubar dan sebagian pengikutnya masuk menjadi anggota partai PKI yang memenangkan pemilu waktu itu.

23

Secara geologis, wilayah Kabupaten Botolali pada umumnya dan secara khusus di Kecamatan musuk memiliki keunikan tersendiri yaitu terdapat lapisan bantuan yang menyulitkan dalam proses pembuatan sumur gali. Selain dari kantong air yang berada jauh di kedalaman. Terdapat 16 sumber-sumber air yang dapat di indentifikasi di wilayah Kecamatan Musuk. Sumber-sumber tersebut tersebar di 8 desa, yaitu Clutang, Mriyan, Lanjaran, Sangup, Sumur, Musuk, Sukorame dan di Lampar. Keseluruhan sumber air tersebut berada pada tebing dan dasar sungai kering. Debit airnya pun sangat kecil hanya berupa rembesan-rembesan yang keluar dari tebing batu. Air yang keluar dari sumber tersebut memiliki kecenderungan menyusut secara kuantitas karena pengaruh yang dimunculkan oleh musim kemarau. Sumber-sumber air yang teridentifikasi adalah sebagai berikut: No
1 2

Desa
Cluntang Mriyan

Sumber Air
Kali Jelok Sorkaman Kali Celeng Gua Kali Pusung

Debit
Tetap Tetap Tetap Tetap Kering Tetap Cenderung kering Kering Tetap Tetap Cenderung kering Tetap Cenderung kering Menyusut Tetap Tetap Tetap Kering Kering

Lokasi
Lereng Lereng Dasar sungai Dasar sungai Dasar sungai Dasar sungai Dasar Sungai Dasar sungai Tebing Dasar sungai Lereng Dasar sungai Lereng Dasar sungai Dasar sungai Dasar sungai Ditengah pemukiman penduduk Ditengah Pemukiman Didaerah tegalan

Desa Pengguna
Jelok, Nglendang Tegalrejo, Kawengen Kawengen Pandean, Tegalrejo, Bakalan Pandean, Bakalan, Tegalrejo Motong, Songgo Bumi Lanjaran, Sambirejo Kasut Kasut, Sudimoro Karangrejo Wonokembang, Karanglo Wonokembang, Karanglo Sumur, Jemowo Kintel, PDAM, Poko Pelem, Tegal weru Pelem, Kab Klaten Lampar, Soko, Kab Klaten Lampar, Kab Klaten Lampar,

Ekosistem
Beringin, Ipik, Beringin, Bambu, Perdu. Beringin, Bambu, Ipik Perdu Beringin, Aren Beringin, Perdu Beringin, Aren Beringin, Bambu Beringin Beringin, ipik Beringin, Sengon, Bambu Beringin, Ipik, Bambu, Sengon Bulu, Jati, Bambu Mahoni, Cengkeh, Bambu, Durian Beringin , Bambu, Sukun, Duren Beringin, Munggur, Bambu Sengon, Mahoni, Beringin, Kelapa, Doyo, Serut, Bambu Rumput Kolonjono Rumput Kolonjono,Ketela.

3 4

Lanjaran Sangup

Songgo Bumi Kali Lanjaran Kali Bendo Kali Gondang Kali Keduk Lepen Buk Kali Gede

5 6

Sumur Musuk

Sumur Sungai Kintel Sungai Karanglo

7 8

Sukorame Lampar

Kali Sombo Balong Soko Balong Gebang Balong Randu Kuning

Sumber air tersebut oleh masyarakat sebagian masih dimanfaatkan dan dikeramatkan sesuai dengan tradisi dan kepercayaan local. Bentuknya adalah dengan pemberian sesajen dan, melakukan ritual-ritual pada setiap tahun dan, bulan tertentu. Diyakini oleh masyarakat, jika hal tersebut tidak dilakukan maka sumber air tidak mengeluarkan air lagi. Bahkan jika terjadi bencana yang melanda desa mereka, diyakini juga akibat sesajen yang diberikan kurang lengkap. Ekosistem

24

Ekosistem wilayah Kecamatan Musuk dimana sebagian besar lahan didalam wilayah tersebut adalah lahan pertanian (lahan kering), maka membuat kondisi Musuk menjadi relative gersang dan terbuka, terutama pada musim kemarau. Sementara wilayah yang tidak diperuntukkan sebagai lahan produksi seperti areal hutan sangat sedikit jika dibandingkan dengan luas Kecamatan Musuk secara keseluruhan. Dari total luas lahan hutan sejumlah 276.4 ha, dimana hutan tersebut merupakan hutan lindung milik Perhutani di wilayah Kecamatan Musuk. Tersebar di tiga desa yaitu Mriyan seluas 15,00 Ha, Cluntang 125,00 Ha, dan Sangup 136,4 Ha. Hutan tersebut didominasi oleh tanaman Pinus dan Akasia,selain ditumbuhi rumput Kolonjono yang ditanami oleh warga sekitar hutan. Areal hutan lindung tersebut terutama yang terletak di Mriyan dan Sangup, banyak diantaranya dibuka untuk dijadikan lahan pertanian oleh masyarakat. Praktek illegal tersebut berjalan karena adanya kerjasama antara mandor hutan dengan masyarakat dengan system bagi hasil sebagai kompensasinya. Saban13 ditanami oleh masyarakat dengan tanaman produksi, seperti jagung, tembakau dan rumput kolonjono. Mekanisme pengelolaan areal saban tersebut dilaksanakan oleh aparat desa dengan cara disewakan pada masyarakat desa seharga Rp.250.000,00/perpetak14 selama periode waktu empat tahun. Hingga saat ini pola pengelolaan tersebut masih terjadi kontroversi di kalangan masyarakat desa sejak tahun 1992 terutama di wilayah Mriyan, karena banyak lahan saban yang dijual oleh aparat desa, dan ketidak jelasan arus keuangan pembayaran sewa saban dari masyarakat. Sarana Kesehatan Sarana kesehatan masyarakat di wilayah Kec Musuk desa Mriyan, Cluntang, dan Sangup sangat sulit di akses karena terbatasnya petugas kesehatan. Setiap desa hanya mempunyai satu Bidan desa dan Polindes ( poliklinik desa ).sedangkan untuk ke Puskesmas I mereka harus ke dukuh Drajitan di desa Sruni dengan jarak +/3km,dengan melalui jalan batu, tanah yang naik turun. Sedangkan puskesmas ke II berada di Desa Karanganyar, serta tidak terdapatnya puskesmas keliling. Menurut informasi yang dikeluarkan dari kantor BKKBN Boyolali, tingkat kematian di wilayah Kec Musuk cukup tinggi. Sebagai perbandingan : Gambar 3. 5 Hutan Lindung Condro Geni
Tabel 3. 1. Tingkat Kematian Penduduk di 4 Kecamatan Kabupaten Boyolali Tahun 2003

Penduduk pertengahan tahun 2003 Musuk 59341 Ampel 68763 Banyudono 44987 Wonosegoro 52895 Sumber data Boyolali dalam angka 2003 PROFIL DESA DI KECAMATAN MUSUK DESA CLUNTANG

Kecamatan

Tingkat kelahiran per seribu penduduk 3.8 6.1 8.0 11.0

Tingkat kematian per seribu penduduk 2.0 3.9 3.8 5.5

Saban adalah istilah yang digunakan masyarakat untuk menyebut tanah kas desa yang berada di dekat hutan lindung. 2 Satu petak seluas limaratus meter persegi.
13

25

Desa Cluntang terletak di sebelah utara dan sebelah barat Kecamatan Musuk dan terletak pada wilayah yang memiliki ketinggian antara 1000 2689 mdpl membuat iklim di wilayah Desa Cluntang sejuk. Salah satu sisi desa Cluntang berupa hutan yang berlokasi di Bukit Bibi. Pada umumnya masyarakat di desa tersebut bermata pencaharian sebagai petani yang mengolah lahan tegalan yang ditanami tanaman produksi berupa jagung, bunga mawar, tembakau dan sayuran. Lahan pekarangan di rumah-rumah penduduk didominasi tanaman cengkeh. Masyarakat juga memelihara sapi perah yang pakannya, berupa dedauanan dan rumput kolonjono yang di dapat dari areal hutan dan tegalan. Dengan kontur tanah yang berada di lereng gunung pada umumnya berbukit dan memiliki kemiringan yang tinggi. Fasilitas jalan desa yang ada di wilayah tersebut adalah jalan macadam dan sebagian sudah beraspal. Dukuh Jelok, Desa Cluntang. Desa Cluntang terdapat areal hutan lindung yang berada di dukuh Jelok yang dihuni 44 kepala keluarga. Hutan tersebut didominasi oleh tanaman pinus dan akasia. Masyarakat juga menanam rumput kolonjono di saban dan hutan.Model penanaman rumput kolonjono dilakukan dengan cara tumpang sari pada areal hutan. Sedang pada areal saban rumput ditanam pada batas petak, meskipun ada yang khusus menanami petaknya dengan rumput. Bukit Bibi dimana letak hutan lindung tersebut, pada bagian atas adalah lahan tandus yang tidak bisa Gambar 3. 6 Ekosistem Dukuh Jelok Desa Cluntang ditanami. Areal lahan tandus itu hanya terdapat batu-batuan dan pasir, yang oleh masyarakat setempat disebut Pasar Bubrah. Jarak antara Pasar Bubrah dengan Dukuh Jelok 5 km melewati jalan yang hanya bisa di lalui dengan berjalan kaki. Potensi dan Keberadaan air Desa Cluntang memiliki potensi air yang relatif minim. Menurut keterangan masyarakat setempat, hanya ada satu sumber air yaitu mata air Kali Jelok, yang sempat menjadi andalan masyarakat dalam upayanya memenuhi kebutuhan air bersih. Mata air Kali Jelok terletak di sisi Timur Desa Cluntang, tepatnya di Dukuh Jelok. Karena wilayah Desa Cluntang berada pada kontur tinggi, dan sumber air yang digunakan PDAM berada di wilayah bawah, maka pelayanannya tidak sampai Desa Cluntang Secara singkat, kondisi mata air Kali Jelok seperti dijelaskan dibawah ini: Mata air : Kali Jelok Kondisi Fisik: Mata air Jelok terletak di lereng Bukit Bibi, secara fisik terdiri dari 2 bak penampung yang untuk menampung air yang mengalir dari dalam bukit. Pada kolam pertama, terbuat dari tanah dan batu berukuran 2x2 m, air berasal dari sela-sela akar pohon Bulu yang terdapat disisi kolam. Sedangkan kolam ke dua yang berukuran 0,5x4m airnya berasal dari sisi tebing bukit Bibi. Posisinya berada di sisi jalan setapak sebagai salah satu jalan alternatif yang menghubungkan Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo. Air dari sumber tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat di Dukuh Jelok dan Dukuh Nglendang15 untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Jarak yang ditempuh masyarakat di 2 dukuh tersebut menuju mata air Kali Jelok antara 200 m 1,5 km.
15

Dukuh Nglendang terletak di Kecamatan Cepogo dan dukuh Jelok ,Kecamatan Musuk yang hanya dibatasi hutan lindung, dan jurang.

26

Karena jumlah pengguna air dari masyarakat di 2 dukuh yang cukup banyak, tidak sebanding dengan debit air yang dimiliki mata air Kali Jelok sehingga memaksa masyarakat untuk menghemat penggunaan air. Penghematan yang dilakukan masyarakat dengan cara, aktifitas mandi setiap 3 hari sekali dan cuci pakaian setiap satu minggu sekali. Masyarakat yang akan menggunakan mata air Jelok biasanya mulai mengantri dari pukul 04.00 WIB, dan baru mendapatkan air pukul 07.00 WIB. Cara pemanfaatannya masih tradisional yaitu dengan mengangsu dengan menggunakan jerigen ukuran 40 liter. Saat ini air dari sumber air Jelok hanya sebagai alternatif bagi masyarakat yang digunakan ketika aliran air dari merapi mengalami gangguan biasanya berupa pipa saluran yang pecah, macet. Meskipun sumber tersebut saat ini sudah jarang dipergunakan lagi, penduduk setempat masih merawat, dan membersihkan sumber air Jelok. Setiap tahun pada hari Rabu kliwon bulan Rojab menurut kalender Jawa. Ekosistem Ekosistem sumber air Jelok terlihat masih rimbun pada bagian sisi atasnya, akan tetapi pada bagian bawah hanya terdapat tumbuhan perdu. Jurang dibawah sumber air banyak batu batu yang besar, dan hutan lindung yang berada di atasnya didominasi tanaman Pinus dan Akasia. Sumber air Jelok berada di wilayah saban Gambar 3. 7 Mata air Kali Jelok (tanah kas desa) Hewan liar kera banyak terdapat pada areal saban, hewan tersebut mencari makan di ladang jagung milik penduduk. Kondisi tersebut dikeluhkan oleh penduduk karena kera-kera tersebut memakan jagung petani. Masyarakat petani ladang jagung biasanya mengusir kera-kera dengan menggunakan anjing peliharaan. Warga Dukuh Jelok juga memanfaatkan areal saban dengan ditanami jagung, rumput kolonjono dan tembakau. Jalan menuju ke lokasi sumber air melewati ladang penduduk, yang ditumbuhi pohon jagung, ketela, sayur-sayuran dan rumput kolonjono. Sedangkan pohon Bulu dan Kantil Merah tumbuh di tanah atas batu besar yang ada di bak penampung air yang pertama sedangkan, pada bak kedua pada bagian bawah nya tumbuh pohon Ipik. Sedangkan rumah warga terdekat berjarak -/+ 200 m dibagian atas sumber air.

Gambar 3. 8 Hutan lindung yang gundul di Desa Cluntang

27

Air Bersih Masyarakat Pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat Dukuh Jelok, pada periode sebelumnya memanfatkan aliran Kali Jelok tetapi untuk periode berikutnya hingga saat ini, memanfaatkan air yang berasal dari sumber air di lereng Gunung Merapi. Karena jarak tempuh yang jauh, dan membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu 6 jam perjalanan pulang-pergi dengan berjalan kaki, maka atas inisiatif masyarakat setempat, dilakukanlah upaya untuk mendekatkan air tersebut ke pemukiman di dukuh Jelok. Model distribusi yang diterapkan yaitu dengan menampung air tersebut ke dalam bak penampung utama di dukuh Wonodoyo kecamatan Cepogo selanjutnya, dialirkan menggunakan pipa PVC inci, menuju reservoir pembagi di dukuh Jelok Desa Cluntang. Kemudian dialirkan dengan mengunakan pipa menuju ke 4 reservoir di dukuh Jelok. Seluruh pembagunan reservoir dan, jaringan pipa dilakukan secara swadaya masyarakat Jelok pada tahun 1994. Sementara untuk perawatan fasilitas yang ada berupa pipa dan reservoir tersebut, penduduk Jelok dikenai biaya Rp. 1.000/bulan, sedangkan pengelolaanya dipercayakan pada UPS ( Unit Pengelola Sarana ) dan Tirta Merapi Abadi ( organisasi masyarakat pengguna air dari gunung Merapi ). Air yang yang tertampung di masingmasing reservoir itulah yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan cara mengambilnya dengan menggunakan jerigen berkapasitas 40 liter. Sedangkan untuk aktifitas mandi dan cuci, mereka memanfaatkan bilik yang dibangun menempel pada reservoir. DESA SRUNI Desa Sruni terletak berada bersebelahan dengan desa Cluntang, secara umum, kondisinyapun serupa. Meskipun mata pencaharian utama sebasgai petani, tetapi kondisi kelangkaan air juga diderita oleh masyarakat setempat. Adapun komoditi pertanian yang mendominasi wilayah tersebut adalah Jagung, Tembakau. Tidak ditemukan satupun mata air di dalam wilayah Desa Sruni sehingga dalam memenuhi kebutuhan air bersih Gambar 3. 9 Reservoir Penampugan air dari Gunung Merapi penduduk desa Sruni memanfaatkan air hujan yang ditampung menggunakan di Desa Cluntang tandon air. Tandon air tersebut ratarata berukuran 6 x 4 x 3 m atau mampu menampung air sebanyak 72 M. Volume air sejumlah itu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat selama 3-4 bulan. Pada tahun 2000 masyarakat Dukuh Condro Bawuk, Desa Sruni pernah mencoba mengalirkan sumber air dari dukuh Jelok, akan tetapi air setelah di bawa ke dukuh Condro Bawuk berubah warna mejadi merah. Tidak ada yang mengerti kenapa air berubah warna. Karena terjadi perubahan warna itu pula maka upaya tersebut tidak dilanjutkan. Alternatif lain yang dilakukan oleh masyarakat setempat adalah dengan mengalirkan air yang berasal dari sumber air Pedut, dengan mengalirkannya melalui pipa PVC pada tahun 2002 . Kondisi Ekosistem desa Sruni relatif serupa dengan wilayah disekitarnya seperti desa Mriyan dan Cluntang, dimana jarang terdapat pohon besar. Banyak lahan yang tidak dimanfaatkan secara maksimal menyebabkan, desa terlihat sangat gersang dan panas. Pohon pohon tahunan/keras hanyalah pohon cengkeh yang ditanam pada pekarangan rumah-rumah penduduk.

28

Gambar 3. 10 Sistem Distribusi Air dari Mata Air Merapi ke Kecamatan Musuk dan Cepogo

Mata air Tirta Merapi Abadi

Lereng Gunung Merapi

Reservoir Dukuh Jelok

Reservoir pembagi air di Dukuh Ngelendong Kec. Cepogo

Reservoir dukuh Kujon Kec. Cepogo Reservoir dukuh Ngelendong Kec. Cepogo

Reservoir dukuh Wonosari Kec. Cepogo

Reservoir dukuh Taring Kec. Cepogo

Reservoir dukuh Gatakan Kec. Cepogo

Reservoir dukuh Wonodoyo Kec Cepogo

29

DESA MRIYAN Seperti telah di tulis pada bagian sebelumnya bahwa desa-desa yang terletak dalam satu kawasan seperti Mriyan, Cluntang, Sruni, memiliki kemiripan kondisi. Baik ekosistem wilayah, mata pencaharian penduduk, dan komoditi pertanian serta kondisi kelangkaan air bersih yang melanda terutama pada saat musim kemarau. Desa Mriyan yang terletak pada posisi ketinggian 1155-1838 mdpl digunakan sebagai tempat untuk membangun kolam reservoir pembagi dari air yang berasal dari sumber air Pedut, sebelum di distribusikan ke 4 desa lain yang terletak lebih rendah. Air Bersih Masyarakat Pada awal tahun 1970 masyarakat dukuh Kawengen membangun bak tandon air hujan, untuk menampung persediaan air di musim kemarau. Meskipun sama-sama mendapatkan pasokan air dari gunung Merapi desa Mriyan mendapatkan air yang berasal dari mata air Pedut16. Model pendistribusian air dari sumber Pedut di Desa Mriyan sama seperti yang dilakukan di desa Cluntang, yaitu menampung air terlebih dulu di reservoir utama yang terletak di dukuh Kawengen, Desa Mriyan. Pola distribusi air dari sumber Pedut dapat di lihat pada skema distribusi air dari mata air Pedut. Dengan dibangunnya beberapa reservoir tersebut maka warga Kawengen, tidak perlu lagi mengambil air dari sumber air secara langsung cukup berjalan menuju ke reservoir terdekat mereka sudah mendapatkan air yang dibutuhkan. Namun pada awal proyek pengaliran air Pedut ke Kawengen tidak mudah dan, mendapat tentangan dari Camat Cepogo waktu itu. Tentangan tersebut tidak menyurutkan niat bpk Martono sebagai pemrakarsa proyek, dan dukungan warga Kawengen berupa dana sebesar Rp 58. 000 / KK guna pembelian pipa PVC. Sejak saat itu masyarakat Dukuh Kawengen membayar Rp 500 / KK untuk biaya perawatan yang dikelola oleh UPS setempat. Sama halnya pada dukuh Jelok warga Kawengen juga mempunyai organisasi pengguna air yang bernama Tirta Merapi I.
Gambar 3. 11 Mata Air Pedut

Potensi dan Keberadaan Sumber Air. Desa Mriyan terdapat lima sumber air, yang terletak di dukuh Kawengen dan dukuh Gobumi: 1. Mata air Sorkaman. 2. Mata air Kali Guo. 3. Mata air Kali Pusung. 4. Mata air Kali Celeng. 5. Mata air Gobumi/Songo Bumi. Tiga dari lima sumber air tersebut mempunyai debit konstan, sedangkan dua lainnya cenderung kering pada musim kemarau. Sejak tahun 1996 sumber-sumber air tersebut tidak lagi dimanfaatkan oleh masyarakat, sebab kebutuhan air bersih mereka telah tercukupi dengan adanya pengaliran air dari mata air Pedut.

16

Mata air Pedut berada di Dukuh Wonodoyo Kecamatan Cepogo dengan ketinggian 1499mdpl

30

Tabel 3. 2 Tabel sumber air yang terdapat di Desa Mriyan


No 1 2 3 4 5 Nama Mata Air Sorkaman. Kali Celeng Kali Guo Kali Pusung Kali Songgo Bumi Lokasi Berada dilereng Dasar kering Dasar kering Dasar kering Dasar kering sungai Sungai Sungai Sungai Kondisi Kualitas Kuantitas Kecoklatan Tetap Jernih Jernih kecoklatan fluktuatif Tetap Kering Tetap Ekosistem Bamboo, beringin, perdu Beringin, Bambu, Ipik Perdu Beringin, Aren Perdu, Beringin Wilayah Pengguna (Dukuh/Dusun) Kawengen, Tegalrejo Kawengen Pandean, Bakalan, Tegalrejo. Pandean, Bakalan, Tegalrejo. Gobumi, Motong, Songgo.

Sejak masyarakat mengalihkan pemanfaatan air dari mata air local ke pemanfaatan dari reservoir pada tahun 1996, masyarakat tidak perlu lagi menempuh jarak yang jauh untuk mengambil air yang pada saat sebelumnya hal tersebut selalu dilakukan setiap harinya sejak jam 03.00 pagi. Ekosistem Ekosistem di Kawengen hampir sama dengan dukuh Jelok. Dimana terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu areal dengan vegetasi tanaman hutan, dan tanaman pertanian. Areal hutan lindung dengan vegetasi tanaman Pinus dan Akasia, dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Condro Geni. Menurut warga setempat sebelum tahun 1935 pada areal hutan terdapat dukuh yang bernama Condro Geni. Penduduk tidak ada yang tahu penyebab warga Condro Geni meninggalkan dukuhnya. Pada wilayah dimana dukuh Condro Geni berada, menurut warga terdapat mata air yang ditutup dengan panci oleh seorang yang sakti. Menurut mitos yang berkembang apabila mata air tersebut tidak ditutup, maka akan terjadi banjir yang Gambar 3. 12 Mata Air Sorkaman di Desa Mryan bahkan menggenangi Kecamatan Boyolali. Dibawah hutan lindung Condro Geni terdapat saban yang ditanami jagung, ketela, tembakau, dan rumput kolonjono. Satwa liar yang terdapat di hutan Condro Geni didominasi oleh kera, dan beberapa ekor kijang, yang mereka mencari makan di ladang jagung milik penduduk. Hal ini disebabkan tidak adanya makanan di dalam hutan lindung. Sedangkan empat sumber air di Desa Mriyan terdapat di dasar sungai, yang Ekosistemnya hanya ladang-ladang jagung, dan tembakau yang berada pada bagian lereng dan tebingnya. Pohon besar seperti beringin, sengon, mindi, mahoni, bambu juga terdapat pada areal tersebut dalam jumlah yang sedikit. Pada daerah dimana kelima sumber air di Desa Mriyan berada, adalah merupakan lahan gundul, yang tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh penduduk setempat. Masyarakat justeru memanfaatkan areal hutan Condro Geni untuk berladang, dengan sistim bagi hasil dengan mandor hutan. Praktek tersebut serupa dengan yang terjadi di Desa Cluntang, dan Sangup.

31

Gambar 3. 13 Lahan gundul di desa Mryan

32

Gambar 3. 14 Sistem Jaringan Distribusi Air Masyarakat dari Mata Air Sungai Pedut Kec. Cepogo Bak Penampungan air dari mata air sungai Pedut

Mata air terletak di dasar sungai Pedut

Pipa jaringan distribusi air masyarakat

Reservoir pembagian air di Mriyan

Reservoir Lanjaran

Reservoir Sangup

Reservoir Sumur

Reservoir Mriyan

Masyarakat mengambil air dengan menggunakan jerigen di reservoirreservoir yang ada

33

DESA SANGUP Desa Sangup terletak di lereng gunung Merapi yang memiliki ketinggian 1541 mdpl dengan suhu udara rata-rata adalah 26C. Jumlah penduduk didesa Sangup adalah 2517 jiwa yang terbagi antara laki-laki 1147dan perempuan 1373 orang terdiri dari 663 KK. Secara administrative, Desa Sangup terdapat 19 Dukuh dan 4 Rw/27 Rt yang tersebar di 4 Dusun. Terdapat beberapa sumber air alam yang terdapat di wilayah Desa Sangup, dengan kondisi yang relative baik, secara kuantitas oleh sebab itu sebagian masyarakat masih ada yang memenuhi kebutuhan air bersihnya dari sumber tersebut. Air Bersih Masyarakat Dari 19 dukuh di Desa Sangup terdapat 3 dukuh yang terletak pada posisi paling ujung Timur, yaitu Dukuh Kasut, Karangrejo, dan Sudimoro yang tidak terjangkau distribusi air dari reservoir Desa Sangup. Kondisi demikian terjadi karena 3 dukuh tersebut terletak pada posisi yang lebih tinggi ketimbang dukuh-dukuh lainnya, sehingga air tidak dapat mencapai wilayah dimana dukuh tersebut berada. Masyarakat di tiga dukuh tersebut dalam memenuhui kebutuhan air bersih, masih memanfaatkan sumber sumber air di dekat wilayah mereka. Sumber air air yang berada di wilayah Desa Sangup:
No Nama Mata Air Lokasi Kondisi Kualitas Kuantitas Ekosistem Wilayah pengguna (Dukuh/Dusun)

1 2 3 4 5

Kali Buk Kali Bendo Kali Gondang Kali Keduk Kali Gede

Lereng Dasar sungai kering Tebing Dasar sungai kering Tetap

Kecoklatan Jernih Jernih Jernih

Cenderung mengering Kering Tetap Tetap Tetap

Beringin, Sengon, Bambu Beringin, Bambu Beringin Beringin, Ipik Beringin, Ipik, Sengon, Bambu

Wonokembang, Karanglo kasut Kasut, Sudimoro Karangrejo Wonokembang, Karanglo

Gambar 3. 15 Mata Air Kali Buk di Desa Sangup seharga Rp 110.000/dengan kapasitas 5000 liter.
17

Dari 5 sumber air yang teridentifikasi di dalam wilayah Desa Sangup, hanya 3 yang masih digunakan hingga saat ini yaitu Kali Keduk, Kali Gondang dan Kali Bendo. Apabila terjadi kemarau panjang seluruh sumber air yang ada di wilayah ini mengering. Sehingga memaksa masyarakat ketiga dukuh untuk mengambil air di Kali Bebeng17. Upaya lain adalah dengan cara membeli air dari mobil tangki yang airnya berasal dari Desa Karang Malang, Kabupaten Klaten

Kali bebeng terletak di Kabupaten Klaten berjarak 3 km dari dukuh Kasut desa Sangup

34

Masyarakat pengguna sumber air di desa Sangup hanya terbatas pada tiga dukuh, sedangkan 16 dukuh lainnya mendapatkan aliran air dari Pedut. Seperti pengguna air dari Pedut lainnya, masyarakat dikenai beban biaya perawatan masing-masing sebesar Rp 1.000/bulan. Pengelolaannya pun diserahkan ke UPS, dan mereka juga memiliki organisasi pengguna air Pedut bernama Tirta Merapi II. Konflik pernah terjadi terhadap pembagian air dari Pedut, penduduk dukuh Wonokembang desa Sangup, dituduh warga desa Sumur melakukan kecurangan dalam membagi air yang menuju ke wilayah desa Sumur. Meskipun sempat terjadi ketegangan diantara dua desa tersebut, tetapi tidak sampai bentrok fisik. Dalam kondisi kelangkaan air di wilayah tersebut, langkah yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Boyolali untuk mentikapinya hanya terbatas pada dropping air. Dropping tersebut hanya sejumlah 8 tangki selama musim kemarau berlangsung. Bantuan tersebut di khususkan untuk daerah Kasut, Karangrejo dan Sudimoro di desa Sangup. Jumlah tersebut jelas sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan air bersih di ke 3 dukuh tersebut, hal tersebut disampaikan oleh warga Dukuh Kasut. Desa Sangup berada pada posisi paling bawah di sebelah barat Kecamatan Musuk. Dari 20 desa di wilayah Kecamatan Musuk hanya Desa Sangup, Desa Mriyan dan Cluntang yang masih mempunyai areal hutan lindung. Tetapi apabila dilihat lebih jauh terdapat ladang-ladang jagung dan tembakau di dalam areal hutan. Ladang-ladang yang terdapat di areal hutan lindung di Desa Sangup, adalah yang terluas jika dibandingkan desa Cluntang dan Mriyan. Sedang pada bagian bawah terlihat gersang, sama seperti desa Cluntang dan Mriyan. Pohon keras pada wilayah bawah hanya didominasi oleh cengkeh yang ditanam di lahan pekarangan rumah mereka. Pada tahun 2004 desa Sangup mendapatkan bantuan bibit pohon miu dan alpokat dari pemerintah melalui GN-RLH. Penanaman bibit pohon miu dan alpokat bertujuan untuk menghijaukan wilayah seluas 25 Ha di desa Sangup. Tetapi masyarakat sampai sekarang belum mendapatkan bibit yang dijanjikan pemerintah tersebut.

Gambar 3. 16 Saban di Desa Sangup

DESA LANJARAN Letak Desa lanjaran berada dibawah Desa Mriyan dan Cluntang pada ketingian 600 mdpl. Desa Lanjaran dengan luas 263.1486 m2 terdiri dari tegalan ; 146.9026 Ha, pekarangan 635.731 Ha dan sisanya adalah fasilitas umum. Jumlah penduduk desa Lanjaran pada Desember 2003 berjumlah 1.876 jiwa yang terbagi ; 900 laki-laki, dan 976 adalah perempuan, tersebar di 15 dukuh dengan mata pencaharian utama sebagai petani.

35

Desa Lanjaran pada setiap musim kawolu18di setiap tahunnya mengalami musibah angin ribut. Pada tahun 1984 merupakan meupakan tahun yang terburuk bagi Desa Lanjaran, karena bencana angin ribut yang paling parah terjadi pada wilayah ini. Rumah-rumah yang terdapat di dukuh Sambirejo rata dengan tanah disapu angin,dan pohon pohon tumbang. Pemerintah pada waktu itu memberikan bantuan 1000 buah genteng untuk setiap rumah yang roboh,dan 1kg paku serta 2 zak semen. Bencana angin tersebut bersamaan dengan hujan abu dari gunung Merapi yang datang disertai hujan yang cukup deras. Hujan abu dari gunung merapi berlangsung selama 3 hari membuat jarak pandang tebatas karena terhalang abu, sedangkan masyarakat banyak yang mengalami gangguan pernapasan ringan. Sebenarnya tidak hanya Desa Lanjaran saja yang dilanda angin ribut, karena desa desa yang lain di Kecamatan Musuk juga mengalami bencana angin ribut yang datang setiap tahun. Tidak adanya vegetasi yang melindungi Desa Lanjaran mejadikan bencana tersebut menjadi sebuah bencana yang besar. Potensi Sumber Air Seperti kondisi sebagian besar desa-desa di Kecamatan Musuk desa Lanjaran keberadaaan potensi sumber air sangat terbatas. Kondisi potensi kederadaan sumber air tersebut sama dengan kondisi yang ada pada Desa Cluntang. Dimana hanya terdapat satu lokasi mata air yang terletak di dukuh Sambirejo. Masyarakat penggunanya hanya terbatas pada masyararakat dukuh Lanjaran dan dukuh Sambirejo. Mata air Kali Lanjaran Kondisi fisik : Mata air Kali Lanjaran merupakan sebuah kompek sumber-sumber air yang terletak pada dasar sungai. Terdapat 4 mata air yang saling berdekatan satu sama lain yang berjarak 3 meter. Satu dari empat mata air yang mempunyai debit air cukup bayak, posisinya terletak didalam sebuah gua di lereng dasar sungai. Kolam penampungan dengan diameter 75cm dan mempunyai kedalaman 120cm, terdapat di dalam gua yang dibuat bangsa Jepang pada masa revolusi. Sedangkan tiga kolam kecil yang terletak pada dasar sungai di gali oleh masyarakat. Air yang terdapat pada ke empat bak penampungan berasal dari rembesan tebing sungai dan mempunyai debit yang cenderung kering pada musim kemarau. Sedangkan sungai dimana letak mata air Kali Lanjaran pada musim hujan merupakan sebuah sungai yang aliran airnya cukup deras. Ekosistem Flora Kondisi ekosistem pada Desa Lanjaran, relatif serupa dengan kondisi di wilayah lain. Mengingat sebagian besar warga Desa Lanjaran yang bermata pencaharian sebagai petani, maka sebagian besar pemanfaatan lahan di wilayah tersebut adalah sebagai lahan pertanian. Sedangkan komoditi pertanian yang banyak di usahakan di wilayah tersebut adalah palawija serutama Jagung dan tembakau. Fauna Fauna liar yang masih ada di wilayah Desa Lanjaran adalah Gambar 3. 17. Mata air Kali Kera yang sampai tahun 1965 masih berjumlah ratusan. Lanjaran di dalam gua Keberadaan kera tersebut cenderung merusak pertanian milik warga masyarakat, sehingga masyarakat melakukan upaya untuk mengurangi populasinya dengan cara diracun. Saat ini di Desa Lanjaran hanya tinggal beberapa ekor kera saja.

18

Musim kawolu adalah bulan perhitungan jawa yang biasanya antara musim hujan dan musim kemarau.

36

Gambar 3. 18 Ekosistem Desa Lanjaran

Air Bersih Masyarakat Sumber air yang ada di Desa Lanjaran pengelolaannya dilakukan sendiri oleh masyarakat. Yaitu dengan cara membatasi penggunaan mata air yang berada di dalam gua untuk kebutuhan konsumsi saja sedangkan mata air yang diluar gua boleh digunakan untuk kebutuhan non konsumsi. Pada musim kemarau, dimana terjadi kelangkaan air, masyarakat memperoleh air dari mata air Kali Lanjaran dengan mengantri sejak pukul 04.00 WIB. Untuk memperoleh air, masyarakat biasanya mengantri selama 2 jam. Sedangkan untuk kebutuhan non konsumsi mereka mengunakan tiga kolam kecil yang terdapat di dasar sungai. Pada tahun 1996 masyarakat tidak lagi memanfaat kan mata air Kali Lanjaran dikarenakan pipa jaringan distribusi mata air pedut telah sampai desa mereka. Sehingga masyarakat tidak lagi mengambil air dari sumber air Kali Lanjaran. Saat ini mata air tersebut telah ditinggalkan, dan kondisinya menjadi cenderung terbengkalai. DESA LAMPAR Desa Lampar yang bebatasan dengan Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten pada sisi Selatan dan Barat. Dengan jumlah penduduk 3.107 jiwa, dengan perbandingan laki-laki 1.569 dan perempuan 1.538 jiwa. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai petani yang berjumlah 2.023 jiwa. Disamping sebagai petani masyarakat juga memelihara ternak sapi untuk menambah penghasilan mereka. Potensi Sumber Air Desa Lampar dengan daerah yang relative datar tidak ditemukan mata air seperti desa beberapa desa yang lain. Masyarakat Desa Lampar cenderung memanfaatkan air balong yang terdapat di Desanya. Terdapat tiga buah Balong19 yang membuat ke unikan tersendiri pada desa Lampar yaitu : 1. Balong Soko. 2. Balong Gebang. 3. Balong Randu Kuning. Masyarakat setempat tidak tahu sejak kapan balong-balong tersebut dibuat. Dari ketiga Balong tersebut hanya satu balong yang masih berfungsi baik menampung air yaitu balong Soko dengan luas areal 4.000 m, hal tersebut terbukti air di dalam balong tidak pernah kering ataupun merembes keluar. Sedangkan dua balong yang lain tidak terdapat air pada musim kemarau.

19

Balong adalah sebuah bak/waduk yang digunakan untuk menampung air hujan dan tempat bermuaranya saluran drainase desa.

37

Gambar 1. 17. Balong Soko di desa Lampar Air Bersih Masyarakat. Masyarakat memanfaatkan air balong untuk memenuhi kebutuhan air sehari-harinya yaitu untuk kebutuhan mandi, cuci pakaian, memandikan ternak, sedangkan untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga masyarakat masih harus melakukan treatment terhadap air tersebut. Cara penjernihan yangdilakukan adalah dengan menggunakan trawas terlebih dahulu. Pada tahun 1998 pemerintah Kabupaten Boyolali memberikan bantuan sumur bor, dengan kedalaman 203 meter dengan debit air 5 liter/detik. Dalam perjalanannya sumur bor mengalami tiga kali kerusakan, dan kerusakan yang terparah pada pertengahan tahun 2001. Dikarenakan biaya perbaikan yang cukup mahal sampai sekarang sumur bor tersebut tidak berfungsi lagi. Pengupayaan kebutuhan air bersih juga datang dari berbagai pihak seperti dari, NGO dari Belanda bekerjasama dengan pihak Universitas Gajah Mada Jogja melakukan penelitiaan terkait dengan sungai bawah tanah di desa Lampar. Namun tidak ada follow up dari hasil penelitian tersebut. Selain menggunakan air yang terdapat dalam balong masyarakat juga membuat bak-bak penampung air hujan yang terdapat di halaman rumah warga. Bagi masyarakat yang bertempat tinggal jauh dari balong, mereka memanfaatkan jasa dari pihak swasta dengan cara membeli air dari mobil tangki seharga Rp 70.000. Ekosistem Kondisi Ekosistem desa Lampar secara umum terlihat lebih hijau dibandingkan dengan desa Mriyan, Sangup, dan Cluntang. Di wilayah tersebut, pepohonan besar relatif mudah dijumpai seperti Mahoni, Kelapa, Jati dan Bambu yang menjadi salah satu tanaman produksi masyarakat untuk diperdagangkan. Tanaman lain selain tanaman produksi yang telah disebutkan, banyak pula terdapat pohon Doyo, dan Serut. Alternative lain untuk menambah penghasilan masyarakat, di balong Soko, memelihara ikan Lele dan Mujahir yang dikelola secara kolektif dan dipercayakan kepada Bayan setempat. Warna air dari balong Soko hijau kekuningan, hal ini disebabkan aktivitas masyarakat untuk memandikan ternak di dalam balong, selain diperuntukkan pemenuhan kebutuhan akan mandi, cuci dan air bersih. Kondisi warna kekuningan yang terdapat di balong tersebut cukup mengkhawatirkan terutama berkaitan dengan kelayakan konsumsi, sehingga perlu dilakukan uji kwalitas untuk mengetahui kandungan unsure lain yang terdapat di dalam air tersebut. Hasil dari uji kualitas air Balong Soko adalah sebagai berikut ; Tabel 3. 3 Hasil uji laboratorium Kualitas Air Balong Soko Kadar Maksimum Yang diperbolehkan _ 1.500 Hasil pemeriksaan Berbau 132,00

No 1 2

Parameter Bau Jumlah zat padat

Satuan _ mg / L

Keterangan Tidak berbau

38

Skala 25 NTU 4 Rasa _ _ Tidak berasa 5 Suhu 0-C +/- 30C 6 Warna Skala 50 TCU 7 Air Raksa mg / L 0,001 8 Arsen mg / L 0,05 9 Besi mg / L 1,0 10 Florida mg / L 1,5 11 Kadmium mg / L 0,005 12 Kesadahan Ca CO2 mg / L 500 13 Khlorida mg / L 600 14 Kromium, Valensi 6 mg / L 0,05 15 Mangan mg / L 0,5 16 Nitrat, sebagai N mg / L 10 17 Nitrit, sebagai N mg / L 1,0 18 pH mg / L 6,5 9,0 19 Zat Organik ( KMn 04 ) mg / L 10 Sumber Laboratorium Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Boyolali 2004 DESA DRAGAN

terlarut Kekeruhan

_ Asin 29,000C Kuning kehijauan 1,121 0,046 2000 24,815 0,5 0,143 0,132 6,5 43,134

Desa Dragan terletak di sebelah Selatan Desa Karanganyar dan Jemowo, dan sisi sebelah Utara terletak Desa Lampar serta Desa Hogowatu dan Kemalang Kabupaten Klaten. Sebelah Timur terletak Desa Bandungan dan Jatinom Kabupaten Klaten. Luas Desa Dragan 209.3630 Ha dengan ketinggian 550 Mdpl dengan suhu udara rata-rata 30C. Jumlah penduduk Desa Dragan 2.323 jiwa yang terdiri dari 586 KK. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat sebagai petani yang berjumlah 826 jiwa, dengan hasil pertanian yang menonjol adalah jagung, cabai dan kelapa. Seperti pada Desa Lampar di Desa Dragan juga tidak ditemukan sumber air sehingga masyarakat mengandalkan pada keberadaan air yang terdapat di bak penampungan air hujan yang terdapat di setiap pekarangan rumah. Alternatif lain yaitu dengan membeli air dari pihak swasta dengan harga Rp 70.000. Ekosistem Di Desa Dragan terdapat areal hutan rakyat seluas 2,7 Ha dengan komposisi ; 0,7 Ha ditanami pohon Mahoni, 0,8 Ha pohon Randu dan tanaman lain 1,2 Ha. Pada areal ladang milik masyarakat juga terdapat pohon Sengon, Mahoni, Bambu, Mindi dan Nangka yang tumbuh di batas/pematang ladang. DESA MUSUK Desa Musuk berbatasan dengan desa Kembang Sari yang terletak di sisi Timur, sedangkan sebelah Selatan terdapat Desa Ringin Larik, pada arah Barat adalah Desa Pusporengo. Desa Musuk adalah juga merupakan Ibu Kota Kecamatan Musuk dimana sebagian besar wilayahnya merupakan pemukiman padat penduduk. Kontur tanah pada desa Musuk relative Datar dibandingkan dengan desa-desa yang lain. Potensi sumber air Potensi terbesar sumber air di desa Musuk adalah terdapat 2 sungai yang masih mengalirkan air pada musim kemarau. Hal tersebut berbeda dengan desa-desa lain di sekitarnya yang kondisi

39

sungainya mengering pada musim kemarau dan berair pada musim hujan. Terdapat dua sungai di wilayah ini yaitu sungai Kintel dan sungai Karang Lo. 1. Sungai Kintel. Dukuh Kintel adalah salah satu dusun yang berada dalam wilayah Desa Musuk yang dilalui aliran sunggai Kintel. Air yang mengalir pada sungai ini merupakan satu aliran dengan sungai Soko Gede yang terletak di Desa Soko Gede Kecamatan Cepogo. Debit air sungai pada musim kemarau hanya aliran air yang kecil dan kondisi air yang keruh berwarna kecoklatan karena buangan limbah pabrik penggolahan cengkeh. .

Gambar 3. 19 PDAM di sungai Kintel Desa Musuk Pemanfaatan PDAM Kabupaten Boyolali memanfaatkan air dari sunggai Kintel guna menambah pasokan air bersih untuk pelanggan di wilayah IKK (Ibu Kota Kecamatan) Musuk dan desa Pusporengo. Dari hasil pantauan di lapangan aliran air dialihkan oleh PDAM yang kemudian ditampung disebuah bak penampungan air dengan ukuran 4x4m, selanjutnya air tersebut di alirkan ke Tampir untuk di treatment, melalui sungai kecil yang pada bagian atas ditutup semen. Dengan menggunakan pompa yang berkapasitas 7,51 liter/detik air PDAM megalirkan air dari dukuh Tampir menuju reservoir yang terletak di desa Pusporenggo, namun kontinuitas pasokan air tidak dapat diandalkan untuk selalu ada terutama pada musim kemarau dimana airan air Sungai Kintel akan menurun sampai 30 % dari kondisi normal. Pada musim kemarau tahun 2004 debit air yang ada pada sungai kintel hanya 0,8 liter/detik, sebelum tahun 2004 pada musim kemarau debit terendah 1,2 liter/detik. Sedangkan pada musim penghujan debit air mencapai 5 - 16 liter/detik. Tabel 3. 4 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Air Sungai Kintel No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Parameter Bau Jumlah zat terlarut Kekeruhan Rasa Suhu Warna Air Raksa Arsen Besi padat Satuan Mg / L Skala NTU 0-C Skala TCU Mg / L Mg / L Mg / L Kadar maksimum yang diperbolehkan 1,500 25 -/+ 3 Derajat Celcius 50 0,001 0,05 1,0 Tidak berasa Keterangan Tidak berbau Hasil pemeriksaan Tidak berbau 194,00 Sedikit asin 28,00 Keruh 0,037

40

10 11 12 13 14 15 16

Florida Kadmium Kesadahan CaCO 2 Khlorida Kromium, Valensi 6 Mangan Nitrat, sebagai N

Mg / L Mg / L Mg / L Mg /L Mg / L Mg / L Mg / L

1,5 0,005 500 600 0,05 0,5 10

0,164 166,00 23,0425 0,12 0,22

Ekosistem Ekosistem sungai Kintel sangat didominasi tanaman Bambu terutama pada bagian atas areal bak penampungan PDAM berada. Sedangkan pada komplek bangunan penampung PDAM tidak terawat dan banyak ditumbuhi tanaman perdu dan pohon Kalianda. Pabrik pengolahan cengkeh terdapat di atas areal bak penampungan milik PDAM. Terdapat lahan perkebunan Cengkeh, Mahoni, Durian, Pisang dan Singkong milik masyarakat terletak di sisi utara sungai, sedangkan pada sisi Selatan terdapat jalan yang menghubungkan Kecamatan Musuk dengan Kecamatan Cepogo. Tanaman roduksi pertaian yang terdapat di wilayah tersebut relatif sama dengan tanaman yang diusahakan oleh masyarakat yaitu palawija. 2. Sungai Karang Lo. Selain sungai Kintel terdapat pula sungai Karang Lo di wilayah desa Musuk yang digunakan masyarakat sekitar, dan Batalyon 408. Pengambilan air dari kedua sungai dengan cara membuat bak penampung air di sisi sungai dan dialirkan menggunakan pipa ke rumah rumah. Air yang keluar dari sisi sungai relative kecil debitnya, dan hanya cukup untuk kebutuhan air bersih masyarakat. Selain untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat air dari sungai Karang Lo juga dimanfaatkan oleh industri pengolahan cengkeh. Masyarakat yang memanfaatkan sugai Karang Lo dengan cara membangun bak yang penampungan rembesan air dari sisi sungai kemudian dengan mengunakan pipa dialirkan ke rumah-rumah. Ekosistem Kondisi Ekosistem di sungai karang lo masih banyak pohon besar seperti beringin, mahoni, dan aren yang tumbuh pada bantaran sungai. Sungai di karang lo juga digunakan pembuangan limbah pabrik pengolahan cengkeh yang terdapat di dekat sungai hal tersebut membuat air sungai berwarna hitam dan berbau. Tetapi pada sungai Karang Lo ini belum ada kasus yang menimpa warga pengguna seperti di sungai Kintel, warga dukuh Tegal Sari mengalami gatal- gatal setelah mandi air sungai kintel.

41

Gambar 3. 20 Sistem Distribusi Air dari Sungai Karang Lo di Desa Musuk

Sungai Karang Lo di Desa Musuk Bak penampungan air di Karang Lo

Pipa distribusi air ke Dukuh Karang Lo

Pipa distribusi air ke pabrik Pengolahan Cengkeh di Dukuh Karang Lo

Pipa distribusi air ke Batalyon 408 Boyolali

42

Gambar 3. 21 Sistem Jaringan Distribusi Air PDAM dari Sungai Kintel

Bak penampungan air yang terletak di dasar sungai Kintel

Bak water treatment sebelum di distribusi

Rumah masyarakat di desa: 1. Desa Musuk Kec. Musuk 2. Desa Pulisen Kec. Boyolali 3. desa Pusporenggo ke. musuk

Pipa distribusi air PDAM rumah masyakrat di beberapa desa

43

Gambar 3. 22 Sistem Jaringan Distribusi Air Masyarakat dari Sungai Sembung Kec. Cepogo

Sungai Sembung yang di bendung

Bak Penampungan Air dari mata air Sembung Kec. Cepogo

Pipa jaringan distribusi air masyarakat Reservoir Kintel Reservoir Cenglik

Reservoir Dukuh Jati

Reservoir Poko

Reservoir Jati

Pipa distribusi air ke rumah masyarakat

44

DESA SUMUR Masyarakat Desa Sumur sama halnya dengan masyarakat desa-desa yang lain, yaitu sebagian besar berprofesi sebagai petani. Selain bercocok tanam dan memelihara ternak mereka, juga melakukan penambangan pasir dan batu di sungai Tonoloyo yang mayoritas penambangnya adalah kaum perempuan. Sungai Tonoloyo adalah sungai kering pada musim kemarau yang melewati desa Sumur. Untuk memenuhi kebutuhan air berih sehari-hari masyrakan Desa Sumur mengupayakan melalui : 1. Memanfaatkan air dari bak penampungan air hujan 2. Membeli air dari penjual air swasta. Potensi sumber air Seperti kebanyakan desa-desa yang lain desa Sumur terdapat kandungan air meskipun debit yang dikeluarkan sangat minim. Hal itu terbukti dengan terdapatnya satu sumber air pada wilayah ini. Tidak terdapat cukup data yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kapan mata air Sumur ini ada dan siapa yang membuatnya. Mata air Sumur. Kondisi fisik mata air. Sungai Tonoloyo adalah sungai yang menjadi pembatas antara Desa Sumur dan Desa Jemowo. Posisi letak mata air Sumur berada di sebelah barat sungai dengan jarak 5 meter. Bentuk mata air Sumur seperti layaknya sebuah sumur, dengan kedalaman 6,40 meter dengan bentuk penampang berbentuk bujur sangkar yang berukuran 2,5 x 2,5 meter. Pada dinding bagian dalam terdapat batu-batu yang berbentuk kubus yang diatur mengelilingi dinding, sedangkan pada bagian atas terdapat pipa-pipa yang ditata untuk mencegah tanah masuk kedalam sumur. Mata air ini memiliki debit air yang kecil tetapi akan menyusut pada musim kemarau. Pengguna air dari mata air ini sebagian bessar adalah masyarakat Desa Sumur dan Desa Jemowo. Untuk pemeliharaan agar air ditempat itu tersebut tidak cepat habis sekaligus menjaga kebesihan air, maka masyarakat membatasi pemanfaatan hanya untuk pemenuhan kebutuhan air bersih. Masyarakat tidak diijinkan untuk melakukan aktifitas mandi dan cuci di lokasi mata air.

Gambar 3. 23 Mata air di Desa Sumur

Ekosistem. Kondisi Ekosistem sebelah barat mata air terdapat tebing yang banyak ditumbuhi pohon Randu, Mahoni, Sengon, dan Jati selain tanamantanaman liar yang lain. Sedangkan di antara sumur dan sungai didominasi tanaman Bambu, pada sisi selatan sumur ditumbuhi sebuah pohon Ipik yang cukup besar.

45

Gambar 3. 24 Ekosistem mata air Sumur di Desa Sumur DESA SUKORAME Dengan kontur relatif datar Desa Sukorame berbatasan dengan Desa Musuk, Kebongulo Pusporenggo Kecamatan Musuk, dan Kecamatan Mojosongo. Mata pencaharian bagi sebagian besar masyarakat di wilayah tersenut adlah bertani sekaligus beternak. Disamping itu masyarakat juga ada yang bermata pencaharian sebagai penambang pasir dan batu yangdilakukan di sepanjang Kali Sombo. Potensi dan keberadaan sumber air. Aliran sungai Kali Sombo membuat potensi keberadaan sumber air Desa Sukorame relative melimpah dibandingkan dengan desa-desa yang lain. Masyarakat memanfaafkan ketersediaan air pada sungai yang melimpah bahkan pada saat musim kemarau. Pada wilayah ini jarang ditemukan bak tandon air hujan seperti desa lain masyarakatnya pun tidak membutuhkan jasa penjualan air dari mobil tangki. Sungai Kali Sombo Sungai Kali Sombo yang melintasi desa Sukorame tidak pernah kering mesipun pada musim kemarau. Kandungan batu dan pasir membuat banyak masyarakat yang menggantungkan ekonomi dari sungai tersebut dengan manjadi penambang. Aktifitas penambangan akan terhenti ketika menghadapai kondisi air sungai yang besar dan deras yang biasanya terjadi pada masa musim penghujan, bahkan pada musim tersebut air sungan bisa meluap dan membanjiri wilayah sekitar sungai. Mata air Kali Sombo. Mata air Kali sombo terletak pada sisi sungai Kali Sombo sebelah Barat, berupa satu buah bak penampungan untuk menampung air yang berasal dari tebing sungai. Debit air yang dihasilkan oleh mata air Kali Sombo relative melimpah dan konstan pada musim kemarau. Masyarakat penguna tidak hanya desa Sukorame tetapi masyarakat yang berdomisili di dukuh Madu dan Tegalweru Kecamatan Mojosongo pun juga memanfaatkan dengan cara mengangsu dari mata air mengunakan jerigen. Pegelolaan air dari Mata Air Kalisombo dilakukan oleh masyarakat pengguna air dengan cara memisahkan pemanfaatan kebutuhan air bersih dapat dilakukan di Mata air Kalisombo, sedangkan untuk kebutuhan mandi dan cuci dilakukan di Sungai. Air Bersih Masyarakat Meskipun ketersediaan air cukup melimpah dari daerah ini, masyarakat masih mencari air bersih dengan cara membeli air dari sumber yang kemudian dialirkan dengan pipa menuju ke rumah-rumah. Seperti salah seorang warga dukuh Pelem yang bernama Mbah Wiryo ini, memasang pipa PVC dari Dusun Karang Lo di Desa Musuk menuju ke rumahnya, dengan cara pembelian pada awal pemasangan sebesar Rp1,1 juta, yang dibayarkan kepada Bayan Kusno

46

pembayaran selanjutnya sebesar Rp 20.000 pada tiap bulannya. Hal tersebut membuat warga Dusun Pelem mengikuti langkah yang ditempuh Mbah Wiryo, mereka melakukan penggalangan dana guna membeli pipa PVC untuk menglirkan air dari mata air Karang Lo. Adapun proses pembayarannya sama seperti yang dilakukan oleh Mbah Wiryo namun untuk masyarakat dihargai sebesar Rp 2,5 juta, tetapi pada saat ini pipa warga belum tersambung ke mata air. Ekosistem Seperti daerah Desa Sumur Ekosistem diwilayah ini terbilang rimbun dengan ditumbuhi berbagai jenis pohon besar seperti beringin, mahoni, sengon dan bambu yang dapat dijumpai di sepanjang sungai Kali Sombo. Sebagian besar besar lahan di wilayah tersebut adalah lahan tegalan yang ditanami tanaman produksi seperti jagung tembakau ,singkong serta rumput gajah.

Gambar 3. 25 Ekosistem Kalisombo di desa Sukorame

Pada sumber air Kalisombo terdapat Pohon Munggur, Kolang-kaling, Kelapa, dan Pohon Bambu. Pada sisi bagian atas terdapat ladang Tembakau milik masyarakat. Sedangkan ekosistem sungai di kedua sisinya banyak ditumbuhi Pohon Bambu dan Kolang-kaling. Pada sungai tersebut banyak terdapat batuan berukuran besar dan pasir yang ditambang oleh masyarakat. Selain itu aktifitas penambangan batu oleh masyarakat juga dilakukan dengan cara menggali pada salah satu sisi kali, bagian atas. Tabel 3. 5 Hasil uji laboratorium Kualitas Air Sungai Kali Sombo No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Parameter Bau Jumlah zat terlarut Kekeruhan Rasa Suhu Warna Air Raksa Arsen Besi yang Satuan Mg / L Skala NTU 0-C Skala TCU Mg / L Mg / L Mg / L Kadar Maksimum yang diperbolehkan 1,500 25 +/3 Celcius 50 0,001 0,05 1,0 Keterangan Tidak berbau Tidak berasa Derajat Hasil Pemeriksaan Tidak berbau 221,00 Tidak berasa 28,00 Tidak berwarna 0,008

47

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Florida Kadmium Kesadahan CaCO2 Klorida Kromium, Valensi 6 Mangan Nitrat, sebagai N Nitrit, sebagai N pH Zat Organik ( KMn04 ) Sumber laboratorium Dinas

Mg / L Mg / L Mg / L Mg / L Mg / L Mg / L Mg / L Mg / L Mg / L Mg / L

1,5 0,005 500 600 0,05 0,5 10 1,0 6,5 9,0 10

0,16 211,00 17,725 0,08 0,074 0,016 7,00 3,476

Kesehatan dan Sosial Kabupaten Boyolali.

DESA PAGAR JURANG Tidak jauh berbeda kehidupan Masyarakat Pager jurang dengan desa-desa di Kecamatan Musuk, lainnya dalam hal pemenuhan kebutuhan air bersih yaitu dengan enggunakan bak tandon air hujan yang menampung air hujan untuk memasok kebutuhan air masing-masing rumah tangga. Bak tandon air hujan terlihat pada setiap rumah warga dengan ukuran yang berbeda. Kebutuhan air pada saat musim kemarau tidaklah cukup meskipun di desa Pager Jurang juga terdapat sumur gali dengan kedalaman 80 m dan tandon air hujan. Alternative lain untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dengan membeli dari mobil tangki seharga Rp. 35,000,00 dengan kapasitas 5000 L. Berangkat dari kondisi ini, maka pemerintah propinsi membuat sumur bor di dukuh Sodong Desa Pager Jurang, yang saat ini dalam tahap penyempurnaan dan dalam waktu dekat siap dioperasikan. Dari hasil diskusi dengan masyarakat setempat pengeluaran mereka akan bertambah dikala musim kemarau tiba, hal tersebut dikarenakan tambahan biaya untuk memberi minum sapi mereka. Sebagai contoh bapak Sri Waluyo warga desa Pager Jurang, mempunyai 2 anak dan 1 istri, serta beliau memelihara 2 ekor sapi perah. Pada musim kemarau kebutuhan air minum 2 ekor sapi = 64 L/hari, untuk cuci dan mandi 4 orang = 400 L/hari, = 40 L/hari kebutuhan konsumsi dan cuci piring total kebutuhan air untuk sehari adalah = 504 L. Dengan kapasitas tangki yang berisi 5000 L, hanya digunakan untuk sepuluh hari saja. Maka kebutuhan air satu bulan keluarga bapak Sri Waluyo memerlukan : 3 tangki x 35,000 = Rp 135.000. Kondisi Ekosistem desa Pager Jurang masih cukup rimbun dengan tanaman, nangka, durian, mindi, sengon, mahoni, pete, akasia, melinjo, cengkeh, dan pohon besar lainnya. Sedangkan tanaman produksi lain adalah padi gogorancah, selain tanaman jagung, ketela, dan tembakau. Areal persawahan dapat dijumpai pada daerah Timur di wilayah kecamatan Musuk. Tidak ditemukan sungai, dan jurang pada wilayah desa Pager Jurang, terdapat pula sebuah balong yang oleh masyarakat dimanfaatkan untuk memandikan hewan ternak sapi, dan kambing.

48

IV.

KECAMATAN WONOSEGORO

KONDISI WILAYAH DAN PERSOALAN-PERSOALAN SUMBER DAYA ALAM/AIR Wilayah Kecamatan Wonosegoro hingga saat ini belum dapat dilayani kebutuhan air bersihnya oleh PDAM Kabupaten Boyolali. Hal tersebut karena keunikan wilayah Wonosegoro dimana hanya terdapat sedikit sumber air alami jikapun ada, berdasarkan survey yang telah dilakukan, sumber tersebut hanya memiliki debit yang kecil, dan mengalami kekeringan air saat musim kemarau. Sumber-sumber air itulah yang selama ini menjadi andalan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya, selain menggali sumur-sumur di rumah-rumah. Banyak diantara sumur yang digali dengan kisaran kedalaman antara 3-24 meter dari permukaan tanah tersebut akan mengering. Kondisi demikian memaksa masyarakat di wilayah Kecamatan Wonosegoro untuk mengalokasikan sumber daya tambahan (waktu, tenaga, dan tempat tertentu juga uang) untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehingga berdampak pada beban tambahan bagi masyarakat baik secara ekonomi maupun non-ekonomi. Mekanisme perolehan air yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat masih sangat tradisional yaitu dengan mengambil langsung dari sumbernya dengan menggunakan ember, jerigen, atau tempayan. Jika air di sebuah sumber telah mengering, maka masyarakat akan mencari di sumber lainnya yang masih memiliki air meskipun harus dilakukan dengan berjalan kaki sejauh antara 500 m 1,5 km dari tempat tinggalnya. Masalah kekeringan dan kelangkaan air bersih ini terjadi di setiap musim kemarau, sementara pada musim penghujan beberapa desa di wilayah Kecamatan Wonosegoro mengalami banjir karena luapan air sungai. Cara mengatasinya pun masih sama yaitu dengan mencari air ke sumber lain jika air di sumber yang terdekat sudah mengering. Sementara langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan air bersih di Kecamatan Wonosegoro hanya sebatas melakukan droping air bersih dengan menggunakan tangki air ke wilayah-wilayah desa yang mengalami kekeringan ekstrem. Cara itupun belum dapat melayani yang kekeringan seperti wilayah dusun di Desa Gunungsari dan Bengle. Aspek lainnya berkaitan dengan keberadaan sumber air di wilayah Kecamatan Wonosegoro adalah budaya. Keterkaitan antara sebuah sumber dan kepercayaan masyarakat yang tertanam dalam kultur masyarakat, terwujud dalam kepercayaan masyarakat terhadap mitos. Mitos tersebut berujung pada ketakutan masyarakat setempat untuk membuka, mengembangkan sumber air tertentu. Disamping kenyataan yang dijumpai oleh masyarakat sendiri terhadap perubahan mendadak yang terjadi pada sumber air yang akan diperbaiki yaitu perubahan warna air yang hingga saat ini belum dapat dijelaskan secara ilmiah. KONDISI OBYEKTIF WILAYAH SASARAN GEOGRAFIS Kecamatan Wonosegoro adalah salah satu kecamatan yang berada didalam wilayah administratif Kabupaten Boyolali yang secara keseluruhan membawahi 19 kecamatan. Kecamatan Wonosegoro mencakup wilayah seluas 9299,8 Ha20 secara administratif membawahi 18 desa yang didalamnya meliputi 55 dusun. Terletak di bagian Utara Kabupaten Boyolali, yang secara geografis dibatasi oleh : Utara : Kabupaten Semarang, Kecamatan Juwangi Timur : Kecamatan Juwangi, Kecamatan Kemusu Selatan : Kecamatan Karanggede, Kecamatan Kemusu Barat : Kabupaten Semarang

20

Sumber: Boyolali Dalam Angka th 2003

49

Wilayah Kecamatan Wonosegoro terletak pada ketinggian rata-rata 221 mdpl, dengan suhu rata-rata 26,5C membuat udara diwilayah tersebut terasa cukup panas, terutama saat musim kemarau. Sedangkan proporsi bentuk wilayah secara umum terbagi dalam dua kategori yaitu: Wilayah datar sampai bergelombang : 70% Wilayah bergelombang sampai berbukit : 30% Terdapat variasi jenis tanah yang ada di dalam wilayah Kecamatan Wonosegoro yaitu : 1. Tanah Asosiasi Lisotol dan Grumosol 2. Tanah Komplek Regosol kelabu dan Grumosol 3. Tanah Mediteran coklat tua. DEMOGRAFIS Dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 0,31% dan jumlah penduduk total pertahun 2003 sebesar 53.032,maka tingkat kepadatan penduduk di wilayah Kecamatan Wonosegoro adalah sebesar 570 jiwa per Km21 Untuk lebih detilnya dapat dilihat pada tabel kependudukan sebagai berikut:
Tabel 4. 1 Grafik Perbandingan Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Perbandingan Penduduk Kecamatan Wonosegoro Berdasarkan Jenis Kelamin

28.203

26.976

Laki-laki Perempuan

Tabel 4. 2 Tabel perbandingan tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah Kecamatan Wonosegoro22.

Jumlah KK 14.161

ALEK

Keluarga Pra Sejahtera ALNEK JML 2.508 (22,20%) 11.298 (79,78%)

ALEK 2.119 (81,69%)

Keluarga Sejahtera I ALNEK JML 475 (18,31%) 2.594 (18,32%)

8.790 (77,80%)

21 22

Sumber: Boyolali Dalam Angka th 2003 Sumber: Analisa Pendataan Keluarga Kabupaten Boyolali 2003, BKKBN Kab Boyolali

50

Tabel 4. 3 Persentase Penduduk berdasarkan Pendidikan yang berhasil diselesaikan


Perbandingan Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
41%

PT 21% Akdm SLTA SLTP 22% 15% 1% 0% SD Tdk/blm tmt SD

PERSOALAN KEKERIINGAN DAN KELANGKAAN AIR Wilayah Kecamatan Wonosegoro yang merupakan salah satu wilayah sasaran kajian untuk pemetaan sumber daya air di wilayah Kabupaten Boyolali, memiliki keunikan yaitu sebagai satu-satunya wilayah kecamatan di dalamn wilayah Kabupaten Boyolali yang belum terjangkau jaringan distribusi air bersih oleh PDAM. Beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi oleh PDAM Kabupaten Boyolali yaitu: 1. Minimnya jumlah debit yang diijinkan oleh BKSDA untuk didistribusikan ke masyarakat. 2. Kesulitan dalam melakukan pencarian sumber air baru. 3. Sumber air yang ada di wilayah Kecamatan Wonosegoro hanya memiliki debit yang kecil sehingga tidak ekonomis untuk didistribusikan. 4. Kontur wilayah yang berbukit sehingga perlu pengadaan pompa dan membangun reservoir di wilayah tersebut. 5. Kepercayaan masyarakat setempat yang kental dengan aspek spiritual sehingga ada sumber air yang tidak diijinkan untuk dieksplorasi karena ketakutran masyarakat akan terjadinya banjir. Karakteristik Sumber Air dan Pemanfaatannya Beberapa sumber air di wilayah Kecamnatan Wonosegoro yang berhasil diidentifikasi adalah sbb: DESA BENGLE Informasi yang relatif lebih banyak tentang Desa Bengle menjadikan desa tersebut sebagai titik awal. Dari informasi tersebut diketahui bahwa desa Bengle mengalami kekeringan setiap tiba musim kemarau. Kelangkaan sumber air dan belum adanya aktifitas eksplorasi terhadap keberadaan sumber air menyebabkan kesulitan masyarakat untuk mengetahui letak sumber dan hanya memanfaatkan sumber yang sudah diketahui saja meskipun jauh dari tempat tinggalnya. Upaya lain dari masyarakat adalah dengan membuat sumur gali. Beberapa sumur gali yang terdapat di sekitar sumber memiliki kedalaman antara 7 hingga 24 meter. Khusus pada sumur yang memiliki kedalaman 24 meter tersebut memiliki debit air yang sangat minim, sehingga untuk menarik air kepermukaan perlu dibantu dengan pompa air jet pump. Upaya inipun tidak membuahkan hasil jika tiba musim kemarau. Sedangkan pada jarak 100 meter dari titik sumur tersebut, sumur-sumur lain masih mengeluarkan air seperti sumur yang berada di dekat mesjid yang terletak pada jarak kurang lebih sama. Sumur lain yang masih mengeluarkan air adalah sumur dengan pompa tangan, dengan kedalaman 18 meter di rumah Bpk Marjan, yang kondisi airnya yang cukup baik sehingga dapat di manfaatkan untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Mekanisme pengambilan air oleh masyarakat adalah dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pukul 10.00 malam dan 03.00 pagi pada masa puasa, sehabis sahur, selain bulan puasa, aktifitas pengambilan air dilakukan pada pagi hari. Pengambilan air dilakukan memakan waktu rata 30

51

menit. Cara pengambilan adalah secara langsung dari sumber dengan cara tradisional yaitu menggunakan ember, tempayan dan jerigen. Masyarakat yang melakukan pengambilan dengan cara demikian berasal selain dari desa Bengle sendiri juga masyarakat dari wilayah lain hingga jarak 1,5 km dari titik sumber. Menurut keterangan Budi, salah seorang warga desa Bengle, putra mantan lurah Bengle, pemanfaatan air dengan cara menampung air pada reservoir untuk dialirkan ke wilayah atau rumah tangga yang membutuhkan, hingga saat ini belum dapat dilakukan di desa Bengle. Selain karena masyarakat sendiri belum mampu secara finansial untuk membiayai kebutuhan pembangunan reservoir juga pemerintah kabupaten maupun pihak lain belum ada yang melakukan. Jikapun ada upaya yang mengarah pada pemanfaatan, baru sampai pada survey yang dilakukan oleh sebuah perguruan tinggi negeri dari Jogjakarta. Masih menurut Budi, hasil yang didapat dari survey tersebut adalah sumber yang diidentifikasi tidak memiliki kecukupan debit, sehingga tidak ekonomis untuk dimanfaatkan oleh PDAM. Akhirnya yang dilakukan oleh PDAM pada saat itu hanyalah memberikan bantuan sejumlah kecil dana yang hanya cukup untuk membangun sumur gali yang berlokasi didekat mesjid. Secara umum masyarakat Desa Bengle bermata pencaharian sebagai petani. Pada kondisi tertentu dimana terjadi musim kemarau yeng berkepanjangan, sehingga petani mengalami gagal panen, warga petani beralih mata pencaharian dengan mencari bonggol kayu sisa tebangan untuk diproses dan dijadikan arang yang kemudian dijual ke pasar terdekat. Vegetasi umum diwilayah tersebut adalah tanaman budidaya yang relatif tahan terhadap kelangkaan air seperti jati dan palawija. Tanaman lainnya adalah Kelapa, Pisang. Beberapa sumber air yang teridentifikasi di Desa Bengle : Cluring Wareng Gondang Masing-masing titik sumber terletak pada jarak yang berdekatan +/- 200 meter dan membentuk segitiga. Posisi masing-masing berada pada ketinggian yang berbeda, tetapi dalam satu wilayah tanah yang sama yaitu tegalan. Adapun beberapa sumber air yang teridentifikasi di wilayah Desa Bengle, Kecamatan Wonosegoro yaitu: Nama sumber : GONDANG Kondisi fisik sumber: Berupa sumur dengan kedalaman 3 meter berpenampang segi empat. Sekeliling sumur dibangun pembatas semen, dan lantai semen untuk melakukan aktifitas pengambilan air dan mencuci masyarakat. Jarak penduduk yang terdekat dengan sumber tersebut adalah 500 meter. Air dari sumber Gondang yang kondisinya agak keruh dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan rumah tangga. Kondisi ekosistem sekitar sumber: Tanah dan batuan : berkapur dengan warna coklat keputih-putihan. Vegetasi : Tanaman budidaya milik masyarakat sekitar yaitu palawija, jati, kelapa, pisang. Kondisi masyarakat sekitar sumber: Secara umum dapat dikatakan pengguna sumber air Gondang yang terletak diwilayah desa Bengle Kacamatan Wonosegoro adalah juga masyarakat desa Bengle, sehingga kondisi masyarakat pengguna sumber tersebut adalah juga kondisi masyarakat Bengle secara umum. Sedangkan kondisi masyarakat wilayah dukuh lain yang juga memanfaatkan air dari sumber Bengle

52

Gambar 4. 1 Sumber air Gondang Ds. Bengle

Nama sumber : WARENG Kondisi Fisik Sumber: Berupa kolam berukuran kecil 1m x 1m dengan kedalaman 20 cm berada di sisi sungai yang merupakan jalur aliran air yang berasal dari daerah yang berada di atasnya. Pada saat pengamatan tersebut dilakukan sungai tersebut sudah kering. Menurut keterangan Budi seorang warga Bengle, saat musim penghujan, sungai tersebut berair, bahkan kolam Wareng akan tidak terlihat karena tertutup oleh air sungai. Kondisi air pada kolam tersebut agak keruh yang dimanfaatkan juga oleh warga masyarakat di Bengle, sebagai alternatif lain selain sumber air Gondang yang berjarak +/- 500 m. Debit air pada kolam tersebut sangat kecil tetapi cenderung konstan dan mengalir hingga keluar dari pembatas kolam. Kondisi ekosistem sekitar sumber: Sumber air Wareng berada di lahan tegalan dengan vegetasi tanaman produksi. milik masyarakat yaitu jati, palawija, pisang. Kondisi masyarakat sekitar sumber: Karena jarak yang relatif berdekatan antara sumber air Wareng dengan sumber air lainnya, dan merupakan sumber air alternatif bagi masyarakat ketika sumber lain mengering, maka pengguna air dari sumber air Wareng adalah juga masyarakat yang sama. Dengan mata pencaharian sebagai petani, masyarakat sebagian besar bertanam palawija karena tidak membutuhkan banyak air seperti padi.

Gambar 4. 3 Sumber air Wareng, Ds. Bengle

Gambar 4. 2 Sumber air tanpa nama I Ds Bengle

Sumber lain yang terdapat di wilayah tersebut adalah sumber yan oleh masyarakat hanya dikenal dengan Sumber yang terleta di dekat sungai.

53

Upaya untuk memperoleh air bersih bagi masyarakat wilayah Desa Bengle dilakukan juga dengan membuat sumur bor dengan pompa tangan. Air yang diperoleh ternyata cenderung stabil dengan kondisi yang jernih meskipun pada musim kemarau ketika sumur lain disekitarnya mengering. Seperti yang terjadi pada sumur milik Bpk Kasno yang berjarak hanya 100 m yang digali dengan kedalaman 24 meter bahkan meskipun telah menggunakan jetpump yang diletakkan di dasar sumur, airnya tetap tidak keluar. DESA REPAKING Sesuai keterangan yang diperoleh dari pihak kecamatan pada saat diskusi awal, Desa Repaking merupakan salah satu desa yang diidentifikasi mengalami kekeringan pada sebagian wilayahnya. Posisi Desa Repaking berada di ujung Utara Kecamatan Wonosegoro, berbatasan dengan Kabupaten Purwodadi. Air bersih untuk Gambar 4. 4 Sumur bor dengan pompa kebutuhan masyarakat relatif mudah diperoleh selain tangan memanfaatkan sumber air yang ada, masyarakat juga membuat sumur gali dengan kedalaman rata-rata hanya 3 meter. Demikian pula dengan keadaan tanah yang berwarna lebih gelap ketimbang daerah lain di Kecamatan Wonosegoro sehingga membuat tanaman produksi di wilayah Desa Repaking lebih beragam dan lebih subur. Aspek pembangunan sarana dan prasarana yang berada di Desa Repaking relatif lebih mendapat perhatian, baik dari aparat desa maupun masyarakat sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari sarana jalan raya yang sebagian besar sudah beraspal dan denyut kegiatan pertanian dan perekonomian yang lebih terasa karena kondisinya yang lebih beruntung dibandingkan dengan wilayah lain yang mengalami kekeringan di Wilayah Kecamatan Wonosegoro. Sebagaimana yang terjadi dengan desa lain, berkaitan dengan keberadaan sumber air, di wilayah desa Repaking ditemukan juga beberapa sumber air dan sumur gali yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Ratarata kedalaman sumur gali yang berada di wilayah Desa Repaking terutama yang berada di rumah warga adalah 3 7 m dengan kondisi air yang jernih. Selain itu juga sumber-sumber yang menurut mitos pernah ada, dan sangat diyakini oleh masyarakat setempat seperti yang Gambar 4. 5 Sumur dengan kedalaman 24 meter dituturkan oleh Bpk Tikwiyanto seorang warga Desa Repaking, sumber air bernama Sendangsono ditutup oleh pihak Kerajaan Mataram dengan menggunakan Kerbau dan Gong. Sumber tersebut tidak dibuka karena dikhawatirkan limpahan air yang besar dari sumber Sendangsono akan membanjiri wilayah Wonosegoro atau bahkan Boyolali. Beberapa sumber air yang dapat teridentifikasi di Desa Repaking, Kecamatan Wonosegoro yaitu: Nama Sumber Air : Sumber Repaking Kondisi Fisik Sumber: Secara fisik sumber tersebut hanya terdiri dari sebuah kolam penampung air yang berada di bawah pohon Beringin. Dengan ukuran 4 m x 4 m dikelilingi pembatas semen dan lantai semen

54

tanpa dinding di salah satu sisinya untuk memudahkan masyarakat pengguna air dalam melakukan aktifitas seperti mandi dan cuci. Kondisi air yang terdapat di sumber air Repaking cenderung keruh dan berwarna kehijauan, membuat warga hanya menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan mandi dan cuci saja, sedangkan untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga, masyarakat sekitar menggunakan air yang berasal dari sumur gali karena memiliki kondisi yang lebih jernih. Debit air yang dimiliki oleh sumber tersebut cukup besar, tetapi akan menurun hingga setengah dari kedalaman kolam, pada saat musim kemarau tiba. Masyarakat pengguna air dari sumber tersebut tidak hanya masyarakat Desa Repaking saja terlebih jika musim kemarau yaitu masyarakat dukuh Traban. Dukuh Traban yang bersebelahan dengan Repaking kondisinya relatif lebih kering. Kondisi ekosistem sekitar sumber Sumber air Repaking terletak di wilayah yang datar, dimana lahan sekitarnya adalah lahan tegalan yang merupakan sumber utama pendapatan masyarakat Desa Repaking yaitu sebagai petani. Sebagian lahan disekeliling sumber ditanami dengan pohon jati, kelapa, pisang, dan palawija. Sedangkan jarak sumber air dengan rumah penduduk terdekat adalah 50 mtr. Kondisi masyarakat sekitar sumber : Kondisi yang relatif mudah untuk memperoleh air membuat masyarakat Desa Repaking yang mata pencaharian Gambar 4. 6 lingkungan sekitar sumber Repaking Dsn Repaking utamanya adalah petani, ditambah dengan fasilitas sarana dan prasarana yang baik membuat kehidupan masyarakat Desa Repaking menjadi lebih terasa. Kesulitan masyarakat dari wilayah desa lain seperti Traban untuk memperoleh air, memunculkan rasa saling pengertian antara anggota masyarakat. Kondisi demikian terwujud dengan diijinkannya masyarakat dusun lain untuk mengambil air dari sumur warga Desa Repaking jika dibutuhkan. Sumur Gali Sumur-sumur gali yang ada di rumah-rumah warga masyarakat rata-rata hanya membutuhkan kedalaman 3 meter untuk bisa memperoleh air. Sedangkan untuk mengangkat air tersebut, masing-masing warga menggunakan sarana yang sesuai dengan kemampuannya, seperti pompa tangan, timba, atau jet pump. Debit air yang dimilikipun cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih selama musim kermarau karena debit air di sumur gali relatif lebih stabil. Mekanisme distribusi lain yaitu dengan membangun kolam penampungan air dari sumber Gambar 4. 7 Sumber mata air Repaking Desa Repaking mendekati wilayah pemukiman warga yang mengalami kelangkaan air. Beberapa diantaranya dibangun, seperti yang terdapat Dsn Candi.

55

Gambar 4. 9 sumur dengan kolam penampungannya di Dusun Candi

Gambar 4. 8 Kolam penampungan di Dusun Candi

Sumur Gali Beberapa sumur gali yang ada, terdapat di tengah areal tegalan. Sumur pertama dengan diameter 1 m kedalaman 3 m (sampai ke dasar ) memiliki kedalaman air 2 m. Kondisi air cenderung keruh dan berwarna kehijauan. Oleh masyarakat, air dari sumur tersebut dimanfaatkan untuk menyiram tanaman sayuran dan palawija yang ditanam di sekitar posisi sumur ketika musim kemarau. Secara fisik, sumur tersebut hanya terbuat dari batu yang tersusun pada dinding sumur bagian dalam mulai dari bibir sumur hingga kedalaman tertentu, dan tanpa dilengkapi dengan tembok diatas permukaan tanah.

Gambar 4. 11 Sumur gali masyarakat di tengah Tegalan, Dsn Repaking

Gambar 4. 10 Salah satu sumur pada lahan tegalan

Penggalian tanah untuk memperoleh air tidak hanya dilakukan di pemukaan tanah sebagaimana biasa. Tetapi juga di lakukan di dasar sungai yang mengering, seperti yang dilakukan didasar sungai Kali Kidang. Kedalaman sumur yang digali didasar sungai beragam antara 25 cm hingga 3 meter dan diameter 30 50 cm. Selain sumber air yang dikenal warga masyarakat, di wilayah Desa Repaking Khususnya di dusun Candi terdapat juga sumber air kecil yang posisinya berada di bawah bukit. Sumber tersebut hanya dimanfaatkan oleh satu rumah tangga yasng dialirkan menggunakan pipa PVC berukuran kecil sejauh 150 m dari posisi sumber. Sumber tersebut membentuk gua berukuran Gambar 4. 12 Masyarakat memanfaatkan Kali Kijang yang mulai mongering untuk pemenuhan kebutuhan air diameter 35 cm yang menjorok ke dalam bukit. bersih

56

Pada langit-langit bagian dalam gua tersebut terdapat stalagtit. Air yang menggenang dibagian bawah gua terkumpul dari tetesan-tetesan air yang jatuh dari stalagtit tersebut. Kondisi air dari gua, cukup jernih tetapi debitnya kecil. Menurut keterangan salah seorang warga, jika musim kemarau memang air yang ada sedikit. Tetapi jika musim penghujan air yang masuk ke rumah warga yang memanfaatkan air dari gua tersebut cukup banyak.

Gambar 4. 13 Gua alam sebagai sumber air

Gambar 4. 14 Kolam penampungan air di rumah warga dari air yang berasal dari gua

DESA GUNUGSARI Secara geografis posisi Desa Gunungsari berbatasan dengan dengan Desa Repaking di sebelah Utara, Desa Bengle di sisi Timur, Desa Garangan di Selatan, sedangkan sisi Barat berbatasan dengan Kabupaten Semarang. Kondisi umum yang terjadi di Gunungsari tidak jauh berbeda dengan apa yang ditemukan di Desa Bengle. Kelangkaan air, dan kondisi tanahnya yang berkapur. Demikian pula dengan sumber air, baik keberadaannya yang langka, juga kepercayaan-kepercayaan yang berkembang terkait dengan keberadaan sumber air. Diantaranya mitos tentang ditutupnya satu sumber air yaitu Sendangsono yang diyakini memiliki debit yang cukup besar, ditutup oleh pihak kerajaan Mataram dengan menggunakan Kerbau dan Gong, karena dikhawatirkan jika airnya meluap akan membanjiri wilayah Wonosegoro atau bahkan Boyolali. Upaya masyarakat Desa Gunungsari mengatasi kelangkaan air bersih serupa dengan yang dilakukan di Desa Bengle, Dusun Traban, yaitu dengan mengambil langsung dari sumbernya jika air disumur gali sudah menyusut. Pengambilan air yang dilakukan masyarakat dimulai dari sumber yang terdekat jika sumber tersebut terjadi penyusutan, masyarakat akan mencari alternatif sumber air baru meskipun jaraknya semakin jauh. Alternatif lain dari sumber air yang langka itu, masyarakat mengupayakannya dengan membuat sumur gali dan pompa yang memiliki kedalaman berkisar antara 3 m 12 m dan pompa. Fakta yang ada di lapangan adalah sumur gali dan pompa tersebut debit airnya relatif stabil, kalaupun terjadi pengurangan, tidak terlalu signifikan selain itu kondisi airnya relatif jernih sehingga layak untuk konsumsi rumah tangga. Hingga saat ini, tidak semua masyarakat memiliki sumur gali, karena biaya pembuatan yang cukup mahal bagi masyarakat. Mata pencaharian utama masyarakat Desa Gunungsari adalah petani yang menanami lahan tegalan dengan palawija, jati, kelapa. Kondisi kelangkaan air bersih yang melanda setiap musim kemarau akhirnya juga memunculkan rasa simpati pada pemilik sumur. Rasa simpati tersebut terwujud dengan diijinkannya warga masyarakat yang tidak memiliki sumur untuk mengambil air dari sumur milik warga yang lain terutama jika air dari sumber sudah mengering. Pada umumnya, masyarakat di Dusun Gunungsari, Desa Gunungsari telah memiliki sumur gali di rumahnya masing-masing. Sedangkan pengguna air dari sumber adalah masyarakat yang tinggal berdekatan dengan sumber itu sendiri, dan kebanyakan berasal dari dusun lain

57

Sumber air yang berhasil diidentifikasi di wilayah Desa Gunungsari, Kecamatan Wonosegoro yaitu: Nama sumber : KALI GRINCING Kondisi fisik sumber : Sumber tersebut terletak pada posisi yang cukup tinggi, berada di puncak salah satu bukit. Wilayah dimana terdapat sumber Kali Grincing terdiri dari daerah bergelombang dan berbukit yang cenderung gundul dan dijadikan lahan tegalan. Akses menuju sumber tersebut berupa jalan pematang dengan kemiringan 20 - 45. Secara fisik, sumber tersebut berupa pancuran yang terletak dibawah pohon beringin dengan debit yang cukup besar, stabil dan kodisi air yang jernih. Sumber tersebut berada di dalam areal tegalan milik salah seorang warga Dusun Banyuurip. Air limpahan dari sumber tersebut menyatu dengan air yang mengalir dari air terjun yang posisinya bersebelahan. Mekanisme pengelolaan Mekanisme pengelolaan dilakukan secara sederhana yaitu dengan mengalirkannya dengan selang mengingat jarak dengan rumah warga cukup jauh dan akses yang cukup sulit. Hingga saat ini terdapat 2 selang yang dihubungkan ke rumah warga. Air limpahan dari sumber tersebut menyatu dengan air yang mengalir dari air terjun di sebelahnya. Aliran tersebut membentuk sungai hingga bertemu dengan tebing di bawahnya dan kembali membentuk air terjun dan akhirnya mengalir menuju sungai. Air terjun tersebut berada di sebelah gua yang berukuran kecil dengan tiga pintu gua dengan posisi saling bersebelahan. Kondisi ekosistem: Letak baik sumber air maupun gua terletak di daerah bukit dengan kemiringan, yang sekaligus juga merupakan lahan tegalan milik warga. Sebagaimana lahan tegalan di wilayah Kecamatan Wonosegoro, demikian pula tegalan di Dusun Gambar 4. 15 Pipa distribusi air milik Banyuurip yang ditanami palawija, pisang, dan sebagian Jati. warga dari sumber pancur Sementara kondisi gua, belum tersentuh upaya pengembangan dan penelitian. Terbukti dari banyaknya batu di sekitar gua yang berasal dari patahan stalagtit-stalagmit gua.

Gambar 4. 16 Kondisi ekosistem sekitar sumber pancur

58

Gambar 4. 17 Gua Grincing, Ds Gunungsari

Nama sumber : SENDANG RAGEN Kondisi fisik sumber : Sendang yang berukuran kecil ini posisinya berada di celah batuan di lahan tegalan. Terdiri dari satu kolam penampung air berukuran 50 cm x 50 cm dengan titik terdalamnya memiliki kedalaman 25 cm (pada celah batuan) berbentuk segi empat layang-layang. Sendang tersebut adalah sendang alami terbentuk dari celah batuan. Menurut keterangan Dasirun, warga masyarakat setempat bahwa Sendang Ragen pada awalnya hanya sebongkah batu yang dicungkil dengan menggunakan alat sejenis linggis oleh seorang Belanda bernama Mr Pieterz pada jaman kolonial. Pengguna air dari Sendang Ragen ini tidak hanya berasal dari warga yang berada di dekat sumber tetapi juga warga dari dusun-dusun dalam wilayah Desa Gunungsari. Secara kuantitas, air yang ada di dalam kolam penampungnya berjumlah sangat sedikit tetapi karena debitnya yang relatif stabil dan tidak kering pada musim kemarau, maka banyak warga memanfaatkan airnya untuk memenuhi kebutuhan mandi dan cuci, bahkan untuk kebutuhan konsumsi, selain juga karena kondisi air yang cukup jernih. Kondisi ekosistem sekitar sumber: Sendang Ragen terletak di lahan tegalan yang ditanami dengan tanaman budi daya milik masyarakat seperti Jati, Palawija, Pisang.dan kelapa. Tanaman lain yang unik yang terdapat di dekat kedua sudut sendang yaitu Pohon Mangga, dan Pohon yang dikenal oleh masyarakat dengan nama Pohon Lulingan. Kondisi masyarakat disekitar sumber: Mata pencaharian masyarakat Desa Gunungsari adalah petani yang mengusahakan lahan tegalan untuk ditanami jati dan Gambar 4. 18 Sendang Ragen, Dsn Gunungsari palawija. Sebagian dari masyarakat sekitar sumber memenuhi kebutuhan airnya dari sumur gali di rumah-rumah, sebagian lagi memang memanfaatkan air dari sumber untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik untuk mandi mencuci maupun untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Langkah yang telah dilakukan untuk memperbaiki kondisi kelangkaan air 1. Adanya bantuan dari dana APBD melalui sebuah LSM di Solo berupa pencarian sumber air dan pembangunan sumur gali di 8 titik di wilayah Kelurahan Gunungsari. Bantuan terseebut meliputi :

59

i. Mencari titik air untuk pembuatan sumur gali. ii. Bantuan bahan bangunan berupa: o Semen 6 sak o Pasir o Bis (untuk dinding sumur) 2. Bantuan dari Yayasan Rumah Sakit Islam Solo Bantuan yang diberikan berupa pembangunan sarana kolam penampungan. Tetapi karena pipa yang digunakan untuk menyalurkan air dari sumber tidak ada, maka kolam tersebut belum dapat difungsikan. Bantuan dari sebuah yayasan yang akhirnya Gambar 4. 19 Sumur bantuan dari sebuah LSM , Ds sempat menjadi konflik yang berbasiskan interest Gunungsari lembaga, yaitu pada tahun 1994-1995. Ketika ada bantuan yang akan diberikan dari sebuah yayasan, karena ditakutkan akan dibarengi dengan penyebaran agama di wilayah tersebut. Bantuan tersebut ditolak oleh pejabat KUA yang benama Naip. Penolakan itu mendapat perlawanan dari masyarakat, karena masyarakat sangat membutuhkan bantuan tersebut. Akhirnya bantuan tersebut tetap tidak dapat diterima. DESA GARANGAN Wilayah Desa Garangan berbatasan langsung dengan desa lain yang juga merupakan daerah kekeringan dan rawan air, yaitu Bengle, dan Gunungsari. Kondisi geografis dan vegetasinyapun relatif sama dengan kedua desa tersebut, yaitu daerah bergelombang hingga berbukit dengan tanah yang berkapur. Menurut informasi yang diperoleh dari pihak Kecamatan, di Desa Garangan, telah diidentifikasi adanya aliran air bawah tanah, yang dilakukan oleh sebuah LSM dari Solo. Masyarakat Desa Garangan sama halnya dengan masyarakat lain di wilayah Kecamatan Wonosegoro yang mengalami kekeringan, yaitu dengan mengambil air langsung dari sumber, ketika sumur gali di rumah warga sudah mengering. Mata pencaharian utama masyarakat Desa Garangan adalah petani yang menanami lahan tegalan dengan palawija, jati dan diselingi kelapa, pisang. Selain itu sebagian warga juga memelihara hewan ternak yaitu sapi, dan ayam. Fasilitas sarana jalan desa yang masih berupa jalan sebagaimana jalan desa di Desa Bengle dan Gunungsari yaitu jalan Maccadam.

Gambar 4. 20 Panorama desa garangan

Beberapa sumber air yang dapat diidentifikasi di Desa Garangan, Kecamatan Wonosegoro adalah sebagai berikut: Nama Sumber : NN Kondisi : Sumber air terletak di tengah lahan tegalan yang ditanami palawija. Bangunan yang ada hanya satu sumur berukuran 1,5 m x 2,5 m dengan kedalaman 7 meter terbuat dari susunan batu pada

60

bagian dinding didalam sumur, dinding di permukaan tanah dengan ketinggian 50 cm dan ruang berlantai semen yang diberi sekat untuk memudahkan masyarakat memanfaatkan air. Pada saat survey dilakukan, air pada sumur tersebut sudah mengering hingga dasar sumur dapat terlihat. Kondisi Ekosistem Sekitar Sumber: Sumber air tersebut terletak di tengah areal lahan tegalan yang di tanami palawija, dengan pohon jati dan kelapa pada bagian pematangnya. Pada saat survey dilakukan, banyak lahan tegalan tersebut kosong karena baru dipanen dan sebagian lagi baru ditanami jagung yang baru mencapai kettinggian 10-15 cm. Tanah tegalan di wilayah sekitar sumur berkapur dan berwarna keputihan. Kondisi Masyarakat Sekitar Sumur Masyarakat Desa Garangan umumnya Gambar 4. 21 Sumber air dengan kedalaman 7 meter, Ds bermata pencaharian sebagai petani di Garangan lahan tegalan yang sebagian besar ditanami jagung. Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan terhadap air, masyarakat memanfaatkan sumber air yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Sebagian dari masyarakat memiliki sumur gali atau pompa di rumahnya masing-masing. Tetapi jika sumur di rumah-rumah mengering maka masyarakat akan mencari air pada sumber terdekat. Sumur Gali Sumur yang berada diwilayah Desa Garangan terutama yang terletak di wilayah pemukiman memerlukan kedalaman antara 7 m 14 m, seperti yang letaknya bersebelahan dengan mesjid yang memiliki kedalaman 13 meter dan dengan kondisi air yang nyaris mengering. Pada jarak 100 meter, ditemukan pula sumur milik warga dengan kedalaman 10 meter dan kondisi air yang sama. Sumur gali yang dimaksud adalah sumur yang berada di tengah lahan tegalan dimana siapa saja boleh mengambil air dari dalamnya. Terdapat 3 sumur serupa yang terpisah pada jarak masingmasing +/- 75 mtr. Pada saat pengamatan dilakukan sumur tersebut masih mengeluarkan air sehingga masyarakat selalu mengambil air dari tempat tersebut. Sumur-sumur tersebut digali dengan kedalaman rata-rata 3 meter dengan diameter 75 cm-100 cm. Nama Sumber : SUMBER GETAS KRIKIL Kondisi : Berada di tengah lahan tegalan yang termasuk dalam wilayah administratif Desa Garangan. Secara fisik sumnber tersebut terdiri dari satu sumur berbentuk segi empat dengan ukuran 2 m 1,5 m dengan kedalaman +/- 3 meter. Sumur terbuat dari susunan batu pada dinding bagian dalam dan dinding semen di sekeliling sumur serta lantai semen untuk melakukan aktifitas pengambilan air. Pada saat survey dilakukan air pada sumur tersebut juga sudah mengering. Saat sumur masih mengeluarkan air yaitu pada musim penghujan dan awal musim kemarau, sumur Gambar 4. 22 Sumber air Getas Krikil tersebut menjadi andalan masyarakat untuk memperoleh air terutama untuk kebutuhan mandi dan cuci.

61

Kondisi Ekosistem sekitar sumber Wilayah seitar sumber berupa lahan tegalan yang di tanami jagung oleh masyarakat sebagai mata pencaharian utama Masyarakat Desa Garangan. Tanaman budi daya yang lain adalah Jati, Kelapa dan Pisang. EKOSISTEM SEKITAR Wilayah Kecamatan Wonosegoro yang sebagian besar wilayahnya adalah lahan tegalan dan hutan Gambar 4. 23 Ekosistem sekitar sumber Getas rakyat yang ditanami tanaman produksi yaitu Krikil tanaman keras berupa palawija terutama jagung, kacang, umbi-umbian, dan kelapa. Sementara tanaman hutan rakyat ditanami dengan tanaman mayoritas jati, tanaman lainnya yaitu mahoni dan sengon. Sehingga sumber-sumber air yang adapun berada di wilayah lingkungan tegalan, dengan tanaman yang umum yang ada di sekitar sumber adalah tanaman produksi tersebut. Berkaitan dengan kondisi ekosistem di masingmasing sumber air telah ditulis pada bagian sebelumnya. Sebagian kecil diantara sumbersumber air tersebut terdapat wilayah perbukitan, dengan kondisi air yang relatif lebih jernih jika dibandingkan dengan sumber air yang ada di permukaan tanah. Keadaan tanah pun turut memberi kontribusi terhadap kondisi air, seperti yang terjadi pada sumber-sumber air yang berada di wilayah lahan dengan tanah yang berwarna kecpklatan, dan berkapur, maka air sumber yang ada di wilayah tersebut juga tampak cenderung keruh. DAMPAK LINGKUNGAN, SOSIAL, DAN EKONOMI A. Dampak Lingkungan Kualitas dan Kuantitas Sumber Air Seperti telah ditulis pada bagian sebelumnya bahwa dalam wilayah Kecamatan Wonosegoro, sumber air yang ada sedikit sekali jumlahnya. Dari semua sumber air di wilayah tersebut yang berhasil diidentifikasi, debit air yang dimiliki tidak cukup besar sehingga tidak ekonomis dimanfaatkan oleh PDAM. Sehingga sumber air yang ada tersebut, pola pemanfaatannya adalah oleh masyarakat sendiri secara tradisional mengingat debitnya yang tidak besar. Dengan cara mengambil langsung yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, dan dengan menggunakan alat sederhana seperti tempayan, ember. Kondisi air yang keluar dari sumber memiliki variasi yaitu ada air yang cenderung keruh dan berwarna kehijauan, adapula yang jernih terutama jika sumbernya berasal dari gua alam yang terdapat di Kecamatan Wonosegoro. Beberapa sumber air bahkan tidak dapat diidentifikasi kondisinya karena kolam penampung air mengering sama sekali. Secara singkat kondisi masing-masing sumber dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4. 4 Tabel kondisi sumber air Kecamatan Wonosegoro No 1 2 3 1 Nama dan lokasi sumber air Desa Repaking Sumber Repaking Sumur Gali Sumber Desa Gunungsari Kali Grincing Kondisi air Keruh-kehijauan Keruh-kehijauan Jernih Jernih Pengaruh musim kemarau Menyusut Stabil Mengering Posisi Ditengah lahan tegalan Ditengah lahan tegalan Di sisi bukit Di atas bukit

62

2 1 2 3 1 2

Sendang Ragen Desa Bengle Gondang Wareng Cluring Desa Garangan NN Getas Krikil

Cenderung keruh Cenderung keruh Cenderung keruh Cenderung keruh Cenderung keruh* Cenderung keruh*

Ditengah lahan tegalan Ditengah lahan tegalan Ditengah lahan tegalan Ditengah lahan tegalan Ditengah lahan tegalan Ditengah lahan tegalan

*Menurut informasi yang diperoleh dari masyarakat sekitar pengguna air sumber tersebut

Sebagai wilayah yang pemenuhan kebutuhan air bersihnya dilakukan secara tradisional, masyarakat sangat tergantung dari air yang ada pada sumber air bawah tanah, baik sumber air permukaan maupun sumber air dalam, sehingga masyarakat memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap lingkungan. Sebab, perubahan yang terjadi pada swiklus alam dan lingkungan, mis: perubahan musim akan berdampak secara langsung pada sumber air, sungai, dan masyarakat itu sendiri. Musim kemarau yang berkepanjangan membawa dampak penyusutan, bahkan kekeringan baik pada sumber air maupun sungai. Dengan demikian, akan muncul permasalahan baru ditingkatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Sealain juga dampak-dampak lain Tabel 4. 5 Sungai yang mengering sebagai ikutan, yang akhirnya menjadi permasalahan baru, misalnya penyakit, penurunan hingga gagal panen pada lahan pertanian masyarakat. B. Dampak Sosial Aspek Kesehatan Musim (penghujan dan kemarau) yang terjadi di wilayah Kecamatan Wonosegoro memunculkan pengaruh terhadap kondisi kesehatan warga, ditambah lagi dengan pemahaman yang minim terhadap kesehatan itu sendiri, sanitasi dan gizi. Tetapi hingga saat ini, seperti yang disampaikan oleh Bpk Kasno (mantan lurah Desa Bengle) Belum terjadi wabah penyakit dengan skala besar khususnya di wilayah Desa Bengle. Munculnya penyakit-penyakit tertentu masih pada penyakit yang umum terjadi pada musim tertentu misalnya muntaber, demam berdarah. Hal tersaebut juga disampaikan oleh warga Dusun Candi, Desa Repaking yang letaknya bersebelahan dengan Desa Bengle. Kesehatan ibu dan anak Sementara untuk kasus kesehatan Ibu dan anak, di Desa Bengle telah ada satu orang bidan desa yang bertugas sejak 3 tahun lalu. Permasalahan pemahaman kesehatan tentang ibu dan anak yang masih minim dikalangan masyarakat, dan biaya, menjadi penyebab para ibu hamil untuk mempercayakan perawatan pada masa kehamilan dan proses kelahiran pada dukun beranak. Warga baru menghubungi bidan ketika terjadi permasalahan dalam proses kehamilan atau proses kelahiran. Sehingga beberapa kasus

63

kelahiran harus di bawa ke rumah sakit terdekat bahkan beberapa diantara kasus tersebut kelahiran terjadi di perjalanan menuju rumah sakit. Sanitasi System sanitasi yang diterrapkan di masing-masing rumah tangga masyarakat Kecamatan Wonosegoro pada umumnya masih sangat sederhana. Pada kondisi rumah tangga yang memiliki sumur di rumah, membuang limbah buangan mandi dan cuci ke saluran air yang berupa saluran yang menjadi satu juga dengan saluran air di pematang tegalan sebelum berakhir di sungai dan septic tank. Sementara bagi pengguna air sungai, aktifitas mandi dan cuci dilakukan langsung di sungai. Tingkat Kematian Menurut keterangan Bpk Kasno, mantan lurah Desa Bengle, kasus kematian bayi tidak banyak yaitu 2 kasus. C. Dampak Ekonomi Aspek Perekonomian Sebagian besar warga masyarakat di Desa Bengle adalah bekerja di sektor pertanian yang mengupayakan lahannya dengan bertanam palawija.
Tabel 4. 6 Grafik Mata Pencaharian Masyarakat Kecamatan Wonosegoro23

Perbandingan Mata Pencaharian Masyarakat Kecamatan Wonosegoro 0% 1% 1% 4%1%0% Petani pemilik tanah 9,816
Buruh tani 8,910

18%

32%

Pengrajin/Industri kecil 1,924 Buruh Industri 2,546 Buruh Bangunan 5,412

8% 6% 29%

Pedagang 1,154 Pengangkutan 157 PNS 276 Pensiunan (TNI/PNS) 152 TNI 154

Adapun tanaman utama di wilayah tersebut adalah jagung, dan kacang. Karena masa tanam dan usia tanaman yang cukup pendek maka petani hanya bisa melakukan penanaman dan panen 2 kali dalam setahun. Sedangkan pada musim kemarau dapat dikatakan tidak ada pekerjaan. Oleh sebab itu banyak petani palawija yang juga memanfaatkan kayu-kayu bekas tebangan, kayu yang tidak bernilai jual tinggi untuk di proses menjadi arang. Yang dijual kepada pengumpul dengan harga Rp 20.000 per karung (40 kg). Harga tersebut bisa berubah menjadi sebesar Rp 27.000 per karung (40 kg) jika musim penghujan.

23

Sumber: Data Monografi Kecamatan Wonosegoro

64

Selain itu juga ada warga masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pengumpul dan penjual kayu jati, buruh dan pegawai swasta dan negeri, Hasil dari Pohon Jati yang ditanam warga, diawali dengan pemberian bantuan bibit Pohon Jati dari pemerintah yang ditanam di ladang milik warga hingga menjadi hutan rakyat. Proses pemeliharaan pohon jati ini hanya memerlukan perhatian pada 3 tahun pertama. Untuk selanjutnya pohon tersebut dibiarkan tumbuh, hingga saatnya dipanen pada usia rata-rata 15 s/d 25 tahun. Penjualannya dilakukan melalui pengumpul, untuk kemudian di jual ke industri pemrosesan kayu. Tidak banyak keterlibatan pihak perhutani dalam hal ini hanya membantu petani pada masa awal pertumbuhan, dan ketika pohon tersebut akan dipanen. Hasil hutan jati rakyat tersebut dijual kepada pengumpul dengan harga berkisar antara Rp 500.000 Rp 2.300.000 per M. Luas areal hutan Jati rakyat di wilayah Desa Bengle, seperti juga di Desa Gunungsari, Garangan, dll di Kecamatan Wonosegoro meliputi sebagian besar areal wilayah administratif Kecamatan.
Tabel 4. 7 Tabel Hasil Hutan Rakyat secara keselurtuhan untuk Kabupaten Boyolali

No 1 2 3 4 5 6 7

Komoditi Hasil Hutan Jati Sengon Mahoni Akasia A Formis Akasia Decuren (ton) Suren Bambu (batang)

Total Produksi (M) 2. 050, 01 1. 750, 50 1. 036, 769 48. 500 237. 100 3. 782. 751 146. 400

Sementara dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat karena kelangkaan air tersebut, seperti yang disampaikan oleh Mantan Lurah Desa Bengle yaitu: 1. Panen palawija menjadi berkurang karena pada musim hanya mampu paling banyak 2 kali panen, bahkan bisa tidak panen sama sekali (gagal panen). 2. Masyarakat harus mengalokasikan waktu tertentu untuk mencari air demi memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangganya masing-masing. 3. Masyarakat desa pada umumnya menganggur pada musim kemarau sehingga banyak diantaranya yang akhirnya bekerja sebagai buruh bangunan atau pembantu rumah tangga di tempat lain. UPAYA-UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN DAN CAPAIANNYA Mengingat Kecamatan Wonosegoro adalah wilayah yang belum dapat dilayani oleh jaringan PDAM, maka seperti yan telah disampaikan pada bagian sebelumnya yaitu upaya pemenuhan akan air bersih masyarakat dilakukan secara mandiri dan tradisional. Hal tersebut membawa pada ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumber air alam. Sehingga perubahan musim, perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh terhadap kondisi baik kualitas maupun kuantitas air yang ada pada sumber. Salah satu perubahan yang berdampak langsung dan sering terjadi adalah perubahan musim, dimana pada musim kemarau, air akan sangat berkurang, baik sumber yang airnya menyusut sampai kering sama sekali. Permasalahan kelangkaan air di wilayah Kecamatan Wonosegoro selalu terjadi dari waktu ke waktu dengan cara menyikapi yang sama, yaitu mencari air dari sumber yang masih mengeluarkan air meskipun harus menempuh jarak yang semakin jauh. Upaya lain untuk mendapatkan air dilakukan oleh beberapa elemen diantaranya:

65

1. Oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali. I. Dropping air bersih Dilakukan dengan menggunakan mobil tangki ke beberapa desa di wilayah Kecamatan Wonosegoro. Upaya ini tidak menyelesaikan masalah karena pengiriman dilakukan tidak secara kontinyu, dan kualitas air yang cenderung keruh. II. Membuka sumber air. Membuka sumber air di wilayah Kecamatan Wonosegoro dilakukan berdasarkan informasi dan kepercayaan masyarakat bahwa terdapat sebuah sumber air dengan debit yang cukup besar tetapi ditutup oleh masyarakat sejak jaman dulu. Pihak pemerintah daerah melalui PDAM melakukan upaya pembukaan dengan dibantu oleh seorang juru kunci. Upaya tersebut akhirnya tidak memberikan hasil apapun karena masyarakat setempat takut akan terjadi banjir. III. Mencari sumber air baru Dilakukan oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan perguruan tinggi di Jogjakarta. Upaya ini tidak juga membawa hasil, karena hanya ditemukan satu sumber air yang memiliki debit yang kecil sehingga tidak ekonomis untuk dimanfaatkan oleh PDAM. Saat ini, sumber tersebut dijadikan sumur yang berlokasi dekat mesjid di Desa Bengle. 2. Lembaga Swadaya Masyarakat I. Menentukan titik air dan membangun sumur gali Dilakukan di 6 titik di wilayah Desa Gunungsari. Upaya tersebut dilakukan oleh LPTP bekerja sama dengan pemerintah daerah Kabupaten Boyolali, dan Masyarakat Desa Gunungsari. Hingga saat ini sumur yang dibangun masih berfungsi dengan baik, dan dampaknya dirasakan langsung olehj masyarakat. II. Membangun kolam penampungan air dan mengalirkan air dari sumber ke kolam tersebut. Upaya tersebut dilakukan oleh LKTS Boyolali di Dusun Candi, Desa Repaking Kecamatan Wonosegoro, untuk memudahkan warga Dusun Candi dan Traban dalam memperoleh air bersih. Air dari sumber yang berada di Dsn Candi dialirkan dengan menggunakan pipa PVC ke kolam penampungan yang terletak pada jarak 500 meter dari sumber. Hingga saat ini kolam tersebut masih berfungsi dengan baik tetapi karena air yang menyusut di sumber, maka kolam tidak dapat terisi. Hal ini terjadi karena penyusutan air yang terjadi pada musim kemarau. 3. Masyarakat setempat. Selain melakukan pengambilan air untuk kebutuhan air bersih masing-masing rumah tangga, masyarakat juga secara swadaya melakukan beberapa upaya bagi pemenuhan kebutuhan air bersih untuk masyarakat secara lebih luas. Upaya tersebut diantaranya: I. Pipanisasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Gunungsari Pipanisasi dilakukan secara mandiri untuk menyalurkan air dari sumber Kali Grincing yang terletak diatas bukit ke tempat yang lebih rendah. Upaya tersebut berulangkali mengalami kegagalan karena pipa PVC yang digunakan selalu pecah meskipun sudajh dilapisi bambu. Saat ini masyarakat yang akan mengambil air dari Sumber Kali Grincing harus mengambilnya dengan tempaya atau Ember ke pancuran yang ada di sumber tersbeut. II. Membangun sumur gali Sumur gali tersebut dibuat secara swadaya oleh masyarakat desa atau dusun setempat di tempat-tempat tertentu sehingga dapat diakses oleh masyarakat yang lebih luas.

66

You might also like