You are on page 1of 28

Lingkungan Sosial serta Pengaruhnya Terhadap Dunia Bisnis Dalam dunia bisnis, para pebisnis yang bermain di dalamnya

sering menghadapi permasalahan ketidakpastian yang bisa ditimbulkan dari berbagai hal. Seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Peristiwa-peristiwa seperti bencana alam, meningkatnya kemiskinan masyarakat, menjadi permasalahan-permasalahan sosial yang berdampak pada dunia binis. Lingkungan sosial merupakan salah satu lingkungan yang berpengaruh kuat terhadap aktivitas bisnis, yang akan menentukan apakah bisnis tersebut akan berhasil atau tidak. Bisnis sebagai suatu entitas, letaknya berada di tengah-tengah lingkungan bisnis, dimana setiap perubahan dalam lingkungan tersebut akan mempengaruhi cara-cara dalam bertindak. Perubahan yang terjadi juga mempengaruhi kemampuan adaptasi organisasi, yang pada akhirnya akan menentukan kesuksesan atau kegagalan bisnis. Salah satu aspek dari lingkungan bisnis adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial mempunyai arti yang sangat penting dalam dunia bisnis. Apabila lingkungan sosial bersifat kondusif (mendukung), maka hal tersebut akan mendorong organisasi untuk melakukan keputusan berinvestasi pada lingkungan yang dirasakannya sesuai. Namun sebaliknya, jika lingkungan sosial tidak mendukung, maka organisasi harus berhati-hati dalam mengambil keputusan berinvestasi. Lingkungan sosial merupakan aspek-aspek dari interaksi manusia melalui kelompok, apakah itu dekat ataupun jauh, yang dapat berpengaruh pada kelangsungan dan pertumbuhan perusahaan (Ancok, 2009). Interaksi sosial tidak akan terjadi bila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communication). Menurut para ahli sosial, bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition), akomodasi (accomodation), dan dapat juga berbentuk pertentangan (conflict). Terdapat empat cara untuk menyikapi dampak perubahan lingkungan sosial terhadap aktivitas bisnis. Pertama, bahwa perubahan lingkungan sosial secara alamiah menimbulkan peluang maupun ancaman terhadap aktivitas bisnis. Kedua, perubahan lingkungan sosial digunakan oleh organisasi sebagai faktor penentu untuk membuat keputusan berinvestasi. Ketiga, perubahan lingkungan sosial mempengaruhi keputusan organisasi untuk menjalankan bisnis di lokasi tertentu. Dan yang terakhir adalah, perubahan yang ada menuntut organisasi untuk menerapkan cara berpikir baru dalam menjalankan bisnis. (Ancok, 2009). Dengan penjelasan pada bahasan lingkungan sosial dalam dunia usaha, patut pula diperhatikan mengenai kelompok sosial dan gaya hidup dalam masyarakat. Kelompok-kelompok

dan gaya hidup yang berkembang dalam masyarakat ini, tentu menentukan keberlangsungan bisnis, sebagai suatu proses yang tidak pernah lepas dari lingkungannya. Dampak dan pengaruh dari lingkungan sosial terhadap dunia bisnis ini seharusnya menjadi perhatian para pebisnis dalam menjalankan usahanya. Sebaliknya, unia usaha pun dipahami memiliki dampak dan pengaruh balik terhadap lingkungan sosial. Dampak dari dunia usaha banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat secara umum baik langsung maupun tidak langsung. Baik masyarakat perkotaan dimana dunia industri berlokasi, maupun masyarakat luas pada umumnya sebagai distribusi dan target pemasaran produk dari dunia usaha tersebut. Globalisasi adalah issue yang besar yang bergaung sekian tahun terakhir. Dengan makin berkembangnya jaringan informasi dan teknologi maka makin terbukalah gerbang globalisasi dan makin kaburlah batas-batas antara negara dan antar masyarakat. Globalisasi membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Informasi dan teknologi yang masuk tanpa batas merupakan faktor-faktor yang mendukung dalam dunia bisnis. Sehingga dengan berkembangnya kedua hal tersebut maka berkembang juga dunia bisnis yang ada di Indonesia.

B.

Peluang Bisnis yang Dapat Diciptakan Lingkungan sosial sangat mempengaruhi seorang pebisnis dalam menciptakan peluang usaha. Seorang pebisnis harus jeli dalam melihat peluang bisnis apa yang dapat diciptakan dengan melihat kepada faktor sosial ini. Apabila pebisnis dapat melihat peluang bisnis dengan tepat, keuntungan usaha dapat dengan mudah diraih, selain tentu saja dapat mengambangkan dunia usaha secara umum. Dari uraian diatas, terdapat beberapa peluang bisnis yang dapat diciptakan dengan memasukkan lingkungan sosial sebagai salah satu faktor keberhasilan.

Bisnis Online Melalui Internet Sebelumnya, telah diuraikan bahwa globalisasi yang masuk ke Indonesia membuat informasi dan teknologi yang masuk semakin berkembang. Perkembangan informasi dan teknologi ini sangat menguntungkan terutama bagi dunia bisnis. Aktivitas-aktivitas bisnis

menjadi lebih mudah dan cepat. Banyak perusahaan yang melakukan komputerisasi agar kegiatan bisnisnya menjadi lebih efisien. Tidak hanya pada perusahaan, fenomena komputerisasi juga melanda masyarakat di berbagai lapisan sosial. Penggunaan komputer menjadi kebutuhan bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Masuknya jaringan internet menambah arti penting komputer bagi perusahaan dan masyarakat. Di Indonesia sendiri, internet mulai masuk pada awal tahun 1990-an. Hingga saat ini, menurut data Internet World Stats, pengguna internet di Indonesia sampai akhir tahun 2008 adalah sebanyak 10,5% dari populasi penduduk Indonesia, yang berjumlah sekitar 237,512,355 jiwa. Pemanfaatan internet ini, pada masa sekarang khususnya, sangat membantu masyarakat baik dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, maupun dalam melakukan aktivitas bisnis. Dalam kegiatan sehari-hari contohnya, banyak masyarakat yang memanfaatkan surat kabar elektronik yang dapat diakses secara online. Dalam dunia bisnis, internet merupakan salah satu teknologi yang sangat membantu memperlancar kegiatan bisnis. Contohnya dengan pemanfaatan surat elektronik (e-mail). Sebuah perusahaan dapat mengirimkan berkas kepada perusahaan lain dengan berupa surat elektronik. Kelebihannya, dokumen yang dikirimkan akan cepat diterima oleh perusahaan penerima sehingga dapat memangkas waktu dan mempercepat proses bisnis selanjutnya. Namun sekarang, pemanfaatan internet tidak hanya pada sebatas itu saja. Internet dapat juga dimanfaatkan sebagai alat untuk mencari penghasilan. Ini merupakan salah satu metode baru dalam berbisnis, dimana kegiatan bisnis yang dilakukan di sini memanfaatkan internet (terutama blog dan website) sebagai medianya. Ini merupakan satu peluang bisnis yang baru yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Tipe-tipe bisnis online yang ada sekarang pun bermacam-macam. Ada yang memanfaatkan fasilitas pemasangan iklan dalam website, ada yang melakukan kegiatan marketing melalui sebuah website, dan lain-lain. Bisnis online seperti ini menggeser tipe bisnis tradisional, dimana tipe bisnis tradisional mempunyai keterbatasan lingkup interaksi antara pembeli dan penjual. Dengan adanya bisnis online seperti ini, keterbatasan dari tipe bisnis internasional tersebut dapat diatasi. Sehingga dengan adanya kemudahan-kemudahan seperti ini, bisnis online semakin diminati dimasyarakat. Peluang bagi para pebisnis juga semakin besar dalam mendapatkan keuntungan karena adanya pemanfaatan internet dalam bisnis online.

Hambatan-hambatan yang ada: a. Di Indonesia terjadi ketidakmerataan akses internet sehingga untuk daerah yang belum terjangkau internet akan sangat susah dalam memanfaatkan bisnis online. b. Pemanfaatan internet dalam bisnis online membuat informasi yang dimiliki oleh pebisnis dapat diketahui oleh pengguna internet, misalnya oleh pesaing bisnis. c. Permasalahan keamanan menjadi hambatan karena apabila melakukan kegiatan bisnis online, maka sistem pembayaran pun dilakukan secara online sehingga akan sangat berisiko pada datadata pribadi konsumen.

Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. Hal ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam masyarakat telah ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan dan masalah etika. Masalah seperti perusakan lingkungan, perlakuan tidak layak terhadap karyawan, dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidak nyamanan ataupun bahaya bagi konsumen adalah menjadi berita utama surat kabar. Peraturan pemerintah pada beberapa negara mengenai lingkungan hidup dan permasalahan sosial semakin tegas, juga standar dan hukum seringkali dibuat hingga melampaui batas kewenangan negara pembuat peraturan (misalnya peraturan yang dibuat oleh Uni Eropa. Beberapa investor dan perusahaam manajemen investasi telah mulai memperhatikan kebijakan CSR dari Surat perusahaan dalam membuat keputusan investasi mereka, sebuah praktek yang dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab sosial" (socially responsible investing). Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat for Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari

CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik dimata komunitas tersebut yang secara langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial di atas. Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal. "dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa diatas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama....setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut [1] Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yaitu suatu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang secara khusus bergerak dibidang "pembangunan berkelanjutan" (sustainable development) yang menyatakan bahwa: " CSR adalah merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya".[2]. [sunting] Pelaporan dan pemeriksaan Untuk menunjukkan bahwa perusahaan adalah warga dunia bisnis yang baik maka perusahaan dapat membuat pelaporan atas dilaksanakannya beberapa standar CSR termasuk dalam hal:

Akuntabilitas atas standar AA1000 berdasarkan laporan sesuai standar John Elkington yaitu laporan yang menggunakan dasar triple bottom line (3BL) Global Reporting Initiative, yang mungkin merupakan acuan laporan berkelanjutan yang paling banyak digunakan sebagai standar saat ini. Verite, acuan pemantauan Laporan berdasarkan standar akuntabilitas sosial internasional SA8000 Standar manajemen lingkungan berdasarkan ISO 14000

Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam aspek sosial. Smentara aspek lingkungan--apalagi aspek ekonomi--memang jauh lebih mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu industri yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekedar "pemanis bibir" (suatu basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep CSR dan metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang sekarang terjadi adalah peningkatan kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku kepentingannya. [sunting] Alasan terkait bisnis (business case) untuk CSR Skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu organisasi dapat berbeda-beda tergantung dari sifat perusahaan tersebut. Banyak pihak berpendapat bahwa amat sulit untuk mengukur kinerja CSR, walaupun sesungguhnya cukup banyak literatur yang memuat tentang cara mengukurnya. Literatur tersebut misalnya metode "Empat belas poin balanced scorecard oleh Deming. Literatur lain misalnya Orlizty, Schmidt, dan Rynes[3] yang menemukan suatu korelasi positif walaupun lemah antara kinerja sosial dan lingkungan hidup dengan kinerja keuangan perusahaan. Kebanyakan penelitian yang mengaitkan antara kinerja CSR (corporate social performance) dengan kinerja finansial perusahaan (corporate financial performance) memang menunjukkan kecenderungan positif, namun kesepakatan mengenai bagaimana CSR diukur belumlah lagi tercapai. Mungkin, kesepakatan para pemangku kepentingan global yang mendefinisikan berbagai subjek inti (core subject) dalam ISO 26000 Guidance on Social Responsibility-direncanakan terbit pada September 2010--akan lebih memudahkan perusahaan untuk menurunkan isu-isu di setiap subjek inti dalam standar tersebut menjadi alat ukur keberhasilan CSR. Hasil Survey "The Millenium Poll on CSR" (1999) yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) di antara 25.000 responden dari 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktik terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan. Sedangkan bagi 40% lainnya, citra perusahaan & brand image-lah yang akan paling memengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen. Lebih lanjut, sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin "menghukum" (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan tersebut.[4] Secara umum, alasan terkait bisnis untuk melaksanakan biasanya berkisar satu ataupun lebih dari argumentasi di bawah ini:

[sunting] Sumberdaya manusia Program CSR dapat berwujud rekruitmen tenaga kerja dan memperjakan masyarakat sekitar. Lebih jauh lagi CSR dapat dipergunakan untuk menarik perhatian para calon pelamar pekerjaan [5] , terutama sekali dengan adanya persaingan kerja di antara para lulusan. Akan terjadi peningkatan kemungkinan untuk ditanyakannya kebijakan CSR perusahaan, terutama pada saat perusahaan merekruit tenaga kerja dari lulusan terbaik yang memiliki kesadaran sosial dan lingkungan. Dengan memiliki suatu kebijakan komprehensif atas kinerja sosial dan lingkungan, perusahaan akan bisa menarik calon-calon pekerja yang memiliki nilai-nilai progresif. CSR dapat juga digunakan untuk membentuk suatu atmosfer kerja yang nyaman di antara para staf, terutama apabila mereka dapat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang mereka percayai bisa mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas, baik itu bentuknya "penyisihan gaji", "penggalangan dana" ataupun kesukarelawanan (volunteering) dalam bekerja untuk masyarakat. [sunting] Manajemen risiko Manajemen risiko merupakan salah satu hal paling penting dari strategi perusahaan. Reputasi yang dibentuk dengan susah payah selama bertahun-tahun dapat musnah dalam sekejap melalui insiden seperti skandal korupsi atau tuduhan melakukan perusakan lingkungan hidup. Kejadiankejadian seperti itu dapat menarik perhatian yang tidak diinginkan dari penguasa, pengadilan, pemerintah dan media massa. Membentuk suatu budaya kerja yang "mengerjakan sesuatu dengan benar", baik itu terkait dengan aspek tata kelola perusahaan, sosial, maupun lingkungan-yang semuanya merupakan komponen CSR--pada perusahaan dapat mengurangi risiko terjadinya hal-hal negatif tersebut.[6]. [sunting] Membedakan merek Di tengah hiruk pikuknya pasar maka perusahaan berupaya keras untuk membuat suatu cara penjualan yang unik sehingga dapat membedakan produknya dari para pesaingnya di benak konsumen. CSR dapat berperan untuk menciptakan loyalitas konsumen atas dasar nilai khusus dari etika perusahaan yang juga merupakan nilai yang dianut masyarakat.[7]. Menurut Philip Kotler dan Nancy Lee, setidaknya ada dua jenis kegiatan CSR yang bisa mendatangkan keuntungan terhadap merek, yaitu corporate social marketing (CSM) dan cause related marketing (CRM). Pada CSM, perusahaan memilih satu atau beberapa isu--biasanya yang terkait dengan produknya--yang bisa disokong penyebarluasannya di masyarakat, misalnya melalui media campaign. Dengan terus menerus mendukung isu tersebut, maka lama kelamaan konsumen akan mengenali perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang memiliki kepedulian pada isu itu. Segmen tertentu dari masyarakat kemudian akan melakukan pembelian produk perusahaan itu dengan pertimbangan kesamaan perhatian atas isu tersebut. CRM bersifat lebih langsung. Perusahaan menyatakan akan menyumbangkan sejumlah dana tertentu untuk membantu memecahkan masalah sosial atau lingkungan dengan mengaitkannya dengan hasil penjualan produk tertentu atau keuntungan yang mereka peroleh. Biasanya berupa pernyataan rupiah per produk terjual atau proporsi tertentu dari penjualan atau keuntungan. Dengan demikian, segmen konsumen yang ingin menyumbang bagi pemecahan masalah sosial dan atau lingkungan, kemudian tergerak membeli produk tersebut. Mereka merasa bisa berbelanja sekaligus menyumbang. Perusahaan yang bisa mengkampanyekan CSM dan CRM-nya dengan

baik akan mendapati produknya lebih banyak dibeli orang, selain juga mendapatkan citra sebagai perusahaan yang peduli pada isu tertentu. [sunting] Ijin usaha Perusahaan selalu berupaya agar menghindari gangguan dalam usahanya melalui perpajakan atau peraturan. Dengan melakukan sesuatu 'kebenaran" secara sukarela maka mereka akan dapat meyakinkan pemerintah dan masyarakat luas bahwa mereka sangat serius dalam memperhatikan masalah kesehatan dan keselamatan, diskriminasi atau lingkungan hidup maka dengan demikian mereka dapat menghindari intervensi. Perusahaan yang membuka usaha diluar negara asalnya dapat memastikan bahwa mereka diterima dengan baik selaku warga perusahaan yang baik dengan memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja dan akibat terhadap lingkungan hidup, sehingga dengan demikian keuntungan yang menyolok dan gaji dewan direksinya yang sangat tinggi tidak dipersoalkan. [sunting] Motif perselisihan bisnis Kritik atas CSR akan menyebabkan suatu alasan dimana akhirnya bisnis perusahaan dipersalahkan. Contohnya, ada kepercayaan bahwa program CSR seringkali dilakukan sebagai suatu upaya untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas masalah etika dari bisnis utama perseroan.

Lingkungan (environment) dalam lingkup yang luas memiliki arti sesuatu yang bersifat fisik dan non fisik yang mempengaruhi kehidupan seseorang. Lingkungan ternyata sangat berpengaruh terhadap pengembangan kemampuan pemasaran sebuah perusahaan. Itulah yang saya dapat pada mata kuliah Manajemen Pemasaran minggu kemarin (16/3) oleh dosen Amril Muhammad, S.E, M.Pd, yang membahas mengenai analisis lingkungan internal dan eksternal. Pada perkuliahan minggu kemarin Pak Amril Muhammad, S.E, M.Pd menjelaskan bahwa pengertian lingkungan itu sendiri menurut perspektif Manajemen Pemasaran merupakan perilaku dan kekuatan di luar marketing yang mampu mempengaruhi kemampuan pemasaran untuk mengembangkan dan menjaga agar transaksi bisnis dengan pelanggan berjalan dengan baik. Lingkungan yang dimaksud terbagi menjadi dua, yaitu lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal disini berbicara mengenai siapa orang-orang (SDM) di dalam organisasi, kemudian tentang kebijakan yang dibuat organisasi berupa visi, misi dan tujuan. Selanjutnya terkait dengan kepemimpinan (leadership), ketersediaan sarana dan prasarana, serta budaya dan tradisi (kultur).

Yang pertama di dalam faktor lingkungan internal, ada manusia (SDM). Yang mana pada hal ini membicarakan mengenai kompetensi dan penempatan yang pas (placement), sebagai contoh ketika sebuah perusahaan menginginkan karyawan yang berkompeten maka dibutuhkan kompetensi-kompetensi untuk mengukur kemampuan karyawan tersebut. Lalu perusahaan juga harus mampu menempatkan karyawan tersebut pada posisi yang tepat, seperti pada istilah yang sudah sering kita dengar, the right man in the right place. Kemudian adanya komitmen. Karena komitmen sangat penting untuk membangun loyalitas karyawan dan meningkatkan kerja sama dengan baik. Namun komitmen disini harus disesuaikan pula dengan penghargaan (reward) yang didapat, reward yang diberikan pada karyawan bisa bersifat materi (gaji ataupun tunjangan) dan non materi (apresiasi ataupun pujian). Misalnya, perusahaan memberi gaji tambahan untuk karyawan yang lembur atau memberikan tunjangan asuransi. Selain itu karyawan juga berhak mendapat promosi jabatan (naik level). Hal tersebut berkaitan dengan pengembangan diri karyawan dan juga perusahaan. Kemudian faktor lingkungan internal yang lain, berbicara mengenai kebijakan. Kebijakan disini tergambar dari visi dan misi sebuah perusahaan. Kemudian tujuan perusahaan yang menentukan sasaran yang ingin dicapai. Lalu berkaitan dengan segmen yang ingin dikejar, contohnya adalah sekolah Al Azhar didirikan di lingkungan perumahan elit karena jelas mengejar segmen perekonomian menengah keatas. Selain itu, adanya filosofi marketing. Filosofi marketing berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh perusahaan, apakah perusahaan tersebut mengedepankan kepuasan pelanggan atau mempromosikan produk sebesar-besarnya agar perusahaan tersebut mendapat untung yang besar. Selanjutnya, membahas tentang kepemimpinan. Seringkali kepemimpinan mempengaruhi segala hal (meliputi cara kerja organisasi). Faktor-faktor di dalam kepemimpinan (leadership) ini diantaranya yaitu gaya kepemimpinan. Contoh dari gaya kepemimpinan, ada kepemimpinan yang bersifat task oriented (orientasi tugas) dimana seorang pemimpin hanya memberikan perintah-perintah dengan sedikit komunikasi, ada juga kepemimpinan people oriented, dan ada kepemimpinan yang menerima feedback dari bawahan sehingga atasan mau mendengarkan saran-saran dari bawahan, namun ada juga pemimpin yang bersifat masa bodoh dengan melimpahkan wewenang sepenuhnya pada bawahan. Selain gaya kepemimpinan, dibutuhkan juga kompetensi seorang pemimpin serta kemampuan manajerialnya, yang berkaitan dengan 5W+1H mengenai apa yang ingin dikerjakan atau direncanakan (what), siapa yang mengerjakan (who), dimana pengerjaannya (where), kapan mengerjakannya (when), mengapa hal tersebut perlu dikerjakan (why), serta bagaimana mengerjakannya (how). Lalu berhubungan dengan placement atau penugasan, seorang pemimpin harus mampu mengatur penempatan karyawannya dengan tepat. Kemudian dalam kepemimpinan, seorang pemimpin harus mampu memotivasi dan membangun motivasi internal karyawan, melakukan kontrol atau pengawasan, serta kegiatan evaluasi yang lebih pada feedback untuk mengetahui hal yang tidak sesuai dan kegiatan supervisi yang tujuannya untuk memperbaiki kesalahan yang ada.

Membahas mengenai sarana dan prasarana yang berkaitan dengan kenyamanan (meliputi fasilitas penerangan, ventilasi udara, akses yang mudah serta tingkat kebisingan yang rendah), kelengkapan (sarana prasarana yang ada sesuai dengan kebutuhan), serta keamanan (berkaitan dengan implikasi kecelakaan, contohnya penggunaan listrik dan keamanan dalam hal transportasi). Dan yang terakhir, faktor budaya yang mempengaruhi lingkungan internal. Berkaitan dengan value (nilai-nilai yang mengikat orang yang berkaitan dengan komitmen) yang pada akhirnya berkaitan dengan teladan (karena berorientasi pada sistem hukum). Selain itu, berkaitan juga dengan tampilan fisik (yang tercermin dari bangunannya, keseragaman SDM nya dan barang-barangnya) serta akulturasi budaya (terbangunnya budaya lokal). Selain faktor internal, ada juga beberapa faktor lingkungan eksternal diantaranya ialah faktor demografis (berkaitan dengan populasi penduduk, kepadatan penduduk, lokasi, usia, gender, ras, dan pekerjaan), lingkungan ekonomi (economic environment) misalnya sekolah Marsudirini didirikan dalam perumahan elit karena memang untuk orang-orang dengan perekonomian menengah keatas, lingkungan alam (natural environment) contohnya kejadian gempa dan tsunami di Jepang belum lama ini, lingkungan teknologi (technology environment) yang bukan lebih menitik beratkan pada kecanggihan teknologinya melainkan pada ketepatan dalam penggunaannya yang dapat mempermudah suatu pekerjaan, lalu ada faktor lingkungan politik (politic environment) misalnya harusnya Alfamart dibangun pada radius 100 meter dari pasar tradisional namun kenyataannya banyak yang sangat dekat dengan pasar tradisional dikarenakan politik yang lemah. Kemudian faktor lingkungan budaya (culture environment) yang dapat meninjau seberapa jauh pendidikan dapat mempengaruhi budaya. Hal tersebut diatas perlu diperhatikan oleh perusahaan agar dapat beradaptasi dengan lingkungan internal dan eksternalnya.

Tanggungjawab Sosial Perusahaan CSR Penggunaan istilah Tanggungjawab Sosial Perusahaan atau atau Corporate Social Responsibility (CSR) akhir-akhir ini semakin populer dengan semakin meningkatnya praktek tanggung jawab sosial perusaan, dan diskusi-diskusi global, regional dan nasional tentang CSR. Istilah CSR yang mulai dikenal sejak tahun 1970-an, saat ini menjadi salah satu bentuk inovasi bagi hubungan perusahaan dengan masyarakat dan konsumen. CSR kini banyak diterapkan baik oleh perusahaan multi-nasional maupun perusahaan nasional atau lokal. CSR adalah tentang nilai dan standar yang berkaitan dengan beroperasinya sebuah perusahaan dalam suatu masyarakat. CSR diartikan sebagai komitmen usaha untuk beroperasi secara legal dan etis yang

berkonstribusi pada peningkatan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas dalam kerangka mmewujudkan pembangunan berkelanjutan. CSR berakar dari etika dan prinsip-prinsip yang berlaku di Perusahaan dan dimasyarakat. Etika yang dianut merupakan bagian dari budaya (corporate culture); dan etika yang dianut masyarakat merupakan bagian dari budaya masyarakata. Prisnsip-prinsip atau azas yang berlaku di masyarakat juga termasuk berbagai peraturan dan regulasi pemerintah sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan. Menurut Jones (2001) seseorang atau lembaga dapat dinilai membuat keputusan atau bertindak etis bila: 1) Keputusan atau tindakan dilakukan berdasarkan nilai atau standar yang diterima dan berlaku pada lingkungan organisasi yang bersangkutan. 2) Bersedia mengkomunikasikan keputusan tersebut kepada seluruh pihak yang terkait. 3) Yakin orang lain akan setuju dengan keputusan tersebut atau keputusan tersebut mungkin diterima dengan alasan etis. Suatu perusahaan seharusnya tidak hanya mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, tetapi juga mempunyai etika dalam bertindak menggunakan sumberdaya manusia dan lingkungan guna turut mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pengukuran kinerja yang semata dicermati dari komponen keuangan dan keuntungan (finance) tidak akan mampu membesarkan dan melestarikan , karena seringkali berhadapan dengan konflik pekerja, konflik dengan masyarakat sekitar dan semakin jauh dari prinsip pengelolaan lingkungan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. CSR dan TBL Sebagai sebuah inovasi sosial baru dalam kehidupan bersama antara perusahaan dengan masyarakat, pemahaman tentang CSR oleh masyarakat perlu ditingkatkan, termasuk masyarakat kampus. Bagaimana masyarakat kampus akan memberikan inovasi dan berkontribusi bagi implementasi CSR untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kualitas SDM bila masyarakat kampus belum memiliki pemahaman yang memadai tentang CSR dan persoalanpersoalan yang dihadapi dalam implementasi CSR. Pada hal CSR memiliki potensi besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan secara akademik akan berkembang menjadi sebuah trans-disiplin yang menggabungkan antara aspek-aspek ilmiah dengan aspek-aspek praktis di masyarakat. John Elkington (1997) sebagai seorang akademisi, merumuskan Triple Bottom Line (TBL) atau tiga faktor utama operasi perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan dan manusia, yaitu faktor manusia dan masyarakat (people), faktor ekonomi dan keuntungan (profit), serta faktor lingkungan (Planet). Ketika faktor ini juga terkenal dengan sebutan triple-P (3P) yaitu people, profit and planet. Ketiga faktor ini berkaitan satu sama lain. Masyarakat tergantung pada ekonomi; ekonomi dan keuntungan perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan, bahkan ekosistem global. Ketiga komponen TBL ini bersifat dinamis tergantung kondisi dan tekanan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan, serta kemungkinan konflik kepentingan. TBL digunakan sebagai kerangka atau formula untuk mengukur dan menlaporkan kinerja perusahaan mencakup parameter-parameter ekonomi, sosial dan lingkungan dengan

memperhatikan kebutuhan stakeholdes (konsumen, pekerja, mitra bisnis, pemerintah, masyarakat lokal dan masyarakata luas) dan shareholders, guna meminimalkan gangguan atau kerusakan pada manusia dan lingkungan dari berbagai aktifitas perusahaan. TBL bukan skedar laporan kinerja tetapi juga sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki pengambilan keputusan tentang kebijakan dan program ke arah yang lebih baik dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, lingkungan dan masyarakat sekaligus. Penerapan konsep TBL ini berkembang pesat oleh di Amerika, Kanada, Eropa dan Australia. Berbagai di Indonesia juga mulai menerapkannnya. Prinsip TBL secara legal sudah lama dianut pemerintah Indonesia, sejak negara Indonesia berdiri, seperti tercantum dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan komponen planet atau lingkungan dari konsep TBL. Kemakmuran merupakan komponen profit atau ekonomi dari konsep TBL. Rakyat merupakan komponen people atau masyarakat dari konsel TBL. Hal ini berarti pengelolaan sumberdaya alam Indonesia seharusnya ditujukan untuk peningkatan kualitas manusia dan lingkungannnya (kemakmuran rakyat) Berdasarkan konsep TBL tersebut seharusnya konsep dan implementasi CSR mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial dalam peningkatan kualitas hidup pekerja beserta keluarganya serta masyarakat, termasuk konsumen. Dalam perjalanannya, implementasi CSR kadangkala mengalami pembiasan dari nilai-nilai CSR yang asli. Pembiasan itu tampak manakala perusahaan hanya melakaukan kegiatan bantuan atau charity atau pemadam konflik sementara kepada masyarakat yang kemudian dianggap sebagai program CSR. Pada hal CSR ideal tidak sekedar sebagai program bantuan untuk menghindari tekanan dari pihak lain, misalnya tekanan masyarakat ataupun sebagai alat kehumasan untuk membentuk citra baik, melainkan merupakan kegiatan pemberdayaan yang berkesinambungan ke arah yang lebih baik. CSR yang dilakukan oleh di Indonesia akan berbeda satu sama lain tergantung pada konteks masalah yang dihadapi masyarakat. Perbedaan konteks ini juga akan berimplikasi kepada perbedaan strategi pendekatan yang dilakukan oleh masing-masing. Keberadaan CSR di suatu daerah juga tidak pernah terlepas dari sistem kemitraan kelembagaan yang ada di sekitarnya. Pemerintah, lembaga adat, LSM, dan lembaga sosial masyarakat lainnya juga turut memberikan warna terhadap kegiatan CSR. Keberadaan stakeholder ini bisa hadir sebagai penunjang keberhasilan CSR ataupun sebaliknya, jika proses sinergi di antara para pelaku tersebut tidak dilakukan. (Oleh: Prof. Dr. Hardinsyah, MS)

Budaya perusahaan 1. Pengertian Budaya Perusahaan

Menurut Drs.Triguno,DIPL,EC.LLM. (2000:3) Suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat/organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi prilaku. Terdapat beberapa definisi budaya perusahaan atau budaya organisasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli seperti berikut ini : Menurut Robbins (dalam Djokosantoso :2003) mendefinisikan bahwa : Budaya perusahaan adalah suatu sistem nilai-nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh orang dalam organisasi. Selain dipahami, seluruh jajaran meyakini sistem-sistem nilai tersebut sebagai landasan gerak organisasi. Menurut Eugene McKenna dan Nic Beech (2000:18) Budaya perusahaan merupakan nilai, kepercayaan, sikap dan perilaku yang dipegang anggota. Menurut Djokosantoso (2003 :21) mendefinisikan Budaya perusahaan adalah sistem nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem paket, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk menciptakan tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.

2.2.2

Elemen-elemen Budaya Perusahaan Terdapat beberapa elmen dasar budaya perusahaan, Eugene McKenna dan Nic Beech

(2000:15) mengelompokan elemen-elmen budaya perusahaan sebagai berikut :

1. a. Artifacts Merupakan hal-hal yang dapat dilihat, didengar, dirasakan, jika sesorang berhubungan dengan sebuah kelompok baru dengan budaya yang tidak

dikenalnya. Artifacts termasuk struktur organisasi dan proses yang tampak, seperti produk, jasa, dan tingkah laku anggota kelompok b. Espoused Values Yaitu alasan-alasan tentang mengapa orang berkorban demi apa yang dikerjakan. Budaya sebagian besar organisasi dapat melacak nilai-nilai yang didukung kembali kepenemu budaya. Meliputi strategi, sasaran, dan filosofi. c. Basic Underlying Assumption Yaitu keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota suatu organisasi. Budaya menetapkan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu di organisasi, seringkali melalui asumsi yang tidak diucapkan namun anggota organisasi meyakini ketepatan tindakan tersebut. Ketiga elmen dasar dari budaya perusahaan ini jika dibuat bagan akan menjadi sebagai berikut : Artifacts Proses dan struktur organisasi yang jelas terlihat

Esposed Values

Strategi, tujuan, dan filosofi

Basic Underlying Assumption

Perasaan, pikiran, persepsi, dan keyakinan

Gambar 2.1 Hubungan 3 elemen dasar budaya perusahaan

2.2.3 Karakteristik Budaya Perusahaan Budaya perusahaan merupakan sesuatu hal yang sangat kompleks. Untuk itu budaya perusahaan harus memiliki beberapa karakteristik sebagai wujud nyata keberadaannya. Masing-

masing karakteristik tersebut pada penerapannya akan mendukung pencapaian sasaran perusahaan. Menurut Surya Dharma dan Haedar Akib (2004:25) mengemukakan 10 (sepuluh) karakteristik budaya perusahaan sebagai berikut : 1. Identitas Anggota ; derajat dimana pekerjaan lebih mengindentifikasi organisasi secara menyeluruh daripada dengan tipe pekerjaan atau bidang keahlian profesionalnya. 2. Penekanan kelompok; derajat dimana aktivitas tugas lebih diorganisir untuk seluruh kelompok dari pada individu. 3. Fokus orang; derajat dimana keputusan manajemen memperhatikan dampak luaran yang dihasilkan terhadap pekerjaan dalam organisasi. 4. Penyatuan unit; derajat dimana unit-unit dalam organisasi didorong agar berfungsi dengan cara yang terorganisasi atau bebas. 5. Pengendalian; derajat dimana peraturan, regulasi dan pengendalian langsung digunakan untuk mengawasi dan pengendalian perilaku pekerja. 6. Toleransi resiko; derajat dimana pekerja didorong untuk agresif, kreatif, inovatif dan mau mengambil resiko. 7. Kriteria ganjaran; derajat dimana ganjaran seperti peningkatan pembayaran dan promosi lebih dialokasikan menurut kinerja pekerja daripada senioritas, favoritisme atau faktor non pekerja lainnya. 8. Toleransi konflik; Derajat dimana pekerja didorong dan diarahkan untuk menunjukkan konflik dan kritik secara terbuka. 9. Orientasi sarana-tujuan; derajat dimana manajemen lebih terfokus pada hasil atau luaran dari teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai luaran tersebut.

10. Fokus pada sistem terbuka; derajat dimana organisasi memonitor dan merespon perubahan dalam lingkungan eksternal. Sedangkan menurut Robbins (2001: 16) menyatakan ada tujuh karakteristik budaya organisasi atau budaya perusahaan sebagai berikut:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Inovasi dan keberanian mengambil resiko (inovation and risk taking) Perhatian terhadap detail (Attention to detail) Berorientasi Kepada hasil (Outcome orientation) Berorientasi kepada manusia (People orientation) Berorientasi tim ( Team orientation) Aggresif (Aggressiveness) Stabil (Stability)

2.2.4 Faktor-faktor Pembentukan Budaya Perusahaan Menurut Krisdarto (2001:53) faktor-faktor yang membentuk budaya perusahaan yaitu :

1. Observed behavioral regularities when people interact Yaitu bahasa yang digunakan dalam organisasi, kebiasaan dan tradisi yang ada, dan ritual para karyawan dalam menghadapi berbagai macam situasi.

1. Group Norms Yaitu nilai dan standar baku dalam organisasi.

1. Exposed Values Yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip organisasi yang ingin dicapai, misalnya kualitas produk, dan sebagainya.

1. Formal Philosophy

Yaitu kebijakan dan prinsip ideologis yang mengarahkan perilaku organisasi terhadap karyawan, pelanggan, dan pemegang saham.

1. Rules of the Game Yaitu aturan-aturan dalam perusahaan (the ropes), hal-hal apa saja yang harus dipelajari oleh karyawan baru agar dapat diterima di organisasi tersebut.

1. Climate Yaitu Perasaan yang secara eksplisit dapat terasa dari keadaan fisik organisasi dan interaksi antar karyawan, interaksi atasan dengan bawahan, juga interaksi dengan pelanggan atau organisasi lain.

1. Embedded Skills Yaitu kompetensi khusus dari anggota organisasi dalam menyelesaikan tugasnya, dan kemampuan menyalurkan keahliannya dari satu generasi ke generasi lainnya.

1. Habits of thinking, mental models, and/or linguistec paradims Yaitu adanya suatu kesamaan frame yang mengarahkan pada persepsi (untuk dapat mengurangi adanya perbedaan persepsi), pikiran, dan bahasa yang digunakan oleh para karyawan, dan diajarkan pada karyawan baru pada awal proses sosialisasi.

1. Shared Meanings Yaitu rasa saling pengertian yang diciptakan sendiri oleh karyawan dari interaksi seharihari.

1. Root Metaphors or Integrating Symbols Yaitu ide-ide, perasaan, dan citra organisasi yang dikembangkan sebagai karakteristik organisasi yang secara sadar ataupun tidak sadar tercermin dari bangunan, lay out ruang kerja, dan materi artifacts lainnya. Hal ini merefleksikan respon emosional dan estetika anggota organisasi, disamping kemampuan kognitif atau kemampuan evaluatif anggota organisasi. 2.2.4 Unsur-unsur Pembentukan Budaya Perusahaan Beberapa unsur pembentukan budaya perusahaan menurut Atmosoeprapto (2001:71), yaitu : 1. Lingkungan usaha; lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk mencapai kebrhasilan. 2. 3. Nilai-nilai (values); merupakan konsep dasar dan keyakinan dari suatu organisasi. Panutan/keteladanan; orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan lainnya karena keberhasilannya. 4. Upacara-upacara (rites dan ritual); acara-acara ritual yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan pada karyawannya. 5. Network; jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai dari budaya perusahaan.

2.2.6

Proses Terbentuknya Budaya Perusahaan Eugene McKenna dan Nic Beech (2000:60) membagi budaya organisasi atau budaya

perusahaan atas beberapa komponen pembentuk, yaitu :

1. Filosof, yang menjadi panduan penetapan kebijakan organisasi baik yang berkenaan dengan karyawan ataupun klien. 2. Nilai-nilai dominan yang dipegang oleh organisasi. 3. Norma-norma yang diterapkan dalam bekerja. 4. Aturan main untuk berelasi dengan baik dalam organisasi yang harus dipelajari oleh anggota baru agar dapat diterima oleh organisasi. 5. Tingkah laku khas tertentu dalam berinteraksi yang rutin dilakukan.Perasaan atau suasana yang diciptakan dalam organisasi. Dengan menggali komponen-komponen pembentuk ini, diharapkan akan memperoleh gambaran global dari budaya organisasi tertentu. Gambaran ini menjadi dasar organisasi tersebut, bagaimana masalah deselesaikan didalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku. Manajer Puncak Inplementasi kerja. Orang-orang bertingkah laku tertentu sejalan dengan visi yang telah ditetapkan

Hasil Kesuksesan yang diraih akan berkesinambungan dari waktu ke waktu.

Budaya Organisasi Budaya yang tumbuh merefleksikan visi, strategi, dan pengalaman orang-orang yang mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. Gambar 2.2 Proses terbentuknya Budaya Perusahaan Menurut Kisdarto (2001:45)

2.2.7 Fungsi Budaya Perusahaan

Menurut Veithzal Rivai (2005:430), fungsi budaya perusahaan adalah :

1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jels antara suatu organisasi dengan organisasi yang lain. 2. Budaya memberikan indentitas bagi anggota organisasi. 3. budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada kepentingan individu. 4. Budaya itu mengingkatkan kemantapan sitem sosial. 5. Budaya sebagai mekanisme pmbuat makna dan kendali yang memandu sera membentuk sikap dan perilaku karyawan. da beberapa hal keterkaitan antropologi dengan dunia bisnis yang lagi trend dalam pembahasan bisnis sekarang ini yakni soal budaya perusahaan, menjadi pemimpin usaha global, dan pemasaran global atau lintas budaya. 1. Budaya Perusahaan Antropologi memandang dunia bisnis sebagai sebuah perubahan budaya secara terencana untuk kepentingan bisnis atau perusahaan. Faktor penting keberhasilan sebuah bisnis atau perusahaan adalah keberhasilan kita dalam mengelola budaya perusahaan baik budaya pemimpin, staf, karyawan, kelengakapn perusahaan, konsumen dan semua yang terkait dengan perusahaan. Makna budaya disini tidak sekadar dipahami sebagai tradisi atau kebiasaan perusahaan tetapi menyangkut keseluruhan kelengkapan dan sistem organisasi sifatnya holistik/komprehensif. Ia bukanlah satu dari aspek perusahaan, tetapi budaya justru cerminan dari perusahaan itu sendiri sebab perusahan dipandang antropologi sebagai suatu komunitas budaya yang memiliki perilaku dalam wujud-wujud kebudayaan, merubah budayanya berarti merubah perusahan secara keseluruhan. Perbincangan soal budaya perusahan telah menjadi perbincangan yang sangat menarik dan paling penting dalam era sekarang ini. Bukan sekadar mendalaminya tetapi dalam rangka mengadakan perubahan berkesinambungan, menjadikan keunggulan bersaing dan kemampuan bertahan dalam lingkungan yang senantiasa berubah-ubah. Jikalau perusahan tidak ditangani budayanya maka perusahaan tersebut dipastikan dapat mengalami goncangan yang akhirnya bisa mematikan perusahaan tersebut. Budaya perusahaan menjadi elemen kunci dari perubahan yang akan memberi pengaruh kuat bagi sstem kerja organisasi. Budaya sebuah organisasi terbentuk akibat adaptasi dan survival terhadap lingkungan baik internal dan eksternal. Budaya adalah jalan keluar bagi kelompok menghadapi segala persoalan eksternal dan internalnya. Ada 3 wujud atau dimensi budaya dalam organisasi, (1). Artefak, sesuatu yang kelihatan yang dihasilkan oleh orang-orang perusahaan (2). sistem perilaku, hubungan antar personal dan lingkungan sekitar (3). Sistem nilai, ini menyangkut norma, kepercayaankerpercayaan, nilai sejarah perusahaan, etos kerja, misi, tujuan, strategi, roh atau spirit perusahaan, sistem inilah yang disebut dengan inti budaya. Kesemua wujud atau dimensi ini membentuk secara holistik sebuah perusahaan, yang menjadi cermin perusahaan.

Dimensi ketiga yakni sistem nilai merupakan hal yang tidak nampak namun mengendalikan periaku manusia, karena tidak namapk sehingga sulit sekali untuk dirubah. Jhon P. Kotter penulis buku Leading Change yang sagat digemari para perusahaan global mengatakan, sistem nilai atau sistem budaya adalah nilai-nilai yang diyakini bersama berakar dalam di dalam sistem kebudayaan keseluruhan, perubahan kulutr merupakan bagian yang tersulit tidak semudah yang dibayangkan namun transformasi perusahaan menujua perubahan budaya harus dilakukan untuk berubah menjadi perusahaan yang kuat yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang berubah cepat. Karena sulitnya merubah budaya, perubahan budaya menjadi tujuan akhir, yang sebelumnya kita harus melewati tahap-tahap transformasi besar dalam proses belajar sebagai perinsip budaya yang digerakan para pemimpin sebagai motor perubahan. Perubahan sikap maupun perilaku dimulai sejak awal transformasi, lalu menciptakan perubahan-perubahan metode kerja yang membantu perusahaan menghasilkan produk/jasa yang lebih baik dengan biaya lebih rendah. Secara antropologis, wujud budaya artefak dan wujud sistem perilaku ditangani terlebih dahulu, baru pada akhir siklus, sebagian besar dari semua usaha itu menjadi tertanam didalam budaya (inti budaya/ system nilai) sampai perusahaan dapat beradaptasi dengan lingkungan yang cepat berubah. Disayangkan, banyak perusahaan gagal mentrasfromasikan perusahaannya akibat merubah kultur tidak melewati proses demi proses dengan kata lain menempatkan perubahan kultur pada langkah pertama bukan sebagai tujuan akhir, bahkan banyak pula yang mengesampingkan budaya dalam melakukan perubahan. Padahal, kita ketahui bahwa budaya yang adalah norma-norma kelompok dan nilai-nilai yang diyakini bersama merupakan hambatan terbesar untuk melakukan perubahan yang seharusnya semua itu tidak perlu menghambat. Kultur bisa mempermudah adaptasi seandainya perusahaan memiliki kultur yang tepat hasil proses perubahan budaya. Budaya perusahaan yang kuat tidak akan mudah mengalami goncangan, ia mampu beradaptasi dan selalu menang dalam menangkap peluang, dan menang dalam kancah pertarungan global. Demikianlah membangun budaya organisasi atau pelakukan perubahan budaya organisasi adalah pilihan wajib bagi perusahaan untuk dapat berhasil menggapai segala tujuannya. Tekanan globalisasi, deregulasi berbagai bidang, perubahan teknologi yang pesat, persaingan pasar yang ketat telah memaksa semua pemimpin perusahaan dimanapun untuk memimpin organisasinya dalam perubahan budaya. Hampir semua perusahaan global yang popular dewasa ini memiliki budaya perusahaan yang sangat kuat. 2. Menjadi perusahaan dan pemimpin global Saat ini terjadi pergeseran dari dunia mekanistik ke dunia holistik, mereka yang mempertahankan pola mekanistik telah berguguran. Perusahaan-perusahaan banyak yang gulung tikar akibat mengembangkan pola mekanistik karena tidak memiliki kemampuan menghadapi perubahan demi perubahan dari lingkungan internal dan eksternalnya. Mereka tidak berpikir bahwa ada banyak fariabel yang menentukan keberhasilan berbisnis dan dalam mengelola negara, padahal lingkungan global sekarang ini semua hal bisa mempengaruhi kinerja perusahaan. Kita baru sadar bahwa sebenarnya kita hidup

dalam realitas lingkungan yang senantiasa berubah bukannya suatu lingkungan yang terprogram. Ekonom dunia Paul Ormerod dalam bukunya The Death of Economics (1994) yang saat terbit sempat menghebohkan dunia keilmuan, bahwa saat menulisnya kondisi ekonomi dunia berada dalam krisis. Berbagai pendekatan telah gagal untuk mengatasinya, Ilmu Ekonomi yang diharapkan tidak mampu berbuat banyak. Menurut Paul, Ilmu Ekonomi terjebak dalam ekonomi ortodoks yang telah lama dipertahankan, terjebak dalam pandangan dunia yang teridealisasi dan mekanistik, menolak realitas dan menolak manusia sebagai subjek mahluk rasional. Sebenarnya inilah dunia realitas dan holistic, manusia sebagai sentral dari holistik-realistik tersebut. Tahun 1990-an menandai bangkitnya manusia sebagai faktor terpenting dalam daya saing sebagai faktor utama dunia bisnis. Dunia holistik atau dunia realitas akan dimengerti dengan memahami realitas sistem manusia yang bergerak bebas dan berubah-ubah. Lensa budaya yang mampu melihat dunia holistik-realistik sampai kedalamannya. Budaya mengungkapan semua realita hidup manusia yang holistik atau komprehensif, dalamnya terdapat sistem yang luas, tingkat kedalamannya sampai ke inti budaya yakni sistem nilai yang menggerakan segala perubahan. Jelaslah bahwa wajah perekonomian dan proses pembangunan masa kini akan sangat dimengerti melalui kaca mata budaya atau kaca mata realitas, sebagaimana kata Paul Schafer direktur World Culture Project yang berpusat di Canada. Council on Foreign Relatiopns AS dalam dua artikel edisi September / oktober 1995 menekankan dominasi budaya dalam pembangunan dan terlihat jelas dari wajah budaya unik perekonomian dapat dimengerti paling baik melalui antropologi, psikologi social, sejarawan dll. Sebab dengan mengerti kode-kode DNA budaya (inti budaya) kita dapat memahami mengapa dan bagaimana perekonomian, politik di dunia ini. Stephen H Rhinesmith dalam bukunya Panduan Bagi Manajer Menuju Globalisasi menjelaskan, untuk menjadi global, sebuah perusahaan tidak hanya harus menjalankan bisnis secara internasional tetapi juga harus mempunyai budaya perusahaan dan sistem nilai yang memungkinkannya menggerakan sumber dayanya kemanapun di dunia untuk memperoleh keunggulan bersaing terbesar. Untuk menjadi global diperlukan pola pikir yang luas jauh melampaui jangkauan kebanyakan perusahaan sekarang ini lalu mengembangkan budaya perusahaan global yang tangguh. Semua perusahaan tidak terkecuali harus menggunakannya baik perusahan domestik, perusahaan lokal/daerah, eksportir, perusahaan internasional, perusahaan multinasional, perusahaan global, perusahaan transnasional. ARCO Internasional dan AT&T melakukan kursus kepada para manajernya mengnai pola piker global dengan panduan Buku A Managers Guide To Globalization ditulis Stephen H. Rhinesmith berisi 6 keterampilan sukses di dunia yang sedang berubah, yang banyak mengangkat pentingnya lensa budaya dan pola pikir budaya perusahaan global. Pelatihan yang sama dilakukan WR Grace terhadap 500 manajer puncaknyaguna mempermudah usaha globalisasinya. Kursus ini dikembangkan Warner Burke dari Clombia University dan Stephen H. Rhinesmith.

Divisi internasional Moran, Stahl & Boyers mengembangkan instrument penilaian SDM manajer yakni Overseas Assignment Inventory dimana kepekaan lintas budaya menjadi instrumen utama penilaian merekrut SDM atau manajer global. Arthur Andersen Consulting merupakan salah satu perusahaan konsultan terbesar di dunia telah menerapkan perubahan dalam strategi, taktik, nilai, dan budaya perusahaan kepada semua orangnya diseluruh dunia dan perusahaan kliennya, ini sebagai program unggulannya. Perusahaan global Ford melakukan pelatihan bagi 3000 manajer puncaknya dalam hal manajemen lintas budaya. Ford menunjukan cara bagi perusahaan lain untuk mulai memahami pentingnya dan tantangan dimensi multibudaya terhadap globalisasi, mempelajari bahasa lokal dan mempelajari kebudayaan. AMP mengembangkan konsep orang yang mampu di dunia. William Hudson, president dan CEOnya menjelaskan, orang yang mampu didunia adalah seseorang yang mempunyai minimum 5 tahun hidup di negara dan budaya lain dan cukup tenggelam dalam budaya tersebut. 3. Pengembangan Produk dan Pemasaran berwawasan budaya Pengembangan produk dan pemasaran adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Produk yang dihasilkan harus sesuai selera pasar ataupun produk yang dihasilkan akan menemukan pasarnya sendiri. Istilah yang sering dipakai adalah bauran pemasaran atau bauran produk. Pada perkembangannya dunia pasar menjadi hal yang perlu diselami untuk diketahui keberadaanya guna pengembangan produk yang tepat dan bagaimana produk dapat diminati atau digunakan oleh pasar atau konsumen. Dunia pasar atau konsumen ini menjadi pusat perhatian utama dunia bisnis dan para ilmuannya karena keberhasilan bisnis dalam era pasar yang kompetitif sekarang di dunia global adalah tergantung keberhasilan bauran pemasarannya. Kondisi pasar sekarang telah berlangsung suatu bentuk pemasaran global yang semua pemasar tidak lagi didominasi oleh pihak-pihak tertentu. Dunia tanpa batas ini menciptakan akses pasar bagi semua orang tak terkeculi pemasarnya miskin. Perusahaanperusahaan berlomba-lomba memasarkan produknya lintas komunitas, lintas Negara, lintas suku, lintas golongan, lintas geografis, mereka menginternasionalkan produkproduknya. Masyarakat manusia kini telah membangun pusat perbelanjaan sejagad/global, oleh Ernest Dichter dalam jurnal Harvard Bussines Review menamakan para langganan sedunia. Perusahaan mempunyai rencana memanfaatkan kesempatan internasional dan baginya pelajaran antropologi budaya akan merupakan alat penting bagi pemasaran kompetitif, kata Dichter. Perusahaan periklanan McCann-Erickson mempunyai kantor hampir di seluruh negara menggali informasi kepada para profesor amerika latin yang berguna bagi para langganannya seperti informasi kebiasaan makan para petani dan pola konsumsi keluarga kelas menengah kota yang baru. Perusahaan Indo Mie di Indonesia barangkali telah berhasil melakukan strategi kulturalnya dengan membuat produk-produk yang beragam sesuai selera masrakat sasaran misalnya dibuat Mie Cakalang untuk selera orang Manado yang suka ikan cakalang dan makanan yang pedas. Memahami kebudayaan setempat agar dapat mengambil keuntungan darinya dan dalam rangka pula membentuk selera dan kebiasaan setempat. Contoh lain, orang Perancis jarang menggosok gigi hanya satu dari

tiga orang, mengingatkan bahaya tidak menggosok gigi bukanlah pendekatan yang mengesankan. Suatu pendekatan yang lebih menyenangkan dengan menekankan bahwa menggosok gigi adalah indah dan modern. Ini berhasil setelah para ahli antropologi perusahaan tersebut berkesimpulan bahwa orang Perancis merasa diri bersalah kalau terlalu sering mandi dan memakai alat-alat kecantikan. Seperti dilakukan contoh ini, maka perusahaan global sekarang telah berperan sebagai agen perubahan social, ekonomi, dan budaya. Hal lainnya menjadi tantangan bagi perusahaan global oleh para manajer dunianya adalah bagaiman menjual kebutuhan lama kepada langganan baru sekaligus menciptakan kebutuhan baru untuk langganan lama. Dunia pasar atau konsumen telah membentuk komunitas pasar atau konsumen. Komunitas ini memiliki semua perangkat atau wujud budaya yang bisa di selami untuk dapat mengetahui realitas jelasnya. Dari sini memungkinkan perusahaan dapat memanfaatkan memanfaatkannya untuk memenangi pasar kompetitif sehingga produk yang dihasilkan akan berhasil diserap pasar.

Budaya Organisasi Budaya Organisasi Merupakan nilai- 2 & norma yg dianut & dijalankan oleh sebuah organisasi terkait dg lingkungan di mana organisasi tsb menjalankan kegiatannya Budaya organisasi Merupakan apa yg dirasakan, apa yg diyakini, & apa yg dijalani oleh sebuah organisasi. Faktor penentu Budaya Organisasi Pengalaman Organisasi (Organizational Experiences) merupakan faktor penentu utama terciptanya sebuah tertentu. Pengalaman Organisasi dapat berupa keberhasilan maupun dialami organisasi dlm menjalani kegiatannya dari waktu ke waktu. kegagalan yg Budaya Organisasi

Prinsip, Norma, Keyakinan, juga dapat menjadi faktor penentu terbentuknya sebuah Budaya Organisasi. Prinsip, Norma, & keyakinan tertentu nilai-nilai nya menentukan sebuah budaya organisasi. diadopsi sehingga

Tulisan ini mencoba mengulas secara singkat manfaat tinjauan politik saat kita akan melakukan perkiraan dampak dari terjadinya suatu isu maupun kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kinerja manajemen perusahaan. Tinjauan politik disini dipersempit dengan melihat manfaat penggunaan analisis kepentingan kelompok masyarakat, yang kemudian dapat digunakan untuk merumuskan strategi non-pasar oleh perusahaan. Dalam melakukan analisis politik seperti ini saya lebih menyarankan penggunaan dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah teori alineasi buah pikiran Karl Marx, yang pada saat awal era orde baru sempat diberangus dan haram untuk didiskusikan. Sederhananya teori ini mengatakan bahwa dalam melakukan evaluasi dampak suatu isu yang terjadi di masyarakat maka kita perlu melakukan analisis tersebut dengan melihat bagaimana dan sejauh apa isu tersebut akan mempengaruhi kepentingan kelompok-kelompok orang yang ada di masyarakat. Dari hasil proses pemilahan masyarakat ini ke dalam

kelompok-kelompok yang dimaksud, kita selanjutnya dapat melakukan pertimbanganpertimbangan berikut ini: 1. Bagaimana masing-masing kelompok masyarakat akanberperan dalam menggelindingkan

timbulnya atau meletusnya suatu isu bisnis. 2. Atau sejauh mana masing-masing kelompok akan berperilaku mengantisipasi dampak satu kebijakan Pemerintah. 3. Diakhiri dengan tinjauan seberapa besar reaksi masing-masing kelompok atas kebijakan perusahaan dalam mengatasi isu permasalahan lingkungan bisnis atau dampak dari dikeluarkannya kebijakan Pemerintah tersebut. Jadi untuk kepentingan dunia bisnis, kelompok masyarakat ini kemungkinannya dapat dipilah-pilah menjadi berbagai kombinasi dari kategori kelompok masyarakat seperti: Konsumen yang menjadi target (nieche market), Konsumen di luar target, Pemasok yang setia (loyal) pada perusahaan, Pemasok yang dapat merusak kepentingan perusahaan, Pekerja yang kurang trampil, Pekerja yang berketrampilan tinggi, Pekerja yang setia pada perusahaan dan Pekerja yang lebih setia pada Serikat Pekerja. Kemudian deretan kelompok inipun sebenarnya dapat diperluas mencakup Pemerintah Indonesia, Pemerintah Luar Negeri, Para Pemilik tanah dan properti, Lembaga Sosial Masyarakat, para Pemberi kredit, Pemilik hak paten, dan para Eksportir/Importir. Terlihat disini bahwa umumnya ekonom atau pebisnis biasanya hanya menggunakan klasifikasi pembagian masyarakat menjadi 4 kategori saja: Pengusaha, Konsumen, Pemerintah, Lembaga Perbankan dan Para Eksportir/Importir. Akibatnya analisa yang mereka lakukan akan memberikan tingkat ketepatan analisis yang dangkal. Sedangkan jika kita menggunakan kelompok masyarakat bisnis yang saya sarankan (paling tidak dari kombinasi 15 kategori) hasilnya tentunya akan lebih mendekati kenyataan. Nahdisinilah kelemahan mengapa sering terjadi keributan atau protes dari salah satu kelompok masyarakat jika (a)satu isu lingkungan luar meletus; atau (b) suatu kebijakan Pemerintah dikeluarkan, dan (c) satu strategi atau kebijakan bisnis yang dilakukan merugikan kelompok yang memiliki supporters yang lebih banyak. Pendekatan yang kedua adalah pengembangan dari Teori Alineasi yang dilakukan oleh

Baron dalam bukunya Business Environment (2005). Beliau mengajukan 4 komponen analisis politik alineasi, yaitu: Issue (permasalahan menonjol), Institution (aktor pelaku), Interest (kepentingan), dan Information (informasi). Menurut Baron, dalam melakukan analisis dampak suatu faktor lingkungan luar perusahaan kita perlu berpedoman pada empat pilar perspektif analisis, yaitu: Pertama, permasalahan bisnis biasanya muncul dengan adanya suatu isu atau permasalahan menonjol yang berkepanjangan. Isu ini timbul begitu saja di kalangan masyarakat sebagai dampak dari suatu ketidaknyamanan atau ketidak sependapatnya publik atas sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sehari-harinya. Apabila permasalahan ini tidak terselesaikan oleh manajemen perusahaan dan kemudian ternyata mendapatkan dukungan positif dari kelompok masyarakat (supporters) maka isu tersebut akan membesar dan menjadi permasalahan. Kedua, setiap isu yang timbul selalu ada pelaku atau aktor pencetusnya, dan mereka ini akan menggunakan kekuatan lobby untuk mempengaruhi dukungan dari para supporternya. Sebagai seorang analis, kita dituntut untuk dapat mengidentifikasi para pencetus dan kelompok supporter tersebut, yang dalam contoh di atas saya menggagas lebih dari 4 kategori kelompok masyarakat. Ketiga, masing-masing pelaku tentunya mempunyai kepentingan (interest) atau wacana politik (political platform) tertentu, yang banyak bermanfaat untuk tujuan mengkampanyekan isu yang timbul dan melakukan tawar menawar (lobbying) atas penyelesaian isu tersebut. Keempat, peristiwa ekonomi dimana faktor harga (price) biasanya menjadi acuan dalam melakukan kegiatan tawar menawar, maka pada kegiatan politik kemasyarakatan informasi merupakan asset yang berharga. Isu spontan dapat saja timbul jika terdapat kendala untuk mendapatkan informasi yang lengkap. Sehingga debat tentang keresahan masyarakat atas kebijakan perusahaan biasanya bermunculan apabila pemecahan yang diajukan oleh perusahaan sangat jauh dari tuntutan yang diajukan, dengan dalih masing-masing pihak telah

menggunakan informasi yang paling benar. Atas dasar analisis politik seperti demikian, pimpinan perusahaan kemudian dapat menimbang-nimbang besarnya kadar dampak lingkungan luar pada berbagai kelompok masyarakat dan segera melakukan terobosan atau strategi bisnis untuk mengantisipasi gejolak politik yang mungkin timbul dalam waktu dekat. Strategi non-pasar ini biasanya sangat diremehkan oleh perusahaan dengan konsekuensi timbulnya gejolak ketidakpuasan dan perlawanan pada kepentingan bisnis.

You might also like