You are on page 1of 18

Birokrasi

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentukpiramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupunmiliter. Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan danprosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasianwewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.

Berbagai definisi birokrat


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai : 1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh makan pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan 2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai 1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan 2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai. Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected).

Ciri-ciri Birokrasi
Ciri-ciri birokrasi menurut Max Weber adalah:

Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkis. (Administratice offices are organized hierarchically)

Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each office has its own area of competence) Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan ijazah atau ujian. (Civil

cervants are appointed, not electe, on the basis of technical qualifications as determined by diplomas or examination)

Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau kedudukannya. (Civil servants receive fixed salaries according

to rank)

Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya, pekerjaannya sebagai pegawai negeri. (The job is a career and the sole, or at least primary, employment of the civil servant)

Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri. (The official does not own his or her office) Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan. (the official is subject to control and discipline)

Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi rata-rata. (Promotion is based on superiors judgement)

Birokrasi
Birokrasi adalah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para pejabatnya secara bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya. Ditinjau dari sudut etimologi, maka perkataan birokrasi berasal dari kata bureau dan kratia (Yunani), bureau artinya meja atau kantor dan kratia artinya pemerintahan. Jadi birokrasi berarti pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja. Max Weber memandang Birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas pekerjaannya serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi. Secara teoritis birokrasi adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-keputusan politik, namun dalam prakteknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Birokrasi juga merupakan alat politik untuk mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik, sifat kekuasaan aparat birokrasi sebenarnya bukan tanpa kendali tetapi tetap dibatasi oleh perangkat kendali dari luar dan dari dalam. Birokrasi juga dapat dibedakan dengan dua tipe, yaitu tipe birokrasi klasik dan birokrasi perilaku. Dalam pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat pemerintah atau para birokrat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam sistem birokrasi negara dan harus mampu mengendalikan orang-orang yang dipimpinnya. Birokrasi dalam hal ini mempunyai tiga arti, yaitu : 1. Sebagai tipe organisasi yang khas; 2. Sebagai suatu sistem; 3. Sebagai suatu tatanan jiwa tertentu dan alat kerja pada organ negara untuk mencapai tujuannya. Fritz Morstein Marx mengatakan (terjemahan) : bahwa tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah yang modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialis, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.

Birokrasi juga dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang dilakukan banyak orang, birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi untuk mencapai tugas-tugas administrasi besar dengan cara mengkoordinasi secara sistematis atau teratur pekerjaan dari banyak orang. Birokrasi sebagai suatu sistem kerja dimaksudkan sebagai sistem kerja yang berdasarkan atas tata hubungan kerja sama antara jabatan-jabatan secara langsung mengenai persoalan yang formil menurut prosedur yang berlaku dan tidak adanya rasa sentimen tanpa emosi atau pilih kasih, tanpa pamrih dan prasangka. Apa yang ingin ditonjolkan disini adalah suatu tata hubungan antara jabatan-jabatan, pejabatpejabat, unit instansi dan departemen pemerintahan. Dalam tata hubungan ini, bagaimana suatu penyampaian gagasan, rencana, perintah, nilai-nilai, perasaan dan tujuan dapat diterima dengan baik oleh pihak lain sebagai penerima dengan cara penyampaiannya harus mudah dan tepat serta

berdasarkan hukum. Birokrat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus dilandasi persepsi dan kesadaran hukum yang tinggi, adapun ciri-ciri birokrasi, yaitu :
1. 2. 3. 4. 5. 6. Adanya pelaksanaan prinsip-prinsip organisasi dengan sepenuhnya; Adanya peraturan yang benar-benar ditaati; Para pejabat bekerja dengan penuh perhatian menurut kemampuan masing-masing (sense of

belonging);
Para pejabat terikat oleh disiplin; Para pejabat diangkat berdasarkan syarat-syarat teknis berdasarkan peraturan (meryt system); Adanya pemisahan yang tegas antara urusan dinas dan urusan pribadi.

Dalam melaksanakan birokrasi negara, setiap pejabat dalam melaksanakan tugasnya dilengkapi dengan dua asas, yaitu: 1. Asas Legalitas Asas ini berarti tidak ada satu pun perbuatan atau keputusan dari pejabat atau para birokrat yang bersangkutan, boleh dilakukan tanpa dasar suatu ketentuan undang-undang, untuk itu para pejabat atau para birokrat harus memperhatikan delapan unsur legalitas, yaitu peraturan tertulis, penyebaran atau penggunaan peraturan, tidak berlaku surut, peraturan bisa dimengerti, tidak bertentangan satu sama lain, tidak menuntut diluar kemampuan orang, tidak sering berubah-ubah dan sesuai antara peraturan dan pelaksanaannya. 2. Asas Freies Ermessen atau Diskresi Artinya pejabat atau para birokrat tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturan, oleh karena itu diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas legalitas. Dalam setiap hal yang dikerjakan oleh aparatur administrasi negara, dapat dilihat apa yang menjadi hak, kewajiban, tanggung jawab serta peranan aparatur administrasi negara. Adapun hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang aparatur administrasi negara (birokrat) adalah :
1. 2. 3. 4. 5. Wajib atau taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku; Wajib membuat suatu kebijaksanaan terhadap suatu hal walaupun tidak ada peraturan yang mengaturnya, hal ini sesuai dengan freies ermessen; Harus sesuai dengan susunan pembagian tugas; Wajib melaksanakan prinsip-prinsip organisasi; Wajib melaksanakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).

Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Masyarakat selama ini masih berpandangan bahwa birokrasi (administrasi negara) sama dengan pemerintah, padahal keduanya berbeda dan tidak dapat disamakan. Birokrasi merupakan alat negara yang perlu memiliki aturan main sendiri dan didukung oleh perundang-undangan tersendiri, oleh karena itu korelasi antara birokrasi dan eksekutif harus diatur sedemikian rupa sehingga birokrasi menjadi sungguh-sungguh bekerja sebagai abdi negara dan bukan sebagai abdi kekuasaan.

Administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat negara yang menjalankan tugas-tugas negara, diantaranya menjalankan tugas pemerintahan. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama dengan negara dan karenanya aparat negara bukanlah selalu aparat pemerintah. Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan berbagai kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Birokrasi pada pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik sering atau selalu dikeluhkan karena ketidak efisien dan efektif. Untuk mendorong terbentuknya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa maka segenap aparatur pemerintah (birokrat) wajib melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kekuatan birokrasi Indonesia sebenarnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat.

A. Abstrak Birokrasi merupakan keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembaga-lembaga non departemen, baik di pusat maupun di daerah. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, dihadapkan pada suatu kebutuhan untuk menciptakan dan menerapkan sistem politik yang modern yang didukung oleh birokrasi pemerintah sebagai kekuatan utamanya. Namun realitas politik menunjukkan, perhatian harus dipusatkan pada masalah yang lebih penting yakni bagaimana meletakkan dasar yang kokoh dan kuat sebagai negara kebangsaan di tengah-tengah ke-Bhinekaan loyalitas primordial sempit yang pada saat tertentu dapat memicu konflik. Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan bahwa masyarakat diberi kuasa, dalam upaya untuk mernyebarkan kekuasaan, melalui pemberdayaan masyarakat, organisasi agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya untuk semua aspek kehidupan politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan dan sebagainya. B. Pendahuluan Negara merupakan wadah utama birokrasi yang di dalamnya diselenggarakan proses untuk mencapai tujuan suatu masyarakat bangsa. Adapun penyelenggaraan proses pencapaian tujuan tersebut adalah pemerintah dengan komponen dan kelengkapannya yang populer disebut dengan birokrasi. Oleh karenanya banyak yang mengidentikan dalam artian luas, negara adalah pemerintah dan pemerintah adalah birokrasi walau dalam kajian-kajian spesifik bisa ditarik garis-garis perbedaan. Sebagai kajian keilmuan negara, pemerintah walaupun birokrasi telah intensif dibicarakan sejak sekitar 400 SM. Kala itu di Yunani Purba terdapat negara yang makmur, sejahtera yang disebut polis atau the greet state. Pada polis, negara kota, demokrasi diselenggarakan secara langsung. Rakyat ikut serta dalam mengawasi jalannya pemerintahan yang disebut ecclesia. Demokrasi saat itu dapat dilaksanakan secara langsung. Menurut Suhendra (2006:24) disebabkan oleh beberapa alasan yaitu: (1) wilayah negara masih sangat kecil, layaknya suatu kota pada saat kini; (2) jumlah penduduknya masih terbatas sekitar 200.000300.000 orang dan; (3) masalah-masalah yang dihadapi negara belum terlalu kompleks. Oleh karenanya dapat dipahami jika dewasa ini penyelenggaraan negara tidak mungkin melalui demokrasi langsung. Demokrasi dilaksanakan melalui perwakilan yang kemudian menimbulkan kajian pelik yang perlu dibahas lebih seksama. Dewasa ini memang beberapa jabatan seperti Presiden dan Wakil Presiden (UU Nomor 23 Tahun 2003), jabatan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Nomor 23 Tahun 2004 dan PP Nomor 6 Tahun 2005) dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi setelah para pejabat yang dipilih dan bekerja melaksanakan tugas-tugasnya para pejabat bertindak untuk dan atas nama rakyat (mewakili). Kemudian para pejabat ini menyampaikan laporan pertanggung jawab kepada wakil rakyat (DPR-DPRD). Oleh karenanya secara formal demokrasi langsung hanya pada saat pemilihan. Demokrasi secara formal juga secara materil kadang-kadang perlu pengujian, terbukti di beberapa daerah pemilihan kepala daerah terjadi keributan seperti issu money politics, issu mark-up suara dan lain sebagainya. Pada masa Yunani Purba pun yang disebut rakyat citizen sebenarnya terbatas pada penduduk yang berdomisili di sekitar pusat pemerintahan seperti dikatakan RM Mac Iver (Basah 1967:85) But The citizen were a smallish fraction of the population of attica, the territory of the Athenian state. Yunani purba semakin kaya dan makmur setelah dapat mengalahkan Persia, kemakmuran yang melimpah ini telah merubah pada kehidupan para penguasanya. Dari penguasa yang arif dan bijaksana, menjadi penguasa yang tamak, boros, korupsi dan melupakan kepentingan rakyat banyak. Menurut Plato (Suhendra, 2000:26) mengajarkan tiga bentuk negara yaitu: Monarki, Aristokrasi dan

Demokrasi. Monarki, berasal dari mono artinya pemerintah, jadi berarti pemerintahan yang diperintah satu orang raja yang memerintah suatu kerajaan. Penguasa tunggal ini sangat mementingkan kepentingan rakyat. Raja yang memerintah ini, mempunyai kekuasaan yang amat besar sebagai penguasa tunggal, akan tetapi dengan kearifan penguasa ini sangat memperhatikan kepentingan dan aspirasi rakyatnya. Aristokrasi, berasal dari kata aristol, artinya cerdik pandai secara bersama-sama yang berasal dari keluarga bangsawan menjalankan pemerintahan secara arif dan bijaksana. Penguasa kolektif ini, secara bersama-sama melanjutkan kearifan penguasa tunggal Monarchi. Negara Cita kedua ini menambah kemakmuran menjadi lebih baik, karena kolegialitas orang-orang bijaksana ini tentu hasilnya lebih baik dibandingkan hasil karya pemikiran satu orang. Demokrasi, berasal dari kata majemuk demos (rakyat) dan cratia (pemerintah). Suatu pemerintahan yang dipimpin dan dikendalikan oleh rakyat. Bentuk negara cita ketiga inilah yang populer hingga di abad modern ini. Pemerintah rakyat ini tentunya tidaklah diartikan secara harfiah dapat dibayangkan rakyat banyak pemerintah, lantas siapa yang diperintah?. Demokrasi dimaksudkan sang penguasa memperhatikan aspirasi rakyat, mengakomodasi, menyeleksi, dalam hal-hal tertentu membuat resultante dari aspirasi yang demikian banyak dan berbeda sepanjang secara obyektif itulah terbaik bagi bangsa. Bukan terbaik bagi buat orang perorang, kelompok, maupun satu partai tertentu. Di dalam praktek demokrasi ini adalah kriteria good governance. Pengertian birokrasi dapat dilihat dari 3 (tiga) kategorisasi, yakni pertama birokrasi dalam pengertian yang baik atau rasional (bureau-rationality); kedua birokrasi dalam pengertian suatu penyakit (bureaupathology); dan ketiga birokrasi dalam pengertian netral (value-free). Dalam pengertian netral ini birokrasi diartikan sebagai keseluruhan pejabat negara di bawah pejabat politik, atau keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif, atau birokrasi bisa juga diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar (every big organization is bureaucracy). Secara umum birokrasi dapat diartikan sebagai keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di bawah departemen dan lembagalembaga non-departemen, baik di pusat maupun di daerah. Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu organisasi menurut Rahman (2002:136) dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) katagori, yakni: 1. Birokrasi Pemerintah Umum, yaitu serangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan dari pusat sampai daerah yang bersifat mengatur (regulative-function). 2. Birokrasi Pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan dan lain-lain yang fungsi pokoknya adalah development-function atau adaptive-function. 3. Birokrasi Pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang pada hakekatnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah service (pelayanan) langsung kepada masyarakat. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa birokrasi itu pada hakekatnya bersifat mengatur, menjalankan roda pembangunan secara fisik maupun psikis juga harus dapat melayani berbagai kebutuhan masyarakat secara langsung kepada seluruh masyarakat, tanpa membedakan status sosial masyarakat. Serangkaian usaha untuk menyehatkan birokrasi pemerintah sebagai instrumen penting yang oleh Max Weber disebut legal-rasional akankah mampu menopang dan memperlancar usaha pembangunan

ekonomi yang efisien dan produktif. Pengertian legal-rasional ditandai oleh: (a) tingkat spesialisasi yang tinggi; (b) struktur kewenangan hirarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas; (c) hubungan antara anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi; (d) rekruitmen yang didasarkan atas kemampuan teknis; (e) diferensiasi antara pendapatan resmi dan pribadi. Hal tersebut berarti kualitas yang ingin dicapai melalui pengaturan struktural seperti hirarki kewenangan, pembagian kerja, profesionalisme, tata kerja, dan sistem pengupahan yang kesemuanya berlandaskan peraturan yang berlaku. Juga pengertian yang dilontarkan oleh Weber, sering dianggap terlampau ideal, karena sering muncul pertanyaan apakah mungkin sosok birokrasi yang demiakian dapat sepenuhnya terwujud, karena ditentukan oleh banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya peraturan perundangundangan, institusi dan pemberdayaan juga mentalitas masyarakat. C. Pembahasan 1. Peran Birokrasi Birokrasi menurut Blow dan Meyer (1987:5) adalah organisasi besar merupakan lembaga yang sangat berkuasa yang mempunyai kemampuan sangat besar untuk berbuat kebaikan atau keburukan. Pengertian birokrasi tersebut di atas sesuai dengan kenyataan birokrasi dewasa ini dengan tiga kata kunci yaitu organisasi besar yang sangat berkuasa, untuk berbuat kebaikan atau untuk berbuat keburukan. Pertama, organisasi besar dan sangat berkuasa. Hal ini dengan mudah dapat dipahami. Dimanapun birokrasi dapat memaksakan berjalannya regulasi seperti penagihan pajak, dan apabila wajib pajak tidak membayar pada waktunya maka birokrasi dapat mengenakan penalty (denda). Apabila batas toleransi pembayaran pajak telah habis, birokrasi dapat melakukan sita atas asset wajib pajak dengan paksa melalui peradilan. Pemerintah kota dapat memaksa merobohkan dan menggusur rumah rakyat yang dinyatakan tidak sesuai dengan peruntukannya dan seterusnya. Birokrasi memiliki personalia hingga jutaan orang, suatu jumlah yang sangat besar bagi organisasi yang besar pula. Organisasi besar dalam artian birokrasi pemerintah yang memiliki jutaan pagawai, kadang merupakan pemborosan keuangan negara yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain: pengkajian informasi yang tidak obyektif, nepotisme, penyelewengan dan sebagainya. Pertengahan Tahun 2006 Menteri PAN (pendayagunaan Aparatur Negara) ternyata menemukan angka fiktif PNS (Pegawai Negeri Sipil) ratusan juta orang. Angka fiktif berasal dari PNS yang sudah meninggal atau pensiunan masih terdaftar sebagai PNS dan mendapat gaji, ada PNS yang memiliki status PNS di dua instansi dan di dua tempat tersebut mendapat gaji. Pemerintah Indonesia mencoba melakukan berbagai upaya efisiensi PNS antara lain tidak menambah PNS yang dikenal dengan zero growth PNS, menyerahkan pekerjaan kasar kepada pihak ketiga seperti petugas sekuriti petugas kebersihan maupun pemeliharaan rutin. Pemerintah juga melakukan upaya-upaya down sizing jabatan melalui PP Nomor 8 Tahun 2003 yang membatasi dinas atau jabatan eselon II pada Pemerintah Daerah maksimal 14. Akan tetapi upaya-upaya tersebut ternyata belum mampu meningkatkan efisiensi birokrasi secara signifikan. Kedua, untuk berbuat kebaikan. Tidak sedikit negara menganut welfare state yang mengalokasikan anggaran negara untuk social assurance atau jaminan social, guna memberikan jaminan hidup bagi para penganggur maupun penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya. Tidak sedikit negara yang birokrasinya sangat akomodatif terhadap aspirasi rakyat menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan serta membuat rakyat ayem tentrem totorahjo (aman damai, makmur dan sejahtera). Banyak negara yang berbentuk kerajaan, kepala negaranya Ratu atau Raja sebagai simbol; sedang kepala pemerintahannya dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Wibawa Ratu dan Raja demikian tinggi dan

mampu mempengaruhi program-program kesejahteraan rakyatnya. Oleh karenanya tidaklah berlebihan apabila Ratu dan Raja ini sangat dicintai rakyatnya. Ketiga, berbuat keburukan. Ada pula pemerintah negara yang menjadikan rakyat bangsanya hanya menjadi alat tujuan sekelompok elit. Ada kelompok penguasa yang kalah dalam pemilihan umum, dengan kekuatan yang dimiliki malah menguasai pemerintah negara, justru yang menang dalam pemilihan umum meringkuk dalam penjara. Ada pemerintah negara yang menangkap tanpa proses hukum bagi rakyatnya yang berani berbicara dan berbuat beda dengan rulling clas yang sangat berkuasa. Ada pemerintah negara yang kaya, tetapi rakyatnya miskin sementara penguasanya hidup mewah dan lain sebagainya. Menurut Moerdiono et. Al (1992:38): birokrasi pemerintahan adalah seluruh jajaran badan-badan eksekutif sipil yang dipimpin oleh pejabat pemerintah di bawah tingkat menteri. Tugas pokok birokrasi adalah secara profesional menindak lanjuti keputusan politik yang telah diambil pemerintah. Kabinet yang terdiri dari para menteri sebagai pemimpin negara. Lain halnya dengan Albrow (1989:XVI) bahwa: suatu ketika birokrasi tampak menunjuk pengertian efisiensi administrasi, pada saat yang lain berarti sebaliknya. Istilah ini mungkin nampak sangat bersahaja sebagai sinonim bagi pegawai negeri, atau mungkin merupakan sesuatu yang sama kompleksnya dengan gagasan yang meringkaskan ciri-ciri khsusus struktur organisasi modern. Dewasa ini hampir disemua negara menempatkan Hak Asasi Manusia, semakin berkembang berbarengan bertambah banyaknya negara yang memproklamasikan diri sebagai negara hukum, oleh karenanya kinerja kebaikan dari birokrasi semakin menguat sementara kekuatan buruk menjadi tereleminasi. Hukum tidak lagi dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan penguasa malah sebaliknya dijadikan alat pembangunan masyarakat yang dipelopori mazhab Rescue Pound Law is a tool of social engenering. Bahwa hukum adalah sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini dimaksudkan dengan perubahan paradigma yang begitu cepat dan kompleks, maka agar tetap terjaminnya kepastian hukum, pihak-pihak yang berwenang haruslah sudah memprediksi sebelumnya dan mengakomodasikan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini agar tetap terjaminnya ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat. Diperlukan upaya-upaya agar suatu perubahan tidak membawa kekacauan dan peluang yang digunakan oleh yang kuat untuk mendapatkan keuntungan secara tidak wajar, memangsa yang lemah. Sejak awal konsep birokrasi modern yang disampaikan Max Weber (Suhendra, 2006:34-35) yang dikenal sebagai Bapak Birokrasi Weber optimis bahwa birokrasi mengandung hal-hal positif yang dikenal dengan birokrasi ideal antara lain: a. Distribusi kegiatan atau pembagian tugas melalui cara yang telah ditentukan, ahli khusus dengan jabatan khusus (spesialisasi). b. Prinsip birokrasi dalam pengorganisasian kantor setiap jenjang melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan dikontrol oleh atasannya. c. Peraturan perundang-undangan yang jelas konsisten dilaksanakan untuk memberikan kejelasan tanggung jawab dan prosedur kerja. d. Sine era et studio (formal dan tidak bersifat pribadi, like or dislike). e. Pembinaan karier yang didasarkan atas senioritas atau prestasi atau gabungan serta memunculkan semangat corp (spirit de corp). f. Pengalaman mendapat penghargaan disamping prestasi dan jasa. Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa birokrasi dibangun atas otoritas rasional dan syah. Walau banyak kritik yang disampaikan berbagai pihak terhadap birokrasi ideal Weber akan tetapi banyak pihak yang mengakui bahwa enam prinsip birokrasi Weber masih dapat dijadikan patokan penting. Birokrasi

keberadaannya masih sangat dibutuhkan dan setiap kajian birokrasi kini masih relevan dan menarik banyak peminat. Kalaupun ada ide-ide peran pelayanan dan sebagian fungsi pemerintahan (governanceI) tidak mungkin dialihkan. Birokrasi yang kuat dan netral dapat menjamin Pemerintah yang stabil seperti dikatakan oleh Atmosoedirdjo (1973:12) bahwa: peranan birokrasi yang begitu menentukan antara lain dapat dilihat di Eropa Barat yang birokrasinya sudah berkembang sejak pertengahan abad ke-17 relatif tenang dan stabil terhadap gejolak internal maupun eksternal yang melandanya seperti perubahan politik cabinet, perubahan undang-undang dan sebagainya hal ini dikarenakan kemampuan mesin birokrasi yang dapat menanggung dan menetralisirnya. Berdasarkan pendapat di atas bahwa birokrasi merupakan kekuatan besar yang mampu melaksanakan perubahan sosial revolusioner akan tetapi juga sekaligus merupakan kekuatan besar untuk mempertahankan struktur kelembagaan yang sudah ada melalui berbagai kenyataan seperti penegakan hukum. Pada era modern yang semakin kompleks tidak dapat dipungkiri arti penting dan peranan birokrasi yang menurut Henry (1988:5) yaitu: Pluralisme politik; hipotesis pemindahan atau konsentrasi dan; tekhnobirokrasi. Pertama, pluralisme politik. Bahwa masyarakat semakin modern, semakin kompleks dan semakin heterogen. Pada masa transisi dari tradisional ke masyarakat modern akan terjadi model prismatic sebagai berikut:

Memusat Prismatik Memencar Gambar 1: Prismatic Society (Diperbaharui dari Riggs, 1988:24) Heterogenitas masyarakat menjadikan terjadinya persaingan-persaingan yang kadangkala terjadinya kepentingan yang saling bertentangan dalam upaya penggunaan asset dan lain sebagainya. Kepentingan penguasa industri, lapangan golf, pengembangan perumahan memerlukan lahan (tanah) yang luas untuk sementara petani juga memerlukan lahan yang luas. Perbedaan kepentingan inilah pemerintah memerankan diri sebagai penyeimbang yang bijaksana dengan prinsip win-win solution atau non zero sum game (skenario menang-menang). Pemerintah melalui regulasi misalnya membuat RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) bahwa untuk kepentingan non pertanian diarahkan pada daerah tandus yang kemungkinan sukar dijangkau irigasi teknis. Jangan terjadi seperti asumsi bahwa program yang menyangkut masyarakat rendah seperti melawan kemiskinan, kesejahteraan penyandang cacat, lebih menguntungkan kelas menengah dibanding kelas bawah. Kelompok kelas menengah menerima banyak lapangan pekerjaan yang tercipta melalui berbagai program kesejahteraan kelas bawah. Kedua, hipotesis pemindahan atau konsentrasi. Kondisi darurat yang tidak diduga sebelumnya muncul seperti bencana alam, musim kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen, wabah penyakit dan lain sebagainya yang memerlukan anggaran belanja khusus. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang disebut hipotesis pemindahan. Sama halnya di Indonesia, melalui Inpres Nomor 5 Tahun 1993 yang dikenal dengan Inpres Desa Tertinggal (IDT) pemerintah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk

menolong masyarakat miskin di lokasi desa tertentu. Demikian pula halnya untuk rehabilitasi dan rekonstruksi daerah yang kekeringan akibat kemarau panjang dan gagal panen, wabah penyakit di suatu daerah dan lain sebagainya. Konsep ini adalah baik, walaupun pada prakteknya di sana-sini terdapat kelemahan dan kekurangan. Ketiga, teknobirokrasi. Dengan perubahan yang begitu cepat termasuk di bidang teknologi dan sosial, rakyat yang sebagian besar tidak mempunyai akses informasi secara memadai lebih-lebih masyarakat Kominitas Adat Terpencil, terisolasi memerlukan bantuan informasi. Apabila arus informasi tidak dapat dijangkau oleh kelompok ini, maka mereka akan tertinggal dan diam dalam keadaan kurang berdaya, tidak menikmati hasil pembangunan malah sebaliknya bisa menjadi korban dampak sampingan yang tidak diharapkan. Contoh sederhana misalnya di suatu kawasan, banyak orang kota membeli tanah warga masyarakat secara besar-besaran, dan masyarakat tertarik untuk menjualnya karena harga yang diberikan sedikit lebih tinggi dari biasanya. Selang waktu kemudian ternyata harga tanah tersebut menjadi berlipat ganda karena kawasan itu akan dijadikan lapangan terbang komersial. Orang kota yang cukup mendapat akses informasi menangkap peluang, sementara masyarakat setempat menghadapi korban penyesalan. Menghadapi seperti itu, birokrasi yang terdiri dari tenaga-tenaga professional dalam semua bidang dan sektoral mempunyai kewajiban menginformasikan dan menafsirkan perubahan yang sedang terjadi dan yang diperkirakan akan segera terjadi. Lebih jauh birokrasi diharapkan dapat memerankan sebagai change agent (pioner perubahan), agent of development (pioner pembangunan) dan agent of stability (pioner stabilitas). 2. Pemberdayaan Masyarakat Secara politis sejak digulirkannya reformasi tahun 1997, pemberdayaan masyarakat, kekuatan dan kekuasaan rakyat berkembang cukup pesat. Presiden Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun terpaksa dijatuhkan oleh MPR karena tekanan masyarakat. Bupati Kampar Propinsi Riau dijatuhkan oleh para guru yang didukung oleh pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada pertengahan tahun 2004. Banyak anggota DPRD di berbagai wilayah dipaksa menandatangani kontrak politik dengan masyarakat agar bersikap dan berbuat lebih memihak kepada kepentingan masyarakat, dipenghujung tahun 2004. Presiden dan wakil presiden telah dipilih langsung oleh rakyat di tahun 2004. Gubernur, Bupati dan Walikota, sesuai pengaturan pemerintah sejak Juni 2005 dipilih secara langsung pula oleh rakyat pemilih. Kalau secara politis, rakyat telah relatif berdaya, bagaimana dengan aspek pendidikan, kesehatan, perekonomian dan lain sebagainya. Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono dengan berbagai pernyataan telah menjanjikan, semoga tidak sekadar retorika belaka. Yang pasti pemberdayaan masyarakat adalah upaya sadar berkesinambungan, jangka panjang, dan melibatkan semua potensi bangsa, membutuhkan kesungguhan, pengorbanan, kearifan, kejujuran, juga keberanian yang penuh damai. Pemberdayaan masyarakat menurut Suhendra (2006:81) adalah: suatu konsep yang mulia karena sangat menghargai harkat dan martabat manusia. Suatu cita yang idealis, suatu das sollen. Pemberdayaan masyarakat analogis dengan konsep demokrasi dan kesejahteraan sosial serta kedaulatan rakyat. Dengan kondisi pemberdayaan masyarakat yang tercipta disuatu masyarakat bangsa, maka akan terbentuk suatu sinergitas berbagai komponen bangsa terdiri dari pemerintah, masyarakat serta penguasa. Akan terbentuk tatanan masyarakat yang harmonis, dinamis terhindar dari konflik sosial yang merugikan. Anggota masyarakat akan dapat mengoptimalkan kreativitas dan aspirasinya, saling bertoleransi, saling menyayangi, terbentuk suatu suasana yang tat-twan asi, homo sacra res homini (kamu adalah aku, manusia menyayangi sesama), walau dalam kemajemukan, semakin modern suatu masyarakat akan

menjadi semakin majemuk dari unsur ras, agama, suku, golongan, profesi, akan tetapi dalam tatanan masyarakat yang berdaya akan menjadi bhineka tunggal ika, unity in diversity. Masyarakat relatif akan menjadi lebih sejahatera, lebih puas karena aspirasinya terakomodasi dalam keputusan dan kebijakan penguasa maupun lembaga-lembaga yang mewakilinya. Kesenjangan sosial tidak terlampau dalam, oleh karenanya potensi kecemburuan sosial dapat diperkecil yang mempunyai ikatan konflik sosial dapat diperkecil. Masyarakat berkuasa dan berdaulat untuk merencanakan, mengelola asset lokal, mengawasi dan menikmati hasil jerih payahnya secara proporsional dalam tatanan yang penuh santun, modern dan beradab serta terhindar dari suasana chaos di bawah kepemimpinan dan perwakilan yang aspiratif dan akomodatif. Konsep pemberdayaan masyarakat telah menjadi kuasa kata berbagai tulisan, lokakarya, seminar dan sebagainya lebih dari tiga dasa warsa di Indonesia. Kita telah familier dengan istilah people empowerment, people centered development, demokrasi, kesejahteraan social, kedaulatan rakyat, masyarakat madani (civil society). Suatu cita ke realita ternyata khususnya di Indonesia merupakan proses yang memerlukan waktu cukup panjang dan memerlukan banyak pengorbanan Munir pejuang hak-hak asasi manusia Ketua yayasan Kontras, yang wafat di pesawat terbang secara misterius. Marsinah pejuang buruh wanita di Jawa Timur yang juga wafat mengerikan. Peristiwa Semanggi 1997 beberapa orang mahasiswa yang tewas terhembus timah panas. Mereka adalah korban-korban pejuang keadilan dan pemberdayaan yang hingga kini belum terungkap secara tuntas. Hingga kini pemberdayaan masyarakat masih jauh dari kenyataan dan masih memerlukan proses perjuangan, baru merupakan wacana dan retorika. Pemberdayaan masyarakat dalam prakteknya tidak sederhana seperti yang kita ucapkan berkaitan dengan aspek kemampuan rakyat, kesejahteraan, kultur, struktur maupun political will penguasa. Kemampuan rakyat, dalam berbagai pertemuan ilmiah kadang berbau politis dikatakan jangan diremehkan, karena sejak dahulu rakyat punya keahlian di berbagai bidang seperti pertanian, industri, kelautan dan sebagainya. Rakyat mempunyai potensi adalah benar dan tidak terbantahkan, akan tetapi di era globalisasi yang penuh kompetitif maka setiap ukuran harus dipersandingkan dengan pihak lain. Kemampuan, keahlian menjadi sesuatu yang nisbi dan relatif. Banyak kendala yang membelenggu percepatan proses pemberdayaan masyarakat Indonesia. Juga pemberdayaan masyarakat tidak serta merta terbentuk, masyarakat berangkat dari awal untuk dimotivasi mengartikulasikan peluang yang baru tersedia, akan memakan waktu berproses. Diperlukan banyak pemimpin lokal yang lebih memprioritaskan pemberdayaan masyarakat. Karena sebagian masyarakat sudah apatis dan selalu menyerah pada takdir.

D. Penutup Berdasarkan beberapa uraian dan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini: 1. Birokrasi Indonesia menggambarkan bahwa: (a) birokrasi cenderung mengatur segenap segi kehidupan masyarakat dan negara; (b) dalam usahanya melayani masyarakat menggunakan pola Top down approach yang diterapkan oleh birokrasi cenderung semakin meningkat dan meluas sampai tingkat desa; (c) dalam usaha mempercepat pembangunan, birokrasi melakukan pembangunan besar-besaran dan dimotivasi melalui pentargetan. 2. Pemberdayaan masyarakat dengan ciri-ciri demokratisasi, kesetaraan masyarakat dengan pemerintah, kebebasan berbicara, kebebasan berkreativitas, hak untuk merencanakan, hak untuk mengelola asset

lokal, hak untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan, hak untuk menikmati jerih payah sebagai buah pembangunan adalah sekaligus tujuan yang akan dituju oleh gerakan pemberdayaan masyarakat. 3. Unsur-unsur yang dapat mempercepat terjadinya pemberdayaan masyarakat di antaranya: (a) kemampuan politik mendukung; (b) suasana kondusif untuk mengembangkan potensi secara menyeluruh; (c) motivasi; (d) potensi masyarakat; (e) peluang yang tersedia; (f) kerelaan mengalihkan wewenang; (g) perlindungan dan; (h) awarness (kesadaran).

Reformasi Birokrasi Dalam Pelayanan Publik


Reformasi Birokrasi Dalam Pelayanan Publik
Dalam kehidupan sebuah negara yang merdeka sudah barang tentu adanya peran birokrasi dalam kehidupan bernegara. Birokrasi mempunyai peranan dan fungsi penting dalam menjalankan kehidupan di suatu negara. Akan tetapi, besarnya pengaruh politik dan kekuasaan mengakibatkan birokrasi di Indonesia tidak pernah tenang dan profesional dalam bekerja. Birokrasi dengan kultur yang dibangunnya, cenderung lebih sibuk melayani penguasa dari pada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan masyarakat. Oleh karena itu, wajah birokrasi pemerintah di Indonesia dari dulu hingga kini boleh dikatakan belum menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Birokrasi tetap diliputi berbagai praktik penyimpangan dan ketidakefisienan. Birokrasi kita sekarang ini dalam banyak hal masih menunjukkan watak buruknya seperti enggan terhadap perubahan (status quo), eksklusif, rigit dan terlalu dominan, sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhansentuhan birokrasi, yang secara umum kemudian dipersepsikan memiliki konsekuensi inefektifitas dan inefisiensi. Indikator lain yang merefleksikan potret buruk birokrasi adalah tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati atau service style yang tidak berperspektif pelanggan. Turut menyempurnakan buruknya kinerja birokrasi adalah rendahnya penguasaan kompetensi birokrat yang disinyalir disebabkan oleh renggangnya kualitas filter rekrutmen dan rendahnya kualitas pembinaan kepegawaian serta dominannya kepentingan politis dalam kinerja birokrasi. Dalam bidang pelayanan publik, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik, dengan harapan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan dapat terwujud. Namun upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan, dan lain-lain adalah sederetan atribut negatif yang ditimpakan kepada birokrasi. Indikasi tersebut merupakan cerminan bahwa kondisi birokrasi dewasa ini dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat masih belum sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.

Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan untuk sejauh mungkin menghindari birokrasi pemerintah. Fenomena high cost, kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, inefisiensi dan birokratis, merupakan kondisi pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat selama ini. Fenomena pelayanan publik tersebut disebabkan antara lain oleh masih banyaknya fungsi dan peran kelembagaan yang tumpang tindih, pemerintahan yang dirasakan masih sentralistik, kurangnya infrastruktur e-Government, masih menguatnya budaya dilayani bukan melayani, transparansi biaya dan prosedur pelayanan yang belum jelas; serta sistem insentif, penghargaan dan sanksi belum memadai. Banyak sudah contoh yang ditemukan di kehidupan masyarakat itu sendiri tentang fakta bahwa birokrasi masih belum bisa menjadi pelayan public yang ideal. Misalnya saja dalam hal pembuatan KTP (kartu tanda penduduk) yang di beberapa daerah di indoenesia masih saja sulit untuk mendapatkan pelayanan seputar pembuatannya mulai dari pungutan liar, waktu yang lama untuk bisa mendapatkan KTP serta cara yang berbelit-belit yaitu harus banyak pintu yang harus dilewati, selain KTP juga ada lagi yaitu seperti mendapatkan surat keterangan tidak mampu untuk warga miskin serta banyak lagi. Ada kesan di pihak birokrasi kalau mereka itu bukanlah yang harusnya melayani kepentingan rakyat akan tetapi mereka adalah seorang pejabat tinggi Negara yang seharusnya rakyat itu tidak punya hak apa-apa atas mereka. Banyak juga fenomena yang bisa ditemukan di kehidupan sehari-hari seputar penyelewangan jabatan para birokrat misalnya saja kendaraan dinas yang berplat merah yaitu seharusnya kendaran itu hanya bisa digunakan pada saat keperluan kantor dan bukan pribadi seperti belanja di mall atau digunakan untuk tamasya keluarga bahkan mudik sekalipun. Padahal itu bukan hak mereka untuk menggunakan kendaraan dinas atas nama kepentingan pribadi. Selain itu juga, birokrasi di Indonesia ini sepertinya memang memiliki budaya yang sulit diberantas seperti misalnya, banyak pegawai yang jika hari kerja tetapi diselingi oleh libur panjang maka ia malas untuk masuk kerja atau bahkan jika atasannya tidak masuk kerja, mereka jadi malas-malasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Karena mindset mereka adalah mereka tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa kepada rakyat akan tetapi tanggung jawab terhadap atasan yang sangat besar karena mereka diangkat oleh atasan. Padahal benar-benar pemikiran seperti itu salah. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaankebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).

Dalam hubungan itu, konsep dan prakarsa reformasi birokrasi tidak terlepas dari pertimbangan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi, dinamika, dan kinerja birokrasi, meliputi baik faktor-faktor internal birokrasi maupun faktor-faktor lingkungan strategis, termasuk pemahaman mengenai posisi dan peran birokrasi dalam sistem administrasi negara kita. Keseluruhan faktor tersebut perlu dipertimbangkan dalam menentukan format birokrasi yang dikehendaki dan berkemampuan merespon tantangan lingkungan strategis yang semakin kompleks dan meningkat. Bagaimana kenyataan di lapangan? Beberapa kasus di beberapa daerah tidak dapat kita pungkiri berhasil merombak wajah birokrasi menjadi lebih baik. Daerah seperti Sumatera Barat, Sragen, Jembrana, dapat dijadikan percontohan bagi pengembangan pelayanan. Walaupun tetap ada titik lemah yang dikritik, setidaknya pola dasar pelayanan yang prima telah terbentuk. Sifat kaku aturan main birokrasi menjadi masalah lain untuk menghasilkan pelayanan prima bagi publik. Biasanya pegawai tidak berani mengambil sebuah diskresi (kebijaksanaan) keputusan administrasi. Alasannya ketakutan terhadap pimpinan/pejabat di atasnya atau ketidakberanian untuk melawan aturan main yang mereka anggap kaku dan zakelek. Di lain pihak, para pejabat/pimpinan di atasnya yang memegang keputusan kebijakan, juga tidak memiliki keberanian mendelegasikan kewenangannya kepada staf yang ia percaya atau pegawai senior yang memiliki keahlian dalam bidang yang sama. Wajar saja karena ia tidak mau disalahkan jika keputusan yang diambil pegawai salah dan berpotensi merusak kinerja, bahkan karier birokrasi mereka. Tentu saja, keadaan ini merugikan si pengguna jasa yang tidak lain adalah publik/masyarakat. Sudah sering kita dengar untuk mengurus surat tentang tempat tinggal, usaha, surat keterangan, izin, dan sebagainya menjadi sulit. Ini disebabkan banyak pejabat yang seharusnya di tempat, menghilang tidak ada keterangan pasti. Staf/pegawai yang seharusnya dapat menggantikan dalam mengambil keputusan administrasi tidak diberi wewenang. Budaya paternalisme merupakan sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak dominan, corak hubungannya seperti ayah dengan anak. Pola hubungan dipandang hierarkis. Dalam konteks pelayanan publik, ada dua dimensi. Pertama, antara aparat dan masyarakat. Kedua, antara pimpinan/atasan dan staf/bawahan. Sebagai bangsa dengan watak budaya ketimuran yamg kental, budaya ini menjadi ciri khas. Tetapi, tidak tepat kiranya digunakan sebagai paradigma birokrasi. Pola yang terjadi biasanya lebih banyak menguntungkan atasan/pejabat pusat dibanding keuntungan yang diperoleh masyarakat sebagai pengguna layanan publik. Dengan menggunakan pendekatan manajemen strategis, rencana reformasi birokrasi bertolak dari berbagai fenomena yang dinilai menjadi kelemahan birokrasi yang telah diuraikan sebelumnya untuk selanjutnya dicarikan solusinya. Solusi tersebut terarah pada pengurangan kelemahan sehingga terwujud birokrasi yang mampu menangkap peluang-peluang dan merespon tantangan yang merupakan tuntutan masyarakat dan dinamika global.

Kelemahan-kelemahan yang melekat pada pelayanan publik meliputi aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan SDM. Rencana tindak ke depan berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut. Pertama, untuk mengatasi tumpang tindihnya fungsi dan peran kelembagaan perlu dilakukan reformulasi kelembagaan yang ada dengan pembenahan struktur penjabaran stugas dan fungsi yang jelas dan tidak tumpang tindih, peninjauan kembali peraturan perundang-undangan mengenai memberikan pelayanan publik yang tumpang tindih, menata kembali sistem dan prosedur pelayanan publik, dan menempatkan orang yang tepat pada jabatan/pekerjaan yang tepat, meningkatkann komitmen dan kompetensi pelayanan. Keempat, masih menguatnya sikap dan perilaku dilayani bukan melayani merupakan penyakit birokrasi yang akut. Hal ini dapat dirubah dengan melakukan dan membangun pola pikir aparatur yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam penyelenmggaraan pelayanan publik, mengurangi peran lembaga pemerintah untuk hal-hal yang sudah dapat dilakukan masyarakat, membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan, dan mengembangkan sistem yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Kelima, standar pelayanan yang meliputi tingkat biaya, prosedur pelayanan, dan jangka waktu pelayanan yang belum jelas. Hal ini perlu ditangani dengan jalan mendorong terciptanya lembaga pelayanan publik yang standar dan terukur, dengan membangun sistem standarisasi pelayanan publik mulai dari input, proses dan output dalam pelayanan, kemudian dituangkan dalam SOP yang transparan sebagai pedoman bagi setiap lembaga pelayanan, dalam upaya mendorong dan prosedur yang lebih baik dalam pelayanan, dan meningkatkan kepedulian aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keenam, sistem insentif yang lemah perlu diperbaiki dengan lebih menekankan keseimbangan kualifikasi, kinerja, dan penghargaan, merubah peraturan perun-dang-undangan tentang sistem remunerasi yang menjamin terpemenuhinya standar hidup layak dan kesejahtraan PNS, serta berorientasi pada kelayakan kualifikasi dan kinerja pegawai dengan penghasilan yang diterima. Ketujuh, penghargaan dan sanksi belum memadai. Hal ini perlu diperbaiki dengan membangun sistem penilaian kinerja dan pengawasan yang berorientasi pada pemberian penghargaan dan sanksi pada individu pada setiap institusi pemerintah, dan didukung dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan tentang pemberian penghargaan dan sanksi yang tepat. Atau lepas dari itu, melihat apa yang menjadi kenyataan tentang bagaimana kurangnya pelayanan public yang dilakukan oleh birokrasi, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi persoalan kemunduran tersebut, sebagai solusi strateginya perlu memperhatikan beberapa hal, yakni: (1) merubah persepsi dan paradigma birokrasi mengenai konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih mengutamakan kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan kepentingan penguasa atau elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat harus merupakan all together yang sinergi; (4) adanya peraturan daerah yang mampu menjelaskan mengenai standart minimal pelayanan publik dan sanksi yang diberikan bagi yang melanggarnya; (5) adanya mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6) adanya kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dalam melaksanakan komitmen pelayanan publik; (7) adanya upaya pembaharuan dibidang sistem administrasi publik (administrative reform); (8)

adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment) secara terus menerus dan demokratis, dst. Selain itu juga, kita jangan melupakan bahwa budaya birokrasi yang sudah tidak baik itu harus diperbaiki lewat hal terkecil, pembaharuan demokrasi, selain perlu dilakukan melalui penataan ulang sistem, yang menyangkut kelembagaan dan tata dan cara kerjanya, yang utama adalah menerapkan budaya atau semangat birokrasi yang tepat, serta membangun kualitas SDMnya. Sehingga birokrasi dapat berfungsi sebagai ujung tombak upaya kita menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi bangsa kita dewasa ini, dan membangun masa depan yang lebih baik dan dapat terpelihara kesinambungannya. Birokrasi harus terdiri atas manusia-manusia yang kompeten dan berkarakter. Kompeten, dalam arti kualitas dan kemampuannya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya. Birokrasi harus diisi oleh orang-orang yang profesional dalam menjalankan pekerjaannya. Karakter yang dilandasi sifat-sifat kebajikan akan menghasilkan kebijaksanaankebijaksanaan yang menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan bukan hanya dengan menghayati nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang mendasar, tetapi juga nilai-nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena dengan semangat kejuangan itu seseorang birokrat, meskipun dengan imbalan tidak terlalu memadai, akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dankebajikan. Tidak kalah pentingnya seperti telah dikemukakan di atas, birokrasi harus memiliki semangat keadilan sosial, yang tercermin dalam keberpihakan kepada yang lemah, dan dengan demikian yang daya saingnya dalam masyarakat lebih terbelakang, dalam kebijaksanaan-kebijaksaan dan tindakantindakannya. Selanjutnya birokrasi harus berpegang teguh kepada konstitusi dan segenap ketentuan pelaksanaannya. Birokrasi tidak ikut menetapkan konstitusi, tetapi harus menegakkannya. Oleh karenanya birokrasi harus menentang habis-habisan setiap upaya yang tidak konstitusional apalagi yang jelas bertentangan dengan konstitusi. Memang kita sudah tidak bisa lagi menggunakan istilah doktrin, karena akan berkonotasi indoktrinasi, namun semangat birokrasi baru harus dikembangkan dan dibudayakan. Dengan segala kelemahannya birokrasi di negara maju dan di banyak negara berkembang yang menganut paham demokrasi, seperti di Singapura, Korea, Malaysia dan Thailand dapat bertahan menghadapi gelombanggelombang perubahan dan beradaptasi secara dinamis. Birokrasi di negara-negara tersebut, meskipun tidak sempurna, dapat menjadi andalan masyarakatnya dalam mencari solusi terhadap berbagai masalah, termasuk krisis ekonomi, dan menjamin kontinuitas dan stabilitas pada masa-masa krisis politik. Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya perubahan yang dilakukan secara sadar, untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang dinamis. Upaya tersebut, dikakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi secara tepat

dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sebagaimana diamanatkan konstitusi. Kesadaran diri untuk melakukan upaya perubahan ke arah yang lebih baik, merupakan cerminan dari sebuah kebutuhan. Kebutuhan tersebut, bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas ini, sesungguhnya juga menunjukkan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa sebenarnya diharapkan dengan fakta aktual mengenai peran birokrasi dewasa ini. Reformasi birokrasi memerlukan proses, tahapan waktu, kesinambungan dan ketertiban sebagai kesatuan komponen yang saling terkait dan berinteraksi dengan tujuan untuk mewujudkan tujuan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bertujuan untuk mewujudkan aparatur negara yang amanah dan mampu mendukung pembangunan nasional serta menjawab kebutuhan dinamika bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

You might also like