You are on page 1of 16

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN PROGRAM PASCA SARJANA ANGKATAN I

IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK POLRI

MATA KULIAH TEORI HUKUM

ROBERTHO PARDEDE 2011661003

OLEH

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Sistem hukum harus ditegakkan oleh aparatur penegak hukum yang bersih, berani serta tegas. Pemberdayaan aparatur hukum tidak dapat diwujudkan manakala aparat penegak hukum tidak bersih atau korup. Aparat penegak hukum tidak bersih atau korup dapat mengakibatkan krisis kepercayaan para warga terhadap hukum merupakan cerminan budaya hukum masyarakat.1 Indonesia adalah negara yang berdasarkankan atas hukum dan tidak didasarkan atas kekuasaan. Hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping kepastian dan keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia. Sehingga boleh dikatakan bahwa berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.2 Kondisi umum penegakan hukum di Indonesia sampai dengan saat ini belum membaik, bahkan ada kecenderungan mengalami penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas. Fenomena yang terjadi adalah adanya diskriminasi dalam penegakan hukum. Perkara-perkara yang melibatkan masyarakat marginal proses penyelesaian perkaranya begitu cepat, sementara perkara-perkara yang melibatkan masyarakat elit menjadi kabur dan pelakunya kebanyakan bebas. Hal ini terlihat secara jelas dalam, perkara-perkara korupsi yang dicampuradukan dengan masalah politik (dipolitisasi) yang mengakibatkan aparat penegak hukum menjadi takut untuk menuntaskannya. Menurut Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakkan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktorfaktor tersebut, yang mana faktor-faktor yang dimaksud adalah :3
1 Prof. Drs. DPM. Sitompul, S.H., M.H. & Prof. Dr. H.R. Abdussalam, SIK., S.H., M.H., Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu

Agung, 2007, h. 7.
2 Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 hlm.1 3 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, h.

8.

1. Faktor hukumnya sendiri (misalnya undang-undang) 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada aksara manusia didalam pergaulan hidup.

Relevan dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, Romli Atmasasmita mengatakan faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.4 Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya.5 Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum. Pada awalnya hukum positif dipandang bisa memberikan harapan untuk mengatur berbagai persoalan pada masyarakat modern sehingga (diprediksi) bisa mencapai ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian, pada kenyataanya dan dalam perkembangannya, sifat hukum positif yang netral dan liberal, justru menjadikan hukum modern menjadi terasing dang realitas-realitas yang terus berkembang semakin pesat.6 Reformasi yang telah bergulir di Indonesia telah membawa pola kehidupan bernegara yang lebih demokrasi, namun ironisnya reformasi yang bertujuan memberantas korupsi melalui penegakkan supremasi hukum malah semakin

4 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum - Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2001, h. 55. 5 Sabian Utsman, Op. Cit., h. 219. 6 Satjipto Rahardjo (Khudzaifah Dimyati, ed), Ilmu Hukum: Pencarian Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta:

Muhammadiyah University Press, 2004, h. 35.

merajalela, sementara supremasi hukum bagaikan menegakkan benang yang basah dan hukum semakin carut-marut tak jelas arahnya. Prof. Mahfud MD., secara lantang berteriak bahwa : pengacara banyak yang rusak karena dengan kegenitannya mereka bukan tampil sebagai pengacara untuk idealisme, melainkan untuk mencari kemenangan dengan berbagai cara demi uang popularitas Hakim pun setali tiga uang, kinerjanya semakin buruk, suap-menyuap dan pemerasan dalam menangani perkara semakin marak. Bahkan ada kasus, hakim menerima suap dan memeras justru ketika kita sedang meneriakkan banyaknya hakim yang menjualbelikan kasus Celakanya, putusan pengadilan betapapun salah dan sesatnya tetaplah mengikat dan harus dilaksanakan jika sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.7

Dari uraian tersebut diatas, penulisan makalah ini bermaksud mengangkat permasalahan mengenai : 1. Bagaimana mengimplementasikan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan tindak pidana ? 2. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh penyidik dilapangan dalam menerapkan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan tindak pidana ?

7 Moh. Mahfud MD., Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007, h. 76-77.

BAB II PEMBAHASAN

A.

Mengimplementasikan

pendekatan

atau

konsep

keadilan

restoratif

(restorative justice) dalam penanganan tindak pidana. Menurut Blacks Law Dictionary, penegakan hukum (law enforcement), diartikan sebagai the act of putting something such as a law into effect; the execution of a law; the carrying out of a mandate or command.8 Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan kaidahkaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process).9 Selain itu dalam Blacks Law Dictionary, dengan editor Bryan A. Garner menerjemahkan penegakan hukum sebagai pertama; The detection and punishment of violations of the law. The term is not limited to the enforcement of criminal laws, for example, the Freedom of Information Act contains an exemption for law-enforcement purposes and furnished in confidence. That exemption is valid for the enforcement of a variety of noncriminal laws (such as national-security laws) as well as criminal laws. Kedua; Criminal justice. Ketiga; Police officers and other members of the executive branch of government charged with carrying out and enforcing the criminal law.10 Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan hukum.11

8 Black Henry Campbell, Blacks Law Dictionary, 6th Edition, St. Paul Minesota: West Publishing, 1999, h. 578. 9 Muladi, Hak Asasi Manusia-Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Kedua, Semarang: Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, 2002, h. 69.


10 Bryan A. Garner (Editor In Chief), Blacks Law Dictionary, 7th Edition, St. Paul Minesota: West Publishing, 1999, h. 891. 11 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, h. 169.

Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab (seperti the Basic Principles of Independence of Judiciary), agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.12 Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Roscoe Pound (18701964) merupakan salah satu eksponen dari aliran ini. Dalam bukunya An introduction to the philosophy of law, Pound menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam kaitannya dengan penerapan hukum Pound menjelaskan tiga langkah yang harus dilakukan :13 1. menemukan hukum 2. menafsirkan hukum 3. menerakan hukum

Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan aspek-aspek yang ada ditengah-tengah masyarakat untuk diangkat dan ditearpkan kedalam hukum. Bagi aliran Sociological Jurisprdence titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undangundang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi terletak pada masyarakat itu sendiri. Dalam proses mengembangkan hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan. Lebih lanjut Roscoe Pound berpendapat hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya tersebut Pound
12 Muladi, Op. Cit. h. 70. 13 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bharatara Niaga Media, 1996, h. 52.

mengedepankan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Pandangan aliran Sociological Jurisprudence, dapat dirumuskan sebagai berikut . Hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial untuk memuaskan kebutuhan masyarkat, tuntutan, permintaan dan pengharapan yang terlibat dalam kehidupan masyarakat.14 Dengan demikian dapat dipahami bahwa ekspektasi yang hidup dimasyarakat termasuk didalamnya nilai-nilai keadilan yang ada harus dikedepankan demi terwujudnya tatanan hukum. Konsepsi operasional tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat dengan didasarkan pada dua konsep yang berbeda yaitu konsep tentang ramalan-ramalan mengenai akibat-akibat (prediction of consequences) yang dikemukakan oleh Lundberg dan Lansing tahun 1973 dan konsep Hans Kelsen tentang aspek rangkap dari suatu peraturan hukum. 15 Berdasarkan konsep Lundberg dan Lansing, serta konsep Hans Kelsen tersebut Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu teori bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan sangat tergantung banyak faktor. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor-faktor tersebut dapat: a. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan perundangundangannya). b. Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah). c. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis (menyangkut pertimbangan ekonomis serta kultur hukum pelaku bisnis).16

Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak intervensionis.

14 Ibid., h. 51. 15 Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, Semarang: CV Agung, 1989, h.

23.
16 Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan

Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air) Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008, h. 34.

Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasanpembatasan.17 Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas.18 Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.19 Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.20 Dilihat dari kepentingan internal sistem hukum itu sendiri, dalil integritas itu memang dapat dipahami. Tapi hukum bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Hukum adalah alat bagi manusia. Ia merupakan instrumen untuk melayani kebutuhan manusia. Dalam makna ini, isolasi sistem hukum dari berbagai institusi sosial di sekitarnya, justru berdampak buruk dari sisi kebutuhan manusia itu sendiri. Hukum. Dengan mudah berubah menjadi institusi yang melayani diri sendiri, bukan lagi melayani manusia. Hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif. Akibatnya jelas, legitimasi sosial dari hukum itu melorot tajam.21
17

Mahfud MD, Op. Cit. hlm. 345.

18 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Univesitas Indonesia, 2008, hlm. 340.


19 Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam Law in Book and Law in Action Menuju Penemuan Hukum

(Rechtsvinding), Jakarta: Yarsif Watampone, 2006, hlm. 70.


20 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 270. 21 Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Tanggapanive Law, London: Harper and Row

Publisher, 1978

Satjipto Rahardjo (1993) mengatakan bahwa dalam pertukaran (interchangeinteraction) dengan masyarakat atau lingkungannya, ternyata polisi memperlihatkan suatu karakteristik yang menonjol dibandingkan dengan yang lain (hakim, jaksa dan pengacara). Polisi adalah hukum yang hidup atau ujung tombak dalam penegakkan hukum pidana. Dalam melakukan penangkapan dan penahanan misalnya, polisi menghadapi atau mempunyai permasalahan sendiri. Pada saat memutuskan untuk melakukan penangkapan dan penahanan, polisi sudah menjalankan pekerjaan yang multifungsi, yaitu tidak hanya sebagai polisi tetapi sebagai jaksa dan hakim sekaligus.22 Penyidikan tersebut sangat rawan dan potensial untuk terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penyimpangan polisi (police deviance) baik dalam bentuk police corruption maupun police brutallity. Internal Polri sendiri telah melakukan otokritik terhadap hal tersebut yang mengungkapkan praktik penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat atau petugas Polri, terutama dalam pelaksanaan kewenangan penyidikan.23 Praktik penyidikan yang berlangsung selama ini menunjukkan bahwa aliran positivisme hukum atau paham legisme dan berdasarkan asas kepastian hukum merupakan aliran filsafat hukum yang menjadi arus utama (mainstream) dalam pelaksanaan kewenangan penyidikian yang dilakukan oleh penyidik Polri, dan metode penafsiran atau interpretasi yang dominan adalah penafsiran otentik atau gramatika. Hal ini berarti model penalaran hukum yang utama dalam pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh penyidik Polri adalah model penalaran positivisme hukum.24 Restorative Justice sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik. Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan
22 Satjipto Rahardjo, Studi Kepolisian Indonesia: Metodologi dan Substansi, Artikel disampaikan pada Simposium

Nasional Polisi Indonesia, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 19-20 Juli 1993.
23 Farouk Muhammad, Reformasi Sistem Peradilan Pidana: Aspek Kepolisian, Artikel disampaikan pada Kuliah Umum

tentang Reformasi Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan, 16 Februari 2008.
24 Zulkarnein Koto, Penalaran Hukum Penyidik Polri: Antara Kepastian Hukum dan Keadilan (Gagasan Mewujudkan

Keadilan Pancasila), Jurnal Studi Kepolisian STIK PTIK, Jakarta, Edisi 075, Juni-November 2011.

dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.25 Penyidikan perkara pidana berdasarkan aliran positivisme hukum tersebut secara ketat dan kaku (vague and unresponsive) dirasakan telah menimbulkan ketidakadilan dan bertolak belakang dengan tuntutan keadilan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pada beberapa perkara yang mendapat perhatian publik atau pemberitaan secara meluas, telah menimbulkan kritik dan protes terhadap Polri, misalnya perkara Rasjo seorang kakek berusia 77 tahun yang mencuri sabun mandi, Prita Mulyasari, tindak pidana perjudian yang dilakukan 10 orang anak di Bandara Soekarno-Hatta, pencurian tiga biji kakao oleh Mbok Minah, pencurian dua kilogram kapuk, pencurian dua buah semangka, pencurian sepasang sandal, pencurian pulsa oleh Deli, Endi Rohendi, seorang buruh tani di Sumedang, Jawa Barat, terancam dijerat hukuman lima tahun penjara karena mencuri sehelai celana dalam milik seorang wanita, dan lain-lain. Penyidikan pada berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa :26 1. Perbuatan para tersangka memang dipandang memenuhi unsur-unsur tindak pidana namun penyidik telah mengesampingkan rasa keadilan masyarakat (social justice) yang berkembang secara meluas. 2. Penyidik tidak melakukan penafsiran secara contra legem dengan

mengesampingkan ketentuan hukum yang diterapkan, akan tetapi secara kaku atau ketat menafsirkan hukum secara rules and logic sesuai dengan kepastian hukum. 3. Penafsiran hukum penyidik masih berdasarkan rules and logic,

mengesampingkan realitas sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang mengamanatkan penafsiran hukum berdasarkan analisis nonhukum (penafsiran sosiologis atau teleologis) 4. Dalam penyidikan tindak pidana anak, penyidik tidak memperhatikan dan mengimplementasikan Telegram Kapolri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan (jukrah) Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum sebgai peraturan Kepolisian yang mengamanatkan penyidik

berdasarkan kewenangan diskresinya seyogyanya melakukan tindakan


25 Prof.

Dr. Muhammad Mustofa, MA: Disampaikan dalam Lokakarya Menghukum Tanpa Memenjarakan: Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di Indonesia, di Depok, Kamis (26/2/2004). Diskusi yang diselenggarakan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency for International Development. 26 Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

diversi dalam bentuk pengembalian kepada orang tua si anak, baik tanpa maupun disertai peringatan informal ataupun melaksanakan mediasi seperti menjadi perantara guna mengkomunikasikan atau memfasilitasi pemenuhan kebutuhan korban dan perlindungan terhadp anak sebagai pelaku dalam bingkai tujuan menyelesaikan persoalan yang timbul akibat perbuatan yang dilakukan pelaku. 5. Kuatnya aliran positivisme hukum sebagai arus utama (mainstream) di lingkungan penyidik Polri, telah mengesampingkan ketentuan hukum yang terdapat dalam pasal 16 ayat (1) huruf l UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri yang menentukan bahwa aparat atau petugas Kepolisian berdasarkan kewenangan diskresi yang dimilikinya dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. 6. Penyidikan yang mengedepankan paham legalistik atau formal-prosedural dan birokratis tersebut berkaitan dengan proses penyidikan yang dilakukan berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Proses Penyidikan dalam bentuk Buku Petunjuk Pelaksanaan, Buku Petunjuk Lapangan dan Buku Petunjuk Administrasi sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana yang menganut aliran positivisme hukum, karena peraturan Kepolisian ini memang didasarkan pada KUHAP yang menganut asas legalitas (Pasal 3 KUHAP) 7. Penyidikan yang dilakukan sebagaimana halnya dengan kegiatan

penegakkan hukum lainnya yang sejatinya adalah dalam rangka pemberian keadilan (dispencing of justice) justru memunculkan kesenjangan atau diskrepansi antara penegakkan hukum yang dilakukan dengan tuntutan keadilan masyarakat, karena mengesampinkan hukum yang hidup di masyarakat (the living law dari Eugen Erlich)

Wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapat dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all 10

mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.27 Berdasarkan hasil penelitian bidang PPTIK STIK-PTIK(2010), dalam praktik penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri selama ini, selain berdasarkan aliran positivisme hukum, pengambilan keputusan dalam proses penyidikan berdasarkan model penalaran hukum sociological jurisprudence sudah biasa dilakukan oleh penyidik Polri. Hal ini dilakukan oleh penyidik Polri dengan mengimplementasikan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan tindak pidana. Meskipun pada tataran formulatif, Polri secara tegas hanya mengatur implementasi konsep keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana anak sebagaimana diatur dalam Telegram Kapolri No.Pol.: TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan (Jukrah) Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, akan tetapi dalam praktik penyidikan yang berlangsung selama ini, konsep keadilan restoratif juga diterapkan dalam penyidikan tindak pidana lain.28 Praktik penyidikan tindak pidana oleh penyidik Polri dengan

mengimplementasikan konsep keadilan restoratif, antara lain dalam perkara atau kasus hak atas kekayaan intelektual (HAKI) seperti merek dan hak cipta yang wujud penyelesaiannya melalui permufakatan antara kedua belah pihak yang diakhiri dengan pencabutan Laporan Polisi. Selain itu ada juga tindak pidana penganiayaan ringan, pencurian ringan, penipuan, pemalsuan, penggelapan, perbuatan cabul, perusakan barang, perzinahan dan kekerasan dalam rumah tangga (kdrt) serta kecelakaan lalu lintas.

B.

Kendala-kendala

yang

dialami

oleh

penyidik

di

lapangan

dalam

mengimplementasikan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan tindak pidana.

Didalam menerapkan atau mengimplementasikan konsep keadilan restoratif, penyidik Polri acapkali mengalami keragu-raguan dalam mengambil keputusannya pada proses penyidikan, terutama apabila pelaku/keluarganya dan korban/keluarganya

27 Prof. Adrianus Meliala, Ph.D, Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi Dan Potensinya Di Indonesia, Jakarta: Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008, h. 1.


28 Bidang PPITK-STIK PTIK, Implementasi Pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penanganan

Tindak Pidana, Laporan Penelitian, Jakarta: STIK-PTIK, 2010.

11

maupun masyarakat ternyata menginginkan perdamaian dalam penyelesaian kasus atau perkaranya, hal ini disebabkan tidak adanya aturan ataupun payung hukum maupun prosedur/mekanisme formal untuk mengakomodir hal tersebut sehingga situasi ini menjadi hal yang dilematis bagi penyidik Polri dilapangan yang berdasarkan pada faktor-faktor : 1. Kekhawatiran atau ketakutan penyidik akan dipersalahkan oleh pimpinan atau atasan penyidik dan dipermasalahkan pada pengawasan dan

pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal Polri yang menggunakan parameter formal prosedural. 2. Tidak adanya payung hukum yang mengatur dan menjadi landasan legitimasi dalam mengambil keputusan pada prose penyidikan apakah berdasarkan konsep keadilan restoratif atau konsep/pendekatan lain yang bersesuaian dengan aliran sociological jurisprudence. 3. Selain tidak adanya payung hukum diatas, kendala dalam

mengimplementasikan konsep keadilan restoratif atau konsep/pendekatan lain yang berkesesuaian dengan aliran sociological jurisprudence adalah tidak adanya prosedur atau mekanisme yang formal-prosedural untuk mengimplementasikannya.

12

BAB III PENUTUP

A.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian dan pembahasan-pembahasan di atas maka dalam penulisan makalah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengimplementasian pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) oleh penyidik sudah biasa dilakukan terhadap penyidikan tindak pidana lain, meskipun Polri secara tegas hanya mengatur dalam penanganan tindak pidana anak sebagaimana tercantum dalam Telegram Kapolri No.Pol.: TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. 2. Pengimplementasian konsep keadilan restoratif (restorative justice) pada tindak pidana selain penanganan anak yang berhadapan dengan hukum masih terkendala dengan formal belum untuk adanya dasar hukum maupun lain

prosedur/mekanisme

penerapannya

padahal

disini

korban/keluarganya dan pelaku/keluarganya serta masyarakat terkadang menginginkan penyelesaian perkara diluar jalur hukum positif yaitu dengan perdamaian. 3. Masih seringnya di internal Polri sendiri dalam hal restorative justice disalahkaprah-kan sebagai penangguhan perkara (penghentian kasus) atau tidak melanjutkan kasus (mem-peti-es-kan kasus), padahal keduanya tidak benar. Salah kaprah mengenai masalah ini karena belum adanya dasar hukum yang jelas untuk dijadikan pegangan bagi penyidik Polri dalam menerapkan restorative justice ini.

13

DAFTAR PUSTAKA

Adrianus Meliala, Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi Dan Potensinya Di Indonesia, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008. Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam Law in Book and Law in Action Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Jakarta: Yarsif Watampone, 2006. Bidang PPITK-STIK PTIK, Implementasi Pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penanganan Tindak Pidana,Laporan Penelitian, Jakarta: STIK-PTIK, 2010. Black Henry Campbell, Blacks Law Dictionary, 6th Edition, St. Paul Minesota: West Publishing, 1999. Bryan A. Garner (Editor In Chief), Blacks Law Dictionary, 7th Edition, St. Paul Minesota: West Publishing, 1999. DPM. Sitompul & Abdussalam, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007. Farouk Muhammad, Reformasi Sistem Peradilan Pidana: Aspek Kepolisian, Artikel disampaikan pada Kuliah Umum tentang Reformasi Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan, 16 Februari 2008. Moh. Mahfud MD., Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007. Muhammad Mustofa, MA: Disampaikan dalam Lokakarya Menghukum Tanpa Memenjarakan: Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di Indonesia, di Depok, Kamis (26/2/2004). Diskusi yang diselenggarakan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency for International Development. Muladi, Hak Asasi Manusia-Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Kedua, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002. Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Tanggapanive Law, London: Harper and Row Publisher, 1978. Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, 14

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum - Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2001. Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman MasalahMasalah Hukum, Semarang: CV Agung, 1989. Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bharatara Niaga Media, 1996. Satjipto Rahardjo, Studi Kepolisian Indonesia: Metodologi dan Substansi, Artikel disampaikan pada Simposium Nasional Polisi Indonesia, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 19-20 Juli 1993. Satjipto Rahardjo (Khudzaifah Dimyati, ed), Ilmu Hukum: Pencarian Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004. Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006. Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010. Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, 2008. Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air) Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008. Zulkarnein Koto, Penalaran Hukum Penyidik Polri: Antara Kepastian Hukum dan Keadilan (Gagasan Mewujudkan Keadilan Pancasila), Jurnal Studi Kepolisian STIK PTIK, Jakarta, Edisi 075, Juni-November 2011.

15

You might also like