You are on page 1of 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Alloh Swt. Yang telah memberikan banyak nikmatnya kepada kami. Sehingga kami mampu menyelesaikan Makalah Pendidikan Pancasila ini sesuai dengan waktu yang kami rencanakan. Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Pancasila. Yang meliputi nilai tugas, nilai kelompok, nilai individu, dan nilai keaktifan. Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk mengubah materi yang sudah tersusun. Namun, hanya lebih pendekatan pada study banding atau membandingkan beberapa materi yang sama dari berbagai referensi. Yang semoga bisa member tambahan pada hal yang terkait dengan Kepentingan Pendidikan Pancasila dalam perkembangan Negara Indonesia di Era Reformasi. Pembuatan makalah ini menggunakan metode study pustaka, yaitu mengumpulkan dan mengkaji materi Pendidikan Pancasila dari berbagai referensi. Kami gunakan metode pengumpulan data ini, agar makalah yang kami susun dapat memberikan informasi yang akurat dan bisa dibuktikan. Penyampaian pembandingan materi dari referensi yang satu dengan yang lainnya akan menyatu dalam satu makalah kami. Sehingga tidak ada perombakan total dari buku aslinya. Kami sebagai penyusun pastinya tidak pernah lepas dari kesalahan. Begitu pula dalam penyusunan makalah ini, yang mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon maaf atas segala kekurangannya.

Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945


A. Pendahuluan
Dalam pertumbuhan dan perkembangan kebangsaan Indonesia, dinamika rumusan kepentingan hidup-bersama di wilayah nusantara diuji dan didewasakan sejak dimulainya sejarah kebangsaan Indonesia. Pendewasaan kebangsaan ini memuncak ketika bangsa ini mulai dijajah dan dihadapkan pada perbedaan kepentingan ideologi (awal Abad XIX) antara Liberalisme, Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme-Indonesia, dan Komunisme, yang diakhiri secara yuridisketatanegaraan (18 Agustus 1945) dengan ditetapkannya Pancasila oleh Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI) sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perkembangan selanjutnya ideologi Pancasila diuji semakin berat terutama pada tataran penerapannya dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Ujian ini berlangsung sejak ditetapkannya sampai dengan saat ini di era reformasi. Salah satu isu sentral dan strategis yang melatarbelakangi adanya pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia (dari Orde Revolusi Fisik, Orde Lama, Orde Baru, sampai ke Era Reformasi) adalah berkaitan dengan penerapan Pancasila. Sejak munculnya krisis moneter (1997) yang berdampak pada krisis nasional yang bermultidimensi dan dimulainya Era Reformasi (1998), kritikan dan hujatan terhadap penerapan Pancasila begitu menguat. Krisis itu ditunjukkan dengan adanya berbagai permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Di antaranya seperti pergantian kepemimpinan nasional yang tidak normal, kerusuhan sosial, perilaku anarki, dayabeli masyarakat terpuruk, norma moral bangsa dilanggar, norma hukum Negara tidak dipatuhi, norma kebijakan pembangunan disiasati, dan hutang luar negeri melonjak tinggi. Perilaku ini semua berpangkal pada tatakelola negara yang kurang bertanggungjawab dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela sebagai wujud dari penerapan Pancasila yang keliru. Karenanya, banyak kalangan yang menjadi sinis dan menggugat efektivitas penerapan Pancasila. Melihat kondisi bangsa Indonesia seperti itu diperlukan upayaupaya untuk mengatasinya.

B. Latarbelakang Perlunya Penerapan Pancasila


Secara pertimbangan politik, Pancasila perlu diaktualisasikan dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan mengingat
2

Pancasila sebagai ideologi nasional yang merupakan visi kebangsaan Indonesia (yang membina persatuan bangsa) yang dipandang sebagai sumber demokrasi yang baik di masa depan dan yang lahir dari sejarah kebangsaan Indonesia. Visi kebangsaan dan sumber demokrasi Indonesia ini perlu diterapkan sebagai nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan etika untuk melandasi dan mengawal perubahan politik dan pemerintahan yang sedang terjadi dari model sentralistik (otoriter yang birokratis dan executive-heavy) menuju model desentralistik (demokrasi yang multipartai dan legislativeheavy). Latarbelakang seperti itu didorong pula oleh realita penerapan Pancasila selama ini yang dipersepsi publik sebagai untuk kepentingan (alat) penguasa, yang ditantang oleh globalisasi ideologi asing (terutama Liberalisme), yang gagal dalam mengatasi penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebagai akibat adanya salah-urus mengelola negara, serta yang perwujudan praktek demokrasinya berkonotasi buruk. Ini semua seringkali diarahkan pada Pancasila yang dijadikan kambinghitam-nya. Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila adalah dasar-negara NKRI yang dirumuskan dalam (Pembukaan) UUD 1945 dan yang kelahirannya ditempa dalam proses perjuangan kebangsaan Indonesia sehingga perlu dipertahankan dan diaktualisasikan walaupun konstitusinya berubah. Di samping itu, Pancasila perlu memayungi proses reformasi untuk diarahkan pada reinventing and rebuilding Indonesia dengan berpegangan pada perundang-undangan yang juga berlandaskan Pancasila dasar negara. Melalui UUD 1945 sebagai payung hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktek berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan dapat meredam konflik yang tidak produktif . Dimensi pertahanan dan keamanan memandang bahwa keberadaan Pancasila erat kaitannya dengan sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI), sehingga pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen merupakan landasan idiil dan konstitusional bagi ketahanan nasional serta merupakan filter untuk tantangan liberalisme-kapitalisme di Indonesia yang semakin menguat. Pancasila perlu diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena banyaknya dampak negative kebijakan otonomi daerah (seperti timbul ego daerah, primordialisme sempit) sebagai akibat dari sempitnya pemahaman Pancasila, terjadinya degradasi nilai-nilai kekeluargaan dan tenggang-rasa di masyarakat, serta disalahgunakan implementasinya oleh penguasa sehingga legitimasinya sudah pada titik nadir (antiklimaks).

Dimensi sosial ekonomi memandang perlunya diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena Pancasila sebagai falsafah negara yang mewujudkan system ekonomi Pancasila serta sebagai sumber sistem ekonomi kerakyatan. Pandangan ini diperkuat oleh realita tentang keadaan negara yang labil yang telah berdampak pada efektifnya pengaruh globalisasi terhadap penguatan campurtangan asing (badanbadan internasional) terhadap perekonomian nasional. Begitu pula dimensi kesejahteraan rakyat yang memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena kemampuan ideologi Pancasila yang bersimetris dengan tingkat kesejahteraan rakyat dan kedaulatan rakyat serta yang perlu dianalisis substansi ideologinya pada segi ontologi dan epistemologinya. Di samping itu didorong pula oleh realita tentang bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis-diri (dekadensi moral), krisis kepercayaan, mengalami gangguan (disrupsi) toleransi, masih memiliki kelemahan filsafat-ilmiahnya, serta belum merasakan terpenuhinya harapan bangsa atau lemah aktualisasinya dalam usaha kecil, menengah, dan mikropedesaan. Dimensi lingkungan hidup memandang perlunya diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia karena Pancasila sebagai jiwa rakyat Indonesia. Untuk itu maka diperlukan pedomannya untuk menghayati sila-sila Pancasila serta untuk mengejawantahkan Pancasila yang diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan dengan lingkungan hidup (Sumber Daya Alam: SDA). Demikian pula hal itu diperlukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nasional serta untuk memperbaiki dampak dari eksploitasi SDA dan lingkungan hidup terutama pada sektor-sektor strategisnya (kehutanan, pertanian, dan pertambangan). Dimensi pendidikan memandang Pancasila perlu diaktualisasikan dengan alasan bahwa ia perlu difahami dan dihayati kembali oleh seluruh komponen bangsa. Sehubungan dengan ini, anak sebagai harapan bangsa dan generasi penerus sudah seharusnya menyerap nilai-nilai Pancasila sejak dini dengan cara diasah, diasih, dandiasuh. Di samping itu dalam realita kehidupan sehari-hari selama ini Pancasila telah dijadikan alat-penguasa untuk melegitimasi perilaku yang menyimpang yang tidak mendidik, dihilangkannya Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan Pancasila dalam kurikulum nasional (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), hancurnya pembangunan karena moral yang serakah

dibiarkan merajalela, serta menguatnya desakan konsumerisme untuk membeli gengsi (kehidupan semu). Dimensi budaya memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan (dikinikan) oleh dan bagi bangsa Indonesia dengan pertimbangan perlunya visi NKRI 2020 untuk menjadi negara Industri Maju Baru. Dengan demikian rumusan Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 tak perlu dipermasalahkan lagi tetapi justru diperlukan pengembangan budaya Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (kreatif, berbudi, berdaya, perdamaian, dll). Hal ini dianggap penting mengingat sejak reformasi, persatuan dan kesatuan menjadi tidak kokoh serta kondisi bangsa yang masih menghadapi tingkat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Terakhir, dimensi keagamaan memandang perlunya Pancasila diaktualisasikan oleh dan bagi bangsa Indonesia mengingat keragaman agama perlu disikapi sebagai permataindah untuk dipilih. Hal ini sebagai pewujudan terhadap hasil penelusuran sejarah perumusannya. Di samping itu Pancasila dan Agama serta nilai-nilai lainnya telah membentuk ideologi Pancasila yang bila dijaga dan diimplementasikan dengan baik dan benar maka negara akan tegak dan kokoh. Pertimbangan lainnya adalah karena selama ini terkesan masyarakat telah trauma bila diajak bicara Pancasila karena dianggap Orde Baru. Selain itu pada pengalaman telah diimplementasikan secara indoktrinatif melalui P4, yang dalam prakteknya justru Pancasila yang seharusnya berfungsi sebagai perekat bangsa mulai diabaikan, sehingga ada fenomena untuk mendirikan negara dengan prinsip Islam atau dengan ideologi-alternatif lainnya sehingga memicu konflik yang mengatasnamakan agama, etnis, bahkan separatisme yang mengancam NKRI.

C. Esensi Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945


Berdasarkan latarbelakang itu, dalam forum Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila terungkap pikiran-pikiran tentang esensi berupa visi dan misi aktualisasi Pancasila di masa depan, yang rumusannya ditigakelompokkan. 3.1 Bidang Politik, Hukum, dan Hankam Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam wujud sebagai penyemangat persatuan dan kesadaran nasional (nasionalisme); yang harus dihayati dan diamalkan oleh penyelenggara negara, lembaga negara, lembagaa masyarakat, dan warganegara; tolok ukur eksistensi kelembagaan politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya;
5

referensi dasar bagi sistem dan proses pemerintahan; yang prinsipprinsipnya terejawantahkan dalam tugas-tugas legislatif, eksekutif, dan yudikatif; alat pemersatu/perekat bangsa dan kebangsaan Indonesia; objek kajian dari berbagai sisi dan referensi-pendukung yang berlainan/beragam; serta sebagai rujukan untuk kebijakan politik, pemerintahan, hukum, dan hankam. Di samping itu, Pancasila sebagai dasar bagi segala pergerakan dan kemajuan bangsa; ruh yang bertahta kuat di dalam hati dan pikiran warganegara; ideologi yang menempatkan bangsa Indonesia sejajar dan berdampingan dengan bangsa/negara lainnya secara merdeka dan berdaulat; ideologi yang realistis, idealistis, dan fleksibel; dan bukan dijadikan agama sekuler. Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang berhakikat (a) kebebasan, terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan, keterbukaan, menjunjung etika dan norma kehidupan, (b) kebijakan politik atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, kontrol publik, pemilu berkala, serta (c) supremasi hukum. Begitu pula standar demokrasinya yang (a) bermekanisme checks and balances, transparan, akuntabel, (b) berpihak kepada social welfare, serta yang (c) meredam konflik dan utuhnya NKRI. 3.2 Bidang Sosial Ekonomi, Kesejahtyeraan Rakyat, dan Lingkungan Hidup Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam wujud sebagai nilai dan ruh bagi ekonomi-kerakyatan atas prinsip kebersamaan, keadilan, dan kemandirian; sistem ekonomi Pancasila yang menekankan pada harmoni mekanisme harga dan sosial (sistem ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar; yang bersasaran ekonomi kerakyatan (agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ketergantungan, rasa was-was, dan rasa diperlakukan tidak adil; yang memosisikan Pemerintah yang memiliki asset produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang penting bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak. Di samping itu Pancasila diaktualisasikan sebagai yang mendorong dan menjamin adanya affirmative actions, yaitu (a) anak yatim dan fakir miskin dipelihara oleh negara, (b) setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, serta (c) tidak ada diskriminasi (positive discriminations). Untuk ini perlu pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila yang rumusannya adalah yang sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 (sebelum dirubah), sehingga dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM).
6

Aktualisasinya dalam bidang lingkungan hidup, Pancasila diwujudkan sebagai ruh bagi perundang-undangan bidang sosial ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan lingkungan hidup; yang menegaskan bahwa kualitas lingkungan hidup sangat berkaitan dengan kualitas hidup; yang berwawasan kebangsaan melalui pemeliharaan lingkungan hidup serta pensejahteraan seluruh rakyat secara adil, makmur, dan merata; serta yang dipahami bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup beserta perilakunya. 3.3 Bidang Pendidikan, Budaya, dan Keagamaan Esensi pikiran-pikiran di bidang ini merumus pada aktualisasi Pancasila dalam wujud sebagai landasan idiil bagi pembangunan pendidikan, budaya, dan keagamaan di Indonesia yang menghilangkan penonjolan kesukuan, keturunan, dan ras; ideology terbuka yang mendorong kreativitas dan inovativitas; spirit untuk pengembangan dinamika masyarakat dalam pembentukkan watak peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; serta visi dan misi pendidikan nasional bagi anak Indonesia. Problema yang dihadapi berintikan pada masalah kebudayaan, yang pemecahannya secara mendasar adalah melalui proses pendidikan secara menyeluruh. Di bidang budaya, aktualisasi Pancasila berwujud sebagai pengkarakter sosial budaya (keadaban) Indonesia yang mengandung nilai-nilai religi, kekeluargaan, kehidupan yang selaras-serasi-seimbang, serta kerakyatan; profil sosial budaya Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia yang gagasan, nilai, dan norma/aturannya yang tanpa paksaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan; proses pembangunan budaya yang dibelajarkan/dikondisikan dengan tepat dan diseimbangkan dalam tatanan kehidupan, bukan sebagai suatu warisan dari generasi ke generasi; serta penguat kembali proses integrasi nasional baik secara vertical maupun horizontal. Di bidang keagamaan, aktualisasi ini berwujud sebagai ideologi yang menerapkan prinsip agama apabila melaksanakan prinsip-prinsip tauhid, keadilan, kebebasan, musyawarah, persamaan, toleransi, amar makhruf dan nahi mungkar, serta kritik interen. Di samping itu Pancasila berwujud sebagai ideologi yang paling memungkinkan bangsa Indonesia bersatu dalam NKRI yang nilai-nilainya universal, yaitu yang sesuai dengan lima tujuan hukum agama: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan kehormatan, dan memelihara harta; filsafat dan ideologi yang tidak bertentangan dengan wawasan
7

keagamaan; yang memelihara persatuan-umat, bukan penyatuan-umat; serta yang sebagai hasil kontrak-sosial budaya bangsa Indonesia.

D. Implementasi Aktualisasi Pancasila


Untuk mewujudkan esensi aktualisasi Pancasila, Simposium serta Seminar dan Lokakarya Pancasila merekomendasikan model, pendekatan, metode, teknik, sasaran (subjek dan objek), dan contoh untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dirumuskan sebagai berikut. Pengembangan model penafsiran yang tidak lagi sentralistik dan formal oleh penguasa/pemerintah sehingga tidak lagi berkesan sebagai alat pembenaran untuk mempertahankan kekuasaan. Model penafsiran perlu dirubah menjadi dapat diteliti/dikaji oleh ragam disiplin ilmu dan ragam komunitas pada tataran nilai-nilai instrumental dan praksisnya (konsekuensi Pancasila sebagai ideologi-terbuka), ditegakkan melalui perilaku keteladanan oleh segenap bangsa, dan dikontrol melalui penegakkan hukum oleh aparat negara. Pendekatan untuk memahami, menghayati (internalisasi), dan menerapkannya yang ditawarkan oleh forum adalah pendekatankemanusiaan melalui budaya-dialog (tidak lagi semata-mata pendekatan formal kenegaraan); peningkatan kualitas Pusat-pusat Kajian Pancasila; peningkatan kualitas pengelola negara, transformasi kepemimpinan, dan penyempurnaan perundang-undangan; transformasi nilai-nilai Pancasila dengan cara/metode yang terbarukan. Metodenya ditawarkan melalui pendidikan, yaitu dialog-budaya (pembudayaan yang menyatu dengan proses internalisasi), komunikasi, diskusi12 interaktif, koordinasi, regulasi, dan keteladanan yang disertai dengan penerapan teknik-teknik reward and punishment, simulasi (bermain-peran), dinamika kelompok, analisiskasus, dan seterusnya tetapi tidak melalui teknik-teknik ceramahindoktrinatif, monolog, menggurui, dan seterusnya. Penerapan metode dan teknik kependidikan ini perlu dipahami dalam arti yang luas, yaitu yang tidak sekedar schooling tetapi yang lebih penting adalah dalam kerangka pembentukan budipekerti (akhlak, moral) peserta didik. Sasaran untuk berposisi dan berperan baik sebagai subjek maupun objek untuk implementasi Pancasila adalah individu, keluarga, masyarakat, lingkungan, bangsa, dan negara dengan prioritas kepada praktisi, ilmuwan/akademisi, ormas/orpol, pemimpin nasional/daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.

Contoh implementasi dengan model, pendekatan, metode, teknik, dan sasaran yang direkomendasikan dalam rangka aktualisasi Pancasila adalah seperti dalam pemberian pengertian dan pemahaman kepada semua pihak tentang esensi Pancasila yang sesuai dengan karakteristik dan kearifan-lokal (keadaban) masyarakat setempat, pelatihan tentang pengembangan jiwa dan perilaku kepramukaan secara massal, penguasaan bahasa asing bagi peserta didik, membudayakan gerakan hidup ber-Pancasila (GHBP), dan lain sebagainya.

Jika kita menengok ke belakang-melihat sejarah perjuangan bangsa-jelas bahwa pada saat Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia, kita telah memiliki Pancasila sebagai dasar falsafah negara (philosofische grondslag). Kita juga telah memiliki Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar hukum negara kita. Namun, kita melihat betapa sulitnya para pemimpin negeri ini mewujudkan amanat para pendiri negara yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan cita-cita nasional tersebut, selain diperlukan dedikasi yang tinggi, semangat kepeloporan, dan kesadaran sejarah, juga diperlukan suatu kemampuan kepemimpinan untuk mengerahkan seluruh potensi dan sumber daya nasional melalui rangkaian pembangunan jangka panjang. Tantangan terbesar dalam melaksanakan Pancasila sebagai konsensus politik yang menjadi dasar negara adalah bagaimana mewujudkan dasar negara tersebut dalam suasana kemerdekaan. Khususnya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan. Sampai saat ini pun-setelah lebih dari 60 tahun menjadi bangsa yang merdeka-tujuan itu belum dapat kita capai. Dalam pada itu, kita juga mencatat tantangan yang tidak kecil dalam melaksanakan UUD 1945. Meski secara resmi UUD 1945 digunakan antara tahun 1945 dan 1949 dan antara 1959 dan 1965, namun kita melihat pelaksanaannya tidak dilakukan secara konsekuen. Bahkan, tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, UUD 1945 tidak dilaksanakan sebagaimana yang seharusnya. UUD 1945 yang menganut sistem presidensial, misalnya, kita ganti dengan sistem parlementer. Para menteri tidak bertanggung jawab kepada presiden, tetapi pada BPKNIP yang merupakan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Demikian pula setelah Presiden Soekarno mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 pada tahun 1959. Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen baru dilaksanakan pada masa pemerintahan Orde Baru, khususnya setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 1971. Hal ini dapat dimengerti karena visi Orde Baru adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen.
9

Kita juga mencatat betapa sulitnya pemerintahan Orde Baru dalam mewujudkan visinya tersebut. Memang, untuk mewujudkan amanat para pendahulu kita dan para pendiri negara ini tidaklah mudah. Pada permulaan pemerintahannya, pemerintahan Orde Baru juga menghadapi masa-masa yang teramat sulit. Keamanan sangat rawan, bahkan di beberapa daerah masih terjadi berbagai kerusuhan. Ada situasi politik yang panas dan tidak menentu. Keadaan ekonomi pun teramat buruk. Dalam menghadapi situasi yang demikian itu, langkah pertama yang dilakukan Orde Baru adalah mewujudkan situasi keamanan yang dapat mendukung pemerintahannya. Langkah berikutnya adalah menyusun dan memfungsikan lembaga-lembaga negara sesuai dengan amanat UUD 1945. Untuk itu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan situasi keamanan dan menciptakan stabilitas, baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Untuk menciptakan stabilitas di bidang politik dalam membina rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina dan memperkuat demokrasi Pancasila, serta mengusahakan tegaknya hukum telah dilakukan berbagai upaya. Di bidang ekonomi dilakukan program-program rehabilitasi dan stabilitasi. Tujuannya, antara lain, untuk menyelesaikan utang luar negeri, menekan laju inflasi, merehabilitasi infrastruktur, meningkatkan ekspor dan yang terutama menyediakan sandang dan pangan bagi masyarakat. Setelah upaya-upaya itu menunjukkan hasil, maka diadakan pemilihan umum yang berlangsung pada tahun 1971. Pemilu 1971 merupakan pemilu pertama di bawah naungan UUD 1945. Sebagaimana kita ketahui bersama, Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang kita selenggarakan. Namun, pemilu tersebut berlangsung di bawah payung Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang mengadopsi sistenm parlementer. Kita juga mencatat bahwa pada Pemilu 1955 itu tidak ada satu partai politik pun yang menang mutlak. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang paling banyak memperoleh suara, hanya mendapat sekitar 22% jumlah suara. Akibatnya, terjadi praktik "politik dagang sapi" dalam membentuk kabinet. Dalam hal yang demikian, dapatlah dimengerti jika para menteri lebih banyak memihak kepada partainya daripada memihak kepada kepentingan rakyat banyak. Setelah berhasil menyelenggarakan Pemilu 1971, maka sekali dalam lima tahun secara teratur selalu dilakukan pemilu. Dalam pemilu di bawah naungan UUD 45 itu, suasana kejiwaannya masih diliputi oleh suasana kekecewaan terhadap demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin.

10

Karena itulah upaya Orde Baru untuk menyederhanakan struktur politik melalui upaya memenangkan salah satu organisasi peserta pemilu mendapatkan apresiasi yang positif dari masyarakat. Dengan kemenangan salah satu organisasi peserta pemilu, maka praktik "politik dagang sapi" dapat dihindari dan tanggung jawab terhadap keberhasilan atau kegagalan pemerintah dapat terlihat dengan lebih jelas. Dalam kaitan ini, kita melihat bahwa Golongan Karya-semula merupakan organisasi kekaryaan yang terhimpun dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya-sebagai organisasi politik, ternyata mampu dengan sangat cepat mengembangkan doktrin, kebijaksanaan, strategi, sistem, serta dukungan logistik untuk terjun ke dalam kancah pemilihan umum. Bahkan, karena solidnya organisasi peserta pemilu ini,Golkar memperoleh suara terbanyak sehingga menjadi single majority. Bagi Orde Baru, kedudukan sebagai single majority ini penting. Sebab, di samping menunjukkan besarnya dukungan rakyat terhadap program-pogramnya, Golkar juga menginginkan Indonesia tidak lagi menjadi ajang pertentangan ideologi. Dengan demikian, perhatian masyarakat dan bangsa Indonesia dapat difokuskan pada pembangunan. Setelah berhasil melaksanakan Pemilu 1971, terbentuklah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang antara lain bertugas menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta memilih presiden dan wakil presiden (wapres) yang akan menjalankan GBHN. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memberi pandangan dan pertimbangan kepada presiden dalam berbagai kehidupan bangsa dan negara,Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memeriksa tanggung jawab pemerintah dalam membelanjakan uang negara yang telah disetujui DPR melalui undang-undang APBN,serta Mahkamah Agung (MA) yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka,dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Lembaga-lembaga tinggi negara itu juga telah bekerja sama dengan baik, dengan masing-masing tetap memegang teguh wewenangnya sesuai dengan yang digariskan UUD. MPR, DPR, presiden, dan wapres melaksanakan tugasnya selama lima tahun, untuk kemudian diadakan pemilu kembali. Demikian pula pimpinan BPK dan Ketua MA. Siklus lima tahunan pimpinan nasional ini terus dilaksanakan selama pemerintahan Orde Baru, yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa. Untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara yang ingin dilaksanakan secara murni dan konsekuen, maka sepertiga dari anggota MPR dan sebagian dari anggota DPR diisi anggota ABRI yang ditunjuk (dengan asumsi, anggota ABRI tidak mungkin mengganti Pancasila dengan dasar negara lain, mengingat ABRI memiliki Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai doktrinnya).
11

Untuk melanggengkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai dasar hukum penyelenggaraan negara, pemeritah Orde Baru berusaha keras agar semua unsur lembaga negara dan lembaga pemerintah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, pemerintah Orde Baru menganjurkan kepada semua golongan masyarakat untuk mendalami Pancasila, UUD 1945, dan GBHN, yang merupakan salah satu ketetapan majelis yang teramat penting. Melalui GBHN yang berisi rancangan pembangunan dalam garis besar ini, Orde Baru ingin memasyarakatkan Pancasila dan mempancasilakan masyarakat Indonesia. Sebab, pembangunan dianggap sebagai pengamalan Pancasila. Salah satu cara untuk memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN adalah dengan mengadakan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau penataran P4. Sesungguhnya, P4 merupakan rumusan-rumasan yang sederhana untuk dipakai sebagai pedoman sikap hidup manusia yang ingin mengamalkan Pancasila. Namun, P4 ini baru bisa dilakukan setelah Orde Baru memegang tampuk pemerintahan sekitar 12 tahun, yaitu pada tahun 1978. Dan, diperlukan waktu lima tahun lagi (1983) untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dua tahun setelah itu, baru dapat ditetapkan undang-undang yang menetapkan kesepakatan itu sebagai norma hukum bagi organisasi kekuatan sosial politik dan organisasi kemasyarakatan. Menarik untuk diperhatikan, sejak tahun 1978 konflik ideologis berkurang dalam masyarakat. Dalam hubungan ini, selama pemerintahan Orde Baru perhatian bangsa Indonesia yang di masa sebelumnya cenderung mengarah pada masalah-masalah politik, mulai beralih ke bidang pembangunan. Pembangunan dilakukan berdasarkan Trilogi Pembangunan, yang meliputi stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan serta dilakukan secara bertahap. Pembangunan dilakukan melalui pelaksanaan pembangunan jangka panjang yang berjangka waktu 25 tahun. Pembangunan itu dilaksanakan dengan menjalankan lima kali pembangunan jangka menengah yang berdurasi lima tahunan. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama, misalnya, dilaksanakan pada tahun 1969-1974 yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan Repelita II yang dimulai pada 1974 hingga tahun 1979, demikian seterusnya.

12

Repelita dijalankan dengan melaksanakan rencana pembangunan tahunan yang dibiayai dengan APBN, yang harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Untuk mempercepat kemajuan pada bidang-bidang yang erat berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, di samping dilakukan pembangunan melalui Repelita, juga ditambah dengan pelaksanaan proyek inpres. Dengan melaksanakan pembangunan itu, hasil yang telah dicapai adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dari tahun 1967 sampai tahun 1997. Karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi itulah, maka Indonesia digolongkan dalam negara industri baru (newly industrilizing economies, NIEs) Asia Tenggara bersama-sama dengan Malaysia dan Thailand. Kelompok negara ini disebut sebagai Macan Asia. Antara tahun 1967 dan 1984, pendapatan per kapita riil di Indonesia meningkat tiga kali lipat dan terus meningkat sampai tahun 1997. Pertumbuhan yang cepat, stabilitas yang terjaga dengan baik, disertai dengan pemerataan, telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Ini antara lain terlihat pada peningkatan usia harapan hidup (life expectancy) yang tajam, dari 56 tahun pada 1966 menjadi 71 tahun pada 1990. Dengan melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila sebagaimana yang digariskan MPR, tidak saja stabilitas politik dan keamanan dapat dijamin, tetapi juga kekalutan ekonomi yang berkepanjangan yang sudah dimulai sejak bangsa kita menjadi bangsa yang merdeka, dapat dihentikan, dan kesejahteraan rakyat berhasil ditingkatkan setahap demi setahap. Bahkan, bangsa kita telah bersiap-siap untuk dapat memasuki tahap permbangunan baru guna meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan apa yang digariskan oleh UUD. Dari hal yang saya kemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi yang sesuai dengan Pancasila pernah kita laksanakan pada pemerintahan Orde Baru, yang didukung oleh Golkar, birokrasi, dan ABRI selama lebih dari tiga dasawarsa. Dan, pelaksanaan demokrasi itu telah menunjukkan hasil berupa meningkatnya keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Barangkali, pada masa depan kita perlu terus berusaha mewujudkan cita-cita para pendiri negara ini, dengan menghilangkan kelemahan-kelemahan yang menghinggapi Orde Baru serta dengan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Pembangunan Nasional Menurut Pancasila dan UUD 45


A. PEMBANGUNAN

13

Adalah suatu pengertian yang merujuk pada suatu rangkaian usaha komperhensive dan multi kompleks. Bagi negara-negara berkembang ia nampaknya merupakan suatu masalah hidup mati. Begitupun bagi negara kita. Pemerintah kita menganggap Pembangunan Nasional Orde Lama menggunakan istilah Pembangunan Semesta bagi hal yang sama sebagai mission socree-nya yang harus disukseskan dengan segala seumber daya yang dimiliki negara. Definisi tentang pembangunan adalah hampir sebanyak jumlah negara di muka bumi. Begitupun prioritas pembangunan berbeda-beda dari negara ke negara. Kita hendak melihat pembangunan sebagai segenap tindakan dan kebijaksanaan manusia yang berencana, terpadu dan kontinyu dengan merombak keadaan lama yang menghambat dan mendirikan yang baru yang menopang tujuan itu sebagai wahana untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohaniah bagi semua individu dan kelompok sosial. Segenap tindakan dan kebijaksanaan tersebut diarahkan untuk membangkitkan dan menggerakkan potensi-potensi manusia dalam berbagai proses perubahan diri agar lebih mampu menguasai lingkungan hidupnya guna meningkatkan kualitas hidupnya pribadi dan bersama. Rumusan ini tidak melihat pembangunan sebagai tujuan diri sendiri, membangun untuk tujuan membangun saja, melainkan sebagai wahana atau sarana-sarana tertentu, yakni kesejahteraan materialc dan imaterial manusia. Oleh karena pembangunan dimaksudkan bagi kepentingan segenap rakyat, tidak bagi kaum elit saja, maka adalah tepat untuk meyakinkan rakyat akan kepentingan pembangunan baginya. Cara peyakinan ini tidak cukup dengan kata-kata dan pameo-pameo belaka, tetapi memerlukan dengan bukti-bukti yang nyata yang dapat diraba, dipegang, dicipi. Banyak diantara rakyat sederhana dan tidak berkuasa acap kali harus mengalami bagaimana pembangunan merampas tenaga, tanah, rumah dan lain harta bendanya yang sederhana saja dan menghilangkan pencaharian nafkahnya. Contoh akan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan itu mengakibatkan rakyat banyak menjadi curiga dan sinis terhadap pembangunan. Hanya kesadaran akan hak-hak itu memungkinkan rakyat untuk melawan pola kelakuan menyeleweng dalam pelaksanaan pembangunan. Membiarkan penyelewengan-penyelewengan itu terus merajalela dapat memaksa keputus asa dan kemarahan tertumpuk untuk mengambil keadilan dan hukum dalan tangan sendiri, hal mana tentulah sekalikali tidak diinginkan dan patut dicegah. Untuk itu rakyat harus disadarkan akan hak-hak dan kebebasannya untuk membangun dirinya, akan martabat dan harkat kemanusiaanya, akan haknya sebagai pemegang kedaulatan rakyat, akan haknya untuk turut serta dalam pengambilan keputusan tentang pembangunan yang berkenaan dengan kepentingannya serta akan haknya untuk turut berperan dalam pengawasan atas pelaksanaan haknya untuk turut berperan dalam pengawasan atas pelaksanaan proyekproyek pembangunan. Hal-hal tersebut adalah lain dan lebih dari apa yang disebut sebagai kesadaran hukum masyarakat, yang mengesankan seolah-olah bagi masyarakat hanya ada kewajiban hukum saja untuk berperan serta dalam pembangunan yang belum terlibat faedah dan keuntungan baginya.
14

B. PARTISIPASI UMAT ISLAM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Meningkatkan partisipasi umat Islam dalam pembangunan Nasional merupakan tanggung jawab bersama demi tercapai cita-cita perjuangan bangsa Indonesia. Pembangunan merupakan rangkaian gerak perubahan menuju kepada kemajuan. Perubahan ini bukan hanya bersifat serba benda, namun juga membawa serta dan sangat memerlukan perubahan-perubahan sosial yang menyangkut tat nilai dan tingkah laku. Dalam usaha meningkatkan partisipasi umat Islam dalam Pembangunan Nasional tidak lepas dari pemantapan ideologi Pancasila di kalangan Umat Islam sendiri. Demikian pula dengan pemantapan ideologi Pancasila inilah stabilitas dan ketahanan nasional dapat dimantapkan C. PELAKSANAAN PANCASILA PEMBANGUNAN NASIONAL SEBAGAI PENGAMALAN

Pola penyesuaian sturktur pemerintah dapat timbul pertama-tama dari perubahan dalam sistem budget. Program pelaksanaan kebijakan serta usaha-usaha pembangunan untuk setiap tahun dituangkan dalam rencana operasional dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dampak penyempurnaan sistem budget (anggaran) itu harus diikuti penyempurnaan sistem audit (pemeriksaan), yang seyogiyanya mempunyai hubungan kerja yang erat satu sama lain. Tinjauan ringkas terhadap sistem anggaran dan sistem pemeriksaan sebagai sebsistem dari sistem administrasi berikut ini, diharapkan dapat menyarankan beberapa aspek peranan hukum dan kesadaran hukum yang menunjang pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. 1. Perkembangan Sistem Anggaran Sistem anggaran merupakan alak kebijaksanaan negara, program aksi dan alat pelaksanaan kegiatan pemirintah, sekaligus alat pengawasan yang sehat dalam negara demokrasi. Anggaran juga mempunyai fungsi mikro ekonomi dalam arti menyediakan dasar bagi penilaian dan pelaksanaan kebijakasanaan dipandang dari sudut ketepatgunaan ekonomi dalam rumah tangga negara, dan fungsi makro ekonomi memberikan pengertian kepada rakyat (melalui lembaga perwakilan) akan arti kebijaksanaan negara untuk seluruh rumah tangga rakyat. Klasifikasi pengeluaran pada tahap pemeliharaan didasarkan pada obyek pengeluaran atau line-item budget yang dirancang untuk menghindarkan kesalahan dan penyelewengan dalam kegiatan operasional suatu unit administrasi. Walaupun demikian, pencapaian seperangkat target pada tahap mobilitas kemudian dapat meniadakan beberapa syarat ketaatan pada peraturan perundangan dan cenderung menimbulkan tindajan berlebihan yang tidak efisien. Sistem Anggaran pada tahap bimbingan brorientasi manajemen, yang lebih mengutamakan penggunaan sumber-sumber secara hemat atau ekonomis dan penyelenggaraan yang efisien. Tujuan utama performance budget ini adalah pengambilan keputusan yang rasional dengan menyediakan data biaya
15

dan manfaat dari berbagai alternatif pencapaian sasaran, serta pengukuran dan manfaat dari berbagai alternatif pelaksanaan yang efektif dalam mencapai tujuan yang dipilih. planing-Programming-Budgeting System (PPBS) yang kemudian digunakan pada tahap bimbingan dan koordinasi berorientasi pada output atau efektivitas pencapaian hasil akhir, yang berakar pada ekonomi makro dan tekhnologi baru analisa sistem. Penyusunan rencana dan program dalam bentuk anggaran diberikan dasar yang bermanfaat untuk menghubungkan keputusan sekarang dengan pencapaian sasaran dan keadaan masa depan yang dikehendaki. 2. Perkembangan Sistem Pemeriksaan Perkembangan sistem anggaran ternyata tidak secara aktif diikuti penyesuaian sistem pemeriksaan terutama karena sifat sistem pemeriksaan sendiri agak konservatif. Keselarasan, keserasian dan keseimbangan sempurna antara sistem anggaran dan sistem pemeriksaan dengan tahapan pembangunan ekonomi jarang ada dalam kenyataan. Walaupun demikian, kalau system pemeriksaan dapat berkembang serasi dengan tahapan pembangunan, maka sistem pemeriksaan dapat menjadi mekanisme yang terbaik untuk memantapkan perubahan-perubahan sistematis yang dikehendaki pembangunan nasional. Sistem pemeriksaan finansial pada tahap pemeliharaan mengutamakan ketaatan pada peraturan-peraturan perundangan dan kewajaran laporan keuangan. Namun, pada tahap mobilitas lebih diutamakan pengerahan sumbersumber dan pencapaian target. Pemeriksaan yang masih terbatas pada pemeriksaan finansial di banyak negara berkembang menghasilkan laporan pemeriksaan yang dapat dianggap dokumen sejarah. Kegunaan laporan seperti itu dipertanyakan oleh eksekutif dan legislatif yang harus mengambil keputusan untuk masa depan. 3. Perkembangan Kriteria dan Indikator Operasional Pembangunan Pengerasan Prioritas dalam Doktrtin Administrasi. Doktrin administrasi sebagai bagian dari sistem pemerintahan pada setiap tahap pembangunan diharapkan serasi dalam sistem anggaran dan sistem pemeriksaan. Doktrin pada tahap pemeliharaan berdasarkan pada penegakan prinsip legalitas. Inidiperlukan Pemerinta karena usaha pembinaan bangsa dihadapkan pada kenyataan akan kurangnya pendidikan, kurangnya insentip dan kurangnya tingkah laku sistematis yang sering terdapat pada masyarakat tahap permulaan. Pemerintah dibebani kewajiban untuk membina preseden hukum dan pemelihara saluran hukum untuk pelaksanaan sistem anggaran dan system pemeriksaan. Pengawasan tentunya dipusatkan pada prosedur penerapannya. Operasionalisasi Pengamalan Pancasila. Berkembangnya perhatian masyarakat akan perwujudan keadaan sosial dan kwalitas hidup yang lebih baik, telah meningkatkan kebutuhan akan peralatan yang relevan untuk mengukur keberhasilan pembangunan sosial.

16

D. KEDUDUKAN DAN FUNGSI GBHN MENURUT KETENTUAN UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN 1999 Garis besar haluan negara (GBHN) sebagai haluan negara tentang pembangunan nasional adalah bagian dari garis-garis besar haluan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UUD 1945. Sebagai produk MPR, yang merupakan lembaga tertinggi negara, pemegang kedaulatan rakyat, pemegang kekuasaan negara yang tertinggi, GBHN mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan ketatanegaraan kita, dan mengikat kita semua untuk menjunjung tinggi serta berperan aktif dalam melaksanakannya sesuai fungsi, bidang tugsa, dan kemampuan kita masingmasing. GBHN juga berfungsi sebagai tolok ukur bagi penyelenggaraan pemerintahan negara. 1. Sejarah GBHN selama masa UUD 1945 sebelum amandemen 1999 Pada perioden ini segala perhatian rakyat Indonesia tercurah pada upaya untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan, melalui perang fisik maupun melalui diplomatis, terhadap berbagai usaha pihak kolonial belanda yang berhak menjajah kembali. Usaha untuk menyelenggarakan kehidupan berkonstitusi dalam negar RI baru melibatkan sekelompok politisi. UUD 1945 bahkan belum banyak dikenal rakyat. MPR maupun DRP belum sempat dibentuk, dan segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Komite Nasional (Pusat) diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara. 2. Kegiatan pada pra Orde Baru periode II : (5 Juli 1959-11 Maret 1966) Periode ini disebut juga MASA DEMOKRASI TERPIMPIN atau MASA ORDE LAMA, diawali dengan dekrit presiden 5 Juli 1959 : a. Menetapkan pembubaran konstituate. b. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi sebagai pengganti UUD sementara 1950 c. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah denganutusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan, serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Berdasarkan Penpres dibentuklah MPRS yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah denganutusan-utusan dari daerah dan golongan-golonganmasyarakat, yang dalam periode ini bersidang 3 kali dan menghasilkan 8 Ketetapan. Sidang MPRS I berlangsung di Bandung pada tanggal 10 November 3 Desember 1960 dan menghasilkan 2 Ketetapan, antara lain : Ketetapan No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI. Sidang MPRS II berlangsung di Bandung antara
17

tanggal 16-22 Mei 1963 menghasilkan 2 ketetapan. Sidang MPRS III yang juga berlangsung di Bandung anatara tanggal 10-16 April 1965 Menghasilkan 4 ketetapan 3. Periode Orde Baru (11 Maret 1966-1998 Dalam priode ini dibedakan antara: Sub Periode MPRS dan MPR hasil dari pemilu. Dalam periode ini MPRS bersidang 3 kali menghasilkan 36 Ketetapan: 1. Sidang umum MPRS IV berlangsung di Jakarta pada tanggal 20 Juni 5 Juni 1966 dan menghasilkan 24 Ketetapan. 2. Sidang Istimewa MPRS berlangsung di Jakarta tanggal 7-12 Maret 1967 dan menghasilkan 4 Ketetapan. 3. Sidang Umum MPRS V berlangsung di Jakarta pada tanggal 21-27 Maret 1968 menghasilkan 8 Ketetapan. Karena menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan untuk melakukannya memerlukan persiapan yang matang serta waktu yang cukup. Untuk itu, pemerintah/ kabinet Pembangunan I menyusun REPELITA I yang antara lain tentang pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan dan melakukan berbagai persiapan untuk melaksanakan Pemilihan Umum selambat-lambatnya 5 Juli 1971. Setelah pemilu Pertama dalam masa Orde Baru terlaksana pada tahun 1971 dan terbentuk MPR hasil pemilu yang tidak lagi bersifat sementara sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku, MPR ini mengadakan sidang umum MPR pada tahun 1973. Guna membantu MPR Presiden Suharto membentuk sebuah tim yang berfungsi mempersiapkan Rancangan GBHN yang diketuai oleh Letjen TNI Dryatmo dan beranggotakan sejumlah pejabt tinggi dari berbagai Departemen dan Instansi. Kemudian rancangan ini disampaikan kepada Presiden dan diteruskan kepada MPR, untuk digunakan sebagai bahan pembahasan yang tidak mengikat, karena secara konstitusional MPR berwenang penuh untuk menetapkan GBHN. Demikian seterusnya dalam penyusunan GBHN Presiden menyusun beberapa tim untuk menbuat rancangan GBHN. E. RANGKUMAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL BERENCANA DI INDONESIA 1945-1999 Sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini pembangunan Negara Indonesia berjalan terus dengan mengalami pasang surut. Dalam beberapa tahun sesudah pengakuan kemerdekaan belumlah tampak kemajuan pembangunan di Tanah Air kita. Perasaan tidak puas atas hasil yang dicapai dan kecemasan berhubung dengan keadaan negara mengakibatkan rangkaian usahausaha dari Presiden untuk mengatasi keadaan itu dengan mendirikan Dewan Perancang Nasional. Tugas depernas adlah : untuk merancangn pola pembangunan masyarakat adil dan makmur atau

18

masyarakat sosialisme Indonesia. Adapun tujuan itu harus dicapai dengan Pembangunan Nasional, Semesta, Berencana. 1. Sistematika Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama : 1961-1969 Adapun Naskah rancangan ini semula teridi atas 5.100 halaman, namun setelah dicetak menjadi suatu rangkaian buku seluruhnya terdiri atas 4.647 halaman. Kesleuruhan bahan dibagi 8 buku, yaitu : Buku Pertama : Berisi pokok-pokok pembangunan nasional semesta berencana Buku kedua : Berisi rancangan bidang pokok proyek pembangunan nasional semsta berencana Buku ketiga : Bidang mental/ rohani dan penelitian Buku keempat : Bidang kesejahteraan, pemerintahan, dan keamanan / pertahanan. Buku kelima : Bidang produksi Buku keenam : Bidang distribusi Buku ketujuh : Bidang keuangan Buku kedelapan : Uraian menteri-menteri, lampiran-lampiran, Pelaksanaanya dimulai pada tanggal 1 Januari 1961, tahapan pertama dilakukan secara simbolis oleh presiden RI di halaman Gedung Proklamasi di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Oleh pemerintah waktu itu tang gal ini ditetapkan sebagai tanggal pembangunan nasional. Dalam gedung dipamerkan pola-pola, dam maket-maket dari proyek-proyek pembangunan di seluruh Indonesia waktu itu. Waktu Undang-undang Dasar 1945 diberlakukan sejak tanggal 18 Agustus 1945, nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara belum membudaya pada seluruh bangsa Indonesia. Dalam keadaan bangsa Indonesia belum berkesempatan melaksanakan pembangunan dalam segala bidang termasuk membudayakan nilai-nilai Pancasila karena harus menghadapi serengkaian ancaman, berlangsung pula penyerapan - nilai ideologi lain oleh sebahagian anggota masyarakat. Akibatnya, berkembanglah berbagai konsepsi mengenai kehidupan bangsa dan negara yang tidak sejalan dengan Pancasila dan belakangan melahirkan berbagai tingkah laku politik yang mengancam keselamatan bangsa dan negara yang sekaligus menyita kesempatan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Selanjutnya bangsa Indonesia tidak semakin mantap dengan nilai Pancasila, karena pada periode 27 - 12 - 1949 sampai 5 - 7 - 1959 kita memberlakukan UUD RIS dan UUDS yang berjiwa liberal. Keadaannya tidak semakin baik setelah UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali sejak 5 - 7 -1959, karena penyimpangan malah bergeser ke arah lain, sehingga pengaruh alam pikiran Marxisme semakin terasa dalam kehidupan negara.

19

Orde Baru lahir dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen serta melaksanakan pembangunan nasional berdasarkan asas Pnncasila dan UUD 1945 tersebut. Masalah yang dihadapi adalah: a. Bagaimana menjamin agar pembangunan nasional yang dilaksanakan benar-benar berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. b. Bagaimana membudayakan nilai-nilai Pancasila secara merata di kalangan masyarakat. c. Bagaimana mengikis sisa-sisa ideologi lain yang masih dianut oleh anggota masyarakat tertentu. Untuk itu maka nilai Pancasila haruslah menjiwai dan terproyeksi secara baik pada GBHN yang merupakan landasan operasional pelaksanaan pembagunan, ia juga harus membimbing pelaksanaan pembangunan dalam setiap kegiatan pembangunan serta menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi hasil pembangunan yang telah dicapai pada setiap tahap. Upaya lain pembudayaan Pancasila adalah melalui kegiatan pembangunan ideologi sebagai bagian dari pembangunan bidang politik. Upaya tersebut bertitik tolak dari tekad Orde Baru serta berpedoman kepada ketetapan MPR nomor II / MPR /1978 tentang P-4. Upaya tersebut merupakan aktivitas pendidikan dalam arti luas dan salah satu bentuknya adalah Penataran P-4 yang tidak indoktrinatif melainkan persuasif edukatif. Selain juga melalui beberapa mata pelajaran di lembaga pendidikan, di tanamkan nilainilai tersebut. Walaupun berbagai upaya yang dijalankan telah dipilih cara yang paling efektif namun hasil yang diperaleh haruslah diperhitungkan dalam hubungan dengan faktor-faktor berikut a. Yang dibudayakan adalah nilai-nilai yang mendasar sehingga memerlukan waktu yang lama. b. Adanya usaha pihak lain menyebarkan ideologi non Pancasila. c. Lingkunnan strategis yang kurang mendukung. Upaya pembudayaan melalui kegiatan renataran p-4 kiranya lebih merupakan langkah politis untuk mendapatkan efek psikologis berupa perhatian akan urgensi pembudayaan nilai Pancasila oleh segenap lapisan masyarakat.Langkah yang lebih strategis adalah pembudayaan melalui lembaga pendidikan pada segala tingkatan dan jenisnya, walaupun tidak luput dari beberapa kendala. Keadaan serupa juga berlaku pada lingkungan keluarga. Semakin membudaya nilai Pancasila secara merata, akan kian mantap Ketahanan Nasional bidang ideology yang selanjutnya akan besar sekali kontribusinya dalam meningkatkan Ketahanan Nasional seutuhnya, mengingat peran sentralnya terhadap bidang kehidupan yang lain.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. H.Djauharuddin, Drs, Peranan Umat Islam dalam pembangunan negara RI berdasar pancasila dan UUD 1945, Bandung : Angkasa, 1982 2. Kansil, C.S.T Prof.Drs,SH, dkk, Modul Pancasila dan kewarganegaraan, Jakarta : Pradnya Paramita, 2006 3. Fakultas Hukum Uki, membangun dan menegakkan hukum dalam era pembangunan berdasar Pancasila dan UUD 1945, Jakarta : Erlangga, 1983

21

You might also like