You are on page 1of 9

Tinjauan Buku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia

Ditulis oleh johnherf di/pada Februari 6th, 2007 Pengantar Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia menghadirkan para ahli bahasa dan sastra, praktisi pembuat buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, guru SD, SMP, SMU, Senin 22/1Selasa 23/1, pukul 9.00-15.50. Oleh karena itu, saya sampaikan makalah Felicia N. Utorodewo, M.Si. yang kebagian sesi Tinjauan Buku Pelajaran Bahasa Indonesia. Silakan simak makalah lengkapnya berikut ini. TINJAUAN BUKU TEKS PELAJARAN BAHASA INDONESIA oleh Felicia N. Utorodewo, S.S., M.Si. 1. Pengantar Pada tahun ajaran 2006/2007, diberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada tahun 2010, KTSP ini harus sudah dilaksanakan secara nasional. Pelaksanaan KTSP ini berarti bahwa setiap sekolah dapat merancang silabus, kurikulumnya sendiri. Namun, dalam menyusun kurikulum, sekolah harus tetap berpegang pada Standar Isi (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22/2006) dan Standar Kompetensi Lulusan (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23/2006). KTSP dikembangkan, antara lain, sesuai dengan potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan siswa, selain itu, tidak mengabaikan potensi daerah, kondisi sosial budaya setempat. Muatan lokal akan mendapat tempat lebih banyak dalam KTSP. Sekolah harus arif terhadap potensi yang ada di sekitar lingkungan tempat satuan pendidikan itu berada. Kegiatan pengajaran mengandalkan data-data primer yang ada di sekeliling lokasi satuan pendidikan. Artinya, buku teks tidak lagi menjadi sumber utama dalam kegiatan belajarmengajar. KTSP tidak mensyaratkan buku teks baru, satuan pendidikan dapat menggunakan buku yang sudah ada. Perancangan KTSP bersifat dinamis sesuai dengan kebutuhan siswa, perkembangan masa, perkembangan pengetahuan di sekeliling. Perancangan KTSP dilakukan sendiri oleh para guru dan, dalam hal itu, akan berkaitan dengan buku pelajaran. Dalam arti, guru bebas menentukan buku apa yang akan digunakan atau, bahkan, membuat kombinasi dari berbagai buku yang ada. Akibatnya, guru juga harus dapat memilih buku yang sesuai dengan kebutuhannya dari berbagai jenis buku yang beredar di pasaran. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11/2005 tentang Buku Teks Pelajaran, pasal 2 ayat (2) dikatakan bahwa Selain buku teks pelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), guru menggunakan buku panduan pendidik dan dapat menggunakan buku pengayaan, dan buku referensi dalam proses pembelajaran.[4] Hal itu berarti bahwa guru dapat memilih buku-buku pengayaan dan referensi untuk menunjang kegiatan pembelajarannya.

Sekarang ini, banyak buku-buku teks pelajaran yang beredar, di antaranya adalah bukubuku yang sudah memperoleh rekomendasi penilaian kelayakan dari Pusat Perbukuan. Namun, berdasarkan tinjauan atas beberapa buku pelajaran, masih ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian pada saat sebuah buku akan dipilih. Berkaitan dengan judul makalah, makalah ini berisi hasil observasi buku-buku teks pelajaran bahasa Indonesia secara umum dikaitkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22/2006 tentang Standar Isi. 2. Buku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia 2.1 Kesesuaian antara Materi dan Waktu yang Tersedia Pilihan atas buku teks pelajaran, sebaiknya, adalah teknis pelaksanaan di kelas. Berapa lamakah waktu yang dibutuhkan untuk mengajarkan materi tersebut. Jadi, harus dipertimbangkan pembagian jam pelajaran dengan materi yang akan disampaikan. Misalnya, bagaimanakah sebuah indikator akan diterjemahkan ke dalam kegiatan pengajaran? Jika sebuah Unit pelajaran mengandung Kegiatan 1-30 jenis, berapa lamakah kiranya unit tersebut dapat diselesaikan dalam kelas? Dalam satu kali pertemuankah atau dua kali pertemuankah? Andaikan saja bahwa dalam satu semester tersedia 18 minggu kegiatan belajar. Di antaranya, kita sisihkan dua minggu untuk ulangan tengah dan akhir semester. Artinya, ada 16 minggu efektif pembelajaran. Berarti, untuk dua semester, ada 32 minggu efektif waktu pembelajaran. Dalam 32 minggu itu berapa kalikah siswa memperoleh waktu untuk pelajaran bahasa Indonesia: empat kali atau lima kali dalam seminggu? Perlu diingat bahwa untuk sebuah kegiatan kelompok, akan dibutuhkan waktu untuk membagi kelas dalam beberapa kelompok, mengatur tata susunan kelompok (ketua, sekretaris, dsb.), membagi tugas, melaksanakan kerja kelompok (mencari bahan di perpustakaan, menuliskan hasil temuan, diskusi kelompok, dsb.). Kadangkala, kegiatan kelompok akan menghabiskan satu jam pelajaran, padahal belum termasuk di dalamnya kegiatan presentasi (penyajian lisan). Jika dalam kelas ada 7 kelompok @ 5 orang, dibutuhkan waktu presentasi 7 x 5 atau 10 menit penyajian. Penyajian itu akan menghabiskan waktu 35 sampai 70 menit. Jadi, sebaiknya, diperhitungkan bahwa dalam satu unit hanya ada satu kali kegiatan kelompok, misalnya. Harus dipikirkan pula kemungkinan pemberian Pekerjaan Rumah (PR) bagi siswa. Untuk memeriksa apakah Unit pelajaran yang sudah disusun terlalu berat atau tidak, cobalah dibuat sebuah skenario (lesson plan, satuan acara pelajaran) untuk satu kali pertemuan kelas. Gunakanlah bahan dari satu Unit/Pelajaran. Andaikanlah satu jam pelajaran sesuai dengan jam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Berapa banyakkah materi yang tersusun itu yang dapat dibawakan dalam satu kali pertemuan. Lalu, pertimbangkan, layakkah isi buku itu bagi siswa Ibu Bapak sendiri? 2.2 Masalah Membaca Cepat dan Membaca Memindai Kemahiran membaca cepat (skimming) dan memindai (scanning) merupakan suatu kemahiran yang seharusnya terus dilatih dari satuan pendidikan SD hingga SMA. Seharusnya, kemahiran itu dapat diterapkan pada semua kegiatan membaca dari pelajaran

pertama hingga pelajaran terakhir. Selain itu, kedua kemahiran itu selalu dapat diterapkan pada bacaan sastra maupun nonsastra. Perhatikan latihan-latihan yang akan meningkatkan kemampuan membaca cepat dan memindai itu. Sebenarnya, setiap unit dapat diisi dengan kegiatan membaca dengan kedua cara ini. Sebagai pegangan, penulis dapat menggunakan buku karangan Soedarso, Speed Reading: Sistem Membaca Cepat dan Efektif (2004) diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Dalam buku itu terdapat juga contoh berbagai latihan yang dapat diberikan kepada siswa. Berikut cuplikan keterangan tentang kedua cara membaca dari buku Soedarso, bab empat, Skimming dan Scanning (hlm. 81-97). a. SCANNING atau MEMINDAI adalah teknik membaca untuk memperoleh informasi secara cepat dan langsung pada sasarannya. Dalam kehidupan sehari-hari membaca dengan cara memindai ini dilakukan untuk mencari: nomor telepon, kata dalam kamus, entri pada indeks, angka statistik atau tabel, jadwal siaran televisi, jadwal perjalanan. Akan tetapi, ada pula cara membaca memindai prosa (hlm. 90), yakni mencari informasi topik tertentu dalam suatu bacaan. Artinya, kita mencari informasi yang kita butuhkan dengan mencari terlebih dahulu bagian dari bacaan yang memuat informasi tersebut. Langkah-langkahnya adalah i. Carilah kata kunci yang dibutuhkan ii. Kenalilah organisasi dan struktur bacaan untuk memperkirakan letak kata atau istilah yang dicari. Lihat gambar, grafik, tabel, jika disediakan. (Jika kita memindai buku, cobalah cari kata atau istilah itu melalui daftar isi dan indeks). iii. Gerakkanlah mata secara sistematik dan cepat. Ada dua cara: (1) seperti anak panah langsung ke tengah bacaan dan meluncur ke bawah atau (2) dengan cara pola S atau zigzag. iv. Setelah menemukan letak kata atau istilah yang dicari, lambatkan kecepatan membaca untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Jadi, sebenarnya membaca memindai bisa juga diterapkan pada sebuah bacaan pendek. Teknik ini dilakukan pada tahap awal membaca. Siswa diberi waktu tertentu untuk membaca. Kemudian, siswa dihadapkan pada pertanyaan yang bersifat umum. Berikutnya, barulah siswa diharuskan memeriksa ulang jawabannya dengan membaca kembali teks. Terakhir, siswa diharuskan menjawab pertanyaan yang bersifat lebih khusus yang memaksa siswa membaca secara lebih cermat/intensif. b. SKIMMING adalah tindakan untuk mengambil inti bacaan itu, yaitu gagasan pokok dan detail penting bacaan yang tidak selalu terletak di awal bacaan tetapi seringkali muncul di tengah atau di akhir bacaan. Skimming merupakan suatu keterampilan membaca yang diatur secara sistematis untuk memperoleh hasil yang efisien. Misalnya: untuk mengenali topik bacaan; untuk mengetahui opini (pendapat) seseorang; untuk memperoleh bagian penting yang kita butuhkan tanpa perlu membaca seluruh buku atau bacaan; untuk mengetahui kerangka sebuah tulisan; untuk penyegaran kembali ingatan

mengenai sesuatu yang pernah dibaca atau jika akan menyampaikan ceramah atau sambutan. Oleh karenanya, setiap kegiatan membaca dapat dilakukan dengan menerapkan kedua sistem membaca ini, termasuk kegiatan membaca sastra. Jangan lupa untuk kemudian mewajibkan siswa membaca secara lebih cermat. Pada tingkat pendidikan SD, latihan memindai dapat dilakukan dalam pelajaran mengenal huruf. Misalnya, dengan meminta siswa mencari sebuah huruf dalam sebuah lagu, puisi, atau huruf yang tersembunyi dalam gambar. Jika digabungkan dengan kemahiran mendengar, siswa dapat diminta menghitung huruf dari bunyi, semacam imla, guru melafalkan sebuah kata dan siswa menghitung salah satu bunyi, misalnya, guru melafalkan SAYA. Kemudian menanyakan kepada siswa, Ada berapa A dalam kata tadi? Siswa harus menghitung hasil penemuan mereka. Ada banyak latihan yang dapat diberikan. Pada tingkat pendidikan SMP dan SMA, kegiatan ini ditingkatkan dengan mencari, tidak hanya kata, melainkan juga frasa atau klausa tertentu. Bahkan, meminta siswa untuk menemukan dan mengumpulkan kata-kata yang berawalan ber-, misalnya. Kemudian, meminta siswa mencari arti kata yang berawalan itu. Dalam membaca cepat, siswa dapat diminta untuk mengetahui ada berapa kalimat dalam sebuah bacaan (sastra atau nonsastra). Hal ini penting karena dalam buku teks pelajaran SD kelas 1-3, bacaan belum disertai tanda baca. Melalui kegiatan membaca memindai, siswa terlatih untuk membaca cepat. 2.3 Membaca Aksara Jawi Jika buku teks pelajaran itu mengikuti kurikulum 1994, 2004, atau 2006 untuk siswa satuan pendidikan SMA bagian bahasa, ada kegiatan membaca naskah beraksara Jawi, yaitu huruf Arab berbahasa Melayu. Dalam kurikulum, kegiatan itu dipadatkan pada kelas XII dan semester akhir. Jadi, ada buku-buku yang memadatkan materi itu dalam sebuah unit pelajaran dan di semester kedua. Padahal, dalam kenyataannya, sulit untuk melatih siswa membaca aksara Jawi hanya dari satu unit pelajaran. Pengenalan akan huruf Jawi itu sebenarnya dapat diberikan dari kelas XI, mulai dari abjad (alif, ba, ta). Hal ini harus diperhatikan karena tidak semua siswa pernah mengenal huruf Arab (misalnya, yang tidak beragama Islam). Sebagai latihan awal, siswa dapat diminta menuliskan nama meraka dalam aksara Jawi. Sebagai langkah selanjutnya, siswa dapat diminta untuk menulis surat pendek dengan aksara Jawi (biasanya, siswa lalu membuat surat rahasia di antara mereka). Latihan membaca memindai dapat pula diterapkan, misalnya siswa harus mencari kata tertentu. Untuk membaca cepat, siswa harus mencari bagian teks yang mengurai suatu hal atau bagian cerita. 2.4 Bahan Bacaan Dalam setiap buku teks pelajaran bahasa Indonesia, ada kutipan bacaan. Jika diperhatikan dengan cermat, bacaan untuk siswa SD kelas 5 dan 6 dengan bacaan untuk siswa tingkat pendidikan SMP dan SMA tingkat kesulitannya sudah sama. Oleh karena itu, pada saat

memilih buku, hendaknya guru memperhatikan tingkat perbedaan jumlah kata, pilihan kata, dsb. Untuk teks bacaan berkaitan dengan Kemampuan Berbahasa perlu diperhatikan bahwa teks yang dipilih seringkali dikutip dari surat kabar. Berarti, LARAS BAHASA yang digunakan adalah LARAS JURNALISTIK. Laras jurnalistik memiliki peraturan atau kaidah tersendiri, yang hendaknya diajarkan terlebih dahulu kepada siswa. Cara lain adalah mengubah teks berlaras jurnalistik tersebut ke dalam bentuk bacaan berlaras ilmiah atau formal. Setiap laras bahasa memiliki cirinya sendiri yang harus dikenali oleh guru dan oleh siswa. Oleh karenanya, ada laras ilmiah, laras jurnalisitik, laras iklan. Laras jurnalistik pun terbagi lebih lanjut menjadi laras berita langsung, laras berita feature, dan sebagainya. Sebaiknya, guru mempelajari kaidah-kaidah yang berlaku dalam setiap laras. Ciri-ciri yang membedakan laras jurnalistik dari laras formal/ilmiah adalah sebagai berikut. A. Penggunaan paragraf. Dalam laras jurnalistik diizinkan untuk membangun paragraf atas satu kalimat. Dalam laras formal, hal itu dilarang. B. Ragam bahasa semiformal. Dalam laras jurnalistik digunakan RAGAM SEMIFORMAL. Dalam laras ilmiah digunakan RAGAM FORMAL. Jadi, bandingkan penggunaan kata tapi, tetapi, akan tetapi, namun. Kata-kata itu memiliki perbedaan dalam penggunaannya berkaitan dengan laras dan penempatan dalam kalimat. Bedakan penggunaan kata bisa dan dapat; cuma dan hanya; jika, jikakalau, apabila dan kalau; melewati dan melalui; mempergunakan dan menggunakan; dan banyak lagi bergantung pada teks yang dipilih. C. Kelengkapan Kalimat. Dalam laras jurnalistik, sering ditemukan kalimat tidak lengkap. Dalam laras ilmiah atau buku teks, tidak boleh ada kalimat tidak lengkap. D. Frasa Apositif. Frasa apositif dalam laras jurnalistik tidak dipisahkan oleh tanda baca koma. Dalam EYD dan kaidah baku, frasa apositif harus dipisahkan dengan tanda baca koma. Jadi, misalnya Firman didampingi oleh Kepala Bidang Humas (jelaskan bahwa ini akronim dari Hubungan Masyarakat) Polda (Polisi Daerah) Metro Jaya (di sini harus ada tanda baca koma), Komisaris Besar Tjiptono. 2.5 Penyajian Materi Bahasa dan Sastra Dalam setiap buku teks pelajaran bahasa Indonesia, materi kebahasaan dan materi kesastraan harus disajikan terpadu dan secara porposional. Artinya, harus seimbang. Kegiatan bersastra, pada dasarnya, merupakan kegiatan berbahasa. Jadi, membaca memindai dan membaca cepat dapat diterapkan pada saat membaca karya sastra (lihat 2.2). Perlu diperhatikan juga bahwa dalam kegiatan bersastra tafsiran terhadap sebuah karya sastra, apakah itu puisi, cerpen, karya terjemahan, atau drama, tidak hanya satu kemungkinan tafsiran. Meskipun sudah disajikan sebuah contoh tafsiran, siswa harus

diberi kesempatan untuk menafsirkan karya sastra tersebut sendiri. Masalahnya, tafsir setiap orang saat membaca sebuah karya sastra pasti tidak sama, sangat relatif berdasarkan pengalaman pribadi setiap orang. Oleh sebab itu, dalam menyajikan contoh penafsiran, sebaiknya, disajikan juga alasan bagi tafsiran kita itu. Misalnya, dengan merujuk kepada kamus, dan sebagainya. Teks sastra dapat digunakan untk latihan kalimat, misalnya mencari kalimat lengkap dan tidak lengkap. Teks sastra juga dapat dijadikan teks feature. Menyusun hasil wawancara menjadi sebuah cerpen merupakan sebuah kegiatan yang menggabungkan kemampuan berbahasa dengan kemampuan bersastra. Dapat juga sebaliknya, siswa dapat ditugaskan untuk mengubah sebuah puisi atau cerpen menjadi sebuah berita. 2.6 Penggunaan Bahasa yang Baik dan Benar Hal yang perlu diperhatikan oleh guru pada saat memilih buku teks pelajaran adalah panjang wacana bagi setiap tingkat pendidikan. Dalam memilih buku teks pelajaran, ada sebuah aspek yang perlu diperhatikan, yakni masalah keterbacaan. Keterbacaan adalah tingkat kemudahan suatu tulisan untuk dipahami maksudnya. Tingkat keterbacaan yang tinggi akan menambah kemampuan pembacanya dalam hal pemahaman, pembelajaran, penerimaan informasi, kemampuan mengingat, kecepatan membaca. Kemampuan memahami Keterpahaman bacaan PEMBACA Keterampilan membaca Kemudahan dibaca BACAAN Minat Kemenarikan isi dan gaya Jadi, dalam penyusunan buku ajar harus diperhatikan pula unsur-unsur kebahasaan berkaitan dengan keterbacaan. Akan tetapi, perhatian khusus harus diberikan kepada buku teks pelajaran tingkat pendidikan SD karena bahan bacaan bagi kelas 5 dan 6, umumnya, melebihi kemampuan baca siswa, baik dari segi panjang wacana, panjang kalimat, maupun pilihan kata. Oleh karenannya, dalam makalah ini, akan lebih banyak ditemukan contoh berkaitan dengan buku ajar bahasa Indonesia tingkat SD dibandingkan tingkat lainnya. A. Panjang Wacana Ketetapan panjang wacana dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pedagogi dan sudut pandang kurikulum (dalam hal ini, Kurikulum 2004). PEDAGOGI KURIKULUM Kelas 1 : 2575 kata. Tercantum panjang paragraf adalah 58 kalimat. Kelas 2 : 75125 kata.

Tercantum panjang teks cerita yang dibacakan guru: 812 kalimat; teks yang dibaca sendiri oleh siswa: 1015 kalimat (teks) dan 1520 kalimat (cerita/fiksi). Kelas 3 : 125175 kata. Tercantum teks sekitar 200 kata. Kelas 4 : 175225 kata. Tercantum panjang teks sekitar 200250 kata yang terdiri atas 45 paragraf. Kelas 5 : 225275 kata. Tercantum teks bacaan yang panjangnya 200-300 kata. Kelas 6 : 275325 kata. Tercantum teks narasi 200250 kata, teks bacaan 250 kata. B. Panjang Kalimat Dalam masalah keterbacaan, penelitian menunjukkan bahwa kalimat yang terlalu panjang tidak akan mudah dipahami oleh pembacanya. Jika kita merujuk pada aspek kemampuan siswa, dikatakan bahwa siswa sekolah dasar belum mampu memecahkan masalah verbal yang kompleks, hipotesis, atau persoalan-persoalan yang menyangkut masa yang akan datang. Dalam kurikulum (2004) tidak secara jelas dicantumkan jumlah kata dalam sebuah kalimat. Pencantuman jumlah kata yang jelas hanya ada di kelas 1 dan 2, yaitu 35 kata dalam sebuah kalimat. KELAS PANJANG KALIMAT MENURUT KURIKULUM Satu Satu kalimat berisi 35 kata Dua Jumlah kata dalam kalimat masih tercantum 35 kata. Tiga Kalimat hanya disebut kalimat sederhana Empat Kalimat sudah dapat merupakan kalimat majemuk setara. Lima Kalimat masih merupakan kalimat majemuk setara. Enam Tidak disebut jumlah kata maupun jenis kalimat Untuk perbandingan, disertakan penelitian keterbacaan kalimat dalam surat kabar bagi orang dewasa. Kita dapat menggunakan kutipan keterbacaan yang diambil dari surat kabar sebagai pegangan. PANJANG KALIMAT KETERBACAAN 8 kata atau kurang Sangat mudah dipahami 11 kata Mudah dipahami

14 kata Agak mudah dipahami 17 kata Standar 21 kata Agak sulit dipahami 25 kata Sulit dipahami 29 kata atau lebih Sangat sulit dipahami C. Pilihan Kata Pilihan kata harus ditinjau dari dua sudut. Pertama, kandungan makna kata. Kedua, proses pembentukan kata. Bagi anak SD, harus dipilih kata-kata yang bermakna konkret, tidak sulit diucapkan, dan sering didengar. Dengan demikian, mereka dengan mudah berasosiasi dengan hal yang sedang diuraikan. Kandungan makna kata berkaitan dengan tingkat kesulitan makna. Artinya, mungkin saja kata itu mudah dilafalkan dan merupakan kata dasar, namun maknanya sulit. Misalnya, habitat, posisi, dampak, wabah. Harus diperhatikan pula penggunaan kata-kata serapan, kata-kata bermetafor (misalnya, Anak-anak memiliki kemampuan tubuh yang lebih besar melawan penyakit), frasa-frasa yang panjang (misalnya, tingkat kematian, positif terinfeksi, daya tahan). Proses pembentukan kata juga berkaitan dengan tingkat pendidikan anak. Namun, hal yang pasti adalah untuk pembaca tingkat SD, sebaiknya tidak disajikan terlalu banyak kata kompleks. Terlebih lagi kata kompleks yang bermakna abstrak. Misalnya, kemampuan, berkepanjangan, melipatgandakan. Contoh kalimat yang akan sulit dipahami oleh anak: Gerak dasar lokomotor berarti gerak yang pindah tempat (kelas 1 SD, olahraga) Gerak dasar manipulatif berarti gerakan menggunakan alat (kelas 1 SD, olahraga) Persoalan lahan bisa disiasati dengan menggunakan sistem hidroponik. (kelas 5, bahasa Indonesia) 3. Buku Pengayaan Sekarang ini, diterbitkan pula berbagai buku teks nonpelajaran yang juga sudah dinilai oleh Pusat Perbukuan. Buku-buku tersebut merupakan buku-buku pengayaan terhadap mata pelajaran tertentu. Untuk pelajaran bahasa Indonesia, buku pengayaan dapat lebih luas. Artinya, semua buku merupakan hasil kegiatan berbahasa. Buku penyuluhan pertanian, peternakan, kesehatan, misalnya, dapat pula menjadi buku pengayaan bahasa untuk mengajarkan cara menulis eksposisi. Buku biografi tokoh menjadi contoh penulisan biografi, dan seterusnya. Surat kabar mengandung berbagai laras bahasa yang

dapat digunakan sebagai bahan pengayaan. Bahkan, untuk tingkat SD sudah keluar koran anak BERANI (berita anak Indonesia) yang isinya tidak hanya mengenai anak Indonesia, namun ditujukan untuk anak Indonesia. Buku-buku lembar kerja siswa yang masih beredar dapat digunakan sebagai buku pengayaan siswa. Hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai buku-buku pengayaan ini membebani orang tua siswa. 4. Buku Refensi Buku referensi merupakan buku rujukan, seperti kamus, ensiklopedia, tesaurus. Sebagaimana juga buku pengayaan, untuk pelajaran bahasa Indonesia, setiap jenis buku referensi dapat digunakan sebagai bahan bacaan atau sumber untuk siswa. Buku referensi dapat pula menjadi pegangan guru. Guru dapat menggunakan buku refensi untuk melatih siswa membaca memindai, membaca cepat, maupun membaca intensif. Selain itu, buku refensi dapat digunakan guru untuk persiapan menghadapi siswa. Misalnya, buku manual penyusunan berita, buku pelajaran tata bahasa tertentu. Buku yang dapat diperlakukan sebagai buku referensi adalah buku-buku pelajaran bahasa Indonesia yang menggunakan kurikulum masa lalu, seperti kurikulum 1994, 2004. 5. Penutup Makalah ini berpusat pada pembahasan mengenai buku teks pelajaran bahasa Indonesia. Namun, saya sertakan pula tambahan berkaitan dengan buku pengayaan dan buku referensi. Saya berharap agar makalah pendek ini dapat memberi masukan bagi para peserta seminar untuk dapat merancang KTSP dan memilih buku yang layak. Entri ini

You might also like