You are on page 1of 6

MAKALAH FARMAKOLOGI

Blok 19 : Kegawatdaruratan Medis Modul 1 : Kegawatdaruratan THT Praktikum Obat obatan Ototoksik

Di susun oleh :

KELOMPOK 3
Cristian Rizki Pirade Desy Nur Fatma Sari Gea Ananta Gina Magda Riana Haris Jauhari Putri Khumairatullaon Rifa Fahdianata Sri Wahyuni Stefani S. Angel

UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN 2011/2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah makalah Praktikum Farmakologi Obat obatan Ototoksik pada Modul 1 Blok 19 mengenai Kegawatdaruratan THT ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kami. Makalah ini secara menyeluruh membahas mengenai obat obatan ototoksik khususnya pada obat obatan yang digunakan pada pengobatan pneumonia. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini, antara lain : 1. dr. Sjarif Ismail, M.Kes selaku dosen pengajar pada praktikum farmakologi mengenai obat obatan ototoksik. 2. Teman-teman kelompok III yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya sehingga makalah farmakologi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. 3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2008 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Akhirnya, seperti pepatah mengatakan tiada gading yang tak retak, tentunya makalah ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi makalah farmakologi ini.

Samarinda, 20 September 2011 Penyusun,

Kelompok III

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan Obat obatan ototoksik adalah obat obatan yang umumnya dikonsumsi oleh pasien untuk mengobati penyakit yang dideritanya, namun mempunyai efek samping ototoksik, yaitu obat yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga akhirnya menyebabkan ketulian, apabila pasien tersebut telah mengkonsumsi obat obatan tersebut selama bertahun tahun secara kontinu. Akhir akhir ini penyebab ketulian memang belum jelas, tetapi setelah dilakukan anamnesis secara lebih mendalam kepada para pasien diketahui bahwa sebagian besar ketulian yang ada pada mereka disebabkan karena obat, selain karena akibat mekanik atau faktor eksternal lainnya. Obat obatan yang dapat menyebabkan ketulian contohnya antara lain golongan aminoglikosida, beberapa obat antimalaria atau anti rematik, tuberkulostatik, anti kanker dan sebagainya. Obat obatan tersebut hendaknya diberikan secara hati hati terutama pada pasien dewasa, anak anak, bayi, dan bahkan pada ibu hamil karena dapat menyebabkan efek teratogenik. Dalam penggunaan obat obatan tersebut secara menahun maka mula mula akan timbul gejala tinnitus atau kadang disertai dengan gangguan keseimbangan, dan apabila terus digunakan maka akan menyebabkan ketulian. Sifat ketulian dapat bersifat reversible atau irreversible, tergantung dari pemberian obatnya dihentikan atau tidak.

1.2. Manfaat Makalah ini khususnya membahas mengenai obat obatan ototoksik golongan antimikroba ( aminoglikosida ). Dengan adanya pembahasan secara lengkap mengenai obat obatan antimikroba khususnya yang mempunyai efek samping ototoksik ini diharapkan dapat menjadi bekal dan sumber pembelajaran di Fakultas Kedokteran bagi penyusun makalah maupun pembaca, khususnya bagi teman teman angkatan 2008.

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan Obat obatan ototoksik khususnya golongan aminoglikosida memiliki efek ototoksik dan gangguan vestibular yang nyata, terutama efeknya pada N. VIII ( N. Vestibulokoklearis). Ototoksisitas pada aminoglikosida ditingkatkan oleh beberapa faktor antara lain besar dosis, adanya gangguan faal ginjal, usia tua, penggunaan obat ototoksik lain, pemberian bersamaan dengan asam etakrinat ( diuretic kuat ), kadar puncak dan kadar lembah yang meningkat, terapi berkepanjangan dan demam. Pada penggunaan streptomisin dan gentamisin gangguan vestibular gejala dininya adalah sakit kepala kemudian diikuti oleh fase akut mual, muntah pusing, dan gangguan keseimbangan. Selanjutnya fase kronik, gejala semakin menjadi ketika berjalan atau melakukan gerakan tiba tiba. Pada fase kompensasi gejala menjadi nyata hanya apabila penderita memejamkan mata. Pemulihan sempurna akibat efek samping ini membutuhkan sekita 12 18 untuk pulih sempurna tanpa memerlukan terapi khusus, namun keluhan dapat juga menetap. Efek samping ini dapat dikurangi bila pemberian aminoglikosida cepat dihentikan setelah munculnya gejala ototoksik. Sedangkan gangguan akustik, tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada mulanya terjadi kepekaan terhadap gelombang frekuensi tinggi akan berkurang, dan hal ini tidak disadari oleh pasien. Pada fase ini akan diketahui pada pemeriksaan audiometric terdapat penurunan, lambat laun gejala akan semakin berkembang dan secara klinis menjadi tuli-saraf. Gejala dini berupa tinnitus bernada tinggi dapat bertahan selama dua minggu setelah pemberian aminoglikosida dihentikan. Patologi kerusakan akustik terutama berupa degenerasi berat sel rambut organ Corti mulai dibagian basiler menjalar ke apeks.

3.2. Saran Dalam penyusunan makalah ini tidak terdapat kesempurnaan. Oleh karena itu kami Kelompok III selaku penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian mengenai bahan tulisan yang telah kami curahkan dalam bentuk makalah ini.

Daftar pustaka.
Istiantoro, Y. H., & H.S Gan, V. (2007). Aminoglikosid. In D. F. Indonesia, Farmakologi dan Terapi (p. 711). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

You might also like