You are on page 1of 47

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Ilmu Ekonomi Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia di dalam memenuhi kebutuhannya yang relatif tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas dan masing-masing sumber daya mempunyai alternatif penggunaan (opportunity cost). Menurut George Bernard Shaw economy is the art of making the most out of life, sedangkan menurut definisi umum ilmu ekonomi membahas bagaimana sumber daya dialokasikan di antara berbagai alternatif penggunaan untuk memuaskan keinginan manusia (Katz dan Rosen, 1998). Ilmu ekonomi muncul karena adanya tiga kenyataan yaitu (1) kebutuhan manusia relatif tidak terbatas, (2) sumber daya tersedia secara terbatas, (3) masing-masing sumber daya mempunyai beberapa alternatif penggunaan. Secara garis besar ilmu ekonomi dapat dipisahkan menjadi dua yaitu ilmu ekonomi mikro dan ilmu ekonomi makro.

1.1.1 Ilmu Ekonomi Makro Ilmu ekonomi makro mempelajari variabel-variabel ekonomi secara agregat (keseluruhan). Variabel-variabel tersebut antara lain: pendapatan nasional, kesempatan kerja dan atau pengangguran, jumlah uang beredar, laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun neraca pembayaran internasional. Ilmu ekonomi makro mempelajari masalah-masalah ekonomi utama sebagai berikut:

Sejauh mana berbagai sumber daya telah dimanfaatkan di dalam kegiatan ekonomi. Apabila seluruh sumber daya telah dimanfaatkan keadaan ini disebut full employment. Sebaliknya bila masih ada sumber daya yang belum dimanfaatkan berarti perekonomian dalam keadaan under employment atau terdapat pengangguran/belum berada pada posisi kesempatan kerja penuh.

Sejauh mana perekonomian dalam keadaan stabil khususnya stabilitas di bidang moneter. Apabila nilai uang cenderung menurun dalam jangka panjang berarti terjadi inflasi. Sebaliknya terjadi deflasi.

Sejauh mana perekonomian mengalami pertumbuhan dan pertumbuhan tersebut disertai dengan distribusi pendapatan yang membaik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi pendapatan terdapat trade off maksudnya bila yang satu membaik yang lainnya cenderung memburuk.

1.1.2 Ilmu Ekonomi Mikro Ilmu ekonomi mikro mempelajari variabel-variabel ekonomi dalam lingkup kecil misalnya perusahaan, rumah tangga. Dalam ekonomi mikro dipelajari tentang bagaimana individu menggunakan sumber daya yang dimilikinya sehingga tercapai tingkat kepuasan yang optimum. Secara teori, tiap individu yang melakukan kombinasi konsumsi atau produksi yang optimum bersama dengan individu-individu lain akan menciptakan keseimbangan dalam skala makro dengan asumsi ceteris paribus. Perbedaan ekonomi mikro dan ekonomi makro dapat dilihat dalam Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Perbedaan ekonomi mikro dan ekonomi makro Ekonomi Makro Ekonomi Mikro Harga adalah nilai dari komoditas Harga ialah nilai dari suatu secara agregat (keseluruhan) komoditas (barang tertentu saja) Pembahasan tentang kegiatan Pembahasan tentang kegiatan Unit analisis ekonomisecara keseluruhan. ekonomi secara individual. Contohnya pendapatan nasional, Contohnya permintaan dan dan pertumbu8han ekonomi, inflasi, penawaran, perilaku konsumen, pengangguran, investasi dan perilaku produsen, pasar, kebijakan ekonomi. penerimaan, biaya dan laba atau rugi perusahaan Lebih memfokuskan pada analisis Lebih memfokuskan pada Tujuan analisis tentang pengaruh kegiatan analisis tentang cara ekonomi terhadap perekonomian mengalokasikan sumber daya secara keseluruhan agar dapat dicapai kombinasi yang tepat. Dilihat dari Harga

Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah di bidang ekonomi 1. Masalah kemiskinan Upaua penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUK (Kredit Usaha Kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) PKT (Program Kawasan Terpadu), GN-OTA dan program wajib belajar. 2. Masalah keterbelangkangan Masalah yang dihadapi adalah rendahnya tingkat pendapatan dan pemerataannya, rendahnya pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilitas umum, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, renddahnya tingkat keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, produktivitas kerja, lemahnya manajemen usaha. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah berupaya meningkatkan kualitas SDM, pertukaran ahli, transfer teknologi dari negara maju. 3. Masalah pengangguran dan kesempatan kerja Masalah pengangguran timbul karena terjadinya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah melakukan pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja memeiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, pembukaan investasi baru, terutama yang bersifat padat karya, pemberian informasi yang cepat mengenai lapangan kerja. 4. Masalah kekurangan modal Kekurangan modal adalah suatu ciri penting setiap negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal disebabkan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang menyebabkan tabungan dan tingkat pembentukan modal sedikit. Cara mengatasinya melalui peningkatan kualitas SDM atau peningkatan investasi menjadi lebih produktif.

1.2 Ekonomi Kesehatan Kesehatan menurut UU Kesehatan 1992 adalah: Keadaan sejahtera dari badan, jiwa, sosial yang dibutuhkan oleh setiap orang yang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Tjiptoherijanto dan Soesetyo (1994) menjelaskan ekonomi kesehatan merupakan ilmu ekonomi yang diterapkan dalam topik-topik kesehatan. Menurut Mills dan Gillson (1999) mendefinisikan ekonomi kesehatan sebagai penerapan teori, konsep dan teknik ilmu ekonomi dalam sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

Alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan Jumlah sumber daya yang dipergunakan dalam pelayanan kesehatan Pengorganisasian dan pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan Efisiensi pengalokasian dan penggunaan berbagai sumber daya Dampak upaya pencegahan, pengobatan dan pemulihan kesehatan pada individu dan masyarakat (Mills & Gillson, 1999) Klarman (1964) menjelaskan bahwa ekonomi kesehatan itu merupakan

aplikasi ekonomi dalam bidang kesehatan. Secara umum ekonomi kesehatan akan berkonsentrasi pada industri kesehatan. Ada 4 bidang yang tercakup dalam ekonomi kesehatan yaitu: 1. Peraturan (regulation) 2. Perencanaan (planning) 3. Pemeliharaan kesehatan (the health maintenance) atau organisasi 4. Analisis Cost dan benefit Winslow menyatakan bahwa ilmu Kesehatan Masyarakat adalah ilmu (Art) dan Pengetahuan (Science) dalam pencegahan penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatkan derajat kesehatan dan efisiensi, melalui: pencegahan lingkungan, pencegahan dan pemberantasan penyakit, pendidikan kesehatan bagi masyarakat, pengorganisasian pelayanan kesehatan dan pengembangan organisasi sosial untuk menjamin standar hidup yang cukup (Hanlon, 1969).Blum (1974) menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi dalam upaya meningkatkan status kesehatan yaitu: Genetika, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan.

Pembahasan dalam ilmu ekonomi kesehatan mencakup: consumer (dalam hal ini adalah pasien/pengguna pelayanan kesehatan), provider (yang merupakan professional investor, yang terdiri dari public maupun privat), Pemerintah (government). Ilmu ekonomi berperan dalam rasionalisasi pemilihan dan pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, terutama yang menyangkut penggunaan sumber daya yang terbatas. Dengan diterapkannya ilmu ekonomi dalam bidang kesehatan, maka kegiatan yang akan dilaksanakan harus memenuhi kriteria efisiensi, atau apakah kegiatan tersebut bersifat cost effective. Adakalanya menerapkan ilmu ekonomi harus memenuhi kriteria interestefficient, sedangkan pada kesehatan adalah interest-individu, hal tersebut adalah sulit karena kekhasan sektor kesehatan. Misalnya pada pasien koma adalah tidak efisien untuk dibantu dengan alat-alat untuk tetap bisa bernafas dan jantungnya tetap bisa berfungsi, oleh karena hal ini tidak efisien dan tidak ekonomis. Akan tetapi dalam mempelajari lmu ekonomi kesehatan, ilmu ekonomi adalah tuntunan saja sedangkan prioritasnya adalah tetap kesehatan. PPEKI (1989), menyatakan bahwa ilmu ekonomi kesehatan adalah penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Perubahan mendasar terjadi pada sektor kesehatan, ketika sektor kesehatan

menghadapi kenyataan bahwa sumber daya yang tersedia (khusunya dana) semakin hari semakin jauh dari mencukupi. Keterbatasan tersebut mendorong masuknya disiplin ilmu ekonomi dalam perencanaan, manajemen dan evaluasi sector kesehatan. Ekonomi kesehatan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Pelayanan kesehatan apa yang perlu diproduksi 2. Berapa besar biaya produksinya? 3. Bagaimana mobilitas dana kesehatan (siapa yang mendanainya?) 4. Bagaimana utilisasi dana kesehatan (siapa penggunanya dan berapa banyak?) 5. Berapa besar manfaat (benefit) investasi pelayanan kesehatan tersebut?

BAB II TINJAUAN MAKROEKONOMI: INVESTASI KESEHATAN UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI

2.1 Pendahuluan Pada Konferensi Tingkat Tinggi Dunia Tentang Pembangunan Sosial (The World Summit For Social Development) di Copenhagen tahun 1995 telah dilakukan pembahasan dengan tema difokuskan pada penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan kesetiakawanan sosial. Dengan latar belakang ini, selanjutnya para Menteri Kesehatan membicarakan tentang peranan kesehatan dalam pembangunan berkelanjutan, pada pertemuannya yang ke-13 bulan September 1995. Para Menteri Kesehatan sangat menyadari tentang keterkaitan antara kemiskinan dengan kesehatan. Selanjutnya, telah diterbitkan monografi tentang kaitan antara kemiskinan dan kesehatan sebagai isu regional di Asia Tenggara pada bulan Juli tahun 1997. Monografi tersebut antara lain menyimpulkan bahwa kebijakan makroekonomi seharusnya diarahkan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial secara beriringan. Analisis membuktikan bahwa penanggulangan

kemiskinan dan peningkatan status kesehatan memerlukan kerangka kebijakan makroekonomi yang kondusif untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkeadilan. Pada pertemuan mereka pada tahun 1997, para Menteri Kesehatan mengadopsi Deklarasi Tentang Pembangunan Kesehatan di Regional Asia Tenggara untuk Abad ke-21. Pada pertemuan tersebut, mereka menyatakan pendiriannya bahwa kesehatan adalah merupakan inti atau pusat untuk pembangunan dan kesejahteraan. Mereka menyadari bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara kemiskinan dengan kesakitan, dan membuat komitmen diantara mereka untuk memenuhi kebutuhan kesehatan bagi penduduk miskin sebagai prioritas yang paling tinggi. Selanjutnya, dalam Deklarasi tentang Kesehatan Masyarakat di Calcutta, pada bulan November 1999 antara lain meneguhkan komitmen bahwa

penangulangan kemiskinan, dan keadilan sosial, yang merupakan elemen utama untuk mewujudkan kesehatan bagi semua. Dengan demikian, keterkaitan antara kesehatan dan pembangunan telah disadari oleh para pemimpin kesehatan dan pembuat kebijakan di regional Asia Tenggara. Laporan Komisi Makroekonomi dan Kesehatan (selanjutnya disebut Komisi) pada bulan Desember 2001 menekankan pentingnya pembangunan manusia sebagai sentral pembangunan.

2.2 Keterkaitan Antara Kesehatan dan Pembangunan Laporan Komisi, menganalisis berbagai hubungan keterkaitan antara kesehatan dengan pembangunan ekonomi yang dapat diterangkan melalui berbagai mekanisme. Berikut ini akan diuraikan pembahasan terhadap tiga fokus area, yaitu pertama, kesehatan dan pembangunan, kedua, kesehatan dan kemiskinan, dan ketiga, pendekatan dari aspek demografi.

2.2.1 Kesehatan dan Pembangunan Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat individual dan keluarga, kesehatan adalah dasar bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk belajar di sekolah. Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan mental akan lebih enerjik dan kuat, lebih produktif, dan mendapatkan penghasilan yang tinggi. Keadaan ini terutama terjadi di negaranegara sedang berkembang, dimana proporsi terbesar dari angkatan kerja masih bekerja secara manual. Di Indonesia sebagai contoh, tenaga kerja laki-laki yang menderita anemia menyebabkan 20% kurang produktif jika dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki yang tidak menderita anemia. Selanjutnya, anak yang sehat mempunyai kemampuan belajar lebih baik dan akan tumbuh menjadi dewasa yang lebih terdidik. Dalam keluarga yang sehat, pendidikan anak cenderung untuk tidak terputus jika dibandingkan dengan keluarga yang tidak sehat. Pada tingkat makro, penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik merupakan masukan (input) penting untuk menurunkan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Beberapa pengalaman sejarah besar membuktikan berhasilnya tinggal landas ekonomi seperti

pertumbuhan ekonomi yang cepat didukung oleh terobosan penting di bidang kesehatan masyarakat, pemberantasan penyakit dan peningkatan gizi. Hal ini antara lain terjadi di Inggris selama revolusi industri, Jepang dan Amerika Selatan pada awal abad ke-20, dan pembangunan di Eropa Selatan dan Asia Timur pada permulaan tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Informasi yang paling mengagumkan adalah penelusuran sejarah yang dilakukan oleh Prof. Robert Fogel, yang menyatakan bahwa peningkatan ketersediaan jumlah kalori untuk bekerja, selama 200 tahun yang lalu mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita seperti terjadi di Perancis dan Inggris. Melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja dan pemberian kalori yang cukup, Fogel memperkirakan bahwa perbaikan gizi memberikan kontribusi sebanyak 30% terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita di Inggris. Bukti-bukti makroekonomi menjelaskan bahwa negara-negara dengan kondisi kesehatan dan pendidikan yang rendah, mengahadapi tantangan yang lebih berat untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan jika dibandingkan dengan negara yang lebih baik keadaan kesehatan dan pendidikannya. Pada Tabel 2.1 dibawah ini ditunjukkan tingkat pertumbuhan dari beberapa negara sedang berkembang pada periode 1965-1994. Pengelompokan negara-negara tersebut didasarkan atas tingkat pendapatan dan angka kematian bayi (sebagai proksi dari seluruh keadaan penyakit pada tahun 1965). Tabel tersebut menjelaskan di negara-negara dengan tingkat angka kematian bayi yang rendah menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode tertentu.
Tabel 2.1 Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita, 1965-1994 (Didasarkan atas Pendapatan dan Angka Kematian Bayi, 1965) Angka Kematian Bayi AKB< 50 AKB 50- AKB 100- AKB > (AKB),1965 100 150 150 Tahun Dasar Pendapatan, 1965 GDP < US$ 750 3.7 1.0 0.1 GDP US$ 750-1500 3.4 1.1 -0.7 GDP US$ 1500-3000 5.9 1.8 1.1 2.5 GDP US$ 3000-6000 2.8 1.7 0.3 GDP > US$ 6000 1.9 -0.5 Sumber: WHO-SEAR, 2002

Terdapat korelasi yang kuat antara tingkat kesehatan yang baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Secara statistik diperkirakan bahwa setiap peningkatan 10% dari angka harapan hidup (AHH) waktu lahir akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi minimal 0.30.4% pertahun, jika faktorfaktor pertumbuhan lainnya tetap. Dengan demikian, perbedaan tingkat pertumbuhan tahunan antara negara-negara maju yang mempunyai AHH tinggi (77 tahun) dengan negara-negara sedang berkembang dengan AHH rendah (49 tahun) adalah sekitar 1.6%, dan pengaruh ini akan terakumulasi terus menerus. Peningkatan kesejahteraan ekonomi sebagai akibat dari bertambah panjangnya usia sangatlah penting. Dalam membandingkan tingkat kesejahteraan antar kelompok masyarakat, sangatlah penting untuk melihat angka harapan hidup, seperti halnya dengan tingkat pendapatan tahunan. Di negara-negara yang tingkat kesehatannya lebih baik, setiap individu memiliki rata-rata hidup lebih lama, dengan demikian secara ekonomis mempunyai peluang untuk untuk memperoleh pendapatan lebih tinggi. Keluarga yang usia harapan hidupnya lebih panjang, cenderung untuk menginvestasikan pendapatannya di bidang pendidikan dan menabung. Dengan demikian, tabungan nasional dan investasi akan meningkat, dan pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peranan kesehatan diantara berbagai faktor pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan dalam Gambar 2.1 dibawah ini. Dalam diagram tersebut dapat dilihat, pembangunan ekonomi disatu fihak, merupakan fungsi dari kebijakan dan institusi (kebijakan ekonomi, pemerintahan yang baik, dan penyediaan pelayanan publik), dan faktor masukan (sumber daya manusia, teknologi, dan modal perusahaan) dilain fihak. Kesehatan mempunyai peranan ekonomi yang sangat kuat terhadap sumber daya manusia dan modal perusahaan melalui berbagai mekanisme seperti digambarkan.

Kebijakan ekonomi Pemerintahan yang baik Penyediaan pelayanan publik

Sumberdaya manusia, termasuk: Pendidikan, pelatihan, perkembangan Fisik dan kognitif

Kesehatan Teknologi, termasuk: Pengetahuan ilmiah yang relevan untuk menghasilkan inovasi dalam difusi ekonomi dalam negeri dengan menggunakan teknologi dari luar

Pertumbuhan ekonomi:
Pertumbuha n GNP perkapita, Penurunan kemiskinan

Modal perusahaan, termasuk: Investasi yang pasti dalam peralatan, organisasi dan kerjasama karyawan, peluang investasi untuk menarik modal

Gambar 2.1 Skema Kesehatan Sebagai Masukan Untuk Pembangunan Ekonomi

Kesehatan yang buruk akan memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini antara lain terjadi di sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Beban berat yang diakibatkan oleh penyakit dan pengaruh gandanya terhadap produktivitas, kependudukan, dan pendidikan mempunyai peranan dalam kinerja ekonomi yang buruk dan kronis di negara-negara Afrika. Studi terbaru yang dilakukan oleh Bloom dan Sachs, menemukan bahwa lebih dari setengahnya dari keterbelakangan pertumbuhan di negara-negara Afrika jika dibandingkan dengan dengan negara-negara di Asia Timur, secara statistik dapat diterangkan oleh beban berat akibat penyakit, kependudukan, dan geografis jika dibandingkan dengan variabel-variabel tradisional dari ekonomimakro dan politik pemerintahan. Sebagai contoh, tingginya angka prevalensi penyakit malaria menunjukkan

10

hubungan yang erat dengan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen atau lebih setiap tahunnya.

2.2.2 Kesehatan dan Kemiskinan Berbagai indikator kesehatan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah jika dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan tinggi, memperlihatkan bahwa angka kesakitan dan kematian secara kuat berkorelasi terbalik dengan pendapatan, seperti terlihat dalam Tabel 2.2 dibawah ini. Studi lain dilakukan oleh Bank Dunia yang membagi keadaan kesehatan antara kelompok penduduk berpenghasilan tinggi dan rendah pada negara-negara tertentu. Sebagai contoh, tingkat kematian anak pada quantil termiskin di Bolivia dan Turki diperkirakan empat kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat

kematian pada quantil terkaya. Dengan demikian kebijakan yang diarahkan untuk menanggulangi penyakit malaria dan kekurangan gizi secara langsung merupakan implementasi dari kebijakan mengurangi kemiskinan. Komitmen global untuk meningkatkan status kesehatan secara jelas dicantumkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals-MDGs). Tujuan pembangunan milenium tersebut antara lain: (1) menurunkan angka kematian anak sebesar dua pertiganya pada tahun 2015 dari keadaan tahun 1990; (2) menurunkan angka kematian ibu melahirkan sebesar tiga perempatnya pada tahun 2015 dari keadaan 1990; dan (3) menahan peningkatan prevalensi penyakit HIV/AIDS dan penyakit utama lainnya pada tahun 2015. Tujuan pembangunan milenium difokuskan terhadap pengurangan kemiskinan pada umumnya dan beberapa tujuan kesehatan pada khususnya, sehingga terdapat keterkaitan antara upaya keseluruhan penurunan kemiskinan dengan investasi di bidang kesehatan.

11

Tabel 2.2 Angka Harapan Hidup Dan Tingkat Kematian, Menurut Tingkat Kemajuan Pembangunan Negara (1995-2000) Tingkat Penduduk Rata-rata Angka Angka Angka Pembangunan (1999) Pendapatan Harapan Kematian Kematian Negara Juta Tahunan Hidup Bayi (Per- Anak Balita (US$) (Tahun) 1000) (Per-1000) Sangat 643 296 51 100 159 Terbelakang Pendapatan 1777 538 59 80 120 Rendah Pendapatan 2094 1200 70 35 39 MenengahBawah Pendapatan 573 4900 71 26 35 Menengah-Atas Pendapatan 891 25730 78 6 6 Tinggi Sub-Sahara 642 500 51 92 151 Afrika Sumber: Human Development Report 2001, Table 8, and CMH Calculation using World

Development Indicators of the World Bank

Beberapa alasan meningkatnya beban penyakit pada penduduk miskin adalah: Pertama, penduduk miskin lebih rentan terhadap penyakit karena terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi serta kecukupan gizi. Kedua, penduduk miskin cenderung enggan mencari pengobatan walaupun sangat membutuhkan karena terdapatnya kesenjangan yang besar dengan petugas kesehatan, terbatasnya sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan terbatasnya pengetahuan untuk menghadapi serangan penyakit. Konsekuensi ekonomi jika terjadi serangan penyakit pada anggota keluarga merupakan bencana jika untuk biaya penyembuhannya mengharuskan menjual aset yang mereka miliki atau berhutang. Hal ini akan menyebabkan keluarga jatuh kedalam kemiskinan, dan jika tidak bisa keluar dari hal ini akan mengganggu tingkat kesejahteraan seluruh anggota keluarga bahkan generasi berikutnya. Serangan penyakit yang tidak fatal dalam kehidupan awal akan mempunyai pengaruh yang merugikan selama siklus hidup berikutnya. Pendidikan secara luas dikenal sebagai kunci dari pembangunan, tetapi masih belum dihargai betapa pentingnya kesehatan anak dalam pencapaian hasil

12

pendidikan. Kesehatan yang buruk secara langsung menurunkan potensi kognitif dan secara tidak langsung mengurangi kemampuan sekolah. Penyakit dapat memelaratkan keluarga melalui menurunnya pendapatan, menurunnya angka harapan hidup, dan menurunya kesejahteraan psikologis.

2.2.3 Pendekatan Aspek Demografi Hal yang paling merugikan, namun kurang diperhatikan, biaya yang tinggi dari kematian bayi dan anak dapat ditinjau dari aspek demografi. Keluarga miskin akan berusaha mengganti anaknya yang meninggal dengan cara memiliki jumlah anak yang lebih banyak. Jika keluarga miskin mempunyai banyak anak maka keluarga tersebut tidak akan mampu melakukan investasi yang cukup untuk pendidikan dan kesehatan untuk setiap anaknya. Dengan demikian, tingginya beban penyakit pada keluarga yang memiliki banyak anak akan menyebabkan rendahnya investasi untuk kesehatan dan pendidikan untuk setiap anaknya. Bukti empiris tentang adanya hubungan antara tingkat fertilitas dengan tingkat kematian anak adalah sangat kuat. Negara-negara yang memiliki angka kematian bayi kurang dari 20, mempunyai angka rata-rata tingkat fertilitas (Total Fertility Rate) sebesar 1.7 anak. Negara-negara dengan tingkat kematian bayi diatas 100 mempunyai angka rata-rata tingkat fertilitas 6,2 anak. Pola ini menuntun pengertian kita bahwa negara-negara yang mempunyai tingkat kematian bayi yang tinggi mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk tercepat di dunia dengan segala konsekwensinya. Ketika angka kematian anak menurun, disertai dengan turunnya tingkat kesuburan, secara keseluruhan tingkat pertumbuhan penduduk juga menurun dan rata-rata umur penduduk akan meningkat. Ratio ketergantungan penduduk juga akan menurun. Perubahan demografi ini akan mendorong keseluruhan peningkatan GNP per kapita dan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya proporsi penduduk usia kerja secara langsung meningkatkan GNP per kapita.

13

2.3 Memilih Intervensi untuk Kesehatan yang Lebih Baik Di berbagai negara khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, ketersediaan sumber daya untuk mengatasi masalah kesehatan sangat terbatas, oleh karena itu pemilihan alternatif intervensi kesehatan yang cost-effective menjadi penting. Pada tahun 1978, melalui Deklarasi Alma Ata tujuan kesehatan bagi semua telah disetujui oleh seluruh negara anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health Organization-WHO). Beberapa kesepakatan dalam deklarasi tersebut adalah komitmen negara-negara anggota terhadap keadilan kesehatan, lebih memfokuskan pelayanan kesehatan pencegahan (preventive) dan peningkatan (promotive) dibandingkan dengan pengobatan (curative) dan pemulihan (rehabilitative), meningkatkan kerjasama lintas sektoral, dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Sampai saat ini beberapa komitmen tersebut belum dapat diwujudkan. Sebagian besar negara-negara berpendapatan rendah lebih banyak

mengalokasikan sumber daya untuk pelayanan kesehatan pengobatan. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi alokasi, penggunaan teknologi yang tidak tepat, dan inefisiensi teknis. Hanya sedikit negara yang sukses mencapai kesehatan yang adil dan berhasil menjalin kerjasama lintas sektor dan partisipasi masyarakat dengan baik.

2.4 Menilai Status Kesehatan Penduduk Status kesehatan penduduk biasanya dinilai dengan menggunakan berbagai indikator yang secara garis besar dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama, berisikan indikator yang menghitung jumlah kematian yang terjadi selama periode tertentu. Contohnya adalah angka kematian kasar (Crude Death Rate-CDR) dan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate-IMR). Kelompok penduduk yang mempunyai angka CDR dan IMR yang rendah dikatakan mempunyai status kesehatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok penduduk yang angka CDR dan IMR nya tinggi. Kelompok kedua, berisikan berbagai indikator yang memperlihatkan jumlah orang yang menderita kecacatan akibat penyakit tertentu. Contohnya

14

adalah jumlah penderita AIDS, Tuberkulosis (TB), Polio, dan sakit mental. Sama dengan kelompok pertama, kelompok penduduk yang mempunyai jumlah penderita AIDS atau TB lebih sedikit dikatakan lebih sehat jika dibandingkan dengan kelompok penduduk yang jumlah penderita penyakit tersebut lebih banyak. Kedua kelompok indikator tersebut sayangnya tidak menjelaskan kepada kita kapan kematian atau kecacatan terjadi, bagaimana tingkat parahnya penyakit, dan berapa lama mereka menderita. Masyarakat pempunyai nilai atau persepsi yang berbeda tentang hal-hal tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1993 kedua kelompok indikator tersebut digabungkan kedalam satu indikator yang disebut DALY ( Disability Adjusted Life Years ) untuk mengukur dengan lebih baik status kesehatan penduduk. DALY menggambarkan jumlah tahun untuk hidup sehat yang hilang sebagai akibat dari kematian dan kecacatan. Satu DALY didefinisikan sebagai satu tahun yang hilang untuk hidup sehat akibat dari kematian dan kecacatan. Penggunaan DALY dapat digunakan untuk membandingkan kesehatan penduduk dari waktu ke waktu atau membandingkan antara satu kelompok penduduk dengan kelompok penduduk lain dengan lebih mudah dan sederhana. Kesimpulannya, DALY mengukur beban yang ditimbulkan oleh penyakit yang diakibatkan oleh kematian dan atau kecacatan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Penggunaan indikator DALY dapat dianalogikan dengan penggunaan indikator HDI (Human Development Index) yang dikembangkan oleh UNDP yang merupakan indikator komposit dari kesehatan, pendidikan dan tingkat pendapatan. Komisi Makroekonomi dan Kesehatan dalam penyusunan laporannya menggunakan DALY dan analisis manfaat biaya. Dalam laporan tersebut satu DALY dinilai sebesar rata-rata pendapatan perkapita dalam setahun.

2.5 Beban Penyakit Di Regional Selatan-Timur Asia Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) telah melakukan perhitungan beban penyakit secara global (Global Burden of Disease-GBD) pada tahun 1999, 2000, dan 2001. Dalam GBD tersebut, penyakit dibagi dalam tiga katagori besar yaitu

15

penyakit menular (Communicable diseases), penyakit tidak menular (Noncommunicable diseases), dan kecelakaan (Injuries). Pada Tabel 2.3 disajikan data perbandingan kehilangan DALY antara Global dengan Regional Timur-Selatan Asia (South-East Asia Region-SEAR).
Tabel 2.3 Kehilangan Total DALY Dalam Tahun 1990 dan 1999-2001, pada Tingkat Global dan SEAR (Dalam Juta) Katagori 1990 1999 2000 2001 Penyakit Global SEAR Global SEAR Global SEAR Penyakit 318 615 191 610 184 616 188 menular (31%) (30%) (31%) Penyakit tak 277 622 156 679 187 673 177 menular (25%) (28%) (26%) Kecelakaan 534 201 65 183 54 179 54 (32%) (30%) (30%) TOTAL 1129 1438 412 1471 425 1468 419 (28%) (29%) (29%) Sumber: WHO-SEAR, 2002

Pada tabel tersebut dapat dilihat secara global pada tahun 1999 kehilangan total DALY sekitar 1.438 juta. Untuk regional Asia Timur-Selatan pada kehilangan total DALY pada tahun 1999, 2000, dan 2001 berturut-turut sekitar 412, 425, dan 419 juta. Pada regional tersebut, terjadi beban ganda dalam masalah kesehatan yaitu disatu fihak menghadapi masalah penyakit menular (seperti

AIDS, TB, dan Malaria) dilain fihak menghadapi penyakit tidak menular (misalnya Kanker, Hipertensi, dan Diabetes). Komisi telah mengidentifikasi tujuh penyebab utama kematian yang dialami di negara-negara berpendapatan rendah (pendapatan pertahun sekitar US$ 300) yaitu: HIV/AIDS, Malaria, Tuberkulosis/TB, infeksi menular pada anak, masalah kesehatan ibu dan bayi, kekurangan zat gizi mikro, dan penyakit akibat merokok. Komisi tersebut mengarahkan agar dilakukan intervensi langsung terhadap tujuh penyebab utama kematian tersebut, dan intervensi tersebut dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan jaringannya agar lebih dekat pelayanannya terhadap penderita, disebut dengan sistem Dekat Dengan Klien-DDK (Close to Client-CTC).

16

Sebagian besar kegiatan yang diperlukan untuk melaksanakan intervensi esensial tersebut tidak memerlukan teknologi canggih atau tenaga kesehatan dengan keahlian tinggi seperti tersedia di Rumah Sakit. Di bawah ini disampaikan beberapa intervensi esensial yang diperlukan untuk menangani berbagai penyakit penyebab utama kematian yaitu sebagai berikut. 1. HIV/AIDS: Ubah kebiasaan hidup, contohnya hanya melalukan hubungan intim dengan satu partner, gunakan kondom, gunakan transfusi darah yang aman, gunakan jarum suntik yang aman. 2. Malaria: Gunakan kelambu yang telah dicelup dengan insektisida, lakukan manajemen kasus yang baik. 3. Tuberkulosis: Manajemen kasus yang lebih baik melalui DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) 4. Penyakit infeksi menular pada anak: Imunisasi, penggunaan oralit atau larutan gula garam 5. Gangguan kesehatan ibu dan bayi: Pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih, imunisasi ibu dengan tetanus-toksoid 6. Kekurangan zat gizimikro: Yodisasi garam, pemberantasan penyakit cacing pada anak sekolah 7. Penyakit akibat tembakau: Larangan iklan rokok, naikan pajak rokok.

2.6 Meningkatkan Keadilan melalui Pentargetan Penduduk Miskin yang Lebih Baik

Memilih intervensi dengan biaya efektif seperti yang telah diuraikan diatas tidak akan secara otomatis meningkatkan keadilan pelayanan kesehatan. Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi tingkat penggunaan (utilisasi) pelayanan kesehatan secara optimal dan mempengaruhi status kesehatan yaitu hambatan geografik, pembiayaan, dan sosio-antropologis. Dengan melaksanakan sistem DDK diharapkan akan menghilangkan hambatan geografis. Untuk mengatasi hambatan keuangan dianjurkan untuk melaksanakan sistem asuransi kesehatan untuk menggantikan sistem pembayaran pelayanan kesehatan langsung. Asuransi kesehatan, diluar asuransi swasta komersial akan mencegah keluarga jatuh kedalam keadaan melarat. Komisi juga menganjurkan diterapkannya skema skala

17

kecil pembiayaan kesehatan yang berasal dari masyarakat (di Indonesia dikenal dengan Dana Sehat), sebagai manifestasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Hambatan sosio-antropologi berkaitan dengan

bagaimana tanggapan dari sistem kesehatan terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat, dan seberapa besar jarak ekonomi dan budaya antara pengguna dan penyedia pelayanan kesehatan.

2.7 Sumberdaya yang Diperlukan Komisi Makroekonomi dan Kesehatan telah memberikan kontribusi yang sangat penting dalam mendemontrasikan keterkaitan antara peningkatan kesehatan dengan pembangunan ekonomi. Komisi mencatat bahwa ada beberapa jenis penyakit yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap memburuknya

keadaan kesehatan, dan terdapat intervensi yang efektif untuk mencegah dan mengobati penyakit tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa banyak keuntungan yang dapat diraih oleh negara-negara berkembang jika pencegahan dan pengobatan lebih diarahkan terhadap penangulangan penyakit- penyakit tersebut. Komisi memberikan beberapa rekomendasi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh untuk meningkatkan intervensi tersebut. Tantangan-tantangan bagi negara-negara di regional Selatan dan Timur Asia untuk menerapkan rekomendasi ini dan menjabarkannya dalam praktek, akan menjawab beberapa tujuan yang ditetapkan oleh Komisi.

2.8 Tingkat Pengeluaran Kesehatan di Negara-negara Berpendapatan Rendah Intervensi esensial yang diperlukan untuk mengurangi tingkat kematian di negaranegara berpendapatan rendah tidaklah mahal, tetapi tidak juga gratis. Komisi telah memperkirakan biaya yang diperlukan untuk melakukan intervensi esensial di negara-negara berpendapatan rendah adalah kurang dari US$ 1.200 per orang per tahun. Paket intervensi dan target serta cakupan intervensi disajikan dalam Tabel 2.4. Sebagai contoh, diperkirakan cakupan DOTS untuk pengobatan TB akan

18

meningkat dari 44% dari pasien yang terinfeksi menjadi 60% pada tahun 2007, dan 70% pada tahun 2015.
Tabel 2.4 Cakupan Pelayanan Esensial yang Harus Ditingkatkan (didasarkan atas cakupan pelayanan tahun 2002) 2002 2007 2015 44% 60% 70% 31% 2% 10-20% 1- 10% 6-10% 75% 68% 59% 52% 65% 45% 20% 60% 50% 70% 40% 40% 90% 80% 70% 70% 80% 80% 80% 70% 70% 80% 70% 70% 90% 90% 80% 80% 90% 90% 80%

TB Malaria Pengobatan Pencegahan HIV Pencegahan (Diluar sektor Kesehatan) Pencegahan (Dalam Sektor Kesehatan Perawatan Untuk Infeksi Oportunistik Imunisasi BCG/DPT/Polio/Hepatitis B Campak Perawatan Balita Infeksi Saluran Nafas Diare Pelayanan Kesehatan Ibu Ante Natal Care (ANC) Kebijakan Pengawasan Merokok (iklan, pajak, konsumen) Sumber: WHO-SEAR, 2002

Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Terlatih

Untuk mencapai peningkatan cakupan pelayanan seperti tercantum pada Tabel 2.4 di atas pada tahun 2007 diperlukan tambahan biaya US$ 14 per orang per tahun di negara-negara berpendapatan rendah, dan US$ 22 per orang per tahun di negara-negara sangat miskin sebagai tambahan dari pembiayaan kesehatan pada tahun 2002. Dengan kondisi pengeluaran kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah sebanyak US$ 21 per orang maka total pengeluaran pada tahun 2007 menjadi US$ 34 dan menjadi US$ 38 pada tahun 2015. Tingkat pengeluaran ini masih kasar sebagai angka minimum per orang yang diperlukan untuk melakukan intervensi esensial. Perkiraan ini cukup rasional jika dibandingkan dengan pengeluaran biaya kesehatan di negara-negara maju yang besarnya lebih dari US$ 2000 per orang per tahun. Namun disadari bahwa peningkatan biaya yang diharapkan dinegara-negara berpendapatan rendah masih cukup tinggi mengingat daya beli masyarakatnya masih rendah. Pembiayaan

19

khusus diperlukan diantara negara-negara tertentu tergantung dari epidemiologi penyakit dan tingkat pertumbuhan ekonominya. Sekitar US$ 30-45 harus berasal dari pengeluaran publik, untuk dua alasan: Pertama, untuk memenuhi pelayanan publik (misalnya pemberantasan penyakit infeksi menular), dimana individu kurang mendapatkan insentif terhadap proteksi untuk dirinya sendiri, dan Kedua, untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan dimana mereka tidak cukup memiliki uang. Dengan engeluaran publik sekitar US$ 30 45, belum banyak yang dilakukan guna peningkatan kualitas pelayanan kesehatan seperti halnya pelayanan komprehensif di negara-negara maju. Perkiraan ini adalah biaya minimal sitem kesehatan untuk menangani penyakit infeksi menular dan pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi yang merupakan proporsi terbesar untuk menghindari kematian di negara-negara berpendapatan rendah. Dengan

memberikan intervensi pelayanan kesehatan yang efektif akan meningkatkan kemampuan daerah untuk menanggapi kebutuhan pelayanan kesehatan

masyarakat sebagai pra kondisi untuk meningkatkan askes penduduk miskin terhadap fasilitas pelayanan kesehatan umum.

2.9 Peningkatan Biaya dan Manfaat Makroekonomi Peningkatan biaya yang besar bagi intervensi kesehatan esensial akan menyebabkan penurunan secara bermakna beban penyakit di negara-negara berkembang. Perkiraan terbaik dari pengaruh pelayanan kesehatan adalah menurunnya angka kematian total di negara-negara berkembang akibat penyakit infeksi menular dan kesehatan ibu yang rendah sekitar 8 juta per tahun pada tahun 2015, yang hal ini berasosiasi dengan penurunan sekitar 330 juta DALYs. Perkiraan penurunan angka kematian ini dapat dilihat pada Tabel 2.5.

20

Tabel 2.5. Angka Kematian Dibawah Usia 60 Tahun, Dibandingkan Ada Tidaknya Intervensi, Tahun 19982020 1998 2010 2020
Tahun Dasar 13,956,996 Tanpa Intervensi 13,255,530 Dengan Intervensi 5,155,625 Tanpa Intervensi 12,671,000 Dengan Intervensi 4,593,479

Grup 1 Infeksi dan kurang gizi 9,073,059 Gang. Kesehatan Ibu 491,185 Infeksi Saluran Nafas 2,101,802 Gang. Kes. Perinatal 2,101,802 Sumber: WHO-SEAR, 2002

8,903,935 360,720 2,175,873 1,815,001

2,849,259 203,645 718,038 1,384,682

8,763,000 252,000 2,080,000 1,576,000

2,804,160 87,400 686,400 1,015,519

Jika terjadi peningkatan status kesehatan yaitu meningkatnya angka harapan hidup di negara-negara berpendapatan rendah sebesar 0.5 tahun selama 19 tahun, katakanlah dari 59 tahun menjadi 68 tahun, maka pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dapat mencapai sekitar 0.5% per tahun.

2.9 Peningkatan Biaya Kesehatan Analisis perkiraan biaya untuk meningkatkan cakupan intervensi pelayanan kesehatan yang esensial telah dilakukan terhadap 49 kegiatan prioritas di 89 negara miskin. Intervensi ini telah diidentifikasi sebagai kunci keberhasilan untuk menangani keadaan kesehatan bagi penduduk miskin. Perluasan kegiatan ini didasarkan atas tingkat cakupan yang akan dicapai pada tahun 2007 dan 2015 dengan data dasar tahun 2002. Analisa biaya direncanakan untuk memperkirakan tambahan biaya yang diperlukan untuk perluasan pelayanan yang didasarkan atas kondisi saat ini. Biaya yang diperlukan untuk memperluas kegiatan pelayanan kesehatan dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Peningkatan Biaya Intervensi Kesehatan Total Pengeluaran Kesehatan Biaya Inkremental 2002 2007 2015 2007 2015 (tahun dasar) Semua Negara 106.1 162.8 200.3 25 46 (3.7%) (4.5%) (3.9%) (0.7%) (0.9%) Asia Selatan 36.0 51.4 59.8 7 11 (4.9%) (5.7%) (4.8%) (0.8%) (0.9) Catatan: Biaya dalam juta US$, angka dalam kurung adalah % dari GNP, berdasarkan 8 Negara Asia Selatan

21

2.11 Mobilisasi Sumberdaya Dalam Negeri Yang Lebih Besar Untuk Kesehatan Tidak cukupnya tingkat pengeluaran biaya kesehatan, adalah sebagai refleksi dari kemiskinan. Ketika suatu negara mempunyai GNP sekitar US$ 500 per orang per tahun, walaupun pengeluaran kesehatan sebanding dengan 5% dari GNP maka jumlahnya sekitar US$ 25 per orang per tahun. Terdapat 1,8 miliar penduduk hidup di negara-negara yang pendapatan per kapitanya kurang dari US$ 500, dan terdapat 350 juta penduduk yang hidup di negara-negara tersebut dengan pengeluaran biaya kesehatan kurang dari US$ 25 per orang per tahun. Tidak ada satu pun negara dengan pendapatan US$ 500 atau kurang per tahun mempunyai pengeluaran US$ 30 per orang per tahun untuk kesehatan. Dan tidak ada satu negara pun yang pemerintahnya mengeluarkan US$ 20 per orang per tahun untuk pengeluaran publik untuk kesehatan. Negara-negara termiskin didunia ditandai dengan teramat rendahnya pengeluaran biaya untuk kesehatan dibanding dengan standar negara-negara berpendapatan tinggi. Walaupun seandainya negara-negara miskin tersebut mengalokasikan sumber daya dalam negeri lebih banyak untuk kesehatan hal ini tidak akan memecahkan masalah mendasar: negara-negara miskin tidak memiliki sumber daya biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakatnya. Dengan perkiraan US$ 30 40 per kapita untuk pelayanan esensial, jumlah ini akan menyerap sekitar 10% dari GNP dari negara miskin tersebut, jauh dari sumber daya dalam negeri yang dapat dimobilisasikan. Berkaitan dengan sumber daya sektor publik, kemampuan untuk meningkatkan anggaran kesehatan tentu akan berbeda antar negara hal ini dipengaruhi oleh struktur ekonomi, kemampuan mengumpulkan pajak,

kemampuan bayar hutang, dan banyak faktor lainnya. Masih terdapat beberapa kasus dimana pengeluaran publik untuk kesehatan yang sangat rendah mungkin dapat dimobilisasi, tetapi komitmen politik sangat sulit diperoleh. Jika

masyarakat secara tegas dapat dibedakan secara geografis maupun etnis, pemerintah cenderung memilih untuk mengalokasikan untuk kelompok minoritas daripada untuk kelompok penduduk yang luas. Begitu pula halnya jika terdapat

22

diskriminasi yang merugikan terhadap perempuan yang bertanggung jawab terhadap perawatan kesehatan keluarga, seringkali perhatian menjadi kurang terhadap kelompok miskin secara keseluruhan. Dapat juga terjadi pengeluaran kesehatan seringkali menjadi tidak efisien atau bahkan percuma. Keadaan ini terutama terjadi akibat pengeluaran langsung untuk kesehatan oleh orang miskin guna memperoleh pelayanan kesehatan berkualitas rendah dan pengobatan kurang tepat. Di China dan India sebagai contoh, penduduk miskin di desa membayar langsung sekitar 85% palayanan kesehatannya untuk hal-hal yang tidak layak misalnya untuk pembelian obat yang tidak bermutu, dan tenaga kesehatan yang kurang profesional dan tidak memiliki lisensi. Walaupun sebagian besar negara akan memobilisasi lebih banyak biaya untuk kesehatan, tetapi sangatlah realistik untuk memperkirakan bahwa meningkatnya pendapatan tidak akan lebih dari 1 2% dari GNP dinegara-negara berpendapatan rendah. Sebagai pedoman indikatif, diperkirakan bahwa rata-rata di negara berpendapatan rendah akan meningkatkan pengeluaran biaya untuk kesehatan menjadi 1% dari GNP pada tahun 2007 dan 2% pada tahun 2015. Bagi negara-negara dengan pendapatan per kapita US$ 500, kenaikan $ 5 per kapita per tahun pada tahun 2007 dan $ 10 pada tahun 2015 tidaklah cukup untuk menutupi jurang antara biaya untuk pelayanan esensial dengan ketersediaan sumber daya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan memobilisasi sumber sumber dana dari luar negeri (donor) untuk dapat menutupi kekurangan pembiayaan bagi negara-negara berpendapatan rendah. Strategi dasar untuk reformasi pembiayaan kesehatan di negara-negara berpendapatan rendah, Komisi menyarankan 6 langkah yaitu: (1) meningkatkan mobilisasi pajak umum untuk kesehatan guna mencapai 1% dari GNP pada tahun 2007 dan 2% pada tahun 2015, (2) meningkatkan bantuan dari negara donor untuk membiayai pengadaan barang publik guna menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan esensial, (3) mengalihkan pengeluaran langsung ke sistem pra bayar, termasuk program pembiayaan masyarakat yang didukung oleh pembiayaan publik jika memungkinkan, (4) menggali inisiatif untuk membantu

23

negara-negara sangat miskin (HIPC), (5) mengatasi inefisiensi sumber daya pemerintah dan digunakan untuk sektor kesehatan, (6) realokasi pengeluaran biaya publik dari pengeluaran yang tidak produktif dan subsidi untuk sektor sosial agar lebih fokus untuk penduduk miskin.

2.12 Menghilangkan Hambatan Non-Biaya Untuk Pelayanan Kesehatan Sebagian besar negara-negara berpendapatan rendah memerlukan upaya khusus untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terutama untuk menerapkan sistem DDK dan dukungan manajemen sangat diperlukan. Komisi menilai secara detil berbagai hambatan non-finansial yang harus diatasi, (lihat Tabel 2.7). Terdapat lima katagori hambatan yaitu sebagai berikut: (1) pada tingkat keluarga dan masyarakat, (2) tingkat pelayanan kesehatan, (3) tingkat kebijakan sektor kesehatan dan manajemen strategik, (4) isu kebijakan publik, dan (5) karakteristik lingkungan.

24

Tingkat Keluarga dan Masyarakat Pelayanan Kesehatan

Kebijakan Sektor Kesehatan dan Manajemen Strategik

Kebijakan Publik Antar Sektor Karakteristik Lingkungan

Tabel 2.7 Kategorisasi Hambatan Hambatan Terbatasnya permintaan untuk intervensi yang efektif Hambatan untuk menggunakan intervensi yang efektif : fisik, biaya, sosial. Kurangnya dan tidak meratanya distribusi tenaga profesional kesehatan; Lemahnya bimbingan teknis, manajemen, dan supervisi; Tidak cukupnya alokasi obat dan alat kesehatan; Terbatasnya peralatan dan infrastrutur (termasuk laboratorium dan komunikasi) dan rendahnya aksesibilitas pelayanan kesehatan. Lemahnya dan tersentralisasinya sistem perencanaan dan manajemen; Lemahnya kebijakan obat dan peralatan kesehatan; Tidak memadainya regulasi kefarmasian dan sektor swasta dan praktek industri; Kurangnya kerjasama dan kemitraan dibidang kesehatan antara pemerintah dan masyarakat sipil; Kurangnya insentif untuk menggunakan input secara efisien dan tanggapan terhadap kebutuhan pengguna; Ketergantungan terhadap biaya dari donor sehingga mengurangi fleksibilitas dan rasa memiliki, kebijakan donor bertentangan dengan kebijakan negara. Birokrasi pemerintahan Terbatasnya ketersediaan infrastruktur komunikasi dan transportasi A. Belum terciptanya Good Governance Korupsi, pemerintahan yang lemah, lemahnya hukum; Ketidak stabilan politik dan keamanan; Prioritas yang rendah bagi sektor sosial; Rendahnya akuntabilitas publik; Terbatasnya kebebasan press. B. Lingkungan Fisik Keadaan iklim dan geografik sebagai peredisposisi timbulnya penyakit; Keadaan fisik yang menghambat pelayanan kesehatan

25

BAB III TINJAUAN MIKROEKONOMI: RUMAH SAKIT

3.1 Ekonomi dan Rumah Sakit Pelayanan Rumah Sakit saat ini tidak terlepas dari perkembangan ekonomi masyarakat. Hal ini tercermin pada perubahan fungsi klasik Rumah Sakit yang pada awalnya hanya memberi pelayanan yang bersifat penyembuhan saja terhadap pasien melalui rawat inap dan rawat jalan bergeser ke pelayanan yang lebih komprehensif meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Gambaran ini menunjukkan bahwa ilmu ekonomi perlu untuk dipahami pada sektor rumah sakit. Menurut Budiono (1982) kegiatan manusia dalam suatu masyarakat dapat dibagi menjadi 3 macam kegiatan (ekonomi) pokok: (1) kegiatan produksi, (2) kegiatan konsumsi, dan (3) kegiatan pertukaran. Ilmu ekonomi memusatkan perhatiannya pada ketiga proses kegiatan ekonomi pokok beserta pihak-pihak yang bersangkutan dengan kegiatan-kegiatan tersebut (produsen, konsumen, pedagang, pemerintah, dan sebagainya). Dalam sektor rumah sakit, sebenarnya merupakan hal yang tidak biasa menyebut pasien sebagai konsumen dan menyebut rumah sakit sebagai produsen. Nilai-nilai luhur profesi kedokteran dianggap dapat terkikis dengan penyebutan-penyebutan tersebut. Pembahasan ini berusaha bersikap netral. Artinya, menggunakan istilah konsumen dan produsen dalam sektor rumah sakit dalam konteks mempelajari ilmu ekonomi secara lebih mudah. Rumah sakit sebagai suatu unit ekonomi tentunya mempunyai unsur produksi, konsumsi, dan pertukaran. Faktor penggerak yang sangat dasar adanya aktivitas ekonomi tersebut tentunya timbul karena kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Kebutuhan tersebut merupakan tujuan dan sekaligus motivasi untuk menyelenggarakan pelayanan rumah sakit. Dalam perkembangan sekarang ini, rumah sakit dihadapkan pada tanggung jawab sosial disatu pihak sedangkan dipihak lain ia juga dihadapkan pada ketersediaan anggaran. Masyarakat dan dokter yang merawatnya menginginkan bentuk pelayanan kesehatan yang terbaik yang dapat diberikan oleh

26

rumah sakit tersebut. Hal ini merupakan tantangan yang dihadapi oleh rumah sakit. Tantangan tersebut akan dapat terlihat pada Gambar 3.1 di bawah ini.

Gambar 3.1 Tantangan Rumah Sakit

Menurut Katz dan Rosen (1998), serta Begg dkk. (1987) setiap kelompok orang mempunyai tiga masalah dasar utama dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut masalah kelangkaan sumber daya. Tiga masalah dasar tersebut adalah: (1) Apa yang harus diproduksikan dan dalam jumlah berapa? (2) Bagaimana cara mengelola sumber-sumber ekonomi (faktor-faktor produksi) yang tersedia? (3) Untuk siapa barang-barang tersebut diproduksi atau bagaimana barang atau jasa tersebut dibagikan di antara warga masyarakat? Rumah sakit sebagai organisasi yang menghasilkan jasa pelayanan dan barang-barang kesehatan tentunya dapat memanfaatkan ilmu ekonomi agar mencapai pelayanan yang efisien. Di sektor rumah sakit yang mempunyai aspek sosial, ketiga masalah dasar tersebut merupakan pertanyaan yang relevan, terlebih pada saat rumah sakit berkembang menjadi lembaga usaha yang mempunyai misi sosial. Rumah sakit dalam hal ini dapat memproduksi kegiatan jasa yang bervariasi. Sebuah rumah sakit kelas A dapat mempunyai 25 instalasi yang

27

berbeda-beda produknya, mulai dari rawat inap hingga ke katering untuk mereka yang ingin sehat. Rumah sakit tidak lagi hanya memproduksi pelayanan untuk orang sakit, tetapi juga memproduksi pelayanan bagi mereka yang ingin tetap sehat dan bertambah sehat. Produk di sini, misalnya general check-up atau pelayanan tumbuh kembang anak. Di samping itu, terdapat pelayanan yang tidak berhubungan langsung dengan kesakitan, tetapi membutuhkan teknologi biomedik, misalnya klinik kebugaran hingga pengkurusan berat badan. Dalam memproduksi produk tersebut, tentunya rumah sakit mempunyai berbagai faktor produksi (sumber ekonomi) misalnya SDM, peralatan, gedung, tanah, hingga software untuk sistem manajemen. Sumber-sumber tersebut perlu di kelola untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Pengelolaan inilah yang membutuhkan pemahaman mengenai ilmu ekonomi. Pertanyaan mendasar yang dihadapi oleh rumah sakit adalah mengenai siapa yang harus dilayani oleh rumah sakit. Hal ini merupakan kendala tersulit karena membutuhkan pertimbangan pemerataan dan keadilan. Pertama, jenis pelayanan klinik apa yang harus disediakan? Apakah harus menyediakan seluruh pelayanan klinik? Apakah memakai teknologi canggih atau tidak? Teknologi canggih selalu terkait dengan penggunaan sumber daya yang tinggi karena asal mula teknologi canggih adalah dari teknologi bidang biomedik, rekayasa biologi, militer, dan telekomunikasi yang membutuhkan peralatan modern berbasis pada komputer. Dengan demikian peralatan teknologi tinggi, bahan habis pakai, dan pengobatannya selalu menggunakan bahan impor yang saat ini harganya sangat tinggi. Masalah kedua adalah dari mana sumber dana pelayanan rumah sakit, apakah dari kantong pasien sendiri, dari pajak, atau dari sistem asuransi? Apabila berasal dari kantong pasien, otomatis rumah sakit hanya akan melayani mereka yang mampu. Begitu pula dari sistem asuransi kesehatan. Besarnya premi asuransi tergantung dari biaya pelayanan yang sangat tergantung pula pada teknologi impor. Data menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang mau dan mampu untuk membayar premi asuransi. Apabila pelayanan rumah sakit mengandalkan pada sistem pajak, berarti harus ada kekuatan politik dari

28

pemerintah untuk mengalokasikan anggaran dari pajak ke kesehatan, dan juga membutuhkan kemampuan masyarakat membayar pajak secara besar. Masalah ketiga adalah mencari tindakan untuk menjamin apakah subsidi yang diberikan oleh rumah sakit pemerintah dapat dinikmati oleh mereka yang benar-benar membutuhkan? Dalam hal ini terdapat masalah mengenai identifikasi orang miskin yang layak untuk mendapatkan subsidi. Pengalaman program Jaring Pengaman Sosial (JPS) menunjukkan bahwa infrastruktur untuk data orang miskin belum dapat dipakai sebagai basis untuk alokasi. Pertanyaan keempat adalah siapa yang mengatur jasa produksi rumah sakit di suatu wilayah? Siapa yang berhak memberi ijin rumah sakit? Sebagai lembaga usaha apakah Badan Koordinasi Penanam Modal yang memberi ijin, ataukah pemerintah melalui Departemen Kesehatan, ataukah pemerintah daerah, ataukah Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), ataukah sebuah badan regulator investasi. Secara umum sektor rumah sakit selama ini memecahkan berbagai masalah dasar ekonomi tersebut melalui kebiasaan berobat, perintah atau saran dari tenaga dokter, peraturan dari pihak penyandang dana, misalnya PT Askes Indonesia; dan mekanisme tarif di pasar rumah sakit. Kegiatan-kegiatan ini jelas memerlukan pemahaman mengenai ilmu ekonomi khususnya ekonomi

mikro.Dalam memecahkan masalah ekonomi mendasar dalam sektor rumah sakit, terdapat dua pendekatan utama yaitu penggunaan mekanisme pasar dan pengendalian oleh pemerintah melalui sistem yang berdasarkan prinsip welfarestate. Di berbagai negara, saat ini terjadi perubahan pada sektor kesehatan dari sistem yang didominasi oleh perencanaan dan pengendalian oleh negara menjadi sistem yang lebih bertumpu pada mekanisme pasar. Transisi yang mencolok ini terjadi pada sistem pelayanan kesehatan di Inggris pada saat masa Thatcherisme dekade 1990-an. Sebagai gambaran, akhir-akhir ini mekanisme harga (tarif) merupakan sistem yang banyak diacu oleh para pelaku ekonomi di berbagai sektor kehidupan ekonomi. Pendekatan ekonomi dalam sektor kesehatan jelas menekankan segi

29

mekanisme harga untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi dalam sektor rumah sakit. Ketika mekanisme harga dipergunakan para pengelola rumah sakit harus memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi mikro. Salah satu tujuan utama ilmu ekonomi mikro adalah memberi pemahaman mengenai mekanisme dan efek sistem harga. Dengan demikian, pada suatu unit yang bersifat ekonomis, pembahasan mengenai tarif yang dikaitkan dengan kriteria untung atau rugi bukanlah hal yang tabu. Sebagai contoh, apakah tabu mempermasalahkan tarif bangsal VIP di rumah sakit pemerintah berdasarkan untung dan ruginya. Jika tarif bangsal VIP ternyata bersifat merugi maka yang terjadi adalah subsidi dari pasien yang memiliki ekonomi lemah ke pasien dengan ekonomi kuat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya tarif bangsal VIP di rumah sakit pemerintah apabila dihitung secara penuh justru merugikan negara karena sebenarnya merupakan subsidi untuk orang kaya. Akan tetapi, manfaat lain dengan adanya bangsal VIP di rumah sakit pemerintah yaitu membuat SDM sebagai salah satu faktor produksi merasa betah karena dapat meningkatkan pendapatannya dari bangsal VIP. Jika tanpa ada bangsal VIP, kemungkinan dokter spesialis akan bekerja di rumah sakit swasta untuk meningkatkan pendapatannya. Diharapkan dengan betahnya SDM bekerja di rumah sakit pemerintah, maka mutu pelayanan akan meningkat termasuk untuk orang miskin. Keuntungan nonmaterial dalam hal ini diharapkan dapat menjadi faktor yang mendukung adanya bangsal VIP di rumah sakit pemerintah. Dalam membahas penggunaan ilmu ekonomi dalam sektor kesehatan, perlu dipahami apa yang disebut sebagai analisis positif dan analisis normatif. Analisis positif berhubungan dengan masalah sebab dan akibat yang menggambarkan fakta perilaku manusia dalam perekonomian. Sebagai contoh, sebuah pernyataan positif yaitu: jika pemerintah Indonesia meningkatkan pajak untuk obat, maka masyarakat miskin akan mengurangi konsumsi pembelian obat. Pernyataan positif ini tidak menunjukkan sesuatu itu buruk atau baik. Contoh berbagai pertanyaan yang merupakan analisis positif adalah: Apa

30

penyebab kemiskinan di Jawa? Apa pengaruh kenaikan cukai rokok terhadap perilaku perokok? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab dengan merujuk pada data. Sebagai kontras, pernyataan normatif mengandung keputusan berdasarkan nilai-nilai tertentu. Sebagai contoh pernyataan normatif yaitu: semua pasien miskin yang dirawat di rumah sakit berhak mendapatkan obat gratis dari pemerintah. Kebenaran pernyataan normatif ini tergantung dengan situasi dan norma etika setempat. Sebagai contoh, di daerah kaya seperti Kabupaten Kutai Kartanegara, merupakan hal yang tidak etis apabila pemerintah daerah tidak membiayai pasien miskin yang datang berobat. Akan tetapi, apabila pasien miskin tersebut berada pada rumah sakit pemerintah yang miskin pula, maka pernyataan normatif tersebut menjadi sulit direalisasikan. Sampai saat ini, sektor kesehatan di Indonesia masih didominasi oleh pernyataan normatif, misalnya pelayanan untuk orang miskin harus bermutu tinggi dan pasien miskin tersebut tidak perlu membayar. Sementara itu, pernyataan positif yang ada adalah: Pelayanan rumah sakit pemerintah akan bermutu rendah jika orang miskin tidak membayar dan tidak ada subsidi cukup dari pemerintah. Dalam praktik akhirnya sering terjadi pernyataan normatif dipaksakan untuk mengatur dunia nyata tanpa mempedulikan lagi pernyataan positif yang mengandung sebab akibat. Sebagai gambaran, pada suatu rumah sakit pemerintah daerah yang subsidi biaya operasionalnya rendah, para dokter cenderung mencari pendapatan lebih di rumah sakit swasta. Akibatnya, mutu pelayanan rumah sakit pemerintah menjadi turun. Sementara itu, secara normatif anggota DPRD tidak menginginkan tarif yang tinggi, tetapi juga tidak menyetujui APBD yang besar untuk rumah sakit. Dengan menyadari adanya pernyataan normatif yang mungkin tidak dapat diterapkan dalam dunia nyata, maka sudah sepatutnya para tenaga kesehatan mempelajari ilmu ekonomi untuk diterapkan pada sektor kesehatan. Pada dasarnya aplikasi ilmu ekonomi di rumah sakit dapat dipelajari melalui berbagai model yang berbasis pada sistem tarif, yaitu: (1) Circular Flow Model dari Katz dan Rosen (1998), dan (2) model demand and supply.

31

3.2 Model Circular Flow Model circular flow ini menyatakan bahwa kegiatan ekonomi bersifat melingkar (Lihat Gambar 3.2). Gambar tersebut menunjukkan arus dari pelayanan dan barang-barang, serta input yang dimasukkan dalam sistem produksi. Lembagalembaga usaha (firma) memberikan jasa atau barang untuk rumah tangga yang membutuhkan. Sementara itu, rumah tangga memberikan pasokan input yang dibutuhkan untuk usaha. Lingkaran luar menunjukkan aliran uang. Rumah tangga membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa yang akan masuk ke firma sebagai pendapatan. Sumber daya ini akan mengalir kembali ke rumah tangga sebagai pembayaran atas pasokan tenaga mereka. Prinsip ini yang menjadikan sistem ekonomi bergulir terus-menerus.

Gambar 3.2 Model Circular Flow dalam Perekonomian

Dengan menggunakan model circular flow, rumah sakit dapat dianggap sebagai suatu lembaga usaha yang memberi pasokan pelayanan kesehatan di pasar produksi. Dengan memberikan pelayanan kesehatan, rumah sakit sebagai lembaga usaha akan mempunyai penerimaan yang berasal dari pengeluaran oleh rumah tangga. Pada sisi pasar faktor-faktor produksi, rumah sakit membutuhkan input, misalnya tenaga kerja yang berasal dari masyarakat. Dengan menggunakan input

32

tenaga kerja, rumah sakit mempunyai biaya produksi yang sebagian akan masuk ke rumah tangga. Model ini dapat dipergunakan untuk menerangkan berbagai masalah manajemen dan kebijakan kesehatan di Indonesia. Sebenarnya model ini mengabaikan faktor pemerintah. Pengabaian ini memang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sebagai contoh, sektor kesehatan di Indonesia dibiayai sekitar 30%-nya oleh anggaran pemerintah dalam bentuk berbagai kegiatan rutin, proyek, dan subsidi. Dalam sektor ini tentu peranan pemerintah tidak dapat diabaikan. Akan tetapi, untuk kepentingan memahami aplikasi ekonomi dalam sektor kesehatan, model ini dianjurkan untuk dipahami.

3.3 Model Supply dan Demand serta Mekanisme Harga Untuk memahami konsep ekonomi, selain model Circular Flow, perlu dipahami model supply dan demand. Model ini dapat menerangkan mengapa terjadi hubungan yang dinamis antara rumah tangga dengan firma. Hubungan antara rumah tangga dengan firma terjadi dalam suatu istilah yang dalam ilmu ekonomi disebut sebagai pasar. Pengertian pasar di sini adalah: sekelompok organisasi atau individu yang berhubungan satu dengan yang lain dalam usaha menjual atau membeli. Di sektor rumah sakit dapat terjadi misalnya "pasar bangsal VIP rumah sakit" di suatu kota. Pasar ini terjadi apabila pada suatu kota terdapat rumah sakitrumah sakit yang memberikan pelayanan bangsal VIP (sebagai penjual) dan pasien-pasien yang bersedia membeli bangsal VIP (sebagai pembeli). Penggunaan bangsal VIP sebagai bahan pembahasan pada bab ini disebabkan masyarakat mempunyai hak menentukan pilihannya, apakah dirawat di bangsal VIP atau di bangsal kelas III yang lebih murah. Dalam pasar ini tentunya terdapat pasar faktor produksi misalnya dokter, perawat, atau obat. Dalam pasar terdapat hukum yang sering dipakai yaitu permintaan (demand) dan penawaran (supply). Hukum permintaan ekonomi menyatakan: bila harga suatu barang naik maka ceteris paribus jumlah yang diminta konsumen akan barang tersebut turun. Ceteris paribus berarti bahwa semua faktor lain yang mempengaruhi jumlah yang diminta dianggap tidak berubah.

33

Keadaan ceteris paribus di rumah sakit sebenarnya sulit terjadi karena tidak mungkin semua faktor dapat dianggap sama. Akan tetapi, untuk pemahaman ilmu ekonomi pengertian ceteris paribus ini perlu dipergunakan.

3.3.1 Sisi Permintaan (Demand) Pasar dalam pengertian ekonomi mempunyai sisi permintaan (demand) dan penawaran (supply). Sisi permintaan dapat disajikan melalui tabel permintaan pasar, yaitu suatu tabel untuk menunjukkan jumlah barang atau pelayanan yang dibeli pada setiap level tarif. Sebagai contoh, dengan penyederhanaan permintaan bangsal VIP di suatu kota digambarkan pada Tabel 3.1. Menurut tabel ini setiap tahun 12.000 kamar per hari akan dibeli oleh pasien apabila tarifnya Rp 500.000,00 per hari, 13.000 kamar per hari akan diminta bila tarifnya Rp 450.000,00 per hari, dan seterusnya.
Tabel 3.1 Permintaan bangsal VIP di kota X pada tahun 2001

Cara lain menyajikan data tersebut adalah dengan kurva permintaan pasar secara grafik. Sumbu vertikal menunjukkan tarif bangsal VIP per kamar per hari, sedangkan sumbu horisontal menggambarkan jumlah kamar per hari yang diminta. Gambar 3.3 menunjukkan kurva permintaan pasar untuk bangsal VIP rumah sakit berdasarkan Tabel 3.1.

34

Gambar 3.3 Kurva permintaan pasar untuk bangsal VIP di kota X pada tahun 2001

Dua hal penting terdapat pada Gambar 3.2, Pertama, kurva permintaan bangsal VIP menurun ke kanan. Kedua, kurva ini menunjukkan data pada tahun 2001. Jangka waktu tersebut penting karena data permintaan sangat mudah berubah. Banyak faktor yang dapat merubah posisi dan derajat kecuraman kurva permintaan. Sebagai contoh, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi permintaan bangsal VIP (X) adalah: tarif bangsal VIP (Px), selera pasien (S), tingkat pendapatan pasien (I), pengaruh dokter (D), dan harga barang-barang lain (Py). Secara umum fungsi permintaan adalah persamaan yang menunjukkan hubungan antara jumlah permintaan akan sesuatu barang dan semua faktor yang mempengaruhinya

3.3.2 Sisi Penawaran (Supply) Sebagaimana sisi permintaan, sisi penawaran (supply) dapat disajikan melalui tabel untuk menunjukkan jumlah barang atau pelayanan yang ditawarkan pada setiap tingkatan tarif. Sebagai contoh, dengan penyederhanaan, tabel penawaran bangsal VIP di suatu kota terdapat pada Tabel 3.2. Menurut tabel ini, setiap tahun 18.000 kamar per hari akan disediakan oleh rumah sakit apabila tarifnya Rp500.000,00 per hari, 17.000 kamar per hari akan ditawarkan bila tarifnya Rp 450.000,00 per hari, dan seterusnya.

35

Tabel 3.2 Penawaran Bangsal VIP di kota X, tahun 2001.

Cara lain menyajikan data tersebut adalah dengan kurva penawaran pasar secara grafik. Sumbu vertikal menunjukkan tarif bangsal VIP per kamar per hari, sedang sumbu horisontal menggambarkan jumlah kamar per hari yang ditawarkan. Gambar 3.4 menunjukkan kurva penawaran pasar untuk bangsal VIP rumah sakit berdasarkan Tabel 3.2.

Gambar 3.4 Kurva penawaran untuk Bangsal VIP di kota X pada tahun 2001

Dua hal penting terdapat pada Gambar 3.3, pertama, kurva penawaran bangsal VIP naik ke arah kanan. Kedua, kurva ini menunjukkan data pada tahun 2001. Jangka waktu tersebut penting karena data penawaran dapat berubah. Banyak faktor yang dapat merubah posisi dan derajat kecuraman kurva penawaran. Sebagai Dua hal penting terdapat pada Gambar 3.3 Pertama, kurva penawaran bangsal VIP naik ke arah kanan. Kedua, kurva ini menunjukkan data pada tahun 2001. Jangka waktu tersebut penting karena data penawaran dapat berubah. Banyak faktor yang dapat merubah posisi dan derajat kecuraman kurva penawaran. Sebagai contoh, penawaran bangsal VIP tergantung kepada input untuk modal pembangunan dan operasi kegiatan serta teknologi.

36

3.3.3 Equilibrium Suatu keseimbangan adalah situasi tanpa tendensi untuk perubahan.

Keseimbangan harga adalah situasi dengan harga tersebut dapat dipertahankan. Data mengenai bangsal VIP dapat dipergunakan untuk memahami hal ini. Misalnya, jika tarif bangsal VIP per kamar per hari adalah Rp 500.000,00. Kurva penawaran akan menunjukkan bahwa rumah sakit-rumah sakit akan menyediakan 18.000 kamar per hari pada tahun 2001. Sementara itu, kurva permintaan akan menunjukkan hanya 12.000 kamar yang akan diminta oleh masyarakat. Dengan demikian, pada tahun 2001 akan terjadi kelebihan penawaran (supply) sebanyak 6.000 kamar per hari. Dalam keadaan ini, pihak rumah sakit merasakan banyak kamar VIP yang kosong, atau dengan kata lain Bed Occupancy Rate (BOR) bangsal VIP sangat rendah. Pada tingkat harga ini, pihak rumah sakit akan menurunkan tarif agar dapat mengisi bangsal-bangsal VIP yang kosong. Dengan demikian, tarif Rp 500.000,00 per kamar per hari tidak dapat dipertahankan dan bukan merupakan tarif keseimbangan. Pada situasi lain, misalnya tarif bangsal VIP per kamar per hari sebesar Rp 250.000,00. Kurva penawaran akan menunjukkan bahwa rumah sakit hanya akan menyediakan 13.000 kamar per hari pada tahun 2001. Sementara itu, kurva permintaan akan menunjukkan 17.000 kamar yang akan diminta oleh masyarakat. Dengan demikian, pada tahun 2001 akan terjadi kekurangan bangsal VIP sebanyak 4.000 kamar per hari. Dalam keadaan ini, pihak rumah sakit merasakan adanya pasien yang ditolak ketika akan masuk ke bangsal VIP karena penuh. Pada keadaan ini rumah sakit dapat menaikkan tarif ke arah keseimbangan. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa harga keseimbangan adalah tingkat harga atau tarif, jumlah yang diminta sama dengan yang ditawarkan. Pada Gambar 3.5 tarif bangsal VIP dengan jumlah yang diminta sama dengan yang ditawarkan sejumlah Rp 350.000,00 kamar per hari. Harga ini sering disebut sebagai titik equilibrium yang dapat digambarkan dalam grafik berikut ini.

37

Gambar 3.5 Titik keseimbangan harga bangsal VIP di kota X pada tahun 2001

3.3.4 Rumah Tangga Perilaku konsumen atau rumah tangga dalam menggunakan uang untuk belanja atau memberikan tenaganya untuk bekerja merupakan hal kunci dalam model circular flow. Pemahaman akan perilaku konsumen penting untuk dipergunakan dalam sektor kesehatan. Terdapat berbagai hal yang dapat dipergunakan dalam sektor kesehatan, akan tetapi terdapat pula berbagai hal yang sulit dipergunakan. Dalam usaha memahami perilaku konsumen, beberapa langkah yang perlu dilakukan (Lihat Gambar 3.6) antara lain: 1. Harus diketahui apa yang dikehendaki oleh konsumen. 2. Harus diketahui apa yang dapat dilakukan oleh perorangan, dalam kaitannya dengan pendapatan dan harga-harga yang dihadapinya. Kemampuan perorangan ini dipengaruhi oleh keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh seseorang. 3. Menganalisis keinginan konsumer (langkah 1) dan hambatan anggaran (langkah 2).

38

Gambar 3.6 Model Pengambilan Keputusan Perorangan (Katz dan Rosen 1998)

Langkah 1 terkait dengan selera yang mempunyai tiga asumsi. Asumsi pertama adalah completeness, konsumen dapat memilih suatu jasa atau barang dibanding alternatif lainnya. Sebagai contoh, jika dihadapkan pada dua keranjang, yang satu berisi jeruk sedang keranjang kedua berisi apel. Dalam hal ini konsumen dapat menyukai keranjang pertama dibanding keranjang kedua, atau sebaliknya, atau tidak dapat memilih di antara keduanya. Asumsi kedua adalah transitivity yaitu pilihan konsumen bersifat transitif. Jika seseorang lebih menyukai jeruk dibandingkan apel, dan lebih menyukai apel dibandingkan durian, maka konsumen tersebut pasti memilih jeruk dibanding durian. Asumsi ketiga adalah non-satiation yaitu konsumen selalu memilih lebih banyak barang daripada kurang. Asumsi-asumsi ini ada yang sulit diterapkan dalam sektor kesehatan. Sebagai contoh, keinginan untuk melakukan operasi merupakan keputusan yang diambil oleh dokter, bukan perorangan. Di samping itu, asumsi non-satiation akan sulit diterapkan dalam sektor kesehatan karena tidak ada orang yang ingin mendapat operasi atau obat terus-menerus. Langkah kedua adalah memahami keterbatasan anggaran konsumen. Hal ini disebabkan oleh (dalam kehidupan) rumah tangga akan mengalami keterbatasan anggaran. Rumah tangga sebagai konsumen merupakan price-taker, artinya konsumer tersebut tidak mempunyai kontrol atau pengaruh terhadap

39

harga-harga yang ada. Dengan demikian, konsumen mempunyai keterbatasan anggaran karena pendapatannya terbatas dan ada barang atau jasa yang harus dibeli dengan harga yang ditetapkan pihak lain. Dengan pemahaman ini maka apabila pendapatan seseorang meningkat dan harga barangbarang yang diinginkan tetap, maka kemampuan untuk mendapatkan barang tersebut akan semakin meningkat. Sebaliknya apabila hargaharga meningkat, pendapatan seseorang tetap, maka keterbatasan anggaran menjadi semakin ketat. Perbandingan perilaku antara dua titik keseimbangan lingkungan ekonomi dapat mempengaruhi keseimbangan yang dimiliki oleh konsumen. Sebagai contoh adanya krisis ekonomi di Indonesia sejak tahun 1997 yang mempengaruhi perilaku konsumer. Dalam perubahan lingkungan tersebut akan terjadi perbandingan perilaku antara dua titik waktu, sebelum dan sesudah perubahan. Dalam sektor kesehatan, ada dua hal yang perlu dibahas dalam perbandingan antara dua periode keseimbangan yaitu: (1) perubahan pada harga dan pendapatan; (2) konsep elastisitas.

3.4 Harga, Pendapatan, dan Elastisitas Beberapa catatan penting mengenai hubuangan antara perubahan harga, pendapatan dan konsep elastisitas yang dapat dilihat pada keterangan berikut.

3.4.1 Perubahan pada Harga dan Pendapatan Perubahan pada harga: Jika harga sebuah barang turun, dan semua faktor dianggap tetap (ceteris paribus), maka jumlah yang dikonsumsi akan meningkat. Perubahan pada harga ini akan memperbesar kemampuan anggaran.

3.4.2 Perubahan harga antarbarang Apabila sebuah harga barang atau jasa meningkat, kemungkinan akan mempengaruhi jumlah barang lain yang dikonsumsi. Sebagai contoh seperti yang diuraikan oleh Katz dan Rosen (1998) yaitu hubungan antara heroin dan methadone (heroin tiruan). Untuk mengurangi konsumsi heroin, pemerintah Hongkong menyediakan methadone dengan harga yang murah sebesar 13 sen per

40

dosis. Perilaku para pecandu menarik untuk diamati. Apabila harga heroin di pasar gelap meningkat, maka para pecandu akan memenuhi klinikklinik yang menyediakan methadone. Dalam hal ini ada tiga jenis hubungan yaitu barang-barang substitusi, barang yang bersifat komplementer, dan barang-barang yang tidak saling terkait. Barang substitusi mempunyai ciri yang sama-sama memenuhi kepuasan konsumer. Contoh heroin dan methadone di Hongkong adalah barang substitusi, yang dapat menggantikan satu sama lainnya. Contoh lain, antara teh dan kopi, antara Toyota Corolla dan Honda Civic. Pada sektor kesehatan pelayanan oleh dukun dapat menjadi substitusi bagi pelayanan dokter. Barang komplemen berarti barang-barang tersebut harus dipakai secara bersamaan untuk memenuhi kepuasan konsumer. Peningkatan harga satu barang akan menurunkan permintaan barang komplemennya. Sebagai contoh, kenaikan bensin dan bahan bakar lainnya dapat mengurangi jumlah permintaan mobil. Pada sektor kesehatan, kenaikan tarif operasi kelas VIP dapat mengurangi permintaan akan kamar VIP rumah sakit. Barang yang tidak berhubungan artinya bahwa kenaikan harga sebuah barang tidak mempunyai dampak terhadap permintaan barang lainnya.

3.4.3 Perubahan pada Pendapatan Seorang novelis terkemuka, John Steinbeck cit. Katz dan Rosen, (1998) pernah menyatakan bahwa when people are broke, the first thing they give up are books. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pendapatan seseorang menurun, maka akan terjadi penurunan permintaan terhadap suatu barang. Sebaliknya, apabila pendapatan meningkat, maka konsumsi akan barang tersebut meningkat pula. Hal ini terjadi pada barang-barang yang mempunyai predikat normal good. Buku menurut John Steinbeck adalah barang normal. Di samping itu, dikenal barang dengan predikat inferior good yang merupakan kebalikan dari normal good. Apabila pendapatan seseorang naik, maka justru konsumsi akan barang inferior menjadi turun. Dalam

41

kenyataan sehari-hari, salah satu barang inferior adalah beras murah atau bulgur yang dimakan pada masa sulit. Dalam sektor kesehatan, rumah sakit pemerintah bermutu rendah dapat menjadi barang inferior yang hanya akan dipergunakan oleh orang miskin yang tidak mempunyai pilihan. Ketika pendapatan meningkat, maka rumah sakit pemerintah akan ditinggalkan, dan beralih konsumsinya ke rumah sakit swasta yang lebih baik mutunya. Contoh lain, di berbagai Balai Pengobatan (BP) Puskesmas sebenarnya dapat digolongkan sebagai barang inferior. Berbagai pengamatan menunjukkan bahwa pengguna BP Puskesmas adalah orang miskin. Apabila sudah meningkat kekayaannya, kemungkinan orang miskin meninggalkan BP Puskesmas untuk mencari pelayanan yang lebih baik. Menurut Budiono (1982), terdapat tiga kasus permintaan yang menurun tidak berlaku yaitu kasus Giffen untuk barang inferior, kasus spekulasi, dan kasus barang prestise. Kasus Giffen menunjukkan situasi yang anomali yaitu kenaikan harga barang inferior X justru menaikkan jumlah barang X yang diminta konsumen (Katz dan Rosen 1998). Kasus spekulasi terjadi bila konsumen berharap bahwa harga barang besok pagi akan naik lagi, maka kenaikan harga tersebut hari ini justru dapat diikuti oleh kenaikan permintaan akan barang tersebut hari ini. Hal ini sangat sering terjadi pada pasar saham. Untuk kesehatan, kasus spekulasi ini sangat jarang. Kasus barang-barang prestise dapat terjadi pada beberapa barang tertentu, misalnya permata bekas milik orang kenamaan. Kenaikan harga dapat diikuti dengan kenaikan permintaan. Di sektor kesehatan terdapat berbagai jasa dan barang yang identik dengan prestise. Contohnya rasa prestise yang meningkat apabila dirawat oleh seorang dokter ternama. Kemungkinan dokter tersebut menaikkan tarif, tetapi justru diikuti oleh peningkatan permintaan dan bukan sebaliknya. Demikian pula apabila bangsal VIP yang dinaikkan harganya, ternyata justru permintaannya meningkat.

42

3.4.4 Elastisitas Dalam pengukuran perubahan antara dua momen, hal penting lain yang perlu dibahas adalah konsep elastisitas. Elastisitas adalah ukuran derajat kepekaan jumlah permintaan terhadap perubahan salah satu faktor yang mempengaruhinya. Beberapa macam konsep elastisitas yang berhubungan dengan permintaan yaitu elastisitas harga dan elastisitas pendapatan.

3.4.4.1 Elastisitas Harga Bila harga bangsal VIP dinaikkan 50%, apakah para pengguna bangsal VIP juga akan turun 50%, 10%, ataukah turun 75%? Pertanyaan ini sangat penting terutama bagi konsumen yang mempunyai keterbatasan anggaran. Kemungkinan konsumen akan berpindah ke bangsal kelas I, kelas II, atau menggunakan bangsal VIP rumah sakit lain yang tidak naik, ceteris paribus. Perbandingan perubahan persentase ini menghasilkan konsep elastisitas harga yang diukur dengan formula sebagai berikut.

Pemakaian tanda negatif () di depan perbandingan untuk menghindari hasil yang negatif karena dengan hukum permintaan barang normal apabila terjadi kenaikan harga maka akan terjadi penurunan permintaan barang. Bila h > 1 berarti bahwa permintaan elastis. Dalam hal ini persentase penurunan permintaan lebih besar dibandingkan dengan persentase kenaikan harga. Dapat dinyatakan bahwa permintaan akan barang tersebut sangat responsif terhadap kenaikan sehingga total pengeluaran masyarakat untuk barang tersebut menjadi turun. Bila h < 1 berarti bahwa permintaan inelastis. Artinya, jumlah yang diminta tidak responsif terhadap kenaikan harga. Persentase penurunan permintaan lebih kecil dibandingkan dengan persentase kenaikan harga. Hasilnya, konsumen akan membelanjakan uangnya lebih banyak pada barang yang inelastis tersebut. Bentuk tengah dari elastisitas adalah elastisitas tunggal (unit elastic)

43

ditunjukkan oleh h = 1. Arti elastisitas tunggal adalah persentase kenaikan harga adalah sama dengan persentase penurunan permintaan.

3.4.4.2 Faktor-faktor penentu Elastisitas Harga Menurut Katz dan Rosen (1998) beberapa faktor yang menentukan elastisitas harga sebagai berikut: 1. Adanya barang substitusi cenderung mendorong barang menjadi lebih elastis. Sebagai contoh orang menganggap Honda Civic sebagai substitusi yang dekat dengan Toyota Corolla. Jika harga Toyota Corolla naik, maka akan banyak konsumen yang akan membeli Honda Civic, ceteris paribus. Dengan demikian, elastisitas harga Toyota Corolla cukup elastis. Produk-produk pelayanan kesehatan biasanya bersifat inelastis, khususnya untuk penangananpenanganan yang akut dan tidak ada penggantinya. Keadaan yang inelastik akan semakin kuat apabila terjadi monopoli penyediaan pelayanan kesehatan tanpa ada produk substitusinya. 2. Elastisitas tergantung pada berapa besar bagian dari barang tersebut pada anggaran konsumer. Secara umum, semakin kecil bagian (fraksi) dari pendapatan yang dipergunakan untuk membeli barang tersebut, maka elastisitasnya cenderung semakin kecil, ceteris paribus. 3. Elastisitas harga tergantung pada waktu pengambilan analisis. Waktu pengambilan nilai elastisitas sangat penting untuk diperhatikan. Sebagai contoh satu minggu setelah kenaikan harga bangsal VIP kemudian dilakukan pengukuran elastisitas. Hasilnya akan berbeda jika dilakukan pengukuran kembali setelah dua bulan pengukuran berikutnya. Kemungkinan elastisitas akan semakin kurang setelah masyarakat terbiasa dengan harga baru. Contoh lain, elastisitas harga bensin pada saat tahun pertama adalah 0.11 (Poterba, 1991). Dalam horison lima tahun ke depan elastisitas harga menjadi 0.49, dan sepuluh tahun kemudian menjadi 0.89. Dengan demikian kebijaksanaan menaikkan pajak bahan bakar secara terus menerus dapat menjadikan bensin menjadi lebih elastis. Artinya, akan terjadi penghematan pengeluaran untuk bensin.

44

A. Elastisitas (Harga) Silang Prinsip elastisitas berlaku pula pada barang-barang substitusi, dan barang yang bersifat komplementer. Elastisitas harga secara silang untuk permintaan barang Y terhadap perubahan harga barang Z adalah persentase perubahan permintaan barang X akibat perubahan persentase harga barang Y. Secara umum dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:

Sebagai catatan, tidak seperti elastisitas harga, dalam hal ini tidak ada tanda negatif pada rumus xy. Elastisitas harga silang dapat menjadi positif atau negatif karena akan memberikan tanda mengenai jenis hubungan barang X dan Y. Jika X dan Y bersifat substitusi, kenaikan terhadap harga barang Y, maka konsumsi barang X akan meningkat sehingga barang yang tidak berhubungan maka xy akan 0. xy akan positif, sedangkan apabila X dan Y adalah komplemen, maka xy akan negatif. Untuk barang-

B. Elastisitas Pendapatan Penggunaan konsep elastisitas dapat dipergunakan untuk menilai dampak perubahan pendapatan (income) seseorang terhadap konsumsi suatu barang. Elastistas pendapatan didefinisikan sebagai persentase perubahan permintaan terhadap suatu barang dalam hubungannya dengan perubahan pendapatan (income) nyata konsumen. Secara umum dinyatakan dengan rumus sebagai berikut.

Seperti elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan dapat positif atau negatif. Untuk barang normal, EI bertanda positif, dan untuk barang inferior EI negatif. Barang-barang kebutuhan pokok biasanya mempunyai I < 1, sedang untuk barang-barang tidak pokok (misalnya barang-barang mewah) I > 1.

Barang-barang mewah mempunyai ciri menarik, yaitu persentase kenaikan

45

pendapatan terkait dengan persentase konsumsi barang tersebut dengan besaran yang lebih besar.

3.5 Rumah Tangga sebagai Pemasok Tenaga Dari tahun ke tahun, jumlah mahasiswa kedokteran laki-laki semakin menurun. Pada tahun 1980, mahasiswa laki-laki di FK UGM, Yogyakarta sekitar 60%, sedangkan pada tahun 2000 turun menjadi sekitar 40%. Mengapa terjadi penurunan tersebut? Apakah para wanita semakin pandai sehingga dapat lolos dari Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang sangat sulit? Ataukah para laki-laki yang enggan menjadi dokter karena pekerjaan ini tidak menarik secara ekonomis? Pada tahun 1980-an, pajak pendapatan secara drastis diturunkan di berbagai negara. Amerika Serikat menurunkan pajak maksimal dari 70% menjadi 33%, Inggris dari 83% menjadi 60%; dan Swedia dari 50% menjadi 20% (Pechman, 1988; Steurle, 1992). Pengurangan pajak ini bertujuan untuk merangsang ekonomi agar lebih tumbuh dan berkembang. Secara lebih detail, kebijakan ini diharapkan mampu mendorong orang agar lebih bekerja keras untuk memicu pertumbuhan ekonomi. Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa rumah tangga, seperti pada model circular flow memasok tenaga dan model untuk produksi. Pasokan tenaga ini akan tergantung pada preferensi dan anggaran yang tersedia dalam ekonomi. Sebagai contoh, apabila profesi dokter tidak menjanjikan pendapatan yang cukup, maka akan berkurang keinginan untuk menjadi dokter. Rumah tangga akan memberikan tenaganya untuk pekerjaan lain sehingga keinginan menjadi dokter di rumah sakit akan menurun. Dalam hal ini terjadi konsep kurva pasokan tenaga yang menghubungkan antara jumlah tenaga yang dipasok dengan besarnya pendapatan. Hal ini yang menjadi dasar pasar tenaga kerja dokter dan sudah terbukti di daerah-daerah yang ekonominya rendah, terjadi kekurangan dokter.

46

Daftar Pustaka Atmawikarta, A. Investasi Kesehatan Untuk Pembangunan Ekonomi. Diakses dari: www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8547/, pada tanggal: 22 November 2011. Lubis, AF. 2009. Konsep Dasar Kesehatan dan Karakteristik Industri Kesehatan. Dalam buku: Ekonomi Kesehatan. Medan: USU Press. Trisnantoro, L. 2005. Memahami Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah Sakit. Dalam Buku: Penggunaan Ekonomi Mikro di Sektor Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Diakses dari: http://manajemen-rs.net/dmdocuments/mrs_bab%20V%20-%20penggunaa n %20ekonomi%20mikro.pdf, pada tanggal: 23 November 2011. WHO Regional Office For South-East ASIA. 2002. Regional Conference of Parliamentarians on the Report of the Commission on Macroeconomics and Health: Health and Development Regional Initiatives, Bangkok, Thailand 15-17 December 2002.

47

You might also like