You are on page 1of 19

DPR Setujui UU Perseroan Terbatas [20/7/07] Rapat Paripurna DPR menyetujui RUU Perseroan Terbatas untuk disahkan menjadi

Undang-Undang. Rapat Paripurna, Jum'at (20/7) dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. Tak ada satu pun dari 10 fraksi yang menyatakan keberatan atas RUU dimaksud. Sebagian besar Fraksi menyinggung soal corporate social responsibility (CSR) yang dalam Undang-Undang ini diwajibkan kepada perusahaan tertentu.

Klausul CSR Tidak Menabrak UUD 1945 UU Perseroan Terbatas [21/7/07] Pemerintah bersama DPR sepakat mengesahkan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Masih belum beranjak, titik perhatian tetap tertuju pada tanggung jawab sosial perusahaan. Perseroan yang berbisnis syariah wajib membentuk Dewan Pengawas Syariah. Tunai sudah tugas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merampungkan satu lagi UndangUndang. Kali ini, mereka melahirkan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT). Peraturan tinggi negara yang hendak merevisi UU 1/1995 ini disetujui untuk segera disahkan, dalam Sidang Paripurna DPR, Jumat (20/7). Sepuluh fraksi sepakat bulat mengesahkan UU PT. Sidang tersebut juga mengesahkan UU Cukai sekaligus menutup masa sidang keempat. Selanjutnya, DPR reses hingga ramai kembali pada 16 Agustus mendatang. Revisi UU PT ini merupakan usulan pemerintah. UU 1/1995 sudah tidak memadai menampung berbagai perkembangan hukum dan masyarakat. Khususnya dinamika perekonomian yang pesat seiring kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, ungkap Ketua Panitia Khusus PT (Pansus) Mohammad Akil Mochtar dalam laporannya. Rupanya RUU PT ini sudah menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) sejak 2005. Akil menambahkan adanya UU PT ini untuk menciptakan iklim usaha dan perdagangan yang sehat dan maju. Selain itu, Akil juga berharap para pemodal asing sudi melirik Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Kami tak mau masyarakat menganggap DPR sebagai penghambat investasi lantaran tak kunjung selesai membuat peraturan perundangan, imbuhnya di sela sidang.

Anggota Pansus asal Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) Yudo Paripurno menjelaskan, UU PT harus diselaraskan denga ketentuan lainnya. Maklum, registrasi dan pemberian status badan hukum nantinya, merupakan wewenang penuh Departemen Hukum dan HAM. Tapi, masih ada UU 3/1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Itu masih di bawah Departemen Perdagangan, ungkap Yudo. Kronologi Perjalanan UU PT

12 Oktober 2005 Pemerintah menyampaikan RUU PT kepada DPR. 22 November 2005, Sidang Paripurna DPR mengesahkan pembentukan Pansus PT. 9 Februari 2006, Raker pertama DPR dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menkumham. DPR menggelar 6 kali RDP yang melibatkan tak kurang dari 23 lembaga. 19 Mei 2006, Pembicaraan Tingkat I untuk menyerap pandangan fraksi. Terdapat 813 butir Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). 16 Juli 2007, Tim Perumus (Timus) melaporkan kepada Panitia Kerja (Panja), bahwa Timus telah menyelesaikan Pasal 74 (CSR), 77 (RUPS via teleconference), dan 109 (Dewan Pengawas Syariah).

20 Juli 2007, dalam Sidang Paripurna, Pemerintah dan DPR setuju segera mengundangkan RUU PT. Sepuluh fraksi sepakat bulat. UU PT terdiri dari 14 bab (termasuk Ketentuan Penutup) serta 161 pasal.

Sumber: Laporan Ketua Pansus PT dalam Sidang Paripurna DPR, 20 Juli 2007 Masih Seputar CSR Rupanya semua fraksi masih memusatkan perhatian pada klausul tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR). Maklum, poin ini merupakan ketentuan baru yang tertuang dalam Bab V Pasal 74. Pasal ini mewajibkan perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam menyisihkan sejumlah dananya guna melakukan program CSR. Jangan hanya dilihat core business-nya. Rumah sakit pun wajib CSR karena dia membuang limbah. Pokoknya semua usaha yang berhubungan dengan lingkungan, tukas Akil yang dari Fraksi Partai Golkar (FPG). Sementara itu, Hermansyah Nazirun dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) mengingatkan pendirian sebuah perseroan bisa menggurita menjadi akumulasi modal. Makanya, semangat CSR supaya jangan timbul keserakahan.

Meski bersifat wajib, Hermansyah menambahkan, ketentuan ini bukan bermaksud membebani perusahaan. Program CSR bersifat penuh toleransi dan tidak semena-mena. Akil pun sependapat. CSR sesuai dengan asas kepatutan dan kewajaran, sambung Akil. Akil dan anggota DPR lainnya mendesak pemerintah segera membuat peraturan penerapan CSR yang berupa Peraturan Pemerintah (PP). Secepatnya. Saya harap tiga bulan setelah UU PT diundangkan, ujar Akil. Menurut Akil, PP inilah yang akan merinci usaha mana saja yang wajib melakukan CSR. Detilnya akan diatur di dalam PP. Termasuk juga sanksi dan tata caranya, tutur anggota Komisi III (Bidang Hukum dan HAM) tersebut. Sebelumnya, banyak pelaku bisnis yang menentang keras keberadaan kewajiban CSR. Bahkan, mereka berniat mengajukan uji materi (judicial review) di muka Mahkamah Konstitusi (MK). Menanggapi hal tersebut, Akil tidak khawatir. Silakan saja. Sebagai bentuk demokrasi, kita menghormati keinginan pihak yang mau maju ke MK. Akil menandaskan, uji materi sebuah UU hanya untuk ketentuan yang diduga menyalahi UUD 1945. Apakah kewajiban yang bagus seperti ini bertentangan dengan UUD 1945? Kan tidak melanggar konstitusi, ujar Akil dengan nada heran. Politisi Partai Golkar ini merasa masygul lantaran para pebisnis justru tidak mempermasalahkan kewajiban CSR dalam UU Penanaman Modal (UU PM). Lihat saja Pasal 15 dan 34. Ketentuan itu kan lebih berat daripada UU PT. Kok mereka tidak protes? ujarnya sambil menggelengkan kepala. Terpisah, anggota Konsultan Hukum Pasar Modal Sutito menjelaskan CSR memang perlu. Namun, kegiatan CSR ini bukan berarti untuk mengganti kerugian lingkungan. Perusahaan yang mencemari lingkungan memang harus bertanggung jawab. Tapi itu namanya corporate responsibility. Kalau CSR, lebih bersifat sukarela. UU PT, Pasal dan Ayat Terpilih Pasal 74 (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. (2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutuan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 109 (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai dewan komisaris wajib mempunyai dewan pengawas syariah. (2) Dewan pengawas syariah terdiri atas seorang ahli atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. (3) Dewan pengawas syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Sementara itu, perusahaan milik negara (BUMN) sudah menerapkan CSR yang diwajibkan oleh UU 19/2003 tentang BUMN, lewat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Nah, untuk BUMN dikecualikan karena sudah ada UU tersendiri. Mereka kan perusahaan yang dimiliki oleh negara, bukan layaknya swasta. Bahkan pola CSR mereka sudah rinci aturan pelaksananya, tutur Akil. Dewan Pengawas Syariah Ketentuan baru lainnya adalah kewajiban perusahaan membentuk dewan pengawas syariah. Bagi perusahaan yang menjalankan usahanya dengan prinsip syariah, sambung Akil. Dalam ketentuan tersebut, dewan ini semacam dewan komisaris. Tugasnya, memberi saran kepada direksi serta mengawasi jalannya perseroan. Anggota lembaga ini diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sutito mengusulkan anggota dewan pengawas syariah mengantongi sertifikat dari MUI. Sebelum ditunjuk oleh RUPS, dia harus memperoleh sertifikat dari MUI, tukasnya. Menurut Sutito yang bekerja sebagai lawyer di SGS Consulting, jangan sampai anggota dewan ini baru mengajukan sertifikasi setelah diangkat oleh para pemegang saham. Belum Semapan Eropa Akil menyadari ada satu ketentuan yang masih mengganjal. Yakni, keharusan minimal dua pihak pemegang saham. Kita memang masih mewajibkan kepemilikan saham minimal dua orang. Kita belum seperti Eropa yang sudah membolehkan satu pihak mendirikan sebuah PT. Menurut Akil, hal ini karena sistem hukum Indonesia belum sedewasa Benua Biru. Lihat saja. Mereka sudah punya sistem penegakan hukum yang bagus. Mata uang pun bisa satu untuk sekawasan. Kalau di Indoensia, jujur saja, banyak orang yang bikin PT hanya untuk bobol bank. Era kita memang belum sampai ke sana. Akil juga sedikit menerangkan seluk-beluk saham. Untuk buy-back saham, menurut Akil, hanya bisa dilakukan oleh perusahaan yang sudah listing di lantai bursa. Makanya, kita juga kudu menengok

peraturan pasar modal. Perusahaan yang membeli sahamnya kembali dari publik, hanya boleh menggenggamnya hingga tiga tahun. Pilihannya, saham buy-back itu harus dijual kembali, atau harus menyunat jumlah modal. Sementara itu juru bicara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Idham mengingatkan UU PT kali ini memberi ruang kewenangan yang luas bagi pemerintah. Karena itulah, kepemimpinan adalah kuncinya. Apakah pemerintah akan tunduk kepada gurita korporasi asing, atau tetap berdikari, ujar Idham. (Ycb/IHW)

CSR, Kegiatan Sukarela yang Wajib Diatur [1/3/08] Di beberapa negara kegiatan CSR sudah lazim dilakukan oleh suatu korporasi. Bukan karena diatur oleh pemerintahnya, melainkan untuk menjaga hubungan baik dengan stakeholders. Di Indonesia, setiap perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam harus melakukan CSR yang sebenarnya merupakan kegiatan sukarela. Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibilty (CSR) mungkin masih kurang populer dikalangan pebisnis nasional. Namun, tidak bagi pelaku usaha asing. Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu, sudah biasa dilakoni oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu. Berbeda dengan Indonesia. Di sini, kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun belakangan. Kegiatan ini makin ngetop tatkala DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam Undangundang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Adalah Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Aturan lebih tegas sebenarnya juga sudah ada di UU PM. Dalam Pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat

dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UU PM). Tentu saja kedua beleid tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 yang terdiri dari empat ayat itu sempat mengundang polemik. Syahdan, ketentuan itu baru muncul saat pembahasan ditingkat panja dan pansus DPR. Pada konsep awal yang diajukan pemerintah, tidak ada pengaturan soal CSR. Begitu juga waktu rapat dengar pendapat DPR dengan sejumlah pelaku usaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Bahkan sebenarnya, pasal itu lebih gila lagi sebelum disahkan. Dimana, kegiatan CSR tidak hanya diwajibkan bagi perusahaan yang bergerak dibidang atau berkaitan dengan sumber daya alam saja, tetapi juga untuk semua perusahaan, tak terkecuali perusahaan berskala UKM, baru berdiri maupun dalam kondisi merugi. Yang jelas, masuknya beleid tentang CSR dalam UU PT dan UU PM hingga kini masih menuai kritikan. Kenapa CSR harus diatur? tanya Ketua Umum Kadin Mohamad S. Hidayat belum lama ini dalam suatu seminar UU PT di Jakarta. Ia beralasan, CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti: ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur, sambungnya, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keungan suatu perusahaan. Apalagi, kata dia, di negara-negara Eropa yang secara institusional jauh lebih matang dari Indonesia, proses regulasi yang menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. Bahkan, European Union sebagai kumpulan negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR telah menyatakan sikapnya bahwa CSR bukan sesuatu yang akan diatur. Disamping itu, lingkup dan pengertian CSR yang dimaksud dalam Pasal 74 berbeda dengan pengertian CSR dalam pustaka maupun definisi resmi, baik yang dikeluarkan oleh bank dunia (The World Bank) maupun International Organization for Standardization (ISO) 26000. ISO sendiri saat ini tengah menggodok konsep baru tentang standar CSR yang diperkirakan rampung akhir 2009. Standar itu nantinya akan dikenal sebagai ISO 26000 Guidance on Social Responsibility. Namun, nasi sudah menjadi bubur. CSR kini sudah masuk dalam bagian dari UU PT, sehingga kegiatan sukarela itu menjadi wajib dan harus dipertanggung jawabkan secara hukum. Hidayat mengatakan,

gagasan CSR dimasukan ke dalam undang-undang bakal mengalami distorsi serius. Pertama, sebagai sebuah tanggung jawab sosial, Pasal 74 telah mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Mewajibkan CSR, apa pun alasannya, jelas memberangus sekaligus ruang-ruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik, tuturnya. Kedua, dengan kewajiban itu, konsekuensinya CSR akan bermakna parsial sebatas upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari kehadiran sebuah perusahaan. Dengan demikian, katanya, bentuk program CSR hanya terkait langsung dengan bisnis utama perusahaan, sebatas jangkauan masyarakat sekitarnya. Lalu ketiga, tanggung jawab sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap subjek hukum termasuk perusahaan. Jika terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas usahanya, hal itu jelas masuk dalam ranah hukum. Dengan menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain tanggung jawab sosial, maka kata Hidayat, akan cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal menjadi sekedar pilihan tanggung jawab sosial. Atau bahkan lebih jauh lagi, lanjutnya, justru bisa terjadi penggandaan tanggung jawab suatu perusahaan secara sosial (UU PT) dan secara hukum (UU Lingkungan Hidup). Kemudian yang keempat, dari sisi keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan penanggung jawab tunggal program CSR. Masyarakat seakan menjadi objek semata, sehingga hanya menyisakan budaya ketergantungan selepas program, sementara negara menjadi mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas pelanggaran yang terjadi, paparnya. Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, Sistim Fiskal & Moneter dan Kepabeanan & Cukai, Hariyadi B. Sukamdani, mengungkapkan, Pasal 74 membuka peluang munculnya perda-perda multi interpretasi yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke Indonesia. Keadaan ini, katanya, memberikan ketidakpastian dan dapat menguragi minat investasi akibat bertambahnya beban perseroan. Dunia usaha berharap agar RPP yang akan dikeluarkan pemerintah justru tidak memperburuk iklim investasi, tegasnya dalam sebuah seminar tentang CSR di Jakarta, belum lama ini. Banyak perusahaan lepas tanggung jawab Jika memang ternyata pengaturan CSR bakal menghambat iklim investasi dikemudian hari, lalu kenapa DPR waktu itu tetap ngotot untuk memasukan beleid tersebut?

Ketua Panitia Khusus UU PT Akil Mochtar menjelaskan, kewajiban CSR terpaksa dilakukan lantaran banyak perusahaan mutinasional yang beroperasi di Indonesia, lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan. Pengalaman menunjukan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap kepentingan sosial seperti itu, ujarnya. Ia lantas mencontohkan beberapa kasus, seperti: lumpur Lapindo di Porong, lalu konflik masyarakat Papua dengan PT Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, dan sebagainya. Alasan lainnya adalah kewajiban CSR juga sudah diterapkan pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perusahaan-perusahaan pelat merah itu, wajib memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam Keputusan Menteri BUMN maupun Menteri Keuangan sejak tahun 1997. Oleh karena itu, kami berpikir bahwa perusahaaan yang ada di Indonesia sudah waktunya turut serta memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan dimana perusahaan itu berada, tuturnya. Disamping itu, tren perkembangan globalisasi menunjukan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Di Inggris dan Belanda misalnya, CSR menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal, disamping penilaian dari publik sendiri. Kalau perusahaan itu tidak pernah melakukan CSR justru kinerja saham dia di bursa saham kurang bagus, ujarnya. Di Indonesia, kami mencoba mengatur dalam suatu regulasi yang menjadi kewajiban bersama, tetapi itu bukan merupakan suatu pemberatan toh. Kewajiban itu (CSR) haruslah ada. Di Indonesia ini kan sesuatu yang diatur saja masih ditabrak, apalagi kalau tidak diatur. Karena ketaatan orang terhadap hukum masih sangat rendah. Jadi, kalau di luar, tandasnya. Pernyataan Akil diamini Gayus Lumbuun. Anggota Komisi III DPR yang juga terlibat dalam penyusunan UU PT ini mengatakan CSR lahir dari desakan masyarakat atas prilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti: perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, ngemplang pajak, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar. Untuk itu, kata dia, mesti diatur. Menurut Gayus, DPR sebagai bagian representatif masyarakat sangat concern dan mendukung sepenuhnya terhadap pengaturan tanggung jawab sosial. Dia juga setuju jika hal itu diwajibkan bagi

setiap perseroan. Tanggung jawab perusahaan yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi, jelas profesor yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR ini. Dengan demikian, imbuhnya, keberadaan perusahaan akan menjadi sangat bermanfaat, sehingga dapat menjalankan misinya untuk meraih optimalisasi profit, sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya untuk kepentingan masyarakat. Anggota Komisi VI DPR, Aria Bima menilai CSR tak hanya sekadar kedermawanan sebuah perusahaan. CSR ini memang benar-benar kewajiban, ungkap anggota Pansus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Senda dengan Aria, anggota Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Yudo Paripurno mengatakan CSR itu hukumnya bukan sunnah lagi, melainnya sudah fardhu. Aria mengingatkan, dalam kondisi ekonomi yang makin mengglobal, pemangku kepentingan (stakeholder) sebuah perusahaan bukan hanya pemegang saham (shareholder). Lebih luas lagi, stakeholder adalah masyarakat dan lingkungan. Ia mengaku geram karena masih banyak perusahaan yang mengaku telah bertanggung jawab kepada masyarakat, namun merusak lingkungan juga. CSR tak sekadar community development, bangun jalan, sekolah, atau rumah sakit. Konseptor UU PT, Partomuan Pohan menambahkan, CSR harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis. Ia juga membantah pendapat Ketua Umum Kadin Indonesia yang menyatakan CSR identik dengan kegiatan sukarela. Menurut dia, CSR merupakan sarana untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis terhadap publik, khususnya dengan para stakeholdernya. Maka dari itu, kata dia, sangat tepat apabila CSR diberlakukan sebagai kewajiban yang sifatnya mandatory dan harus dijalankan oleh pihak perseroan selama masih beroperasi. Demikian pula pemerintah sebagai agen yang mewakili kepentingan publik. Sudah sepatutunya mereka (pemerintah) memiliki otoritas untuk melakukan penataan atau meregulasi CSR, tandas notaris senior ini. (Sut/Ycb)

Perseroan Perlu Standar Audit CSR [27/3/08] Peraturan Pemerintah soal tanggung jawab sosial perusahaan mungkin masih diawang-awang. Namun, sejumlah auditor internal selangkah lebih maju. Mereka tengah memikirkan standar audit program CSR bagi suatu perseroan. Meski sedang naik daun, tanggung jawab sosial atau corporate social resposibility (CSR) tampaknya masih diselimuti kabut misteri. Pasalnya, hingga kini belum ada definisi CSR yang mudah diukur secara operasional. Begitu juga dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang juga tak kunjung terbit. Standar operasional mengenai bagaimana mengevaluasi kegiatan CSR juga masih diperdebatkan. Akibatnya, bukan saja CSR menjadi sulit diaudit, melainkan CSR juga telah menjadi program sosial yang beragam wajah. Yang jelas, audit program CSR dirasa perlu oleh sejumlah kalangan. Begitu juga dengan bentuk pelaporannya. Analis kebijakan sosial dan konsultan CSR Edi Suharto mengatakan, audit CSR adalah audit yang meliputi aspek lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Biasanya yang melakukan audit semacam ini adalah pekerja sosial dan konsultan atau analis kebijakan sosial. Menurutnya proses audit sosial memerlukan komitmen yang kuat dari orang-orang kunci di perusahaan, seperti komisaris dan direksi. Selain itu, audit ini juga memerlukan keterlibatan stakeholder, termasuk pekerja, klien, relawan, pendiri, kontraktor, supplier dan penduduk setempat. Tapi, upaya itu, katanya, tak semudah membalikan telapan tangan. Bayak tantangannya, apalagi kalau sudah diimplementasikan, ujarnya dalam diskusi bertajuk Menggagas Standar Audit CSR: Implementasi UU PT yang diselenggarakan Asosiasi Auditor Internal (AAI), di Jakarta, Kamis (27/3). Edi Suharto mengatakan, audit sosial melibatkan aspek lingkungan dan sosial yang relatif lebih sulit dirumuskan dan diukur, ketimbang mengaudit keuangan. Pasalnya, selain memiliki kemampuan dalam menerapkan berbagai metoda penelitian, audit ini juga memerlukan ahli yang memiliki kompetensi yang komperhensif di bidang lingkungan dan sosial. Kusulitan itu, kata dia, adalah merumuskan variabel dan indikator CSR yang tepat dan dapat diterapkan kepada seluruh sektor. Untuk itu, perlu dua syarat yang harus dipenuhi dalam mengaudit CSR. Pertama, definisi kategori harus dapat diterapkan terhadap semua perusahaan, industri dan sistem sosial yang memungkinkan analisis komparatif dapat dilakukan. Kedua, kategori-kategori untuk mengklarifikasikan kegiatan perusahaan haruslah stabil dalam kurun waktu tertentu, sehingga perbandingan historis dapat dilakukan.

Ketua Umum Institut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI) Ali Darwin mengatakan, selain audit, bentuk penyajian laporan CSR (sustainability reporting) juga harus jelas. Menurutnya, laporan tersebut bisa disajikan dalam berbagai bentuk antara lain: laporannya terpisah dengan laporan keuangan perusahaan (stand alone report) atau disatukan dalam laporan tahunan (annual report) sesuai dengan ketentuan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (BPK-LK) serta UU PT. Selain itu, laporannya juga dapat dipublikasikan dalam website perusahaan, serta bisa juga dalam bentuk sepotong-potong dalam surat kabar (edisi khusus). Edi Suharto menjelaskan, beberapa negara sudah menetapkan keharusan perusahaan untuk mempublikasikan laporan CSR. Saat ini, kata dia, banyak perusahaan multinasional yang menyewa auditor eksternal untuk membuat laporan program CSR-nya di dalam annual report-nya. Hanya, sambungnya, laporan yang biasa disebut triple bottom line reports ini masih memiliki format yang beragam. Sehingga, tak jarang laporan seperti itu mendapat kritikan, karena laporan semacam ini masih benuansa lip service semata. Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia PT Aneka Tambang Tbk, Syahrir Ika, setuju jika program CSR dibuat laporan pertanggungjawabannya, terutama soal biaya CSR. Di dalam laporan keuangan perusahaan, program CSR harusnya dimasukan ke dalam poss tersendiri, yaitu CSR cost, jelasnya. Masyarakat internasional sendiri, saat ini sedang menggodok konsep dan standaridisasi CSR. Adalah organisasi perumus standar internasional (International Organization for Standardization atau ISO) yang sedang menyusun standardisasi CSR. Organisasi yang beranggotakan 154 badan standarisasi di negara maju maupun berkembang ini, nantinya menamakan standar CSR sebagai ISO 26000 Guidance Standar on Social Responsibility. Rencananya standar CSR berskala internasional ini baru diterapkan pada 2010. Kita juga sedang menunggu terbitnya ISO 26000. Jika sudah keluar, maka tentu kita akan pertimbangkan penggunakan ISO tersebut. Supaya lebih pas, tandas Syahrir Ika. Tak ubahnya BLBI Pada saat yang sama, Erie Sudewo mengkritik sejumlah pengusaha yang menentang kewajiban CSR. Menurut pendiri CSR Forum ini, perusahaan yang kontra dengan kebijakan CSR sudah pasti akan terbebani. Apalagi jika perusahaan itu tak punya soal dengan kerusakan lingkungan. Memang lingkungan tidak dirusak, tapi mustahilkah jika ada pengusaha yang prilakunya tak kalah buruk dengan perusak lingkungan? tanya Erie. Ia mencontohkan, mengenai kiprah waralaba minimarket yang tengah menjamur hingga ke pelosok desa. Maraknya minimarket tersebut menurutnya telah menghancurkan warung-warung rakyat. Contoh lainnya

adalah perubahan lahan jadi real estate. Erie berujar warga bukan hanya dikerjai makelar tanah dan aparat, mereka pun harus bedol desa. Parahnya lagi, kata dia, ada lima pengusaha yang menolak kewajiban CSR yang juga merupakan penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mereka (penerima dana BLBI, red) selamat oleh government social responsibility (GSR), tapi terusik saat diminta sisihkan laba. Ini sungguh tragis, sesal pria yang menyebut dirinya sebagai social entrepreneur ini. Begitu juga dengan pebisnis yang merusak lingkungan. Mereka sepakat bisa terima CSR sebagai kewajiban, tapi tetap ada syaratnya, ujar Erie. Syarat itu tak lain adalah memasukan CSR dalam cost recovery. Artinya, CSR tetap akan dibebankan kepada pemerintah. Kendati untung pengusaha dari pertambangan bergunung-gunung, namun sebagian pengusaha itu tetap tak rela CSR diambil dari laba perusahaannya. Persis saat dulu butuh BLBI, untuk CSR pun mereka mengadu ke Wapres, imbuh Technical Assistance Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) ini. Sekedar mengingatkan, ada 22 asosiasi yang terkait dengan dunia usaha, menolak beleid CSR. Alasannya ya itu tadi. Program CSR bisa membebani pengusaha. Bagaimana kalau perusahaan baru? perusahaan yang merugi? Dan belum punya untung? tanya Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia M.S Hidayat dalam berbagai kesempatan. Apalagi, kata Hidayat, jika perusahaan itu tidak ada kaitannya dengan kerusakan lingkungan, maka kewajiban CSR patut dipertanyakan. (Sut)

Ini Dia Jeroannya RPP CSR: [8/7/08] Apa kabar Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tanggung Jawab Sosial? Lama tak terdengar gaungnya, draf berisi sembilan pasal itu sudah disepakati pada Maret lalu. Bakal bertambah dua pasal baru. Pembahasan lanjutan pada medio Juli ini. Belum rancangan peraturan ini lahir, sudah ada pemerintah daerah yang mengadopsi pewajiban tanggung jawab sosial. Lama tak terdengar kabarnya, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan mengalami perkembangan. Beleid yang acap disebut RPP CSR ini beberapa hal sudah disepakati pada 11 Maret. CSR merupakan singkatan dari corporate social responsibility. RPP ini merupakan implementasi dari Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Bahwa, setiap perseroan selaku subjek hukum punya tanggung jawab sosial dan lingkungan. Karena itulah, perseroan punya kewajiban hukum bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA). Nah, ada dua golongan perseroan yang bertalian dengan SDA. Pertama, memang benar-benar bergerak di bidang SDA. RPP ini eksplisit mencontohkan kegiatan pertambangan, kehutanan, dan kelautan. Kedua, kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan SDA. RPP ini secara tersurat memberi contoh rumah sakit dan industri tekstil. CSR ini ada dua jenis. Yakni keluar dan ke dalam. CSR di dalam lingkungan perseroan misalnya keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja bagi para pekerja (K3). Sedangkan CSR di luar lingkungan perseroan misalnya community development, pengelolaan limbah, pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup. Dalam teknis pelaksanaannya, CSR harus dirancang dalam rencana kerja tahunan. Rencana ini juga perlu mencantumkan anggaran yang dibutuhkan. Anggaran itu disusun dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran serta diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Nah, klausul "kepatutan dan kewajaran" menurut RPP ini adalah sesuai dengan kemampuan keuangan perseroan dan potensi risiko serta tanggung jawab yang harus ditanggung oleh perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya. Tak ada berapa persen "tarif" CSR dalam beleid itu. Pelaksanaan CSR ini harus dimuat dalam laporan tahunan untuk dipertanggungjawabkan kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Nah, masyarakat boleh komplain jika perseroan itu tak melaksanakan CSR sebagaimana mestinya. Laporan masyarakat itu disampaikan secara tertulis. Perseroan yang telah melaksanakan CSR melebihi kewajiban dasar dapat diberi penghargaan. Penghargaan itu akan ditentukan oleh menteri yang membidangi kegiatan usaha perseroan itu. Bisa menteri energi dan sumber daya mineral, menteri negara lingkungan hidup, menteri kelautan dan perikanan, serta bidang lainnya. Sebaliknya, perusahaan yang mbalelo tak mau melaksanakan CSR, bakal dikenai sanksi. Namun, RPP ini tak merinci jenis dan besaran sanksinya. Tindakan itu terpulang pada sejumlah Undang-Undang, sesuai dengan jenisnya. Sederet Undang-Undang itu antara lain UU Ketentuan Pokok Pertambangan (UU 11/1967), UU Lingkungan Hidup (UU 23/1997), UU Kehutanan (UU 41/1999), UU Sumberdaya Air (UU 7/2004), UU Ketenagakerjaan (UU 13/2003), UU Hak Asasi Manusia (UU 39/1999), UU Antimonopoli (UU 5/1999), serta UU BUMN (19/2003).

Kubu Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) masih irit bicara soal RPP ini. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Syamsuddin Manan Sinaga tidak mengangkat hapenya ketika dihubungi. Demikian halnya anak buahnya, Direktur Perdata Cholilah. Direktur Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Suhariyono mengaku belum in-charge mengikuti perkembangan. "Saya baru mulai masuk setelah cuti menyusun disertasi," ujarnya dengan menyerahkan perihal ini kepada Kepala Subdirektorat Perancangan dan Pembahasan Hadi Suprapto. Menurut Hadi, posisi RPP ini belum final. "Masih dibahas dan kita akan ketemu pada 15 Juli," ujarnya dari sambungan telepon (8/7). Hadi juga menandaskan komposisi yang kini terdiri dari sembilan pasal itu bakal bertambah jadi sebelas pasal. Namun dia enggan menjelaskan dua klausul tambahan itu. Hadi pada dasarnya menilai bidang sumberdaya alam ini tidak ada sekat-sekat atau penggolongan. Ketika ditanya mengapa bidang kehutanan, pertambangan, dan kelautan yang wajib melakukan CSR, Hadi menyergap, "Waduh, sinyal (hape) jelek nih," pungkasnya menutup pembicaraan. Pengusaha tetap ogah Kubu pebisnis justru tak antusias menyambut beleid ini. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) sebenarnya diajak Depkumham terlibat dalam tim kecil pembahasan draf ini. Namun pembahasan ini alot hingga kini tak kelar. "Awalnya kita ingin isi materi RPP ini lebih lunak dan mengakomodasi kepentingan kita," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, yang juga turut di Kadin. Sejak awal para pengusaha menolak klausul CSR menjadi kewajiban. Menurut mereka, secara filosofis maupun teknis, CSR bersifat sukarela. "Hanya Indonesia yang hebat membuat CSR jadi wajib. Bagaimana nasib perseroan kecil yang belum sanggup?" Meski pembahasan RPP CSR ini jalan terus, Sofjan tak mau ambil pikir. Sofjan dan kawan-kawan kini fokus pada rencana uji materi Pasal 74 UU PT ke Mahkamah Konstitusi. "Kami punya penasihat hukum yang terus mengkaji klausul ini." Sofjan berjanji secepatnya menyorongkan materi judicial review itu. Perda gelandangan Belum kelar RPP CSR diketuk palu, pemerintah daerah sudah coba memasukkan klausul tanggung jawab sosial itu menjadi kewajiban. Contohnya, Provinsi Sumatra Utara. Baru saja pemprov dan DPRD Sumut mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Perda yang masih "panas dari oven" ini disahkan pada Juni lalu, demikian laporan situs berita Harian Global edisi 4 Juni.

Gelandangan dan pengemis? Jangan salah. Coba tengok Pasal 16 yang mengatur peran dunia usaha. Pasal itu berbunyi, "Setiap dunia usaha berkewajiban mendukung usaha penanggulangan gelandangan dan pengemis dengan menerapkan prinsip Corporate Social Responsibility (CSR) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yan berlaku." Perda tersebut sudah jadi wacana setidaknya dua tahun silam. Dan baru saja beleid ini disahkan lewat Sidang Paripurna DPRD Sumut di tangan Gubernur Syamsul Arifin. Perda ini sudah disiapkan oleh gubernur terdahulu, Rudolf Matzoka Pardede pada 2007. (Ycb/Mon)

Perusahaan Tetap Harus Jalankan CSR Putusan MK: [16/4/09] Mayoritas hakim konstitusi berpendapat diwajibkannya CSR atau tanggung jawab sosial lingkungan dalam UU PT lebih memberi kepastian hukum. Tiga hakim konstitusi, melalui dissenting opinionnya, lebih setuju CSR dilakukan secara sukarela. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai Mahfud MD menolak permohonan uji materi Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) yang mengatur ketentuan tanggung jawab sosial lingkungan (TJSL) bagi perusahaan yang bidang usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Menyatakan menolak permohonan pengujian materiil pemohon IV, pemohon V, dan pemohon VI untuk seluruhnya, ujarnya di ruang sidang MK, Rabu (15/4). Ketiga pemohon itu adalah Hariyadi Sukamdani (Presdir PT Lili Panma), Benny Soetrisno (Presdir PT Aspac Centra Centertex), dan Febry Latief (Presdir PT Kreasi Tiga Pilar). Dalam putusannya, MK seakan membedakan antara TJSL yang diatur dalam UU PT dengan corporate social responsibility (CSR) yang diatur secara umum. Bahwa pengaturan TJSL dengan kewajiban hukum (legal obligation) lebih mempunyai kepastian hukum jika dibandingkan dengan CSR yang bersifat sukarela (voluntary), ujar Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar saat membaca pertimbangan Mahkamah. Pemohon, dalam permohonannya, memang menolak kewajiban CSR karena CSR yang berlaku secara universal di negara-negara lain hanya bersifat sukarela. Mukthie menegaskan dengan kewajiban tersebut diharapkan perusahaan dapat memberikan kontribusi untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Mahkamah juga berpendapat kewajiban TJSL merupakan wujud dari demokrasi ekonomi. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya tidak hanya untuk kemakmuran segelintir pengusaha yang bermodal, tetapi justru untuk kemakmuran rakyat, jelas Mukthie. Karenanya, paham individualisme dan liberalisme dalam ekonomi sebaiknya dibuang jauh-jauh. Mahkamah berpendapat prinsip dasar perekonomian di Indonesia adalah bersifat kerakyatan. Pengaturan CSR dengan suatu kewajiban hukum merupakan suatu cara pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat, ujar Mukthie lagi. Ketentuan yang Diuji Pasal 74 UU PT 1. 2. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Putusan MK ini tak dibuat dengan suara bulat. Tiga hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka adalah Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, dan M Arsyad Sanusi. Arsyad mengatakan istilah CSR memang telah dikenal di berbagai negara di dunia, tapi belum ada satu definisi pun yang telah disepakati. Ada beberapa pihak yang memahami dan menerjemahkan CSR dengan istilah Tanggung Jawab Sosial, akan tetapi tak sedikit yang memahami dan menerjemahkan CSR dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), ujar Arsyad. Namun, apapun definisi yang dianut, ketiga hakim tersebut berpendapat pengaturan CSR harusnya hanya bersifat sukarela, bukan merupakan kewajiban bagi perusahaan. Pelaksanaan tanggung jawab sosial sangat erat kaitannya dengan masalah etis, moral, dan kepatutan, sehingga bersifat voluntary, tambah Arsyad. Sedangkan Maria Farida memberedel definisi TJSL dalam UU PT. Pasal 1 angka 3 UU itu menyebutkan 'Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya'.

Maria menggaris bawahi kata 'komitmen'. Dari segi makna kata, istilah 'komitmen' sama sekali tidak mengindikasikan suatu kewajiban yang diharuskan oleh negara, jelasnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan suatu komitmen selalu berasal dari diri yang akan melakukannya, bukan berasal dari luar. Sehingga apabila komitmen tersebut kemudian ditetapkan sebagai 'kewajiban', maka hal itu bukan lagi berasal dari dalam diri (bersifat sukarela), namun berasal dari luar diri yang melakukan (bersifat memaksa). Karenanya, Maria melihat ada sebuah ketidaksinkronan atau contradictio in terminis ketika Pasal 1 angka 3 menyebut TJSL sebagai 'komitmen' dengan Pasal 74 yang mewajibkan TJSL. Ini menimbulkan adanya ketidakpastian hukum, tegasnya. Sekedar mengingatkan, permohonan pengujian ini diajukan oleh dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari para pengurus organisasi pengusaha, M Sulaiman Hidayat (Ketua Umum Kadin), Erwin Aksa (Ketua Umum HIPMI) dan Fahrina Fahmi Idris (Ketua Umum IWAPI). Sedangkan kelompok kedua adalah Hariyadi Sukamdani (Presdir PT Lili Panma), Benny Soetrisno (Presdir PT Aspac Centra Centertex), dan Febry Latief (Presdir PT Kreasi Tiga Pilar). Dalam putusannya, MK menyatakan yang mempunyai legal standing atau kedudukan hukum dalam menggugat CSR adalah perseroan, bukan organisasi pengusaha. Sehingga, permohonan ketiga perwakilan organisasi pengusaha itu dinyatakan tidak dapat diterima. Ditemui usai sidang, Erwin Aksa mengaku kecewa dengan putusan ini. Di negara lain tak ada kewajiban CSR. Mudah-mudahan ini tak mempengaruhi investasi yang akan datang ke Indonesia, tuturnya. Hariyadi Sukamdani pun berpendapat senada. Ia malah khawatir putusan MK ini dijadikan dasar pemerintah dalam membuat peraturan teknis, seperti Peraturan Pemerintah mengenai CSR ini yang merugikan pengusaha. (Ali)

Ini Dia RPP CSR Teranyar [12/6/09] Rancangan akhir menghilangkan pasal yang mengatur hak complain masyakat terhadap perseroan yang tidak melaksanakan CSR. Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) telah merampungkan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan, biasa orang menyebutnya dengan istilah corporate social responsibility (CSR). RPP itu bertajuk Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sesuai dengan judul Bab V UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Bab itu memuat Pasal 74 yang mewajibkan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Implementasi Pasal 74 itu yang kemudian diwujudkan dalam RPP CSR. Sekarang masuk tahap sosialisasi, ujar Direktur Perancangan

Perundang-undangan Depkumham, Suhariyono, saat dihubungi via telepon, Kamis (11/6). Pembahasan RPP ini sempat tertunda-tunda lantaran timbul polemik seputar kewajiban CSR bagi perusahaan. Pasal 74 UU PT bahkan sempat di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh tiga organisasi pengusaha. Yakni, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi). Para pengusaha berpendapat CSR seharusnya dilaksanakan secara sukarela, bukan diwajibkan. Hasilnya, majelis hakim konstitusi menolak permohonan itu. Majelis hakim konstitusi berpendapat diwajibkannya CSR dalam UU PT lebih memberi kepastian hukum. Tak jauh berbeda dengan rancangan awal, RPP ini berisi delapan pasal. Sebelumnya, RPP CSR memuat sembilan pasal. Hanya satu pasal yang dihilangkan justru merupakan pasal yang dianggap penting. Berdasarkan dokumen RPP yang diterima hukumonline, rancangan akhir menghilangkan pasal yang mengatur hak complain masyakat terhadap perseroan yang tidak melaksanakan CSR. Selebihnya tak jauh beda. Sesuai penjelasan dalam RPP, ketentuan CSR lahir untuk meningkatkan kesadaran perseroan terhadap pelaksanaan tangung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia. Dalam RPP disebutkan, CSR dilaksanakan setiap perseroan selaku subjek hukum punya tanggung jawab sosial dan lingkungan. CSR merupakan kewajiban hukum bagi perseroan yang menjalankan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam. Yakni, kegiatan usaha yang mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam sesuai peraturan perundang-undangan. Termasuk kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan, misalnya laundry, industri tekstil, rumah sakit atau hotel. CSR ini ada dua jenis. Yakni keluar dan ke dalam lingkungan perseroan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. CSR ke dalam lingkungan perseroan misalnya keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja bagi para pekerja (K3). Sedangkan CSR di luar lingkungan perseroan misalnya community development, pengelolaan limbah, pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup. Dalam penjelasan disebutkan, peraturan-perundangan yang dimaksud adalah UU No. 5/1984 tentang Perindustrian, UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 19/2003 tentang BUMN, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Bagi perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan akan dikenakan sanksi. Hukuman itu mengacu pada delapan Undang-

Undang tersebut. Dapat Insentif Pelaksana dari CSR adalah direksi perseroan atas persetujuan dewan komisaris sesuai dengan Anggaran Dasar Perseroan, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Artinya, jika peraturan perundang-undangan menentukan bahwa persertujuan rencana kerja diberikan oleh oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka anggaran dasar tidak dapat menentukan rencana kerja disetujui oleh Dewan Komisaris atau sebaliknya. Dalam teknis pelaksanaannya, CSR harus dirancang dalam rencana kerja tahunan. Rencana ini juga perlu mencantumkan anggaran yang dibutuhkan. Anggaran itu disusun dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran serta diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Yang dimaksud dengan kepatutan dan kewajaran adalah sesuai dengan kemampuan keuangan perseroan, plus potensi resiko yang mengakibatkan tanggung jawab yang harus dipikul perseroan sesuai kegiatan usahanya. Pelaksanaan CSR ini harus dimuat dalam laporan tahunan untuk dipertanggungjawabkan kepada RUPS. Hal itu sesuai dengan Pasal 66 ayat (2) huruf c UU PT. Kemudian bagi perseroan yang melaksanakan CSR, dapat diberikan penghargaan oleh instansi yang berwenang, berupa insentif fasilitas atau bentuk penghargaan lainnya.

You might also like