You are on page 1of 32

I.

DEFINISI KEPEMIMPINAN
Berikut ini beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai definisi kepemimpinan: 1. George R. Terry (yang dikutip dari Sutarto, 1998 : 17) Kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 2. Kartini Kartono (1994 : 48) Kepemimpinan itu sifatnya spesifik, khas, diperlukan bagi satu situasi khusus. Sebab dalam suatu kelompok yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, dan mempunyai suatu tujuan serta peralatan-peralatan yang khusus. Pemimpin kelompok dengan ciri-ciri karakteristik itu merupakan fungsi dari situasi khusus. 3. Harold Koontz (1989) Pengaruh, seni, atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusiasme. 4. R.K. Merton The Social Nature of Leadership, American Journal of Nuns, 1969. Kepemimpinan sebagai suatu hubungan antar pribadi dalam mana pihak lain mengadakan penyesuaian karena mereka berkeinginan untuk itu, bukannya karena mereka harus berbuat demikian. 5. P. Pigors Leadearship and Domination Kepemimpinan adalah suatu proses saling mendorong yang mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama, melalui interaksi yang berhasil dari perbedaan-perbedaan individual.

6. H.H. Jennings Leadership a dynamic redefinition, Journal Education School, 1944. Kepemimpinan muncul sebagai suatu hasil interaksi yang melibatkan perilaku yang memuat seseorang terangkat ke peranan sebagai pemimpin oleh individu-individu lain. 7. J.K. Hemphill - Dalam The Leader and his Group. Kepemimpinan adalah perilaku seorang individu sementara ia terlibat dalam pengerahan kegiatan-kegiatan kelompok. - Dalam A Propossed Theory of leadership in small groups; Technical report. Memimpin berarti terlibat dalam suatu tindakan memulai pembentukan struktur dalam interaksi sebagai bagian dari proses pemecahan masalah-masalah bersama.

8. Ralp M. Stogdill (1950)

Is the process of influencing group activities toward goal setting and goal achievement (proses mempengaruhi kegiatan kelompok, menuju ke arah penentuan
tujuan dan mencapai tujuan). - Dalam Individual Behavior and Group Achievement Kepemimpinan adalah permulaan pembentukan struktur dan memeliharanya dalam harapan dan interaksi. - Dalam A Handbook of Leadership yang dikutip oleh Prof. Drs. S. Pamuji, MPA, a. Leadership As A Focus Of Group Process (Kepemimpinan sebagai titik pusat proses kelompok) b. Leadership As Personality And Its Effects (Kepemimpinan sebagai kepribadian seseorang yang memiliki sejumlah perangai (Traits) dan watak (Character) yang memadai dari suatu kepribadian) c. Leadership As The Art Of Inducing Comliance (Kepemimpinan sebagai seni untuk menciptakan kesesuaian paham, kesepakatan) d. Leadership As The Exercise Of Its Influence (Kepemimpinan sebagai pelaksanaan pengaruh) e. Leadership As Act Or Behavior (Kepemimpinan sebagai tindakan atau perilaku) f. Leadership As A From Of Persuasion (Kepemimpinan adalah bentuk persuasi) g. Leadership As A Power Relation (Kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuasaan/kekuatan) h. Leadership Is An Instrumental Of Goal Achievement (Kepemimpinan adalah sarana pencapaian tujuan) i. Leadership As An Effect Of Interaction (Kepemimpinan adalah suatu hasil dari interaksi) j. Leadership As A Deferentiated Role (Kepemimpinan adalah peranan yang dipilahkan) k. Leadership As The Initiation Of Structure (Kepemimpinan sebagai awal dari pada struktur) Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktek seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari perannya memberikan pengajaran/instruksi. Tiga konsep umum kepemimpinan, yaitu: 1. Kepemimpinan tradisional, mengacu pada aturan lama yang sangat statis, biasanya mengacu pada agama atau adat. 2. Kepemimpinan rasional, mendapat kewenangannya dari aturan formal, serta hukum yang disepakati.

3. Kepemimpinan kharismatis, lebih menonjolkan kewibawaan dan kharisma seseorang di tengah masyarakat yang dipimpinnya. Otoritas kepemimpinan seseorang didapat dari proses yang lama, yang diakui oleh masyarakat.

Sekilas Mengenai Kepemimpinan Adat


Model kepemimpinan suatu masyarakat selalu mengikuti perkembangan sosial masyarakat itu sendiri. Pada awalnya, ketika komunitas-komunitas adat masih berbentuk kelompok suku yang biasanya dalam satu garis keturunan, maka pemimpinnya adalah berdasar senioritas baik menurut umur maupun kekuatan yang dimiliki. Ketika sebuah komunitas menjadi lebih kompleks dalam bentuk keluarga luas dan etnis, maka pemimpin telah ditentukan melalui proses memilih. Hanya saja proses dan aturan memilih ini kebanyakan sudah ditentukan misalnya berdarah bangsawan, dari kelompok marga tertua, secara turun menurun, dan lain-lain. Dalam kedua kasus di atas maka kekuasaan yang melekat pada seseorang adalah given. Oleh karena itu kadang-kadang lebih banyak bersifat sabda penguasa. Pola-pola pemilihan dan kepemimpinan semacam itu belum tentu tidak demokratis, dalam arti terbuka, transparan, dan menyelesaikan persoalan secara damai. Ada jenis demokrasi yang berbeda antara yang berlaku dimasyarakat adat dengan yang kita kenal selama ini. Kalau standar demokrasi seperti yang kita kenal ini yang dipakai, tentu saja komunitas adat bisa dilihat sebagai yang tidak demokratis. Sejak zaman pra-penjajahan hingga saat ini, model kepemimpinan yang dianut oleh masyarakat adat mengalami fluktuasi yang dapat digambarkan sebagai berikut: Sebelum kedatangan penjajah, setiap masyarakat adat memiliki model kepemimpinan asli, belum terkooptasi oleh kekuatan manapun di luar masyarakat adat itu sendiri. Pada masa kolonialisme, tatanan masyarakat adat mulai dicampuri oleh penjajah. Sebagian dielaborasikan pada sistem kolonialisme, sebagian dihilangkan. Tahun 1948, setelah Indonesia merdeka, terdapat UU yang mengatur tentang struktur pemerintahan: propinsi, kabupaten, desa/dengan nama lain (masyarakat adat masih diakomodir). Tahun 1979, melalui UU No. 5/1979, terjadi penyeragaman wilayah pemerintahan terendah; desa adat dilebur menjadi desa. Tahun 1999, dalam UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, masyarakat adat kembali diakomodir. Kepemimpinan masyarakat adat, saat ini, mempunyai 3 wajah: Berhubungan dengan negara/pemerintah Berhubungan dengan konstituennya, masyarakat Berhubungan dengan pasar (bisnis).

II. KARAKTERISTIK MASYARAKAT PEDESAAN


Masyarakat Pedesaan (masyarakat tradisional) a. Pengertian desa/pedesaan Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma dikemukakan sebagai berikut: desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri. Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Sedang menurut Paul H. Landis, desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri-ciri sebagai berikut: a) mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa. b) Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan. c) Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti: iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan. Dalam kamus sosiologi kata tradisional dari bahasa Inggris, tradition artinya adat istiadat dan kepercayaan yang turun menurun dipelihara dan ada beberapa pendapat yang ditinjau dari berbagai segi bahwa pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain di antara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong-menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong-royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat, kesenian, kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari definisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh. Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan sosial desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek di atas kertas. Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direnguk oleh aktor yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut, baik itu elite kabupaten, provinsi,

bahkan pusat. Di desa, pembangunan fisik menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Karena itu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ada sejak tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatan pada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK, orientasi penggunaan dananya pun lebih untuk pembangunan fisik. Bahkan, di Sumenep (Madura), karena kuatnya peran kepala desa (disana disebut klebun) dalam mengarahkan dana PPK untuk pembangunan fisik semata, istilah PPK sering dipelesetkan menjadi proyek para klebun. Menyimak realitas diatas, memang benar bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah Pembangunan di desa dan bukan pembangunan untuk, dari dan oleh desa. Desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia. Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkan sampai ke desa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep: Membangun desa, menumbuhkan kota. Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan oleh banyak kalangan, tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah tantangan yang harus segera dijawab. b. Ciri-ciri Masyarakat desa (karakteristik) Dalam buku Sosiologi Talcot Parsons, karangan Ruman Sumadilaga, seorang ahli Sosiologi, menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut: a. Afektifitas: ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih. b. Orientasi kolektif: sifat ini merupakan konsekuensi dari afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan. c. Partikularisme: pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja (lawannya universalisme). d. Askripsi: yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan (lawannya prestasi). e. Kekabaran (diffuseness): sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.

III. KEPEMIMPINAN MASYARAKAT PEDESAAN


Desa, atau udik, menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa, sedangkan di Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut Kepala Kampung atau Petinggi. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah nagari, di Bali disebut dengan istilah banjar dan di Papua dan di Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah kampung. Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat. 1.) Politik Desa Masa Kemerdekaan, Orde Baru Dan Era Reformasi Dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia, desa memiliki dinamika peran sejarah tersendiri karena sebelum bangsa Indonesia meraih kemerdekaan pun, desa telah menjadi suatu institusi politik yang kuat. Sebutan desa (Suhartono,2000 hal. 9) mulanya hanya dikenal dalam masyarakat Jawa, sementara misalnya di Bali dikenal dengan dusun, marga di Sumatera Selatan, nagari (Sumatera), huta (Batak) dan lainlain. Tetapi apapun istilah yang digunakan, tetapi desa secara sosiologis mengandung makna kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal yang homogen, tergantung pada alam dan berada diluar kota atau pedalaman dalam entitas tertentu.

Munculnya Politik Desa


Politik desa mengalami pasang surut ditengah pergulatan mencari identitas Republik ini. Era feodalisme dijaman raja-raja pra kolonial politik desa sangat diwarnai oleh dominasi para tuan tanah yang kemudian menjadi elit di pedesaan (Suzzan K. 1998), sehingga masyarakat desa hanya dimobilisasi untuk kepentingan tenaga kerja, dan raja (para tuan tanah) itu menjadi pemilik dan pengatur kehidupan masyarakat desa. Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat desa pun harus menerima kenyataan penjajah bangsa Eropa (Belanda) yang disamping pengeksploitasi desa, mengambil alih kepemilikan atas tanah ulayat masyarakat desa sampai pada memaksa untuk menjadi buruh kepada belanda dengan sistem Tanam Paksa (Hans Anlof (2001) dan Suhartono, Opcit). Masuknya penjajah merupakan kelanjutan dari depolitisasi masyarakat desa karena antara kaum penjajah dengan para raja melakukan kerjasama politik untuk menundukan masyarakat desa. Menariknya, meskipun ditengah kengkraman feodalisme raja dan penjajah desa tetap berkembang menjadi desa yang demokratis. Hatta (dalam Suhartono), menilai bahwa desa mengandung ciri-ciri sebagai masyarakat yang demokratis yakni adanya rapat desa (tempat dimana rakyat bermusyarawah dan bermufakat), adanya hak-hak untuk mengadakan protes dan mulai adanya kesadaran untuk melakukan tolong menolong diantara sesamannya. Kondisi itu mungkin dapat meruntuhkan argumentasi rasionalitas politik barat bahwa demokrasi hanya bisa berkembang dalam iklim politik

yang demokratis (tanpa sistem feodalisme dan kolonialisme) argumentasi universalitas demokrasi yang dipandang barat lahir dalam kondisi dimana kebebasan dijamin oleh konstitusi yang juga ditandai dengan persamaan kedudukan dimuka hukum dan adanya perbedaan dapat terbantahkan oleh suatu kenyataan politik desa yang dapat mengembangkan demokrasi di atas tekanan (kengkraman) atas kebebasan dan persamaan derajat (Nasir,2002). Konstatasi tersebut menjadi wacana awal ketika membahas bagaimana perubahan-perubahan politik dipedesaan dari masa ke masa setelah kita mencapai kemerdekaan, puluhan tahun silam.

Politik Desa Masa Kemerdekaan


Keberhasilan para pendiri negara merebut kemerdekaan tahun 1945, tentunya membawa perubahan penting dalam politik pedesaan. Karena berarti bahwa kemerdekaan yang terpenting adalah kemerdekaan dibidang politik. Partai-partai politik di pedesaan berusaha membangun politik desa dengan pertama-tama menghilangkan nilai-nilai kolonialisme khususnya sistem ekonomi kapitalisme di desa akibat pengaruh kolonial. Dalam catanan (Sosialismanto, 2001, hal 4 ) misalnya pada tahun 1957, setelah sengketa Irian Jaya Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. Pembangunan politik desa tentu diperlukan persiapan yang matang, salah satunya adalah bagaimana menyiapkan sistem ekonomi kerakyatan (pertanian) sebagai basis utama demokrasi politik di desa. Ada dua paradigma dalam pengembangan sistem politik di Indonesia, yang pertama indonesia baru saja memasuki dunia yang lepas dari kengkraman kolonial yang ingin menata dan mengambil alih struktur kekuasaan dari tangan penjajah dan yang kedua adalah bahwa menjalankan demokratisasi yang merupakan reslisasi dari kemerdekaan (Suhartono, 2001). Hal ini membuat suatu kegelisahan dimana bangsa ini sangat mendambakan suatu sistem pemerintahan yang mengatur kekuasaan rakyatnya dan disisi lain kita juga terbentur dengan kondisi masyarakat yang sangat memprihatinkan. Parlemen desa yang merupakan tempat kekuatan masyarakat dan berkumpul di tingkat grass root sangat mengharapkan dapat menampung aspirasi masyarakat secara komprehensip untuk menjamin adanya pemerintahan yang demokratis. Parlemen desa adalah organisasi politik yang mulai dikenal sangat masif oleh masyarakat desa. Perkembangan politik masyarakat desa di Jawa jaman kemerdekaan merupakan ideologi komunal dari pada ideologi rasional tetapi bila dilihat dalam aspek pendidikan politik sudah mengalami kemajuan, apalagi sebelumnya demokrasi sudah sangat membudaya dalam masyarakat kita. Sosialismanto (ibid) melihat dari sudut analisis ekonomi politik, peranan desa sebagai organisasi kekuasaan telah mengalami pergeseran peranan, berbeda dengan desa masa kolonial yang eksploitatif terhadap manusia dan sumber daya alamnya. Desa masa orde lama telah memperkenalkan dunia politik (politisasi) yang bergerak pada masyarakat desa. Munculnya politisasi disatu sisi berakibat pada disharmonisasi kehidupan pedesaan yang harmonis, komunalis dan ikatan sosial yang kuat. Pada pertengahan 1965 ideologi nasional berkembang di desa dengan pendekatan ideologi yang bersifat komunalistik. Apalagi setelah masuknya PKI dipedesaan dengan ideologi politik yang membela kaum tani desa memicu konfliks-

konfliks politik di desa. Politik pedesaan masa demokrasi terpimpin akhir Orde lama memperlihatkan adanya ketidakstabilan politik di akar rumput. Dan bahkan pada saat Sukarno mengenalkan idiologi Nasakom (nasionalis, agama dan Komunis), Partai Komunis Indonesia telah mendominasi kekuatan politik di pedesaan dengan basis politik pertanian (Suhartono, 2001). Hal itu menunjukkan bahwa masuknya politik di desa menyebabkan masalah baru dalam masyarakat desa. Identitas kultural desa menjadi berubah seperti dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Suasana politik desa sangat dipengaruhi oleh realitas politik demokrasi terpimpin (guided democracy) yang mengedepankan praktek politik utopis dimana konsepsi demokrasi terpimpin tidak dapat membantu demokratisasi di wilayah pedesaan. Pergolakan politik pertama tahun 1955 yang demokratis membuat adanya partisipasi politik desa yang lebih menonjol dari pada sebelumnya, Desa yang semula tidak menjadi panggung politik sebagai akibat demokratisasi 1955 menjadi panggung politik penting. Indikator ini bisa dilihat dalam dua perspektif. Pertama, berlangsungnya partisipasi warga negara, kedua, terjadinya polarisasi dan friksi politik desa.

Politik Desa Masa Orde Baru


Munculnya era Orde baru di bawah Presiden Soeharto segera setelah duketa PKI yang gagal dalam mengganti idiologi dalam perebutan kekuasaan negara, memunculkan adanya pemikiran untuk kembali kepada semangat UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam tesis kekuasaan Soeharto bahwa penyelewengan kepada semangat UUD 1945 dan Pancasila sesebabkan oleh paradigma pembangunan yang lebih menonjolkan kebebasan politik warga negara. Oleh karena itu Orde baru menerapkan strategis stabilitas politik dan pertumbuhan (ekonomi). Dalam konteks politik Soeharto menjadikan masyarakat desa sebagai masyarakat yang diambangkan (floating mass). Hal itu berpengaruh penting pada perubahan masyarakat desa yang semula berproses melalui pendekatan politik berubah menjadi birokrat desa. Sistem pemerintah desa berubah menjadi media birokrasi pedesaan negara Orde baru. Duta Sosialismanto mengemukakan bahwa: Pilihan yang dilakukan oleh pemerintah Orde baru untuk melakukan modernisasi di Indonesia adalah menempatkan pembangunan politik sebagai subordinat dari pembangunan ekonomi. Pengalaman pahit pada masa demokrasi liberal menunjukkan bahwa stabilitas politik merupakan syarat mutlak bagi adanya pemerintahan yang stabil yang cukup mempunyai waktu untuk merealisasikan program-program. Bukti masyarakat desa sebagai floating mass dalam pemilihan umum. Kuntowijoyo (dalam Duta S:2001) menulis bahwa gabungan kekuatan sejarah tertentu masyarakat desa kembali kepada kawula masyarakat desa harus belajar dari awal dalam kondisi sosial ekonomi yang baru, sebelum mereka sungguh-sungguh memasuki tahap demokrasi. Sementara itu diferensiasi sosial yang sudah terjadi dipedesaan sudah lama berjalan tanpa henti-hentinya. Disamping muncul faktor-faktor integratif tetapi juga semakin memudarnya nilai-nilai demokrasi asli desa seperti gotong royong, musyawarah mufakat untuk memutuskan suatu masalah yang menyangkut kepentingan umum (masyarakat desa).

Dinamika pembangunan Orde baru yang tengah mengejar ketertinggalan dalam sektor ekonomi (dalam perspektif pertumbuhan Orde baru) menggeser dinamika masyarakat desa dari politik ke ekonomi. Istitusi politik desa yang sebelumnya kuat dengan konfigurasi politk desanya berubah menjadi lembaga-lembaga seperti Koperasi Unit Desa (KUD). Institusi ini bukan saja berfungsi untuk melakukan monopoli hasilhasil pertanian di desa tetapi juga menggeser tradisi dari pertanian tradisional (barter) menjadi ekonomi pertanian modern. Sehingga jangan heran kemudian muncul semacam kapitalisme masyarakat desa. Struktur elite desa (tuan tanah) berubah menjadi elite baru (birokrat desa) yang loyal terhadap negara orde baru. Dalam bidang pemerintah mulai juga berubah dimana muncul kooptasi negara terhadap desa, kelembagaan birokrasi negara segera masuk dan berkembang di desa. Seluruh Indonesia diterapkan dengan pendekatan struktur top down yang disamaratakan sehingga menghilangkan identitas desa atau nagari atau sebutan yang lainnya. Birokrasi masuk desa semacam ini membawa dampak masa mengambang di desa. Birokratisasi desa yang merupakan bagian dari Golkar disatu sisi, dan sementara itu, partai politik (PDI dan PPP) tidak diperbolehkan sampai pada masyarakat desa. Sehingga sebetulnya selama Orde baru berkuasa masyarakat desa mengalami kemandekan pertumbuhan dibidang politik karena saluran aspirasi politiknya samasekali tidak diberikan. Kondisi ini menyebabkan masyarakat desa sebagai masyarakat mayoritas di negeri agraris ini hanyalah menjadi sumber legitimasi politik kekuasan Orde baru, dalam pemilu Orde baru yang penuh dengan rekayasa. Dampak lain dari kebijakan politik masa mengambang Orde baru adalah nampak pada munculnya mental fatique (sikap apolitis) sehingga masyarakat desa sangat apolitis dalam kehidupan politik dan bahkan mereka mengalami trauma sekali. Lembaga-lembaga masyarakat desa seperti LMD dan LKMD bahkan organisasi untuk kepentingan petani desa seperti forum tani dan lain-lain. Inisiatif pembentukannya lebih banyak dipengaruhi oleh peran birokrasi tingkat desa pada atas dasar musyawarah dan mufakat masyarakat desa sendiri. UU nomor 5 tahun 1979 dinilai para ahli politik seperti Donald K Emerson sebagai intervensi negara terhadap masyarakat, konstitusi nomor 5 itu adalah awal dari politisasi negara. Konsepsi desa juga dianggap sebagai model penyeragaman politik (political uniform) pemerintah terhadap masyarakat Indonesia yang pluralistik S. Wiratno (1979) melihat desa masa orde baru sebagai berikut: 1. Adanya pemisahan antara kelurahan dengan desa yang otonom. 2. Secara nasional pemerintah terrendah di desa dipegang oleh pegawai negeri. 3. Penghapusan lembaga perwakilan masyarakat desa. 4. Pengukuhan kepala desa sebagai pusat kekuasaan di desa. 5. Penyeragaman struktur organisasi pemerintah desa. Karena itulah berarti bahwa posisi masyarakat desa menjadi dependent society (masyarakat bergantung) dari pada independent society (masyarakat yang independen) dimana peran negara desa begitu sentral dalam proses pengambilan keputusan di desa.

Perkembangan Muktahir Politik Desa Era Reformasi


Terjadinya pergantian dari Orde baru kepada Orde reformasi sejak 1998 telah menyebabkan kemunculan kembali kekuatan-kekuatan politik desa. Masyarakat desa mengalami proses partisipasi politik yang termobilisasi oleh faktor birokrasi pemerintah desa. Meskipun, dinamika politik pasca Orde baru itu lebih bersifat democrazy (kebebasan yang anarkis) tetapi yang paling penting adalah ketika dimunculkannya perubahan paradigma pembangunan dari orientasi struktural birokrasi sentralistik berubah menjadi sistem birokrasi desentralistik. Adanya kebijakan otonomi daerah melalui UU /22/1999 lalu menegaskan tentang pentingnya penguatan masyarakat ditingkat akar rumput (masyarakat pedesaan). Kelahiran Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai turunan dari konstitusi otonomi itu harus dilihat sebagai peluang strategis membangun desa kembali. Sebagai parlemen desa, BPD memang belum memiliki kerangka teknis dari pemerintah daerah. Tetapi justru disitulah kelihatan betapa pentingnya peran masyarakat dalam merumuskan kebijakan politik desa termasuk melibatkan diri dalam suksesi kepala desa secara demokratis. BPD sebagai institusi baru ditengah masyarakat yang mengalami kemandekan peran secara politik adalah suatu yang tidak gampang untuk sampai kepada konsepsi yang ideal yakni BPD sebagai mitra kritis pemerintah desa dan sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat di desa. Bagaimana pun proses perubahan politik desa masa reformasi yang baru berjalan empat tahun lebih ini sebagai embrio dimana partisipasi masyarakat desa yang otonom itu dapat segera terwujud menjadi kenyataan. Upaya pendahuluan tentunya harus dimulai dengan mengembangkan kesadaran politik desa dengan beberapa cara. Pertama, melakukan revitalisasi terhadap budaya demokrasi yang sempat terabaikan khususnya selama massa Orde baru yang tentunya dengan pendekatan dialogis dan partisipatoris. Kedua, memperkuat ekonomi masyarakat berbasis sistem pertanian neomodernisme (mengolah pertanian dengan memadukan antara sistem tradisional dengan tekhnologi modern). Dengan kuatnya ekonomi masyarakat, maka akan dapat memperkuat partisipasi politik masyarakat secara otonom. Ketiga, melakukan proses sosialisasi yang intens tentang otonomi daerah yang disertai dengan pembentukan wadah-wadah penyangga demokratisasi desa diluar parlemen seperti forum alternatif yang menjadi pengawal parlemen desa maupun pemerintahan desa. Bila upaya-upaya strategis itu dapat dilakukan, maka akan sangat pemantu kearah pembangunan politik desa yang bersifat berkelanjutan. Demokrasi bukan berarti tinggal mengadopsi seperti apa yang diterapkan dalam masyarakat demokratis barat tetapi dapat berupa suatu sistem demokrasi yang bersifat local genius artinya akar demokrasi lahir dari tradisi sosial budaya masyarakat desa di Indonesia. Demokrasi terpimpin, liberal dan pancasila telah mengalami kegagalan tetapi demokrasi desa merupakan harapan ditengah transisi menuju demokrasi yang sedang mngecewakan masyarakat Indonesia dewasa ini.

10

Kelebihan dan Kekurangan


Desa di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam waktu yang sangat panjang, sehingga meskipun diterapkan sistem feodalisme atau kepempinpinan yang otoriter, tetapi tidak serta merta merubah budaya politik yang demokratis, karena budaya ini telah berkembang lebih awal sejak jaman raja-raja walaupun dalam kepemimpinan-kepemimpinan di Jawa Anlov mengatakan para tuan-tuan tanah sangat bersikap otoriter. Diawal orde lama politik desa mengalami masa kejayaan seiring dengan sistem politik yang Pluralistik sebelum kemudian memasuki demokrasi terpimpin, dimana politik desa mengalami pasang surut. Semasa orde baru politik desa mengalami kevakuman akibat politik masa mengambang (floating mass), yang menyebabkan terjadinya depolitisasi di tingkat desa. Dimana birokrasi desa menyadi alat kontrol masyarakat desa oleh penguasa yang hanya menjadikan Golkar partai yang mendapat dukungan oleh masyarakat desa. Adapun LMD (Lembaga Musyawarah Desa), LKMD, KUD dan lain-lainnya lebih banyak diinisiatifi oleh aparatur pemerintahan desa dari pada masyarakat sendiri, karena dalam Orde Baru lembaga-lembaga tersebut lebih merupakan kepanjangan tangan dari penguasa yang sangat sentralistik dan pro penguasa. Dalam perkembangan kemudian memang ada kelebihan yang sangat signifikan dari orde baru secara gelobal pada tingkat ekonomi, dimana fokus yang dikembangkan adalah bidang ekonomi dan stabilitas Collim Mc Andrew (1995). Selama masa reformasi (1998) politik desa mengalami penguatan kembali sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dengan diberalakukannya UU nomor 22 tahun 1999. Dalam UU itu juga mnegatur adanya mekanisme politik di desa yang dikenal dengan parlemen desa sebagai wakil rakyat dalam mengatur tata kehidupan masyarakat desa dan pemerintahan desa. Secara umum bagaimanapun desa tetap mengalami proses demokrasi, walaupun dihadapkan dengan banyak faktor yang menghambat. Hal ini tidak mengurangi dimana desa tetap menjadi institusi yang berpeluang untuk membangun demokrasi politik di Indonesia. 2.) Kepemimpinan Desa menurut Konteks Birokrasi Pemerintahan di Indonesia

Desa di Indonesia
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan kelurahan, desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.

Kewenangan desa adalah:

11

Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada desa.

Pemerintahan Desa
Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa (yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Kepala Desa
Kepala desa adalah pemimpin dari desa di Indonesia. Kepala Desa merupakan pimpinan dari pemerintah desa. Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun, dan dapat diperpanjang lagi untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Kepala desa tidak bertanggung jawab kepada Camat, namun hanya dikoordinasikan saja oleh Camat. Jabatan kepala desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya wali nagari (Sumatera Barat) , pambakal (Kalimantan Selatan), hukum tua (Sulawesi Utara), perbekel (Bali). Wewenang kepala desa antara lain: Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Mengajukan rancangan peraturan desa Menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik (namun boleh menjadi anggota partai politik), merangkap jabatan sebagai Ketua atau Anggota BPD, dan lembaga kemasyarakatan, merangkap jabatan sebagai Anggota DPRD, terlibat dalam kampanye Pemilihan Umum, Pemilihan Presiden, dan Pemilihan Kepala Daerah. Kepala Desa dapat diberhentikan atas usul Pimpinan BPD kepada Bupati/Walikota melalui Camat, berdasarkan keputusan musyawarah BPD. Istilah Lurah seringkali rancu dengan jabatan Kepala Desa. Memang, di Jawa pada umumnya, secara historis pemimpin dari sebuah desa dikenal dengan istilah lurah. Namun dalam konteks Pemerintahan Indonesia, sebuah Kelurahan dipimpin oleh Lurah, sedang Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Tentu saja keduanya berbeda, karena Lurah adalah Pegawai Negeri Sipil yang bertanggung jawab kepada Camat; sedang Kepala Desa bisa dijabat siapa saja yang memenuhi syarat (bisa berbeda-beda antar Desa) yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).

12

Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) oleh penduduk desa setempat. Syarat-syarat menjadi calon Kepala Desa sesuai Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 sebagai berikut: Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setia kepada Pacasila sebagai dasar negara, UUD 1945 dan kepada NKRI, serta Pemerintah. Berpendidikan paling rendah SLTP atau sederajat. Berusia paling rendah 25 tahun. Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa. Penduduk desa setempat. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 tahun. Tidak dicabut hak pilihnya. Belum pernah menjabat Kepala Desa paling lama 10 tahun atau 2 kali masa jabatan. Memenuhi syarat lain yang diatur Perda. Kab./Kota. Cara pemilihan Kepala Desa dapat bervariasi antara desa satu dengan lainnya. Pemilihan Kepala Desa dan masa jabatan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat. Tugas dan Kewajiban Kepala Desa sebagaimana yang diatur dalam pasal 101 UU No. 22 Tahun 1999 adalah: 1) memimpin penyelenggaraan pemerintah desa; 2) membina kehidupan masyarakat desa; 3) membina perekonomian desa; 4) memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa; 5) mendamaikan perselisihan masyarakat di desa; 6) mewakili desanya di dalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, Kepala Desa dibantu oleh perangkatperangkat desa lainnya baik dari unsur staf, unsur pelaksana dan unsur wilayah.

Perangkat Desa
Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa Lainnya. Salah satu perangkat desa adalah Sekretaris Desa, yang diisi dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris Desa diangkat oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota. Perangkat Desa lainnya diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. perangkat desa juga mempunyai tugas untuk mengayomi kepentingan masyarakatnya.

Badan Permusyawaratan Desa


Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari

13

penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

Keuangan desa
Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa), bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa Sumber pendapatan desa terdiri atas: Pendapatan Asli Desa, antara lain terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa (seperti tanah kas desa, pasar desa, bangunan desa), hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong Bagi hasil Pajak Daerah Kabupaten/Kota bagian dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan; hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Pinjaman desa

APB Desa terdiri atas bagian Pendapatan Desa, Belanja Desa dan Pembiayaan. Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.

Lembaga kemasyarakatan
Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan, yakni lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan Peraturan Desa. Salah satu fungsi lembaga kemasyarakatan adalah sebagai penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Hubungan kerja antara lembaga kemasyarakatan dengan Pemerintahan Desa bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif.

Pembentukan Desa (Pembagian Administratif Desa)


Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.

14

Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat. Desa yang berubah menjadi Kelurahan, Lurah dan Perangkatnya diisi dari pegawai negeri sipil. Desa yang berubah statusnya menjadi Kelurahan, kekayaannya menjadi kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat setempat. Desa mempunyai ciri budaya khas atau adat istiadat lokal yang sangat urgen,

Pembagian Administratif Padukuhan (Dusun)


Dalam wilayah desa dapat dibagi atas dusun atau padukuhan, yang merupakan bagian wilayah kerja pemerintahan desa dan ditetapkan dengan peraturan desa.

3.) Pengembangan Desa Masa Kini Desa dalam UU dimaknai sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kondisi kawasan perdesaan pada umumnya bercirikan masih besarnya jumlah penduduk miskin, terbatasnya alternatif lapangan kerja, dan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja perdesaan. Kondisi ini tidak terlepas karena tingginya ketergantungan pada kegiatan budidaya pertanian sedangkan tingkat penguasaan lahan pertanian oleh rumah tangga petani masih sangat lemah. Perdesaan cenderung semakain terpuruk akibat keterkaitan kegiatan ekonomi antara sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan dan jasa penunjang serta keterkaitan antara kawasan perdesaan masih sangat rendah. Sisi lain dari lemahnya perdesaan adalah rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat perdesaan, rendahnya akses masyarakat kepada sumber permodalan dan sumber daya ekonomi produktif lainnya, serta terbatas dan belum meratanya tingkat pelayanan prasarana dan sarana dasar bagi masyarakat.

Pemerintah Desa Sibuk Pelayanan Birokrasi


Fungsi sebuah pemerintahan dapat dikelompokkan menjadi: (1) Fungsi Pengaturan atau lebih dikenal sebagai fungsi regulasi dengan segala bentuknya. Fungsi ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menciptakan kondisi yang tepat sehingga tercipta kondisi yang kondusif atas keberlangsungan berbagai aktifitas dan terciptanya tatanan sosial yang baik di berbagai kehidupan masyarakat. (2) Fungsi Pelayanan yang membuahkan keadilan dalam kehidupan bernegara di tengah masyarakat; dan

15

(3) Fungsi Pemberdayaan, dimana pemerintah mengarahkan masyarakatnya menuju kemandirian dan pembangunan demi terciptanya kemakmuran di dalam kehidupan masyarakat. Dalam tata kelola pemerintah di tingkat desa, dengan kondisi semua kebijakan dan program berhubungan dengan masyarakat dilakukan oleh pemerintah desa, berakibat pada aparatur pemerintahan desa hanya disibukkan dengan fungsi pelayanan dan fungsi pengaturan. Dari sekian banyak departemen di tingkat pusat, banyaknya kegiatan bermuara pada pemerintah desa yang harus melaksanakan dan berbenturan dengan masyarakat karena adanya kebijakan atau fungsi pengaturan dan pemberdayaan yang kurang tepat untuk dilakukan di desa. Program pengemtasan kemiskinan dengan BLT dan raskin yang berakibat pada hilangnya kegotong royongan masyarakat desa. Program demokratisasi dengan pemilihan langsung dari bupati, gubernur sampai presiden yang pada akhirnya menghasilkan politik transaksional sesaat dan banyak program dan kebijakan lain yang kurang tepat sasaran dan tepat guna.

Pemberdayaan Desa
Dalam rangka pemberdayaan baik desa maupun pemerintah desa yang menjadi sangat penting adalah fungsi negara yang pertama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kecerdasan dari masyarakat desa dan pemerintah desa, maka diharapkan akan lahir pelopor pemberdayaan desa yang sebenarnya. Pelopor pemberdayaan desa ini bisa perangkat desa maupun warga masyarakat desa itu sendiri. Sumber daya manusia, sumber daya sosial, sumber daya alam, semua merupakan bagian yang penting untuk dicerdaskan dalam koordinasi yang tepat demi kemajuan desa. Tantangan industrialisasi dan teknologi adalah bagian lain yang menjadi sangat penting dalam pembinaan kesiapan mental masyarakat untuk menerimanya. Masyarakat tidak cukup sebagai pemakai tetapi harus menjadi pemanfaat dari kemajuan industri dan teknologi. Hanya melalui pendidikan yang terus-menerus, maka akan dapat diraih perubahan mental di kalangan masyarakat desa. Perlu dibangun sebuah kesadaran berpikir global bertindak dan berlaku lokal untuk kemajuan masyarakat desa. Dalam pemberdayaan masyarakat desa, terdapat beberapa bagian kegiatan yang selayaknya dilakukan oleh Pemerintah Daerah yaitu: memberikan bantuan usaha; memberikan pendampingan dalam menyusun perencanaan pembangunan perdesaan; keterampilan dan penyuluhan; pembagaan sosial dan ekonomi perdesaan sesuai dengan karateristik desa; mengembangkan lembaga keuangan di perdesaan; menjamin ketersediaan lapangan kerja sesuai potensi desa; memberi kemudahan untuk mendapatkan status kepemilikan lahan; dan/atau memberikan kemudahan dalam penggunaan dan pengembangan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan dengan memanfaatkan kearifan lokal;

16

menumbuhkembangkan adat-istiadat dan budaya lokal. Namun dengan beban politik dan birokrasi yang ada, beberap hal tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah daerah baik Provinsi maupun Kabupaten Kota.

Berdaya tanpa Bantuan Pemerintah


Dengan kesadaran untuk maju bersama dari masyarkat desa, maka dengan gotong royong masyarakat desa bisa dan mampu mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) praktiknya bisa memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Daerah rawa untuk diisi dengan bibit ikan, untuk dataran rendah (pesisir), masyarakat desa bisa mengakses dan mengelola Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di desa tipikal dataran tinggi, yaitu dengan membuat dan menjalankan bursa komoditas, pengembangan tanaman organik, dan lain-lain. Dalam rangka peningkatan ekonomi pedesaan bisa dengan memanfaatkan lahan yang kosong untuk kegiatan yang produktif, dan sektor jasa sangat terbuka luas untuk dikembangkan seperti mengembangkan Koperasi Kredit, Jasa pembayaran online dan yang lainnya. Keberanian memulai dengan kekuatan sendiri atau swadaya adalah semangat yang harus dibangun oleh masyarakat desa itu sendiri. Pada bagian lain, komunitas peduli desa dengan ketrampilan, kemampuan akses, dan kewirausahaan adalah elemen yang sangat diharapkan partisipasinya. Kembali lagi pada hal yang sangat penting adalah kesiapan desa dan pemerintah desa untuk menerima dan mencermati kebesediaan komunitas peduli desa (relawan desa) dalam peran sertanya ikut mengembangkan desa. Tidak hanya dibutuhkan pemimpin (leader) untuk memajukan desa, tetapi juga dibutuhkan pengelola (manager) yang handal untuk melihat potensi dan mengembangkan untuk keperluan kesejahteraan masyarakat desa.

17

IV. KONSEP KEPEMIMPINAN DI BERBAGAI DAERAH NUSANTARA


1.) Konsep Kepemimpinan Suku Dayak Khususnya di Daerah Kalimantan Tengah Suku Dayak amat taat dan setia kepada pemimpin yang telah mereka akui sendiri. Di lain pihak, untuk mendapatkan pengakuan dari penduduk, seorang pemimpin harus benar-benar mampu mengayomi dan mengenal masyarakatnya dengan baik. Pemimpin suku Dayak, bukan seorang yang hanya memberi perintah atau menerima pelayanan lebih, dari masyarakat, namun justru sebaliknya. Pemimpin yang disegani ialah pemimpin yang mampu dekat dan memahami masyarakatnya antara lain bersikap: o Mamut Menteng, maksudnya gagah perkasa dalam sikap dan perbuatan. Ia disegani bukan dari apa yang ia katakan, namun dari apa yang telah ia lakukan. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dalam sikap dan perbuatan selalu adil. Apa yang diucapkan benar dan berguna. Nama baik bahkan jiwa raga dipertaruhkan demi keberpihakannya kepada warganya. Sikap mamut menteng yang dilengkapi dengan tekad isen mulang atau pantang menyerah telah mendarah daging dalam kehidupan orang Dayak. Tidak dapat dipungkiri kenyataan itu sebagai akibat kedekatan manusia Dayak dengan alam. Bagi mereka tanah adalah ibu, langit adalah ayah dan angin adalah nafas kehidupan. Dengan demikian Kemanapun pergi, dimanapun berada, bila kaki telah berpijak dibumi takut dan gentar tak akan pernah mereka miliki. Salah satu contoh sikap mamut menteng dan keberpihakan para pemimpin Dayak kepada warga sukunya jelas terlihat dalam kisah perempuan pejuang Dayak. Namanya Nyai Undang. Merasa harga diri dilecehkan oleh sikap sewenang-wenang lelaki kaya raya yang berasal dari seberang, ia mampu mengkoordinir kekuatan para pangkalima atau panglima suku yang tersohor kemampuannya. Bukan saja mengkoordinir, tetapi ia juga mampu mengontak dan melobi mereka dalam waktu yang sangat singkat. Dalam sekejap, para pangkalima yang diundang datang dan berkumpul di pulau Kupang. Sarana komunikasi yang digunakan adalah Lunjo Buno atau Ranying Pandereh Bunu atau Renteng Nanggalung Bulau yaitu tombak yang diberi kapur sirih pada mata tombak. Lunju Bunu adalah totok bakakak. Totok bakakak berarti sandi atau kode atau bahasa isyarat yang umum dimengerti masyarakat suku Dayak. Dalam bahasa isyarat apabila mengirimkan lunjo buno berarti minta bantuan karena akan ada serangan. Tombak bunu tersebut dikirimkan ke segala penjuru untuk mengundang para pangkalima untuk segera hadir ditempatnya. Sesungguhnya Nyai Undang telah memiliki kekasih hati. Namun akibat kecantikannya yang sangat tersohor, ia dilamar lengkap dengan emas kawin yang memukau, oleh seorang lelaki kaya raya. Lamaran tersebut juga diiringi ancaman bahwa apabila ditolak maka peperangan tidak dapat dihindarkan. Singkat kata, pertempuranpun meletus di Pulau Kupang, kota Pamatang Sawang yang terletak di wilayah Kalimatan Tengah sekarang ( Disini kota artinya benteng pertahanan yang terbuat dari kayu tabalien/kayu ulin/kayu besi atau dapat pula terbuat dari batu ). Pasukan Nyai Undang yang didukung oleh para pangkalima handal berhasil memenangkan pertempuran. Demi keberpihakan kepada warga sukunya, para pemimpin dan pangkalima perang

18

dengan tulus dan ihklas siap bergabung untuk bersama maju perang menanggapi ajakan seorang warga suku yang merasa dilecehkan. Pemimpin yang berjiwa mamut menteng siap serahkan jiwa raga demi mengayomi dan keberpihakan kepada warga masyarakatnya. Mereka tidak takut ditertawakan, tidak takut pula akan adanya penghianatan, karena pada dirinyapun tidak terbersit sedikitpun niat untuk berkhianat pada warganya. Segalanya dilakukan dengan tulus dan kesungguhan sehingga kelecakan atau kesombongan rontok berkeping-keping. o Harati berarti pandai. Disamping pandai ia juga seorang yang cerdik dalam arti positif. Kecerdikannya mampu menjadikan dirinya sebagai seorang pemberi inspirasi bahkan sebagai seorang the greatest inspirator bagi warganya. Kemampuan dalam berkomunikasi dengan warganya, keakraban yang tidak dibuat-buat, menjadikan seorang pemimpin suku Dayak memiliki kepekaan yang tajam. Peka maksudnya sebelum peristiwa terjadi, ia telah terlebih dahulu menditeksi segala kemungkinan yang bakal terjadi dilingkungannya. Mampu membedakan mana yang benar, mana yang salah. Sebagai contoh, seorang pemimpin Dayak dalam kesibukannya selalu berusaha meluangkan waktu maja atau mengunjungi rumah warganya dengan keakraban yang tidak dibuat-buat. Maksudnya mereka tidak bersikap sok akrab untuk mendapatkan dukungan, tetapi maja atau berkunjung tersebut dilakukan karena memang mereka senang melakukannya. Terkadang tanpa diduga kunjungan mendadak tersebut dibarengi permintaan makan kepada keluarga tersebut. Sikap demikian tentu saja mengagetkan pemilik rumah namun meninggalkan kenangan indah kepada keluarga yang dikunjungi. o Bakena berarti tampan/cantik, menarik, dan bijaksana. Lebih luas maksudnnya Inner beauty yaitu ketampanan/kecantikan yang terpancar dari dalam jiwa. Cahaya matanya memancarkan keadilan, perlindungan, rasa aman dan bakti. Dimanapun berada, ia akan selalu disenangi dan disegani. Semua ini secara otomatis akan muncul apabila segala tugas dan tanggung jawab dilaksanakan dengan ihklas tanpa pamrih. o Bahadat maksudnya beradat. Bukan hanya mengerti dan memahami hukum adat dan hukum pali dengan baik, namun nyata terlihat dalam tindakan sehari-hari. Ranying Hatalla atau Allah Yang Maha Kuasa turut serta mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin, sehingga kendali diri pegang peranan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Berani berlaku tidak adil konsekwensinya hukuman akhirat akan diterima setelah kematian terjadi. o Bakaji maksudnya berilmu tinggi dalam bidang spiritual. Ia selalu berusaha untuk mencapai hening, serta membersihkan dan menyucikan jiwa, raga dengan rutin dan berkala. Saat hening adalah saat yang paling tepat untuk berdialog dengan diri sendiri, menata sikap untuk tetap kokoh berpegang pada tujuan agar tidak mudah terombang ambing. Kokoh kilau sanaman yang artinya sekokoh besi. o Barendeng berarti mampu mendengarkan informasi juga keluhan warganya. Telinganya selalu terbuka bagi siapapun. Hal ini bukan berarti bahwa pemimpin

19

suku Dayak hanya menghabiskan waktunya dengan menerima kunjungan warga untuk berkeluh kesah dan bersilaturahmi dengannya. Tanpa bertemu langsung dengan orang perorang, pemimpin Dayak mengetahui banyak situasi dan kondisi setiap keluarga. Ia telah menyediakan hati dan telinganya untuk menampung dan mendengarkan lalu mengolahnya menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawabnya. Salah satu contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat disaksikan dalam tradisi mihup baram atau minum tuak, babusau atau mabuk atau minum minuman yang mengandung alcohol hingga mabuk. Sekalipun dalam keadaan mabuk, pemimpin Dayak selalu berusaha mengendalikan kesadarannya sehingga dengan sarana mihup baram sampai babusau atau minum baram hingga mabuk, seorang pemimpin mampu menangkap dan merekam luka, kekecewaan, dan kemarahan terpendam warganya. Hal ini terjadi dimasa lalu. zaman telah berganti. Tradisi babusau sebagai sarana merekam isi hati warga masyarakat sudah seharusnya ditinggalkan karena terlalu besar resikonya. Apa yang tertulis disini hanya sebagai kisah masa lalu.

2.) Nilai Kepemimpinan Jawa Mitos kepemimpinan di Indonesia mengatakan bahwa pemimpin bangsa Indonesia sebaiknya orang Jawa sebenarnya memiliki makna yang kadangkala ada benarnya. Memang, salah satu kehebatan Indonesia adalah begitu beragamnya suku dan kaya akan nilai-nilai kehidupan yang luar biasa. Budaya Jawa memberi kesan bahwa nilai-nilai budayanya menekankan kehalusan budi dan cerita serta etikanya dalam dengan falsafah nilai, termasuk di dalamnya etika kepemimpinan. Walaupun nilai-nilai kepemimpinan ada di setiap suku dan perlu digali karena tidak kalah maknanya, tetapi nilai budaya Jawa diajarkan di semua lini strata sosial mulai dari elit sampai ke rakyat jelata, sehingga dia menjadi suatu yang nampak dalam praktika. Dalam buku More About Beyond Leadership tulusan Dr. Djokosusanto Moeljono yang salah satu bagiannya membahas juga tentang kepemimpinan Jawa. Salah satu nilai penting dalam kepemimpinan adalah ajaran Hasta-Brata (atau HastoBroto) yang asal mulanya dari India (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008, hal. 7075). Ternyata nilai-nilai yang penting yang harus dimiliki pemimpin ada dalam budaya Jawa. Bila kepemimpinan tanpa nilai-nilai, maka visi dan misi dipastikan tidak akan ada artinya. Bila di literatur kepemimpinan Barat penekanan kepada pentingnya setiap organisasi membangun nilai-nilai utama (core values), maka nilai-nilai kepemimpinan Jawa yang sudah ditanamkan sejak awal pada diri seseorang di dalam budayanya akan membuat seseorang menjadi pemimpin yang efektif. Etika Kepemimpinan dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah Hasta Brata. Istilah ini diambil dari buku Ramayana karya Yasadipura I yang hidup pada akhir abad ke-18 (1729-1803 M) di keraton Surakarta. Secara etimologis, hasta artinya delapan, sedangkan brata artinya langkah. Secara terminologis berarti delapan langkah yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam mengemban misi kepemimpinannya. Langkah-langkah tersebut mencontoh delapan watak dari benda-benda di alam yakni bumi (tanah), api, angin, air, angkasa, bulan, matahari, dan bintang. Pertama, tanah yang menggambarkan sifat teguh, sabar, kuat, menerima segalanya, tidak pernah mengeluh, tidak membeda-bedakan, dan menerima apa adanya yaitu

20

apa yang jatuh di atasnya baik yang baik maupun buruk. Gambaran tanah adalah sepatutnya menjadi watak pemimpin yang memiliki ketangguhan dan tidak mudah cengeng. Kedua, api menggambarkan panas sekaligus suci, di mana berani membakar segala kekurangan dan memperbaiki kembali sehingga menjadi lebih baik. Pemimpin harus tampil berani dalam penegakan hukum, tegas dan tuntas tanpa memandang bulu. Ketiga, angin menggambarkan keberadaannya di segala tempat, di mana saja ada. Ini menyatakan pemimpin harus ada di di segala lapisan masyarakatnya dan dekat dengan mereka tanpa membedakan berdasarkan status sosialnya. Pemimpin yang berlaku demikian akan membuat mereka tahu apa yang dikehendaki rakyatnya. Keempat, air dilambangkan dengan mengalir ke mana-mana dan seimbang dirasakan semua. Maka di sini pemimpin harus mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan secara merata dan sama-sama memiliki derajat yang mulia. Kelima, angkasa adalah berbicara tentang keluasan dalam menampung apa saja. Pemimpin sepatutnya memiliki keluasan hati dan mempunyai hati yang luas sehingga dapat menerima masukan dari bawahannya. Ia juga harus mampu mengendalikan diri terhadap masukan yang pisitif dan negatif dengan penuh kesabaran. Keenam, bulan menggambarkan sinar terang yang diberikan pada waktu malam. Pemimpin patut menjadi orang yang memberikan terang yaitu semangat, rasa aman, dan kepercayaan kepada rakyat ketika sedang mengalami krisis dan berbagai kegelapan yang dihadapinya termasuk mengangkat dari kebodohan. Ketujuh, matahari lambang dari sumber energi yang menopang kehidupan semesta dan segala yang ada di bumi. Seorang pemimpin adalah mereka yang mampu membangun daya hidup dan mendorong bawahan atau rakyatnya untuk dapat berkarya. Kedelapan, bintang menggambarkan suatu benda alam yang menjadi pedoman atau kompas. Di sini pemimpin harus menjadi teladan bagi bawahan atau rakyatnya, dan tidak mudah dipengaruhi untuk berubah-ubah pikiran.

Memang apa yang disebutkan dalam Hasta-Brata ini masih idealisasi nilai kepemimpinan karena realitanya hampir tidak ada pemimpin yang begitu memiliki kesempurnaan ini, sebagaimana yang ditulis dalam Hasta-Brata ini. Namun dengan memiliki nilai-nilai kehidupan seperti ini kita akan bisa lebih efektif sebagai pemimpin. Mudah-mudahan pemimpin di negeri kita mampu terus belajar meningkatkan nilai-nilai itu, karena ketika kredibilitas kepemimpinan menurun, kata dan laku masih seperti pepatah jauh panggang dari api, maka nilai-nilai kepemimpinan Jawa ini harus mulai dipelajari kembali. Kewajiban memiliki core values pada setiap pemimpin ternyata nilai itu telah ada sejak lama di bumi ini yaitu langkah kepemimpinan Hasta-Brata.

3.) Pemimpin Batak

21

Batak, adalah suku bangsa yang telah memiliki peradaban diantara suku yang ada di Indonesia. Kenyataan, Batak telah memiliki bahasa dan alpabet, disempurnakan dengan adanya aturan, mekanisme proses kehidupan bermasyarakat. Hubungan ini diatur pula dengan system ketataprajaan dalam konsep bius di beberapa wilayah yang telah disempurnakan menurut standart yang tersirat. Penyempurnaan ini, diartikan dengan berjalannya proses munculnya keteraturan dan kepemimpinan pejuang untuk kehidupan damai, rukun dan demokratis. Adat istiadat, merupakan implementasi aturan hukum dalam pergaulan itu yang tidak terpisah dari ketataprajaan bius. Saat ini, adat dimaknai seperti kegiatan rutin dalam proses perkawinan, kematian, kelahiran dan pesta tugu tanpa memahami lagi makna ketataprajaan dan makna kepemimpinan. Melihat kenyataan ini, masyarakat Batak modern menganggap budaya Batak itu sebatas paradaton dengan kaitan kekerabatan partuturon dengan dihiasi unsur seni tradisional musik dan tari. Kearifan dalam hubungan kemasyarakatan dan proses kepemimpinan sudah hampir dilupakan dengan teori kepemimpinan baru dalam peradaban masa sekarang ini. Proses sentralisasi diakui atau tidak, telah melunturkan tatanan yang ada dengan meng-generalisasi-kan kelembagaan masyarakat dan peraturan secara nasional. Kebudayaan masyarakat saat ini hanya dianggap sebagai rutinitas, yang bagi kalangan intelektual dan perilaku bisnis sudah menjemukan dan bertele-tele tanpa makna. Sadar atau tidak kebenaran itu mulai nyata, tatkala masyarakat terpaku mengikuti assesori budaya dan pada akhirnya sudah kehilangan makna. Kebudayaan/Adat sudah mulai berkurang kekuatan daya untuk menggerakkan partisipasi dan keswadayaan tatkala masyarakat adat/budaya tergantung pada hiasan (assesori) budaya itu. Dalam kebudayaan batak, sulit dipisahkan arti pemimpin monarki dalam memahami demokrasi. Tapi jelas terlihat arti proses demokrasi batak dan proses munculnya kepemimpinan sesuai aspirasi masyarakat. Untuk memenuhi syarat harajaon yang memiliki criteria sarat moral, masyarakat Batak sudah mulai melakukan penggemblengan bibit, bebet, bobot pada keturunannya. Semasa dalam kandungan misalnya, dilakukan sebuah upacara dan mohon doa kepada Mulajadi supaya kelak anak yang dikandung layak jadi pemimpin dan memiliki kehidupan yang layak.

Anak Tubu.
Kelahiran merupakan proses awal melihat munculnya seseorang baru yang diharapkan muncul jadi pemimpin masa depan. Dengan berbagai ragam muatan dengan metode pengajaran tradisional, pengharapan mombang marsundut yaitu menurunkan nilai kepemimpinan kepada generasi penerus ditanamkan hingga dalam tahap menuju dewasa.

Anak Magodang
Tang, merupakan proses pertama dilakukan kepada seorang anak menguji kemampuan berpikir, merencana, dan bekerja. Tang, dilihat dari kedewasaaan fisik dan berpikir, bersikap, bertindak dan mengambil keputusan. Dari kemampuan inilah

22

dia diberangkatkan ke alam baru, sebuah keluarga sehingga disebut anak mangoli atau boru muli dalam sebuah perkawinan .

Anak Manjae.
Proses pembekalan masih tetap berlanjut hingga mampu mendirikan sebuah keluarga yang mandiri. Dia dilepas melakukan kendali sendiri berdasarkan kekuatan yang ada. Ini dinilai sejak dia dalam proses anak magodang (dewasa) tadi. Saat itu dia berada dalam tingkatan anak manjae (mandiri). Dalam tahap ini proses pendewasaan semakin dimatangkan. Akan diberikan kesempatan memberikan pandangan, kreasi dan rancangan keputusan yang bersifat internal kekeluargaan dalam kerabat terdekat yang disebut na satataring

Natunggane.
Merupakan istilah umum yang sering didengar hingga saat ini. Tahap ini adalah merupakan tingkat kedewasaan pemikiran dan peran yang lebih luas dalam hubungan kemasyarakatan. Dalam hubungan masyarakat, natunggane adalah tingkat pertama menuju keterwakilan dalam harajaon. Dia diberi peluang berkompetisi (awal) melakukan perbuatan yang bermanfaat dan layak diterima masyarakat. Sikap, perilaku, tata bicara, kemampuan berstruktur dan yang paling utama dinilai adalah hasil dari apa yang dilakukannya.

Napinajolo.
Disini dia diuji kemampuannya melakukan tugas perutusan atau duta dalam tingkat musyawarah yang formal seperti horja, bius dalam melakukan tugas adat maupun musyawarah sosialisasi hukum kemasyarakatan dan hukum adat. Dia legal formal mewakili klannya dalam musyawarah dan pengambilan keputusan dalam tingkat horja. Kebiasaan ini masih terlihat saat ini dalam acara adat, manakala seseorang diutus di depan mewakili kelompok marga menjadi raja parhata.

Pinaraja.
Seseorang yang mewakili harajaon turun temurun dalam klannya. Dapat juga dalam keterwakilan dalam adat istiadat. Dia dicoba membawakan peran seperti halnya yang diwakilinya. Dalam harajaon yang tertata dalam bius dulunya, Raja ini adalah sosok formal yang individual. Na-Pinaraja dapat diartikan mewakili ayahandanya yang diakui sebagai Raja dalam klannya dan Horja. Dalam harajaon klannya, dia sudah diberi wewenang pengambilan keputusan awal. Raja hanya memberikan pertimbangan. Bila terjadi kesalahan dan kegagalan atas keputusannya, maka dalam musyawarah semua kesalahan akan diambil pertimbangan dipabenda ditarik tugasnya sementara waktu dan diambil alih raja yang memberikan penugasan sebelumnya. Dia harus memahami bahwa dalam tradisi Batak tidak ada kesalahan yang tidak mendapat hukum. Pendewasaan kepemimpinan formal dalam harajaon batak harus ada garis tegas yang diberlakukan sebagai monitoring dan evaluasi. Bagi calon

23

pemimpin yang karismatik, hukuman dipabenda adalah sangat berat dan berdampak luas kepada dirinya menjadi seorang bijaksana atau menjadi pecundang.

Raja
Kita pisahkan sementara pemahaman saat ini seperti raja yang berlaku bagi setiap orang batak sebagai status hula-hula dalam partuturon. Dalam pemahaman ini, adalah seorang pemimpin yang memegang kendali penegakan hukum dan pensejahteraan masyarakatnya. Kita mengartikan seseorang yang melanjutkan harajaon yang dipangku orangtuanya sebelumnya. Hukum harajaon untuk pemimpin batak harus diemban dipundaknya. Ini tidak lagi bermasalah karena semenjak muda sudah digembleng dan dibekali beragam pengalaman yang didelegasikan kepadanya. Dia tidak lagi mengalami euphoria kepemimpinan. Raja dalam pengertian tradisi batak ada beberapa pemahaman. Pertama, adalah Raja sebagai pemimpin formal. Mereka pemimpin komunitas dalam satu wilayah huta dan bius. Stuktur suhi ni ampang naopat adalah komposisi formalnya. Mereka memiliki raja pendukung sesuai peran dan tugas yang sebutannya, ada yang berbeda pada wilayah beda. Pemimpin utama adalah yang bendapat sebutan pangulu Bolon Kedua, adalah Raja menjadi sebutan karena sifat dan karakternya yang terpuji. Walau tidak formal memiliki otoritas kepemimpinan, tapi dia dihormati karena kepribadiannya itu. Ketiga, adalah Raja dalam status kekerabatan. Dia yang menjadi perutusan kekerabatan partuturon dalam suatu acara adat. Mereka yang menajdi tokoh pelaku dalam proses upacara adat batak. Keempat, adalah sebutan santun kepada seseorang walau tidak didasari kapasitas dan otoritas kepemimpinan. Biasa dalam ucapan sehari-hari kepada pihak hula-hula. Penganugerahan gelar Raja akhirnya menjadi mudah. Egalitarian Batak tanpa batas menjadi sangat ringan menyatakan ai sude do raja semua adalah raja. Kriteria harajaon kurang dipenuhi sifat-sifat kepemimpinan untuk mendapatkan kenyamanan mendapatkan sebutan itu. 4.) Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu Ajaran Kepemimpinan Gajah Mada (Hindu-Bali) Arti kata Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu: Asta Dasa artinya 18 (delapan belas). Berata artinya pengendalian diri yang merupakan kewajiban pokok seorang pemimpin. Pramiteng Prabu artinya Raja (Kepala Negara). Asta Dasa Berata Pramiteng Prabu artinya 18 (delapan belas) kewajiban pokok pengendalian diri seorang pemimpin.

Gajah Mada Keturunan Dewa Brahma


Patih Gajah Mada populer sebagai seorang tokoh nasional pada masa kejayaan Majapahit. Banyak karya sastra dan mitos yang berkaitan dengan tokoh yang mempersatukan Nusantara sampai ke Kepulauan Madagaskar, Malaysia, hingga Filipina selatan. Salah satu karya sastra tersebut adalah Kakawin (nyanyian sakral)

24

Gajah Mada (disingkat KGM). Dalam KGM ditemukan berbagai taktik, strategi, dan ajaran kepemimpinan yang dilaksanakan Mahapatih Gajah Mada yang relevan untuk dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali. Tentunya ada pula hal-hal negatif yang tidak patut untuk diteladani. Pengarang kakawin adalah Ida Cokorda Ngurah dari Puri Saren Kauh Ubud. Tokoh Gajah Mada begitu dikagumi, sehingga terbentuk berbagai mitos tentang dirinya. Dalam KGM tidak hanya mitos tentang Gajah Mada, yang ditampilkan sebagai berikut: Gajah Mada sebagai Keturunan Dewa Brahma. Dalam KGM, Gajah Mada dijadikan sarana citra, keluarga serta keturunannya sebagai anggota yang terhormat dari masyarakatnya. Penyair KGM menganggap Gajah Mada seorang yang digjaya Nindyeng sarat (jaya tidak tercela di seluruh dunia). Sebagai tokoh, digambarkan kesempurnaan dirinya yang mampu memasukkan dewa-dewa kahyangan ke dalam tubuhnya, seperti ajaran kepemimpinan yang populer dengan nama Asta Berata yang dituangkan dalam kakawin Ramayana. Sumber ajaran kepemimpinan Asta Berata ini adalah Kitab Manawa Dharma Sastera. Demikian juga Gajah Mada disebutkan mampu tampil sebagai Dewa asmara yang tampan, cemerlang dan jaya yaitu: (1) Tokoh yang pada mulanya datar, namun dapat membuat kejutan dengan menunjukkan sifat-sifatnya yang tidak terpuji, misalnya dalam menghadapi Kebo Wawira (Kebo Iwa) (2) Jaya secara lahiriah, ialah sebagai pencetus gagasan-gagasan yang dapat mengantarkannya mencapai kedudukan yang tinggi sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit (3) Kejayaan dalam pemikirannya didapat berkat keturunannya yang agung dan juga karena bakti, ketaatan dan kesetiaannya pada mereka yang diabdinya, terutama raja (4) Kejayaan batin didapat berkat sifat-sifat tersebut di atas pada guru agama dan pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab agama sebagai persiapan menuju Moksa (rohani dan jasmani langsung ke Sorga Loka). Gajah Mada adalah sosok orang Indonesia berdarah rakyat, meskipun ditulisnya juga bahwa kepercayaan orang Bali, Gajah Mada adalah penjelmaan Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) ke atas dunia. Karena dalam agama Hindu, sifat-sifat kepemimpinan yang menonjol biasanya diambil dari sifat-sifat dewa Wisnu atau Narayana, yang tampak dalam setiap penjelmaan (awatara-awatara)-Nya. Ajaran kepemimpinan dalam KGM dapat dijumpai pada bagian awal hingga akhir dari karya sastra kakawin ini. Seorang pemimpin hendaknya : 1) Rajin sembahyang, meditasi atau samadhi. Digambarkan bahwa sejak anak-anak, Gajah Mada suka sembahyang atau meditasi. Meditasi sering dilakukan malam hari dan sering mendapatkan vision (penglihatan) dewata yakni mendapat petunjuk dari dewa Brahma, ayah spiritualnya. 2) Menjadi pelopor dan memiliki wawasan ke depan. Gajah Mada selalu menjadi pelopor dan mengambil inisiatif yang pertama serta bekerja keras diantara temanteman sebayanya. 3) Mampu memberi semangat dalam kerja keras dan berat, terutama dalam memajukan sistem pertanian. Gajah Mada mampu memotivasi sesamanya.

25

Kharismanya tampak sejak anak-anak, kemana Gajah Mada pergi diikuti oleh temanteman sebayanya. 4) Ahli memimpin, termasuk memimpin sidang, hatinya terbuka dan kata-katanya manis bagai air kehidupan. Dalam berbagai kesempatan Gajah Mada digambarkan dapat memimpin sidang, memiliki keterbukaan dan memimpin yang memberikan kesejukan kepada bawahannya. 5) Mampu menarik simpati, cerdas dan kreatif. Hal ini tampak ketika Gajah Mada pertama kali mengabdikan dirinya di istana maha patih yang sudah mulai tua yang bernama Arya Tadah, dan kemudian dia dikawinkan dengan putrinya yang bernama Dyah Bebed. Kecerdasan Gajah Mada tampak pula ketika ia ingin mengetahui wajah asli raja Bedahulu dengan cara minta dijamu sayur pakis yang utuh sedepa panjangnya, lauk pauknya setumpuk usus ayam, minumnya satu bumbung legen, ia bersedia makan dihadapan raja. Dengan cara demikian itu Gajah Mada akan mudah melihat wajah raja Bali pada saat itu, dan raja tidak boleh membunuh utusan raja Majapahit ini, apalagi yang bersangkutan sedang menikmati makanan. 6) Sopan dan ramah. Gajah Mada sangat sopan dan ramah ketika ia ditanya oleh Kebo Wawira (Kebo Iwa) dan Pasung Grigis tentang maksud kedatangannya ke Bali. Gajah Mada diutus oleh raja Jawa yang mempunyai putri yang sangat cantik, tiada duanya di Wilatikta, dan memuji Kebo Wawira (Kebo Iwa) supaya bersedia mengawini putri Jawa tersebut. Karena penampilannya yang sopan dan ramah, akhirnya Kebo Wawira (Kebo Iwa) berhasil ditipu oleh Gajah Mada. 7) Senantiasa menuntut ilmu pengetahuan, tidak mementingkan kesukaan duniawi, mempelajari kitab suci, dan melaksanakan upacara yadnya. 8) Senantiasa melindungi warga dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan. 9) Seorang pemimpin hendaknya gagah berani, bertanggung jawab, dan tangguh dalam menghadapi berbagai masalah, tunduk kepada aturan (hukum). Tidak menghina rakyat jelata, dan tidak menjilat kepada penguasa (atasan). 10) Menghormati orang bijaksana, menghargai para pahlawan, dan senantiasa melakukan tapabrata dan semadhi. Penyusun KGM rupanya telah membaca semua referensi dalam naskah-naskah Bali. Hal ini tampak mengkirstal dalam 10 butir ajaran kepemimpinan dalam KGM. Walaupun ajaran tersebut sangat ideal namun Gajah Mada juga melakukan strategi atau taktik politik yang licik, yakni melakukan penipuan, baik terhadap raja Majapahit yang menghubungkan bahaya kelaparan di Majapahit akibat perbuatan raja Bali. Demikian pula ia telah menipu Kebo Wiwara dan Pasung Grigis. Dalam khasanah sastra Bali memang terdapat adigium musuh wenang linyokin (musuh dapat ditipu atau dibohongi), hal ini tentu mengurangi kredibilitas kepemimpinan yang dilakukan Gajah Mada. Pembagian wilayah serta menempatkan penguasa dengan Sistem Majapahit di Bali. Sistem ini rupanya merupakan kelanjutan dari sistem yang diterapkan pada zaman Bali kuno yang dikenal sebagai ajaran Mpu Raja Krita yang menjabat sebagai Senapati Kuturan yang kemudian lebih populer dengan sebutan Mpu Kuturan. Warisan monumental beliau adalah dengan adanya sistem pemrajan, banjar, khayangan tiga, dan subak.

26

Sistem inilah yang ditengarai mampu membentengi Bali dari berbagai perubahan akibat perkembangan kehidupan, sampai era globalisasi dewasa ini. Ajaran kepemimpinan dalam KGM rupanya tidak jauh bila dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali. Karena model kepemimpinan Hindu yang dituangkan dalam kitab suci Veda dan Susastra Hindu telah dituangkan dalam khasanah kesusastraan jawa kuno atau kawi dan hal ini merupakan sumber utama ajaran atau model kepemimpinan Hindu di Bali. Konsep atau ajaran kepemimpinan tidaklah hanya berguna bagi pemimpin atau calon pemimpin, tetapi berguna bagi setiap orang termasuk pula menjadi anggota yang dipimpin. Dengan mengerti kepemimpinan, kita memahami bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat demikian pula bagaimana seharusnya seorang anggota.

Pemimpin Mesti Kendalikan Diri


Dari manakah pemimpin itu harus memulai untuk mencapai kesempurnaan? Adalah dari diri sendiri. Setiap orang jadi pemimpin dirinya sendiri. Jika sudah mampu memimpin diri sendiri, barulah ia menjadi pemimpin orang lain. Seorang pemimpin masyarakat tidak lepas dari kepemimpinan handal yang ada pada dirinya sendiri. Tak bisa lepas dari pengendalian diri atau kontrol panca indrianya sendiri baik jasmani maupun rohani. Betapa pun pandainya, jika tanpa pengendalian diri, tanpa keseimbangan jiwa, maka dipastikan berdampak merosotnya kehidupan masyarakat yang dipimpin. Kita bisa belajar menjadi pemimpin dari tokoh terdahulu yang diuraikan dalam kitab-kitab agama atau pun naskah-naskah kuno. Sebut saja Yudistira dalam Mahabharata, merupakan pemimpin yang menjalankan dharma, sesuai ajaran Agama Hindu yang dianutnya. Yudistira seorang raja yang baik, terbukti kehidupan rakyat Indra Prasta yang makmur. Benteng pertahanan Indra Prasta yang kuat dan ia memiliki para pendamping yang siap membantu jalannya pemerintahan, seperti Bima, Arjuna, Nakula, Sahadewa, dan para Resi Bhagawan sebagai penasehat. Suatu ketika Yudistira pernah kehilangan kontrol diri, ia kehilangan pengendalian diri dan keseimbangan jiwa. Pada saat ia diundang untuk bermain dadu, melawan raja Gandara Sakuni, Yudistira menerimanya dengan cepat. Sudah beberapa kali ia kalah, dan harta yang dipertaruhkan sudah banyak pula. Itu sudah cukup menjadi petunjuk. Namun semakin menjadi-jadi, sampai-sampai ia mempertaruhkan kerajaannya. Hanya karena kontrol dan pengendalian diri, terburu nafsu menggebu dan hilangnya keseimbangan jiwa, maka Yudistira kehilangan Indra Prasta di meja judi, atas akal bulus raja Gandara Sakuni. Hendaknya pemimpin tidak kehilangan kontrol diri dan keseimbangan. Dan perlu diingat tiga hal yang membuat pemimpin itu rusak ialah judi, berburu, bermain wanita, minuman keras, memfitnah, merampas harta benda, dan melukai badan. Untuk menjadi pemimpin yang baik hindarilah hal itu. Sesuai dengan apa yang dimuat dalam kitab Manawa Dharma Sastra, VI,7,52.

Saptakasyasya wargasya Sarwatraiwanu sangginah Purwam purwa gurutaram Widyadwyasanamatmawan

27

Artinya : Seorang pemimin hendaknya mengendalikan diri dari ketujuh jenis itu, sebagaimana kejahatan yang disebutkan di atas. Menjadi pemimpin memang tidak mudah. Sekali lagi, perlu pengendalian diri. Pengendalian diri memegang kontrol segala kegiatan untuk mencapai kinerja yang baik dan berhasil. Pemimpin hendaknya menjadi panutan bagi yang dipimpin dalam hal pengendalian diri. Jika sudah saling mengendalikan diri, semua akan terkontrol, tidak ada kesimpang siuran, tumpang tindih, dan kekacauan. Itulah mengapa dalam slokasloka mengenai kepemimpinan sangat banyak memuat tentang pengendalian diri, seperti berikut:

Indryanam jaye yogam. Samatis theddiwanisam. Jitendriya hi caknoti Wage sthapayitum prajah
Artinya: Pemimpin hendaknya siang dan malam seharusnya mengendalikan diri sekuat tenaga, karena ia telah menundukan indrianya sendiri, dapat menguasai diri, pasti mengendalikan rakyatnya. Begitu pentingnya pengendalian diri, maka seorang pemimpin pastilah muncul sebuah taksu atau karisma, yang mampu mempengaruhi masyarakat. Namun untuk mengendalikan diri inilah yang sulit apalagi mau membuat karisma diri dan mengendalikan rakyat. Untuk itulah seorang pemimpin berpedoman pada sifat kedewataan dan menerapkannya pada kepemimpinannya. Sifat-sifat kedewataannya itu tersurat dalam sloka:

Indra nilaya markanam Agni ca waruna sya ca Candra wite ca yo caiva Matra nir hertya cacwatih
Artinya: Untuk memenuhi maksud tujuan itu, pemimpin harus memiliki sifat kekal seperti Indra, Vayu, Yama, Surya, Agni, Varuna, Chandra dan Kuwera (Manawa Dharmasastra VII, 4) Yang dimaksud: Indra adalah seorang raja harus mampu mengayomi dan memberikan kehidupan seperti hujan yang turun menyuburkan tanah. Vayu seorang pemimpin harus adil seperti hakim, Yama seorang pemimpin harus tegas, Surya seorang pemimpin harus mampu memberikan penerangan, Agni seorang pemimpin harus mampu mengobarkan semangat rakyat, Varuna atau laut seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan luas,

28

Chandra seorang pemimpin harus bisa menyejukkan hati rakyatnya, dan yang terakhir Kuwera seorang pemimpin itu harus berdana, untuk kesejahteraan rakyat.

Raja Mabuk Rakyat Teler


Seorang raja Kerajaan Nandaka yang bernama Birhadratha, sedang mengalami kebingungan. Ia pergi ke hutan untuk melakukan pengendalian diri, yaitu berdiri mengangkat tangannya ke atas, sambil menatap matahari. Pada hari yang keseribu dari tapa bratanya, datanglah pendeta bernama Sakyanya. Hentikan tapa brata anda dan katakan permintaan anda. Kesaktian apa yang anda inginkan? Raja Birhadratha menyahut dan menyatakan kebingungannya atas ketidakabadian tubuhnya. Demikian pula dengan alam mengalami kepunahan. Seperti serangga kecil bersayap, nyamuk, rerumputan, pepohonan besar, itu muncul dan lenyap. Sang raja juga bingung melihat mahluk-mahluk besar memiliki superioritas yang lebih besar. Mereka dapat menghancurkan para Gandharwa, Asura, Yaksha, Rakhasa, Bhuta, mahluk halus, hantu, ular, dan lain-lain Manusia identik dengan alam. Ketika manusia diberi kedudukan sebagai Raja, ketika salah mengendalikan dirinya maka seolah-olah alampun mempercepat kehancuran dirinya. Demikian juga ketika dia mampu mengendalikan dirinya, maka alampun dirasakan ikut mendukung karena alam dipercayai sebagai penyebab membawa kebaikan maupun keburukan. Dalam Nitisastra disebutkan kalau raja saleh, rakyatpun saleh, raja jahat rakyatpun jahat. Rakyat akan mengikuti sang raja, sebagaimana raja begitulah rakyatnya. Selanjutnya dijelaskan dalam Ramayana pada saat Rama menyerahkan Terompah, sebagai simbolis kekuasaan kepada Bharata, dengan wejangan sebagai berikut: Hilangkah sifat-sifat angkara murka, penghinaan jangan dilakukan, lenyapkan orang mabuk, perbuatan baik merupakan sahabat mulia dan utama. Kemarahan dalam hati harus dihilangkan. Dosa yang bertubi-tubi menimbulkan keonaran dan kehancuran. Rakyat yang baik budi dan setia akan berbalik haluan. Kawan baik makin menjauh, musuhlah yang mendekat. Dosa besar orang yang doyan minum, mabuk, hilap hatinya, pelupa, gelisah, sombong, tekebur, angkuh dan jahat, dan berniat jahat. Lagi pula jangan bohong dan berbuat hina, akan menimbulkan keonaran yang sudah tentu akan menjadi buah bibir. Lagi pula bila ada rakyat yang kelihatan jahat, jangan tinggal diam terhadap hal itu, hendaknya lekas melakukan tindakan yang tegas. Tuhan menciptakan raja, untuk melindungi ciptaanNya. Untuk mencapai tujuan itu maka sang Raja harus memiliki sifat-sifat yang kekal pada Dewa Indra, Bayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra dan Kuwera. Yang kesemuanya tersebut tertuang dalam ajaran Asta Brata. Raja identik dengan pemimpin. Kalau dicermati kata dasar dari pemimpin adalah pimpin yang artinya tuntun. Maksudnya adalah seorang pemimpin memerlukan tuntunan, agar mampu berjalan sesuai dengan peraturan dan perundangundangan yang telah disepakati. Untuk dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin yang bijaksana maka harus mendasarkan diri kepada konsep Agama, Igama dan Ugama, dalam ajaran Agama Hindu.

29

Konsep berasal dari Panca Talaning Wisata Budaya, terdiri dari: Agama, Ugama, Igama, Sila Krama dan Sima Krama. Agama adalah agama Hindu yang ada di Bali yang kaya akan falsafah dan mythologi serta ajaran-ajarannya karena ia merupakan perpaduan yang serasi antara Hinduisme, Hindu Jawa dan unsur kebudayaan Bali asli. Ugama adalah pelaksanan dari ajaran agama di bidang upacara dan upakara. Kemudian menimbulkan adanya seni tari, seni sastra, seni krawitan, seni ukir dan seni budaya yang lainnya. Igama adalah ajaran ketata susilaan bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat di Bali. Sila Krama adalah Pelaksanaan ajaran-ajaran di atas di dalam masyarakat Bali yang disesuaikan dengan kala, patra dan desa. Sima Krama adalah Pekraman/ silahturahmi anggota masyarakat desa adat yang sudah dilaksanakan sejak waktu yang lalu, maka ia merupakan adat yang mempunyai kesamaan dan perbedaan di masing-masing desa adat. Patih Gajah Mada dalam mengendalikan Bali setelah ditaklukkan, menggunakan konsep Asta Dasa Berata Pramiteng Prabhu. Yang dimaksud dengan Asta Dasa Berata Pramiteng Prabhu dari Gajah Mada adalah 18 (delapan belas) kewajiban pokok pengendalian diri seorang pemimpin yaitu : 1. Wijaya; bersikap tenang dan bijaksana. 2. Matri Wira; berani membela yang benar. 3. Natanggwan; mendapat kepercayaan rakyat, 4. Satya bhakti a prabhu; taat kepada pemimpin/pemerintah. 5. Wagmi wak; pandai bericara dan meyakinkan pendengar. 6. Wicak saneng naya; cerdik menggunakan pikiran. 7. Sarja wopasana; selalu bersikap rendah hati. 8. Dirotsaha; rajin dan tekun bekerja. 9. Tan satresna; jangan terikat/mengikatkan diri pada satu golongan atau persoalan. 10. Masihi semesta Buwana; bersikap kasih sayang kepada semuanya. 11. Sih Semesta buwana; dikasihi oleh semuanya; 12. Negara Ginang Pratidnya; selalu mengabdi dan mendahulukan kepentingan negara. 13. Dibya cita; toleran terhadap pendirian orang lain. 14. Sumantri; tegas dan jujur. 15. Anayaken musuh; selalu dapat memperdaya musuh. 16. Waspada Pubha wisesa; waspada selalu/introspeksi. 17. Ambeg Paramartha; pandai mendahulukan hal-hal yang lebih penting. 18. Prasaja; hiduplah sederhana. Kutipan di atas menunjukkan bahwa; kalau rajanya bingung dengan pergi ke hutan melakukan tapa berata, maka seorang raja akan lebih banyak dipengaruhi oleh sifat sattwamnya. Sehingga segala peraturan yang ada dalam kitab suci akan dilaksanakan dengan baik. Apabila rajanya bingung, kemudian melakukan pengendalian diri melalui kegiatan berburu di hutan berarti dipengaruhi oleh sifat Rajas, sehingga rakyat juga ikut merusak alam seperti membabat hutan. Kalau rajanya bingung, kemudian melakukan pengendalian diri melalui mengkonsumsi minuman keras dan mabuk-mabukan berarti dipengaruhi sifat Tamas, sehingga rakyat juga terkena dampaknya. Kalau rajanya mabuk, rakyatnya juga teler. Rajanya gila,

30

rakyatnya cenderung gila-gilaan. Rakyatnya sebagai pedagang kecil di warung ditangkap menjual miras rajanya harus juga ditangkap. Kalau negara ini ingin baik, tidaklah sulit bagi seorang pemimpin. Cukup melaksanakan Agama, Ugama dan Igama, sesuai ajaran Agama Hindu.

31

REFERENSI

http://appehutauruk.blogspot.com/2010/08/prisnsip-kepemimpinan-etnikbatak.html http://azhar1010.multiply.com/calendar/item/10006/Etika_Akhlak_Pemimpin http://catalogue.nla.gov.au/Record/1964373 http://catalogue.nla.gov.au/Record/4579929 http://chiell.wordpress.com/2008/03/22/hasta-brata-filosofi-kepemimpinan-jawa/ http://data.tp.ac.id/dokumen/moral+dan+etika+pemimpin http://dayakblogs.blogspot.com/2010/12/konsep-kepemimpinan-suku-dayak.html http://diandrabooks.com/kepemimpinan_bali_ke_depan.html http://kepemimpinan-fisipuh.blogspot.com/2009/03/definisi-kepemimpinan.html http://www.google.co.id/#sclient=psyab&hl=id&source=hp&q=kepemimpinan+masyarakat+pedesaan&pbx=1&oq=kep emimpinan+masyarakat+pedesaan&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_upl=847087l 857181l0l857543l32l20l0l5l5l2l1430l4475l21.2.0.1.2.1l12l0&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=69aae8bcc6b06cdf&biw=1246 &bih=590 http://www.ireyogya.org/adat/proceed_tot2c.htm http://www.jappy.8m.com/blank_3.html http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=9

32

You might also like