You are on page 1of 3

Hal yang membatalkan haji Ibadah haji bisa batal disebabkan oleh salah satu dari kedua hal

berikut. a. Jima, senggama, bila dilakukan sebelum melontar jamrah aqabah. Adapun jima yang dilakukan pasca melontar jamrah aqabah dan sebelum thawaf ifadhah, maka tidak dapat membatalkan ibadah haji, sekalipun yang bersangkutan berdosa. Namun sebagian di antara mereka berpandapat bahwa ibadah haji tidak bisa dianggap batal karena melakukan jima, sebab belum didapati dalil yang menegaskan kesimpulan ini. b. Meninggalkan salah satu rukun haji. Manakala ibadah haji kita batal disebabkan oleh salah satu dari dua sebab ini, maka pada tahun berikutnya masih diwajibkan menunaikan ibadah haji, bila mampu, sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada pembahasan pengertian istithaah. Jika tidak, maka pada waktu-waktu yang kita mampu melaksanakannya; karena ibadah ini wajib segera dilaksanakan bila kita sudah mampu. Orang yang sedang berihram dilarang melakukan [hal-hal] sebagai berikut : a. Mengenakan pakaian berjahit. Dari Ibnu Umar r.a. bahwa ada seorang sahabat bertanya (kepada Rasulullah), Ya Rasulullah, pakaian apa yang boleh dikenakan bagi orang yang berihram? Jawab beliau, Tidak boleh mengenakan baju, sorban, celana topi dan khuf (sarung kaki yang terbuat dari kulit), kecuali seseorang yang tidak mendapatkan sandal, maka pakailah khuf, namun hendaklah ia memotongnya dari bawah dua mata kakinya; dan janganlah kamu mengenakan pakaian yang dicelup dengan pewarna atau warna merah. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari III:401 no:1542, Muslim II:834 no:1177, Aunul Mabud V:269 no:1806, dan Nasai V:129). Dan diberi dispensasi bagi orang yang tidak mendapatkan kecuali celana panjang dan khuf agar mengenakan keduanya tanpa harus memotong. Ini didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas r.a. bertutur, saya pernah mendengar Nabi saw. berkhutbah di Arafah, Barangsiapa yang tidak mendapatkan sandal, maka pakailah khuf; dan barangsiapa yang tidak mendapatkan kain panjang maka pakailah celana [beliau mengucapkan hal ini untuk orang yang berihram]. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IV:57 no:1841, Nasai V:132, Muslim II:835 no:1178, Tirmidzi II:165 no:835, dan Aunul Mabud V:275 no:1812). b.
M

enutup wajah dan tangan bagi perempuan.

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Nabi Muhammad bersabda, Janganlah seorang perempuan yang berihram mengenakan cadar dan jangan (pula) menggunakan kaos tangan. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:1022, Fathul Bari IV:52 no:1838, Aunul Mabud V:271 no:1808, Nasai V:133, dan Tirmidzi II:164 no:834). Namun boleh bagi perempuan menutup wajahnya bila ada sejumlah laki-laki yang lewat di dekatnya. Dari Hisyam bin Urwah dari Fathimah binti al-Mundzir bahwa ia pernah bertutur, Kami pernah menutup wajah kami sewaktu kami berihram, dan kami bersama Asma binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. (Shahih: Urwa-ul Ghalil no:1023, Muwattha Imam Malik hal.224 no:724, dan Mustadrak Hakim I:454). c. Menutup kepala dengan sorban atau dengan semisalnya bagi kaum laki-laki. Hal ini mengacu kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., Tidak boleh memakai baju dan tidak (pula) sorban. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:1012).

Namun boleh berteduh di bawah kemah dan semisalnya, karena dalam hadits riwayat Jabir ra yang telah dimuat dalam beberapa halaman sebelumnya bahwa Nabi saw. menyuruh (seorang sahabat) menyediakan kemah, lalu dipasanglah kemah untuk beliau di Namirah, kemudian beliau singgah di dalamnya). d. Memakai wangi-wangian, berdasarkan hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., Dan, janganlah kamu mengenakan pakaian yang dicelup dengan rafaran (kumkuka) atau dengan waras (sebangsa celupan berwarna merah). (Muttafaqun alaih: Fathul Bari III:401 no: 1542, Muslim II:834 no: 117, Aunul Mabud V:269 no:1806, dan Nasai V:129) Dan, sabda Rasulullah saw. tentang seorang yang berihram yang terlempar dari atas untanya hingga wafat, Janganlah kalian memulurinya (dengan balsam) agar tetap awet dan jangan (pula) menutup kepalanya; karena sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat (kelak) dalam keadaan membaca talbiyah. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari III:135 no:265, Muslim II:865 no:1206, Aunul Mabud IX:63 no:3222-3223, dan Nasai V:196). e. Memotong kuku dan menghilangkan rambut dengan cara dicukur atau digunting, dan atau semisalnya. Allah SWT berfirman, Dan janganlah kamu mencukur rambutmu, sebelum binatang hadyu sampai di lokasi penyembelihannya." (Al-Baqarah:196). Di samping itu, para ulama sepakat atas haramnya memotong kuku bagi orang yang sedang berihram. (al-Ijma oleh Ibnul Mundzir hal. 57). Boleh saja menghilangkan rambut bagi orang yang merasa terganggu dengan adanya rambut tersebut, namun ia harus membayar fidyah, Allah SWT menegaskan, "... Jika ada diantar kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya bayar fidyah, yaitu berpuasa atau berhadaqah atau berkorban...." (Al-Baqarah:196). Dari Kaab bin Ujrah r.a. bahwa Nabi saw. melewatinya ketika ia berada di daerah Hudaibiyah sebelum masuk Mekkah dan ia sedang berihram ketika menyalakan api di bawah kualinya, sementara kutunya berkeliaran di wajahnya, lalu beliau bertanya, Apakah kutumu ini mengganggumu? Jawabnya, Ya, (menggangu), Sabda beliau (lagi), Maka cukurlah rambutmu dan berilah makan tiga sha makanan (yang dibagi bagi) antara enam orang miskin, atau berpuasalah tiga hari atau berkurban seekor binatang kurban! (Muttafaqun alaih: Muslim II861 no:83 dan 1201 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV:12 no:1814 Aunul Mabud V:309 no:1739, Nasai V:194, Tirmidzi II:214 no:960 dan Ibnu Majah II:1028 no:3079). f. g. Jima dan pendahuluannya Mendekati perbuatan maksiat

h. Permusuhan dan berbantah-bantahan. Dasar yang mengharamkan tiga poin di atas ialah firman Allah SWT, "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang sudah dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh mengeluarkan perkataan tidak senonoh atau bersetubuh, berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan ibadah haji...."(Al-Baqarah:197). i. Melamar dan melaksanakan akad nikah. Berdasarkan hadits Utsman dari Usman r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, Orang yang berihram tidak boleh menikahi, tidak boleh dinikahi, dan tidak boleh melamar. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:814, Muslim II:1030 no:1409, Aunul Mabud V:296 no:1825, Tirmidzi II:167 no:842, dan Nasai V:192). j. Berupaya untuk memburu binatang buruan darat dengan cara membunuh atau menyembelih, atau

menunjuk atau memberi isyarat ke tempat binatang buruan. Allah SWT berfirman, "Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram." (Al-Ma-idah:96). Di samping itu, ada sabda Nabi saw, yaitu tatkala beliau ditanya oleh para sahabat yang sedang berihram perihal seekor keledai betina yang ditangkap dan disembelih oleh Ibu Qatadah yang tidak ikut berihram. Maka jawab beliau, "Adakah seorang di antara kamu sekalian yang menyuruh dia (Abu Qatadah) agar menangkapnya, atau memberi isyarat ke tempat binatang itu?" Maka jawab mereka, Tidak ada. Sabda beliau (lagi), Maka makanlah! (Muttafaqun alaih: Fathul Bari V:28 no:1824, Muslim II:853 no:60 dan 1196, Nasai V:186 semana). k. Makan sebagian dari daging binatang buruan yang ia ikut andil dalam pemburuannya. Ini didasarkan pada mahfum hadits Nabi saw., Adakah seorang di antara kamu sekalian yang menyuruh dia (Abu Qatadah) agar menangkapnya, atau memberi isyarat ke tempat binatang itu? maka Jawab beliau, Tidak ada. Sabda beliau (lagi), Maka makanlah!. Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 498 -- 503.

You might also like