You are on page 1of 16

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pemerintahan di era Presiden Soeharto yang cenderung otoriter menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat Indonesia. Sistem sentralistik yang dianut saat itu, menjadikan pemerintah menjadi pihak penyelenggara negara yang kebal dari pengawasan, khususnya dari masyarakat. Pemerintahan yang top down membuat kreatifitas dan inovasi masyarakat menjadi mati karena kebebasan berpendapat dan mengkritik pemerintah sangat dibatasi. Padahal di satu sisi, kebebasan berpendapat dan mengkritik merupakan sebuah hal yang sangat penting agar evaluasi dan akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan fungsi pembangunan dapat dipertanggungjawabkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Konsekuensi logis dari matinya mekanisme pemberian pendapat dan kritik terhadap pemerintah adalah ketidakmerataan pembangunan yang berjalan selama 32 tahun saat itu di Indonesia. Muncullah kesenjangan antara orang-orang yang tinggal di daerah dan ibukota. Pada akhirnya, kemarahan masyarakat memuncak saat kerusuhan Mei tahun 1998 yang ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto. Secara garis besar, masyarakat menginginkan adanya reformasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Masyarakat menginginkan adanya keterbukaan dalam berpendapat dan penghapusan terhadap sistem sentralistik yang dianggap mematikan pembangunan dan menghambat pemerataan kesejahteraan. Akhirnya dibentuklah undang-undang tentang otonomi daerah yang menandai dimulainya sistem desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi dianggap dapat menjawab masalah-masalah pembangunan seperti tidak transparannya penggunaan keuangan, serta memaksimalkan persebaran pembangunan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Fungsi pengawasan masyarakat yang belum berkembang saat pemerintahan Soeharto diharapkan dapat muncul dan memberi andil dalam pembangunan negara. Namun demikian, pemerintahan dan pembangunan yang terdesentralisasi tidak akan berjalan dengan efektif tanpa adanya partisipasi masyarakatnya. Partisipasi masyarakat sangat penting peranannya dalam proses pembangunan di wilayahnya sendiri. Partisipasi masyarakat
1

bisa berbentuk partisipasi dalam pembangunan infrastruktur partisipasi dalam proses politik; melakukan pengawasan saat pemerintah merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik. Penyertaan peran masyarakat dalam sistem pemerintahan akan menimbulkan sinergisitas yang sempurna untuk menciptakan good governance yang menginginkan adanya kerjasama dan partisipasi sempurna dari 3 aktor utama di negara, yaitu pemerintah atau government, pihak swasta atau privat, dan masyarakat atau civil society. Sinergitas ketiga elemen ini sangat penting agar terjadi proses pembuatan kebijakan publik yang berkeadilan dan pembangunan nasional yang merata. Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis bermaksud untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya proses pelibatan masyarakat dalam rencana penggusuran Makam Mbah Priok serta mekanisme pengawasannya dalam pelaksanaan rencana tersebut. Dengan demikian, penulis juga berharap makalah ini bisa semakin menguatkan pernyataan bahwa good

governance perlu dibentuk sebaik-baiknya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang berbeda satu sama lain antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta, salah satunya seperti yang digambarkan pada kasus Makam Mbah Priok.

Rumusan Masalah

Makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa penyebab terjadi kerusuhan yang dilakukan masyarakat atas rencana penggusuran makam Mbah Priok? 2. Bagaimana bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penggusuran makam Mbah Priok? 3. Bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap proses pembangunan? Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu 1. Mengetahui penyebab terjadi kerusuhan yang dilakukan masyarakat atas rencana penggusuran makam Mbah Priok.
2

2.

Mengetahui bentuk partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam rencana penggusuran makam Mbah Priok.

3.

Mengkaji lebih jauh bagaimana bentuk ideal partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam setiap proses pembangunan.

Metode penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan studi literatur dari beberapa bahan bacaan yang berasal dari buku-buku penunjang dan website-website yang memiliki korelasi terhadap tema makalah ini.

BAB 2 KERANGKA TEORI

Partisipasi masyarakat Istilah partisipasi berasal dari bahasa asing yang artinya mengikutsertakan pihak lain. Beberapa definisi lain mengenai partisipasi adalah : Santoso Sastropoetro mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggung-jawab tehadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Alastraire White mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan komuniti setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksananaannya terhadap proyekproyek pembangunan. Allport mengemukakan bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja. Dengan keterlibatan dirinya juga berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya. Menurut Davis, partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok atau berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan tersebut. Di dalamnya terdapat tiga buah gagasan yang penting artinya bagi para manajer atau pemimpin yang hendak menerapkan seni partisipasi dan kebanyakan dari mereka sependapat dengan tiga buah gagasan tersebut. Dari beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa partisipasi memiliki tiga gagasan penting, yakni keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab. Teori Administrasi Pembangunan Administrasi pembangunan mencangkup dua pengertian, yaitu administrasi dan pembangunan. Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan keputusan keputusan yang
4

telah diambil dan diselenggarakan oleh dua atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa . Ada beberapa pengertian administrasi pembangunan menurut para ahli. Ciri Ciri Administrasi Pembangunan Sondang P. Siagian merumuskan ciri ciri administrasi pembangunan. Pertama, Administasi pembangunan lebih memberikan perhatian terhadap lingkungan masyarakat yang berbeda beda, terutama bagi lingkungan masyarakat negara negara baru berkembang. Kedua, administrasi pembangunan mempunyai peran aktif dan berkepentingan terhadap tujuan tujuan pembangunan, baik dalam perumusan kebijaksanaannya maupun dalam pelaksanaannya yang efektif. Bahkan, administrasi ikut serta mempengaruhi tujuan tujuan pembangunan masyarakat dan menunjang pencapaian tujuan tujuan sosial, ekonomi, dan lain lain yang dirumuskan kebijaksanaannya dalam proses politik. Ketiga, administrasi pembangunan berorientasi kepada usaha usaha yang mendorong perubahan ke arah keadaan yang dianggap lebih baik untuk suatu masyarakat di masa depan atau berorientasi masa depan. Keempat, administrasi pembangunan lebih berorientasi kepada pelaksanaan tugas tugas pembangunan dari pemerintah. Administrasi pembangunan lebih bersikap sebagai development agent, yakni kemampuan untuk merumuskan kebijaksanaan kebijaksanaan pembangunan dan pelaksanaan yang efektif, serta sebagai kemampuan dan pengendalian instrumen instrumen bagi pencapaian tujuan tujuan pembangunan. Kelima, administrasi pembangunan harus mengaitkan diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan tujuan tujuan pembangunan di berbagai bidang yaitu ekonomi, sosial, budaya, dan lain lain. Keenam, dalam administrasi pembangunan, administrator dalam aparatur pemerintah juga bisa menjadi pergerak perubahan. Ketujuh, administrasi pembangunan lebih berpendekatan lingkungan, berorientasi pada kegiatan, dan bersifat pemecahan masalah. Ketiga unsur ini disebut mission driven. Ruang Lingkup Administrasi Pembangunan Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, ada beberapa gambaran mengenai ruang lingkup administrasi pembangunan. Pertama, administrasi pembangunan mempunyai dua fungsi, yaitu
5

the development of administration dan the administration of development. The development of administration menyangkut usaha penyempurnaan organisasi, pembinaan lembaga yang diperlukan, kepegawaian, tata kerja, dan pengurusan sarana sarana administrasi lainnya, sedangkan the administration of development menyangkut masalah perumusan kebijaksanaan kebijaksanaan dan program program pembangunan di berbagai bidang serta pelaksanaannya secara efektif. Kedua, administrasi untuk pembangunan dapat dibagi menjadi dua subfungsi. Pertama, perumusan kebijaksanaan pembangunan. Formulasi kebijaksanaan negara atau pemerintah tidak hanya dilakukan dalam proses administrasi, tetapi juga dalam tingkat tertentu dalam proses politik. Kebijaksanaan dan program dirumuskan dalam suatu rencana pembangunan. Mekanisme dan tata kerja dalam proses analisa, perumusan dan pengambilan keputusan mengenai kebijaksanaan dan program pembangunan tersebut dapat diupayakan untuk disempurnakan. Kedua, pelaksanaan dari kebijaksanaan dan program tersebut dahulu secara efektif. Untuk melakukannya, administrator memerlukan penyusunan instrumen instrumen yang baik. Ada dua kegiatan yang mendapat perhatian. Pertama, masalah kepemimpinan, koordinasi, pengawasan, dan fungsi administrator sebagai unsur pembangunan. Kedua, pengendalian atau pengurusan yang baik dari administrasi fungsionil, seperti perlembagaan dalam arti sempit, kepegawaian, pembiayaan pambangunan, dan lain lain sebagai sarana pencapaian tujuan kebijaksanaan dan program pembangunan. Teori Pengawasan Menurut Stoner dan Wankel Pengawasan berarti para manajer berusaha untuk meyakinkan bahwa organisasi bergerak dalam arah atau jalur tujuan. Apabila salah satu bagian dalam organisasi menuju arah yang salah, para manajer berusaha untuk mencari sebabnya dan kemudian mengarahkan kembali ke jalur tujuan yang benar . Selanjutnya Smith menyatakan bahwa:Controlling sering diterjemahkan pula dengan pengendalian, termasuk di dalamnya pengertian rencana-rencana dan norma-norma yang mendasarkan pada maksud dan tujuan manajerial, dimana norma-norma ini dapat berupa kuota, target maupun pedoman pengukuran hasil kerja nyata terhadap yang ditetapkan. Pengawasan merupakan kegiatankegiatan dimana suatu sistem terselenggarakan dalam kerangka norma-norma yang ditetapkan atau dalam keadaan keseimbangan bahwa pengawasan memberikan gambaran mengenai hal-hal yang dapat diterima, dipercaya atau mungkin dipaksakan, dan batas pengawasan (control limit) merupakan tingkat nilai atas atau bawah suatu
6

sistem dapat menerima sebagai batas toleransi dan tetap memberikan hasil yang cukup memuaskan. Dalam manajemen, pengawasan (controlling) merupakan suatu kegiatan untuk mencocokkan apakah kegiatan operasional (actuating) di lapangan sesuai dengan rencana (planning) yang telah ditetapkan dalam mencapai tujuan (goal) dari organisasi. Dengandemikian yang menjadi obyek dari kegiatan pengawasan adalah mengenai kesalahan, penyimpangan, cacat dan hal-hal yang bersifat negatif seperti adanya kecurangan,pelanggaran dan korupsi. Menurut Winardi "Pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan".Sedangkan menurut Basu Swasta "Pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan". Menurut Sondang P.Siagian, Pengawasan adalah Proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Menurut Suyamto, Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak . Lebih lanjut menurut Komaruddin mengatakan, "Pengawasan adalah berhubungan dengan perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal Unk langkah perbaikan terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti". Lebih lanjut menurut KadarmanPengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan. Konteks-konteks dalam Pengawasan Pengawasan dalam Konteks Manajemen (Schermerhorn, 2001)

Proses pengukuran kinerja dan pengambilan tindakan untuk menjamin hasil yang diinginkan Merupakan peran penting dan positif dalam proses manajemen Menjamin segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai waktunya

Jenis-jenis Pengawasan Menurut Schermerhorn (2001), jenis-jenis pengawasan terbagi menjadi: 1. Pengawasan Feedforward (umpan di depan) Dilakukan sebelum aktivitas dimulai Dalam rangka menjamin: kejelasan sasaran; tersedianya arahan yang

memadai;ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan Memfokuskan pada kualitas sumberdaya 2. Pengawasan Concurrent (bersamaan) Memfokuskan kepada apa yang terjadi selama proses berjalan Memonitor aktivitas yang sedang berjalan untuk menjamin segala sesuatu dilaksanakan sesuai rencana Dapat mengurangi hasil yang tidak diinginkan 3. Pengawasan Feedback (umpan balik) Terjadi setelah aktivitas selesai dilaksanakan Memfokuskan kepada kualitas dari hasil Menyediakan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja di masa depan 4. Pengawasan Internal & Eksternal Pengawasan Internal: memberikan kesempatan untuk memperbaiki sendiri Pengawasan Eksternal: terjadi melalui supervisi dan penggunaan sistem administrasi formal Tujuan Pengawasan Tujuan utama pengawasan adalah ikut berusaha memperlancar roda pembangunan serta mengamankan hasil hasil pembangunan. Pengawasan diperlukan bukan karena kurang kepercayaan dan bukan pula ditujukan mencari cari kesalahan atau mencari siapa yang salah, tetapi untuk memahami apa yang salah demi perbaikan di masa datang.

Selain tujuan utama di atas, pengawasan juga memiliki peran-peran strategis, yakni diantaranya adalah : Memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan mandat, visi, misi, tujuan serta target-target organisasi. Mengetahui tingkat akuntabilitas kinerja tiap instansi yang akan dijadikan para meter penilaian keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam Renstra instansi Dua tujuan utama yaitu akuntabilitas dan proses belajar Dari sisi akuntabilitas, sistem pengawasan akan memastikan bahwa dana pembangunan digunakan sesuai dengan etika dan aturan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan Dari sisi proses belajar, sistem pengawasan akan memberikan informasi tentang dampak dari program atau intervensi yang dilakukan, sehingga pengambil keputusan dapat belajar tentang bagaimana menciptakan program yang lebih efektif

BAB 3 ANALISIS MASALAH

Studi Kasus: Bentrok antara Masyarakat Koja dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam Penertiban Lokasi Makam Mbah Priok Tragedi Priok bermula dari konflik yang terjadi antara PT Pelindo dengan ahli waris Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau yang lebih dikenal dengan Mbah Priok. PT Pelindo mengklaim bahwa tanah di Makam Mbah Priok adalah miliknya, namun di sisi lain, menurut ahli waris, tanah tersebut merupakan miliknya berdasarkan Eigendom Verponding nomor 4341 dan No 1780 di lahan seluas 5, 4 Ha. Pengadilan Negeri Jakarta Utara pernah memutuskan bahwa tanah tersebut secara sah milik PT Pelindo pada tanggal 5 Juni 2002. Ini didasarkan pada Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 145,2 hektar. Pada dasarnya, Makam Mbah Priok yang asli sudah dipindahkan ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Semper 21 Agustus 1997 dengan surat keputusan No 80/-177.11 dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI. Namun pada perkembangannya, ahli waris kembali membangun kompleks makam Mbah Priok pada September tahun 1999 tanpa seizin PT Pelindo karena ahli waris masih mengklaim bahwa sebagian tanah yang menjadi hak pengelolaan PT Pelindo ada yang masih menjadi haknya. Di sisi lain, PT Pelindo merasa kalau pembangunan kembali kompleks makam tersebut sepihak dan dianggap menjadi bangunan liar. PT Pelindo sebenarnya masih melakukan toleransi terhadap pembangunan kembali makam tersebut, namun munculnya bangunan-bangunan ilegal selain pembangunan makam itulah yang menurut PT Pelindo harus ditertibkan. Oleh karena itu, PT Pelindo meminta bantuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Utara untuk menertibkan bangunan liar tersebut, namun ahli waris dan masyarakat yang memiliki kepentingan dalam keberadaan Makam Mbah Priok tidak mengetahui tentang keputusan penertiban makam. Akhirnya saat dilakukan eksekusi, masyarakat dan ahli waris yang merasa belum mendapat kesepakatan akan penertiban bangunan liar, melawan balik Satpol PP yang

10

sebenarnya hanya ditugaskan untuk menertibkan bangunan liar di sekitar Makam Mbah Priok, bukan menggusur makam itu sepenuhnya. Perintah penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP, pada dasarnya sudah sesuai dengan instruksi gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan. Lebih dari itu, setelah dilakukan penertiban atas bangunan liar tersebut, pemerintah setempat memiliki rencana untuk melakukan penataan ulang pada Makam Mbah Priok dan arealnya akan diperluas dari 20 meter persegi menjadi 100 meter persegi. Masyarakat yang terlibat bentrok salah paham dengan maksud penertiban yang akan dilakukan oleh Satpol PP karena ada yang mengisukan Makam Mbah Priok akan dibongkar oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Persilangan pendapat dan saling klaim atas tanah Makam Mbah Priok yang belum mencapai kesepakatan final, serta kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat yang hanya bermaksud menggusur bangunan liar berubah menjadi bentrokan yang tidak bisa dihindari. Meluasnya area konflik juga diduga muncul akibat ada provokasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya korban luka-luka terhitung mencapai hampir 200 orang, dan ada beberapa korban yang meninggal. Kerugian negara akibat bentrokan tersebut juga mencapai miliaran rupiah karena aset negara seperti kendaraan dinas dirusak oleh masyarakat yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah. Analisis Kasus Kasus bentrok yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merupakan salah satu contoh dari kasus informasi asimetris yang didapat oleh kedua belah pihak dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini dikarenakan bahwa pada dasarnya isu penggusuran yang didapatkan masyarakat merupakan sebuah kabar burung yang hanya menyebabkan masyarakat tersebut menjadi sangat emosional ketika berhadapan dengan Satpol PP. Padahal saat itu, yang akan dilakukan oleh Satpol PP tersebut hanya menertibkan bangunan liar yang ada di sekitar bangunan Makam Mbah Priok. Secara legal, lahan Makam Mbah Priok memang sudah menjadi hak milik PT Pelindo II. Hal ini jelas terlihat dari putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 5 Juni 2002. Namun hal penting yang patut untuk dianalisis adalah ketidaktahuan masyarakat

11

terhadap rencana pemerintah untuk merenovasi bangunan tersebut dan menambah luas lahannya menjadi 100 meter persegi, serta menertibkan banguna liar yang ada di sekitarnya. Jika dilihat dari konsep partisipasi masyarakat, penulis tidak melihat adanya korelasi positif yang tercipta antara pelibatan masyarakat dan konflik yang terjadi dalam kasus ini. Artinya, jika memang masyarakat Koja dilibatkan dalam perumusan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Pelindo II terkait keberadaan Makam Mbah Priok, tentu masyarakat setempat tidak serta merta merasa terkejut dengan kehadiran Satpol PP, yang pada akhirnya menjadi bentrok satu sama lain. Dalam pembuatan sebuah kebijakan publik, seharusnya masyarakat memiliki peran sebagai stakeholder yang memiliki hak penuh atas proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan kebijakan publik tersebut akan memiliki keterkaitan dalam keberlangsungan masyarakat. Pada kasus ini, dapat dilihat bahwa perumusan kebijakan untuk menertibkan bangunan liar di sekitar bangunan Makam Mbah Priuk sekaligus merenovasi makam tersebut tidak disertai dengan pelibatan partisipasi masyarakat ataupun melakukan konsultasi publik. Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau yang biasa dikenal dengan Musrenbang pun tampak tidak disebut-sebut dalam tahap pembuatan kebijakan pemabangunan ini. Padahal seharusnya, musrenbang sebagai sarana penyatuan kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah, bahkan juga pihak swasta, dalam hal ini ialah PT Pelindo bisa mewadahi samua kepentingan masing-masing pihak. Koja, meskipun bukan sebuah kabupaten, setidaknya memiliki relevansi untuk menerapkan bagan di bawah ini dalam setiap rencana pembangunan, termasuk rencana renovasi Makam Mbah Priok. Keputusan Pemprov DKI Jakarta terkait kasus ini memang tidak melibatkan partsisipasi masyarakat, akan tetapi pihak swasta, dalam hal ini ialah PT Pelindo, menjadi pihak yang turut memutuskan hal tersebut. Namun kemudian, perlu dipertanyakan, apakah kesepakatan yang dibuat tanpa partisipasi masyarakat ini memiliki kecenderungan unsur kongkalikong antara kedua pihak. Kecenderungan inilah yang disebabkan oleh partisipasi masyarakat yang minim sehingga berakhir dengan aksi massa yang anarkis. Pada dasarnya, permasalahan pembangunan bisa diatasi dengan pelaksanaan fungsi pengawasan dalam kegiatan pembangunan itu sendiri, baik pengawasan internal, maupun
12

pengawasan eksternal. Pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat merupakan pengawasan eksternal. Salah satu bentuk dari pengawasan eksternal tersebut adalah kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat, bisa dalam bentuk preventif ataupun represif. Masyarakat tidak bisa melakukan pengawasan eksternal yang baik tanpa adanya keterbukaan pemerintah setempat. Pada kasus yang terjadi di Koja, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang terbuka dari pemerintah mengenai rencana pembangunan ini. Bahkan secara sepihak, pemerintah setempat memutuskan untuk menurunkan pasukan Satpol PP dalam jumlah yang banyak. Konsekuensi logis dari keadaan tersebut adalah, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat bukanlah sebagai fungsi preventif atau mencegah terjadinya bentrok atu konflik lain, melainkan sebagai fungsi represif. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat Koja termasuk pengawasan represif karena masyarakat melakukan kontrol sosial dalam bentuk yang anarkis ini setelah terjadinya keputusan yang dibuat oleh pemerintah dan PT Pelindo II yang berujung pada bentrok tersebut. Masyarakat tersebut melakukan aksi penolakan terhadap keputusan yang dibuat pemerintah karena merasa keputusan tersebut merugikan mereka. Masyarakat Koja saat itu melakukan pengawasan

represif, atas ke-tidak terbuka-an pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan tertutupnya pembuatan kebijakan tersebut dari akses rakyat. Namun, terlepas dari bagaimana masyarakat melakukan prosedur pengawasan yang bisa dikatakan anarkis, setidaknya mereka sudah memberi peringatan kepada pemerintah yang telah melakukan kesalahan karena sudah membuat kebijakan yang tidak melibatkan pertisipasi masyarakat. Lebih dari itu, kontrol sosial ini berhasil di blow up oleh media massa yang pada akhirnya menyebabkan fenomena minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pada kasus ini menjadi begitu populis. Hal positif lain yang bisa dianalisis dari pengawasan non legal formal ini adalah meminimalisasi kemungkinan sistem patron-client atau nepotisme yang terjadi dalam pengawasan internal di dalam institusi pemerintahan itu sendiri. Lagi-lagi terlepas dari pengawasan masyarakat yang kurang sopan tersebut, kontrol sosial ini berjalan dengan obyektif. Tidak memandang siapa yang berada dalam pembuatan kebijakan Oleh karena itu, dalam kasus

13

ini pengawasan eksternal yang telah dilakukan oleh masyarakat Koja terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sangat membantu terciptanya kegiatan pembangunan yang lebih baik. Namun demikian, pada dasarnya penulis sangat menyayangkan munculnya fenomena pelampiasan kekesalan warga dan masyarakat Indonesia lain yang mengetahui kasus ini kepada pihak Satpol PP. Penulis beranggapan bahwa Satpol PP dalam kasus ini hanya berperan sebagai korban, tidak berbeda dengan warga Koja. Satpol PP hanya memainkan perannya sebagai front liner, tanpa mereka tahu bagaimana dan mengapa ekskusi penertiban serta renovasi makam Mbah Priok perlu untuk dilakukan. Kesalahan terbesar terdapat pada pemerintah yang tidak memaksimalkan partisipasi masyarakat Koja dalam rencana pembangunan ini. Oleh karena itulah, pelimpahan sumber masalah kepada Satpol PP merupakan sebuah kesalahan besar.

14

BAB 4 PENUTUP 4.1. Kesimpulan Kerusuhan yang terjadi antara masyarakat Koja dan Satpol PP terhadap rencana

penertiban Makam Mbah Priok sebenarnya disebabkan oleh sinergisitas yang buruk antara masyarakat Koja, Wakil Gubernur Jakarta selaku pemerintah, dan PT. Pelindo II selaku pihak swasta. Kesalahan penyerapan informasi oleh masing-masing pihak juga menjadi penyebab terjadinya kerusuhan di Koja. Hal tersebut menimbulkan ketimpangan pemahaman oleh masingmasing pihak, terutama masyarakat. Namun, lebih dari itu semua, penyebab utama dari bentrok ini adalah partisipasi masyarakat yang sangat minim terhadap pembuatan kebijakan ini. Pada kasus penataan ulang makam Mbah Priok ini, pihak pemerintah dan swasta tidak mengikutsertakan suara masyarakat atas rencana tersebut. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah aksi massa yang anarkis berbentuk kerusuhan yang dilakukan oleh masyarakat Koja dan direspon dengan negatif oleh Satpol PP yang juga tidak tahu menahu atas keputusan ini. 4.2. Saran Untuk menciptakan good governance dalam setiap proses pengambilan kebijakan pembangunan, seperti dalam rencana penataan ulang makam Mbah Priok harus melibatkan partisipasi masyarakat, karena masyarakat bukanlah objek dalam pembangunan. Selain itu, antara pemerintah, swasta, dan masyarakat harus ada komunikasi yang sinergis sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara masing-masing pihak.

15

Daftar Pustaka Davis, Keith., dan John W. Newstrom. 1995. Perilaku Dalam Organisasi. Edisi Ketujuh. Terjemahan. Jakarta : Erlangga. Suprayogi, Aribowo. Bentrokan di Makam Mbah Priok

http://berita.liputan6.com/hukrim/201004/272337/Bentrokan.di.Makam.Mbah.Priok Swerdlow, Irving. 1963. Development Administration, Concepts and Problems. New York: Syracuse University Press. Warung informasi. Mbah Priok-Sejarah Makam Mbah Priok. http://kutak-

ketik.blogspot.com/2010/04/mbah-priok-sejarah-makam-mbah-priok.html. Winarno, Hery. Asal Mula Sengketa Makam Mbah Priok Versi Pemprov DKI. http://www.detiknews.com/read/2010/04/14/194712/1338476/10/asal-mula-sengketamakam-mbah-priok-versi-pemprov-dki

16

You might also like