You are on page 1of 16

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN STRATEGI PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN RUMAH TANGGA PEDESAAN Makalah ini ditujukan untuk memenuhi

tugas mata kuliah Agribisnis Tanaman Pangan

Disusun Oleh Kelompok 1: Prestilia Ningrum Bernida H Munthe Rakhmi Primadianthi Ratna Puspita Dewi Fakhrizal Maulana Wendi Irawan D 150310080098 150310080102 150310080103 150310080115 150310080119 150310080137

Kelas: Agribisnis B

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2011

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga menggambarkan kondisi yang cukup baik. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada dibawah kebutuhan konsumsi yang semestinya. Lebih dari seperempat anak usia dibawah 5 tahun memiliki berat badan dibawah standar, dimana 8 % berada dalam kondisi sangat buruk. Bahkan sebelum krisis, sekitar 42% anak dibawah umur 5 tahun mengalami gejala terhambatnya pertumbuhan (kerdil); suatu indikator jangka panjang yang cukup baik untuk mengukur kekurangan gizi. Gizi yang buruk dapat menghambat pertumbuhan anak secara normal, membahayakan kesehatan ibu dan mengurangi produktivitas angkatan kerja. Ini juga mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit pada penduduk yang berada pada kondisi kesehatan yang buruk dan dalam kemiskinan. Ketersediaan pangan secara makro tidak menjamin tersedianya pangan di tingkat mikro rumah-tangga penduduk. Produksi pertanian di lokasi tertentu pada musim panen mengakibatkan terjadinya konsentrasi ketersediaan pangan di daerah produksi selama musim panen. Pola konsumsi yang relatif sama di antara individu, antar-waktu dan antar-daerah, mengakibatkan adanya masa-masa defisit (paceklik) dan lokasi-lokasi defisit pangan. Dengan demikian, mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu dengan mengandalkan stok pangan, dapat berpengaruh terhadap kesetimbangan antara ketersediaan dan konsumsi, serta berdampak pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga juga terkait dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Meskipun bahan pangan tersedia di pasar namun

jika harganya tinggi (dan daya beli rumah tangga rendah) akan mengakibatkan rumah tangga tidak dapat mengakses bahan pangan yang ada di pasar. Kondisi seperti ini dapat memicu timbulnya kerawanan pangan. Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya rata-rata 71-89 % dari kecukupan energi normal. Sementara penduduk dikatakan sangat rawan pangan jika hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan energi normal. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh pada harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh pada konsumsi dan kecukupan pangan rumah tangga. Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh faktor-faktor: jenis pangan, jumlah/produksi pangan dan ketersediaan pangan. Tingkat konsumsi lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas bahan pangan. Salah satu strategi penyediaan pangan dalam rumahtangga pedesaan adalah memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki rumah tangga, khususnya rumah tangga miskin adalah pemanfaatan waktu dari masing-masing anggota keluarga pada kegiatan publik dan domestik yang dapat menghasilkan income.

1.2 Tujuan Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah agar mahasiswa paham dan mengerti mengenai strategi pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga di tingkat pedesaan.

1.3 Metode Penulisan Metode penelitian yang kami gunakan adalah dengan studi literatur melalui media elektronik yang kemudian kami bahas bersama dalam kelompok belajar.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Ketahanan dan Kecukupan Pangan Definisi Ketahanan-Pangan menurut Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Konsep ketahanan pangan tersebut paling tidak melingkupi lima unsur pokok, yaitu: 1) Berorientasi pada kebutuhan rumah tangga dan individu. 2) Setiap saat bahan pangan tersedia dan dapat diakses. 3) Mengutamakan aksesibilitas pangan bagi rumah tangga dan individu; baik secara fisik, maupun sosial-ekonomi. 4) Bertujuan pada pemenuhan kebutuhan gizi secara aman. 5) Sasaran akhir adalah hidup sehat dan produktif. Indikator terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga antara lain : 1) Tersedianya pangan secara cukup, kuantitas dan kualitasnya. 2) Aman (dan halal). 3) Merata (menurut ruang dan waktu), dan 4) Terjangkau oleh individu dan/atau rumaghtangga. Upaya mewujudkan ketahanan pangan minimal harus melingkupi empat aspek berikut: a. Penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup, ketersediaan pangan dalam arti luas, meliputi bahan pangan nabati dan hewani /ikani untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral beserta derivatifnya, yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.

b. Pemenuhan pangan dengan kondisi yang aman, bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta baik dan halal. c. Penyediaan pangan dengan kondisi yang merata, dalam arti pangan yang harus tersedia menurut dimensi waktu dan ruang. d. Penyediaan pangan yang dapat dijangkau, bahan pangan mudah diperoleh rumah tangga dan / atau dengan harga yang terjangkau. Konsep ketahanan-pangan lazimnya melingkupi lima konsep utama, yaitu: a. Ketersediaan Pangan (food availability) : yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. b. Akses pangan (food access) : yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan. c. Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gisi dan pemeliharaan balita.

d.

Stabilitas pangan (food stability) merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi dalam kerawanan pangan kronis (chronic food insecurity) dan kerawanan pangan sementara (transitory food insecurity). Kerawanan pangan kronis adalah ketidak mampuan untuk memperoleh kebutuhan pangan setiap saat, sedangkan kerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi secara sementara yang diakibatkan karena masalah kekeringan banjir, bencana, maupun konflik sosial.

e. Status gizi (Nutritional status ) adalah outcome ketahanan pangan yang merupakan cerminan dari kualitas hidup seseorang. Umumnya satus gizi ini diukur dengan angka harapan hidup, tingkat gizi balita dan kematian bayi. Di Indonesia, kebijakan ketahanan pangan meliputi empat aspek, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup bagi seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata (menurut dimensi ruang dan waktu), (iii) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kesehatan, dan (iv) status gizi dan kesehatan masyarakat.

2.2 Kebijakan untuk Menjamin Ketahanan Pangan Terdapat tiga komponen kebijakan ketahanan pangan : 1. Ketersediaan Pangan: Indonesia secara umum tidak memiliki masalah terhadap ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi tersebut; dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi. Lebih jauh jaringan distribusi swasta yang berjalan secara effisien turut memperkuat ketahanan pangan di seluruh Indonesia. Beberapa kebijakan kunci yang memiliki pengaruh terhadap ketersediaan pangan meliputi Larangan impor beras, Upaya Kementerian Pertanian untuk mendorong produksi pangan, dan Pengaturan BULOG mengenai ketersediaan stok beras

2. Keterjangkauan Pangan: Elemen terpenting dari kebijakan ketahanan pangan ialah adanya jaminan bagi kaum miskin untuk menjangkau sumber makanan yang mencukupi. Cara terbaik yang harus diambil untuk mencapai tujuan ini ialah dengan memperluas strategi pertumbuhan ekonomi, khususnya

pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaum miskin. Kebijakan ini dapat didukung melalui program bantuan langsung kepada masyarakat miskin, yang diberikan secara seksama dengan target yang sesuai. Sejumlah kebijakan penting yang mempengaruhi keterjangkauan pangan meliputi: Program Raskin yang selama ini telah memberikan subsidi beras bagi hampir 9 juta rumah tangga. Upaya BULOG untuk mempertahankan harga pagu beras. Hambatan perdagangan yang mengakibatkan harga pangan domestik lebih tinggi dibandingkan harga dunia. 3. Kualitas Makanan dan Nutrisi: Hal yang juga penting untuk diperhatikan, sebagai bagian dari kebijakan untuk menjamin ketersediaan pangan yang mencukupi bagi penduduk, ialah kualitas pangan itu sendiri. Artinya penduduk dapat mengkonsumsi nutrisi-nutrisi mikro (gizi dan vitamin) yang mencukupi untuk dapat hidup sehat. Konsumsi pangan pada setiap kelompok pengeluaran rumah tangga telah meningkat pada jenis-jenis pangan yang berkualitas lebih baik. Namun, seperti catatan diatas, keadaan nutrisi makanan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sejak akhir krisis. Sejumlah kebijakan penting yang berpengaruh terhadap kualitas pangan dan nutrisi meliputi: Upaya untuk melindungi sejumlah komoditas pangan penting Memperkenalkan program pangan tambahan setelah krisis Penyebarluasan dan pemasaran informasi mengenai nutrisi

2.3 Food Security dan Food Adequacy Ketahanan pangan merupakan suatu wujud dimana masyarakat mempunyai pangan yang cukup di tingat wilayah dan juga di masing-masing rumah tangga, serta mampu mengakses pangan dengan cukup untuk semua anggota keluarganya, sehingga mereka dapat hidup sehat dan bekerja secara produktif. Ada dua prinsip yang terkandung dalam ketahanan pangan, yaitu tersedianya pangan yang cukup dan kemampuan rumah tangga untuk mengakses pangan. Rumah tangga dalam konteks ini adalah semua rumah tangga masyarakat baik rumah tangga petani dan maupun rumah tangga non-petani. Ketahanan pangan mensyaratkan bahwa setiap rumah tangga dapat mengkonsumsi pangan secara cukup. Standar kecukupan dalam mengkonsumsi sekitar 2000 kalori dan ketersediaan 2.500 kalori. Standar kecukupan pangan dinyatakan dalam satuan kalori dan protein (akan terus direvisi standarnya); sedangkan pola pangan harapan merupakan kombinasi konsumsi (kalau dinilai dengan skor 100 berarti sudah cukup beragam dalam mengkonsumsi) bahan-bahan sumber karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dst. Prinsip utama dalam membangun ketahanan pangan adalah bertumpu pada kemampuan sumberdaya, budaya dan kelembagaan lokal. Pangan sedapat mungkin dihasilkan oleh produksi sumberdaya sendiri. Pembangunan pertanian diupayakan sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan keberkelanjutannya, dengan demikian kapabilitas sumberdaya alam harus dijaga kelestariannya. Dalam hubungan ini upaya pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting. Prinsip utama dalam pemberdayaan ini adalah memfasilitasi masyarakat untuk membangun pertanian secara berkelanjutan dan memberikan pendapatan yang layak, memberikan perlindungan dari persaingan yang tidak adil dengan barang-barang dari pasar bebas.

2.4 Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Permasalahan pangan di pedesaan, sebenarnya adalah permasalahan lokal, yaitu bagaimana sebenarnya kemampuan masyarakat pedesaan dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga didesanya sesuai dengan preferensi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Cara pandang administratif terhadap desentralisasi pangan di tingkat lokal bahwa permasalahan di tingkat lokal menuntut pendekatanpendekatan yang fleksibel dan spesifik lokasi. Desentralisasi yang demokratik dapat memfasilitasi pemecahan masalah pangan secara partisipatif, perencanaan pangan yang efektif dan sekaligus implementasinya di tingkat lokal. Pengertian ini mengandung makna pemenuhan kebutuhan pangan di pedesaan tidak semata-mata didasarkan pada produksi tanaman pangan yang ada di wilayah tersebut namun lebih pada bagaimana masyarakat pedesaan mampu menyediakan kebutuhan pangannya. Ukuran normatif dalam pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat lokal menyangkut pada permasalahan ketersediaan, keandalan, kemudahan dan kualitasnya. Berbagai faktor harus diperhatikan dalam merumuskan kebijakan pangan di tingkat lokal yang berbasis pada sistem sosial budaya setempat. Faktor-faktor tersebut adalah culture, religion, status, community, tradition, school, home & family, geography, history, economics, science, technology, agriculture, climate, medicine, genetics. Kebijakan bercocok tanam misalnya, tidak hanya memperhatikan masalah lahan yang cukup, iklim yang cocok, ilmu pengetahuan yang mendukung; tetapi juga memperhatikan masalah sosial budaya masyarakat setempat mengenai jenis tanaman yang diterima secara baik. Cara ini seharusnya merupakan bagian dari strategi keberlanjutan (sustainability) kebijakan pangan yang harus dilaksanakan. Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena terkait dengan persediaan bahan pangan. Pangan, khususnya beras, di Indonesia menempati posisi strategis, karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Akan tetapi petani sebagai penghasil beras ternyata basibnya belum makmur. Tekanan sosial-ekonomi yang dialami oleh petani sangat beragam

intensitas dan durasinya. Kemiskinan yang dialami oleh rumah tangga petani berpangkal pada terbatasnya pemilikan dan penguasaan lahan, kegagalan panen, mahalnya biaya produksi dan keuntungan yang kecil, serta ketersediaan cadangan subsistesi yang terbatas. Kondisi ketidakpastian dan tekanan hidup yang dialami oleh rumah tangga petani, telah menimbulkan berbagai reaksi dan respon yang dilakukan oleh rumah tangga petani untuk menghadapinya. Untuk mengatasi kebutuhan hidup yang makin kompleks, rumah tangga petani menetapkan strategi untuk

mempertahankan kelangsungan hidup mereka, yaitu dengan cara mencari penghasilan tambahan, menghemat pengeluaran, mencari pinjaman (hutang), serta menjalin kehidupan gotong royong dengan tetangga dan kerabat. Manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan pangannya. kebutuhan Manusia dalam hal ini memiliki akses terhadap berbagai aset dan hidup lainnya. Penghidupan berkelanjutan merupakan: suatu

sumberdaya produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan dan

penghidupan yang meliputi kemampuan atau kecakapan, aset-aset (simpanan, sumberdaya, claims dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana hidup. Ada lima sumberdaya kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu: human capital, yakni modal yang dimiliki berupa keterampilan, pengetahuan, tenaga kerja, dan kesehatan. Social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki masyarakat seperti jaringan, keanggotaan dari kelompok-kelompok, hubungan berdasarkan kepercayaan, pertukaran hak yang mendorong untuk berkoperasi dan juga mengurangi biayabiaya transaksi serta menjadi dasar dari sistem jaringan pengaman sosial yang informal. Natural capital adalah persediaan sumber daya alam seperti tanah, hutan, air, kualitas udara, perlidungan terhadap erosi, keanekaragaman hayati, dan lainnya.

10

Physical capital, adalah infrastruktur dasar jalan, saluran irigasi, sarana komunikasi, sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses terhadap komunikasi, dsbnya.

Financial capital, adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya seperti uang tunai, persediaan dan peredaran uang reguler. Hubungan individu atau rumahtangga terhadap pangan didasarkan pada

konsep entitlement atau hak terhadap pangan. Dalam konsep ini, memproduksi dan mendapatkan pangan bagi manusia adalah hak asasi. Ada beberapa cara manusia dalam mengakses pangan yaitu: direct entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui hubungan hubungan di dalam kegiatan proses produksi pangan. exchange entitlement, yakni hak dan akses atas pangan yang diperoleh melalui hubungan tukar menukar jasa atau keahlian. trade entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui hubungan jual beli komoditi yang diproduksi sendiri; dan social entitlement, yakni hak dan akses terhadap pangan yang diperoleh melalui pertukaran sosial di antara anggota komunitas sosial. Sistem pangan individu, rumahtangga atau masyarakat yang lebih luas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis. Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan (vulnerability) dan kemampuan individu atau rumah tangga dalam menghadapi perubahan. Penyebab kerentanan adalah shock yaitu perubahan mendadak dan tidak terduga (karena alam, ekonomi, konflik, dan lainnya). Seasonality atau musiman yang dapat diperkirakan dengan hampir pasti, seperti perubahan secara musiman dari harga, produksi, dan iklim. Setiap individu dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan system penyesuaian diri dalam merespon perubahan tersebut (shocks, trends, dan seasonality). Respons itu bersifat jangka pendek yang disebut coping mechanism atau yang lebih jangka panjang yang disebut

11

adaptive mechanism. Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan. Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhitungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang justru tidak akan menjamin keberlanjutan ketahanan pangan individu dan rumahtangga.

2.5 Studi Kasus Ironis, Masyarakat Gadingsari Masih Membeli Beras Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, adalah desa produsen beras. Ironisnya, meskipun sebagai salah satu daerah penghasil beras, petani di daerah tersebut hingga kini masih harus mencukupi kebutuhan berasnya dengan cara membeli. "Mirip dengan kondisi negara kita. Meski sebagai produsen utama beras dunia, Indonesia hampir setiap tahun selalu menghadapi masalah pemenuhan kebutuhan pangan," kata Diana Kusumawijaya, peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Jumat (12/2). Menurut Diana, peristiwa gempa 27 Mei 2006 silam turut memberi andil dalam perubahan dan perkembangan masyarakat desa di Kabupaten Bantul. Kondisi ekonomi masyarakat dinilainya belum pulih sepenuhnya, terutama di sektor perekonomian rumah tangga. Hal ini tentu saja berpengaruh pada kualitas konsumsi pangan masyarakat. "Meskipun gempa telah terjadi 3,5 tahun yang lalu, dampaknya masih terasa. Lumpuhnya sektor industri menyebabkan sebagian masyarakat yang biasanya mendapatkan penghasilan tambahan sebagai pekerja tidak tetap menjadi kehilangan pendapatan dari sumber tersebut," jelasnya di kampus UGM saat mengupas buku Ketahanan Pangan di Berbagai Tipologi Area Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

12

Selain perubahan eksternal seperti gempa, perkembangan komunikasi modern yang merambah desa turut berperan menggeser gaya hidup pedesaan ke gaya hidup modern. Akibatnya, hal itu mempertipis perbedaan desa dan kota, khususnya untuk kebutuhan nonprimer. Secara umum, hasil penelitian Diana memperlihatkan produksi sawah masyarakat Gadingsari sesungguhnya telah mencukupi kebutuhan konsumsi untuk keluarga mereka sendiri. Hanya saja, masih didapati sebagian masyarakat yang membeli beras. Hal ini disebabkan muncul kecenderungan masyarakat menjual hasil panennya untuk keperluan lain, seperti menutupi kekurangan biaya rumah tangga, biaya sosial, cicilan kredit, dan sebagainya. "Permasalahan tersebut dapat dipahami karena memang pendapatan masyarakat dari usaha tani tanaman pangan proporsinya 38 %, sementara kontribusi terbesar berasal dari luar usaha tani yang proporsinya mencapai 59 %," tutur Diana. Sebagai peneliti, Diana meyakini kontribusi pendapatan yang berasal dari luar usaha tani. Hanya saja, kontribusi tersebut saat ini masih belum optimal. Di samping gempa yang menyebabkan sektor usaha produktif belum pulih, faktor resesi global juga menjadi penyebab sektor kerajinan di Bantul mengalami kesulitan.(Humas UGM/Agung)

Analisis Kasus: Dari kasus diatas dilihat bahwa ketersedian pangan di Desa Gadingsari pada dasarnya sudah terpenuhi. Tetapi karena ada kcenderungan mereka menjual sebagian hasil panen mereka menyebabkan para petani harus membeli lagi beras yang lain. Hal ini dikarenan mereka menjual beras tersebut untuk menutupi kekurangan biaya rumah tangga, biaya sosial, cicilan kredit, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu saja strategi pemenuhan kebutuhan pangan yang merekan gunakan kurang tepat. Hal ini terlihat dari penggunaan hasil pertyanian mereka. Selain itu juga adanya perubahan pola

13

hidup mereka yang menyebabkan mereka masih belum bisa memenuhi kebutuhan mereka. Lemahnya perekonomian masyarakat desa yang bertumpu pada sektor pertanian serta ketidakyakinan masyarakat pada sektor pertanian terlihat pada proporsi pendapatan masyarakat Desa Gadingsari yakni pendapatan masyarakat dari usaha tani tanaman pangan proporsinya 38 %, sementara kontribusi terbesar berasal dari luar usaha tani yang proporsinya mencapai 59 %, dari data tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Desa Gadingsari lebih memilih mata pencaharian utamanya di luar sektor pertanian yakni pada sektor industri. Maka pada saat sektor industri tidak berjalan akibat gempa yang terjadi beberapa tahun lalu, maka pendapatan masyarakat pun hilang 59 % dan hanya menggantungkan harapan pada pendapatan di sektor pertanian sebesar 38 %. Walaupun masyarakat dapat memproduksi bahan kebutuhan pokok misalnya beras dari hasil usaha taninya, tetapi masayrakat Desa Gadingsari tidak serta merta mengkonsumsi seluruh hasil usaha taninya tersebut tetapi sebagian besar dijual untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka diluar kebutuhan pangan, dan untuk memenuhi kebutuhan pangan apabila tidak mencukupi, maka penduduk desa terpaksa membeli beras. dan untuk memenuhi kebutuhan pangan apabila tidak mencukupi, maka penduduk desa terpaksa membeli beras. Kasus di atas memang menjadi sebuah ironi karena mencerminkan lemahnya sektor pertanian dalam mengangkat para pelaku usaha tani khususnya para petani itu sendiri yang selalu dikorbankan dengan kebijakan-kebijakan yang selalu tidak menguntungkan para petani yang pada ujungnya petani tidak mampu memenuhi ketersediaan pangan untuk kebutuhan rumah tanggaya walaupun pada kenyataannya petani tersebut mengusahatanikan tanaman pangan. Oleh karena itu perlu ada suatu kebijakan yang mendukung agar ketersediaan pangan di masyarakat dapat terus terjaga dan masyarakat pun mampu untuk mengaksesnya, kebijakan tersebut diantaranya dengan menguatkan perekonomian masyarakat lemah (petani) dan dengan diadakannya diversifikasi pangan.

14

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Setiap orang memiliki keinginan untuk sejahtera, suatu keadaan yang serba baik, atau suatu kondisi di mana semua orang dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Ukuran kesejahteraan secara ekonomi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu konsumsi dan produksi (skala usaha). Dari sisi konsumsi , kesejahteraan dapat didekati dengan cara menghitung seberapa besar pengeluaran yang dilakukan seseorang atau rumah tangga untuk kebutuhan pangan dan sandang, serta kebutuhan lainnya dalam waktu atau periode tertentu. Beragam cara dan strategi yang ditempuh oleh individu dan/atau rumah tangga untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang setinggi-tingginya, termasuk di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan kecukupan pangannya.

3.2 Saran Pemerintah seharusnya tidak menumpukan kebutuhan pangan

masyarakatnya pada satu komoditas pangan saja misalnya beras, hal ini akan mempertinggi kemungkinan kerawanan pangan di kalangan msyarakat, oleh karena itu pemerintah seharusnya mempunyai program diversifikasi pangan kemudian mensosialisasikan program ini dengan baik agar kerawanan pangan dapat diminimalisir. Banyak potensi kododitas pangan selain beras yang dapat dijadikan bahan pangan utama. Selain itu, perekonomian masyarakat pun harus selalu ditingkatkan agar akses masyarakat terhadap pangan tidak sulit.

15

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2011. Ironis, Masyarakat Gadingsari Masih Membeli Beras. http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2513. tanggal 24 september 2011 ] [Diakses Pada

16

You might also like