You are on page 1of 40

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA DENGAN ARAB SAUDI

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Perbandingan sistem hukum pidana di indonesia dengan saudi arabia sangat berbeda di indonesia terjadi Pluralisme hukum yang di sebabkan karena adanya ber

bagai jenis suku, adat kebudayaaan ,dan bahasa kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok masyarakat diterapkan dalam hal tertentu atau saat terjadi konflik, sehingga ada kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk individu tertentu dan bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku padanya. Kendala besar dalam menghadapi pluralisme hukum adalah kepastian hukum untuk menegakan keadilan. Dengan demikian sistem hukum di indonesia masih menganut pluralisme hukum dan dominan menganut mazhab legisme. dalam penemuan hukum pidana Indonesia. Sedangkan sistem hukum pidana saudi arabia adalah hukum pidana islam tradisional sebagaimana terdapat dalam alquran, hadis ,kitab-kitab piqih materinya mencakup hudud qisas/diyat dan tazir dan pidana rajam sudah diganti dengan eksekusi pidana mati. yang lebih

1.2. Tujuan Dalam makalah ini permasalahan yang akan di bahas yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut : 1.sistem peradilan pidana di Indonesia : 1.a)dasar-dasar hukum pidana indonesia 1.b)acara persidangan pidana 1.c)proses pelaksanan sanksi pidana 2. sistem peradilan pidana di saudi arabia 2.a) dasar-dasar hukum pidana saudi arabia 2.b) acara persidangan saudi arabia 2.c) proses sanksi pidana 1.3. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan disajikan penulis dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut: 1. 2. Apakah yang menjadi dasar sistem hukum indonesia dengan arab saudi? bagaimana proses beracara dalam persidangan di negara indonesia dengan

arab saudi ? 3. seperti apakah proses pelaksanaan sanksi pidana di negara indonesia dan

negara saudi arabia ?

BAB II PEMBAHASAN

1.SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA


1.a Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembagalembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun. Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah : Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon. Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai procedural law dan hukum pidana materiil sebagai substantive law. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

1.b acara persidangan pidana di indonesia 1.b.a) Penyelidikan Merupakan suatu rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya penyidikan lebih lanjut.

1.b.b)penyidikan Suatu rangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti, dengan bukti tersebut membuat terang tentang kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 1.b.c) penuntutan Tindakan JPU untuk melimpahkan perkara pidana ke PN yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa oleh hakim di sidang pengadilan. 1.b.d). Sidang pengadilan : 1.b.d.1). Dakwaan Surat dari Penuntut Umum yang menunjuk atau membawa suatu perkara pidana ke pengadilan apabila cukup alas an untuk mengadakan penuntutan terhadap tersangka yang memuat peristiwa-peristiwa dan keterangan-keterangan mengenai Locus serta Tempus dimana perbuatan tersebut dilakukan, dan keadaan-keadaan terdakwa melakukan perbuatan tersebut, terutama keadaan yang meringankan dan memberatkan kesalahan terdakwa 1.b.d.2) Ekspesi /tangkisan /keberatan Alat pembelaan dengan tujuan utama untuk menghindarkan diadakannya putusan tentang pokok perkara, karena apabila eksepsi ini diterima oleh PN, maka pokok perkara tidak perlu diperiksa dan diputus. 1.b.d.3)keterangan saksi dan keterangan ahli 1. Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan di muka persidangan

mengenai apa yang saksi lihat dan dengar sendiri 2. Keterangan (saksi) ahli / Espertise adalah keterangan pihak ketiga yang

objektif untuk memperjelas dan member kejernihan dari perkara yang disidangkan serta untuk menambah pengetahuan hakim dalam penyeesaian perkara. Keterangan ahli diberikan sesuai dengan keahlian dari ahli tersebut. Seluruh keterangan saksi dan

keterangan (saksi0 ahli di muka persidangan berada di bawah sumpah (alat bukti yang sah) 3. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan dalam persidangan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia alami dan ia ketahui sendiri.

1.b.d.4) Requisitoir /tuntutan jaksa Tuntutan JPU sebagai kesimpulan pemeriksaan dimuka persidangan yang diajukan setelah smua saksi dan ahli-ahli didengar serta surat-surat yang berguna sebagai alat bukti dibacakan dan dijelaskan kepada terdakwa. 1.b.d.5) pledoi /pembelaan jaksa Setelah JPU membacakan requisitoirnya maka terdakwa / penasehat hukumnya mengajukan pledoinya. 1.b.d.6) REPLIK JAKSA DAN DUPLIK TERDAKWA / PENASEHAT HUKUM 1.b.d.6.a)REPLIK JPU 1. Setelah pembelaan/pledoi penasehat hukum dibacakan, maka JPU diberikan

kesempatan oleh hakim untuk mengajukan replik secara tertulis 2. Replik tersebut diserahkan kepada Hakim Ketua sidang dan turunannya

kepada pihak-pihak yang berkepntingan 1.b.d.6.b) DUPLIK TERDAKWA / PENASEHAT HUKUM 1. Duplik ini diajukan secara tertulis dan dibacakan oleh pansehat hukum

dipersidangan terhadap replik JPU 2. Duplik tersebut diserahkan kepada Hakim Ketua sidang dan turunannya

kepada pihak-pihak yang berkepentingan 1.b.d.7 PUTUSAN MAJELIS HAKIM Menurut KUHAP ada 3 (tiga) macam putusan pengadilan, yaitu : 1. 2. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum

(onstlag van rechtvervolging)

3.

Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa

1.b.e) UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI 1.b.e.a) Upaya Hukum : Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama 1.b.e.b) Latar belakang daripada upaya hukum : Karena putusan itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil memihak, oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim dimungkinkan untuk diperiksa ulang agar kekeliruan putusan tersebut dapat diperbaiki 1.b.e.c) UPAYA HUKUM BIASA : 1.b.e.c.1) Naik Banding (revisi) ke Pengadilan Tinggi (PT) Upaya hukum terhadap Pengadilan Tingkat ke 2 9dua)/Pengadilan Tinggi (PT) yang mengulangi pemeriksaan baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai penerapan hukum atau undang-undangnya. 1.b.e.c.2) Kasasi (Pembatalan) ke Mahkamah Agung (MA) Upaya hukum yang dilakukan ke Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan lain. 1.b.e.d) UPAYA HUKUM LUAR BIASA 1.b.e.d.1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum, yaitu Terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain MA, dapat diajukan Kasasi oleh Jaksa Agung. 1.b.e.d.2)Peninjauan Kembali (PK) Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK ke MA. 1.c)Macam-Macam sanksi/Hukuman pidana di indonesia

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut : 1.c.a)Hukuman-Hukuman PokokHukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini. 1. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman

penjara seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol. 2. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara

dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian. 3. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda

dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan 4. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik

terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP. 1.c.b Hukuman Tambahan Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain : 1. Pencabutan hak-hak tertentu.

Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi: Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang umum lainnya, ialah 1. 2. 3. Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu; Masuk balai tentara; Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena

undang-undang umum; 4. Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau

pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya sendiri; 5. 6. Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri; Melakukan pekerjaan tertentu;

Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan itu. 2. Penyitaan barang-barang tertentu.

Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi: (1) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas. (2) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja atau karena melakujkan pelanggran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang. (3) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atsa orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita.

3.

Pengumuman keputusan hakim.

Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumuman kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum.

Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhuku. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP).
2. SISTEM PERADILAN SAUDI ARABAIA 2.a)Dasar-dasar Hukum saudi arabia Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim mahupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebahagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Terkait dengan susunan tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNyabelum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah. Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidupberibadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'. Asas Syara' Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al

Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat. Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at yang berlaku.

Hukum syara adalah maa tsabata bi khithaabillahil muwajjahi ilaal ibaadi alaa sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadhi. Maksudnya, sesuatu yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia, yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir), atau wadha. Contoh hukum syara, dari beberapa firman Allah dalam Al-Quran

1)

Firman Allah swt., Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat! [QS. Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan cara tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat.

2)

Firman Allah swt., Dan janganlah kamu mendekati zina! [QS. Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram berbuat zina.

3)

Firman Allah swt., Dan apabila kamu telah bertahallul (bercukur), maka berburulah. [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat berburu atau tidak. Wadha adalah sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi pencegah terhadap yang lain. Misalnya,

a)

Perintah Allah swt. Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya. [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong tangan.

b)

Bersabda Rasulullah saw., Allah swt. tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci. Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci adalah dijadikan syarat untuk shalat

c)

Sabda Rasulullah saw., Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu. Hadits ini menunjukkan bahwa pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh mewarisi harta benda si terbunuh. Dari keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi.

1) Hukum taklifi

adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan. Contoh:

b)

Hukum yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka! [QS. AtTaubah (9): 103], Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya. [QS. Al-Imran (3): 97].

c)

Hukum yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: Janganlah di antara kamu mengolok-olok kaum yang lain. [QS. Al-Hujurat (49): 11], Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi. [QS. Al-Maidah (5): 3].

d)

hukum yang menunjukkan boleh pilih (mudah): Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi. [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat. [QS. An-Nisa' (4): 101]. Hukum taklifi terbagi menjadi dua, yaitu ;

a)

Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir.

b)

Rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir. Sumber-sumber Hukum islam :

a) Al-Qur'an Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan. b) Al Hadist Al hadist adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an. c) Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan. Beberapa macam ijtihad antara lain Furu' Syara' Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkaraijtihadiyah 2.b) acara persidangan di saudi arabia[7]

Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yangbertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua). Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri.Hukuman-hukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatantersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih adakeraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka seluruh kasus akan dibuang. Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu: 1. Qodli Aam: bertanggung masalah jawab sehari-hari untuk yang menyelesaikan terjadi didarat, perselisihan tabrakan ditengah-tengah kecelakaan-

masyarakat,

misalnya

mobil,

kecelakaan, dsb. 2. Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara

ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan,mencuri di pasar, dsb. 3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah. Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah

sistem peradilan (Islam), setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau perempuan, terdakwa dan orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy). Tidak ada perbedaan antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan dimana sebagian hokum Islam dan sebagian hokum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya akan menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan AsSunnah (dan segala sesuatu yang berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan. Tidak seorangpun akan di hukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana (alat-alat) penyiksaan tidak diperbolehkan.Dibawah sistem Islam, seseorang yang dirugikan dalam suatu kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi (misal qishas) untuk suatu tindak kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hakAllah.Hukum potong tangan dalam Islam hanya akan diterapkan apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu: 1. Ada saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya)

2. 3. 4. 5. 6. 7.

Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25 gr emas. Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar) Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri tersebut. Barangnya halal secara alami (misal: bukan alkohol) Dipastikan dicuri dari tempat yang aman (terkunci) Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil misalnya uang dari harta milik umum). Di sepanjang 1300 tahun aturan Islam diterapkan, hanya ada sekitar 200 orang yang tangannya dipotong karena mencuri namun kejadin-kejadian pencurian sangat jarang terjadi. Setiap orang berhak menempatkan pemimpinnya di pengadilan, berbicara mengkritiknya jika pengadilan telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadapnya. Sebagaimana ketika seorang wanita pada masa khalifah Umar Ibnu Al Khattab mengoreksi kesalahan yang dilakukan Umar tentang nilai mahar . Kehormatan seorang warga negara dipercayakan kepada Majlis Ummah. Hukuman atas tuduhan kepada muslim lain yang belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan 4 orang saksi yang memperkuat pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan. 2.c) macam-macam sanksi hukuman pidana di saudi arabia Ada 4 kategori hukuman dalam sistem peradilan Islam, yaitu:

1) 2)

Hudud. Hak Allah SWT, seperti perbuatan zina (100 cambukan), murtad (hukuman mati). Al Jinayat. Hak individu, dia boleh memaafkan tindak kejahatan seperti pembunuhan,

kejahatan fisik. 3) At Tazir. Hak masyarakat, perkara-perkara yang mempengaruhi kehidupan masyarakat umum sehari-hari seperti pengotoran lingkungan, mencuri di pasar. 4) Al-Mukhalafat. Hak negara, perkara-perkara yang mempengaruhi kelancaran tugas negara misal melanggar batas kecepatan.

BAB III PENUTUP Dari paparan di atas dapat disimpulkan di antaranya :

1.

bahwa sistem hukum pidana di inronesia berasal dari KUHP yang berasal dari belanda

sedangkan negara saudi arabia berasal dari ijtihad hadis dan al quran 2. 3. sistem peradilan indonesia mengenal adanya upaya hukum dan saudi arabia tidak ada sanksi pelaku dalam tindak pidana di indonesia fleksibel dan mampu mengalami perubahan

sesuai dengan perkembangan zaman. Karena tidak mengenal sakralitas apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah sesuai dengan keperluan.sedangkan sistem hukum pidana di saudi arabia tidak sesuai dengan sumbernya

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Jurnal prof. Prof. Erman Radjaguguk, SH,LLM,Ph.D. pluralisme hukum harus di akui http://www.scribd.com/doc/19428999/Sistem-Peradilan-Dalam-Islam Pengantar Ilmu hukum, Subandi AL Marsudi, Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008) Prof. Moeljatno, S.H. kitab undang-undang hukum pidana Penerbit Bumi Aksara,

DAFTAR ISI BAB I PENDAHLUAN 1.1 latar belakang masalah 1.2 tujuan 1.3 rumusan masalah 1.4 sistematika penulisan DAFTAR ISI BAB II PEMBAHASAN 1.sistem peradilan pidana di Indonesia 5 1 1 2 2 4

1.a)dasar-dasar hukum pidana di indonesia 1.b)acara persidangan pidana di indonesia 1.c)macam-macam sanksi hukuman pidana di indonesia 2. sistem peradilan pidana di saudi arabia 2.a) dasar-dasar hukum pidana di saudi arabia 2.b) acara persidangan di saudi arabia 2.c) macam-macam sanksi hukuman pidana di saudi arabia BAB III PENUTUP Kesimpulan BAB IV DAFTAR PUSTAKA

5 6 9 12 12 16 18

19 20

SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA DENGAN SAUDI ARABIA

Di ajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah perbandingan hukum

Dosen Pembimbing :

UJANG CHARDA .SH.MH

NAMA :

ADE DIDIKIRAWAN CECEP

IRMAYA DARSO

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUBANG

Polemik PP N0. 77 Tahun 2007


In Opini on Senin, September 29, 2008 at 7:52 am

Anthon Raharusun

Oleh Anthon Raharusun*) PERATURAN Pemerintah nomor 77 tahun 2007 tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Dalam artian, tidak diamanatkan langsung oleh perundang-undangan, termasuk Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. PP No. 77 tersebut bukan justifikasi yuridis. Ia merupakan justifikasi politik, karena tidak bersumber langsung dari undang-undang yang menjadi dasar pencetusannya. Sesuai Pasal 1 ayat (4) PP tersebut, Lambang Daerah merupakan panji dan simbol kultural bagi masyarakat daerah yang mencerminkan kekhasan daerah dalam negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih lanjut, dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan, Lambang Daerah berkedudukan sebagai tanda identitas daerah dan berfungsi sebagai pengikat kesatuan sosial budaya masyarakat daerah dalam NKRI. Dalam kaitan ini, haruslah dimaknai bahwa sepanjang pemerintah daerah Provinsi Papua menetapkan sebuah lambang daerah sebagai lambang daerah otonomi khusus yang bercirikan

atau diposisikan sebagai panji atau simbol kultural bagi masyarakat Papua yang mencerminkan kekhasan daerah Papua dalam bingkai NKRI, hal itu tidak dilarang. Sepanjang simbol kultural tersebut ditempatkan sebagai Lambang Daerah, hal tersebut tidak merupakan larangan, alias sejalan dengan amanat PP No. 77. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah daerah, DPR Papua dan MRP segera membuat peraturan daerah khusus yang mengatur tentang Lambang Daerah (bukan bendera daerah), sehingga identitas daerah otonomi khusus dapat lebih bermakna dalam NKRI. Pemerintah dan aparat keamanan tidak perlu khawatir terhadap adanya bendera Bintang Kejora. Kekhawatiran yang berlebihan justru akan memicu konflik horisontal antara masyarakat dengan pemerintah dan aparat keamanan. Ini sangat berbahaya. Kecendeungan otoriter pemerintah dapat memicu konflik baru yang mengganggu stabilitas nasional di daerah yang bisa berakibat disintegrasi bangsa di tingkat lokal. Persoalan Bintang Kejora, memang merupakan dilema bagi pemerintah yang membutuhkan jalan keluar. Dilema di tengah upaya pemerintah membangun integrasi dan demokrasi guna memperkokoh ikatan kebangsaan dalam wadah NKRI. Pemerintah sebaiknya tidak panik, bersikap executive heavy dan otoriter terhadap aspirasi demokrasi yang muncul dari balik Bintang Kejora. Pengibaran Bintang Kejora yang seringkali muncul harus dilihat sebagai bagian dari semangat demokrasi di tingkat lokal . Dan seyogiyanya diberikan ruang. Entitas kultural di daerah memerlukan celah untuk berekspresi, sepanjang tidak mengganggu integritas teritorial NKRI. Persoalan tersebut terjadi karena upaya untuk memperkokoh ikatan kebangsaan tidak jarang harus dilakukan dengan menciptakan suatu sistem negara yang kuat yang dapat mengatasi kelompokkelompok primordial dalam masyarakat agar tidak saling menghancurkan. Di pihak lain, upaya membangun demokrasi mempersyaratkan ruang ekspresi, dan terutama, aspirasi politik bagi berbagai kelompok dalam masyarakat. Jadi, pemerintah berbenturan pada pilihan membangun pemerintahan yang kuat untuk mengawal keutuhan bangsa dengan membuka keran demokrasi yang juga menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Tolak-tarik atau dinamika politik lokal tersebut saat ini juga dirasakan dalam produk hokum, baik dalam bidang otonomi daerah maupun dinamika pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Dengan demikian, persoalan Bintang Kejora jangan diidentikkan dengan lambang separatis. Namun, harus dipahami sebagai lambang daerah (bukan bendera daerah), pengikat sosial budaya masyarakat Papua dalam NKRI. Jika Bintang Kejora diposisikan sebagai bendera daerah, Provinsi Papua tetap dicap sebagai Daerah / Provinsi Separatis. Sebagai contoh, Skotlandia yang kebijakan otonomi daerahnya kebetulan menyerupai Otonomi Khusus Papua. Terutama, pembagian kewenangan legislatif,

pengaturan bidang keuangan, hubungan internasional, hubungan antara pemerintah Skotlandia dan pemerintah pusat, serta evaluasi pelaksanaan otonomi di Skotlandia. Di sana persoalan separatis juga mengemuka. Otonomi daerah di Spanyol juga melibatkan ungkapan budaya. Sebelumnya, Bahasa Catalon dan Bahasa Basque dilarang di sekolah, media, dan pertemuan umum. Di bawah Jenderal Franco, bendera daerah seperti bendera Catalonia dan Basque ldans dinyatakan sebagai lambang separatisme dan akibatnya dilarang. Larangan ini dicabut dalam Konstitusi Baru 1978. Bagian 4 menyatakan, setiap daerah otonom: dapat mengakui bendera dan lambang daerah otonom. Bendera dan lambang itu wajib digunakan bersama dengan bendera Spanyol di gedung-gedung pemerintah dan pada upacara-upacara resmi. Perbandingannya dengan Indonesia jelas sekali: Spanyol sebagai negara otoriter melarang lambang daerah-Spanyol sebagai negara demokrasi mengizinkan lambang daerah. Otonomi di Spanyol telah memungkinkan ditampungnya identitas daerah selama peralihan ke demokrasi. Tentu saja, ada ketegangan yang terus menerus dan kadang-kadang konflik antara pemerintah daerah dan pusat tetapi hal ini merupakan bagian dari dinamika politik dalam sistem otonomi. Secara keseluruhan, Indonesia perlu memerhatikan, 28 tahun sesudah kematian Jenderal Franco, Spanyol menjadi negara yang makmur dan maju dengan sistem pemerintahan yang demokratis dan otonomi daerah menjadi bagian penting dari sistem tersebut. Melihat masih terjadinya polemik seputar PP No. 77, pemerintah daerah, DPR Papua dan MRP harus berkomitmen kuat menyelesaikan masalah lambang daerah. (Jika pemerintah daerah tidak menginginkan rakyat Papua menjadi korban terus-menerus karena bendera). Dan karenanya, perlu segera menyikapinya melalui kebijakan daerah dalam bentuk peraturan daerah khusus tentang Lambang Daerah, di mana Bintang Kejora dapat dijadikan sebagai salah satu lambang kultural. Bukan diposisikan sebagai bendera kedaulatan. Dengan diaturnya lambang daerah tersebut dalam Perdasus, justifikasi yuridis terhadap keberadaan Bintang Kejora sebagai lambang entitas kultural Papua memiliki landasan hukum yang kuat. *) Advokat Senior; lulusan S-2 bidang Konsentrasi Hukum Kenegaraan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Tags: Daerah, Hukum, Lambang, Otonomi, Pemerintah, Peraturan, Politik

Share this: StumbleUpon Digg Reddit

PIDANA DENDA
Posted by abdul on 02:59 PIDANA DENDA

I. Pendahuluan Pidana denda adalah salah satu jenis pidana yang telah lama dan diterima dalam sistem hukum masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Walaupun tentu saja pengaturan dan cara penerapan pidana denda tersebut bervariasi sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat. Dalam sistem hukum islam maupun hukum adat misalnya, pidana denda juga dikenal walaupun lebih bersifat ganti kerugian. Demikian pula di dunia Barat, pidana denda merupakan pidana yang tertua. Misalnya sampai sekarang di skotlandia, kejaksaan disebut sebagai Prosecutor Fiscal yang menurut sejarahnya, pekerjaan jaksa dahulu di skotlandia ialah memungut uang denda dari terpidana sebagai sumber pendapatan negara. Menurut Sutherland dan Cressey, pidana denda ini bermula dari hubungan keperdataan. Dikatakan bahwa: ketika seorang dirugikan oleh orang lain, maka ia boleh menuntut penggantian rugi kerusakan. Jumlahnya tergantung dari besarnya kerugian yang di derita serta posisi sosialnya yang dirugikan itu. Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dari pembayaran itu atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan pemerintahan dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap yang membuat gangguan. Dan dewasa ini kita mengetahui bahwa seluruh pembayaran pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim, masuk ke dalam khas negara. Walaupun [pidana denda ini sudah lama dikenal dan diterima dalam sistem pemidanaan berbagai negara, namun pengkajian mengenai pidana denda ini dalam dunia ilmu hukum pidana, khususnya di indonesia masih tergolong Miskin sekali. Hal ini mungkin merupakan refleksi dari kenyataan bahwa masyarakat pada umumnya masih mengangggap bahwa pidana denda adalah pidana yang piling ringan. II. Pembahasan

1. Tujuan denda dan tujuan pemidanaan. Hukum pidana adalah hukum sanksi, sebab dengan bertumpu pada sanksi itulah hukum pidana di fungsikan untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keadilan. dalam hal ini Simons mengatakan bahwa stelsel pidana merupkan bagian terpenting dari KUHP. Lebih jauh lagi Koesnoen S.H. mengemukakan bahwa kedudukan pidana sangat penting dalam politik kriminal, lebih penting dari hukum dari hukum pidana nya sendiri. Pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Apabila obyek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan obyek pidana mati adalah jiwa orang maka obyek dari pidana denda adalah harta benda si terpidana. Harta benda yang manakah yang di maksudkan? Apabila kita perhatikan bunyi ketentuan KUHP maupun UU lain maka jelaslah bahwa harta benda yang dimaksudkan adalah dalam bentuk uang dan bukan dalam bentuk natura atau barang, baik bergerak maupun tidak bergerak. Sebagai salah satu jenis pidana denda , tentu saja pidana denda bukan dimaksudkan sekedar untuk tujuan-tujuan ekonomis misalnya untuk sekedar menambah pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan pemidanaan. Pengaturan dan penerapan pidana denda baik dalam tahap legislatif (pembuatan undang-undang) tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun tahap pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang (eksekutif) harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan. Oleh karena itu pidana denda senantiasa dikaitkan dengan pencapaian tujuan pemidanaan. Dalam doktrin ilmu hukum pidana, telah berkembang berbagai teori pemidanaan dengan segala variasinya. Tetapi bertolak dari pendapat Herbert L. packer, dapat dikatakan bahwa hanya ada dua tujuan pokok dari suatu pemidanaan yaitu sebagai pembalasan (Retributif) dan untuk pencegahan kejahatan (Prevention).dalam hal tujuan pemidanaan untuk pencegahan kejahatan tersebut, dapat pula dibedakan atas pencegahan khusus dan pencegahan umum yang memerlukan pembahasan tersendiri. Dalam rancangan KUHP nasional yang baru, para pembaharu KUHP telah menetapkan secara eksplisit tentang tujuan pemidanaan di dalam buku I pasal 51, yaitu: mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman

masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dalam ayat (2) pasal tersebut dikatakan bahwa: pemidanaan tidak bertujuan menderita kan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa: Rancangan KUHP menitik beratkan tujuan pemidanaan sebagai pencegahan bukan pembalasan (penderitaan) Pemidanaan menurut rancangan KUHP tidak dimaksudkan pula sebagai suatu pencelaan (oleh masyarakat) atas perbuatan kejahatan yang telah dilakukan, Dengan demikian bila rancangan tersebut kelak dijadikan sebagai KUHP, maka pidana yang diterapkan harus dapat memenuhi tujuan pemidanaan diatas dan perlu ditegaskan bahwa pidana denda tidak dimaksudkan untuk menambah income negara atau untuk membiayai administrasi peradilan. Hanya saja sulit dibayangkan bagaimana suatu pidana denda yang dijatuhkan dapat berfungsi sebagai suatu deterrence tanpa sifat penderitaan yang melekat pada pidana denda tersebut. Selanjutnya efektifitas suatu pemidanaan tergantung pada suatu jalinan mata rantai tahap-tahap atau proses sebagai berikut: Tahap penetapan pidana (denda) oleh pembuat undang-undang, Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (denda) oleh pengadilan, dan Tahap pelaksanaan pidana (denda) oleh aparat yang berwenang. Tetapi di samping faktor-faktor diatas, efektifitas pidana denda itu sangat tergantung pula pada pandangan dan penilaian masyarakat terhadap pidana denda. Apabila masyarakat masih melihat pidana denda sebagai hal yang kurang memenuhi rasa keadilan maka pidana denda tidak berhasil guna mencapai tujuan pemidanaan. 2. Faktor-faktor yang mendorong kecenderungan memperluas penggunaan pidana denda. Apabila kita perhatikan perkembangan hukum pidana dewasa ini di indonesia, terutama hukum pidana khusus maupun ketentuan-ketentuan pidana dalam berbagai perundang-undangan lainnya, terdapat suatu kecenderungan memperluas penggunaan pidana perampasan kemerdekaan. Caranya baik dengan meningkatkan jumlah pidana denda maksimum yang diancamkan, kemungkinan komulasi pidana penjara atau kurungan denda (yang dimungkinkan dalam KUHP), maupun dengan mengancamkan pidana denda secara mandiri .sebagaimana tercantum misalnya dalam UU Drtr No.7 tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi yang masih berlaku sampai saat ini. Kecenderungan-kecenderungan tersebut tentu saja di dorong oleh berbagai faktor dan situasi yang memerlukan penelitian yang lebih luas dalam kerangka mempelajari permasalahan pidana pokok ini. Namun berbagi literatur dan hasil penelitian Tim pengkajian hukum tentang penerapan pidana denda, dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong meningkatkan dan berkembangnya pidana denda. Y.E. Lokollo, mengemukakan bahwa penyebab perkembangan pidana denda antara lain disebabkan oleh membaik nya secara tajam tingkat kemampuan finansial dan kesejahteraan masyarakat di bidang materi. Sebagai akibat membaik nya tingkat kesejahteraan masyarakat membawa akibat terhadap perubahan watak( karakter) dari kriminalitas. Selanjutnya perkembangan pidana denda ini di dorong pula oleh perkembangan delik-delik khusus dalam masyarakat dibidang perekonomian yang erat pula kaitannya dengan apa yang disebut sebagai white collar crime dan profesional crime, yang dapat menghasilkan keuntungan materiil dalam jumlah yang besar. Apabila si pelaku hanya dikenakan pidana penjara, maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk menikmati hasil kejahatan tersebut. dalam hal inilah pidana dapat didayagunakan untuk mengejar kekayaan hasil dari tindak pidana yang dilakukan terpidana. Tentu saja untuk maksud ini harus didukung oleh sarana-sarana untuk melaksanakan keputusan pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim. Faktor ini erat kaitannya dengan perkembangan dalam pidana yang menyangkut subyek hukum dalam hukum pidana. Dimana dalam KUHP sekarang pada dasarnya hanya orang yang dapat menjadi subyek hukum pidana. Dalam memory van toelichting pasal 51 Nederlandache W.v.S (pasal 59 KUHP) dikatakan: suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya tidak dapat dihindarkan lagi kemungkinan badan hukum (korporasi)melakukan tindak pidana dan tanggung jawab tidak terlepas dari pertanggungjawaban pihak pengurusnya. Namun faktor yang tidak kalah pentingnya adalah semakin tidak disukainya pidana penjara atau

kurungan, karena dinilai seringkali tidak efektif terutama bagi tindak pidana tertentu seperti tindak pidana ekonomi maupun narkotika. Kurang disukainya pidana penjara ini juga bertolak dari susut pandang Cost and benefit yang berkaitan dengan masalah efisiensi. Semakin banyak penghuni penjara berarti semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh negara, sedang uang negara berarti uang rakyat juga. Jumlah biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan output yang diperoleh dari pidana perampasan kemerdekaan itu. 3. Efektifitas penerapan pidana denda. Perkembangan untuk memperluas penggunaan pidana denda dengan meningkatkan jumlah ancaman pidana denda saja ternyata belum mencukupi untuk meningkatkan efektifitas pidana denda. Diperlukan suatu kebijakan yang menyeluruh bauk dalam bidang legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Menurut Muladi dan Barda Nawawi arief, dalam pelaksanaan pidana denda perlu dipertimbangkan antara lain mengenai: a. sistem penerapan jumlah atau besarnya pidana. b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda. c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan. d. Pelaksanaan pidana dalam hal-hal khusus(misalnya terhadap seorang anak yang belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua). e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda. Pidana denda obyeknya adalah harta benda yang berbentuk uang, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan KUHP. Berdasarkan laporan pengkajian hukum tentang penerapan pidana Denda Dep.Keh.RI, ternyata bahwa pidana denda sejauh ini dirasakan belum memenuhi tujuan pemidanaan, disebabkan oleh faktor-faktor berikut: a. Dapat digantikan nya pelaksanaan denda oleh bukan pelaku, menyebabkan rasa dipidananya pelaku menjadi hilang. b. Nilai ancaman pidana denda di rasakan terlampau terlalu rendah, sehingga tidak sesuai dengan keselarasan antara tujuan pemidanaan dengan rasa keadilan dalam masyarakat. c. Meskipun terdapat ancaman pidana yang tinggi dalam aturan pidana diluar KUHP, akan tetapi belum dapat mengikuti cepatnya perkembangan nilai mata uang dalam masyarakat. Namun terlepas dari hal diatas, jenis pidana denda ini memberikan banyak segi-segi keadilan, antara lain: a. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat di revisi apabila ada kesalahan, dibanding dengan jenis hukuman lainnya. b. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah karena pemerintah tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa disertai kurungan subsider. c. Hukuman denda tidak membawa atau tidak mengakibatkan tercela nya nama baik atau kehormatan seperti yang dialami terpidana penjara. d. Pidana denda akan membuat lega dunia perikemanusiaan. e. Hukuman denda akan menjadi penghasilan bagi daerah atau kota. 4. Suatu tinjauan terhadap pola pidana denda dalam hukum pidana positif indonesia dan dalam RKUHP. Apabila di bandingkan dengan sistem pemidanaan di negara belanda, maka dapat di katakan bahwa pola pemidanaan denda di indonesia hanya mengenal pidana denda yang dikenakan oleh pengadilan. Sedangkan belanda Belanda mengenal sanksi-sanksi ekstra pengadilan yang dapat melakukan transaksi denda yang harus dibayar agar suatu kasus tidak diteruskan kepengadilan .M.L.Hc.Hulsman mengemukakan, bahwa sanksi-sanksi ekstra yuridis tersebut adalah: a. transaksi polisi, b. transaksi dengan kantor kejaksaan, c. pembebasan bersyarat, apabila telah dilakukan penuntutan. Untuk melihat bagaimana kedudukan dan pola pidana denda dalam hukum pidana positif indonesia, maka pertama-tama kita bertolak dari ketentuan pasal 10 KUHP, yang menyatakan bahwa: 1. pidana pokok, terdiri dari: a. pidana mati b. pidana penjara c. pidana kurungan d. pidana denda e. pidana tutupan (yang di tambahkan berdasarkan Undang-Undang No. 20 1946). 2. pidana tambahan, terdiri atas: a. pencabutan hak-hak tertentu

b. perampasan barang-barang tertentu c. pengumuman keputusan hakim. Berdasarkan urutan pidana pokok tersebut, terkesan bahwa pidana denda adalah pidana pokok yang paling ringan. Walaupun tidak ada ketentuan yang dengan tegas menyatakan demikian. Berbeda dengan Rancangan KUHP pada pasal 58 ayat (2) yang tegas-tegas menyatakan bahwa: urutan pidana pokok diatas menentukan berat ringan nya pidana. Pidana denda dalam KUHP diancam terhadap seluruh tindak pidana pelanggaran (dalam buku III KUHP) dan juga terhadap tindak pidana kejahatan (dalam buku II KUHP), tetapi kejahatan-kejahatan ringan dan kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja. Kebanyakan pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan atau penjara. Muladi dan Barda nawawi mengemukakan bahwa sedikit sekali tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda: untuk kejahatan dalam buku II hanya terdapat dalam satu delik, yaitu dalam pasal 403, sedangkan untuk pelanggaran buku III hanya terdapat dalam 40 pasal dari keseluruhan pasal-pasal tentang pelanggaran. Sistem KUHP tidak mengenal batas maksimal umum pidana denda, melainkan hanya batas maksimum khusus dalam pasal-pasalnya. Sebaliknya dalam KUHP ditentukan batas minimum umum pidana denda, yaitu sebesar dua puluh lima sen (250,-). Bila ditelusuri maka jumlah pidana denda paling tinggi dalam KUHP adalah sebesar Rp 150.000,- sebagai man diancamkan dalam pasal 251 dan 403, sedangkan untuk pelanggaran (bukuIII) pidana denda paling tinggi adalah Rp 75.000,- yang terdapat dalam pasal 568 dan 569. 5. pola pidana denda dalam rancangan KUHP (RKUHP). III. Kesimpulan Pidana denda adalah salah satu jenis pidana yang telah lama dan diterima dalam sistem hukum masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Tetapi walaupun sudah lama di kenal tapi pidana denda di indonesia ini masih tergolong Miskin, hal ini di mungkin merupakan refleksi dari kenyataan bahwa masyarakat pada umumnya masih menganggap bahwa pidana denda adalah pidana yang paling ringan. Pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Apabila obyek dari pidana penjara dan kurungan adalah kemerdekaan orang dan obyek pidana mati adalah jiwa orang maka obyek dari pidana denda adalah harta benda si terpidana. pidana denda bukan dimaksudkan sekedar untuk tujuan-tujuan ekonomis misalnya untuk sekedar menambah pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan pemidanaan. Pengaturan dan penerapan pidana denda baik dalam tahap legislatif (pembuatan undang-undang) tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun tahap pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang (eksekutif) harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan. IV. Penutup Demikianlah makalah ini saya buat, pasti banyak kesalahan dan kekurangannya. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR

PUSTAKA

Lokman, loebby, Pengkajian Hukum Tentang Penerapan Pidana Denda. Jakarta, BPHN Dep.Keh.RI, 1992 M. Hamdan,Politik Hukum Pidana Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 1974 Muladi dan Barda Nawawi A. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni. 1992 Soedjono D, Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum Jakarta, Rajawali Press. 1984

Sutherland, Cressey. The Control Crime: Hukuman Dalam Perkembangan Hukum Pidana, Bandung: Tarsito. 1974

PERBANDINGAN SISTEM HUUM PIDANA DI INDONESIA DENGAN ARAB SAUDI


BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perbandingan sistem hukum pidana di indonesia dengan saudi arabia sangat berbeda di indonesia terjadi Pluralisme hukum yang di sebabkan karena adanya ber bagai jenis suku, adat kebudayaaan ,dan bahasa kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok masyarakat diterapkan dalam hal tertentu atau saat terjadi konflik, sehingga ada kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk individu tertentu dan bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku padanya. Kendala besar dalam menghadapi pluralisme hukum adalah kepastian hukum untuk menegakan keadilan [1]Dengan demikian sistem hukum di indonesia masih menganut pluralisme hukum dan yang lebih dominan menganut mazhab legisme[2] dalam penemuan hukum pidana Indonesia. Sedangkan sistem hukum pidana saudi arabia adalah hukum pidana islam tradisional sebagaimana terdapat dalam alquran, hadis ,kitab-kitab piqih materinya mencakup hudud qisas/diyat dan tazir dan pidana rajam sudah diganti dengan eksekusi pidana mati.[3] 1.2. Tujuan Dalam karya tulis ini permasalahan yang akan di bahas yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut : 1.sistem peradilan pidana di Indonesia : 1.a)dasar-dasar hukum pidana indonesia 1.b)acara persidangan pidana 1.c)proses pelaksanan sanksi pidana 2. sistem peradilan pidana di saudi arabia 2.a) dasar-dasar hukum pidana saudi arabia 2.b) acara persidangan saudi arabia 2.c) proses sanksi pidana 1.3. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan disajikan penulis dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut: 4. sebutkan yang menjadi dasar sistem hukum indonesia dengan arab saudi?

5. bagaimana proses beracara dalam persidangan di negara indonesia dengan arab saudi ? 6. jelaskan proses pelaksanaan sanksi pidana di negara indonesia dan negara saudi arabia ? 1.4. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan karyatulis ini adalah : Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah ,tujuan, dan rumusan masalah Bab II pembahasan , yang akan dibahas mengenai : 1.sistem peradilan pidana di Indonesia : 1.a)dasar-dasar hukum pidana di indonesia 1.b)acara persidangan pidana di indonesia 1.c)macam-macam sanksi hukuman pidana di indonesia 2. sistem peradilan pidana di saudi arabia 2.a) dasar-dasar hukum pidana di saudi arabia 2.b) acara persidangan di saudi arabia 2.c) macam-macam sanksi hukuman pidana di saudi arabia Bab III Penutup, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan. Bab IV Daftar Pustaka

DAFTAR ISI BAB I PENDAHLUAN 1.1 latar belakang masalah 1.2 tujuan 1.3 rumusan masalah 1.4 sistematika penulisan DAFTAR ISI BAB II PEMBAHASAN 1.sistem peradilan pidana di Indonesia 1.a)dasar-dasar hukum pidana di indonesia 1.b)acara persidangan pidana di indonesia 1.c)macam-macam sanksi hukuman pidana di indonesia 2. sistem peradilan pidana di saudi arabia 2.a) dasar-dasar hukum pidana di saudi arabia 2.b) acara persidangan di saudi arabia 2.c) macam-macam sanksi hukuman pidana di saudi arabia BAB III PENUTUP 5 6 9 12 12 16 18 5 1 1 2 2 4

Kesimpulan BAB IV DAFTAR PUSTAKA

19 20

BAB II PEMBAHASAN 1.SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

1.a Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembagalembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.

Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah :[4] Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon. Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai procedural law dan hukum pidana materiil sebagai substantive law. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

1.b acara persidangan pidana di indonesia[5] 1.b.a) Penyelidikan Merupakan suatu rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya penyidikan lebih lanjut.

1.b.b)penyidikan Suatu rangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti, dengan bukti tersebut membuat terang tentang kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 1.b.c) penuntutan Tindakan JPU untuk melimpahkan perkara pidana ke PN yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa oleh hakim di sidang pengadilan. 1.b.d). Sidang pengadilan : 1.b.d.1). Dakwaan Surat dari Penuntut Umum yang menunjuk atau membawa suatu perkara pidana ke pengadilan apabila cukup alas an untuk mengadakan penuntutan terhadap tersangka yang memuat peristiwa-peristiwa dan keterangan-keterangan mengenai Locus serta Tempus dimana perbuatan tersebut dilakukan, dan keadaan-keadaan terdakwa melakukan perbuatan tersebut, terutama keadaan yang meringankan dan memberatkan kesalahan terdakwa

1.b.d.2) Ekspesi /tangkisan /keberatan Alat pembelaan dengan tujuan utama untuk menghindarkan diadakannya putusan tentang pokok perkara, karena apabila eksepsi ini diterima oleh PN, maka pokok perkara tidak perlu diperiksa dan diputus. 1.b.d.3)keterangan saksi dan keterangan ahli 4. Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan di muka persidangan mengenai apa yang saksi lihat dan dengar sendiri 5. Keterangan (saksi) ahli / Espertise adalah keterangan pihak ketiga yang objektif untuk memperjelas dan member kejernihan dari perkara yang disidangkan serta untuk menambah pengetahuan hakim dalam penyeesaian perkara. Keterangan ahli diberikan sesuai dengan keahlian dari ahli tersebut Seluruh keterangan saksi dan keterangan (saksi0 ahli di muka persidangan berada di bawah sumpah (alat bukti yang sah) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan dalam persidangan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia alami dan ia ketahui sendiri 1.b.d.4) Requisitoir /tuntutan jaksa Tuntutan JPU sebagai kesimpulan pemeriksaan dimuka persidangan yang diajukan setelah smua saksi dan ahli-ahli didengar serta surat-surat yang berguna sebagai alat bukti dibacakan dan dijelaskan kepada terdakwa. 1.b.d.5) pledoi /pembelaan jaksa Setelah JPU membacakan requisitoirnya maka terdakwa / penasehat hukumnya mengajukan pledoinya.

1.b.d.6) REPLIK JAKSA DAN DUPLIK TERDAKWA / PENASEHAT HUKUM 1.b.d.6.a)REPLIK JPU 3. Setelah pembelaan/pledoi penasehat hukum dibacakan, maka JPU diberikan kesempatan oleh hakim untuk mengajukan replik secara tertulis 4. Replik tersebut diserahkan kepada Hakim Ketua sidang dan turunannya kepada pihak-pihak yang berkepntingan 1.b.d.6.b) DUPLIK TERDAKWA / PENASEHAT HUKUM 3. Duplik ini diajukan secara tertulis dan dibacakan dipersidangan terhadap replik JPU oleh pansehat hukum

4. Duplik tersebut diserahkan kepada Hakim Ketua sidang dan turunannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan 1.b.d.7 PUTUSAN MAJELIS HAKIM Menurut KUHAP ada 3 (tiga) macam putusan pengadilan, yaitu : 4. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak)

5. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtvervolging) 6. Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa

1.b.e) UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI 1.b.e.a) Upaya Hukum : Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama 1.b.e.b) Latar belakang daripada upaya hukum : Karena putusan itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil memihak, oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim dimungkinkan untuk diperiksa ulang agar kekeliruan putusan tersebut dapat diperbaiki 1.b.e.c) UPAYA HUKUM BIASA : 1.b.e.c.1) Naik Banding (revisi) ke Pengadilan Tinggi (PT) Upaya hukum terhadap Pengadilan Tingkat ke 2 9dua)/Pengadilan Tinggi (PT) yang mengulangi pemeriksaan baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai penerapan hukum atau undang-undangnya. 1.b.e.c.2) Kasasi (Pembatalan) ke Mahkamah Agung (MA) Upaya hukum yang dilakukan ke Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan lain. 1.b.e.d) UPAYA HUKUM LUAR BIASA 1.b.e.d.1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum, yaitu Terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain MA, dapat diajukan Kasasi oleh Jaksa Agung.

1.b.e.d.2)Peninjauan Kembali (PK) Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK ke MA. 1.c)Macam-Macam sanksi/Hukuman pidana di indonesia Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut : 1.c.a)Hukuman-Hukuman Pokok[6] 5. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini. 6. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol. 7. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian. 8. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan 9. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP. 1.c.b Hukuman Tambahan Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain : 2. Pencabutan hak-hak tertentu.

Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi: Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang umum lainnya, ialah 7. 8. Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu; Masuk balai tentara;

9. Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undangundang umum; 10. Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya sendiri; 11. 12. Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri; Melakukan pekerjaan tertentu;

Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila dalam undangundang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan itu. 3. Penyitaan barang-barang tertentu. Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi: (1) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas. (2) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja atau karena melakujkan pelanggran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang. (3) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atsa orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita.

4.

Pengumuman keputusan hakim.

Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumuman kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhuku. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP). 2. SISTEM PERADILAN SAUDI ARABAIA 2.a)Dasar-dasar Hukum saudi arabia Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim mahupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebahagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Terkait dengan susunan tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNyabelum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.

Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidupberibadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'. Asas Syara'

Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat. Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at yang berlaku.

Hukum syara adalah maa tsabata bi khithaabillahil muwajjahi ilaal ibaadi alaa sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadhi. Maksudnya, sesuatu yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia, yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir), atau wadha. Contoh hukum syara, dari beberapa firman Allah dalam Al-Quran 1) Firman Allah swt., Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat! [QS. Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan cara tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat. 2) Firman Allah swt., Dan janganlah kamu mendekati zina! [QS. Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram berbuat zina. Firman Allah swt., Dan apabila kamu telah bertahallul (bercukur), maka berburulah. [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat berburu atau tidak. Wadha adalah sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi pencegah terhadap yang lain. Misalnya, a) Perintah Allah swt. Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya. [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong tangan. b) Bersabda Rasulullah saw., Allah swt. tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci. Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci adalah dijadikan syarat untuk shalat c) Sabda Rasulullah saw., Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu. Hadits ini menunjukkan bahwa pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh mewarisi harta benda si terbunuh. Dari keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadhi.

3)

1) Hukum taklifi

adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan. Contoh:

atau

tuntutan

untuk

b)

Hukum yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka! [QS. At-Taubah (9): 103], Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya. [QS. Al-Imran (3): 97]. Hukum yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: Janganlah di antara kamu mengolok-olok kaum yang lain. [QS. Al-Hujurat (49): 11], Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi. [QS. Al-Maidah (5): 3]. hukum yang menunjukkan boleh pilih (mudah): Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi. [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat. [QS. An-Nisa' (4): 101]. Hukum taklifi terbagi menjadi dua, yaitu ;

c)

d)

a)

Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir. Rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir. Sumber-sumber Hukum islam :

b)

a) Al-Qur'an Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan. b) Al Hadist Al hadist adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an. c) Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan. Beberapa macam ijtihad antara lain

Furu' Syara'

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkaraijtihadiyah 2.b) acara persidangan di saudi arabia[7] Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yangbertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan AlQur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua). Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri.Hukuman-hukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatantersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih adakeraguan tentang peristiwaperistiwa tersebut maka seluruh kasus akan dibuang. Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu: 1. Qodli Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaankecelakaan, dsb. 2. Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan,mencuri di pasar, dsb. 3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah. Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem peradilan (Islam), setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau perempuan, terdakwa dan orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy). Tidak ada perbedaan antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan dimana sebagian hokum Islam dan sebagian hokum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya akan menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala sesuatu yang berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan. Tidak seorangpun akan di hukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana (alatalat) penyiksaan tidak diperbolehkan.Dibawah sistem Islam, seseorang yang dirugikan dalam suatu kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi (misal qishas) untuk suatu tindak kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hakAllah.Hukum potong tangan

dalam Islam apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu:

hanya

akan

diterapkan

1. Ada saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya) 2. Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25 gr emas. 3. Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar) 4. Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri tersebut. 5. Barangnya halal secara alami (misal: bukan alkohol) 6. Dipastikan dicuri dari tempat yang aman (terkunci) 7. Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil misalnya uang dari harta milik umum). Di sepanjang 1300 tahun aturan Islam diterapkan, hanya ada sekitar 200 orang yang tangannya dipotong karena mencuri namun kejadin-kejadian pencurian sangat jarang terjadi. Setiap orang berhak menempatkan pemimpinnya di pengadilan, berbicara mengkritiknya jika pengadilan telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadapnya. Sebagaimana ketika seorang wanita pada masa khalifah Umar Ibnu Al Khattab mengoreksi kesalahan yang dilakukan Umar tentang nilai mahar . Kehormatan seorang warga negara dipercayakan kepada Majlis Ummah. Hukuman atas tuduhan kepada muslim lain yang belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan 4 orang saksi yang memperkuat pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan. 2.c) macam-macam sanksi hukuman pidana di saudi arabia Ada 4 kategori hukuman dalam sistem peradilan Islam, yaitu: 1) Hudud. Hak Allah SWT, seperti perbuatan zina (100 cambukan), murtad (hukuman mati). individu, dia boleh memaafkan tindak kejahatan seperti pembunuhan,

2) Al Jinayat. Hak kejahatan fisik.

3) At Tazir. Hak masyarakat, perkara-perkara yang mempengaruhi kehidupan masyarakat umum sehari-hari seperti pengotoran lingkungan, mencuri di pasar. 4) Al-Mukhalafat. Hak negara, perkara-perkara yang mempengaruhi kelancaran tugas negara misal melanggar batas kecepatan.

BAB III PENUTUP Dari paparan di atas dapat disimpulkan di antaranya :

4. bahwa sistem hukum pidana di inronesia berasal dari KUHP yang berasal dari belanda sedangkan negara saudi arabia berasal dari ijtihad hadis dan al quran 5. ada sistem peradilan indonesia mengenal adanya upaya hukum dan saudi arabia tidak

6. sanksi pelaku dalam tindak pidana di indonesia fleksibel dan mampu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Karena tidak mengenal sakralitas apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah sesuai dengan keperluan.sedangkan sistem hukum pidana di saudi arabia tidak sesuai dengan sumbernya

BAB IV DAFTAR PUSTAKA Jurnal prof. Prof. Erman Radjaguguk, SH,LLM,Ph.D. pluralisme hukum harus di akui http://www.scribd.com/doc/19428999/Sistem-Peradilan-Dalam-Islam Pengantar Ilmu hukum, Subandi AL Marsudi,

Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)

Prof. Moeljatno, S.H. kitab undang-undang hukum pidana Penerbit Bumi Aksara,

SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA DENGAN SAUDI ARABIA

Di ajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah perbandingan hukum

Dosen Pembimbing :

UJANG CHARDA .SH.MH

NAMA :

ADE DIDIKIRAWAN

CECEP IRMAYA DARSO

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUBANG

You might also like