You are on page 1of 46

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING PADA

MATERI AJAR FLUIDA STATIS UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN


PROSES SAINS SISWA KELAS XI IPA 3 SMA NEGERI 2 BANJARBARU
I. Latar Belakang
Berdasarkan angket yang diisi oleh murid Kelas XI IPA 3 SMA Negeri 2
Banjarbaru pada tanggal 29 Juli 2010 didapatkan informasi bahwa selama ini siswa SMA
Negeri 2 Banjarbaru jarang sekali melakukan metode percobaan dan kelompok belajar.
Metode yang biasa dilakukan guru adalah ceramah. Berdasarkan angket tersebut juga
didapatkan hasil ulangan pada semester genap tahun ajaran 2009/2010 yakni 4,3 % dari
23 siswa memperoleh nilai di bawah standar ketuntasan minimal (SKM) fisika yang
ditetapkan sekolah yaitu sebesar 60 sedangkan 96 % dari 23 siswa tersebut sudah
memperoleh nilai yang memenuhi SKM. Hal ini memang memuaskan dalam sebuah
pembelajaran tidak hanya mengacu pada hasil (nilai) saja tetapi juga pada proes dimana
siswa itu paham akan suatu pelajaran khususnya fisika. Pada saat penyebaran angket
inilah didapatkan informasi bahwa siswa perlu terobosan baru dalam memahami materi
fisika.
Melihat kondisi di atas, fisika merupakan pelajaran yang termasuk gampang-
gampang susah, apalagi bila diajarkan tanpa adanya variasi strategi pembelajaran maka
dirasakan oleh siswa sangat membosankan terlebih lagi informasi yang diberikan kepada
siswa seakan-akan dihafal bukan untuk dipahami. Hingga saat ini kegiatan belajar
mengajar fisika masih berpusat pada guru, siswa tidak banyak diberikan perannya dalam
proses pembelajaran, akibatnya kemampuan berpikir dan keterampilan siswa masih
rendah sehingga tujuan pembelajaran kurang begitu terlaksana.


Dalam memilih model pembelajaran yang akan digunakan sebaiknya guru
menyesuaikan dengan karakteristik materi yang akan diajarkan karena berkaitan erat
dengan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran serta tingkat kemampuan siswa.
Selain itu, perlu ada strategi yang mendukung model pembelajaran yang disajikan
sehingga mampu menangani tingkat kemampuan siswa yang berbeda. Tidak kalah
pentingnya diperlukan perangkat pembelajaran yang inovatif sehingga mempermudah
guru dalam mengelola pembelajaran.
Materi ajaran fisika pada umumnya banyak mengandung konsep, pengetahuan,
keterampilan yang diberikan berupa pemecahan masalah akademik dan keterampilan
proses sains dasar. Melakukan percobaan untuk membuktikan suatu teori merupakan
keterampilan proses sains sekaligus pemecahan masalah akademik .
Dilihat dari permasalahan yang di SMA Negeri 2 Banjarbaru Kelas XI IPA 3
harus segera dilakukan tindakan atau solusi untuk mengatasinya. Oleh karena itu peneliti
memilih model pembelajaran penemuan terbimbing karena dalam model pembelajaran
ini dapat mengaktifkan skema atau struktur kognitif peserta didik agar lebih siap dalam
menghadapi kegiatan pelajaran yang baru, memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk belajar mandiri, serta melibatkan keaktifan peserta didik. Sehingga berdasarkan
permasalahan dan solusi yang telah dipaparkan di atas peneliti mengajukan judul
penelitian, yaitu: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN
TERBIMBING PADA MATERI AJAR FLUIDA STATIS UNTUK
MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA KELAS XI IPA
3 SMA NEGERI 2 BANJARBARU


Model pembelajaran penemuan terbimbing memiliki ciri-ciri utama yaitu
meliputi suatu pemusatan masalah, pelaksanaan percobaan, melakukan infrensi/prediksi,
merefleksi pemecahan masalah (Zainuddin dan Suriasa, 2006).
Pada pembelajaran penemuan (discovery learning) siswa didorong untuk belajar
secara mandiri (Sudibyo, 2003). Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-
konsep dan prinsip-prinsip dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman
dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan
prinsip-prinsip. Menurut Carin (1985), discovery merupakan suatu proses di mana anak
atau individu mengasimilasi proses konsep dan prinsip-prinsip. Discovery terjadi apabila
siswa terlibat secara aktif dalam menggunakan mentalnya agar memperoleh pengalaman,
sehingga memungkinkan untuk menemukan konsep atau prinsip. Proses-proses mental itu
melibatkan perumusan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen,
melaksanakan eksprimen, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menarik
kesimpulan. Di samping itu juga diperlukan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu dan
terbuka (inilah yang dimaksud dengan sikap ilmiah). Discovery learning memiliki
beberapa keuntungan, yaitu: (1) pengetahuan yang diperoleh dapat bertahan lebih lama
dalam ingatan, atau lebih mudah diingat, dibandingkan dengan cara-cara lain, (2) dapat
meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir, karena mereka harus
menganalisis dan memanipulasi informasi untuk memecahkan permasalahan, (3) dapat
membangkitkan keingintahuan siswa, memotivasi sisa untuk bekerja terus sampai mereka
menemukan jawabannya.




II. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah yang
diteliti adalah Bagaimana cara meningkatkan keterampilan proses sains dasar siswa
melalui model penemuan terbimbing pada materi ajar fluida statis di kelas XI IPA 3
SMA Negeri 2 Banjarbaru?.
Dari rumusan masalah di atas dapat dijabarkan pertanyaan penelitian sebagai
berikut :
1) Bagaimana keterampilan proses sains dasar siswa setelah mengikuti
pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran penemuan terbimbing pada
materi ajar Fluida Statis di Kelas XI IPA 3 SMA Negeri 2 Banjarbaru ?
2) Bagaimana keterlaksanaan skenario pembelajaran yang menggunakan model
pembelajaran penemuan terbimbing pada materi ajar Fluida Statis di kelas XI IPA
3 SMA Negeri 2 Banjarbaru ?
3) Bagaimana hasil belajar siswa setelah pembelajaran yang menggunakan model
pembelajaran penemuan terbimbing pada materi ajar Fluida Statis di kelas XI IPA
3 SMA Negeri 2 Banjarbaru?
4) Bagaimana respon dan pemahaman siswa terhadap proses pembelajaran yang
menggunakan model pembelajaran penemuan terbimbing pada materi ajar Fluida
Statis di Kelas XI IPA 3 SMA Negeri 2 Banjarbaru?
III. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dn rumusan masalah, maka penelitian ini dibatasi
pada efektivitas pembelajaran dengan model pembelajaran penemuan terbimbing pada


materi ajar Fluida Statis di Kelas XI IPA 3 SMA Negeri 2 Banjarbaru tahun pelajaran
2010/2011 semester genap.
IV. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas
pembelajaran melalui model pembelajaran penemuan terbimbing pada materi ajar Fluida
Statis.
Tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah seabagai berikut :
1) Mendeskripsikan keterlaksanaan keterampilan proses sains dasar siswa setelah
mengikuti pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran penemuan
terbimbing pada materi ajar Fluida Statis di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 2
Banjarbaru.
2) Mendeskripsikan keterlaksanaan skenario pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran penemuan terbimbing pada materi ajar Fluida Statis di
kelas XI IPA 3 SMA Negeri 2 Banjarbaru.
3) Mendeskripsikan hasil belajar siswa setelah pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran penemuan terbimbing pada materi ajar Fluida Statis di kelas
XI IPA 3 SMA Negeri 2 Banjarbaru.
4) Mendeskripsikan respon dan pemahaman siswa terhadap proses pembelajaran
yang menggunakan model pembelajaran penemuan terbimbing pada Fluida Statis
di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 2 Banjarbaru .





V. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat member manfaat :
1) Bagi peneliti, yaitu memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang penggunaan
model pembelajaran pembelajaran penemuan terbimbing.
2) Bagi guru, sebagai motivasi untuk meningkatkan hasil pembelajaran di kelas
dengan model pembelajaran yang bervariasi dan meningkatkan keefektifan
pembelajaran.
3) Bagi siswa, memberikan motivasi untuk memperoleh hasil belajar yang lebih
baik, meningkatkan pemahaman, dan keterampilan siswa dalam komunikasi serta
saling melatih kesiapan siswa dan saling berbagi.
VI. Batasan Istilah
1) Model penemuan terbimbing adalah suatu model pembelajaran dimana siswa dapat
belajar dalam kelompok-kelompok penyelidikan untuk melatih siswa keterampilan
proses sains dan pemecahan masalah akademik (Zainuddin dan Suriasa, 2006:36).
2) Peningkatan hasil belajar siswa melalui perangkat pembelajaran adalah serangkaian
proses atau kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan aktivitas dan pemahaman
belajar siswa berdasarkan teori perangkat pembelajaran.
3) Efektifitas pembelajaran adalah hasil guna yang diperoleh setelah pelaksanaan proses
belajar mengajar atau segala daya upaya guru membantu siswa agar bisa belajar
dengan baik.





VII. Kerangka Teori
7.1.1 Karakteristik Materi Ajar
Fisika adalah suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penemuan dari
gejala-gejala alam yang terjadi, khususnya yang berkitan dengan kehidupan. Ilmu fisika
merupakan ilmu pengetahuan yang berupa fakta,teori, prinsip, dan hukum yang
merupakan produk dan juga sebagai proses yang berupa keterampilan mendeskripsikan
gejala alam tersebut.
Materi ajar Mekanika Fluida merupakan pokok bahasan dari pelajaran fisika di
SMA kelas XI pada semester genap. Keterampilan yang diberikan pada materi ajar ini
berupa pengetahuan akademik dan keterampilan sosial. Memahami hukum atau rumus
tertentu dalam fisika merupakan contoh pengetahuan akademik sederhana , sedangkan
bekerja sama dalam kelompok melakukan operasi matematika dan mengoperasikan alat-
alat ukur merupakan contoh keterampilan sosial.
Materi ajar ini dapat disajikan dalam banyak percobaan-percobaan, sehingga
banyak melatihkan keterampilan proses dalam pembelajarannya. Mekanika fluida dibagi
menjadi dua bagian yaitu statika fluida dan dinamika fluida. Fluida adalah zat yang dapat
mengalir, sehingga yang termasuk fluida adalah zat cair dan gas. Statika fluida adalah
fluida yang ada dalam keadaan diam, dinamika fluida adalah fluida yang mengalir
(bergerak) (kanginan, 2007:80).
Untuk menghitung suatu tekanan diperlukan operasi pembagian antara gaya
dengan luas penampang. Berdasarkan deskripsi tersebut untuk mempelajari dan
memahami materi ini diperlukan kemampuan untuk mengoperasi pembagian. Selain itu
materi ajar statika fluida dan dinamika fluida ini banyak mengandung besaran-besaran


penting seperti tekanan yang merupakan besaran turunan dengan satuan Pa dan luas yang
merupakan besaran turunan dengan satuan m, oleh karena itu materi ini memerlukan
penguatan terhadap materi sebelumnya.
Standar kompetensi yang ingin dicapai adalah menerapkan konsep dan prinsip
mekanika klasik sistem kontinu dalam menyelesaikan masalah. Kompetensi dasar yang
ingin dicapai adalah menganalisis hukum-hukum yang berhubungan dengan fluida statis
dan dinamis serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Kanginan, 2007:viii).
7.1.2 Karakteristik Siswa
Teori pembelajaran kognitif yang terkenal adalah teori Jean Piaget. Menurut
Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai bayi yang baru dilahirkan sampai
menginjak dewasa akan mengalami empat tingkat perkembangan kognitif yaitu tahap
sensorimotor, praoperasional, operasi kongkrit dan operasi formal. Empat tingkat
perkembangan ini selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Tahapan-tahapan perkembangan kognitif piaget
Tahap Perkiraan Usia Kemampuan-kemampuan utama
Sensorimotor





Praoperasional

Lahir sampai 2 tahun





2 sampai 7 tahun

Terbentuknya konsep
kepermanenan obyek dan
kemajuan gradual dari perilaku
reflektif ke prilaku yang mengarah
pada tujuan

Perkembangan kemampuan
menggunakan simbol-simbol untuk






Operasi kongkrit








Operasi formal




7 sampai 11 tahun








11 tahun sampai
dewasa
menyatakan obyek-obyek dunia.
Pemikiran masih egosentris dan
sentrasi.

Perbaikan dalam kemampuan untuk
berfikir secara logis. Kemampuan-
kemampuan baru termasuk
penggunaan operasi-operasi yang
dapat balik. Pemikiran tidak lagi
sentrasi tetapi desentrasi, dan
pemecahan masalah tidak begitu
dibatasi oleh ke egosentisan.

Pemikiran abstrak dan murni
simbolis mungkin dilakukan.
Masalah-masalah dapat dipecahkan
melalui penggunan eksperimental.

(Nur dalam Trianto, 2007: 15)
Berdasarkan tingkat perkembangan di atas, siswa kelas XI IPA 3 SMA Negeri 2
Banjarbaru masuk pada kategori operasional formal. Kemampuan-kemampuan utamanya
berupa pemikiran abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah
dapat dipecahkan melalui penggunaan eksperimen sistematis.



7.1.3 Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Penemuan adalah terjemahan dari discovery. Menurut Sund discovery adalah
proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip.
Proses mental tersebut ialah mengamati, mencerna, mengerti, mengolong-golongkan,
membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya.
Sedangkan menurut Jerome Bruner penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara
dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk pengetahuan tertentu. Dengan
demikian di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk
menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang
tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.
Model penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator. Guru
membimbing siswa dimana diperlukan. Dalam model ini, siswa didorong untuk berpikir
sendiri, menganalisis sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan
bahan atau data yang telah disediakan guru (Yani, 2008).
Model pembelajaran penemuan terbimbing adalah suatu model pembelajaran
dimana siswa belajar dalam kelompok-kelompok penyelidikan untuk melatih
keterampilan proses sains dan pemecahan masalah akademik siswa. Model pembelajaran
penemuan berlandaskan teori belajar kognitif-kontruktivis oleh Piaget, Vygotsky, Dewey,
dan Bruner yang menekankan pada hakikat inkuiri-sains dari pembelajaran (Zainuddin &
Suriasa, 2005 : 36).
Istilah penemuan dalam pembelajaran, harus dibedakan dengan penemuan dalam
penelitian ilmiah. Penemuan dalam pembelajaran tidak berkaitan dengan menemukan


informasi atau pengetahuan yang benar-benar baru. Informasi atau pengetahuan tersebut
telah ditemukan, siswa hanya diarahkan untuk mengulangi prosedur penemuan untuk
melakukannya kembali (Ratumanan, 2002 : 128).
Menurut Sudirman dkk (Dharmawan, 2008 : 3) model pembelajaran penemuan memiliki
kelebihan sebagai berikut :
(1) Strategi pengajaran menjadi berubah dari yang bersifat penyajian informasi oleh guru
kepada siswa sebagai penerima informasi yang baik tetapi proses mentalnya berkadar
rendah, menjadi pengajaran yang menekankan kepada proses pengolahan informasi di
mana siswa yang aktif mencari dan mengolah sendiri informasi yang kadar proses
mentalnya lebih tinggi atau lebih banyak.
(2) Siswa akan mengerti konsep-konsep dasar atau ide lebih baik.
(3) Membantu siswa dalam menggunakan ingatan dan dalam rangka transfer kepada
situasi-situasi proses belajar yang baru.
(4) Mendorong siswa untuk berfikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.
(5) Memungkinkan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar
yang tidak hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar.
(6) Metode ini dapat memperkaya dan memperdalam materi yang dipelajari sehingga
retensinya (tahan lama dalam ingatan) menjadi lebih baik.
Adapun langkah-langkah Model Pembelajaran IDL (Inquiry Discovery Learning)
dapat dituliskan pada tabel 2.
Tabel 2 Sintaks model pembelajaran IDL
FASE-FASE TINGKAH LAKU GURU


Fase 1
Mengorientasikan
masalah
Memberikan motivasi, mengeksplorasi gagasan
belajar, menyampaikan atau menggali masalah,
menyampaikan tujuan
Fase 2
Merancang eksperimen
Membimbing siswa dalam mengidentifikasi
masalah, merumuskan masalah, mengkaji teori,
merumuskan hipotesis, mendefinisikan variabel
secara operasional, menentukan alat dan bahan,
dan menyusun prosedur eksperimen
Fase 3
Melaksanakan
eksperimen.
Membimbing siswa dalam menyiapkan alat dan
bahan, mengumpulkan data, menyajikan data, dan
menganalisis data
Fase 4
Melakukan Infrensi /
prediksi
Membimbing siswa dalam : menarik kesimpulan,
melakukan infrensi, dan prediksi.
Fase 5
Merefleksi pemecahan
masalah
Membimbing siswa dalam : merefleksi hasil dan
proses eksperimennya
(Zainuddin & Suriasa, 2005 : 36)

VIII. Teori Belajar Yang Melandasi Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
8.1.1 Teori Konstruktivis
Menurut Slavin (Sudibyo, 1994:8), konsruktivis adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa penekanan kita adalah konstruktivis kita sendiri.


Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan, bahwa anak-anak diberi
kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar sadar, sedangkan guru
yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi.
Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah
bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa agar
secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan
kepada siwa atau peserta didik anak tangga yang membawa siswa akan pemahamannya
yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri harus memanjat anak tangga tersebut.
Konstruktivis yang berakar pada psikolog kognitif, menjelaskan bahwa siswa
belajar sebagai hasil dari pembentukan makna dari pengalaman. Peran utama guru adalah
membantu siswa membentuk hubungan antara apa yang dipelajari dan apa yang sudah
diketahui siswa. Bila prinsip-prinsip konstruktivis benar-benar digunakan ruang kelas,
maka guru harus mengetahui apa yang telah diketahui dan diyakini siswa sebelum
memulai unit pelajaran baru.
Ada tiga prinsip yang menggambarkan konstruktivis sebagai berikut :
1) Seseorang tidak pernah benr-benar memahami dunia sebagaimana adanya karena
setiap orang membentuk keyakinan atas apa yang sebenarnya.
2) Keyakinan/pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang menyaring atau mengubah
informasi yang diterima seseorang.
3) Siswa membentuk suatu realitas berdasar pada keyakinan yang dimiliki, kemampuan
untuk bernalar, dan kemauan siswa untuk memadukan apa yang mereka yakini
dengan apa yang benar-benar mereka amati.



8.1.2 Teori Bruner
Menurut Slavin (Sudibyo, 2003: 12), belajar penemuan (discovery learning) dari
Jerome Bruner adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan kepada
pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Didalam
discovery learning siswa didorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Siswa belajar
melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru
mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang
memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip untuk diri mereka sendiri.
Carin (1985) menyatakan bahwa discover adalah proses mental dimana anak atau
individu mengasimilasi konsep dan prinsip-prinsip. (Amien dalam Sudibyo: 2003).
Dengan kata lain, discovery terjadi apabila siswa terlibat secara aktif dalam menggunakan
proses mentalnya agar mereka memperoleh pengalaman, sehingga memungkinkan
mereka untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip tersebut. Proses-proses mental
itu, misalnya: merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen,
melaksanakan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menarik
kesimpulan. Disamping itu, diperlukan sikap objektif, jujur, hasrat ingin tahu, dan
terbuka.
Belajar penemuan (discovery learning) memiliki beberapa keunggulan, yaitu:
(1) Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan itu dapat bertahan lama dalam
ingatan, atau lebih mudah diingat, apabila dibandingkan dengan pengetahuan yang
diperoleh dengan cara-cara lain.


(2) Belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk
berpikir, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi untuk
memecahkan permasalahan.
(3) Belajar penemuan dapat membangkitkan keingintahuan siswa, memotivasi siswa
untuk bekerja terus sampai mereka menemukan jawabannya.
Menurut Dahar (Sudibyo: 2003), Bruner menyadari bahwa belajar penemuan
yang murni memerlukan waktu panjang, oleh karena itu Bruner menyarankan agar
penggunaan belajar penemuan ini hanya diterapkan sampai batas-batas tertentu, yaitu
dengan mengarahkannya pada struktur bidang studi. Struktur suatu bidang studi terutama
diberikan oleh konsep-konsep dasar dan prinsip-prinsip dari bidang studi tersebut. Bila
seorang siswa telah menguasai struktur dasar, maka tidak begitu sulit mengarahkannya
pada struktur bidang studi. Struktur suatu bidang studi terutama diberikan konsep-konsep
dasar dan prinsip-prinsip dari bidang studi tersebut. Bila seorang telah menguasai struktur
dasar, maka tidak begitu sulit baginya untuk mempelajari bahan-bahan pelajaran lain
dalam bidang studi yang sama, dan siswa akan lebih mudah ingat bahan pelajaran yang
baru itu. Hal ini disebabkan karena siswa telah memperoleh kerangka pengetahuan yang
bermakna, yang dapat digunakan untuk melihat hubungan-hubungan esensial dalam
bidang studi itu, dan dengan demikian dapat memahami hal-hal yang mendetail. Mengerti
struktur suatu bidang studi ialah memahami bidang studi tersebut sedemikian rupa
sehingga dapat menghubungkan hal-hal lain pada struktur itu secara bermakna. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa mempelajari struktur adalah mempelajari bagaimana
sesuatu tersebut dihubungkan.



8.1.3 Teori Kognitif
Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap
yaitu :
(1) sensory motor;
(2) pre operational;
(3) concrete operational dan
(4) formal operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu
asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah
the process by which a person takes material into their mind from the environment,
which may mean changing the evidence of their senses to make it fit dan akomodasi
adalah the difference made to ones mind or concepts by the process of assimilation
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi
dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik.


3. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-
baiknya.
4. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
5. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
6. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temanya.
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/20/teknologi-pembelajaran/)

8.1.4 Teori Pemrosesan Informasi
Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi,
untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.
Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan
kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu
yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam
individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang
mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1)
motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6)
generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/20/teknologi-pembelajaran/)





IX. Metode Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, metode penelitian yang digunakan adalah
deskriptif kuantitatif . Jenis Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK)
yaitu suatu jenis penelitian yang dilakukan secara kolektif oleh suatu kelompok sosial /
pendidikan yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas kinerja mereka serta mengatasi
berbagai permasalahan yang terjadi dalam kelompok tersebut (Prabowo dalam
Zainuddin 2006:1). Tujuan utama PTK memperbaiki praktek-praktek pendidikan /
pembelajaran yang beroreitasi di dalam kelas sebagai layanan professional dalam
rangka pengembangan keterampilan guru.
Tahapan PTK:
Perencanaan:
Dalam tahap ini peneliti menjelaskan tentang apa, kapan, di mana, oleh siapa, dan
bagaimana tindakan tersebut dilakukan. penelitian tindakan yang ideal sebetulnya
dilakuan secara berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan dan pihak yang
mengamati proses jalannya tindakan. dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran
rencana tindakan dalam rangka penelitian dituangkan dalam bentuk Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran.


















Pelaksanaan Tindakan:
Tahap ke-2 dari penelitian tindakan adalah pelaksanaan, yaitu implementasi atau
penerapan isi rencana tindakan di kelas yang diteliti. hal yang perlu diingat adalah bahwa
dalam tahap 2 ini pelaksanaan guru harus ingat dan berusaha mentaati apa yang sudah
dirumuskan dalam rencana tindakan, tetapi harus pula berlaku wajar.
Observasi dan Evaluasi :
Tahap ke-3 yaitu pengamatan yang dilakukan oleh pengamat. Pengamatan
dilakukan untuk mendapatkan data dengan menggunakan lembar observasi yang bias
dievaluasi yang nantinya akan digunakan untuk tahap selanjutnya.
Analisis dan Refleksi :
Data yang dikumpulkan selama tindakan berlangsung kemudian dianalisis.
Berdasarkan hasil analisis ini guru melakukan refleksi, yaitu guru mencoba merenungkan
atau mengingat dan menghubung-hubungkan kejadian dalam interaksi kelas, mengapa itu
Desain PTK:


Refleksi
Observasi dan evaluasi
Pelaksanaan Tindakan Ulang
Pelaksanaan Tindakan
Refleksi
Observasi dan evaluasi
Pelaksanaan Tindakan Ulang
Pelaksanaan Tindakan
Refleksi
Observasi dan evaluasi
Pelaksanaan Tindakan Ulang
Pelaksanaan Tindakan


terjadi, dan bagaimana hasilnya. Hasil refleksi akan membuat guru menyadari tingkat
keberhasilan dan kegagalan yang dicapainya dalam tindakan perbaikan.

9.1.1 Penelitian yang Relevan
Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini, dimana hasil
penelitian pendukung yang dimaksud yaitu hasil penelitian penerapan model
pembelajaran penemuan terbimbing pada pembelajaran fisika maupun mempelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) lainnya antara lain :
(1) Reza (2009), di SMAN 6 Banjarmasin dengan menggunakan model pembelajaran
Inquiry Discovery Learning (IDL) Terbimbing efektif untuk meningkatkan hasil
belajar siswa dengan efektivitas rata-rata sebesar 75%.
(2) Syarif (2010), di SMAN 1 Anjir Pasar yang menggunakan model pembelajaran
Penemuan Terbimbing dengan metode Pictorial Riddle, efektif untuk meningkatkan
hasil belajar siswa dengan efektivitas sebesar 61,1 %.
(3) Yani (2008), di SMAN 1 Cempaka OKU Timur dengan penerapan model
pembelajaran Penemuan Terbimbing pada mata pelajaran Matematika di SMAN 1
Cempaka OKU Timur termasuk pada kategori baik.
(4) Riza Anisa (2010) di SMA KORPRI Banjarmasin menggunakan model pembelajaran
Penemuan Terbimbing pada materi ajar Fluida Statis mempunyai efektivitas
pembelajaran sebesar 54,33%.
9.1.2 Kerangka Berpikir
Fisika adalah ilmu pengetahuan yang memerlukan suatu pemahaman dan
keterampilan, oleh karena itu dibutuhkan adanya variasi dalam pembelajaran yaitu berupa


strategi pembelajaran dan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi
yang diajarkan. Dengana adanya strategi dan model pembelajaran yang mendukung,
maka siswa akan merasa termotivasi untuk mengikuti proses pembelajaran dengan baik.
Hal ini membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran dan siswa dapat
mengemabangkan kemampuan berpikirnya untuk menemukan suatu polusi dari masalah
yang dihadapinya.
Di dalam materi ajar fluida statis terdapat percobaan-percobaan dimana siswa
dapat langsung mengamati dan menemukan suatu konsep dari suatu kejadian atau
peristiwa yang terjadi.
Teori belajar konstruktivis adalah salah satu penerapan dari teori kognitif yang
menekankan pengetahuan akademik dan keterampilan proses sains. Oleh karena itu
penerapan teori belajar konstruktivis ini dapat meningkatkan kualitas pembelajaran
disekolah. Model pembelajaran penemuan terbimbing adalah salah satu bentuk dari teori
belajar konstruktivis, melalui model pembelajaraan penemuan terbimbing ini akan
menimbulkan kemandirian siswa dalam memahami melakuakan pembelajaran.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa model pembelajaran penemuan
terbimbing memberikan konstribusi yang baik terhadap yang baik terhadap kegiatan
belajar mengajar yakni dapat meningkatkan aktivitas siswa selama pembelajaran,
meningkatkan ketercapaian tujuan pembelajaran khusus (TPK), dan dapat meningkatkan
minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berikutnya (Trianto, 2008:22).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mempunyai harapan yang sedemikian besar
bahwa keterampilan proses sains dasar siswa XI IPA 3 SMA 2 Banjarbaru pada materi
fluida statis dapat meningkat menggunakan model pembelajaran penemuan terbimbing.



9.1.3 Hipotesis Tindakan
Dengan menerapkan model pembelajaran penemuan terbimbing.melalui
pembelajaran masalah (SPBM) pada materi ajar fluida statis, maka hasil belajar siswa
yang nantinya diperoleh dari hasil tes hasil belajar kemungkinan besar dapat meningkat,
selain itu pembelajaran ini mampu memberikan motivasi bagi siswa dan materi yang
disampaikan dapat disimpan dalam memori jangka panjang, sebab pembelajaran ini
berpusat pada siswa dan hasil pemecahan masalah ditentukan sendiri oleh siswa, yang
mana menurut Plato (Sudibyo E, 2005:10), dalam hal rasionalisme memberi gambaran
bahwa untuk mempelajari sesuatu, seseorang harus menemukan kebenaran yang
sebelumnya belum diketahui melalui pengalaman. Indera hanya dapat merangsang
ingatan dan membawa kesadara pengetahuan yang selama itu sudah berada dalam
pikiran.
Jika dilihat dari permasalahannya, materi fisika khususnya fluida statis dengan
menerapakan model pembelajaran penemuan terbimbing. melalui Strategi Pembelajaran
Berdasarkan Masalah (SPBM), maka kemungkinan besar dapat meningkatkan
keterampilan proses sains dasar siswa yang akhirnya juga akan meningkatkan kualitas
pembelajaran di SMA.







X. Rencana Penelitian
10.1.1 Setting Penelitian/Lokasi Penelitian
SMA Negeri 2 Banjarbaru adalah sekolah yang berada di Kota Banjarbaru. Letak
sekolah ini tepat di penggir jalan Kota Banjarbaru. Disekitar sekolah ini tidak banyak
permukiman warga. Jadi sekolah ini merupakan sekolah yang mempunyai suasana yang
cukup tenang sehingga dapat untuk mengoptimalkan pendidikan.
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMA Negeri 2 Banjarbaru di kelas X I
IPA 3 semester genap tahun pelajaran 2010 / 2011 dengan jumlah siswa sebanyak 27
orang, terdiri dari 6 orang siswa laki-laki dan 21 orang siswa perempuan tetapi dari data
pada saat penyebaran angket untuk pengambilan data awal hanya ada 23 orang siswa yang
hadir terdiri dari 5 orang siswa laki-laki dan 18 orang siswa perempuan, dimana mereka
semua mengikuti pembelajaran fisika dengan menerapkan model pembelajaran penemuan
terbimbing melalui Strategi Pembelajaran Berdasarkan Masalah (SPBM) pada materi ajar
fluida statis.
10.1.2 Karakteristik Penelitian
Karakteristik yang diamati dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut :
1. Kemamampuan guru dalam mengelola pembelajaran didefinisikan sebagai kemampuan
guru dalam menerapkan model pembelajaran penemuan terbimbing dalam setting
SPBM yang diamati dan direkam dalam lembar pengamatan aktivitas guru, dinyatakan
dengan skor rata-rata untuk seluruh aspek pengamatan.
2. Aktivitas guru dan siswa didefinisikan sebagai frekuensi keterlibatan guru dan siswa
selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, direkam dengan lembar pengamatan


aktivitas guru dan siswa, yang diadaptasi oleh Suriasa (2003:150) dari lembar
pengamatan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, dinyatakan dengan persentasi.
3. Keterampilan siswa didefinisikan sebagai persentasi skor keterlaksanaan aspek-aspek
model pembelajaran penemuan terbimbing yang diperoleh siswa perkelompok dalam
melakukan diskusi dalam setting SPBM, yang direkam dengan lembar pengamatan
keterampilan siswa yang dikembangkan oleh Suriasa (2003:163) dinyatakan dengan
persentase dan proporsi skor aspek pengamatan.
4. Hasil belajar siswa didefinisikan sebagai tingakat ketuntasan skor pencapaian tujuan
pembelajaran khusus yang mencakup jenjang rendah kognitif (C1-C5) dari katagori
Bloom, direkam dengan test test tertulis dan dinyatakan dengan persentase.
5. Respon siswa didefinisikan sebagai kualitas tanggapan siswa terhadap perangkat dan
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada penerapan model pembelajaran penemuan
terbimbing melalui strategi pembelajaran berdasarkan masalah, yang direkam dengan
angket respon siswa Strategi likerd yang diadaptasi dan dikembangkan oleh Suriasa
(2003:152) dinyatakan dengan skor rata-rata.
10.1.3 Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional masing-masing karaketristik yang diamati dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
(1) Keterampilan proses sains adalah skor yang diperoleh siswa dalam melakukan tiap
percobaan, diukur dengan menggunakan lembar pengamatan/observasi dan dinyatakan
dengan kategori tidak baik, kurang baik, cukup baik, baik dan sangat baik.
(2) Keterlaksanaan RPP adalah skor yang diperoleh guru dalam melaksanakan setiap
tahapan pembelajaran sebagaimana yang tercantum dalam rencana pelaksanaan


pembelajaran yang direkam dengan menggunakan lembar keterlaksanaan RPP,
dinyatakan dengan persentase, selanjutnya dikategorikan dengan sangat tidak baik,
kurang baik, cukup baik, baik atau sangat baik.
(3) Hasil belajar siswa adalah skor yang diperoleh siswa dari tes hasil belajar yang
dilaksanakan disetiap akhir pembelajaran (postest), yang dinyatakan dengan kategori
tuntas dan tidak tuntas.
(4) Respon Siswa adalah kualitas tanggapan siswa terhadap model pembelajaran
penemuan terbimbing yang diukur dengan angket minat dan motivasi model ARCS
yang meliputi aspek perhatian, relevansi, keyakinan, dan kepuasan. Dinyatakan
dengan kategori tidak baik, kurang baik, cukup baik, baik dan sangat baik.
(5) Efektivitas pembelajaran adalah dampak komulatif dari diterapkannya model
pembelajaran penemuan terbimbing yang diukur berdasarkan selisih antara nilai rata-
rata pretest dan posttest dari ketiga pertemuan.

10.1.4 Rencana Tindakan
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK), yaitu sebagai suatu
bentuk kajian bersifat reflektif oleh pelaku tindakan, yang dilakukan untuk meningkatkan
kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas,
memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukannya itu, serta
memperbaiki kondisi di mana praktek-praktek pembelajaran tersebut dilakukan.
Penelitian ini terdiri dari 3 siklus, masing-masing siklus terdiri atas 1 kali pertemuan.
Pada siklus I mengkaji masalah Tekanan Hidrostatiska siklus II mengkaji tentang Hukum
Pascal dan siklus III membahas tentang Hukum Archimedes.


Pada setiap siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan,
observasi dan refleksi. Secara rinci kegiatan yang dilakukan pada setiap tahapan tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 1. Bentuk dan Prosedur PTK












Berdasarkan gambar 1, setiap siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu perencanaan,
pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Secara rinci kegiatan yang dilakukan pada
setiap tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Refleksi awal
a. Siswa SMA telah memiliki pengetahuan awal fisika yang akan dikaji di kelas X yang
diperoleh dari hasil belajar di SMP. Di antara pengetahuan awal tersebut ada yang
masih kurang tepat.
b. Siswa SMA kurang mampu memahami konsep-konsep abstrak.
Permasalahan
Alternatif Permasalahan
(Rencana Tidakan)
Pelaksanaan
Tindakan
Observasi
Pelaksanaan
Tindakan II
Analisa Data I Refleksi I Terselesaikan
Observasi
II
Alternatif Pemecahan
(Rencana Tindakan II)
Belum
Terselesaikan
Analisa Data II Refleksi II Terselasaikan
Belum
Terselesaikan
Siklus
Selanjutnya


c. Lembar Kerja Siswa (LKS) yang digunakan belum atau sangat sedikit memberikan
tugas yang berkaitan dengan aplikasi konsep yang dipelajari.
d. Siswa SMA belum terbiasa mengadakan kegiatan percobaan dan diskusi.

2. Proses Pelaksanaan Tindakan
a. Pelaksanaan Penelitian Tindakan pada Siklus I
Pelaksanaan penelitian tindakan pada siklus I adalah sebagai berikut :
1) Tahap Perencanaan
a) Merancang skenario pembelajaran yang dijabarkan dalam Satuan Pelajaran
(SP)
b) Menyiapkan media pembelajaran yang disusun sesuai sesuai dengan tahapan-
tahapan pada Strategi pembelajaran berdasarkan masalah.
c) Menyiapkan media, bahan dan alat, instrument observasi (perilaku siswa
dalam proses belajar mengajar dan kuesioner tanggapan siswa terhadap
tindakan yang dilakukan), evaluasi dan refleksi.

2) Tahap Pelaksanaan Tindakan
Dalam pelaksanaan tindakan dilakukan kegiatan sebagai berikut :
a) Mengorientasi siswa kepada masalah.
b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar.
c) Membimbing penyelidikan, dalam tahapan ini siswa dibimbing dalam
melakukan percobaan.
d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya


e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

3) Observasi dan Evaluasi Tindakan
Pada tahap ini menurut Kasbolah (1999) dilakukan observasi terhadap aktivitas
siswa dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan lembar observasi
meliputi aktivitas siswa, dan guru, efektivitas penggunaan sumber belajar,
hambatan dan kesulitan siswa dan guru.
Observasi terhadap kemampuan guru dalam menerapkan model pembelajaran
penemuan terbimbing dan observasi terhadap aktivitas siswa yang direkam
dalam data pengamatan. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan Pre-test Post-
test One Group Design, yaitu bentuk disain penelitian yang menggunakan satu
kelas dan menggunakan test awal (pre test) sebelum pelaksanaan penelitian
(pemberian pelaksanaan) serta test akhir (post test) pada akhir pelaksanaan
penelitian.
4) Tahap Refleksi
Pada tahap ini peneliti melakukan refleksi terhadap tindakan pembelajaran dan
respon siswa terhadap pembelajaran serta refleksi terhadap hasil belajar siswa
yang diperoleh dari pre-test dan post-test.
Berdasarkan hasil belajar siswa dan evaluasi terhadap jurnal harian dan angket
siswa dengan menggunakan instrument dan hasil tes, maka hal-hal ini digunakan
sebagai pertimbangan untuk memasuki siklus II.
b. Pelaksanaan Penelitian Tindakan pada Siklus II
1) Tahap perencanaan


a) Merancang skenario pembelajaran yang dijabarkan dalam Satuan Pelajaran
(SP)
b) Menyiapkan media pembelajaran yang disusun sesuai sesuai dengan tahapan-
tahapan pada Strategi pembelajaran berdasarkan masalah.
c) Menyiapkan media, bahan dan alat, instrument observasi (perilaku siswa
dalam proses belajar mengajar dan kuesioner tanggapan siswa terhadap
tindakan yang dilakukan), evaluasi dan refleksi.
2) Tahap Pelaksanaan Tindakan
Dalam pelaksanaan tindakan dilakukan kegiatan sebagai berikut :
a) Mengorientasi siswa kepada masalah.
b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar.
c) Membimbing penyelidikan, dalam tahapan ini siswa dibimbing dalam
melakukan percobaan.
d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
3) Observasi dan Evaluasi Tindakan
Pada tahap ini dilakukan observasi terhadap aktivitas siswa dalam proses belajar
mengajar dengan menggunakan lembar observasi terhadap aktivitas siswa dalam
proses belajar mengajar dengan menggunakan lembar observasi meliputi
aktivitas siswa, dan guru, efektivitas penggunaan sumber belajar, hambatan dan
kesulitan siswa dan guru.
Observasi terhadap kemampuan guru dalam menerapkan model pembelajaran
penemuan terbimbing dan observasi terhadap aktivitas siswa yang direkam


dalam data pengamatan. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan Pre-test Post-
test One Group Design, yaitu bentuk desain penelitian yang menggunakan satu
kelas dan menggunakan test awal (pre test) sebelum pelaksanaan penelitian
(pemberian pelaksanaan) serta test akhir (post test) pada akhir pelaksanaan
penelitian.
4) Tahap refleksi
Berdasarkan hasil belajar siswa dan evaluasi terhadap jurnal harian dan angket
siswa dengan menggunakan instrument dan hasil tes, maka hal-hal ini digunakan
sebagai pertimbangan untuk memasuki siklus III.

c. Pelaksanaan Penelitian Tindakan pada Siklus III
5) Tahap perencanaan
a) Merancang skenario pembelajaran yang dijabarkan dalam Satuan Pelajaran
(SP)
b) Menyiapkan media pembelajaran yang disusun sesuai sesuai dengan tahapan-
tahapan pada Strategi pembelajaran berdasarkan masalah.
c) Menyiapkan media, bahan dan alat, instrument observasi (perilaku siswa
dalam proses belajar mengajar dan kuesioner tanggapan siswa terhadap
tindakan yang dilakukan), evaluasi dan refleksi.
6) Tahap Pelaksanaan Tindakan
Dalam pelaksanaan tindakan dilakukan kegiatan sebagai berikut :
a) Mengorientasi siswa kepada masalah.
b) Mengorganisasikan siswa untuk belajar.


c) Membimbing penyelidikan, dalam tahapan ini siswa dibimbing dalam
melakukan percobaan.
d) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
7) Observasi dan Evaluasi Tindakan
Pada tahap ini dilakukan observasi terhadap aktivitas siswa dalam proses belajar
mengajar dengan menggunakan lembar observasi terhadap aktivitas siswa dalam
proses belajar mengajar dengan menggunakan lembar observasi meliputi
aktivitas siswa, dan guru, efektivitas penggunaan sumber belajar, hambatan dan
kesulitan siswa dan guru.
Observasi terhadap kemampuan guru dalam menerapkan model pembelajaran
penemuan terbimbing dan observasi terhadap aktivitas siswa yang direkam
dalam data pengamatan. Penelitian ini dilaksanakan menggunakan Pre-test Post-
test One Group Design, yaitu bentuk desain penelitian yang menggunakan satu
kelas dan menggunakan test awal (pre test) sebelum pelaksanaan penelitian
(pemberian pelaksanaan) serta test akhir (post test) pada akhir pelaksanaan
penelitian.
8) Tahap refleksi
Berdasarkan atas hasil belajar siswa, observasi, dan evaluasi terhadap jurnal
harian dengan menggunakan instrument dan hasil tes, maka ditemukan hal-hal
yang menjadi pertimbangan untuk memperbaiki pada tindakan berikutnya, yakni
:


a) Hasil belajar siswa secara individual kurang dari 65 % atau ketuntasan belajar
secara klasikal kurang 85% (Depdikbud, 1996). Maka dilakukan perbaikan
atau tindakan remedial.
b) Masih ditemukan hambatan / kesulitan yang dialami siswa dan guru (peneliti)
pada lembar hasil observasi pada saat pelaksanaan tindakan.
10.1.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik-teknik :
Adapun cara pengambilan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Data tentang keterlaksanaan skenario pembelajaran, diambil berdasarkan pengamatan
oleh dua orang pengamat dengan menggunakan lembar observasi.
(2) Data hasil belajar diambil dari hasil pre-test sebagai kondisi awal dan hasil post-test
sebagai kondisi akhir untuk setiap pertemuan pembelajaran.
(3) Data tentang keterampilan proses sains siswa diambil berdasarkan keterlaksanaan
lembar pengamtan keterampilan proses sains oleh dua orang pengamat dalam lembar
kerja siswa.
(4) Data tentang tanggapan siswa terhadap model pembelajaran yang diterapkan diambil
dari hasil angket yang diberikan kepada siswa pada akhir pembelajaran.
10.1.6 Teknik Analisa Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif, sebab statistik
deskriptif mempunyai fungsi untuk menggolong-golongkan atau mengelompokkan data
terjadi menjadi susunan yang teratur dan mudah diinterpretasikan. Selain itu statistik
deskriptif juga memberikan, memaparkan atau menyajikan informasi sedemikian rupa


sehingga data yang diperoleh dari penelitian dapat dimanfaatkan oleh orang lain (Suriasa,
2003:8).
10.1.7 Analisis Data
Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung dilakukan pengamatan tentang
pengelolaan pembelajaran, aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran, keterampilan
siswa dalam melakukan keterampilan sosial dan respon siswa terhadap pembelajaran.
1. Analisis Keterlaksanaan Skenario Pembelajaran
Untuk keterlaksanaan skenario pembelajaran diamati selama KBM digunakan
persentase (Adaptasi Trianto, 2008 : 173) yaitu :
K = % 100
N
f
(1)
keterangan: K = persentase keterlaksanaan
f = skor total tahapan skenario yang terlaksana
N = skor maksimum tahapan pembelajaran berdasarkan skenario



Tabel 3 Kriteria keterlaksanaan skenario pembelajaran
No Persentase Kriteria
1 0 20 Sangat tidak baik
2 21 40 Kurang baik
3 41 60 Cukup baik
4 61 80 Baik


5 81 100 Sangat baik
(Arikunto, 2009: 35)
Rumus yang digunakan untuk menghitung reabilitas adalah :
Persentage of agreement =
|
.
|

\
|
+

B A
B A
1 X 100% (2)
Dimana : A = frekuensi aspek tingkah laku yang teramati oleh pengamat
yang memberikan frequensi tinggi.
B = frekuensi aspek tingkah laku yang teramati oleh pengamat
yang memberikan frekuensi rendah.
Instrumen termasuk dalam katagore instrument yang baik, jika reabilitasnya melebihi
75 % (Borich dalam Suriasa, 2003:82)
2. Analisis pengamatan aktivitas guru dan siswa
Untuk menganalisisa data aktivitas guru dan siswa yang diamati selama
kegiatan belajar mengajar berlangsung digunakan persentase (%), yakni banyaknya
frequensi tiap aktivitas dibagi dengan seluruh frekuensi aktivitas, selajutnya dikali
dengan 100. Aktivitas guru dan siswa dikatakan baik, jika dalam pembelajaran siswa
lebih dominan dibanding guru. Untuk mencari reabilitas instrument digunakan teknik
interrobserver agreement seperti pada analisa kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran.
3. Analisis keterampilan proses sains siswa
Penilaian keterampilan proses sains siswa dilakukan dengan cara nontes. Dimana
pada setiap keterlaksanaan prosedur kerja dalam percobaan diberi skor penilaian menurut
kemampuan pada masing-masing kelompok. Penilaian keterampilan proses sains


didasarkan pada nilai yang diperoleh setiap kelompok. Adapun skor dari keterlaksanaan
percobaan pada tiap pertemuan, dapat dilihat pada tabel 6.
\Tabel 3 Skor keterlaksanaan percobaan
No Aspek yang Diamati Skor
1 Melakukan percobaan dengan benar 25
2 Menuliskan hasil pengamatan 25
3 Menganalisis data 25
4 Membuat kesimpulan 25
Jumlah 100

Untuk mengetahui data tingkat proses keterampilan proses sains siswa secara
klasikal digunakan rumus (martasuli, 2010: 35):
Skor Siswa Klasikal = % 100
max

E
Skor
Skor

...(3)
keterangan : Skor siswa = Keterampilan proses sains yang diperoleh siswa
Tabel 4 Kriteria penilaian keterampilan proses sains
No Nilai Siswa Kriteria
1 1-20 Tidak Baik
2 21-40 Kurang Baik
3 41-60 Cukup Baik
4 61-80 Baik
5 81-100 Sangat Baik
(Arikunto, 2009:35)



4. Analisis respon siswa
Angket respon siswa dipergunakan untuk mengukur pendapat siswa terhadap
minat dan motivasi pembelajaran. Adapun angket respon yang digunakan yaitu model
ARCS yang meliputi aspek perhatian, relevansi, keyakinan dan kepuasan. Respon siswa
dihitung berdasarkan rerata dari masing-masing kategori. Untuk pernyataan positif dan
negatif angket minat dan motivasi siswa dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8 Kriteria pernyataan positif dan negatif angket respon siswa
No Pernyataan Positif Pernyataan Negatif Kriteria
1 Sangat Tidak Setuju Setuju Sekali 1
2 Tidak Setuju Setuju 2
3 Kurang Setuju Kurang Setuju 3
4 Setuju Tidak Setpuju 4
5 Setuju Sekali Sangat Tidak Setuju 5

Untuk mengetahui respon siswa terhadap minat dan motivasi pembelajaran,
dengan menggunakan rerata pada masing-masing kategori untuk minat dan motivasi,
sehingga dapat diinterpretasikan melalui tabel 9.
Tabel 9 Kriteria Respon Siswa
No Skor Rerata Kriteria
1 1,00-1,49 Tidak Baik
2 1,50-2,49 Kurang Baik
3 2,50-3,49 Cukup Baik
4 3,50-4,49 Baik


5 4,50-5,00 Sangat Baik
(Jamal, 2009: 71)
5. Analisis efektivitas pembelajaran
Efektivitas pembelajaran diukur dengan menggunakan selisih antara nilai pretest dan
posttest dari ketiga pertemuan. Dimana dalam setiap pertemuan, dicari rata-rata dari
masing-masing skor rata-rata pretest dan post-test. Untuk menentukan efektivitas
pembelajaran dihitung dengan menggunakan rumus:
Efektivitas =
1 2
U U
...(4)

keterangan:
2
U

= Rata-rata skor hasil belajar siswa pada saat post-test

1
U = Rata-rata skor hasil belajar siswa pada saat pretest

10.1.8 Analisis Tes Hasil Belajar
Untuk mengetahui sensitivitas tes hasil belajar yang dibuat dalam bentuk uraian.
Digunakan rumus yang diadaptasi oleh Suriasa sebagai berikut :
S =
N
U U
1 2

(5)

Dimana : S = sensivitas
U
2
= skor yang diperoleh siswa pada uji akhir
U
1
= skor yang diperoleh seluruh siswa pada uji awal
N = skor maksimal yang dapat dicapai oleh seluruh siswa
Butir soal dikatakan sensitif jika (0,00 < S < 1,00). Nilai positif dari S yang
semakin besar menunjukkan bahwa kepekaan butir soal terhadap efek-efek pembelajaran
juga semakin semakin besar. Butir soal yang mempunyai sensitivitas 0,03, maka butir


soal tersebut peka terhadap efek-efek pembelajaran (Aiken & Muhajir dalam Suriasa,
2003:84)
Ketuntasan belajar siswa secara individu dihitung dengan menggunakan
rumus : (p) i =
|
|
.
|

\
|
i
T
T
x 100% (Suriasa, 2003:81)
dimana : (p) i = proporsi ketuntasan belajar siswa secara individu (%)
T = jumlah TPK yang sukses atau skor yang diperoleh tiap siswa
T
I
= jumlah total TPK atau skor total
Ketentuan belajar siswa secara klasikal dihitung dengan menggunakan
rumus : (p)
k
=
|
|
.
|

\
|
i
N
N
x 100% (Suriasa, 2003:81)
di mana : (p)
k
= proporsi ketuntasan belajar siswa secara klasikal (%)
N = banyaknya siswa yang mencapai ketuntasan (p) i 65%
N
I
= banyaknya siswa dalam kelas
Ketuntasan tiap TPK atau tiap butir soal dihitung dengan menngunakan
Rumus : (p)
TPK
= proporsi ketuntasan tiap TPK atau butir soal (%)
J = jumlah skor seluruh siswa per TPK atau butir soal
J
i
= jumlah skor maksimal seluruh siswa per TPK atau butir soal
Sebagai standar ketuntasan belajar siswa digunakan criteria ketuntasan belajar
berdasarkan SKBM pada SMA Negeri 2 Banjarbaru, sebagai berikut :
1. Ketentuan individu yaitu
Jika siswa secara individu mencapai ketuntasan 65 %
2. Ketuntasan klasikal
Jika 85 % dari seluruh siswa mencapai ketuntasan hasil belajar secara individual


3. Ketentuan proporsi butir soal
Jika P 65 % dari tiap butir soal maka pencapaian pembelajaran dapat dikatakan
tuntas.
Menurut Arikunto dalam Mariyuni Ulpa (2008:15) bahwa ketuntasan belajar siswa
dapat ditafsirkan ke dalam kalimat kualitatif, sebagaimana yang dipaparkan pada tabel
berikut :
Tabel.5 Ketuntasan belajar siswa
No Nilai (persentase) Kategori
1 76 % - 100 % Baik
2 51 % - 75 % Sedang
3 26 % - 50 % Kurang
4 0 % - 25 % Buruk


10.1.9 Uji Validitas
Data yang dikumpulkan lewat observasi sebelum turun ke lapangan terlebih dulu diuji
validitas dan reliabilitasnya. Suatu instrumen dikatakan baik sebagai alat pengukur apabila
memenuhi kriteria validitas, reliabilitas, objektivitas, praktibilitas dan ekonomis, namun
yang terpenting adalah validitas dan reliabilitas.
1. Uji Validitas
Suatu skala pengukuran disebut valid bila ia melakukan apa yang seharusnya dilakukan
dan mengukur apa yang seharusnya diukur. Bila skalanya tidak valid maka ia tidak
bermanfaat bagi peneliti karena tidak mengukur atau melakukan apa yang seharusnya


dilakukan. Menurut Ratumanan (2003: 23) untuk mengukur tingkat validasi butir angket
digunakan rumus product moment sebagai berikut:
( )( )
( ) ( ) ( ) ( ) { }




=
2
2
2
2
Y Y N X X N
Y X XY N
r
XY
(5)

Dalam hal ini :
r
XY
= Koefisien korelasi product moment
N = Jumlah sampel/responden
X = Skor butir angket
Y = Skor total angket
Dengan mengkonsultasikan hasil perhitungan ke tabel harga kritik r product moment
dapat diketahui tingkat validitasnya. Dikatakan valid jika r hasil perhitungan lebih besar
dari r tabel.
Korelasi point biserial dipakai ketikasatu situasi yang sering terjadi dalam analisis
butir adalah jika pengembang tes ingin mengetahui seberapa jauh hubungan antara jawaban
pada suatu butir yang diskor secara dikomotis ( 0 atau 1) dengan skor total ( atau criteria
lain yang memiliki distribusi secara kontinu). Untuk keperluan ini digunakan rumus
korelasi point biserial, yakni:

(6)
keterangan:

= koefesien korelasi point biserial


= rerata skor dari subjek yang menjawab benar untuk butir soal yang
akan dicari validitasnya

= rerata skor total

= simpangan baku skor total




p = proporsi siswa yang menjawab benar pada butir soal yang dimaksud
q = proporsi siswa yang menjawab benar pada butir soal yang dimaksud


2. Uji Reliabilitas
Untuk menguji reliabilitas instrumen angket dapat diuji dengan salah satu teknik yaitu
dengan rumus Alpha.

) (

) (7)
keterangan :
r
11
= indek reliabilitas instrumen
n = banyaknya butir (item)

= jumlah varians skor setiap item


= varians skor total


Menurut Kuder dan Richardson (dalam Ratumanan, 2003 : 35)
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar.
Bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal disebut indeks kesukaran
(difficulty index). Besarnya indeks kesukaran antara 0,00 sampai dengan 1,0. Indeks
kesukaran ini menunjukkan taraf kesukaran soal. Soal dengan indeks kesukaran 0,00
menunjukkan bahwa soal itu terlalu sukar, sebaliknya indeks 1,0 menunjukkan bahwa
soalnya terlalu mudah. (Arikunto, 2007 : 207).
Indeks kesukaran (p) suatu butir ditentukan dengan rumus (Ratumanan dan Laurens,
2003: 69):


2
L H
p p
p
+
= (8)

keterangan: p = indeks kesukaran

H
p = proporsi siswa kelompok atas untuk butir soal yang bersangkutan

L
p = proporsi siswa klompok bawh untuk butir soal yang bersangkutan

Tabel 4 Kriteria indeks kesukaran butir soal
No Indeks Kesukaran Kategori
1 p s 0,25 Sukar
2 0,25 < p s 0,75 Sedang
3 0,75 < p Mudah
(Ratumanan dan Laurens, 2003 : 69)
Daya pembeda adalah kemampuan suatu butir soal tes hasil belajar untuk dapat
membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang
kemampuannya rendah.
Untuk mengetahui besar kecilnya angka indek diskriminasi item dapat
dipergunakan rumus yang diadaptasi simbolnya sebagai berikut.
D = P
H
P
L
(9)
keterangan: D = angka indek diskriminasi item

H
p = proporsi siswa kelompok atas untuk butir soal yang bersangkutan

L
p

= proporsi siswa klompok bawh untuk butir soal yang bersangkutan





Tabel 5 Kategori angka indeks daya pembeda
No
Besarnya angka indeks diskriminasi
item (D)
Kategori
1 0,40<D Butir sangat baik
2 0,30<D0,40 Butir baik
3 0,20<D0,30 Butir cukup
4 D0,20 Butir jelek

(Ratumanan, 2009 : 70 71)

Ketuntasan individu P
i
tercapai menurut standar ketuntasan yang ditetapkan oleh SMA
Negeri 2 Banjarbaru jika siswa mencapai nilai atau skor total 60. Berarti bila nilai siswa < 60,
maka dikatakan tidak tuntas.
Untuk menentukan ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal dihitung dengan
menggunakan rumus (Trianto,2008:171):

()
(

) (10)
keterangan: P
k
= proporsi ketuntasan belajar siswa secara kasikal
N = banyak siswa yang mencapai ketuntasan (P
i
60)
N
i
= banyak siswa dalam kelas

Ketuntasan klasikal P
k
tercapai menurut standar ketuntasan yang ditetapkan oleh SMA
Negeri 2 Banjarbaru yaitu jika 75% dari seluruh siswa mencapai niai 60.





10.1.10 Indikator Keberhasilan
1. Indikator Produk
Daya serap perorangan
Seseorang siswa disebut telah tuntas belajar bila mencapai nilai 60 %
2. Indikator Proses
Daya serap klasikal
Suatu kelas dikatakan tuntas belajar bila kelas tersebut mencapai nilai 65 %
3. Pengelolaan KBM minimal baik
4. Aktivitas guru dan siswa minimal baik
5. Keterampilan siswa melakukan diskusi minimal baik
6. Respon siswa terhadap pembelajaran minimal baik
XI. Jadwal Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap Tahun Ajaran 2010/2011 bulan Februari
s.d. Mei 2011 di Kelas XI IPA 3 SMA Negeri 2 Banjarbaru yang beralamat di Jl.
Perhutani Mentaos No. Telpon (0511-772591) Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70711.










DAFTAR PUSTAKA

Anisa, Riza. 2010. Pengembangan Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing pada
Materi Ajar Fluida Statis di SMA KORPRI Banjarmasin. Banjarmasin :
Tidak dipublikasikan.
Arifin, zainal. 1991. Evaluasi Instruksional (Prinsip, teknik, prosedur). Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Arikunto, Suharsmi. 2006. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta:
Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsmi. 2007. Manajemen Penelitian). Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Bungin, Burhan. 2004. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Hadeli. 2006. Metode Penelitian Kependidikan. Ciputat: Quantum Teaching.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/20/teknologi-pembelajaran/
http///: Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw Ipotes.htm).
Kanginan, Marthen. Fisika untuk SMA Kelas XI Semester 2. Jakarta : Erlangga.
Mega, Margaretha Natalia dan Kania Islami Dewi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas.
Bandung: Tinta Emas Publishing.
Sudibyo, Elok. 2003. Teori Strategi-Strategi Pengajaran. Jakarta : Direktorat Jendral
Pendidikan Dasar dan Menengah Pendidikan Nasional.
Suprijuno, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka
Publisher.
Zainuddin. 2008. Analisis Karakteristik Umum materi Ajar Fisika Serta Strategi Belajar
dan Mengajar. Banjarmaasin : FKIP UNLAM.


Zainuddin dan Suriasa. 2008. Strategi Belajar-Mengajar Fisika. Banjarmaasin : FKIP
UNLAM.

You might also like