You are on page 1of 8

Santi Ramdhani 1209503155 Lintas Budaya Dalam Ritual Adat Pernikahan Di Kampung Langen, Kota Banjar

Ritual adat pernikahan termasuk kedalam aspek budaya yang kita miliki. Sudah menjadi ritual yang umum apabila pernikahan itu diiringi dengan adat ritual tersendiri. Hal itu seakan sudah menjadi simbol bagi setiap warga Indonesia, tak terkecuali di kamping Langen, Kota Banjar. Banjar merupakan daerah paling timur Jawa Barat yang langsung berbatasan dengan daerah Wanareja, provinsi Jawa Tengah. Secara geografis daerah seperti ini mempunyai kelebihan dan perbedaan tersendiri termasuk dalam hal budaya ataupun bahasa. Jawa Barat membawa bahasa sunda dengan budayanya dan Jawa Tengah pun membawa bahasa jawa bersama dengan budayanya. Karena sangat dekatnya wilayah ini, hingga mereka sudah bercampur baur menjadi satu dalam hal pendidikan, ekonomi, dan budaya. Kebanyakan orang Banjar menguasai dua bahasa, yaitu sunda dan jawa. Dikatakan bahwa mempelajari bahasa berarti mempelajari budaya. Dua budaya yang berbeda namun bersatu karena daerahnya, membuat bahasa dan budaya yang ada di kampung Langen menjadi bercampur antara sunda dan jawa. Hal yang dikhawatirkan adalah lepasnya budaya asli yang ada karena percampuran budaya itu. Hal ini ditambah lagi dengan banyaknya pasangan yang menikah antara orang Banjar dengan orang Jawa Tengah. Hal ini menimbulkan

bercampurnya budaya yang mereka punya dan berpengaruh langsung pada adat ritual pernikahan mereka. Dalam prosesi adat pernikahan orang sunda tidak serumit apa yang ada di adat pernikahan orang jawa. Di Jawa Barat khususnya di Banjar, telah terjadi percampuran ritual adat pernikahan antara sunda dan jawa walaupun pasangan yang menikah masing-masing bukan orang sunda ataupun jawa. Ritual itu sebagai bentuk akulturasi dari dua kebudayaan tersebut. Ritual adat pernikahan jawa memang dapat dikatakan lebih rumit. Untuk memulai sebuah kasepakatan pernikahan diawali dengan acara lamaran. Hal ini juga ada dalam ritual sunda. Setelah sepakat, biasanya satu minggu sebelum hari pernikahan itu, pengantin perempuan telah dipingit/disengker, artinya ia tidak diperkenankan untuk keluar rumah, apalagi bertemu dengan suaminya. Lalu upacara siraman (mandi) diadakan satu hari sebelum hari pernikahan, hal ini bertujuan untuk mensucikan kedua calon mempelai sebelum memasuki malam midodareni yakni malam sebelum hari pernikahan. Malam midodareni dianggap suci. ...mempelai wanita pada malam midodareni belum boleh tidur sebelum jam dua belas malam, sebab ada anggapan bahwa pada saat-saat itu para bidadari datang untuk menyaksikan mempelai wanita. (Purwadi, 2005: 176) Sebagai upacara puncak setelah akad nikah selesai, penduduk jawa mengenalnya dengan istilah temu yakni bertemunya pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Setelah itu upacara dilanjutkan dengan saling melempar sadak/gantalan. Menurut anggapan, siapa yang lebih dulu melempar, maka

dialah yang akan berkuasa dalam rumah tangga. Kemudian upacara menginjak telur dengan ranupada yang telah dipersiapkan. Pengantin laki-lakilah yang harus menginjak telur itu dan setelah itu si perempuan membasuh kaki suaminya yang kotor dengan air dikenal dengan sebutan wijik. Menurut Purwadi dalam bukunya Upacara Tradisional Jawa menyebutkan Upacara wijik ini, melambangkan bahwa betapapun istri tinggi kedudukannya dalam masyarakat, dia akan melayani suami dan berbakti kepadanya dengan kesetiaan yang mendalam untuk selama-lamanya.1 Apa yang dituliskan Purwadi dalam bukunya itu, menggambarkan betapa adat ritual itu sangat mempunyai makna-makna kehidupan. Setelah ritual itu, mempelai lelaki dijawibkan untuk menerobos benang lawe yang berbahan dari kain tenun sebelum masuk pelaminan. Hal itu sebagai tanda bahwa pengantin laki-laki berhak untuk menjadi anggota keluarga. Melakukan sungkem pada kedua orang tua mereka yang selanjutnya disusul oleh upacara membawa pengantin laki-laki dan perempuan dibawa dengan kain sindur yang ditempatkan pada punggung mempelai dan selanjutnya dibawa oleh ayah dari mempelai perempuan menuju tempat pelaminan. Setelah itu ada kacar-kucur atau tampal kaya yang wujudnya sekantung beras kuning dan mata uang logam sebagai simbol bahwa suami akan selalu menafkahi istrinya. Dan ritual ini diakhiri dengan dhahar kembul yakni saling menyuapkan nasi ketan sebagai simbol bahwa suami akan selalu bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istri dan keluarga.2
1Purwadi,

Upacara Traditional Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),

hal. 176-179. 2Ibid

Semua hal diatas adalah ritual resmi yang dilakukan orang jawa dalam adat pernikahan mereka. Banyak sekali ritual yang masing-masingnya mempunyai makna kehidupan tersendiri. Moh. Roqib menyebutkan dalam bukunya bahwa masyarakat jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi budaya unggah-ungguh atau tatakrama. Tatakrama yang detail dalam segala perilaku. (Moh. Roqib. 2007: 79) Sedangkan ritual asli adat pernikahan orang sunda sedikit sederhana dengan proses awal yang sama yakni melamar. Secara umum ritual adat jawa dan sunda itu sama sebelum dan sesudah akad nikah. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Ada beberapa ritual yang tidak ada dalam ritual adat jawa. Yang paling terkenal adalah saweran. Selain itu ada meleum harupat ( membakar lidi), melepaskan burung merpati dan numbas. Numbas biasa dilakukan satu minggu setelah akad nikah. Hal ini mengandung maksud memberitahukan bahwa pengantin perempuan tidak mengecewakan. Upacara ini biasa dilakukan dengan membagikan nasi kuning atau makanan.3 Sedangkan yang tidak ada dalam adat sunda adalah upacara midodareni dan kacar-kucur. Namun di kota Banjar, perbedaan itu tidaklah menjadi masalah. Masyarakat Banjar secara tidak sadar telah melakukan akulturasi dari kedua budaya itu. Walaupun si pengantin pria atau wanitanya adalah orang sunda asli, dalam ritual pernikahan mereka tetap ada sub-sub ritual dua kebudayaan diatas.

3 http://www.pernikahanadat.blogspot.com

Misalnya malam midodareni yang hanya ada di adat jawa, diadaptasi menjadi malam bujang atau malam berkumpulnya pengantin dengan temantemannya yang belum menikah. Selain itu saweran mungkin menjadi umum disetiap ritual pernikahan, walaupun pada asalnya berasal dari adat sunda. Upacara melepas merpati dan numbas pun selalu dilakukan oleh masyarakat kampung Langen, walaupun pasangan pengantin itu adalah orang jawa atau bahkan bukan orang jawa ataupun sunda. Hal seperti itu seakan sudah menjadi paket adat ritual pernikahan di kampung Langen apapun latar belakang mereka. Serta acara saweran yang tak lain merupakan acara yang paling ditunggu-tunggu dalam setiap ritual pernikahan. Selain membagikan uang, beras kuning, dan permen dengan cara disawerkan atau dilempar, yang paling khas adalah kidung sawernya. Kidung tersebut berisikan pesan-pesan bagi para pengantin agar tetap rukun dan sejahtera dalam menjalani bahtera rumah tangga. Selain saweran, hal yang diadaptasi lainnya adalah upacara nembus. Orang jawa lebih mengenalnya dengan kata nembusi. Keluarga yang sudah melaksanakan pernikahan selalu memberikan makanan kepada semua tetangga dengan merata. hal itu juga dapat disimbolkan sebagai ucapan syukur dan terimakasih kepada keluarga. Namun dalam penjelasan tentang kebudayaan sunda dan jawa, Moh. E. Hasim menjelaskan bahwa apabila mereka umat islam, upacara memecah telur dan saweran tidak perlu dilakukan karena hal itu dianggap bertentangan dengan aqidah islam. Menurutnya hal itu adalah hasil asimilasi agama islam

dengan berbagai kepercayaan diluar islam. Kepercayaan itu berasal dari kepercayaan animisme. Pada abad ke-7 datang agama islam. Sejarahnya, para pedagang bangsa Arab yang memeluk agama islam datang ke India yang kemudian banyak orang India yang masuk agama Islam dari agama Hindu. Namun kepercayaan yang sudah mendarah daging tidak bisa hilang seketika. Maka itu terjadilah akulturasi antara agama islam dengan agama hindu. (Moh. E. Hasim: 1997: 37) Dari pernyataan diatas memang sedikit terdengar baru bagi kita. Namun itulah pendapat yang dikemukakan oleh Moh. Hasim. Walau bagaimanapun, pada kenyataannya upacara adat itu memang sudah mendarah daging dalam masyarakat sunda dan jawa di kampung Langen. Yang penting adalah kita tidak berniat musyrik karena melakukan hal tersebut. Hal itu hanyalah sebuah ritual yang melambangkan atau mengajarkan nilai-nilai kehidupan dalam berumah tangga kepada pengantin tersebut dengan cara disimbolkan seperti cara-cara yang telah disebutkan diatas. Berkaitan dengan tradisi diatas, Damardjati mengatakan bahwa budaya upacara masih tidak bisa dilepaskan dari upacara itu.4 Hal itu terbukti dengan tetap terjaganya budaya-budaya dalam setiap ritual pernikahan disetiap daerah. Bahkan di kampung Langen, upacara tersebut terus ada menjadi budaya baru percampuran antara sunda dan jawa. Apabila diprosentasekan, hampir 90% pasangan yang menikah dikampung Langen memakai adat ritual itu. Penghayatan Keagamaan Orang Jawa, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2002), hal. 36.
4Purwadi.

Sebenarnya apabila diteliti lebih jauh, adat dan ritual jawa lah yang paling banyak mengungkap kepercayaan akan hal-hal mistis. Semua dekorasi dalam ruangan biasanya selalu saja ada maknanya. Seperti acara malam midodareni atau malam dimana pengantin perempuan tidak boleh tidur sebelum jam dua belas malam karena konon katanya pada malam hari sebelum hari pernikahan tersebut para bidadari akan datang menghampiri dan menemani. Percaya atau tidak, namun itulah mitos yang berkembang. Tetapi hal itu tetap dipertahankan oleh orang jawa dan mereka mempercayai hal itu. Mungkin apabila tidak dilestarikan, budaya disetiap daerah akan hilang begitu saja. Budaya merupakan satu ciri khas yang sangat otentik yang membedakan antara satu dengan yang lain. Pada dasarnya, Tuhan menciptakan manusia dari berbagai suku bangsa dan bahasa untuk saling berkomunikasi agar terjalin kesepahaman. Perbedaan dan kontra etnis bak komposisi warna warni lukisan ini adalah wujud keindahan yang patut untuk diapresiasi.5 Memang setiap perbedaan didunia ini menjadi indah ketika kita saling menghargai kebudayaan yang ada tanpa saling menjatuhkan atau menjelekjelekkan antara satu dengan yang lain. Keharmonisan baru akan terasa bila dua hal yang berbeda tumbuh menjadi satu kesatuan yang tumbuh dalam kebersamaan yang saling melengkapi seperti yang diterapkan oleh warga kampung Langen, kota Banjar.

Al Wasilah, Pokoknya Sunda Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Kiblat, 2006), hal. 18.

5Chaedar

Percampuran budaya memang ditinjau baik apabila budaya itu tidak menciptakan budaya baru dan tidak meninggalkan budaya yang lama (akulturasi). Ini artinya, menciptakan budaya baru bukannya tidak boleh, tetapi hanya saja dikhawatirkan budaya asli yang sebelumnya akan hilang digantikan oleh modernisme budaya baru yang terbentuk. Dan dikhawatirkan lagi ciri khas Indonesia sebagai negara yang mempunyai banyak budaya-budaya tradisional yang menarik akan terganti oleh negara globalisasi yang selalu terkungkung dengan arus global yang selalu berubah dari waktu ke waktu yang berarti jati diri sebagai bangsa akan hilang dan musnah. Tentunya kita sebagai warga negara yang baik tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.

Referensi:
Al Wasilah, Chaedar. 2006. Pokoknya Sunda, Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Kiblat Hasim, E. Moh. 1997. Rupa-Rupa Upacara Adat Sunda Jaman Ayena. Bandung: Pustaka Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Purwadi. 2002. Penghayatan Keagamaan Orang Jawa. Yogyakarta: Media Pressindo Roqib, Moh. 2007. Harmoni Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

http://www.pernikahanadat.blogspot.com

You might also like