Professional Documents
Culture Documents
A. Manusia sebagai Objek dan Subjek Lingkungan Sejak manusia dilahirkan ke dunia sudah membawa insting (akal). Manusia hidup dan berkembang di lingkunagn masing-masing baik secara alamiah maupun sosial. Peran lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan manusia, terutama lingkungan sosial.
Manusia menjadi objek sekaligus subjek lingkungan karena manusia hidup dan berkembang di lingkungan masing-masing, megolah sumber-sumber alam dam sosial yang ada di lingkungan tersebut serta memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan hidupnya.
Mengelola dan memanfaatkan lingkungan tidak terbatas pada lingkungan fisis saja tetapi lingkungan sosial tidak kalah pentingnya karena dengan sosial yang baik maka manusia akan menjadi baik,begitu pula sebaliknya. Baik lingkungan fisis maupun lingkungan sosial dalam pengelolaan dan pemanfaatannya memerlukan perilaku yang manusiawi yaitu perilaku yang didasarkan pada akal budi manusia yang sesuai dengan budaya dan etika sebagai manusia.
Kehidupan yhang manusiawi tentunya dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oelh perilaku. Hal yang cukup mempengaruhi perilaku manusia tersebut karena faktor lingkungan dimana dia tinggal.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup lainnya (UndangUndang No.4 tahun 1982)
Pendekatan atau jalan keluar dari masalah lingkungan hidup harus diusahakn lewat pendidikan dan penyuluhan agar masyarakat menyadari sepenuhnya apa itu masalah lingkungan hidup dan apa artinya bagi dirinya sendiri, lingkungannya dan keturunannya (B.N. Marbun,1994)
B.N Marbun memberikan langkahlangkah kongkrit dalam menanggulangi masalh lingkungan hidup
1. menciptakan peraturan standar yang mengatur segala seluk beluk persyaratan pendirian pabrik atau industri 2. Adanya perencanaan lokasi industri yang tepat 3. Memilih proses industri yang minim polusi dilihat dari bahan baku, reaksi kimia, penggunaan air, asap, penyimpanan bahan baku dan barang jadi, serta transportasi dan penyuluhan cairan buangan
4. pengelolaan sumber air secara berencana diertai pangamatan terhadap segla aspek yang berhubungan dengan pengolahan air tersebut 5. Pembuatan sistem pengelolaan air limbah secara kolektif dari seluruh indudtri yang berada di lokasi tertentu 6. Penanaman pohon secara merata dan berencana di sleuruh kota
7. peraturan dan penataan penggunaan tanah dasar rencana induk pembangunan kota sesuai dengan peruntukannya secara seimbang 8. Perbaikan lingkungan sosial ekonomi masyarakat hingga mencapai taraf hidup yang memenuhi pendidikan, komunikasi dan kebutuhan sehari-hari.
Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah hubungan interaksi antara manusia dengan manusia lain yang terjalin harmonis Manusia mengalami proses belajar melalui interaksi sosialnya. Hasil belajar ini tentu berbeda-beda sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri dan keadaan lingkungan. Perilaku manusia tidak dapat terlepas dari faktor lingkungan dan pada gilirannya akan membawa perubahan sosial budaya
Hubungan antara manusia, lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya saling kait mengkait karena tinggi rendahnya kualitas lingkungan bergantung kepada manusia sendiri.
Tekanan studi ekologi manusia yaitu hubungan populasi manusia dengan lingkungannya sepanjang adanya jalinan hidup di antara keduanya yang saling mempengaruhi. Jalinan hidup tertentu disebut ekosistem.
Lingkungan Alam (Natural Environment): segala kondisi alamiah baik yang terdiri dari alam anorganik (abiotik), maupun yang terdiri dari alam organik (biotik) yang masih belum sepenuhnya sosial yaitu manusia baik perorangan maupun kelompok.
Lingkungan Budaya: segala kondisi hasil cipta karya manusia baik yang berupa benda-materi, maupun yang tidak berupa benda, bangunan, pakaian, benda hasil karya seni, peraturan, gagasan, sistem nilai, dan sebangsanya, termasuk lingkungan budaya.
Ketidakmampuan manusia mengatur keseimbangan antara kebutuhan hidupnya dengan kemampuan lingkungan telah menimbulkan masalah lingkungan yang megancam kehidupannya.
Melalui studi lingkungan kita dapat mengungkapkan lingkungan mana yang menjadi penyebab masalah, dan lingkungan mana yang menjadi penopang atau penunjang utamabagi pembangunan. Studi lingkungan bukanlah merupakan pekerjaan yang sederhana, melainkan merupakan pekerjaan yang melibatkan segala aspek kehidupan.
Demografi mempelajari struktur dan proses penduduk di suatu wilayah. Struktur penduduk meliputi jumlah, penyebaran dan komposisi penduduk. Demografi lebih menekankan studinya pada proses demografi Demografi bersifat analisismathematis, dan karena itu sering disebut juga statistik penduduk
Ilmu kependudukan
Ilmu kependudukan atau studi kependudukan (population study) lebih luas dari demografi, karena di dalam memahami karakteristik penduduk di suatu wilayah, faktor-faktor non demografispun ikut dipertimbangkan.
Studi kependudukan dapat pula dibagi menjadi 2 tipe: 1. Mengambil variabel non demografi sebagai variabel pengaruh dan variabel demografi ebagai variabel terpengaruh 2. Mengambil variabel demografi sebagai variabel pengaruh.
dengan kebijakan kependudukan? Menurut Faturochman dan Agus Dwiyanto (2001), permasalahan itu berputar pada masalah pokok demografis yaitu fertilitas (kelahiran) mobiditas (kesakitan), mortalitas (kematian) dan mobilitas (migrasi).bila menyadari bahwa permasalahan kependudukan tidak mengkaji individu per individu, masalah yang sesungguhnya tidak pernah sederhana
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang kebijakannya perlu ditinjau dulu seperti apakah perubahan indikator-indikator kependudukan yang terjadi. Dalam waktu sekitar tiga dasawarsa terakhir, pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami penurunan yang sangat bermakna. Pada periode 1971-1980 angka pertumbuhan penduduk adalah 2,32% pertahun, sedangkan pada periode 1955-2000 diperkirakan BPS (1998) sekitar 1,50% pertahun. Penurunan yang cukup besar ini disumbang oleh penurunan fertilitas (TFR) dari 5,20 pada sekitar pertengahan rahun 70-an menjadi 2,78 pada pertengahan tahun 90-an.
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang kebijakannya perlu ditinjau dulu seperti apakah perubahan indikatorindikator kependudukan yang terjadi. Dalam waktu sekitar tiga dasawarsa terakhir, pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami penurunan yang sangat bermakna. Pada periode 1971-1980 angka pertumbuhan penduduk adalah 2,32% pertahun, sedangkan pada periode 19552000 diperkirakan BPS (1998) sekitar 1,50% pertahun. Penurunan yang cukup besar ini disumbang oleh penurunan fertilitas (TFR) dari 5,20 pada sekitar pertengahan rahun 70-an menjadi 2,78 pada pertengahan tahun 90-an.
Perubahan yang menggembirakan dari kedua indicator tersebut sangat penting sebagai pijakan dalam menyusun kebijakan yang baru. Namun, hal itu tidak cukup, masih ada masalahmasalah kependudukan lain yang berindikasi negative. Penduduk miskin yang masih banyak dan meningkatnya pengangguran akibat krisis adalah dua masalah yang sangat penting untuk diperhatikan.
. Oleh karena itu, pada sisi lain, permasalahan kependudukan bisa melebar keberbagai permasalahan sosial ekonomi lain. Ketenagakerjaan dan kemiskinanan, sebagai contoh adalah dua isu yang sangat erat dan sering dianggap sebagai bagian dari permasalahn kependudukan.karenanya, tidak mengherankan bila Badan Koordinasi Keluarga Berncana Nasional (BKKBN) merasa ikut bertanggung jawab dengan masalah kemiskinan dan lembaga ini mempunyai program pengentasan keluarga miskin.
Tuntutan terhadap perubahan kebijakan kependudukan adalah arah perubahan yang lebih mendasar, tidak sekedar tambal sulam. Kapasitas politik dan finansial pemerintah tidak memungkinkan lagi pelaksanaan kebijakan dan program transmigrasi dan sebagaimana yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah. Sementara ini, di lain pihak pemerintah menghadapi masalah baru yang tidak kalah peliknya, yaitu dengan semakin banyak jumlah pengungsi. Meihat perkembangan yang selama ini terjadi, rasa pesimis bahwa pemerintah kurang mampu memberi respon yang tepat terhadap berbagai tuntutan perubahan itu sangat beralasan..
Beberapa isu yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam meninjau kembali kebijakan kependudukan yang ada dan merumuskan kebijakan baru yang mampu mengendalikan pertumbuhan dan persebaran penduduk tetapi yang lebih penting lagi bisa memperbaiki martabat dan kualitas dari penduduk Indonesia.
Pertama, visi dan arah dari pembangunan kependudukan perlu diperjelas. Sebelum ini, arah kebijakan dan program-program kependudukan leih banyak ditunjukan pada target-target kuantitatif dari parameterparameter demografis seperti penurunan angka fertilitas dan mortalitas, serta jumlah peserta program trasnmigrasi.
Kedua, penduduk yang selama ini menjadi sasaran program seringkali tidak tahu kemana arah mereka akan dibawa. Hal ini terkait dengan hak untuk mengetahui informasi kebijakan dan program kependudukan serta hasilnya. Informasi kependudukan dalam berbagai bentuk data sejauh ini terbatas penggunanya pada kalangan pemerintah, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat.
Ketiga, berkaitan dengan isu diatas, masalah kelembagaan dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan program-program kependudukan hingga sekarang belum jelas pengaturannya. Kantor Menteri NegaraKependudukan yang sebelumnya berdiri sendiri, pada awal pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid lembaga ini digabung menjadi satu dengan Kementrian Transmigrasi dan sekarang tidak jelas keberadaannya. Perubahan ini tentu memiliki implikasi yang tidak sederhana terhadap orientasi dan arah kebijakan kependudukan.
Masalah kelembagaan lain adalah tingginya fragmentasi lembaga yang terlibat dalam pembangunan kependudukan. Begitu banyaknya kementrian dan lembaga non-departemen yang membuat kebijakan dan program kependudukan menjadi tumpang tindih dan tidak jelas arahnya. Sekedar contoh, dalam pengembangan data dan informasi kependudukan ada begitu banyak lembaga yang terlibat diantaranya, BPS, BKKBN, Departemen Dalam Negeri, serta Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.
Keempat, keserasian kebijakan dan program tidak hanya dituntut pada tingkat pusat. Keserasian kebijakan dan program pada tingkat pusat dan nasional dengan daerah seharusnya menjadi salah satu sasaran kinerja program. Sudah lama isu keserasian program pada tingkat pusat dengan daerah terjadi, tetapi selama ini tidak ada upaya yang serius untuk memecahkannya.
Desentralisasi
kekuasaan dan otonomi daerah sudah ditetapkan melalui UU no 22 Tahun 1999. Desentralisasi yang berarti pemberian peran dan kewenangan daerah yang lebih besar sejauh ini masih merupakan retirika dari pada upaya pembagian ruang yang lebih besar kepada daerah untuk merumuskan kebijakan dan programnya sendiri.
Kelima, ada beberapa isu lama yang masih terus menjadi perhatian seperti masalah perempuan, penduduk usia lanjut, penduduk miskin dan penduduk dipedesaan. Beberapa isu ini menjadi sorotan pada tingkat kebijakan dan program secara anginanginan.
Disamping itu, seperti disebutkan pada pembahasan isu kedua, kelompok penduduk ini lebih banyak dijadikan sebagai obyek kebijakan dan program pembangunan tanpa ada upaya secara lebih serius untuk menanganinya. Kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang muncul berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut tidak jelas.