You are on page 1of 12

Oleh : Feriyadi/Aqidah Filsafat 5

1.1

Latar Belakang

Akhir-akhir ini di kalangan sebagian cendikiawan muslim telah berkembang paham yang sering disebut sebagai relativisme tafsir. Suatu paham yang menafikan adanya kebenaran mutlak. Kebenaran yang ada semuanya relatif, bisa jadi benar suatu waktu namun bisa salah pada waktu yang lain. Kebenaran mutlak yang diyakini oleh penganut paham ini hanyalah milik Tuhan yang sama sekali tidak mampu dijangkau oleh akal manusia. Jadi sebenarnya tidak ada kebenaran mutlak yang lahir dari akal manusia.1 Termasuk pemahaman manusia ketika memahami nash (teks) sangat relatif tergantung si penafsir. Pemahaman semacam ini sengaja dipopulerkan oleh kalangan kaum yang mengatasnamakan dirinya Islam liberal. Hal ini dimaksudkan agar kaum muslimin keluar dari jalur yang sudah ada. Mereka menyebut orang-orang yang masih berpegang pada metode tafsir yang telah dirumuskan oleh generasi terdahulu sebagai kalangan anti-pembaruan. Akibatnya mereka banyak mencela para ulama terdahulu semacam Imam asy-SyafiI yang telah berjasa meletakkan kaidah Ushul Fiqh atau Ibnu Katsir yang merumuskan metode tafsir yang telah dipakai berabad-abad oleh umat Islam. Menurut pemahaman ini tidak ada kebenaran yang bisa diterima oleh semua pihak. Karena segala sesuatu yang lahir dari akal semuanya relatif, sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan zaman. Oleh sebab itu, hukum pun akan berubah seiring dengan berubahnya zaman dan tempat, ini karena hukum Menurut Nurcholish, jika ada orang yang menyakini dirinya telah mendapatkan kebenaran mutlak, tidak saja dipandang keliru namun "mengandung kontradiksi dalam istilah", sebab, bagaimana mungkin suatu wujud nisbi seperti manusia dapat mencapai suatu wujud mutlak. Justru Tauhid mengajarkan bahwa yang mutlak hanyalah Allah, sehingga Kebenaran Mutlak pun hanya ada padaNya belaka. Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta: 1992), hal. lxiii
1

dipandang sebagai produk akal dan budaya. Tidak ada juga keyakinan yang satu yang diyakini oleh semua pihak, karena semua orang dianggap bebas untuk menafsirkan segala sesuatu termasuk teks Al-Quran.2 Maka kebenaran yang lahir akan berbeda tergantung siapa yang menafsirkan. Mereka berpendapat siapa pun orangnya jika masih pada level manusia tentu kebenaran yang dihasilkan sangat relatif dan terbatas, parsial-kontekstual pemahamannya, dan bisa saja keliru.3 Di antara tokoh intelektual muslim Indonesia yang mengakui relativisme tafsir adalah Musdah Mulia dan diantara produk penafsirannya adalah yang berkaitan dengan homoseksualitas. Menurutnya, secara teologis penolakan sebagian besar masyarakat Islam terhadap homoseksual dinisbahkan pada ayat-ayat AlQuran yang berkisah tetang Nabi Luth as.4 Di samping Al-Quran ditemukan juga sejumlah hadis Nabi.5 Informasi dan petunjuk yang dapat disimpulkan dari sejumlah ayat dan hadis itu sebagai berikut: Pertama, Luth adalah Nabi dan Rasul yang diutus Allah swt sebagai pembawa risalah tauhid sebagaimana nabi dan rasul lainnya. Kedua, Nabi Luth diutus kepada suatu kaum untuk mengajarkan manusia cara berketuhanan dan berkemanusiaan yang benar. Ketiga, umat Luth melakukan kezaliman, ketidakadilan, dan kedurhakaan sehingga Allah murka dan menimpakan bencana, azab, dan malapetaka yang dahsyat. Keempat, Salah satu bentuk pelanggaran kaum Luth adalah mengekspresikan perilaku seksual terlarang menurut
2

Dalam pandangan Abu Zayd, al-Quran hanyalah fenomena sejarah yang tunduk pada peraturan sejarah, 29 teks linguistik, 30 dan teks manusiawi yang nisbi (samar) dan maknanya selalu berubah, karena telah masuk dalam pemahaman manusia yang relatif. Nasr Hamid Abu Zayd, alTafkir fi zaman alTakfir, dhiddu ljahl wa lzayf wa lkharafah, (Maktabah Madbuli, Kairo: 2003) cetakan II, hal. 210; dan alKhithab wa lTawil, (alMarkaz alTsaqaf alArabi, Beirut: 2000), cetakan pertama, hal. 205 Lihat pendapat Prof. Amin Abdullah yang dikutip dalam buku Hermeneutika & Tafsir Al-Quran yang ditulis oleh Adian Husaini, M.A. dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Di antaranya, Q.S. al-Naml, 27: 54-58, Hud, 11:77-83; al-Araf, 7: 80-81; al-Syuara, 26:160-175). Di antaranya, hadis riwayat Tabrani dan al-Baihaqi; Ibnu Abbas; Ahmad, Abu Dawud, Muslim dan Tirmizi.
5 4 3

agama; mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, dan penganiayaan dalam bentuk sodomi. Al-Quran menggunakan empat kosa kata yang tidak secara langsung dapat diartikan liwath atau sodomi.6 Kelima, ada kesan bahwa pengikut Luth adalah biseksual. Sebab, dikatakan kaum laki-laki mendatangi sesama jenis dan berpaling dari isteri-isteri mereka. Umat Luth mengekspresikan perilaku seksual analseks (sodomi atau liwath) dengan cara yang amat keji dan tercela. Ada indikasi kuat telah terjadi perilaku kekerasan dan eksploitasi berbasis seksual. Keenam, Allah juga menimpakan azab pedih terhadap isteri Luth, padahal tidak ada informasi dia lesbian atau mengekspresikan perilaku seksual terlarang. Hal itu menunjukkan bahwa murka Allah kepadanya bukan karena faktor homo. Ketujuh, Laknat dan azab pedih dari Allah bukan hanya monopoli kaum Luth yang homo, melainkan juga mengenai umat nabi-nabi lainnya yang bukan homo (tidak ada informasi bahwa mereka homo), seperti umat nabi Nuh, Hud, Syuaib, Saleh, dan Musa. Bahkan, azab bagi umat Nuh jauh lebih dahsyat sehingga peristiwa itu disebut kiamat pertama. Artinya, Allah selalu murka kepada umat yang berbuat keji dan zalim serta melampaui batas, tidak peduli dengan orientasi seksual dan identitas gender mereka. Kedelapan, Meskipun dalam hadis, seperti hadis Ibnu Abbas, diperintahkan membunuh kaum homo, namun Al-Quran tidak menyebutkan perintah untuk mendiskreditkan kaum homo, apalagi membunuhnya. Dan kesembilan, Allah Maha Tahu siapa yang patut menerima azab-Nya; dan siapa pula berhak mendapatkan rahmat dan karunia-Nya.7 Manusia -apa pun orientasi seksualnya- hanya dapat berfastabiqul khairat, berlomba berbuat kebajikan seoptimal mungkin. Jadi, interpretasi tentang homo selalu dikaitkan dengan kisah Luth. Umumnya, umat Islam menganggap pemahaman itu sudah final dan mutlak, tidak dapat dipertanyakan lagi. Namun, kajian kritis akibat tuntutan dinamika masyarakat, serta penemuan sains dan teknologi membawa kepada sejumlah pertanyaan baru: Apakah pengikut Luth dilaknat hanya karena memiliki orientasi Yaitu al-fahisyah (al-Araf, 7:80); al-sayyiat (Hud, 11:78); al-khabaits (al-Anbiyaa, 21: 74) dan al-munkar (al-Ankabuut, 29:21).
6 7

(al-Ankabuut, 29:21).

seksual homo yang tidak mungkin diingkarinya karena bersifat takdir?; atau karena mereka mengekspresikan perilaku seksual analseks secara keji, seperti sodomi? Lalu, apakah kaum homo yang tidak mengekspresikan perilaku seksual secara keji, yakni perilaku seksual yang mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, eksploitasi dan membahayakan kesehatan, seperti sodomi, perkosaan, pedofili, berzina, melacurkan diri, dan gonta-ganti pasangan- juga tetap akan dilaknat? Apakah laknat Allah kepada kaum Luth yang homo lebih dahsyat daripada laknat Allah kepada umat nabi Nuh yang bukan homo? Sementara, Al-Quran mengisahkan azab dan siksaan Allah kepada umat Nuh -yang bukan homo- (tidak ada informasi mereka homo) adalah paling dahsyat sehingga disebut kiamat pertama karena memusnahkan semua makhluk, kecuali sedikit pengikut Nuh. Selain itu, pertanyaan lain: mengapa para ulama begitu antusias menceritakan kisah Luth sebagai dakwah anti homo? Jika ditelisik lebih mendalam, maka pernyataan Musdah Mulia tersebut berbeda jauh dengan penafsiran para ulama pendahulu kita. Sebagaimana apa yang ditulis oleh Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya, dia menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit kaum Luth, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Perilaku seksual antar sesama jenis ini oleh Buya Hamka disebutnya sebagai lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang. Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutipsebuah hadits Rasulullah saw: dan apabila telah banyak kejadian laki-laki mendatangi lakilaki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.8 Lebih lanjut, Buya Hamka mengutip riwayat dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: Sahabat-sahabat Rasulullah saw yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi dan didatangi itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan wajib kedua orang itu dibunuh.9 Bahkan, jauh-jauh masa, Rasulullah menyatakan sangat khawatir apabila
8 9

(HR at-Tirmidzi, al-Hakim,dan at-Tabhrani). HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz 8


4

umatnya kelak melakukan perbuatan yang semisal dengan perbuatan umat nabi Luth. Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth. 10 Pendapat ini lah yang dianut oleh Imam Syfi, al-Nshir, al-Qsim ibn Ibrahim (pengarang kitab al-Muntah) dari hadits Ikrimah, dari Ibnu Abbas tentang hukum rajam pelaku homoseks (al-lthiyyah). Kemudian, mereka berbeda pendapat dalam cara membunuhnya. Diriwayatkan bahwa menurut Imam Ali, dibunuh pakai pedang, kemudian dibakar, karena besarnya maksiat yang dilakukannya. Pendapat ini lah yang diambil oleh Abu Bakar ketika diadakan musyawarah (al-syr). Berbeda dengan mereka adalah Umar dan Utsman, yang berpendapat bahwa hukuman bagi mereka adalah ditimpa dinding. Menurut Ibnu Abbs dijatuhkan dari gedung yang sangat tinggi yang ada di kota tempat berlakunya perbuatan itu_red. Menurut Ridha, kedua riwayat ini adalah lemah, yang paling lemah adalah riwayat kedua. Tapi, pengarang buku al-Syif menginformasikan bahwa para sahabat ber-ijm bahwa pelaku homoseks hukumannya bunuh.11 Disebutkan juga dalam Ensiklopedi Hukum Islam, bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Ensiklopedi itu mengutip riwayat, Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.12 Tidak hanya itu, ulama besar Imam Syafii rahimahullah juga menyatakan bahwa pelaku homoseksual pantas dirajam

(dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya itu masih bujangan atau sudah menikah.

10 11

(HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).

Rasyid Ridha, Tafsir al-Manr, (Cairo: Dar al-Manar, cet. II, 1366 H/1948 M), 8: 520.
12

(HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-

Baihaki).

Maka berdasarkan informasi dan keterangan yang didapat, peneliti ingin membahas masalah ini dengan mengeksplor dari beberapa elemen untuk menjelasakan dan membahas masalah ini dengan judul Kritik Atas Tafsir Homoseksual Prof. Dr. Siti Musdah Mulia. I.2 Rumusan Masalah Dari beberapa penjelasan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lagi tentang elemen-elemen yang berhubungan dengan beberapa permasalahan tentang penafsiran homoseksual Musdah Mulia. Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian, maka dibutlah rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana penafsiran Musdah Mulia terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan homoseksual dan bagaimana kritik Islam penafsiran Musdah Mulia tersebut. I.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah: a) b) Untuk mengetahui penafsiran homoseksual Musdah Mulia. Untuk mengetahui kritik Islam tentang penafsiran homoseksual

Musdah Mulia. I.4 Manfaat Penelitian Penulis berharap dengan dilaksanakannya penelitian ini agar berguna dan bermanfaat, diantara manfaat tersebut adalah sebagai berikut: a) Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah untuk mengetahui

penafsiran homoseksual Musdah Mulia dan bagaimana kritik Islam terhadap penafsiran homoseksual Musdah Mulia. b) Maka dari penelitian ini akan ditemukan alasan-alasan yang

melatarbelakangi kenapa Musdah Mulia sampai pada kesimpulan bahwa Islam membolehkan homoseksual dan bagaimana Islam dalam memandang penafsiran homoseksual Musdah Mulia.

I.5 Kajian Pustaka I.5.1 Penelitian Terdahulu Pembahasan tentang masalah homoseksual yang merupakan ranah dalam kajian psikologi telah dibahas dan dikaji oleh beberapa peneliti terdahulu. Akan tetapi sebatas pengetahuan peneliti, pembahasan dan kajian tersebut belum ada yang memfokuskan kajiannya pada penafsiran homoseksual dalam pandangan intelektual muslim yang menyimpang dan bagaimana kritik Islam terhadap konsep tersebut. Beberapa kajian yang telah dilakukan sebelumnya adalah: skripsi ditulis oleh Lia Indra Andriana, dengan judul Tingkat Pengetahuan Homoseksual tentang Manifestasi Oral Sifilis di Organisasi Gaya Nusantara Surabaya, dalam rangka memperolah gelar stata satu dalam Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya Indonesia pada tahun 2008. Dalam skripsi ini disimpulkan bahwa pengetahuan Homoseksual di Gaya Nusantara Surabaya pada pengetahuan dasar dan pengetahuan penularan dan pengetahuan manifestasi oral penyakit sifilis masih kurang yang dapat dilihat pada distribusi dan persen nilai jawaban benar. Skripsi yang ditulis oleh Trestasya Kusumah yang berjudul Ketidakpuasan Terhadap Citra Tubuh Pada Homoseksual Lajang (Studi Kasus Indonesia dan Spanyol) dalam rangka memperoleh gelar strata satu fakultas psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2007. I.5.2 Kerangka Teori Homo seksual adalah suatu keinginan membina hubungan romantis atau hasrat sosial kepada sesama jenis, jika sesama pria dinamakan gay dan sesama wanita dinamakan lesbian (female homosex). Lawan homosex adalah heterosex, artinya hubungan seksual antara orang-orang yang berbeda kelaminnya (seorang pria dengan seorang wanita). Kalau kita telaah sejarah peradaban manusia, sebenarnya fenomena penyimpangan seksual sudah muncul jauh sebelum masa Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada masa Nabi Luth yang diutus untuk kaum Sadoum. Hampir semua kitab tafsir mengabadikan kisah tersebut ketika menyingkap kandungan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah nabi Luth.

Dalam Islam, homoseksual disebut liwat atau amal qaumil lutin. Istilah terakhir ini berarti perbuatan kaum luth karena menurut riwayat perbuatan ini dilakukan pertama kali oleh kaum nabi luth. Sementara kata lesbian berasal dari kata esbos sebuah pulau di luar aegea, yunani tua tempat seorang wanita bernama sappho hidup. Sappo adalah tokoh mitos yunani konyu yang menperjuangkan hak-hak perempuan. Sappho jatuh cinta kepada beberapa pengikutnya dan menulis puisipuisi cinta untuk mereka. menurut sappho, kecantikan wanita tidak bisa dipisah dari aspek seksualnya. oleh karena itu kepuasan seksual juga mungkin diperoleh dari sesama wanita. sejak itu namanya dikaitan dengan lesbinisme. Tidak perlu diragukan lagi perilaku seks yang menyimpang seperti homoseksual ini sangat dilaknat Allah. Al Qur'an menyebut perbuatan ini sebagai perbuatan maksiat yang melampaui batas.13 Allah meciptakan laki-laki dan perempuan, berpasang-pasangan, adalah supaya mereka bisa berinteraksi secara seksual dengan lawan jenisnya (heteroseksual). Agar mereka bisa meciptakan sebuah keluarga yang bahagia, normal, sehat dan berketurunan. Laki-laki diciptakan Allah untuk perempuan dan begitu pula sebaliknya. Perbuatan homoseksual jelas hanya untuk mencari kepuasan seksual semata. Kaum gay dan lesbi yang hidup dalam gemilang homoseksualitas tidak akan mengenal namanya anak, keluarga, ayah dan ibu dalam arti sebenarnya. Dalam Islam, hingga kini, praktik homoseksual tetap dipandang sebagai tindakan bejat. Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut."14 Namun, paham humanisme telah menyihir banyak orang. Nilai-nilai Barat modern mulai menggusur nilai agama. Yang penting adalah progresivitas, kemajuan. Semua harus tunduk pada kemajuan. Ajaran-ajaran agama yang bertentangan
13 14

Al-Quran surat Al Araf 80-84 (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, anNasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-

Baihaki)

dengan nilai-nilai kemanusiaan harus diubah. Dibuatlah istilah baru, seperti "Fiqih Humanis", "Fiqih yang lebih manusiawi", dan sebagainya. Untuk itu dalam penelitian ini, cara kerja yang ditempuh dalam meneliti penafsiran homoseksual Musdah Mulia adalah seperti apa yang berlaku dalam penelitian tema-tema penafsiran lainnya, yaitu mencari kesimpulan-kesimpulan yang mempunyai dasar obyektif melalui asas-asas yang bisa diterima oleh dalam penafsiran Al-Quran, tetapi dengan tidak mengabaikan peran afektif, estetis, dan moral sebagai data pengalaman religious yang amat kaya. Setelah diperoleh kesimpulan dari penafsiran homoseksual Musdah Mulia tersebut, kemudian penulis mencoba menganalisanya dari sudut pandang Islam. 1.6 Sumber Data

Adapun rujukan yang membantu penulis untuk sampai pada tujuan ada dua jenis yaitu: 1.6.1 Sumber Data Primer Yaitu buku-buku karangan Musdah Mulia, yang berhubungan dengan judul, diantaranya: Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, dalam buku ini

dijelaskan tentang pandangan dan analisa tajam Musdah Mulia Tentang gender dalam pandangan Islam dan dilihat dari segi kontekstual. Kemudian buku yang ditulis oleh Musdah Mulia yang berjudul Perempuan dan Politik, Islam Menggugat Poligami, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan dan buku Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia. Kesemua buku tersebut merupakan buku karangan Musdah Mulia yang berisi tentang penjelasan perempuan dan hubungannya dengan kaum laki-laki terlebih dilihat dari segi politik dan budaya (kontekstual). 1.6.2 Sumber Data Sekunder

Yaitu dari beberapa buku yang berhubungan dengan judul penelitian, diantaranya:

1). Buku karangan Ach, M Khodibul Adib dkk, Indahnya Kawin Sesama Jenis, eLSA, Semarang, 2005., dalam buku ini dibahas tentang penjelasan dan alasan bagaimana seseorang melakukan pernikahan yang dilakukan sesame jenis. 2). Buku karya Stuerman. Amin, Qasim, Tahrir al-Mar'ah, Dar al-Ma`arif, Kairo, 1970., dalam buku ini dibahas tentang kebebasa perempuan. 3). Kitab tafsir karya Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Jilid 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., dalam kitab ini dijelaskan beberapa penafsiran al-Quran tentang perempuan. 4). Kitab karangan Al-Tabataba`i, Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur'an, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1397 H., dalam kitab ini dijelaskan beberapa metode dalam penafsiran kitab suci Al-Quran. 1.7 Metode Penelitian

Penulis menggunakan beberapa metode penulisan, diantaranya: 1.7.1 Metode Deskriptif (Descriptive Method) Yaitu metode yang digunakan dengan cara menjelaskan konsep-konsep yang berhubungan dengan judul penelitian. Teknik analisis deskriptif adalah teknik dalam menemukan makna baru untuk sesuatu yang diinginkan dan menjelaskan kondisi keberadaan, menentukan frekwensi kemunculan sesuatu dan mengkategorikan informasi.15 Dengan metode ini, penulis mengetahui penafsiran homoseksualitas Musdah Mulia dan bagaimana kritik Islam terhadap penafsiran homoseksualitas Musdah Mulia. 1.7.2 Metode Kritis Analitis (Critical Analysis Method) Yaitu memahami dengan arti memperjelas suatu masalah atau informasi yang tidak diketahui dan selanjutnya menjadi tahu, memecahkan berarti meminimalkan atau menghilangkan masalah, dan mengantisipasi berarti

Prof. Dr. Sudarwan Danim. Menjadi Peneliti Kualitatif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Hal 41

15

10

mengupayakan agar masalah tidak terjadi.16 Setelah penulis mengumpulkan datadata yang berhubungan dengan judul penelitian, maka penulis menggunakan metode ini untuk menganalisa penafsiran homoseksualitas Musdah Mulia. 1.8 Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan yang digunakan dalam proposal ini terbagi dalam beberapa bab dan sub bab. Untuk memudahkan dalam memahami proposal ini, maka peneliti menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan, dalam bab ini terdiri dari: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori dan atau telaah pustaka, metode penelitian; (pendekatan dan jenis penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, tahapan-tahapan penelitian), dan sistematika pembahasan. Bab kedua, penulis memaparkan profil atau biografi Musdah Mulia dari mulai pendidikannya, karya-karyanya yang berkaitan dengan perempuan sampai pada pemikirannya-khususnya tentang penafsiran Homoseksualitas menurutnya dan beserta definisi umum tentang homoseksualitas. Bab ketiga, penulis menjelaskan penafsiran homoseksualitas Musdah Mulia. Dalam bab ini selain akan dijelaskan tentang penafsiran homoseksualitas Musdah Mulia juga akan dimunculkan serta dibuktikan kritik Islam terhadap penafsiran homoseksualitas Musdah Mulia. Sedangkan bab keempat, adalah merupakan bab terakhir yang berisi penutup dan kesimpulan.

Prof. Dr. Sugiono. Metode Penelitian Kuntitatif dan Kualitatif dan R&D (Bandung; Alfabeta, 2008, cet ke-5), p. 2-3

16

11

1.9 Daftar Rujukan Sementara Al-Quran al-Karim Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta: 1992) Nasr Hamid Abu Zayd, alTafkir fi zaman alTakfir, dhiddu ljahl wa lzayf wa lkharafah, (Maktabah Madbuli, Kairo: 2003) cetakan II, hal. 210; _________________, alKhithab wa lTawil, (alMarkaz alTsaqaf alArabi, Beirut: 2000), cetakan pertama, hal. 205 Prof. Amin Abdullah yang dikutip dalam buku Hermeneutika & Tafsir AlQuran yang ditulis oleh Adian Husaini, M.A. dan Abdurrahman AlBaghdadi. HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz 8 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manr, (Cairo: Dar al-Manar, cet. II, 1366 H/1948 M) Prof. Dr. Sudarwan Danim. Menjadi Peneliti Kualitatif Pelajar, 2002) (Yogyakarta: Pustaka

Prof. Dr. Sugiono. Metode Penelitian Kuntitatif dan Kualitatif dan R&D (Bandung; Alfabeta, 2008, cet ke-5) Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yoyakarta, 2007 -----------------------, Islam Menggugat Poligami, Gramedia, Jakarta, 2004.

12

You might also like