You are on page 1of 28

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU KESEHATAN TERNAK

Disusun Oleh : Kelompok I Moch Supriyanto Puri Handayani Oky Kurniatama Fitria Dwi W Listianto Ahmad Faris H2A 009 012 H2A 009 018 H2A 009 023 H2A 009 027 H2A 009 030 H2A 009 050

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2011

BAB I PENDAHULUAN Kesehatan hewan adalah suatu status kondisi tubuh hewan dengan seluruh sel yang menyusunnya dimana cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis berfungsi normal. Pemberantasan penyakit secara tuntas di suatu kawasan tertentu mungkin sulit dilaksanakan walaupun upaya telah berlangsung bertahun-tahun. Hal ini dapat terjadi karena sifat alamiah gen penyakit yang berkemampuan tetap bertahan hidup di luar induk semangnya, keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penciptakan vaksin yang handal, atau ketidak mungkinan mengatasi atau mengendalikan semua macam pembawa sifat bagi jasad renik yang ada. Penyakit pada ternak yang tersebar sekarang ini banyak disebabkan oleh parasit, baik endoparasit maupun ektoparasit. Endoparasit merupakan parasit yang berada di dalam tubuh induk semang. Ektoparasit merupakan parasit yang berada di luar atau permukaan tubuh induk semang. Pemeriksaan nekropsi merupakan pemeriksaan jaringan tubuh ternak baik dipermukaan tubuh maupun didalam tubuh yang dilakukan dengan cara membedah rongga tubuh Praktikum ilmu kesehatan ternak dengan materi Pemeriksaan feses dan pengamatan preparat parasit ini bertujuan untuk mengetahui apakah didalam tubuh ternak terdapat telur cacing atau tidak. Manfaat yang diperoleh adalah praktikan dapat mengidentifikasi ternak apakah ternak tersebut dalam keadaan sehat atau sakit.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia Sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan hasil

persilangan antara sapi perah Friesiand Holstein (FH) dengan sapi-sapi lokal yang ada di Indonesia dimana sifat FH-nya lebih menonjol (Muldjana, 1985). Sapi perah Friesian Holstein mempunyai identitas warna hitam berbelang putih, kepala berbentuk panjang, lebar, dan lurus (Siregar, 1993). Kondisi fisiologis lingkungan yang dapat mempengaruhi kondisi fisiologis ternak, meliputi frekuensi pernafasan, denyut jantung, dan suhu rektal yang mengindikasikan kondisi kesehatan ternak (Santoso, 1995). Kesehatan ternak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Ciri-ciri ternak yang sehat antara lain lincah, mata bersinar terang, nafsu makannya baik, frekuensi pernafasan baik, suhu tubuh normal dan tidak terdapat bekas luka pada bagian permukaan tubuhnya. Kondisi tubuh sapi yang seimbang adalah tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, langkah kakinya terlihat mantap dan teratur (Sugeng, 1998). Kesehatan hewan adalah suatu status kondisi tubuh hewan dengan seluruh sel yang

menyusun dan cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis berfungsi normal (Murtidjo, 1993). Kesehatan hewan adalah status kondisi tubuh hewan dengan seluruh sel yang menyusun dan cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis yang berfungsi normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan hewan antara lain faktor mekanis, termis (suhu), nutrisi (pakan), pengaruh zat kimia, keturunan dan sebagainya. Frekuensi nafas pada sapi rata-rata 20-30 kali per menit. Denyut jantung sapi normal berkisar antara 50-60 kali per menit. Kulit dan bulunya tampak halus mengkilat. Pertumbahan bulu merata di seluruh permukaan tubuhnya (Akoso, 1996). Suhu tubuh ternak sapi yang normal berkisar antara 38-39 C (Willamson dan Payne, 1993). Pemeriksaan kesehatan ternak dilakukan untuk mencegah dan merawat ternak, supaya ternak tersebut dapat berproduksi dan beraktivitas secara normal

tanpa mengganggu proses fisiologisnya (Subronto, 1985). Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak antara lain faktor mekanis, yang pernah

termis, nutrisi, pengaruh zat kimia dan keturunan. Penyakit

diderita ternak adalah mencret, radang pusar, perut kembung, radang mulut, kuku dan lain-lain (Murtidjo, 1993). Kondisi tubuh ternak yang seimbang dan sehat yaitu badan tidak terlalu gemuk atau kurus, bagian sudut mata terlihat bersih tanpa adanya kotoran atau getah radang dan tidak terlihat perubahan warna di selaput lendir dan kornea matanya (Murtidjo, 1993). Ternak sehat memiliki permukaan kulit yang halus, bersih dan mengkilat, pertumbuhan bulu merata di permukaaan tubuh, bulu tumbuh panjang dan kasar terutama di daerah beriklim sejuk, dan dalam keadaan normal penampilan bulu tidak kusam (Santoso, 1995). Pemeriksaan kondisi fisik ternak dilakukan pada saat ternak beraktivitas tidak dalam posisi tidur sehingga sangat terlihat jelas tanda-tanda ternak yang sakit atau tidak (Akoso, 1996). Untuk pencegahan penyakit, hal yang perlu dilakukan adalah dengan sanitasi yang baik, tempat perteduhan yang cukup dan kandang yang kering (Blakely and Bade, 1998).

2.1.1. Pengamatan tingkah laku ternak Tingkah laku ternak dapat dijadikan sebagai indikasi kesehatan ternak, apabila ternak tersebut sehat maka memiliki gerak yang aktif, mampu mengusir lalat, tidak lesu dan tidak dapat tegak (Murtidjo, 1993). Ternak yang sehat dapat diamati dari tingkah lakunya, baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh (Subronto, 1985). Sapi yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif dan sikap sigap serta akan selalu sadar dan cepat tanggap akan adanya perubahan situasi sekitar yang mencurigakan (Sugeng, 1998).

2.1.2. Pemeriksaan fisik ternak Kondisi fisik ternak yang sehat dapat diketahui dari sudut matanya yang terlihat bersih tanpa adanya kotoran atau getah radang dengan tidak terlihat perubahan warna yang diselaputi lendir dan kornea matanya. Ekornya selalu aktif

mengibas untuk mengusir lalat, kulit dan bulunya tampak halus dan mengkilat. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara palpasi, inspeksi visual dan penciuman di samping pendengaran dengan cara auskultasi dan perkusi. Suhu normal sapi adalah 38,5 0C (101,5 0F), suhu kritis 39,5 0C (103 0F) (Siregar, 1997). Pemeriksaan kondisi fisik ternak dilakukan pada saat ternak beraktivitas tidak dalam posisi tidur sehingga sangat terlibat jelas tanda-tanda ternak yang sakit dan ternak yang sehat (Santosa, 1995).

2.1.3. Kondisi fisiologis ternak

Fisiologis ternak meliputi suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernafasan dan denyut jantung. Pengetahuan fisiologis ternak sangat penting karena akan ikut dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan selain faktor genetik dan makanan (Santosa, 1995). Sapi sehat bernafas dengan tenang dan teratur namun, sapi yang ketakutan lelah akibat kerja berat, kondisi udara terlalu panas pernafasannya akan menjadi lebih cepat. Kecepatan pernafasan sapi rata-rata berkisar 10-30 kali per menit (Sugeng, 1998). Secara fisiologis, ternak yang normal memiliki frekuensi pernafasan antara lain ternak kuda 8-10 kali per menit, sapi 10-30 kali per menit, kerbau 12-15 kali per menit, domba, babi dan kambing 10-20 kali per menit. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran tubuh, umur, aktivitas ternak, kebuntingan, lingkungan dan aktivitas pencernaan terutama pada rumen. Suhu tubuh yang normal untuk kuda 38 0C, sapi 38,5 0C, kerbau 38,2 0C, babi dan domba 39 0C (Dukes, 1995). Frekuensi nafas untuk sapi dewasa adalah 10-30 kali per menit. Suhu tubuh normal untuk anak sapi adalah 39,5 0C 40 0C, sedangkan untuk sapi dewasa 38 0C 39,50 0C. Suhu tubuh ini di pengaruhi oleh adanya jenis, bangsa, individu, umur, jenis kelamin, kondisi tubuh, aktivitas yang berbeda, pakan dan kondisi klimat atau suhu (Williamson dan Payne, 1993). Denyut nadi pada ternak sapi yang istirahat berkisar antara 50-60 kali per menit, sedangkan pada sapi yang sedang lari atau bekerja denyut nadinya mencapai 85 kali per menit. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan denyut nadi adalah umur, spesies, kelamin, kondisi ternak aktivitas dan suhu lingkungan. Ternak yang mengalami stress akan meningkat denyut jantungnya.

Denyut jantung pada sapi berkisar antara 50-60 kali per menit (Frandson, 1996). Suhu lingkungan panas akan meningkatkan denyut jantung dan frekuensi pernfasan pada ternak sehingga panas tubuh langsung diedarkan oleh darah ke permukaan kulit dengan dikeluarkan melalui radiasi, konveksi, konduksi maupun evaporasi atau penguapan. Sebaliknya jika suhu lingkungan dingin, maka produksi panas akan digunakan untuk menjaga keseimbangan panas agar suhu tubuh tidak turun (Levine, 1994).

2.1.4. Kondisi lingkungan ternak

Sanitasi merupakan upaya penjagaan kebersihan kandang dan lingkungan, sanitasi yang baik dapat menghambat kehadiran bibit penyakit (Akoso, 1996). Sanitasi merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh peternak dalam usahanya, agar ternak yang dipelihara dalam kondisi yang sehat dan memiliki produksi yang optimal (Siregar, 1997). Perawatan dan sanitasi ternak bertujuan untuk mencegah berbagai macam penyakit dan parasit (Sugeng, 1998). Sanitasi lingkungan meliputi kebersihan kandang, peralatan (tempat pakan, tempat minum dan lain-lain), serta kebersihan lingkungan sekitar (Santoso, 1995). Memandikan ternak perlu dilakukan karena jika ternak tidak dimandikan akan kotor dan lembab. Apabila keadaan ini dibiarkan, tubuh ternak akan menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembangnya pathogen (kuman/penyakit), yaitu jamur, parasit yang akan membahayakan ternak (Sugeng, 1998). Ternak dimandikan minimal satu minggu sekali. Air yang digunakan harus bersih dan mengalir dengan cara disikat dan disabun agar kuman-kuman penyakit pada bulu dan sekitarnya mati (Santosa, 1995). Waktu memandikan ternak sebaiknya pada pagi hari, lalu di jemur untuk mendapatkan sinar matahari sehingga membantu pembentukan vitamin D (Williamson dan Payne, 1993). Faktor-faktor kebersihan lingkungan perlu dipertimbangkan untuk jaminan kesehatan ternak dan peternak, bangunan kandang harus ditempatkan di suatu tempat tertentu, yakni ditempat yang kering, atau ditempat yang lebih tinggi dari lingkungan sekitar, atau yang tanahnya mudah menghisap air atau bila terdapat air hujan, air akan mudah mengalir dengan cepat (Sugeng, 1998). Jika bangunan

berada di pepohonan besar, maka ruangan kandang akan mudah menjadi lembab sebab cahaya matahari akan terhalang oleh pepohonan (Sugeng, 1998). Kotoran dibawa dan ditempatkan di tempat khusus, bak

penampungan kotoran, yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Lantai kandang yang bersih sangat berpengaruh terhadap kebersihan udara di dalam ruangan kandang itu sendiri sehingga penghuni kandang pun menjadi lebih nyaman (Santoso, 1995). Sanitasi kandang meliputi lingkungan kandang dan ternak, setiap hari kandang harus dibersihkan dari kotoran (Akoso, 1996). Letak kandang yang baik sebaiknya berada agak jauh dari pemukiman penduduk dan dekat dengan sumber air serta sarana transportasi dan komunikasi. Lokasi kandang sebaiknya tidak becek dan lembab serta cukup sinar matahari, di dataran yang lebih tinggi dari dataran yang lainnya pada kompleks peternakan dan jauh dari pemukiman penduduk (Setyadi, 1982). Atap kandang dapat

berupa genting, daun tebu, daun kelapa, daun rumbia maupun asbes. Lantai kandang dapat dibuat dari bahan semen, papan atau kayu dan dibuat agak miring kira-kira 50 kemiringan. Kemiringan lantai ini bertujuan agar air kencing sapi tidak bercampur dengan kotoran, sehingga kesehatan sapi dapat terjamin (Siregar, 1997).

2.2.Parasit Parasit adalah organisme yang hidup di atas atau di dalam beberapa organisme lain yang dikenal sebagai induk semang. Parasit itu mungkin berupa hewan atau tumbuh-tumbuhan, mereka mungkin virus, bakteri, protozoa, cacing atau arthropoda (Levine, 1994). Menurut cara hidupnya parasit dapat dibedakan antara ektoparasit dan endoparasit. Parasit berasal dari hewan bebas yang mengalami evolusi. Kelompok parasit adalah semua jasad renik yang bersifat merugikan hewan ternak yang hidup di dalam atau di luar individu lain yang biasa disebut dengan induk semang. Beberapa parasit memiliki organ semacam alat penghisap untuk bergantung. Banyak parasit yang memproduksi sangat banyak telur, karena kemungkinan setiap telur akan menginfeksi induk semang yang baru adalah sangat kecil.

2.2.1. Endoparasit Salah satu jenis endoparasit adalah cacing. Cacing merupakan jenis parasit yang memiliki daur hidup sangat spesifik. Daur hidup cacing terjadi pada tubuh induk sehingga cacing bertelur dalam saluran empedu dan dibawa oleh cairan empedu kedalam usus yang kemudian keluar bersama tinja. Endoparasit pada ruminansia kecil dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu: Nematoda atau cacing gilik, Cestoda atau cacing pita dan Trematoda atau cacing daun. Cacing gilik yang penting pada ruminansia kecil didaerah tropis lembab hidup dalam saluran pencernaan dan seluruhnya memilki siklus hidup langsung. Tidak terdapat inang perantara untuk jenis cacing ini. Trematoda hidup dalam saluran pencernaan atau organ yang terkait dengannya seperti hati dan pankreas. Siklus hidupnya langsung. Contoh cacing Trematoda yaitu, Fasciola hepatica dan Fasciola gigantika (Norman, 1994). Cestoda adalah merupakan cacing pipih yang mempunyai ciri umum yaitu adanya segmentasi tubuh yang unik, tanpa saluran pencernaan daur hidup yang berbeda. Segmen-segmen tubuhnya disebut proglotia. Parasit ini biasa disebut cacing pita. Cacing dewasa hidup di dalam usus vertebrata (Elmer dan Glenn, 1989). 2.2.1.1 Fasciola sp (Cacing daun). Fasciola hepatica ini berada dalam saluran empedu atau usus yang menyebabkan kerusakan hati. Kerbau yang memiliki kebiasaan berendam dalam kubangan berpeluang besar untuk terkena infeksi penyakit ini. Panjang Fasciola gigantica dapat mencapai 7,5 cm, sedangkan Fasciola hepatica sepanjang 3 cm. Fasciola mempunyai sebuah penghisap di bagian depan dan sebuah lagi di bagian bawah tubuhnya (Levine, 1994). Daur hidupnya terjadi pada tubuh induk semangnya. Cacing bertelur dalam saluran empedu dan dibawa oleh cairan empedu masuk ke dalam usus yang kemudian akan keluar bersama tinja. Bila cuacanya cocok, maka telur akan menetas dan menghasilkan larva stadium pertama atau mirasidium dalam waktu 9 hari. (Kadarsan,et al. 1983).

Ternak akan terinfeksi oleh penyakit ini karena makan rumput yang mengandung metaserkaria termakan oleh ternak tersebut akan menembus dinding usus dan tinggal di dalam hati yang akan berkembang selama 5 atau 6 minggu. Dalam tahap akhir larva cacing akan memasuki saluran empedu untuk tumbuh menjadi dewasa. Gejala yang sering terjadi adalah ternak akan menjadi lemah dan depresi, bagian perut membesar dan terasa sakit. (Kadarsan,et al.1983). Usaha pencegahan untuk mengobati ternak dari cacing Fasciola sp ini selain dengan pengobatan juga dilakukan upaya pemberantasan siput yang berada di sekitar lingkungan ternak sampai radius 5 km. Pengobatan Fasciola hepatica dilakukan dengan pemberian obat karbon tetraklorida (CCl4 ), Hexaclorothan dan Clioxnide (Tjahjati dan Soebronto, 2001). 2.2.1.2. Ascaridia galli. Cacing ini terdapat pada usus kecil ayam dan burung galinaseosa lain di seluruh dunia.. Ascaridia galli mempunyai siklus hidup yang langsung. Telur keluar bersama tinja dan berkembang menjadi stadium infektif pada tanah dalam waktu 8 14 hari pada kondisi biasa telur infektif tertelan oleh burung dan menetas di dalam proventrikulus atau usus halus. Beberapa larva masuk kedalam dinding usus, tetapi kebanyakan tetap di dalam rumen. Larva berkembang melewati usus dan pindah ke selaput lendir (Levine, 1994). Cacing Ascaridia galli merupakan nematoda parasitik yang sering ditemukan pada unggas termasuk ayam petelur panjang rata-rata cacing jantan kira-kira 50 mm, dan yang betina dapat lebih dari 100 mm, parasit tersebut menyebabkan kerugian kepada peternak berupa penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan, penurunan produksi telur serta penurunan kualitas telur. Hal tersebut karena cacing selain menyerap zat-zat makanan juga menyebabkan kerusakan sel-sel epitel villi serta berkurangnya luas permukaan villi usus yang berperanan dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan (Zalizar, et al. 2006). 2.2.1.3. Moniesia sp. Moniesia sp dengan bentuk tubuh bersegmen-segmen proglotida, setiap prolotida terdiri atas organ lengkap, bersifat hermaprodit

(Levine, 1994). Cacing dewasa hidup dalm usus halus, panjang seluruhnya dapat mencapai 6 m dan pada umumnya telurnya menyerupai buah jambu, bergaris tengah sebesar 0,06 mm terbungkus dalam kulit yang mempunyai bentuk segitiga (Blakely dan Bade, 1998). Daur hidup cacing pita ini dimulai dari telur yang keluar bersama-sama tinja kemudian jatuh ke tanah, telur cacing pita akan menjadi makanan tungau, yang bertindak sebagai induk semang sementara di dalam usus tungau, telur cacing akan menetas menjadi larva yang akan menembus usus masuk kedalam rongga tubuh dan larva akan berkembang menjadi sistiserkoid yang tahan hidup selama 2-5 bulan, selanjutnya tungau tanah akan menempel pada daun atau batang rumput dan bilamana rumput dimakan oleh domba, sistiserkoid kan tumbuh menjadi cacing dewasa di dalam usus halus (Kadarsan et al., 1983). 2.3.1.4. Raillietina sp. Raillietina sp memiliki banyak proglotid terdapat rostelum dengan kait berbentuk palu yang tersusun dalam lingkaran ganda, alat penghisap kadang-kadang dipersenjatai dengan kait yang kecil dan berdegenerasi yang tersusun dalam beberapa lingkaran. Raillietina sp merupakan cacing pita pada unggas piaraan, daerah penyebarannya luas terdapat baik di daerah dingin maupun di daerah panas seperti Indonesia. Panjangnya dapat mencapai 25 cm. Stadium larva terdapat pada semut atau larva lalat rumah. Sebagai hospes perantara adalah semut jerami yang termasuk genus Pheiole, dan kelinci tanpa disengaja menelannya pada saat makan tumbuh-tumbuhan (Levine dan Norman, 1994). Alat penghisap kadang-kadang dipersenjatai dengan kait yang kecil dan bergenerasi yang tersusun dalam beberapa lingkaran (Kadarsan et al, 1983). 2.3.1.5. Oesophagostomum sp. Merupakan cacing benjol pada ternak Mempunyai mulut yang mengarah ke depan dan dikelilingi oleh kerah mulut yang terdapat papila-papila kepala dan yang dibatasi oleh cincin cekung di sebelah posterior. Biasanya terdapat dua mahkota daun. Cacing ini biasanya terdapat pada usus besar sapi, domba, kambing, dan lain-lain (Levine, 1994). Larva

Oesophagustomum sp akan membentuk bungkul di usus halus dan usus besar, yang daur hidupnya meliputi larva yang secara aktif merayap ke puncak rumput, yang kemudian akan termakan oleh hewan (Akoso, 1996).

2.2.2. Ektoparasit Ektoparasit pada umumnya termasuk dalam golongan arthropoda, kelompok-kelompok serangga dan akarina pada khususnya. Arthropoda adalah jenis parasit yang memiliki mulut ventral pada segmen pertama atau kepala, sebuah sisitem pencernan yang dibagi menjadi beberapa daerah yang sedikit berbeda untuk tiap kelompok dan sebuah anus yang terletak di ujung (Kadarsan et al., 1983). Parasit jenis arthropoda dapat mendatangkan kerugian pada induk semangnya dengan cara menghisap darah, cairan limfe atau eksudat, memakan jaringan padat secara langsung, menyebabkan terjadinya reaksi alergi, menyebabkan terjadinya berbagai reaksi tubuh seperti pembengkakan, hipertrofi, hiperplasia, dan pembentukan benjolan. Selain itu juga dapat bertindak sebagai pembawa penyakit dan parasit misalnya malaria, dapat juga menurunkan ketahanan induk semang terhadap penyakit-penyakit lain dan parasit

(Levine,1994). 2.2.2.1. Tabanus sp. Tabanus sp juga dikenal sebagai lalat kerbau yang memiliki warna gelap, hitam kecoklat-coklatan dan bertubuh kekar dengan ujung belakangnya meruncing dengan permukaan atas toraksnya bergaris, sayapnya tidak jernih, matanya besar mengambil tempat paling banyak dari permukaan kepala (Kadarsan et al., 1983). Lalat betina dewasa bertahan hidup dengan menghisap darah, sedangkan yang jantan hidup dari cairan tanaman, kebanyakan dari lalat ini menyerang mangsanya pada siang hari, bagian-bagian mulut lalat betina mirip sebuah pisau sehingga luka yang ditimbulkan sewaktu menghisap darah dapat cukup besar, lalat kerbau dapat pula menyebarkan bibit penyakit

dimana penyakit surra adalah salah satu penyakit yang ditimbulkan oleh flagellata Trypanosoma evansi dimana (Levine,1994). 2.2.2.2. Musca domestica. Musca domestica juga dikenal sebagai lalat rumah. Lalat ini mempunyai alat mulut untuk menjilat dan tidak menggigit. Larvanya berkembang di dalam kotoran, tumbuh-tumbuhan busuk lalu larva tersebut akan bermigrasi ke daerah yang lebih kering untuk menjadi pupa. Lalat dewasa makan makanan manusia dan dapat menularkan sejumlah penyakit usus karena kebiasaannya mondar-mandir dari kotoran ke makanan. Lalat ini juga menjadi induk semang bagi cacing lambung kuda Habronema muscae dan Draschia megastoma (Levine, 1994). Ukuran lalat rumah ini kecil, hanya sebesar biji kacang tanah dan berwarna hitam kecoklatan. Kepalanya besar berwarna coklat gelap. Matanya besar menonjol, sepasang sungut terletak di depan mata dan tiap sungut terdiri atas ruas dasar berbentuk dengan sehelai rambut yang bercabang-cabang tumbuh di atasnya. Lidah pengisapnya melebar ke bagian ujung dan berbentuk seperti parut. Dengan alat ini lalat mengisap cairan makanan. Toraksnya bertanda 4 garis membujur. Abdomennya berwarna kekuning-kuningan, sedangkan ruas

terakhir berwarna coklat kehitaman. Tiga pasang kakinya ditutupi oleh rambut lebat dan bercakar dua buah. Sayapnya sepasang, tipis serta tembus cahaya, berwarna kelabu pucat dan pangkalnya berwarna kekuningan serta urat sayapnya tampak jelas (Kadarsan et al., 1983). 2.2.2.3. Hippobosca. Lalat ini disebut juga lalat kuda karena banyak dijumpai pada kuda, lalat ini menyerang mangsanya dengan menggigit, dan bekas gigitannya menyebabkan iritasi pada kulit, tubuh lalat ini menyempit di bagian tengah dan bagian perut membulat atau berbentuk persegi dan mempunyai bulubulu pendek menutupi seluruh permukaan badan, sedangkan bulu-bulu panjang terdapat pada bagian toraks, abdomen, dan kaki, matanya kelihatan menonjol dan

mulutnya berfungsi sebagai penyayat kulit dan penghisap darah. Ukurannya sedikit lebih besar dar lalat rumah (Levine dan Norman, 1994). Tubuh lalat kuda menyempit di bagian tengah dengan bagian perut membulat atau bentuk persegi. Bulu-bulu pendek menutupi seluruh permukaan badan dengan sekelompok bulu-bulu yang panjang dan keras terdapat di sebagian dari toraks, abdomen dan kaki. Matanya kelihatan menonjol, bagian-bagian mulut berfungsi sebagai alat penyayat kulit dan penghisap darah. Sayapnya jernih

dengan guratan urat sayap tebal dan sederhana susunannya. Pada setiap kakinya terdapat cakar yang kuat. (Kadarsan et al., 1983). 2.2.2.4. Stomoxys calcitrans. Stomoxys calcitrans yaitu lalat kandang. Lalat kandang berkembang biak pada sayuran yang membusuk, terutama bila bahan tersebut tercampur tinja. Lalat tersebut mengganggu sapi dan juga menularkan penyakit sura yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi, antraks, anemia pada kuda dan cacing lambung kuda Habronema majus (Levine, 1994). 2.2.2.5. Heterodoxus. Heterodoxus termasuk dalam subordo Anblycere. Heterodoxus merupakan serangga parasit pada burung atau mamalia. Bagianbagian dari kelas ini menjadi kutu-kutu bulu, batang bulu dan tubuh unggas (Levine dan Norman, 1994). Heterodoxus mengandung spesies-spesies yang terdapat pada anjing khusus di negara-negara tropis tidak di negara eropa dan pada kanguru dan kanguru kecil (Kadarsan et al., 1983). minggu menjadi lalat dewasa, kecepatan untuk menjadi lalat dewasa tergantung dari jenis lalat kuda (Levine, 1994). Ukurannya sedikit lebih besar dari lalat rumah

BAB III MATERI DAN METODE Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan materi Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminasia dilaksanakan pada hari Kamis, 4 November 2011 di kandang Bapak Tisnoaji di desa Koum Rt01/Rw04 Gunung Pati. Pemeriksaan Feses dan Pengamatan Preparat Parasit ini dilaksanakan pada hari Jumaat tanggal 11 November 2011 bertempat di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang. Pemeriksaa Kesehatan Unggas dilaksanakan pada hari Jumat, 18 november 2011 bertempat di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang. 3.1. Materi

3.1.1. Pemeriksaan Parasit Materi yang digunakan dalam pengamatan parasit secara makroskopis adalah awetan hewan seperti Taena saginata, Paramphistomum cervi, dan Fasciola hepatica. Pemeriksaan Secara mikroskopis adalah preparat

Paramphistomum sp, Rhicichepalus sp, Heterodoxus sp, Ctenocephalides canis dan Haematopinus sp. Alat yang digunakan dalam pengamatan secara mikroskopis dengan mikroskop dan untuk makroskopis tidak menggunakan alat bantu. Pemeriksaan telur cacing, materi yang digunakan adalah feses sapi perah, air, dan Naoh. Alat yang digunakan adalah mikroskop, kaca penutup, pengaduk, centrifuse, tabung reaksi, cawan petri, objek gelas, gelas beker, pipet dan mortir. Alat dalam praktikum nekropsi adalah pisau. Jarum suntik, pisau bedah dan tabung reaksi. 3.2. Metode

3.2.1. Pemeriksaan Parasit

Metode pengamatan parasit secara makroskopis adalah dapat dilihat dengan mikroskop. Cara yang dilakukan dengan menyiapakan preparat awetan. Setelah itu langsung digambar dan dicari spesifikasi pada parasit tersebut diamati lagsung dengan mata. Setelah itu hasil yang pengamatan di gambar serta menyebutkan warna dan ciri-ciri bagian tubuhnya. 3.2.2. Identifikasi Telur Cacing Metode yang digunakan dalam pemeriksaan telur cacing adalah dengan metode natif dan centrifuse. Pengamatan dengan metode natif adalah mengambil sedikit feses dan menaruhnya pada objek gelas, lalu meneteskan air diatasnya serta meratakannya, kemudian memeriksanya dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10 x 10. Pengamatan dengan metode centrifuse adalah mengambil feses dan menaruhnya dalam mortir, menambahkan sedikit air dan mengaduknya sampai rata, lalu dituangkan ke dalam tabung centrifuse sampai bagian, memutar dengan alat centrifuse selama 5 menit, membuang cairan jernih di atas endapan, lalu menuangkan larutan gula jenuh diatas endapan sampai tabung dan mengaduknya hingga tercampur rata, memutarnya lagi dengan alat sentrifuge selama 5 menit, meletakkan tabung tersebut dalam rak, lalu meneteskan NaCl jenuh diatas cairan dalam tabung sampai permukaan cairan menjadi cembung dan menunggunya sampai 3 menit, menempelkan objek gelas pada permukaan yang cembung dengan hati-hati, kemudian dengan cepat, balik objek gelas tersebut, lalu menutupnya dengan kaca penutup dan memeriksanya dengan mikroskop dengan perbesaran 10 x 10.

3.2.3. nekropsi

Metode yang dilakukan dalam praktikum adalah dengan mematikan ayam terlebih dahulu dengan cara menyembelih, kemudian ayam yang telah mati dibersihkan bulunya pada bagian dada. Pengamatan dilakuakan pada kulit luat dan kulit dalam, setelah diamati ayam kemudian dibedah untuk diamati bagian dalamnya mulai dari slauran pernafasan, saluran pencernaan, dan saluran reproduksi.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.5. Hasil Pengamatan Preparat Parasit 4.5.1. Endoparasit 4.5.1.1. Fasciola hepatica

Sumber: Data Primer Pratikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Sumber: http//www.rentokil.co.id, 2011.

Berdasarkan hasil pengamatan Cacing hati tubuhnya berbentuk gepeng, tidak beruas berwarna kelabu. Berbentuk seperti daun yang membulat di bagian depan dan ekor dan memiliki panjang + 3 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (1996) yang menyatakan bahwa panjang Fasicola gigantica dapat mencapai 7,5 cm sedangkan Fasicola hepatica sepanjang 3 cm, Fasciola memiliki sebuah penghisap di bagian depan dan sebuah lagi di bagian bawah tubuhnya. 4.5.1.2. Moniesia sp

Sumber: Data Primer Pratikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Sumber: http//www.rentokil.co.id, 2011.

Berdasarkan hasil pengamatan cacing pita memiliki panjang 6 cm, terdapat banyak proglotida, berdaging, bentuk tubuh pipih dan berwarna putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Levine (1994) yang menyatakan bahwa Moniesia sp merupakan cacing pita besar, berdaging, mempunyai panjang mencapai 2 m

atau lebih dan berwarna putih, Moniesia sp merupakan cacing pita besar yang mempunyai alat kelamin ganda pada setiap sisi setiap proglotida, terdapat dua jenis Moniesia sp diantaranya yaitu Moniesia expansa dan Moniesia benedeni, kedua jenis tersebut terdapat di dalam usus halus domba, sapi dan ruminansia lainnya (Levine, 1994). 4.5.1.3. Ascaridia galli

so Sumber: Data Primer Pratikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Sumber: http//www.rentokil.co.id, 2011.

Berdasarkan hasil pengamatan Ascaridia galli bentuknya tidak terlalu panjang mungkin panjangnya kira-kira 50 mm, kulit berwarna putih tulang. Hal ini sesuai dengan pendapat Zalizar, et al (2006) yang menyatakan bahwa panjang rata-rata cacing jantan kira-kira 50 mm, dan yang betina dapat lebih dari 100 mm. Levine (1994) menambahkan Telur keluar bersama tinja dan berkembang menjadi stadium infektif pada tanah dalam waktu 814 hari pada kondisi biasa telur infektif tertelan oleh burung dan menetas di dalam proventrikulus atau usus halus, larva berkembang melewati usus dan pindah ke selaput lendir. 4.5.1.4. Raillietina sp

Sumber: Data Primer Pratikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Sumber: http//www.rentokil.co.id, 2011.

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat Raillietina sp berbentuk pipih, berwarna putih panjang dan semakin panjang ke ekor semakin kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Levine (1994) yang menyatakan bahwa Raillietina sp memiliki banyak proglotid terdapat rostelum dengan kait berbentuk palu yang tersusun dalam lingkaran ganda, alat penghisap kadang-kadang dipersenjatai

dengan kait yang kecil dan berdegenerasi yang tersusun dalam beberapa lingkaran. 4.5.1.5. Oesophagostomum sp

Sumber: Data Primer Pratikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Sumber: http//www.rentokil.co.id, 2011.

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat bahwa Oesophagostomum sp berbentuk agak cekung dan mulut mengarah kedepa. Hal ini sesuai dengan pendapat Levine (1994) yang menyatakan bahwa Oesophagostomum sp merupakan cacing benjol pada ternak dan mempunyai mulut yang mengarah ke depan dan dikelilingi oleh kerah mulut yang terdapat papila-papila kepala dan yang dibatasi oleh cincin cekung di sebelah posterior, cacing ini biasanya terdapat pada usus besar sapi, domba, kambing, mempunyai ukuran cacing jantan 6-20 mm, sedangkan pada betina 13-23 mm.

4.5.2. Ektoparasit 4.5.2.1. Tabanus sp

Sumber: Data Primer Pratikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Sumber: http//www.rentokil.co.id, 2011.

Berdasarkan hasil pengamatan Tabanus sp atau lalat kerbau yang diamati berwarna hitam kecoklatan atau gelap dan tubuhnya kekar serta ujung belakangnya meruncing. Hal ini sesuai dengan pendapat Kadarsan et al. (1983) bahwa lalat ini mempunyai warna gelap hitam kecoklatan dan bertubuh kekar dengan ujung belakang meruncing dan selain itu permukaan toraksnya bergaris, sayapnya tidak jernih dan matanya besar, lalat kerbau menyerang mangsanya dengan menghisap darah sehingga mangsa kehilangan darah cukup banyak, di samping itu mangsa juga mengalami infeksi sekunder yang disebabkan oleh luka yang ditimbulkan lalat kerbau pada saat menghisap darah mangsa. Levine (1994) menambahkan Lalat kerbau sebagai media penebaran flagellata Trypanosoma evansi yang menyebabkan penyakit surra, pencegahan dapat dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida, sanitasi yang baik, dan menangkap lalat dewasa yang menghinggapi tubuh ternak. 4.5.2.2. Musca domestica

Sumber: Data Primer Pratikum Sumber: http//www.rentokil.co.id, 2011. Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa Musca domestica (lalat rumah) berukuran kecil yaitu hanya sebesar biji kacang tanah, berwarna kecoklatan. Kepala besar berwarna coklat gelap, matanya besar menonjol, sepasang sungut terletak di depan mata dan tiap sungut terdiri atas ruas dasar ganda dengan sehelai rambut yang bercabang-cabang tumbuh di atasnya. Lidah penghisapnya melebar di bagian ujung dan berbentuk seperti parut. Hal ini sesuai dengan pendapat Kadarsan et al. (1983) bahwa lalat rumah berwarna cokelat. Lalat rumah tidak memiliki rambut hipopleura dan mempunya alat mulut untuk menjilat dan tidak dapat untuk menggigit. 4.5.2.3. Hippobosca sp

Sumber: Data Primer Pratikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Sumber: http//www.rentokil.co.id, 2011.

Berdasarkan hasil pengamatan hewan ini berwarna hitam mempunyai bulu yang pendek serta menutupi permukaan badan. Hal ini sesuai dengan pendapat Levine dan Norman (1994) yang menyatakan bahwa lalat ini disebut juga lalat kuda karena banyak dijumpai pada kuda, lalat ini menyerang mangsanya dengan menggigit, dan bekas gigitannya menyebabkan iritasi pada kulit, tubuh lalat ini menyempit di bagian tengah dan bagian perut membulat atau berbentuk persegi dan mempunyai bulu-bulu pendek menutupi seluruh permukaan badan, sedangkan bulu-bulu panjang terdapat pada bagian toraks, abdomen, dan kaki, matanya kelihatan menonjol dan mulutnya berfungsi sebagai penyayat kulit dan penghisap darah. Ukurannya sedikit lebih besar dar lalat rumah.

4.5.2.4. Stomoxys calcitrans

Sumber: Data Primer Pratikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Sumber: http//www.rentokil.co.id, 2011.

Berdasarkan hasil pengamatan lalat ini mempunyai 2 pasang kaki, tidak ada rambut, memiliki kepala dengan ukuran kecil, mirip dengan lalat rumah. Hal ini sesuai dengan pendapat Levine and Norman (1994) yang menyatakan bahwa lalat kandang mirip benar dengan lalat rumah, tetapi mempunyai alat mulut untuk menghisap dan minum darah, lalat kandang berkembang biak pada sayuran yang membusuk, terutama bila bahan tersebut tercampur tinja, lalat tersebut mengganggu sapi dan juga menularkan penyakit sura yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi, antraks, anemia pada kuda dan cacing lambung kuda Habronema majus. 4.5.2.5. Heterodoxus

Sumber: Data Primer Pratikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Sumber: http//www.rentokil.co.id, 2011.

Heterodoxus merupakan serangga yang biasanya terdapat pada bulu maupun tubuh unggas. Hal ini sesuai dengan pendapat Levine dan Norman (1994) bahwa Heterodoxus termasuk dalam subordo Anblycere. Heterodoxus merupakan

serangga parasit pada burung atau mamalia. Bagian-bagian dari kelas ini menjadi kutu-kutu bulu, batang bulu dan tubuh unggas. 4.4.3 Pemeriksaan Telur Cacing

Hasil pemeriksaan feses menunjukan bahwa dengan menggunakan metode natif feses sapi perah indukan dan anakan diperoleh hasil bahwa pada feses sapi perah indukan tidak terdapat telur cacing sedangkan pada feses anakan sapi perah terdapat satu telur cacing Mecistocirrus digilafus dan metode centrifuse tidak terdapat telur cacing baik anakan maupun indukan. Hasil pemeriksaan feses menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode natif ditemukan telur cacing pada anakan sapi perah adalah Mecistocirrus digilafus telur cacing tersebut dihasilkan oleh cacing trematoda dengan ciri-ciri memiliki dua alat penghisap dan cacing ini mampu hidup di dalam rumen sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Levine (1994) yang menyatakan bahwa trematoda atau cacing daun merupakan subfilum dari filum Platyhelminthes. Trematoda tidak mempunyai rongga badan dan semua organ berada di dalam jaringan parenkim. Cacing ini memiliki dua alat penghisap, satu mengelilingi mulut dan yang lain berada di dekat pertengahan tubuh atau pada ujung posterior, cacing ini hidup di dalam rumen sapi dan ruminansia lain. Bentuk muda cacing ini di dalam usus kecil menyebabkan peradangan edema, peradangan dan kerusakan vili-vili usus. Ditambahkan oleh Pustekkom (2005), bahwa Schistosoma bovis merupakan penyebab penyakit Schistomiasis pada manusia, babi, biri-biri, kucing dan binatang pengerat lainnya. Penyakit ini menyebabkan kerusakan dan kelainan fungsi pada hati, jantung, limpa, kantong urine dan ginjal. Cacing dewasa dapat hidup dalam pembuluh balik (vena) perut. Tubuh cacing jantan lebih lebar dan dapat menggulung sehingga menutupi tubuh betina yang lebih ramping. Cacing jantan panjangnya 922 mm, sedangkan panjang cacing betina adalah 14-26 cm.

Berdasrkan hasil praktikum telur cacing yang terdapat pada anakan sapi perah bukan berasal dari induk, kemungkinan berasal dari penyabab lingkungan sekitar. Hal ini sesuai dengan pendapat Levine (1994) bahwa cacing ini terdapat diseluruh dunia pada mukosa usus halus domba, kambing sapi dan berbagai ruminansia lainnya. Cacing ini lebih banyak terdapat pada hewan muda daripada dewasa.

4.5. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ayam 4.5.1. Kondisi performans

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Berdasarkan prkatikum dengan materi pemeriksaan kesehatan unggas diperoleh hasil bahwa ayam leyer yang akan digunakan sebagai bahan nekropsi memiliki performans yang baik atau dalam keadaan sehat hal ini terlihat dari posisi berdiri yang tegap, pergerakan lincah, dan tidak ada ciri-ciri gangguan fisik. Hal ini sesuai denagn pendapat Anonim (2011) yang menyatakan bahwa ciri ciri ayam yang sehat ditandai dengan pergerakan yang aktif dan tidak menujukan gejala penyakit fisik. Ditambahkan oleh Bambang (2001) bahwa ayam petelur lebih kuat bertahan dengan serangan penyakit dibanding dengan ayam pedaging.

4.5.1. pengambilan darah Berdasarkan hasil praktikum pengambilan darah pada ayam ditemukan adanya serum yang berfunsi sebagai salah satu bahan antibody. Hal ini sesuai dengan pendapat (anonim, 2011) bahwa Serum terdiri dari semua protein (yang tidak digunakan untuk pembekuan darah) termasuk cairan elektrolit, antibodi, antigen, hormon, dan semua substansi exogenous. Rumusan umum yaitu: serum = plasma - fibrinogen - protein faktor koagulasi. Studi yang mempelajari serum disebut serologi. Serum digunakan dalam berbagai uji diagnostik termasuk untuk menentukan golongan darah. Ditambahkan oleh wardana (2008) Fungsi utama serum adalah mengobati suatu penyakit yang diakibatkan oleh kuman. 4.5.3. nekropsis

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa pada saat ayam dibedah tidak ditemukan gejala penyakit yang cukup serius hal ini dikarenakan organ dalam ayam cukup bersih dan tidak terlihat gejala gangguan kesehatan. Ghal ini sesuai dengan pendapat Bamabang (2001) yang menyatakan bahwa ayam yang sehat apabila dilihat dari dalam memiliki kondisi yang sehat dan terlihat bersih dari gumpalan darah dan berwarna cerah. 4.5.3.1. kulit pada ayam. Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan keadaan subkutan ayam diperoleh hasil bahwa kondisi subkutan tidak terdapat

gejala penyakit yang menyerang bagian bawah kulit, hal ini dimunginkan keadaan peternakan yang ritin memberikan vaksin sehingga ayam tetap dalam kondisi baik. Hal ini sesuai dengan (Supriyatna, 2005) yang menyatakan program vaksinasi adalah salah satu cara untuk mencegah ayam dari serangan penyakit dengan melakukan vaksinasi secara teratur. 4.5.3.2. organ pernafasan ayam. Berdasarkan praktikum pemeriksaan organ pernafasan diperoleh hasil bahwa kondisi saluran pernafasan ayam cukup baik hanya ditemukan kondisi kantong udara yang sedikit keruh, hal ini dikarenakan umur ayam yang sudah tua sehingga mempengaruhi keaadaan organ dalam. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (1998) bahwa kantong udara terdiri atas
suatu rongga dengan dinding jaringan yang tipis dan halus sehingga sulit dikendali dalam posisi mengempis dan akan berpengaruh seiring dengan usia ternak.

4.5.3.2. organ pencernaan ayam. Praktikum mengenai pemeriksaan kondisi organ pencernaan ayam dihasilkan dalam kondisi yang cukup baik hanya ada sedikit keadaan yang kurang baik karena warna usus sudah sedikit kemerahmerahan hal ini dikarenakan adanya penyakit gumboro yag akan mengakibatkan penyerapan sari makanan kurang maksimal. Hal ini sesuai pendapat Tabbu (2000) yang menyatakan penyakit gumboro merupakan masalah utama bagi peternak ayam pedaging maupun petelur, pada ayam petelur penyakit gumboro memiliki morbilitas 60% oleh sebab itu aspek manajemen seperti kualitas pakan, sanitasi, umur ayam. Penyakit gumboro mempunyai ciri-ciri ayam lesu, mengantuk, mengorok, adanya kotoran menempel di sekitar dubur.Hal ini sesuai pendapatSuprijatna et al. (2005) terjadi karena pada organ pencernaan usus tidak bisa berfungsi dengan sempurna dalam penyerapan sari-sari makanan.Pada organ pernapasan terdapat kelainan pada paru-paru, ada bintik-bintik atau flek hitam dan pada uji apung paru-paru masih mengapung dalam air, hal ini menunjukkan infeksi atau kelainan dalam paru-paru sebagai organ pernapasan belum terlalu parah.

BAB V KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan Hasil praktikum menunjukkan bahwa ektoparasit ternak meliputi : Tabanus sp., Stomoxys calcitrans, Musca domestica dan Hippobosca sp. Sedangkan endoparasit dalam tubuh ternak yaitu Ascaridia galli, Fasciola sp., Oesphagostonum sp., Monesia sp.,dan larva Gastropilus. Pemeriksaan telur cacing pada feses sapi perah indukan dan anakan secara metode native didapati bahwa pada feses sapi perah indukan tidak terdapat telur cacing sedangkan pada feses anakan sapi perah terdapat satu telur cacing Strongyloides papilosus dan metode centrifuse tidak terdapat telur cacing baik anakan maupun indukan. 5.2. Saran Pemeriksaan parasit yang akurat dan pendeteksian lebih dini berguna untuk mengetahui parasit yang terdapat pada tubuh ternak sehingga lebih cepat untuk ditanggulangi.

DAFTAR PUSTAKA Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta. Anonim, 2011.http://id.wikipedia.org/wiki/Serum_darah Anonym, 2011. http://biohealth.wordpress.com/2008/09/01/apa-beda-vaksin-danserum/ Blakely, J dan H.D. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan Soedarsono). Cahyono, Bambang, Ir.2001. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging (Broiler). Penerbit Pustaka Nusatama Yogyakarta. Elmer, N. R. dan Glenn, N. A. 1989. Histologi Biologi Parasit Hewan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh drh. Wardiarto). Kadarsan, S., Achmad, S., Ending, P., Hasan, B. m., Iyok, B., Hartini, S. 1983. Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional, Bogor. (Tidak dipublikasikan). Levine. D. Norman. 1994. Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Norman. D. Levine. 1994. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Diterjemahkan oleh Soeprapti Soekardono (Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor). Pustekkom. 2005. Kegiatan Belajar 3 Platyhelmintes (Cacing Pipih). http//www.edukasi.net. Diakses tanggal 25 nov'11 jam 18.06.
Suprijatna, Edjeng. 2005. Ayam Buras Krosing Petelur. Penebar Swadaya. Jakarta

Tjahjati, I. dan Soebronto. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Zalizar L, Satrija F, Tiuria R, Astuti DA. 2006. Dampak Infeksi Ascaridia galli terhadap Gambaran Histopatologi dan Luas Permukaan Vili Usus serta Penurunan Bobot Hidup Starter. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (terakreditasi) 11(3): 215-222.

You might also like