You are on page 1of 11

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN PROGRAM PASCA SARJANA ANGKATAN I

TAWURAN ANTAR PELAJAR DITINJAU DARI PREMIS-PREMIS WALTER B. MILLER DALAM TEORI LOWER CLASS CULTURE

MATA KULIAH PERKEMBANGAN SOSIAL DAN KEPOLISIAN

OLEH

ROBERTHO PARDEDE 2011661003

BAB I PENDAHULUAN

Ada semacam budaya yang seakan-akan diwariskan dari generasi sebelumnya ke generasi dibawahnya, terutama pada kota-kota besar di Indonesia. Hal memalukan ini mungkin hanya terjadi di Indonesia saja yaitu Tawuran Antar Pelajar. Tawuran antar pelajar ini dilakukan diluar sekolah sehingga para pelajar yang melakukan kegiatan tawuran tersebut lebih senang melakukan aksi tawuran antar pelajar diluar sekolah daripada masuk sekolah untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar dan tawuran ini juga bersifat turun-temurun dilakukan oleh suatu sekolah tertentu yang memang sudah sering melakukannya sehingga ada pendapat bahwa tawuran antar pelajar ini bagaikan sebuah budaya atau tradisi pada sekolah tertentu. Tawuran antar pelajar merupakan fenomena sosial yang seolah-olah sudah dianggap lumrah oleh masyarakat di Indonesia. Bahkan ada sebuah pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia remaja. Anehnya lagi, tawuran antar pelajar ini lebih sering terjadi di kota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebih maju di banding kota-kota kecil lainnya. Memang tidak semua pelajar pernah atau gemar melakukan aksi tawuran antar pelajar, sebagian besar masih fokus menjalankan tugasnya sebagai pelajar yaitu menuntut ilmu atau belajar bahkan ada juga pelajar yang berhasil meraih prestasi hingga tingkat internasional. Namun, bila kita mengamati pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik di kota-kota besar, fenomena tawuran antar pelajar masih sering ditemui.

BAB II PERMASALAHAN

Salah satu kasus tawuran antar pelajar yang berbuntut panjang yakni yang terjadi di SMA 6 Jakarta. Lantaran korbannya adalah para wartawan, kekerasan pelajar di SMA 6 Jakarta terus diupdate oleh beberapa media nasional. Yang terjadi kemudian adalah saling melempar opini dan tuduhan antara insan media yang menjadi korban dengan pihak sekolah yang mati-matian membela anak didiknya. Bukan menyelesaikan persoalan tawuran yang menjadi pokok masalah, kedua kubu malah baku lapor ke pihak berwajib. Kericuhan itu dimulai saat kameraman Trans 7, Oktaviardi mengambil gambar aksi tawuran yang diduga dilakukan siswa SMA 6. Namun, siswa yang terlibat tawuran tidak senang diambil gambarnya. Mereka kemudian merampas kaset video hasil rekaman kameraman Trans 7. Beberapa hari kemudian puluhan wartawan melakukan aksi damai di depan SMA 6, mereka menuntut agar pihak sekolah bertanggung jawab atas aksi perampasan tersebut. Kemudian aksi tersebut berujung ricuh. Puluhan siswa memukuli wartawan hingga babak belur, mengakibatkan sedikitnya lima wartawan mengalami luka. Wartawan Seputar Indonesia Yudhistira salah satunya yang menjadi korban, dihantam dengan batu bata di kepala bagian belakang. Yudhistira sempat mendapat perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Selain Yudhistira, Panca Syurkani wartawan foto Media Indonesia mengaku juga mendapat serangan dari siswa SMA 6. Beberapa bagian tubuh Panca mengalami memar. Di SMA 6 Jakarta sendiri, tawuran sepertinya sudah menjadi budaya bagi sebagian siswa. Betapa tidak, aksi tawuran sudah seperti menjadi agenda mingguan. Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang juga alumni SMA 6, Agus Suradika, mengakui bahwa budaya tak terpuji tersebut sudah terjadi sejak tahun 80-an. Selain di Jakarta, Hal yang serupa terjadi pada pelajar sekolah menengah di Yogyakarta. Para pelajar di sebuah sekolah di Yogyakarta bahkan telah dapat membedakan mana sekolah yang

menjadi kawan serta mana pula yang menjadi lawan, yang kemudian hal ini diturunkan dari yang senior kepada yang junior.

Tawuran pelajar sekolah menengah yang terus mengalami perkembangan, mereka tidak hanya melakukan tawuran secara spontan namun berkembang menjadi suatu tawuran yang direncanakan, dirancang dan diatur sedemikian rupa oleh pemimpinnya dengan menggunakan strategi-strategi bagaikan layaknya sebuah pertempuran pada suatu peperangan. Dari penjelasan-penjelasan yang telah diutarakan sebelumnya diatas, pada penulisan ini berupaya untuk mengkaji tawuran yang dilakukan oleh para pelajar ditinjau dari teori Walter Miller dengan 6 (enam) premisnya.

BAB III PEMBAHASAN

Teori Lower Class Culture (Teori Budaya Kelas Bawah) dari Walter B. Miller dengan 6 (enam) premisnya yang terdiri dari : 1. Trouble 2. Toughness 3. Smartness 4. Excitement 5. Fate 6. Autonomi

Dari 6 (enam) premis Walter B. Miller dalam Teori Lower Class Culture tersebut diatas, fenomena tawuran antar pelajar yang sering terjadi pada kota-kota besar di Indonesia oleh penulis dapat dijelaskan menggunakan 3 (tiga) dari 6 (enam) premis yang diberikan oleh Miller dalam teorinya tersebut, yakni premis: 1. Toughness Para pelajar yang melakukan tawuran antar pelajar umumnya adalah pelajar sekolah menengah yang masih remaja dan enerjik. Hal ini tentu saja membuat para pelajar tersebut merasa bahwa dirinya memiliki suatu ketangguhan dan fisik yang kuat seperti kemampuat berlari yang cepat dalam mengejar lawan, kemampuan memanjat, dapat melempar batu yang jauh dan berani beradu fisik sehingga tidak ingin dianggap lemah atau penakut oleh teman-temannya.

2. Smartness Pada tawuran antar pelajar saat ini sudah semakin terencana dan terkendali menggunakan strategi, hal ini menuntut suatu kecerdikan dan kepintaran dalam mengakali atau mensiasati lawan atau pihak musuh dengan maksud untuk memaksimalkan serangan terhadap pihak lawannya dan meminimalisir

kemungkinan kerugian atau jatuhnya korban dipihak sendiri sehingga diperlukan suatu strategi yang baik yang dirumuskan dengan menggunakan kecerdasan otak untuk mengurangi penggunaan kekuatan fisik, untuk itu Miller menyebutnya a maximum use of mental agility dan a minimum use of physical effort.

3. Exicement Para pelajar ini dalam melakukan aksi tawuran antar pelajar merasa hal tersebut memiliki suatu kesenangan sendiri akibat dari rasa ketegangan saat berlangsungnya suatu tawuran. Ada saat mengejar musuh atau lawannya terkadang juga perlu melarikan diri dan menghindar dari lemparan-lemparan batu. Keteganganketegangan dalam aksi tawuran tersebut mengandung unsur-unsur bahaya dan beresiko serta mendebarkan hati namun dalam hal-hal tersebutlah terdapat suatu kegembiraan dan kegairahan yang beradrenalin tinggi.

Sedangkan ketiga premis lainnya yaitu : 1) Trouble; 2) Fate dan 3) Autonomy oleh penulis dikategorikan tidak dapat memenuhi atau menjelaskan terjadinya tawuran antar pelajar, adapun penjelasannya sebagai berikut :

1. Trouble Bagi para pelajar yang sering terlibat dalam perkelahian atau tawuran antar pelajar tidak sepenuhnya berperilaku sebagai pelanggar hukum (law-biding behaviour), mereka adalah kaum terpelajar yang juga taat hukum dan norma-norma lainnya yang berlaku di masyarakat selain pada saat mereka melakukan tawuran. Sehingga premis ini tidak sepenuhnya dapat mengakomodir para pelajar yang sering melakukan tawuran antar pelajar tersebut. 2. Fate Para pelajar yang melakukan tawuran tidak sepenuhnya merasa hidup mereka adalah suatu nasib yang begitu saja harus dijalani. Mereka tidak mengandalkan kekuatan mistik, firasat, keterangan atau bantuan paranormal dalam aksi tawurannya melainkan menggunakan suatu strategi dan pengendalian kekuatan teman-temannya didalam melakukan tawuran jadi dalam proses tawuran tidak dikenal adanya upacara mistik atau magic yang seram dan mengerikan. Sehingga premis ini tidak cocok untuk menjelaskan tawuran antar pelajar.

3. Autonomy Prinsip pada premis ini menggambarkan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengatur dirinya, sehingga premis ini dianggap tidak cocok untuk mengakomodir terjadinya tawuran antar pelajar karena pada kenyataannya para pelajar yang tawuran itu memiliki pemimpin yang mengatur apa-apa saja yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh anggotanya (pelajar-pelajar lain yang tergabung dalam kelompok atau suatu sekolah) sehingga dapat menerapkan strategi-strateginya didalam tawuran atau perkelahian, bahkan antar sekolah pun terkadang mereka membuat suatu rules atau aturan-aturan main yang disepakati

oleh masing-masing sekolah seperti tempat dan waktu akan dilaksanakannya tawuran, begitu pula apabila aparat keamanan datang maka secara otomatis mereka akan segera membubarkan atau melarikan diri untuk menghindari penangkapan oleh aparat keamanan, hal ini menandakan bahwa mereka masih dapat dikontrol oleh aparat keamanan yang menandakan bahwa premis ini tidak tepat dalam menjelaskan terjadinya suatu perkelahian atau tawuran antar pelajar.

BAB IV PENUTUP

Dari pengkajian terhadap tawuran antar pelajar yang marak terjadi di kota-kota besar di Indonesia dengan menggunakan beberapa premis dari Walter B. Miller dalam Teori Lower Class Culture dapat disimpulkan perkelahian atau tawuran antar pelajar yang sering dilakukan oleh para pelajar sekolah yang berusia relatif muda yang berusaha menunjukkan jati dirinya sebagai lakilaki yang kuat, pemberani, bernyali besar dan memiliki kelebihan kekuatan fisik untuk menghindari julukan-julukan penakut, pecundang apalagi bencong atau banci. Pelajar-pelajar yang kerap melakukan tawuran antar pelajar juga merupakan individuindividu yang cerdas, hal ini terbukti dengan adanya persiapan dan perencanaan sebelum dilakukannya suatu tawuran, hal ini terwujud dengan adanya strategi dalam tawuran tersebut seperti kapan harus maju, melempar batu, berlindung bahkan mundur atau lari berdasarkan perintah atau arahan dari pimpinan atau ketua kelompok yang mereka akui sebagai yang mengatur jalannya serangan saat tawuran. Sehingga strategi dan pemimpin yang baik sangat diperlukan untuk menjalankan suatu tawuran bukan dengan menggunakan kekuatan mistik atau upacaraupacara magis sebelum berlangsungnya tawuran. Para pelajar yang terlibat dalam tawuran antar pelajar sangat menikmati aura atau suasana dimana tawuran tersebut terjadi, hal ini terlihat dengan rasa bangga dan senang apabila pelajar tersebut dapat melempar batu kepada pelajar lainnya yang menjadi musuh bagi sekolahnya apalagi bila batu tersebut mengenai atau melukai/merusak sasaran yang dimaksud juga terlihat ada kegairahan yang timbul sebagai efek dari tingginya adrenalin saat terjadinya tawuran dimana terdapat aksi saling kejar, saling lempar yang berirama yang menjadi suatu kegairahan pada usiausia remaja seperti usia para pelajar yang terlibat tawuran tersebut.

Walaupun mereka saat tawuran terkesan brutal dan tidak mentaati peraturan namun terlepas dari kelompok mereka tawuran, yakni individu masing-masing tidak menggambarkan pribadi yang tidak tahu aturan dan pelanggar hukum, melainkan mereka mentaati hukum yang berlaku.

10

DAFTAR PUSTAKA

Kelly, Delos H., Deviant Behaviour A Text Reader in The Sociology of Deviance, Fifth ed, New York : St. Martins Press, 1996.

Nitibaskara, Tb. Ronny, Ketika Kejahatan Berdaulat, Jakarta : Peradaban, 2001.

http://www.gatra.com/nasional-cp/1-nasional/2810-tawuran-pelajar-warisan-budayayang-memalukan diakses pada tanggal 16 Desember 2011.

11

You might also like