You are on page 1of 94

MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN

Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun

Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam

Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP

Oleh

Wina Citra Sembiring

231.2758

SKRIPSI SARJANA THEOLOGI

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INDONESIA BAGIAN TIMUR

MAKASSAR

2008

i
HALAMAN PERSEMBAHAN

Banyaklah yang telah Kaulakukan, ya TUHAN, Allahku,

perbuatan-MU yang ajaib dan

maksud-Mu untuk kami.

Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau!

Aku mau memberitakan dan mengatakannya,

tetapi

terlalu besar jumlahnya untuk dihitung.

(Mazmur 40 : 6)

Pujian bagi Allah yang Solider kepada Manusia dalam Yesus

Kristus

Hasil perjuangan dan pergumulan Teologi ini penulis

persembahkan kepada:

Lembaga STT INTIM Makassar dan GBKP

Bapak (Pt.B.Sembiring Kembaren) dan Mamak (I.Br Barus)

Dan kepada saudara-saudariku

Doris Haryadi Kembaren, Evaliata Br Kembaren dan Delfer

Septianus Kembaren

ii
dalam setiap tetesan darah, air mata dan keringat, doa,

pengharapan, kesabaran dan ketulusan serta setiap kata

yang selalu memberi motifasi.

IMANUEL

DALAM DUNIA TERANG KRISTUS BERSINAR

SERTIFIKAT UJIAN SKRIPSI

Semua yang bertandatangan di bawah ini, menerangkan bahwa Skripsi Sarjana Teologi

dengan judul:

MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN

“Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun

Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam

Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP”

( xii + 78 halaman )

Dipersiapkan oleh : Wina Citra Sembiring

No. Stb : 231.2758

Utusan : Gereja Batak Karo Protestan

Jurusan : S-1 Teologi

telah dipertahankan oleh penulisnya di hadapan para Penguji dan Panitia Ujian Skripsi STT

INTIM Makassar pada tanggal 20 Agustus 2008, dan dinyatakan LULUS dengan nilai A.

Makassar, 4 September 2008

Penguji I : Pdt. Leonard P. Hutapea, M.Th ......................................

iii
Penguji II : Pdt. Resty Arnawa Tehupeuyori, M.Th ......................................

Ketua Panitia Ujian : Pdt. Nitis Putra Harsono, M.Th ......................................

Dosen Pembimbing : Pdt. Dr. Yusuf G. Mangumban ......................................

iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Ungkapan syukur kepada Allah dalam Yesus Kristus, yang karena kasih-Nya

memberi kesempatan bagi penulis untuk melihat dunia dengan menjalani dan mengisi

hidup ini dengan karya dan karsa. Akhirnya, tulisan tentang bagaimana kita membangun

solidaritas kepada sesama korban bencana alam ini, berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan di Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya selesai juga tepat waktunya.

Anugerah-Nya telah memampukan penulis menyelesaikan skripsi ini dengan penuh

keyakinan sekalipun harus jatuh bangun. Perkenanan-Nya jugalah kiranya untuk penulis

memasuki babak yang baru.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah

mendukung selama proses pendidikan dan penulisan yang cukup berat, baik secara moril

maupun material:

1. Pdt. DR. Yusuf G. Mangumban, sebagai dosen pembimbing yang telah rela

memberikan waktu dan pikiran untuk berdiskusi serta dengan sabar

membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak dan Mamak yang menjadi tempat mengadu, dalam kesederhanaan dan

pengharapan tidak mengenal lelah dan penuh kasih selalu memberikan yang

terbaik. Bapak dan mamak adalah kebanggaanku dan orang tua terbaik!

3. Abang Tua dan Eda serta keponakanku Joa, Kakak Eva dan abang, dan

adekku Delfer yang telah menjadi saudara dan selalu berusaha untuk

memahamiku. Terimakasih untuk setiap canda-tawa bahkan air mata dalam

keharmonisan. Aku sangat menyayangi kalian!

v
Seluruh keluarga besar yang selalu mendukung dan memotifasiku, Nenek

Ribu, Bibik dan Bapak, Bibi dan Kila, bujur melala!. Seluruh adekku,

lakukan yang terbaik!

4. Pimpinan STT INTIM Makassar, Yayasan dan segenap Dewan Dosen yang

telah membantu dan memberi sumbangan intelektual untuk mempersiapkan

penulis berkarya. Kepada Pegawai STT INTIM Makassar, untuk semua

bantuannya dalam mendukung kebutuhan akademik.

5. UPAM STT INTIM Makassar, yang memberi ruang lebih dari 3 tahun

menjalani hidup dan studi di Makassar. Teman-teman Aspura dan Aspuri, dalam

persaudaraan dan persekutuan bersama menjalani hidup yang penuh dengan

dinamika.

6. Moderamen GBKP, yang telah merekomendasikan dan memberikan beasiswa

prestasi bagi penulis untuk melanjutkan studi di lembaga STT INTIM

Makassar.

7. Pdt. Marthen Manggeng, MT.h dan Pdt. Markus Lolo, MT.h, sebagai

penasehat akademik bagi penulis selama berada di lembaga ini. Terimakasih

untuk semua nasehat dan masukan yang diberikan bagi penulis.

8. Pdt. I Nyoman Murah, MT.h dan ibu, sebagai orang tua wali mahasiswa

utusan GBKP atas pengarahan dan motifasi yang diberikan.

9. GTM Moria Makassar, GBKP Rg Bahorok dan Keluarga Ng. Sembiring,

GKSB Jemaat Tamesassang – Sul - Bar dan GBKP Perpulugen Makassar

dan warga jemaat sebagai orang tua dan saudara, yang telah menjadi wadah

untuk belajar melayani dan mengenal jemaat.

vi
10. GBKP Rg. Yogyakarta dan Rg. Surabaya yang telah menerima kehadiran

penulis melakukan penelitian dan juga telah banyak memberi bantuan tenaga

dan pikiran. Pdt. Sabar Sembiring Brahmana dan keluarga dan Dkn. Bani

Israel Karo-karo dan keluarga, serta Asna Wati br Ginting yang telah

menyediakan tempat dan sarana selama penelitian.

11. Immanuel Antonius Mabilehi, aku bersyukur kepada Allahku setiap kali aku

mengingat kamu. Terimakasih untuk kesetiaan dan kesabaran mendengar segala

keluh kesahku dan untuk setiap motifasi yang membangkitkan semangat dan

percaya diri.

12. Sahabat-sahabatku dari Bumi Turang: Maifrina V br Barus, S.Th dan

Vic.Abadi Ginting (Inong jagalah hati dan kami tunggu undangannya!), Wanti

Emteta br Depari, S.Th dan Adris (Cure kapan di Ginting kan implta ena?),

Natalea A Br Tarigan, S.Th dan Jeremia ( Lepor segala sesuatu indah pada

waktunya!) , Ria Angelia br Sitepu, S.Th dan ......... (Rimo aku bingung yang

mana....!!! ), Magdalena S.N br Depari, S.Th (Ipeh yang manakah sebenarnya

lelaki misterius itu?), Erlayas Monica br Tarigan, S.Th(Katruk jangan terus

menjadi“ropah” sejati, ini jaman reformasi ces!), terimakasih untuk

persahabatan yang selalu diwarnai dengan canda, tawa dan ketersinggungan

yang membangun. Florentina br Meliala (sabar menunggu Lencang, masih

banyak waktu dan kesempatan!) jangan patah semangat, maju terus dan masih

banyak hal yang jauh lebih penting untuk dipikirkan dari pada “hal-hal” sepele

yang tidak bermanfaat. Kami tunggu di bumi turang!!!!

13. “Senina ras Turang dari Tanah Karo si Malem”, Elia dan Kak Deky

(terimakasih untuk seperangkat komputer yang sangat mendukung penulisan

vii
skripsi ini. Tetap semangat, lakukan yang terbaik karena jodoh takkan lari

kemana..!!??), Oktoria dan Vic. Romi P, Elba dan Ayen, Jerry, Pita dan Frans P,

Diana dan Andri, Dona dan Renji, Anita dan......., Carilon, Yoan dan........, Erma

dan......., Kiki, Nopa dan......, Imanuel dan Bayu dan ????? atas persaudaraan di

tanah rantau dalam suka dan duka. Imanuel Sembiring, Eben Ginting, Christin,

Amenda dan Elsa, lakukan dan berikan yang terbaik!!!!!

14. Kakak-kakak yang selalu menjadi teman suka dan duka serta telah

menggoreskan kenangan yang tak terlupakan, Vic.Sri Pinta Br Ginting, Vic.

Marina Br Ginting, Vic.Imelda Elfera Br Sembiring, Mirawati Br Tarigan, STh,

Pdt. Chrismas Ginting, Pdt.Hermawati Br Bukit, Pdt.Beni Antoni Kaban, Pdt.

Erlikasna Br Purba, Vic.Abadi Ginting, Vic.Gresiomala Br Pinem dan

Masyunita Br Surbakti dan Vic.Yosfran. Terimakasih telah menjadi kakak dan

abang di tanah perantauan!

15. Pdt. Berthalina Br Tarigan, M.Th dan Naras, yang bukan hanya menjadi

kakak dan abang tetapi juga menjadi orang tua. Terimakasih untuk setiap

bantuan, nasehat dan motifasi serta kebersamaan yang penuh makna dan

kenangan.

16. Seluruh “Ata-ata “ 2003 dari Sabang sampai Merauke yang tidak sempat

disebutkan namanya tanpa terkecuali. Hamba-hamba-Nya dari GKSB dalam

melakukan PJ 2007. Terimakasih untuk persaudaraan yang telah terbina dalam

perjuangan hidup dan masa depan di Kampus Unggu tercinta!

17. Perpustakaan UKDW Yogyakarta dan mahasiswa UKDW Yogyakarta

utusan GBKP yang telah memberi fasilitas dan membantu penulis dalam

mengumpulkan data.

viii
18. Aswin S.Th, dan Bevy Joseph S.Th, yang selalu memberi masukan dan

meluangkan waktu berdiskusi (jangan bosan-bosan ya!). Kristin Hutubesy, S,Th

dan teman –teman yang tergabung dalam kelompok PA kecil, telah menjadi

tempat penulis bertukar pikiran.

19. Kakak, teman dan adek kamar, Yeti GMIT, Debora GT, Sarah Gepsultra,

Marlina GT, Marlin Gepsultra, Ayu GMIT, Yuhelsin GMIT, dan Meylani

GKLB, terimakasih atas persaudaraan yang saling berbagi dalam satu ruangan

6 x 6 aspuri.

20. GMKI cabang Makassar dan Komisariat STT Intim, yang telah menjadi tempat

belajar. UT OMNES UNUM SINT!

Kepada semua pihak yang telah berperan membantu penulis dalam mencari dan

memahami arti hidup.

Akhirnya, walaupun jauh dari kesempurnaan tulisan ini kiranya dapat menjadi

sebuah ajakan solider, untuk menciptakan kehidupan yang damai sejahtera.

IN CHRISTO LUX MUNDI CRESCIT

Hari Kemerdekaan RI 2008

Penulis

ix
ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji solidaritas kemanusiaan GBKP Runggun

Yogyakarta dan Runggun Surabaya dalam menghadapi bencana alam. Bencana alam, yang

terjadi beberapa tahun terakhir ini telah menyebabkan krisis multidimensi bagi kehidupan

manusia. Dalam hal ini, banyak orang masih terpusat pada teologi hukuman sebagai

penyebab bencana. Manusia kadang-kadang terlalu “asik” mencari “kambing hitam”

sehingga lupa membuka mata, telinga dan hati terhadap rintihan sesamanya.

Realitas ini membutuhkan solidaritas setiap orang. Solidaritas adalah kata lain

untuk cinta kasih yang mengerakkan hati, pikiran, tangan, kaki, dan pengorbanan apa yang

kita miliki terhadap penderitaan orang lain. Allah adalah kasih. Allah ada dalam solidaritas.

Allah adalah solidaritas itu sendiri. Di mana ada solidaritas maka disanalah Allah ada,

menyatakan diri-Nya. Setiap orang harus solider dengan mereka yang menjadi sasaran

keprihatinan dan keberpihakan Yesus, tanpa dibatasi oleh apapun. Sebab kenyataannya

solidaritas masyarakat masih kuat dipengaruhi oleh latar belakang SARA, tidak terkecuali

orang-orang Kristen.

Solidaritas mengajak semua pihak tanpa batas membangun usaha bersama dan

berbuat sesuatu untuk membangkitkan kembali semangat dan harapan hidup. Solidaritas

adalah wujud iman yang terungkap melalui tindakan kasih dan pengorbanan serta berbagi

rasa dan keprihatinan. Dalam solidaritas itulah kasih Allah dinyatakan dan kehadiran-Nya

dapat dirasakan. Sebagai gereja, GBKP terpanggil ikut bertanggung jawab untuk

menghadirkan syalom Allah. Menjadi garam dan terang dunia. GBKP terpanggil bersikap

solider dalam tindakan nyata yang membebaskan dan memberdayakan. Sebab setiap

perbuatan yang dilakukan terhadap sesama yang menderita, sesungguhnya diperbuat

kepada Allah sendiri.

x
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................................. i

Halaman Persembahan..................................................................................................... ii

Sertifikat Ujian Skripsi.................................................................................................... iii

Ucapan Terima Kasih...................................................................................................... iv

Abstrak............................................................................................................................. ix

Daftar Isi.......................................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Permasalahan............................................................ 1

1.2 Perumusan Masalah............................................................................ 5

1.3 Tujuan Penulisan................................................................................ 5

1.4 Metode Penelitian............................................................................... 6

1.5 Sistematika Penulisan......................................................................... 7

BAB II SOLIDARITAS KEMANUSIAAN JEMAAT GBKP RUNGGUN

YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA...................................... 9

2.1 Solidaritas Kemanusiaan.................................................................... 9

2.1.1 Definisi Solidaritas Kemanusiaan............................................ 9

2.1.2 Perkembangan Solidaritas........................................................ 10

2.2 Bencana Alam..................................................................................... 12

2.2.1 Definisi Bencana Alam............................................................ 12

2.2.2 Penggolongan Bencana Alam.................................................. 14

2.3 Gambaran Umum Jemaat Lokasi Penelitian...................................... 14

2.3.1 GBKP Runggun Yogyakarta.................................................... 15

2.3.2 GBKP Runggun Surabaya........................................................ 15

xi
2.4 Hasil Penelitian: Pandangan dan Bentuk Solidaritas Jemaat

terhadap Bencana Alam........................................................................ 16

2.4.1 Data Responden....................................................................... 17

2.4.2 Pemahaman Jemaat tentang Bencana Alam............................. 20

2.4.3 Pemahaman dan Bentuk Solidaritas Jemaat Terhadap Korban

Bencana Alan........................................................................... 26

2.5 Rangkuman......................................................................................... 33

BAB III ANALISA TERHADAP SOLIDARITAS KEMANUSIAAN

JEMAAT GBKP RUNGUN YOGYAKARTA DAN RUNGUN

SURABAYA
................................................................................................................
................................................................................................................

34
................................................................................................................

3.1 Faktor Pendidikan............................................................................... 34

3.2 Faktor Sosial-Ekonomi....................................................................... 37

3.3 Faktor Budaya..................................................................................... 39

3.4 Sistem Manajemen Organisasi Gereja................................................ 41

3.5 Faktor Tradisi dan Ajaran Gereja........................................................ 43

3.5.1 Dampak dari Pemahaman Bencana Alam sebagai

Hukuman Allah
.........................................................................................
.........................................................................................

44

BAB IV SOLIDARITAS KEMANUSIAAN SEBAGAI WUJUD

TANGGUNG JAWAB GEREJA: Refleksi Sosio-Teologis terhadap

xii
Peran GBKP
................................................................................................................
................................................................................................................

48

4.1 Mengurai Bencana Alam, Membangun Harapan............................... 48

4.1.1 Bencana Alam: Perspektif Alkitabiah...................................... 49

4.1.2 Berdiri diatas Dasar yang Guncang: Sikap terhadap

Bencana Alam
.........................................................................................
.........................................................................................

50

4.2 Membangun Solidaritas Kemanusiaan............................................... 54

4.2.1 Solidaritas Kemanusiaan: Perspektif Alkitabiah...................... 55

4.2.2 Panggilan Dan Pengutusan Gereja........................................... 58

4.3 Membangun Komunitas GBKP: Belajar Dari Orang Samaria

Yang Baik Hati


....................................................................................................
....................................................................................................

59

4.3.1 Sikap dan Tindakan GBKP:“ Inilah aku, utuslah aku! “......... 60

4.3.2 GBKP yang Solider: Tindakan yang Membebaskan dan

Memberdayakan
.........................................................................................
.........................................................................................

61

4.3.3 Budaya Karo sebagai Media Solidaritas: “Rakut Sitelu” ....... 63

4.3.4 Tindakan GBKP: Tindakan Jangka Panjang dan

Jangka Pendek

xiii
.........................................................................................
.........................................................................................

65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan......................................................................................... 67

5.2 Saran................................................................................................... 69

KEPUSTAKAAN........................................................................................................... 71

LAMPIRAN 1................................................................................................................ 74

BIODATA....................................................................................................................... 78

PERNYATAAN PENYERAHAN SKRIPSI................................................................ 79

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Masyarakat kita Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir tidak henti-hentinya

dilanda penderitaan. Belum juga berhasil keluar dari krisis multi-dimensi yang melanda

negara kita sejak tahun 1997, lagi-lagi dihantam oleh berbagai bencana alam. Hanya

sedikit negara yang pernah mengalami bencana alam dengan jumlah dan intensitas seperti

yang dialami Indonesia, khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Bencana-bencana

alam tersebut di antaranya:1

• Tsunami Aceh dan pulau Nias, terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Dalam

peristiwa ini telah menewaskan lebih dari 126.000 jiwa.

• Gempa Bumi di Alor, terjadi pada tanggal 12 November 2004. Peristiwa ini telah

menewaskan 33 orang, luka ringan 147 orang, luka berat 163 orang dan total kerugian

Rp 191,05 Miliar.

• Gempa bumi di Yogyakarta, terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Dalam peristiwa ini,

sekurang-kurangnya 6.241 orang meninggal.

• Gelombang besar yang melanda pantai Pangandaran, terjadi pada tanggal 17 Juli 2006.

Peristiwa ini telah menelan korban jiwa 653 orang.

• Banjir dan tanah longsor di Sulawesi Selatan, terjadi pada tanggal 20 Juni 2006. Dalam

peristiwa ini telah menelan korban jiwa sebanyak 214 orang, korban hilang 64 orang,

korban mengungsi 6.099 orang dan dengan total kerugian sebesar Rp 460,35 Miliar.
1
Andre Vitchek, http : // pic – brr.blogspot.com/2007/03/bencana alam atau pembunuhan masal.
Html,download tanggal 22 Oktober 2007.

1
• Banjir Lumpur di Sidoarjo, telah menyebabkan lebih dari 10.000 orang menjadi

pengungsi dan merendam lebih dari 1.000 area tanah dengan lumpur panas.

• Dan berbagai bencana alam di berbagai daerah lainnya.

Sampai sekarang kita masih terus mengalami dampak dari bencana dahsyat di atas,

bukan saja berupa kehancuran fisik dan kehilangan ribuan nyawa tetapi juga trauma

psikologis yang membutuhkan penangulangan secara serius

Sejak Desember 2004, Indonesia telah kehilangan sekitar 200 ribu orang rakyatnya dalam

berbagai bencana alam dan jumlah korban material yang sangat besar.

Banyak pendapat bermunculan tentang penyebab bencana alam ini, seiring dengan

seringnya bencana alam terjadi. Ada yang berpendapat bahwa, bencana alam yang terjadi

sebagai hukuman Tuhan atas kesalahan dan dosa manusia. Manusia dipandang sudah jauh

dari jalan dan kehendak Tuhan. Ada yang berpendapat, bencana tersebut sebagai cobaan

Tuhan kepada umat-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa, bencana tersebut terjadi

sebagai suatu proses alamiah. Ada juga yang berpendapat bahwa bencana ini terjadi karena

kesalahan manusia sendiri yang telah mengeksploitasi alam secara besar-besaran tanpa

terkendali dan tidak memperhatikan kelestarian alam.

Peristiwa bencana alam, telah melanda tanah air tanpa memandang bulu, bukan

hanya melanda orang-orang yang berkeyakinan, suku, ras atau golongan tertentu saja.

Dalam situasi seperti ini, agama dinilai memiliki peran yang sangat penting dalam kaitan

untuk mendukung dan menolong umatnya keluar dari penderitaan. Di dalam penderitaan

dan hilangnya harapan inilah mestinya gereja hadir menjalankan fungsi profertis nya

dengan menyatakan kepedulian dan solidaritasnya. Ikut merasakan dan mengambil bagian

di dalam penderitaan mereka yang menjadi korban. Tetapi pada kenyataanya jawaban

institusi keagamaan, khususnya gereja selama ini dinilai tidak menyentuh pergumulan

2
umat atau bahkan dianggap mengecewakan. Realitas tersebut senada dengan apa yang

diungkapkan oleh Tim Penyunting buku Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam

Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, bahwa ada suatu indikasi beberapa pemimpin

gereja dinilai kurang memberi perhatian (misalnya dengan alasan bahwa “ itu bukan

anggota jemaat dan gereja kita”), dan kurangnya aksi praksis pastoral dalam mendampingi

dan memberdayakan mereka yang telah mengalami trauma. Selama ini gereja dinilai

“menenangkan” umatnya dengan sebuah “teologi instan”, yang memandang bahwa

bencana adalah ujian, cobaan dan hukuman Tuhan bukan melakukan aksi solidaritas yang

membangkitkan.2

Dalam kaitan dengan ini, Gereja Batak Karo Protestan ( dalam bab-bab selanjutnya

akan disingkat dengan GBKP) sebagai institusi gereja di Indonesia, secara sadar

menemukan dirinya berada dalam situasi bencana ini. GBKP berada di tengah-tengah

mereka yang menjadi korban yang mengalami penderitaan, kehilangan dan keputusasaan.

Beberapa bencana alam yang telah terjadi secara langsung ikut mempengaruhi keberadaan

GBKP, diantaranya Tsunami Aceh dan Nias yang berbatasan langsung dengan pusat

GBKP, bencana alam di Yogyakarta, Lampung dan lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Bagaimana GBKP dalam menyikapi situasi ini? Apa yang sudah dilakukan GBKP sebagai

bagian integral dari masyarakat? Apakah bantuan yang diberikan oleh GBKP selama ini

dapat memberdayakan mereka yang menjadi korban? Bagaimana gereja memposisikan diri

agar bisa ber-empati dan mengupayakan kehidupan yang penuh harapan. Situasi ini

menjadi suatu tantangan dan sekaligus juga menjadi tanggung jawab GBKP agar mampu

menjawab pergumulan hidup jemaat dan masyarakat sesuai dengan visi dan misi GBKP.3
2
Bdk.Tim Penyunting OASE INTIM: “Pendahuluan” dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk. (ed.), Teologi
Bencana: Pergumulan Imam dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase Intim,
2006, hal. 12-13
3
Visi GBKP adalah Hidup Setia Kepada Tuhan dan Misi GBKP terdiri dari 5 pokok yakni:
a. Meningkatkan Peribadatan/Spiritualitas;

3
Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji permasalahan ini, secara Sosio-Teologis, karena

masalah bencana ini merupakan masalah sosial yang menyangkut kehidupan masyarakat

luas. Solidaritas kemanusiaan yang coba dikaji di sini bukanlah sekedar solidaritas sosial

dalam pengertian derma belaka, tetapi lebih dari pada itu dalam pengertian solidaritas

Kristiani yang sesungguhnya yaitu berdasarkan kasih. Bukan saatnya untuk mencari

“kambing hitam” siapa yang benar atau siapa yang salah dan bukan juga sekedar “perasaan

kasihan” tanpa tindakan yang nyata membebaskan mereka dari penderitaan dan

keterpurukan, tetapi yang dibutuhkan adalah solidaritas kemanusiaaan yang aktif.

Berangkat dari pergumulan ini, penulis termotivasi untuk menggali lebih jauh,

bagaimana jemaat GBKP memahami bencana alam, kesadarannya dalam menyatakan

solidaritas kemanusiaan dan bagaimana upaya yang telah dilakukan GBKP dalam

menghadapi bencana alam kedepan, mengingat bahwa negara kita adalah wilayah yang

rawan akan terjadinya bencana alam. Di sini, GBKP diharapkan mampu membangun

pemahaman warga jemaat akan pentingnya partisipasi umat dalam menghadapi bencana

alam, bukan membuat gereja terkurung dalam pemahaman yang sempit tentang “siapakah

sesamaku”. Bagaimana kehadiran GBKP mampu menjadi “garam” dan “terang” bagi

sesamanya.

b. Menghargai Kemanusiaan;
c. Melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kasih;
d. Mewujudkan warga yang dapat dipercaya;
e. Meningkatkan perekonomian jemaat.
Dan prioritas program yang disusun dari tahun 2006-2010 yakni:
Tahun 2006: Sumber Daya Manusia (SDM)
Tahun 2007 : Koinonia
Tahun 2008 : Marturia
Tahun 2009 : Diakonia
Tahun 2010 : Kemandirian Dana
Visi dan misi maupun prioritas program ini berdasarkan “Garis Besar Pelayanan GBKP 2005-5010 “
disusun dan ditetapkan pada Sidang Sinode GBKP ke-33, pada tanggal 10-17 April tahun 2005 di Retreat
Center GBKP Suka Makmur, visi dan misi ini masih tetap sama dengan visi dan misi GBKP pada tahun
2000-2005.

4
Hal tersebut yang mendorong minat penulis untuk menulis skripsi ini dengan judul:

MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN dengan sub judul: Tantang Jawab

GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya Terhadap Solidaritas

Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, maka penulis

akan merumuskan masalah-masalah yang merupakan pokok kajian karya tulis ilmiah ini

dalam tiga pertanyaan, yakni:

1. Bagaimana pandangan jemaat GBKP Runggun Yogyakarta dan Surabaya terhadap

bencana alam?

2. Bagaimana solidaritas kemanusiaan pada saat dan sesudah bencana terjadi?

3. Bagaimana pandangan Teologis terhadap solidaritas kemanusiaan?

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Menguraikan pandangan jemaat GBKP Runggun Yogyakarta dan Surabaya terhadap

bencana alam.

2. Memaparkan solidaritas kemanusiaan pada saat dan sesudah bencana terjadi.

3. Menguraikan pandangan Teologis terhadap solidaritas kemanusiaan.

1.4 Metode Penelitian

1. Tempat Penelitian

5
Penelitian lapangan dilaksanakan di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)

Runggun Yogyakarta, sebagai salah satu kota yang pernah dilanda bencana alam dan telah

menelan korban jiwa dan material yang begitu banyak dan Runggun Surabaya yang dekat

dengan wilayah-wilayah yang terkena bencana alam. Wawancara dilakukan terhadap

jemaat dan pimpinan gereja GBKP Yogyakarta dan Surabaya.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif.

Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang dilaksanakan dengan cara mengumpulkan

sumber-sumber yang dibutuhkan di lapangan. Penelitian kualitataif adalah penelitian yang

dilaksanakan dengan cara membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok

kajian.

3. Jenis Data

a) Primer: data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan, melalui wawancara dan

Kuisoner dengan jemaat setempat.

b) Sekunder: data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan membaca

literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok kajian.

4. Teknik Pengumpula Data

a) Melalui wawancara terhadap orang-orang yang terlibat langsung dengan masalah

tersebut.

b) Observasi partisipatif, yakni melakukan pengamatan langsung dan memberikan

penilaian terhadap masalah tersebut.

c) Menjalankan angket.

5. Sumber Data

6
a) Populasi: yang menjadi populasi penelitian adalah seluruh jemaat GBKP Yogyakarta

dan Surabaya

b) Sampel: yang menjadi sampel penelitian adalah beberapa dari jemaat dan pimpinan

gereja GBKP Yogyakarta dan Surabaya.

6. Tehnik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan melalui pemberian penjelasan secara luas dan

mendalam, kemudian data yang diperoleh diolah secara kualitatif.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan dalam menyelesaikan skripsi ini, tulisan ini dibagi

ke dalam lima bagian dengan urutan pembagiannya sebagai berikut:

Bab I berisi tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan

penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II, berisi tentang definisi solidaritas kemanusiaan dan definisi bencana alam.

Dalam bab ini digambarkan secara umum jemaat lokasi penelitian, memaparkan tentang

pemahaman warga jemaat terhadap bencana alam dan wujud solidaritas warga jemaat

terhadap korban bencana alam. Pertama-tama dikemukakan pemahaman warga jemaat

terhadap bencana alam dan selanjutnya akan dipaparkan juga kenyataan, bagaimana

solidaritas jemaat terhadap korban bencana alam pada saat dan sesudah bencana terjadi.

Bab III, berisi tentang analisa terhadap hasil penelitian tentang bencana alam dan

wujud solidaritas kemanusiaan. Di sini penulis menganalisa hasil penelitian terhadap

pemahaman bencana alam dan realitas wujud solidaritas kemanusiaan serta implikasi

sosiologis yang menyertainya.

7
Bab IV, berisi tentang bagaimana membangun Solidaritas Kemanusian, serta

refleksi Sosio-Teologis terhadap peran GBKP. Selanjutnya juga membahas bencana alam

yang ditinjau dari perspektif alkitab sebagai respon terhadap tantang jawab GBKP dalam

menghadapi bencana alam.

Bab V, berisi kesimpulan, yang penulis simpulkan berdasarkan pengkajian bab-bab

sebelumnya serta saran-saran bagi jemaat dan masyarakat berupa usulan dan langkah-

langkah konkrit yang akan mendukung GBKP dalam menyikapi tanggung jawabnya.

8
BAB II

PEMAHAMAN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN GBKP RUNGGUN

YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA

Dalam bagian ini berisi tentang definisi bencana alam khususnya dari sudut

pandang ilmu pengetahuan dan definisi solidaritas kemanusiaan. Juga memaparkan

gambaran umum jemaat tempat penelitian dan hasil penelitian pemahaman warga jemaat

tentang bencana alam serta bentuk solidaritas warga jemaat terhadap korban bencana alam.

2.1 Solidaritas Kemanusiaan

Hidup dalam lingkungan masyarakat yang mengalami penderitaan dari berbagai

aspek kehidupan adalah realitas yang kita hadapi di zaman sekarang ini. Dalam situasi ini

dituntut kepekaan dan kepedulian setiap orang untuk mengambil bagian dalam penderitaan

orang lain. Dibutuhkan solidaritas yang menumbuhkan semangat hidup dan tindakan yang

memanusiakan manusia.

Istilah solidaritas kemanusiaan bukanlah hal yang baru dan bahkan sering

digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, bagian ini tetap membahas apa

definisi solidaritas kemanusiaan secara umum dan bagaimana perkembangan solidaritas

yang bertujuan untuk mempermudah kita dalam memahami solidaritas yang dimaksudkan

dalam tulisan ini.

2.1.1 Definisi Solidaritas Kemanusiaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Solidaritas merupakan kata benda, yang

berarti perasaan solider, sifat saling rasa, perasaan setia kawan. Solider adalah kata sifat

9
yang berarti mempunyai perasaan senasib.4 Sementara, Kemanusian berarti bersifat

manusia.5 Dalam pengertian memiliki sifat-sifat manusia, misalnya: makan, minum, besar

atau kecil, senang atau sedih, kebebasan untuk memilih dan menentukan, memiliki

kehendak, perasaan, kebutuhan dan sifat-sifat lainnya.

A.Heuken SJ, berpendapat bahwa solidaritas berarti semangat setia kawan,

hubungan batin antara anggota satu kelompok masyarakat yang mendorong orang

bertindak demi kesejahteraan bersama.6 Situasi di mana solidaritas untuk mewujudkan

kemanusiaan harus dinyatakan adalah di tengah-tengah masyarakat dengan semua

permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Dengan kata lain, solidaritas berarti suatu

tindakan menjadi sesama bagi orang lain. Setiap orang dituntut untuk berdiri di samping

atau di dekat orang-orang yang mengalami pergumulan, berada bersama mereka dan juga

bergaul bersama dengan mereka, sehingga ikut merasakan apa yang mereka rasakan tanpa

ada diskriminasi baik suku, agama, ras maupun antargolongan seseorang yang

menyertainya. Solidaritas adalah suatu tindakan yang membangkitkan semangat hidup

bukan hanya sekedar perasaan kasihan namun tidak ada tindakan nyata.

2.1.2 Solidaritas Dalam Perspektif Historis

Seperti yang telah disebutkan bahwa, istilah solidaritas kemanusiaan bukanlah

suatu istilah yang baru dikenal. Istilah tersebut sudah dipakai sejak lama. Khususnya,

dalam ruang lingkup gereja, istilah tersebut dipakai untuk menunjuk kepada ajaran sosial

gereja atau yang sering kita kenal dengan istilah diakonia. Hanya saja istilah solidaritas

kemanusiaan ini lebih bersifat umum. Solidaritas atau yang juga sering disebut sebagai

ajaran sosial gereja ini sudah dikenal dan direfleksikan khususnya dalam Gereja Katolik

Roma pada pertenggahan abad ke-19, ketika Leo XIII menjabat sebagai Paus. Tetapi
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Jakarta: Gita Media Press, hlm. 716
5
Ibid, hlm. 515
6
A.Heuken SJ, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta, 1991, hlm. 72

10
awalnya, tujuan keterlibatan sosial gereja ini lebih bersifat politik yaitu untuk mencegah

anggota-anggota gereja masuk dalam gerakan buruh Sosialis-Marxis dan berjuang untuk

menegakkan kembali pengaruh gerejani dalam gerakan para buruh yang makin anti-

Kristen.7 Dengan kata lain, pada awalnya gerakan solidaritas muncul bukan karena adanya

kesadaran dari pihak gereja yang ingin berempati dan berbela rasa serta membebaskan

umat dari penderitaan.

Kemunculan gerakan Solidaritas pada pertengahan abad ke-19 ini dipicu oleh

suatu revolusi industri (yang terhitung mulai dengan penemuan mesin uap tahun 1769)

yang pada akhirnya menyebabkan perubahan drastis dalam hubungan masyarakat. Tidak

semua orang memperoleh keuntungan dari hasil kemajuan ekonomi yang sangat diagung-

agungkan oleh banyak orang. Justru revolusi industri inilah yang mengakibatkan makin

banyaknya masyarakat harus hidup dalam kemiskinan. Kenyataan tersebut menyebabkan

protes seorang filsuf sosial Jerman Karl Marx (1818-1883) pada tahun 1848. Ia mengkritik

agama yang pada saat itu dinilainya bahwa “agama adalah candu rakyat jelata” yang

memberi sekedar keringanan namun tidak merupakan terapi.8 Agama dinilai hanya sebagai

tempat pelarian bukan untuk mengobati atau membebaskan dari penderitaan.

Di sisi lain justru Karl Marx melihat bahwa revolusi industri memiliki kekuatan

yang besar untuk mengadakan perubahan yang besar menuju solidaritas baru yaitu

masyarakat tanpa perbedaan kelas dan penuh kebebasan. Individualisme diatasi dalam

suatu kemanusiaan yang disebutnya “komunisme”.9

7
B. Kieser, SJ, Solidaritas Tahun Ajaran Gereja, Yogyakarta : Kanisius, 1993, hlm.39
8
Ibid, hlm.48
9
Ibid, hlm. 48. Komunisme yang dimaksud oleh Karl Marx adalah humanisme sebagai naturalisme
sempurna; adalah naturalisme sebagai humanisme sempurna. Komunisme mengatasi konflik antara
manusia dengan alam, dan konflik antara manusia dengan sesama. Diatasi konflik antara eksistensi dan
esensi, antara mengungkapkan diri dan mempertahankan diri, antara kebebasan dan keharusan, antara
individu dan kebersaman.

11
Ajaran sosial gereja akhirnya benar-benar menjadi sebuah ajaran, yaitu sebagian

dari antropologi kristiani, sejak adanya perdebatan dengan kaum sosialis dan komunis.

Sejak saat itu, ajaran sosial gereja bukan hanya suatu kesimpulan teori atau refleksi atas

permasalahan sosial kaum Kristen saja. Ajaran sosial gereja mengembangkan gambaran

Kristiani mengenai manusia dan panggilannya dengan implikasi sosialnya.10

2.2 Bencana Alam

Meskipun bencana alam merupakan hal yang sudah lumrah bagi kita tetapi untuk

lebih memudahkan dalam memahaminya, maka dalam bagian ini penulis menjelaskan

definisi bencana alam secara umum dan penggolongan dari bencana alam itu sendiri

sehingga kita dapat memahaminya dengan benar.

2.2.1 Definisi Bencana Alam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana alam adalah musibah yang

ditimbulkan oleh gejala alam misalnya gempa bumi, banjir, angin puyuh, dan sebagainya.11

Bencana alam juga dipahami sebagai suatu kombinasi aktivitas alam (suatu

peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir) dan

aktivitas manusia yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa dan kerugian pada

manusia.12

Menurut Muh.Aris Marfal, yang disebut sebagai bencana alam (natural disaster)

adalah suatu fenomena alam yang telah terjadi dan menimbulkan kerusakan infrastruktur

dan fasilitas kehidupan serta menghilangkan nyawa dan harta benda.13 Bencana alam

10
Ibid, Hlm. 15.
11
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit, hlm.129
12
http: // id. Wikipedia. Org/ Wiki Bencana Alam – Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Berbahasa Indonesia,
htm, domnload tanggal 9 Februari 2008.
13
Muh. Aris Marfal, Moralitas Lingkungan : Refleksi Kritis atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan,
Yogyakarta : Wahana Hijau 2005, hlm.89.

12
sebagai suatu fenomena alam yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan alam dan juga

dipengaruhi oleh aktifitas manusia ini terjadi di luar kendali manusia dan merusak tatanan

kehidupan. Umumnya, pasca bencana banyak dampak yang ditimbulkan baik secara

politik, ekonomi maupun sosial, misalnya kelaparan, pengangguran, kehilangan tempat

tinggal, kehilangan sanak saudara, menjalarnya berbagai jenis wabah penyakit dan trauma

(tekanan mental). Bencana ini tidak hanya berdampak bagi manusia saja tetapi juga bagi

keseimbangan alam itu sendiri dan mahluk ciptaan lainnya.

Berdasarkan berbagai definisi yang ada dapat ditemukan karakteristik bencana

alam sebagai berikut:14

1. Adanya kerusakan pada pola-pola kehidupan normal.

2. Merugikan manusia, baik yang berupa kematian, luka, kesengsaraan maupun akibat

negatif pada kesehatan, dan merubah tatanan hidup mahluk yang lain.

3. Merugikan struktur sosial, seperti kerusakan sistem pemerintah, bangunan komunukasi

dan berbagai pelayanan umum utama lainnya.

4. Munculnya kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal atau penampungan, makanan,

pakaian, bantuan kesehatan dan pelayanan sosial.

2.2.2 Penggolongan Bencana Alam

14
Soetarso,” Siklus Penanggulangan Bencana”, Disampaikan pada Raker SATLAK PB seluruh Indonesia di
Yogyakarta dan Ujungpandang,1997.

13
Berdasarkan proses terjadinya, maka bencana alam dapat di kelompokkan menjadi

2 bagian yaitu: 15

1. Bencana akibat alam (proses alamiah), adalah yang dikategorikan sebagai sesuatu

“given” dan di luar kuasa dan kendali manusia, yang tidak dapat dihindari

kedatangannya. Bencana alam ini terdiri dari: letusan gunung berapi, banjir lava, angin

topan, gempa bumi dan tsunami.

2. Bencana akibat kombinasi faktor alam dan faktor ulah manusia, bencana yang

mendatangkan kerugian dan penderitaan bagi manusia dan lingkungannya, karena

kecerobohan manusia dan sikap angkuh manusia yang melakukan tindakan destruktif-

eksploitatif alam tanpa batas. Alam hanya dilihat sebagai sumber pemenuhan dan

kepuasan manusia. Bencana yang ditimbulkan antara lain: banjir dan tanah longsor.

2.3 Gambaran Umum Jemaat Lokasi Penelitian

Mengingat bahwa wilayah pelanyanan GBKP sangat luas dan tidak mungkin

untuk dijangkau secara keseluruhan, maka penulis memilih 2 tempat sebagai objek

penelitian. Ke-2 tempat yang dimaksud adalah Runggun16 Yogyakarta dan Runggun

Surabaya. Penulis memilih ke-2 tempat ini sebagai objek penelitian dengan pertimbangan

bahwa Runggun Yogyakarta berada di pusat kota Yogyakarta sebagai salah satu wilayah

yang pernah dilanda bencana besar pada tanggal 25 Mei 2005 silam dan telah menelan

banyak korban jiwa dan material. Runggun Surabaya sebagai salah satu jemaat GBKP

yang dekat dengan wilayah-wilayah yang terkena bencana alam.

2.3.1 GBKP Runggun Yogyakarta


15
Direktur Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana, Direktorat Jenderal Pemerintah Umum
Departemen DAlam Negeri, “Peran Polisi Pamong Praja dan Linmas dalam Menghadapi Bencana Alam”,
Jakarta 9-11 Mei 2005.
16
Istilah Runggun yang digunakan dalam tulisan ini menunjuk kepada Jemaat. Selanjutnya dalam tulisan ini
untuk menunjuk kepada suatu jemaat akan tetap mempergunakan istilah runggun.

14
Runggun Yogyakarta yang beralamat di Jln. Monumen Yogya kembali Nandan

09/39 Sari Harjo, Ngaglik Slemen ini, terdiri dari 23 KK dengan jumlah anggota jemaat

509 orang.17 Anggota jemaat didominasi oleh mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di

kota Yogyakarta. Rata-rata jemaat yang hadir setiap hari minggunya adalah sekitar 160-

170 orang. Kondisi ini dipengaruhi karena tidak semuanya mahasiswa yang ada aktif di

GBKP Yogyakarta.18 Majelis Jemaat yang melayani di jemaat ini berjumlah 10 orang, yang

terdiri dari 5 orang Penatua dan 5 orang Diaken, dan 1 orang PKPW (Pelayan Khusus

Penuh Waktu) yakni Pdt. Immanuel Suranta Perangin-angin, S.Th sebagai pendeta jemaat.

Dalam jemaat ini semua organisasi kategorial seperti: Mamre (Kaum Bapak),

Moria (Kaum Ibu), Permata (Kaum Pemuda), KA/KR (Anak-anak dan Remaja), dan

Pardis (orang Tua Lanjut Usia) berjalan dengan baik. Masing-masing organisasi kategorial

memiliki kepengurusan tersendiri yang bertujuan untuk memudahkan semua pelayanan

yang ada. Jemaat Yogyakarta terdiri dari 2 perpulungen/sektor pelayanan yaitu sektor

Utara dan Selatan dan masing-masing sektor juga memiliki pengurus yang bertanggung

jawab terhadap sektor pelayanannya.

2.3.2 GBKP Runggun Surabaya

Runggun Surabaya resmi ditahbiskan menjadi sebuah Runggun beserta dengan

gedung gerejanya pada tanggal 16 November 1997, tetapi gedung gereja tersebut sudah

dipergunakan sejak tanggal 25 Desember 1984. Gereja yang beralamat di Jln. Hr

Muhammad 275 Kav.411 RT.III/ RW.1 Pradah Kali Kedal ini berada dalam wilayah

pelayanan Klasis Jakarta-Bandung.

17
Berdasarkan Data Statistik Warga Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta tahun 2007
18
Madison Ginting (Ketua Majelis GBKP Yogyakarta), Wawancara Penulis Tanggal 13 Januari 2008, di
Yogyakarta.

15
Runggun Surabaya ini berjumlah 90 KK (Sektor I = 30 KK, Sektor II =42 KK dan

Sektor III = 18 KK).19 Majelis jemaat yang melayani berjumlah 19 orang, yang terdiri dari:

8 orang Penatua, 8 orang Diaken, 2 orang Penatua Emeritus dan 1 orang Diaken Emeritus.

Pelayan Khusus Penuh Waktu (PKPW) yang melayani jemaat ini adalah Pdt. Sabar

Sembiring Brahmana, S.Th. Semua Organisasi kategorial dalam jemaat ini berjalan dengan

baik, baik itu organisasi Mamre (Kaum Bapak), Moria (Kaum Ibu), Permata (Permata),

dan KA/KR (Anak-anak dan Remaja). Masing-masing organisasi kategorial tersebut

memiliki jadwal pelayanan tersendiri. Baik organisasi-organisasi kategorial maupun ke-3

sektor pelayanan yang ada memiliki kepengurusan yang bertanggung jawab mengkoordinir

pelayanan masing-masing sektor dan organisasi kategorial.

2.4 Hasil Penelitian: Pandangan dan Bentuk Solidaritas Warga Jemaat terhadap

Bencana Alam

Untuk mendapatkan pemahaman warga jemaat mengenai bencana alam dan

solidaritas terhadap korban bencana alam, maka penulis melakukan penelitian dengan

mengedarkan kuesioner dan melakukan wawancara. Jumlah kuesioner yang dibagikan

sebanyak 175, di Runggun Yogyakarta diedarkan sebanyak 100 lembar dan Runggun

Surabaya sebanyak 75 lembar. Jumlah kuesioner yang kembali sebanyak 149, di Runggun

Yogyakarta terkumpul sebanyak 85 lembar dan di Runggun Surabaya sebanyak 64 lembar.

Sementara ada 26 lembar kuesioner yang tidak kembali; 15 lembar di Runggun Yogyakarta

dan 11 lembar di Runggun Surabaya. Ada beberapa kesulitan yang dihadapi sehingga tidak

semua kuesioner terkumpul, ada responden yang belum mengisi kuesioner hingga batas

waktu pengumpulan dan ada juga yang membawa kerumah tetapi tidak dikembalikan.

19
Berdasarkan Data Statistik Warga Jemaat GBKP Runggun Surabaya Tahun 2008

16
Dari penelitian yang dilakukan dari bulan Januari–Februari 2008, penulis

memperoleh gambaran pemahaman warga jemaat GBKP tentang bencana alam dan

solidaritas kemanusiaan. Hal ini dapat ditelusuri dalam variabel-variabel di bawah ini.

Untuk memudahkan analisa data terhadap seluruh hasil penelitian maka

dipergunakan rumus:20

F Keterangan :

P= _____
X 100 % P : Prosentase Yang Dipakai

N F : Frekuensi Jawaban

N : Jumlah Sample

2.4.1 Data Responden

1. Umur Responden

Tabel 1

Kategori Umur Responden

Kategori Umur Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya


F P F P
a. 17-25 Tahun 27 31,8 % - -
b. 26-55 Tahun 42 49,4 % 39 60,9 %
c. 56-64 Tahun 11 12,9 % 17 26,6 %
d. 65 Tahun Keatas 5 5,9 % 8 12,5 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari –Februari 2008

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa, baik di runggun Yogyakarta

maupun Runggun Surabaya responden didominasi oleh jemaat yang berumur 26-55 tahun.

Di Runggun Yogyakarta jumlah responden yang berusia 26-55 tahun sebanyak 42 orang

(49,4 %) dan responden yang berusia 17-25 tahun berjumlah 27 orang (31,8 %).

Sementara di Runggun Surabaya responden yang berusia 26-55 tahun berjumlah 39 orang

(60,9 %), jauh berbeda dengan jumlah responden yang berusia lain.
20
Surachmat Winarno, Dasar dan Tehnik Research, Bandung : Tarsito, 1972, hlm.8

17
2. Jenis Kelamin Responden

Tabel 2

Kategori Jenis Kelamin Responden

Kategori Jenis Kelamin Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya


F P F P
a. Laki-laki 46 54,1 % 39 60,9 %
b. Perempuan 39 45,9 % 25 39,1 %
Jumlah 85 100 % 64 100%
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari –Februari 2008

Tabel di atas menunjukkan bahwa, di Runggun Yogyakarta dan di Runggun

Surabaya responden didominasi oleh laki-laki. Di Runggun Yogyakarta jumlah responden

laki-laki sebanyak 46 orang (54,1 %), sementara responden perempuan 39 orang (45,9 %).

Di Runggun Surabaya jumlah responden laki-laki sebanyak 39 orang (60,9 %), sementara

responden perempuan 25 orang (39,1 %).

3. Pekerjaan Responden

Tabel 3

Kategori Pekerjaan Responden

Kategori Pekerjaan Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya


F P F P
a. PNS 40 47,1 % 23 35,9 %
b. Pengawai Swasta 18 21,2 % 29 45,4 %
c. Pedagang 2 2,3 % 5 7,8 %
d. Petani - - - -
e. Lainnya….. 25 29,4 % 7 10,9 %
Jumlah 85 100 % 64 100%
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari- Februari 2008

Tabel di atas menunjukkan pekerjaan responden/jemaat. Di Runggun Yogyakarta

pekerjaan responden didominasi oleh Pegawai Negri Sipil (PNS) yaitu sebanyak 40 orang

(47,1 %). Sementara di Runggun Surabaya pekerjaan responden didominasi oleh Pegawai

18
Swasta yakni 29 orang (45,4 %); akan tetapi, responden di ke-2 Runggun di dominasi

memiliki pekerjaan sebagai PNS dan Pegawai Swasta.

4. Pendidikan Responden

Tabel 4

Kategori Pendidikan Responden

Kategori Pendidikan Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya


F P F P
a. TK/SD - - - -
b. SMP/Sederajat 12 14,1 % 10 15,6 %
c. SMU/Sederajat 23 27,3 % 11 17,2 %
d. Akademi/Perguruan 49 57,6 % 43 67,2 %
Tinggi
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa baik di ke-2 Runggun pendidikan

terakhir responden didominasi tingkat Akademi/Perguruan Tinggi. Di Runggun Yogyakarta

jumlah responden yang memiliki pendidikan terakhir Akademi/Perguruan Tinggi adalah

sebanyak 49orang (57,6 %) dan di Runggun Surabaya sebanyak 43 orang (67,2 %).

5. Status Responden dalam Jemaat

Table 5

Kategori Status Responden dalam Jemaat

19
Kategori Status dalam Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya
Jemaat F P F P
a. Majelis Jemaat 10 11,8 % 19 29,7 %
b. Pengurus Organisasi 20 23,5 % 13 20,3 %
c. Anggota Jemaat Biasa 55 64,7 % 32 50 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Tabel di atas menunjukkan bahwa, status responden dalam jemaat didominasi

oleh anggota jemaat biasa. Hal di atas juga berlaku baik di Runggun Yogyakarta dengan

jumlah responden jemaat biasa sebanyak 55 orang (64,7 %) dan di Runggun Surabaya

jumlah responden sebagai jemaat biasa berjumlah 32 orang (50 %).

2.4.2 Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam

1. Pemahaman warga jemaat mengenai bencana alam

Tabel 6

Kategori Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam

Kategori tentang Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya


Pemahaman Bencana Alam F P F P
a. Bencana merupakan 34 40 % 12 18,7 %
proses alamiah
b. Bencana Merenggut - - - -
nyawa manusia
c. Bencana merusak 21 24,7 % 24 37,5 %
tatanan hidup
d. Jawaban a dan b benar 23 27,1 % 20 31,3 %
e. Lainnya 7 8,2 % 8 12,5 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber:hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, melalui pertanyaan pemahaman warga

jemaat tentang bencana alam ada perbedaan pemahaman diantara ke-2 Runggun. Jawaban

responden/jemaat di Runggun Yogyakarta didominasi dengan jawaban bahwa bencana

alam merupakan proses alamiah yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian, dengan

20
jumlah responden 34 orang (40 %). Sedangkan di Runggun Surabaya 24 orang (37,5 %)

menjawab bahwa bencana alam merusak tatanan kehidupan manusia dan ciptaan lain.

Jawaban para responden tersebut hampir sama dengan pendapat para ahli yang telah

disinggung sebelumnya mengenai definisi bencana alam.

Gambar di atas menunjukan kondisi pasca gempa bumi di Yogyakarta , Mei 2006

2. Penyebab terjadinya bencana alam: gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor

dan letusan gunung berapi.

Tabel 7

Kategori Penyebab Terjadinya Bencana Alam

21
Kategori Penyebab Bencana Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya
Alam F P F P
a. Hukuman Tuhan 17 20 % 11 17,2 %
b. Ulah manusia 3 3,5 % 4 6,3 %
c. Gejala alam 4 4,7 % 3 4,7 %
d. Faktor alam dan manusia 56 65,9 % 37 51,8 %
e. Lainnya 5 5,9 % 9 14,1 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Tabel di atas merupakan jawaban dari pertanyaan penyebab terjadinya bencana

alam (gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami dan letusan gunung berapi). Baik di

Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya, jawaban responden tentang penyebab

bencana alam didominasi oleh faktor alam dan manusia. Jumlah responden dengan

jawaban tersebut di Runggun Yogyakarta sebanyak 56 orang (65,9 %) dan di Runggun

Surabaya berjumlah 37 orang (51,9 %). Sementara responden berjumlah 17 orang (20 %)

di Runggun Yogyakarta berpendapat bencana alam sebagai hukuman Tuhan dan 11 orang

(17,2 %) di Runggun Surabaya yang menjawab demikian.

3. Pemahaman Bencana Alam Yogyakarta dan Lumpur Lapindo.

Tabel 8

Kategori Bencana Alam Yogyakarta dan Lumpur Lapindo

Kategori Bencana Alam Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya


Yogyakarta dan Lapindo F P F P
a. Murka Alam 4 4,7 % 6 9,4 %

22
b. Proses Alamiah 52 61,1 % - -
c. Hukuman Tuhan 21 24,7 % 15 23,4 %
d. Penyalahgunaan IPTEK - - 43 67,2 %
e. Lainnya 7 8,2 % - -
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Tabel di atas menunjukkan pemahaman warga jemaat tentang bencana alam yang

terjadi di Yogyakarta dan Lumpur Lapindo di Surabaya. Dapat dilihat bahwa di Runggun

Yogyakarta paling banyak responden memahami bahwa bencana alam di Yogyakarta pada

akhir bulan Mei 2005 merupakan suatu proses alamiah yaitu sebanyak 52 orang ( 61,2 %)

Sementara responden yang menjawab bencana alam Yogyakarta sebagai hukuman Tuhan

sebanyak 21 orang (24,7 %), dengan alasan sebagai peringatan agar lebih mendekatkan diri

kepada Tuhan.

Pemahaman responden di Runggun Surabaya tentang Lumpur Lapindo

didominasi oleh jawaban akibat penyalahgunaan IPTEK, yakni sebanyak 43 orang (67,2

%). Sedangkan 15 orang (23,4 %) melihatnya sebagai hukuman Tuhan. Warga jemaat yang

melihat Lumpur Lapindo sebagai hukuman Tuhan memahami bahwa kerakusan manusia

yang mengeksploitasi alam dengan memakai alat-alat teknologi mutahir tidak lagi menjaga

kelestarian alam sebagai ciptaan Tuhan. Hal ini dilihat sebagai alasan bagi Allah untuk

menghukum dan mengingatkan manusia.21

Pertanyaan selanjutnya (9) masih berkaitan dengan pertanyaan di atas

mengenai pendapat warga jemaat tentang bencana alam, khususnya tsunami di Aceh. Di

Runggun Yogyakarta 48 orang berpendapat bahwa tsunami di Aceh merupakan hukuman

Tuhan bagi warga Aceh, dengan alasan bahwa pemeluk agama Islam di sana melarang

kekristenan bertumbuh; melarang umat Kristen merayakan natal; Aceh mempunyai banyak

21
Data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga jemaat Runggun Surabaya,
tanggal 3 dan 6 Februari 2008.

23
dosa karena sebagai daerah pemasok ganja dan untuk mengingatkan masyarakat Aceh agar

tidak sombong dan lupa kepada Allah. Sedangkan 37 orang berpendapat bahwa tsunami di

Aceh terjadi sebagai proses alamiah dan didukung oleh prilaku manusia yang

mengeksploitasi alam terus-menerus.22

Sementara di Runggun Surabaya, 41 orang berpendapat tsunami Aceh terjadi

sebagai hukuman Tuhan dengan berbagai alasan yang tidak jauh berbeda dengan warga

jemaat di Runggun Yogyakarta, di antaranya:23 banyak masyarakat di aceh yang tidak lagi

bermoral karena di Aceh sering terjadi pertikaian dan peperangan; masyarakat muslim di

Aceh memusuhi mereka yang non Muslim; kesombongan sebagai daerah istimewa dan

sebagai daerah serambi Mekah yang mayoritas Muslim; pemeluk agama Islam di Aceh

melarang Kekristenan, khususnya pelarangan merayakan hari Natal pada bulan Desember

2006 silam, sehingga bencana ini dilihat sebagai momentum bagi Allah untuk menghukum

orang Aceh. Sedangkan 23 orang beranggapan bahwa tsunami di Aceh merupakan suatu

proses alamiah dan akibat ulah manusia yang merusak alam sehingga bencana tersebut

dapat dijelaskan secara ilmu pengetahuan.

5. Dari mana pemahaman warga jemaat tentang bencana alam dibangun.

Tabel 10

Kategori pemahaman warga jemaat tentang dari mana pemahaman bencana dibangun.

Dari mana Pemahaman Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya


Warga Jemaat di Banggun F P F F
a. Alkitab/ Ajaran Gereja 38 44,7 % 28 43,8 %
b. Pendidikan Formal 27 31,8 % 21 32,8 %
22
Data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga jemaat Runggun Yogyakarta,
tanggal 13 Januari 2008.
23
Data yang diperoleh berdasarkan hasil Quesioner dan wawancara penulis dengan beberapa Warga
Jemaat Runggun Surabaya, tangggal 3 dan 6 Februari 2008.

24
c. Pengalaman 14 16,4 % 11 17,2 %
d. Lainnya 6 7,1 % 4 6,2 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, mengenai dari mana pemahaman warga

jemaat tentang bencana alam dibanggun baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun

Surabaya, jawaban responden didominasi oleh jawaban bahwa pemahaman mereka di

bangun melalui alkitab/ajaran gereja dan pendidikan formal. Di Runggun Yogyakarta

responden yang menjawab melalui alkitab/ajaran gereja berjumlah 38 orang (44,7 %) dan

melalui pendidikan formal berjumlah 27 orang (31,8 %) dan di Runggun Surabaya melalui

alkitab/ajaran gereja berjumlah 28 orang (43,8 %) dan melalui pendidikan formal sebanyak

21 orang (32,8 %).

Pertanyaan selanjutnya (11) adalah mengenai pendapat warga jemaat tentang

bencana alam menurut pemahaman budaya suku Karo. Di Runggun Yogyakarta, 26 orang

menjawab bahwa bencana alam berkaitan dengan kepercayaan nenek moyang yang

menghargai, menghormati dan mencintai alam. Sedangkan 59 orang mengaku tidak

memahami tentang budaya Karo. Sementara di Ruggun Surabaya, 50 orang memahami

bahwa bencana alam terjadi akibat kemarahan nenek moyang sebab manusia tidak lagi

memelihara alam dan tidak menjaga keseimbangan alam. Sedangkan 14 orang tidak tahu

kaitannya dengan budaya Karo.

2.4.3 Pemahaman dan Bentuk Solidaritas Warga Jemaat Terhadap Korban

Bencana Alam

1. Perasaan Jemaat Terhadap Korban Bencana Alam

Tabel 12

Kategori Perasaan Warga Jemaat

25
Perasaan Terhadap Korban Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya
Bencana Alam F P F P
a. Sedih 11 12,9 % 3 4,7 %
b. Prihatin 62 72,9 % 54 84,4 %
c. Takut dan cemas - - - -
d. Biasa-biasa saja 5 5,9 % 3 4,7 %
e. Lainnya 7 8,2 % 4 6,3 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, perasaan warga jemaat terhadap korban

bencana alam, baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya jawaban

responden didominasi oleh perasaan prihatin. Jumlah responden yang merasa prihatin

terhadap korban bencana alam di Runggun Yogyakarta sebanyak 62 orang (72,9 %) dan di

Runggun Surabaya berjumlah 54 orang (84,4 %).

Gambar di atas adalah POSKO bantuan Gambar di atas menunjukan beberapa


yang di bentuk oleh GBKP warga jemaat membersihkan puing puing
reruntuhan rumah penduduk

2. Bentuk Solidaritas Terhadap Korban Bencana Alam yang Terjadi di Yogyakarta dan

Sidoarjo

Tabel 13

Kategori Bentuk Solidaritas

26
Bentuk Solidaritas Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya
F P F P
a. Dukungan Moral 23 27,1 % 12 18,8 %
b. Dukungan Material 15 17,7 % 15 23,4 %
c. Terjun Kelapangan 15 17,7 % - -
d. Berdiam Diri - - - -
e. a dan b 32 37,6 % 37 57,8 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Tabel di atas menunjukkan bahwa, bentuk solidaritas di ke-2 Runggun terhadap

korban bencana alam lebih banyak berupa dukungan moral dan material, yaitu di Runggun

Yogyakarta dengan jumlah responden 32 orang (37,6 %) dan di Runggun Surabaya

sebanyak 37 orang (57,8 %). Namun ada juga perbedaan di antara ke-2 Runggun tersebut,

responden di Runggun Yogyakarta ada 15 orang (17,7 %) yang menyatakan solidaritas

dengan langsung terjun ke lapangan, sementara di Runggun Surabaya sama sekali tidak

ada responden yang terjun kelapangan. Adanya perbedaan ini dipengaruhi oleh kenyataan

bahwa gempa bumi di Yogyakarta dominan dipahami sebagai suatu proses alamiah yang

tidak dapat dihindari, sedangkan menurut responden di Surabaya penyebab lumpur lapindo

lebih dominan dipahami karena kelalaian manusia sendiri.

3. Kriteria dalam Menyatakan Solidaritas : SARA ?

Pada Pertanyaan berikutnya adalah apakah bentuk Solidaritas jemaat ditentukan

oleh latar belakang Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Di Runggun

Yogyakarta 38 orang (44,7 %) menjawab bahwa Solidaritas ditentukan oleh SARA. Ada 47

orang (55,3 %) menjawab bahwa solidaritas tidak ditentukan oleh latar belakang SARA

dengan alasan semua manusia merupakan ciptaan Tuhan dan pada kenyataanya bencana

juga menimpa seseorang tanpa melihat latar belakang SARA. Pandangan seperti ini sangat

dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan sosial jemaat yang umumnya berada dalam

27
lingkungan yang plural. Sedangkan di Runggun Surabaya, 34 orang ( 53,1 %) menjawab

solidaritas ditentukan oleh latar belakang SARA dan 30 orang (46,8 %) menjawab bahwa

semua orang yang menderita harus ditolong sebagai wujud kasih yang diajarkan oleh

Yesus Kristus tanpa membeda-bedakan apapun termasuk SARA. Baik di Runggun

Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya, responden yang menjawab bahwa solidaritas

ditentukan oleh latar belakang SARA memberi beberapa alasan yakni: bantuan yang

diberikan kepada mereka yang memiliki latar belakang SARA yang sama dengan kita akan

lebih terjamin dan sampai pada sasaran dan SARA dipandang sebagai suatu ikatan yang

sangat menyentuh emosi setiap orang.24

4. Jenis Bantuan yang Paling Tepat diberikan kepada Korban bencana alam

Baik di Runggun Yogyakarta maupun Runggun Surabaya, melihat bahwa jenis

bantuan yang paling tepat diberikan kepada korban bencana alam adalah kebutuhan pokok

(sandang dan pangan), serta memberi dukungan moral (doa) dengan maksud untuk

menghindari terjadinya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dan memberi semangat.

Hal-hal tersebut dinilai sebagai kebutuhan yang paling penting setelah para korban

bencana alam kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, sanak saudara, trauma dan lainnya.

5. Tindakan Gereja terhadap Korban Bencana Alam: Bantuan jangka pendek (karikatif)

dan jangka panjang ( pemulihan secara holistik)

Di Runggun Yogyakarta, 29 orang (34,1 %) dari 85 responden menjawab bahwa

gereja sudah bertindak dengan memberi bantuan berupa doa maupun material, contohnya

24
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa warga jemaat.

28
ketika terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada bulan Mei 2006, Runggun Yogyakarta

khususnya bekerja sama dengan PARPEM GBKP (bidang Partisipasi Pembangunan)

mendirikan POSKO di Bantul. Sementara 56 orang (65,9 %) menjawab gereja sudah

bertindak tetapi tidak berkelanjutan.

Sementara di Runggun Surabaya, 49 orang (76,6 %) dari 64 responden menjawab

gereja sudah memberi bantuan kepada korban bencana alam berupa moral dan material.

Ada 15 orang (23,4 %) menjawab bahwa gereja belum memiliki sarana yang memadai

untuk memberi bantuan yang maksimal kepada korban bencana alam.

Gambar di atas adalah Barang-barang yang akan


gedung sekolah yang hancur akibat gempa dibagikan kepada korban

6. Cara Penyaluran Solidaritas : Pribadi (Individu) atau Institusi ( Gereja).

Pada tabel berikutnya tentang cara penyaluran solidaritas. Di Runggun

Yogyakarta, sebanyak 19 orang (22,4 %) menjawab bantuan diberikan secara pribadi. Ada

45 orang (52,9 %) menjawab secara institusi serta 21 orang (24,7 %) menjawab bantuan

29
diberikan secara pribadi maupun institusi. Sementara, di Runggun Surabaya, 17 orang

(26,6 %) menjawab bantuan diberikan secara pribadi, 43 orang (67,2 %) memberi bantuan

secara institusi dan 4 orang (6,3 %) memberi bantuan secara pribadi maupun institusi.

Mereka yang memilih menyalurkan bantuan secara institusi beralasan bahwa penyaluran

bantuan akan lebih terorganisir, efisien dan bantuan yang diberikan dalam jumlah yang

lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah bantuan secara pribadi dan mereka yang

memilih memberi bantuan secara pribadi beralasan bahwa gereja dianggap terlalu lamban

bertindak dan kebutuhan yang akan diberikan dianggap lebih bermanfaat bagi korban dan

tepat sasaran sehingga dapat langsung dipergunakan oleh para korban.

7. Peran Gereja dalam Mensosialisasikan bencana Alam

Tabel 17

Kategori Pengsosialisasian Bencana Alam oleh Gereja

Pengsosialisasian Bencana Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya


Alam F P F P
a. Belum pernah 17 20 % 13 20,3 %
b. Sering 29 34,1 % 18 28,1 %
c. Jarang 39 45,9 % 33 51,6 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa, di Runggun Yogyakarta responden

didominasi oleh jawaban bahwa gereja masih jarang melakukan pengsosialisasian bencana

alam yakni berjumlah 39 orang (45,9 %) . Sementara di Runggun Surabaya responden

yang menjawab gereja masih jarang mensosialisasikan bencana alam kepada jemaat

berjumlah 33 orang (51,6 %). Perbandingan antara jumlah responden yang menjawab

sudah sering dan masih jarang jauh berbeda, khususnya di Runggun Surabaya.

30
8. Cara Mencegah atau Mengatasi Bencana Alam

Tabel 18

Kategori Cara Mencegah atau Mengatasi Bencana Alam

Cara Mencegah/ mengatasi Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya


Bencana Alam F P F P
a. Perlu 85 100 % 64 100 %
b. Tidak perlu - - - -
c. Lainnya - - - -
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Tabel di atas menunjukkan bahwa baik di Runggun Yogyakarta maupun di

Runggun Surabaya seluruh responden menjawab bahwa mereka merasa perlu untuk

mengetahui cara-cara mencegah atau mengatasi bencana alam.

9. Sosialisasi atau Penjelasan Gereja tentang Bencana Alam

Tabel 19

Kategori Sosialisasi Gereja Tentang Bencana Alam

31
Sosialisasi Gereja tentang Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya
Bencana Alam F P F P
a. Melalui Khotbah 44 51,8 % 17 26,6 %
b. Melalui PA/Diskusi 19 22,4 % 24 37,5 %
c. Seminar/ Ceramah 10 11,8 % 8 12,5 %
d. Lainnya 12 14,1 % 15 23,4 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa selama ini cara gereja dalam

memberi penjelasan atau mensosialisasikan bencana alam di ke-2 Runggun berbeda. Di

Runggun Yogyakarta 44 orang (51,8 %) responden menjawab bahwa gereja memberi

penjelasan mengenai bencana alam melalui khotbah dan melalui PA/diskusi berjumlah 19

orang (22,4 %). Sementara di Runggun Surabaya, responden menjawab selama ini gereja

justru memberi penjelasan tentang bencana alam lebih banyak melalui PA atau diskusi

yakni 24 orang (37,5 %) dibanding dengan melalui khotbah yang berjumlah 17 orang (26,6

%). Walaupun sebenarnya selisih jumlah ini tidak terlalu jauh

2.5 Rangkuman

Warga jemaat dalam memahami bencana alam, umumnya lebih dominan melihat

peristiwa tersebut sebagai suatu proses alamiah dan dipicu oleh prilaku manusia yang tidak

32
menghargai alam, daripada melihatnya sebagai hukuman Tuhan. Hal ini menunjukkan

bahwa, pemahaman warga jemaat sudah mulai terbuka. Tetapi perkembangan tersebut

belumlah merata. Oleh karena itu, pemahaman tentang bencana alam sebagai hukuman

Tuhan karena dosa manusia, akan lebih banyak dikaji dari pada pengaruh proses alamiah

atau prilaku manusia.

Peristiwa bencana alam umumnya menimbulkan dampak yang sangat serius baik

bagi manusia maupun bagi ciptaan lainnya. Khususnya dalam kaitan menunjukkan

solidaritas, umumnya warga jemaat sudah mewujudkannya tetapi, bantuan yang diberikan

selama ini belum maksimal dan masih bersifat karitatif dan temporer. Ada beberapa faktor

yang mempengaruhi pemahaman dan bentuk solidaritas warga jemaat tersebut. Faktor-

faktor yang dimaksud dianalisa dalam bab selanjutnya.

33
BAB III

ANALISA TERHADAP PEMAHAMAN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN GBKP

RUNGGUN YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA

Dalam bagian ini penulis menganalisa hasil penelitian yang telah dilakukan,

seperti yang terlihat pada kolom-kolom dan penjabaran dalam BAB II. Berdasarkan hasil

penelitian yang telah dilakukan maka ada dua hal mendasar yang dapat dijabarkan yaitu

pemahaman tentang bencana alam dan bentuk tindakan solidaritas kemanusiaan. Dari hasil

penelitian tersebut maka ada beberapa faktor yang dianalisa dalam bagian ini berkaitan

dengan pemahaman warga jemaat. Faktor-faktor yang dimaksud adalah faktor pendidikan,

faktor sosial-ekonomi, sistem manajemen organisasi gereja, faktor budaya dan faktor

tradisi dan ajaran alkitab.

3.1 Faktor Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi dan menentukan cara pandang serta cara

pikir seseorang dalam menanggapi setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kehidupan,

dalam hal ini untuk memandang bencana alam yang terus-menerus melanda masyarakat

Indonesia. Cara pandang mereka yang hanya mengenyam tingkat pendidikan Sekolah

Menenggah Pertama (SMP) dengan mereka yang sempat mengenyam bangku pendidikan

sampai di Perguruan Tinggi (PT) pasti akan sangat berbeda.25

Faktor pendidikan ini sangat jelas terlihat pada perbedaan pemahaman warga

jemaat tentang penyebab terjadinya bencana alam. Memang secara umum jemaat GBKP di

25
Pt. Madison Ginting, wawancara Penulis Tanggal 13 Januari 2008 di Yogyakarta.

34
ke-2 Runggun tersebut sudah menikmati dan memiliki pendidikan yang tinggi tetapi masih

ada juga anggota jemaat yang masih berpendidikan rendah. Pada umumnya jawaban warga

jemaat didominasi oleh pemahaman bahwa bencana alam disebabkan oleh faktor alam.

Sangat dapat dipahami bahwa mereka yang melihat bencana alam sebagai suatu proses

alamiah (dan yang didukung oleh prilaku manusia), umumnya berpendidikan tinggi yang

tentunya dipengaruhi juga oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang mereka peroleh dari bangku

pendidikan. Mereka selalu berusaha mencari jawaban ilmiah terhadap suatu peristiwa,

misalnya jawaban ilmu pengetahuan (geologi) terhadap penyebab terjadinya bencana alam.

Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi pemahaman tentang bencana alam dan

berkaitan erat dengan faktor pendidikan ini adalah kemajuan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi (IPTEK). Bencana alam walaupun tidak dapat diprediksi kedatangannya tetapi

dapat dijelaskan penyebab dan proses terjadinya. Bencana alam seperti gempa bumi,

tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan tanah longsor dapat dijelaskan dengan bantuan

IPTEK. Ilmu pengetahuan dapat menjelaskan secara gamblang dan memberikan bukti

yang kuat mengapa wilayah Indonesia sangat rentan terjadinya berbagai bencana alam.

Menurut ilmu geologi, hal ini dipengaruhi oleh letak geologis Indonesia yang ada diantara

3 lempeng dunia yang cukup aktif (Triple Junction Plate Convergence). Tiga lempengan

tersebut yang dimaksud adalah lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng

Pasifik yang bergerak relatif ke barat dan utara terhadap eurasia . 26

Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor juga dapat dijelaskan penyebabnya.

Selain karena memang faktor gejala alam itu sendiri, jenis bencana alam tersebut terjadi

karena dipicu oleh perilaku manusia, misalnya: pola hidup masyarakat yang dipengaruhi

oleh budaya konsumeristik, penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah

26
Subandono Diposaptono Budiman, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, Bogor: Sarana Komunikasi
Utama, 2008, hlm. 15

35
sembarangan dan tindakan lainnya. Menurut Palulun Boroh dalam buku Teologi

Kehidupan: Melestarikan Lingkungan hidup, berpendapat bahwa terjadinya bencana alam

yang pernah dan sedang dialami oleh dunia sekarang ini, bahkan akan terus meningkat

pada masa yang akan datang, ternyata akar masalahnya lebih dominan pada ulah manusia

sendiri yang dengan semena-mena memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya alam

(SDA) tanpa mengindahkan norma-norma ekosistem yang ada.27 Pandangan tersebut

diungkapkan dalam sebuah kalimat oleh Mahatma Gandhi bahwa:28

“ Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup menyediakan untuk
ketamakan setiap orang ”.

Jelaslah bahwa, bencana alam merupakan suatu proses alamiah juga didukung oleh

perilaku manusia yang tidak menghargai alam demi kesejahtraan hidupnya. Manusia

memiliki peran yang sangat besar atas kehancuran yang sedang terjadi pada alam (hal ini

sama seperti yang dipahami oleh warga jemaat berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan. lih. tabel 7 tentang penyebab terjadinya Bencana alam).

Warga jemaat yang memiliki pemahaman bencana alam sebagai hukuman Tuhan

umumnya berpendidikan rendah dan juga dominan berusia 56 tahun keatas. Walaupun

mereka sudah bersentuhan langsung dengan kemajuan zaman dan IPTEK yang dapat

memberi penjelasan secara ilmiah, namun realitasnya pemahaman tradisional yang sudah

lama membentuk pola pikir mereka sulit untuk diubah.

Pengalaman adalah bagian dari proses pendidikan. Pengalaman akan bencana alam

yang telah terjadi menjadi ajang pembelajaran bagi masyarakat. Pengalaman ini dapat

membantu masyarakat kita untuk mengenali bencana alam sehingga tidak tergesa-gesa

27
Palulun Boroh, “ Sumber Bencana : Kerusakan Hutan dan Perubahan Iklim “, dalam Teologi Kehidupan:
Melestarikan Lingkungan Hidup, penyunting: Markus Rani, SulSel: SULO, 2006, hlm. 85.
28
Victor Tinambunan, GEREJA DAN ORANG PERCAYA: Oleh Rahmat Menjadi Berkat Ditenggah Krisis
Multi Dimensi, L-SAPA STT HKBP, Pematangsiantar, 2006, hlm. 62.

36
dalam menyimpulkan apakah bencana alam suatu hukuman, merupakan bagian dari proses

alamiah atau bahkan akibat dari perilaku manusia sendiri. Dari pengalaman ini akhirnya

timbul pengetahuan dalam menghadapi bencana alam sehingga dapat mengurangi jumlah

korban jiwa maupun material bahkan juga mengurangi kerusakan pada alam itu sendiri.

Faktor pendidikan dalam mewujudkan solidaritas kepada korban bencana alam juga

memiliki peran yang sangat penting. Dari hasil penelitian dan pengamatan penulis, warga

jemaat dominan berpendidikan tinggi. Kenyataan ini tentunya memberi gambaran bahwa

warga jemaat memiliki potensi dan sumber daya. Dengan kata lain, potensi mereka dapat

digunakan untuk membantu para korban apakah itu dari segi kesehatan, keterampilan,

pekerjaan atau aspek lainnya. Hanya saja potensi tersebut belum dimaksimalkan.

3.2 Faktor Sosial-Ekonomi

Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan harus

berinteraksi dengan sesama sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tampaknya telah disadari oleh

warga jemaat secara umum. Banyaknya penderitaan yang dialami masyarakat, khususnya

yang ditimbulkan oleh berbagai bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini,

telah mendorong warga jemaat untuk bersolider terhadap mereka yang menjadi korban.

Berbagai usaha telah dilakukan untuk membantu meringankan penderitaan mereka, baik

berupa moral maupun material (misalnya: membuka dapur umum, melakukan kunjungan

kasih, pembagian sembako, membantu pembuatan tenda-tenda pengungsian dan lain-

lain).29

Kepekaan sosial (walaupun masih dibayang-bayangi oleh SARA - pokok ini akan

dibahas dalam faktor budaya) yang dimiliki oleh warga jemaat menunjukkan bahwa

29
Berdasarkan hasil laporan kegiatan panitia Posko GBKP peduli korban bencana alam Runggun Yogyakarta.

37
memang ada usaha untuk membantu meringankan atau ikut mengambil bagian dalam

penderitaan orang lain, tetapi pelayanan yang dilakukan belum maksimal. Para korban

belum bisa sepenuhnya keluar dari penderitaanya. Tindakan yang selama ini dilakukan

menunjukkan, bahwa masih minimnya pelayanan yang bersifat memberdayakan para

korban, jenis pelayanan masih bersifat derma. Salah satu faktor penting yang selalu

menjadi kendala dalam melakukan pelayanan adalah ekonomi. Tidak dapat dipungkiri

bahwa, kemampuan dari segi ekonomi akan sangat menentukan tingkat pelayanan yang

dapat dilakukan oleh gereja. Sejauh mana gereja dapat menjangkau pergumulan para

korban. Tetapi jika dilihat dari segi ekonomi/pekerjaan warga jemaat di ke-2 Runggun

walaupun tidak merata (lih. tabel 3 tentang Pekerjaan Responden), mereka mestinya

mampu memberikan pelayanan yang lebih baik.

Sangat disayangkan bantuan atau pelayanan gereja yang diberikan selama ini,

belum maksimal dan tidak berkelanjutan. Jenis bantuan hanya bersifat diakonia karikatif

dan temporal yang diberikan secara spontan ketika bencana alam terjadi karena keadaan

terdesak, darurat, dan para korban sangat tidak berdaya. Namun, pasca bencana tidak ada

tindak lanjut dari pelayanan. Belum ada tanda-tanda akan dilakukan pelayanan

transformatif dan berkelanjutan yang lebih bersifat membekali, memampukan dan

memberdayakan, agar para korban memiliki keterampilan dan kemampuan baru untuk

dapat membangun sendiri hidupnya sesuai dengan potensi yang mereka dimiliki. Kurang

memadainya sarana dan prasarana untuk memberikan bantuan mestinya bukan menjadi

alasan yang tepat sehingga pelayanan yang dilakukan gereja pada akhirnya tidak maksimal

dan tidak berkelanjutan. Warga jemaat yang memiliki kepekaan sosial dan perekonomian

yang memadai dapat diberdayakan dan difungsikan.

38
3.3 Faktor Budaya

Pada umumnya, budaya masyarakat di Nusantara masih turut membangun sikap

moral dan kepercayaan masyarakat. Dalam setiap budaya umumnya memiliki sejumlah

peraturan dan konsekwensi baik positif (kebahagiaan dan kemakmuran) maupun negatif

(malapetaka dan penderitaan). Partisipasi aktif manusia melalui tingkah laku dalam aturan

raya ini, menjadi berarti karena manusia dilihat sebagai bagian dari kesatuan ini dan

mempunyai kewajiban untuk menjaga relasi harmoni kosmis. Kelalaian dianggap fatal dan

membawa resiko baik untuk dirinya sendiri maupun dalam skala lebih besar yakni

masyarakat, misalnya dalam bentuk bencana alam, kegagalan panen, penyakit bahkan

kematian.30

Pemahaman tersebut juga masih dipegang teguh oleh budaya Batak Karo. Bagi

suku Karo setiap perbuatan akan mendatangkan akibat yang setimpal, seperti terungkap

dalam pepatah adat adi ngalo la rido, ngalar la rutang, yang bermakna kalau kita

memperoleh sesuatu secara tidak sah atau tidak wajar, maka akan datang bala atau

bencananya. Oleh karena itu, pepatah Karo juga mengatakan pangan labo ate keleng, tapi

angkar beltek, yang bermakna kita boleh melakukan apa saja tetapi harus memikirkan

dampak dari apa yang akan ditimbulkannya.31

Salah satu dari nilai-nilai budaya yang masih dipelihara sampai pada saat ini adalah

penghargaan yang sangat tinggi terhadap alam. Dalam pandangan tradisionil pengerusakan

terhadap alam diyakini akan mendatangkan musibah bagi masyarakat. Untuk menghindari

musibah tersebut maka dibuat aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh semua masyarakat.

Masih kuatnya pengaruh budaya ini terlihat jelas dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

30
Ati Hildebrandt Rambe:”Salib Tanpa Tubuh? Melampaui Pendekatan Rasional dalam Pelayanan Gereja
Menghadapi Penderitaan”, dalam Ati Hildebrandt Rambe dkk. (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman
dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar, Oase Intim, 2006, hlm. 301.
31
Darwan Prinst, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2004, hlm. 66

39
penulis di ke-2 Runggun. Memang ada perbedaan jumlah yang mencolok. Lebih

banyaknya jemaat di Surabaya yang mengkaitkan antara bencana dengan budaya suku

Karo dibanding dengan jemaat Yogyakarta dipengaruhi karena responden di Runggun

Yogyakarta banyak dari kaum muda, khususnya mahasiswa (walaupun tidak dominan)

yang kurang memahami budaya Karo. Sementara di Runggun Surabaya didominasi oleh

orang tua yang masih tetap memegang kuat nilai-nilai budaya sekalipun tidak lagi berada

di tanah Karo. Melalui pemahaman tradisionil ini terlihat jelas nilai-nilai budaya Karo

sangat menganjurkan agar manusia solider terhadap alam.

Selain penghargaan yang tinggi terhadap alam, budaya Karo juga sangat memegang

tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan sikap gotong royong. Meskipun masyarakat Karo yang

sudah tinggal dalam lingkungan sosial yang pluralis dan juga sudah sangat dipengaruhi

oleh nilai-nilai kristiani agar solider terhadap siapa saja dan mewujudkan cinta kasih tanpa

membeda-bedakan, akan tetapi perasaan kekeluargaan terhadap saudara yang sesuku masih

sangat kuat dan menonjol. Biasanya ada suatu ikatan yang kuat dirasakan oleh setiap orang

Karo terhadap sesukunya yaitu ikatan emosional. Rasa kekeluargaan antar sesama orang

Karo ini terlihat jelas dalam kehidupannya sehari-hari. Apalagi ketika muncul penderitaan

seperti bencana alam, maka perasaan senasib dan sepenanggungan antar orang Karo akan

segera terlihat, ditambah lagi jika sama-sama berada di daerah perantauan.32 Realitas

seperti ini menunjukkan bahwa suku Karo masih bersifat “eksklusif “ terhadap orang di

luar sukunya. Tetapi di dalam “keeksklusifannya” ini bukan berarti bahwa orang Karo

sama sekali tidak peduli terhadap orang lain diluar komunitas sukunya. Orang Karo yang

tergabung dalam GBKP Runggun Yogyakarta telah membentuk POSKO GBKP PEDULI

BENCANA untuk membantu korban bencana alam, akan tetapi kepedulian tersebut masih

32
Arbi Banggun, wawancara penulis tanggal 10 Januari 2008 di Yogyakarta.

40
jauh dari semestinya. Pelayanan yang diberikan kepada korban yang berada di dalam

komunitas gereja dan suku Karo sangat jauh berbeda dengan di luar komunitas tersebut.

Akibat dari kuatnya ikatan emosional ini maka tidaklah mengherankan jika masih banyak

warga jemaat yang melihat bahwa solidaritas masih dipengaruhi oleh latar belakang

SARA.

3.4 Sistem Manajemen Organisasi Gereja

Pada dasarnya peraturan-peraturan di dalam organisasi gereja sangatlah penting

sebagai sarana untuk menciptakan keteraturan. Tetapi di sisi lain ternyata peraturan juga

berpotensi sebagai penghambat dalam mewujudkan visi dan misi gereja itu sendiri.

GBKP adalah salah satu gereja yang menganut sistem Presbiterial Sinodal, di mana

sistem kerja yang berlaku adalah dari atas ke bawah (Sinode-Jemaat). Dalam

melaksanakan fungsinya, GBKP menyusun aturan-aturan yang menjadi pegangan dan

patokan sekaligus merupakan komitmen yang berlaku dan wajib dipatuhi oleh seluruh

warga GBKP, baik sebagai pelayan maupun anggota jemaat.33 Secara organisasi gereja,

baik Runggun Yogyakarta maupun Runggun Surabaya sudah berjalan dengan teratur.

Dalam melaksanakan kegiatan pelayanan ke-2 Runggun mengacu pada peraturan-

peraturan yang berlaku. Ketatnya birokrasi gereja yang harus dipatuhi dan dilaksanakan

kadang-kadang menyebabkan timbulnya benturan ketika berhadapan dengan realitas.

Sebagai contoh, ketika terjadi bencana alam di Yogyakarta, jemaat di Runggun Surabaya

tidak langsung bertindak ketika bencana terjadi tetapi setelah ada pemberitahuan resmi dari

majelis jemaat.34 Adanya benturan ini muncul karena keputusan atau kebijakan yang akan

33
Moderamen GBKP, Tata Gereja GBKP 2005-2010, Kabanjahe, 2005, hlm. 2.
34
Hendri Ginting, wawancara penulis tanggal 7 Februari 2008 di Yogyakarta.

41
diambil harus melalui prosedur yang telah diatur (misalnya melalui rapat-rapat majelis dan

aturan-aturan sejenisnya).

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Pdt. Sabar Sembiring Brahmana

bahwa:35

“Ketika terjadi bencana di Yogyakrta, kami (Runggun Surabaya) belum bisa melakukan apa-apa
karena harus menunggu dulu surat pemberitahuan dari Moderamen, barulah akan disampaikan kepada
warga jemaat.”

Menurut beliau bahwa, kenyataan GBKP yang menganut sistem Presbiterial

Sinodal menjadi salah satu penyebabnya.

Realitas di atas menunjukkan bahwa, ketatnya peraturan yang harus dipatuhi dan

dilaksanakan telah menyebabkan aturan itu sendiri menjadi kaku dan birokrasi menjadi

“penghambat” solidaritas. Hal ini berpengaruh karena jika ada warga jemaat yang

memiliki kepekaan sosial dan kemampuan secara ekonomi maupun memiliki sumber daya

yang lain untuk memberikan bantuan melalui institusi gereja, kadang-kadang harus

“tertunda”. Otonomi gereja (jemaat) untuk mengambil keputusan sendiri dalam kondisi-

kondisi tertentu mestinya difungsikan dengan lebih baik, sehingga gereja benar-benar

menjadi pendukung warga jemaatnya dalam mewujudkan visi dan misi gereja itu sendiri.

Selain faktor di atas, hambatan lain mengapa gereja masih lambat dalam menangani

korban bencana alam adalah adanya ketakutan akan tuduhan terjadinya proses kristenisasi.

Stigma seperti ini, sangat mempengaruhi tindakan warga jemaat dalam memberikan

bantuan. Di sisi lain, pemahaman para korban yang meragukan bantuan warga jemaat juga

turut mempengaruhi respon mereka. Pemahaman yang demikian tidak dapat dipungkiri

dan diabaikan begitu saja, karena kenyataannya ada beberapa lembaga yang bernuansa

35
Pdt. Sabar Sembiring Brahmana, wawancara penulis tanggal 10 Februari 2008.

42
Kristen tidak jarang memanfaatkan situasi tersebut sebagai sarana kristenisasi, seperti yang

terjadi ketika tsunami di Aceh.36

3.5 Faktor Tradisi dan Ajaran Gereja

Pandangan populer tentang malapetaka dan kejahatan sebagai hukuman Allah

cukup populer di antara ahli-ahli biblika.37 Banyak dari cerita-cerita Alkitab yang dijadikan

sebagai pendukung dari pemahaman bahwa kejahatan sebagai hukuman Tuhan. Misalnya

saja, cerita mengenai kejatuhan Adam dan Hawa masih tetap dipakai oleh masyarakat

zaman modern ini untuk melukiskan asal-usul kejahatan dan penderitaan yang dialami

manusia. Ada suatu pemahaman yang masih tetap diyakini sampai sekarang bahwa, andai

saja Adam dan Hawa tidak melanggar perintah Tuhan pasti umat manusia masih hidup

dengan nyaman dan tentram di Taman Firdaus yang utopis.

Senada dengan hal itu, Robert Borrong juga berpendapat bahwa dalam tradisi

agama, bencana alam selalu dilihat secara paradoksal yaitu sebagai hukuman Tuhan

sekaligus juga bukti kasih Tuhan. Cerita-cerita dalam Alkitab yang dilihat sebagai contoh

adalah peristiwa Air Bah (Kej 7), Menara Babel (Kej 11), dan peristiwa Sodom dan

Gomora yang dihancurkan sebagai hukuman atas kejahatan penduduknya (Kej 19:1-25).

Menurutnya, bencana yang bersifat paradoksal tersebut juga menjadi panggilan bagi

manusia untuk bertobat dan hidup bermoral.38

Pemahaman seperti di atas masih tetap terpelihara dan dipertahankan oleh warga

jemaat sampai sekarang. Dalam kaitan ini pimpinan gereja memiliki peran yang sangat

36
Pdt. Sabar Sembiring Brahmana, wawancara penulis tanggal 10 Februari 2008.
37
Andreas A. Yewangoe: “Membangun teologi Bencana Pergumulan Teodice dan Penderitaan Allah” , dalam
Ati Hildebrandt Rambe, dkk., (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan
Bencana Sosial – Makassar, Oase Intim, 2006, hlm. 234.
38
Robert Borrong, “ Penanggulangan Bencana Alam “, ceramah yang disampaikan dalam lokakarya,
menyambut Dies Natalis ke-59 dan Reuni Raya STT INTIM Makassar, pada tanggal 15 September 2007.

43
penting. Ketika tidak ada kesepakatan di antara pimpinan gereja (Pendeta, Penatua dan

Diaken) tentang suatu hal misalnya, pemahaman tentang bencana alam apakah sebagai

hukuman Tuhan atau tidak, juga akan ikut mempengaruhi pemahaman warga jemaat. Hal

ini terbukti dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis bahwa, ada pemahaman

berbeda diantara majelis jemaat sendiri tentang bencana alam.39 Ada majelis yang

memahami bahwa bencana alam sebagai hukuman Tuhan dan ada juga yang melihat bukan

sebagai hukuman Tuhan. Adanya perbedaan tersebut mestinya tidak diabaikan begitu saja

oleh para majelis tetapi justru dibekali dan membekali diri dengan pengetahuan secara

ilmu geologi yang berkembang saat ini. Hal ini penting mengingat warga jemaat juga

memahami bahwa, pemahaman mereka tentang bencana alam dibangun dari tradisi dan

ajaran gereja.

3.5.1 Dampak dari Pemahaman Bencana Alam sebagai Hukuman Allah

Munculnya pemahan bencana alam sebagai hukuman Allah, menimbulkan ada 2

pihak yang disalahkan ketika terjadi bencana, yaitu Allah dan para korban. Bencana alam

yang dipahami sebagai hukuman juga akan menimbulkan sikap fatalistik bagi para korban.

1. Menyalahkan Allah ( Blaming The God)

Adanya penderitaan dan malapetaka yang dialami oleh manusia selalu dikaitkan

dengan Keadilan Allah,40 karena sifat-sifat Allah, yang diyakini sebagai Mahakasih,

Mahakuasa, dan Mahatahu, dianggap tidak sesuai dengan apa yang terjadi di dunia.

39
Perbedaan pemahaman ini ditemukan baik melalui wawancara maupun Kuesioner yang dilakukan oleh
penulis di ke-2 Runggun.
40
Keadilan Allah ini dikenal dengan istilah Teodice. Istilah ini mulai pada abad ke-17 oleh seorang filosof
Jerman, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Istilah ini dipakai dalam hubungan dengan pembelaan
keadilan Allah terhadap kenyataan yang jahat dan penderitaan. Kemudian istilah ini digunakan dan
dikembangkan oleh beberapa tokoh lainnya, diantaranya: Lactantius dan C.S. Lewis seperti yang telah
diungkapkan diatas. Ikhtisar mengenai hal ini dapat dilihat dalam tulisan Zakaria Ngelow: “Bianglala di Atas
Tsunami: selayang Pandang Teodice Kristen” dalam Ati Hildebrandt Rambe dkk (ed.), Teologi Bencana:
Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar, Oase intim, 2006, hlm. 201-
220.

44
Kenyataan seperti ini menyebabkan hakikat/eksistensi Allah dipertanyakan, seperti yang

dikalimatkan seorang teolog yang bernama Lactantius (250-320 M), yang dirujuk oleh A.

Yewangoe bahwa :41

“ Adakah Allah bermaksud mencegah kejahatan (Evil) tetapi tidak sanggup? Maka itu berarti DIA
tidak berkuasa. Atau adakah IA mampu tetapi tidak mau? Itu berarti Allah tidak mahakasih. Ataukah IA bisa
dan mau? Lalu dari mana asal usul kejahatan? “

Berkaitan dengan pendapat Lactantius di atas, C.S. Lewis yang dirujuk oleh A.

Yewangoe juga menggungkapkan eksistensi Allah sebagai berikut:42

“ Jikalau Allah sungguh-sungguh baik, maka Ia akan membuat semua ciptaan-Nya sungguh-
sungguh berbahagia secara sempurna, dan jikalau IA Mahakuasa, maka IA akan mampu melakukan
apa yang IA kehendaki. Tetapi, ciptaan-Nya tidaklah berbahagia. Karena itu, Allah kekurangan baik
kebaikan maupun kekuasaan, atau kedua-duanya”.43

Sejalan dengan pendapat ke-2 tokoh di atas masih banyak lagi para tokoh lain yang

mempersoalkan tentang pokok ini. Akan tetapi, ke-2 tokoh tersebut rasanya cukup

mewakili tentang pandangan yang mempertanyakan eksistensi Allah dalam penderitaan

manusia.

Berdasarkan pandangan tokoh-tokoh di atas, jelaslah bahwa manusia memiliki

kecenderungan untuk meragukan, bahkan menyalahkan dan mempertanyakan keberadaan

Allah ketika mereka mengalami penderitaan. Di manakah Allah ketika manusia menderita,

ketika bencana melanda manusia sehingga banyak yang menjadi korban: anak-anak

menjadi yatim piatu, orang tua kehilangan anak-anaknya, kehilangan sumber penghasilan

atau pertanyaan-pertanyaan yang senada terus-menerus dilontarkan.

41
Andreas A. Yewangoe, Op.cit., hlm. 226
42
Ibid, hlm. 226.
43

45
2. Menyalahkan Korban (Blaming The Victim)

Memandang bencana sebagai hukuman Allah adalah pemahaman yang paling

umum dalam masyarakat Indonesia. Dengan adanya teologi hukuman seperti ini sering

menyudutkan mereka yang menjadi korban bencana. Fakta bahwa mereka adalah korban

justru dijadikan alasan bahwa mereka memang terkena hukuman Ilahi, sedangkan daerah

yang tidak terkena bencana dianggap sebagai orang benar dan dikasihi Tuhan.

Pemahaman di atas juga didukung oleh beberapa tokoh teolog, di antaranya:

Agustinus (Bapa gereja dari Hippo, Afrika Utara, 354-430), mengajarkan bahwa dosa

manusia adalah sebab dari kejahatan moral dan malapetaka fisik adalah hukuman setimpal

yang dijatuhkan Tuhan atas dosa itu. Dipahami bahwa segala yang diciptakan Allah adalah

baik, termasuk manusia dengan kebebasan kehendak. Manusia memakai kehendak tersebut

untuk memilih yang jahat dan pilihan itulah yang membuat yang jahat terwujud.44 Di sini

secara jelas Agustinus mengaitkan antara dosa dan malapetaka yang dialami oleh manusia

sebagai buah dari kebebasannya dalam memilih yang jahat. Dengan kata lain, penderitaan

disebabkan oleh prilaku manusia itu sendiri.

Para reformator; Martin Luther (1483-1586) dan Yohanes Calvin (1509-1564), juga

mengikuti pandangan Agustinus, bahwa semua yang jahat muncul dari dosa dan kejatuhan

manusia. Martin Luther seperti yang dirujuk Roger Haight, mengungkapkan bahwa

manusia berdosa karena kemauannya sendiri. Hal ini jelas dari tulisannya dalam bahan

kuliah-kuliahnya tentang surat Paulus kepada Jemaat di Roma (1515-1516): dosa aktual

sebenarnya merupakan pekerjaan dan buah dosa. Dosa itu sendiri adalah nafsu, atau

kecenderungan kepada yang jahat dan penolakan terhadap yang baik.45 Yohanes Calvin

juga mengatakan hal yang senada sehubungan dengan penderitan yang dialami oleh

44
Ibid. hlm.227-228
45
Roger Haight, Teologi Rahmat Dari Masa Kemasa, Flores, NTT: Nusa Indah, 1999,hlm. 96.

46
manusia, bahwa dosa merupakan buah dari kebebasan manusia atas kejahatan yang

dilakukannya menurut kemauannya dan bukan karena paksaan.46

3. Sikap Fatalistik47

Pada umumnya ada suatu kecenderungan yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia

bersifat fatalistis, mereka tidak pernah memberontak terhadap penderitaan mereka dan

akan selalu menerimanya tanpa mengeluh. Malapetaka (dan penderitaan) berupa

kemiskinan atau bencana alam umumnya menyebabkan para korban dengan mudahnya

menerima nasibnya. Allah dipahami sangat berkuasa dalam menentukan nasib dan

peruntungan manusia (biasanya masyarakat menyebut hal ini sebagai takdir). Ketika

malapetaka berupa bencana datang, diyakini itu adalah kehendak Tuhan yang harus

diterima. Dalam situasi seperti ini orang akan cenderung bersifat fatalistik terhadap

kehidupan yang sedang mereka alami, menerima situasi tertentu sebagaimama adanya,

sehingga tidak membuat mereka mengusahakan perubahan bagi kehidupan. Kondisi seperti

ini, oleh A. Yewangoe dalam bukunya “ Teologia Crusis Di Asia “ dikenal dengan istilah

nrimo (narima), sabar dan ikhlas (rila), (meskipun kata-kata itu berasal dari bahasa Jawa

dan juga dipengaruhi oleh pandangan Islam, tetapi konsep tersebut sangat dikenal oleh

rakyat Indonesia dan dianggap bertanggung jawab untuk sikap fatalisme).48 Sikap seperti

inilah yang kemudian membuat manusia – khususnya mereka yang menjadi korban

bencana – akan kehilangan inisiatif untuk mengubah nasib mereka.

46
Lih.Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, Terjemahan Ny.Winarsih dan Aritonang, Arifin
dan Van den End, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000, Hlm. 65.
47
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fatalisme merupakan suatu ajaran atau kepercayaan bahwa
manusia dikuasai oleh nasib (yang tidak dapat diubah lagi).
48
A.A. Yewangoe, Teologia Crusis di Asia : Pandangan-Pandangan Orang Kristen di Asia Mengenai
Penderitaan dalamKemiskinan dan Keberagaman Di Asia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004, hlm. 274.

47
BAB IV

SOLIDARITAS KEMANUSIAAN SEBAGAI WUJUD

TANGGUNG JAWAB GEREJA:

Refleksi Sosio-Teologis terhadap Peran GBKP

Bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini dipahami sangat tidak

bersahabat karena mendatangkan penderitaan bagi umat manusia, ternyata mempunyai

banyak wajah. Ada bayang-bayang trauma, penderitaan dan putus asa. Tetapi di pihak lain

juga justru memiliki makna lain, pintu hati orang terketuk dan solidaritas terjalin. Bencana

menyadarkan dan memberi kesempatan bagi kita untuk menjalin rasa kemanusiaan dan

berbagi kasih terhadap sesama. Misi Allah untuk menghadirkan syalom harus

diwujudnyatakan di dunia. Untuk menghadirkan syalom itulah Allah mengutus orang-

orang percaya (gereja) sebagai wakil-Nya di dunia.

Dalam bab ini, penulis membahas bagaimana karya Allah di dalam diri Yesus

Kristus yang solider terhadap penderitaan manusia dan implikasinya bagi GBKP dalam

memenuhi tanggung jawabnya di tengah pergumulan hidup umat sebagai wakil Allah.

4.1 Mengurai Bencana Alam, Membangun Harapan

Bencana alam bukan hanya menyebabkan krisis fisik saja tetapi juga krisis teologi.

Malapetaka dan penderitaan yang diakibatkan oleh bencana alam membawa manusia untuk

bertanya “mengapa” dan pada akhirnya memberi penafsiran sebagai jawaban atas

pertanyaan tersebut. Pendekatan yang memandang bencana alam sebagai hukuman adalah

pemahaman yang paling umum dan populer dilontarkan, bahkan di kalangan umat Kristen

48
sendiri. Kemunculan teologi hukuman sebagai penyebab bencana alam bukan tanpa alasan,

sebab pada kenyataannya banyak cerita-cerita yang mendukung pemahaman tersebut di

dalam alkitab. Lalu di tengah maraknya pemahaman ini bagaimana semestinya kita melihat

bencana alam?

4.1.1 Bencana Alam: Perspektif Alkitab

Masih populernya pemahaman tentang bencana alam sebagai hukuman Allah atas

dosa manusia, tidak terlepas dari pengaruh tradisi dan ajaran alkitab. Dalam alkitab banyak

fenomena dahsyat alam sering ditafsirkan sebagai hukuman Allah. Khususnya di dalam

kitab Perjanjian Lama (PL), bencana yang menimpa manusia selalu dilihat sebagai akibat

dari dosa manusia. Peristiwa Air bah (Kej.7) diyakini terjadi sebagai hukuman bagi

manusia. Demikian juga dengan pemusnahan kota Sodom dan Gomora (kej.19), yang

dihancurkan sebagai hukuman atas kejahatan penduduknya. Selain kedua cerita tersebut,

khususnya seluruh kitab Amos juga dilihat sebagai kitab yang menafsirkan fenomena alam

sebagai hukuman atas ketidakadilan, misalnya Amos 5: 8-9, 12 dan 16.49 Dalam ayat-ayat

tersebut ada sebuah pembalasan atas prilaku manusia.

“Dia yang memanggil air laut dan mencurahkannya ke atas permukaan bumi -Tuhan itulah nama-
Nya.
Dia yang menimpakan kebinasaan atas yang kuat, sehingga kebinasaan datang atas tempat yang
berkubu.
Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu
yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan
orang miskin di pintu gerbang.
Sesungguhnya, beginilah firman TUHAN Allah semesta alam, Tuhanku: ‘Disegala tanah lapang
akan ada ratapan dan di segala lorong orang akan berkata: Wahai! Wahai!’ “
(Amos 5: 8-9, 12 dan 16).

Adanya pemahaman tentang bencana alam sebagai pembalasan atas hukuman

Tuhan yang masih diyakini oleh umat sekarang ini, tidak terlepas dari pengaruh agama

Yahudi. Kekristenan secara keseluruhan tidak terpisahkan dari umat Yahudi atau Yudaisme

49
Bernard T. Adeney-Risakotta, “Pengantar”, dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk., (ed.), Teologi Bencana:
Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase Intim, 2006, hlm. 30.

49
(agama Yahudi). Kekristenan mula-mula lahir dari dalam ruang lingkupYahudi. Umat

Kristen mengenal Allah melalui kesaksian alkitab yang merupakan suatu kesaksian tertulis

tentang pengalaman orang Kristen, yang utamanya berlangsung dalam konteks

keyahudian.50

Selain agama Yahudi, agama suku (agama lokal) juga ikut mempengaruhi

pemahaman warga jemaat. Walaupun warga jemaat sudah hidup dalam kekristenan tetapi,

tidak bisa terlepas begitu saja dari budaya tradisionil yang sudah berakar kuat dalam

kehidupan masyarakat. Bencana alam akan selalu dikaitkan dengan kemarahan dewa-dewa

karena prilaku manusia yang tidak menghargai alam. Dalam pemahaman tradisionil

budaya Karo, pohon-pohon yang berada di hutan diyakini merupakan tempat tinggal para

arwah nenek moyang. Pohon-pohon tidak boleh ditebang secara sembarangan.51 Hutan

dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penjaga keselarasan antar ciptaan. Dengan kata

lain, tradisi pemikiran Yudaisme dan budaya tradisionil merupakan dua faktor penting yang

sangat mempengaruhi perjalanan gereja atau jemaat sampai saat ini.

4.1.2 Berdiri di atas Dasar yang Guncang: Sikap terhadap Bencana Alam

Meskipun diakui bahwa, banyak orang termasuk penulis alkitab dalam pasal-pasal

tertentu, percaya bahwa bencana alam (penderitaan dan malapetaka) sebagai hukuman

Allah, namun pemahaman seperti ini cukup berbahaya dan rasanya tidak relevan lagi di

zaman sekarang ini. Pemahaman tersebut dapat mengancam keyakinan umat dan juga pada

akhirnya bukan solidaritas yang dibangun tetapi menimbulkan konflik/perpecahan antar

agama. Selain itu, di zaman modern seperti sekarang ini, penyebab bencana alam dapat

dijelaskan dengan bantuan IPTEK. Jika pemahaman bencana alam sebagai hukuman Allah

50
Hans Ucko, Akar Bersama: Belajar Tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, (terj.) Martin Lukito
Sinaga, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1995, hlm.164.
51
Sempa Sitepu, Sejarah – Pijer Podi Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, Medan: ADIYU, 2006, hlm. 44

50
tetap dipertahankan, justru akan menimbulkan masalah baru yakni usaha mencari

“kambing hitam” siapa yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut.

Untuk menghindari pencarian kambing hitam, perlu dilakukan penggalian makna

baru di balik peristiwa bencana alam. Mengatasi persoalan di sekitar bencana alam, penulis

setuju dengan apa yang dilakukan oleh John Campbell-Nelson yang mengkaitkan aspek

geologis dan teologis sekaligus.52 Dari persfektif geologis, dapat dijelaskan penyebab

terjadinya gempa bumi. Berdasarkan ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini,

meyakini bahwa terjadinya gempa bumi disebabkan oleh adanya pergesekan lempeng-

lempeng di kulit bumi, khususnya Indonesia yang berada di antara 3 lempeng dunia yang

cukup aktif (hal ini telah dijelaskan dalam analisa, bab 3 sebelumnya!). Berdasarkan

beberapa bencana alam yang telah terjadi, kita diingatkan agar tidak terlalu percaya diri

dan ideologis dalam menilai alam. Saat ini semakin meningkat kesadaran para ilmuan

mengenai lingkungan bahwa alam pada dirinya dinamik, tidak stabil, acak, dan tidak

terduga. Isi alam berkembang, bergeser, bertumbuh dan sebagian besar bekerja di luar

kendali manusia.

Sementara dari perspektif teologis, seluruh proses alam dilihat sebagai tindakan

Allah sang pencipta alam semesta. Banyak pemahaman yang berkembang di sekitar proses

penciptaan, salah satunya adalah paham Deisme. Menurut pahan Deisme, Allah berhenti

bekerja setelah Ia menciptakan dunia. Ketika Allah menciptakan dunia, Ia juga sekaligus

memberikan hukum-hukum yang berlaku, sehingga kini segala sesuatu berjalan

sebagaimana mestinya.53 Tentu saja pandangan seperti ini tidak sesuai dengan ajaran

alkitab, yang menunjukkan bahwa dunia ini tidak pernah berdiri sendiri. Dalam Roma 11:

36 dikatakan, bahwa segala sesuatu dari Dia (diciptakan oleh Tuhan), oleh Dia (dipelihara
52
John Campbell-Nelson, “Bumi Tidak Tenang Sebuah Studi Kasus Tentang Gempa Bumi di Alor”, dalam
Ati Hildebrandt Rambe, dkk, (ed.), Op.cit, hlm. 98-107.
53
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001, hlm. 214.

51
oleh Tuhan) dan kepada Dia (demi kemuliaan nama Tuhan). Maupun dalam Kolose 1: 17

dikatakan juga segala sesuatu ada di dalam Dia.54 Berarti tidak ada satu kejadian pun di

dunia luput dari penglihatan Allah, termasuk di dalamnya peristiwa bencana alam dan

dampak yang diakibatkan.

Dalam kaitan proses penciptaan dan hubungannya dengan bencana alam, konsep

mengenai creatio continuo akan lebih tepat karena selain konsep ini telah lama memiliki

tempat dalam tradisi teologi, juga lebih sesuai dengan ajaran alkitab. Menurut konsep ini,

pekerjaan Allah dalam penciptaan belum selesai seluruhnya dan kemudian Ia tinggalkan

begitu saja pada hari ke-7 (Kej.1). Allah tidak pernah berhenti namun Ia diyakini terus

melanjutkan pekerjaan-Nya untuk membarui dan memperkaya alam semesta sebagai

ciptaan-Nya.55 Senada dengan konsep creatio continuo tersebut seorang filsuf, Alfred

North Whitehead (1861-1947) sebagaimana dikutip oleh Harvie M. Conn, juga memahami

bahwa dunia ini berproses. Menurutnya, dunia ini dinamis, selalu berubah, dan sedang

menjadi, mencakup ada.56 Dengan demikian dalam masalah pergerakan tektonik dapat

dikatakan bahwa, melalui cara inilah Allah terus-menerus bekerja memperbaharui wajah

permukaan bumi. Dengan kata lain, gempa bumi sebagai dampak dari karya Allah yang

berlangsung terus-menerus itu. Dengan merubah paradigma berpikir melihat bencana alam

adalah bagian dari tindakan Allah sebagai pencipta akan membantu kita keluar dari

pemahaman bencana sebagai hukuman. Perubahan paradigma dalam peristiwa bencana

alam, justru dapat dijadikan sebagai kesempatan untuk membangun solidaritas

kemanusiaan dan solidaritas terhadap alam. Peristiwa tersebut juga dapat menjadi

pengalaman iman, bahwa penyertaan Allah tetap berlaku dalam setiap situasi.

54
Ibid. hlm. 214.
55
John Campbell –Nelson, Op.cit, dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk., (ed.), Op.cit, hlm. 103
56
Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991, hlm. 101.

52
Selain kedua aspek di atas, bagi penulis aspek budaya yang memiliki nilai-nilai

tradisionil juga perlu diperhatikan. Budaya masyarakat nusantara umumnya masih turut

membangun sikap moral dan kepercayaan untuk menghargai alam. Bencana alam yang

terjadi bukan hanya sebagai akibat dari proses alamiah tetapi juga karena prilaku manusia

yang mengeksploitasi alam. Dampaknya juga bukan hanya bagi manusia saja tetapi bagi

alam, karena alam adalah bagian dari ciptaan Allah sebagai suatu kesatuan. Manusia

adalah bagian dari alam, manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa alam.

Sebagai akibatnya, ketika manusia merusak alam maka sebenarnya manusia melakukan

ancaman terhadap eksistensinya sendiri. Terhadap kenyataan ini seakan-akan manusia

menutup mata, sampai sekarang ini eksploitasi terhadap alam masih terus terjadi. Kejadian

20:8: “ Ingat dan kuduskanlah hari sabat....”, selama ini yang selalu dipahami dan

ditegaskan adalah bagaimana pentingnya hari sabat bagi Allah sebagai pencipta dan

manusia sebagai ciptaan. Tetapi sebenarnya sabat bukan hanya bagi Allah dan manusia

saja, tetapi juga alam dan segala isinya. Ketika alam dieksploitasi terus-menerus maka ia

akan mengalami krisis juga. Sang reformator Martin Luther seperti yang dikutip oleh

Victor Tinambunan, juga melihat bahwa sebenarnya ada implikasi ekologi dari hukum

keempat tersebut terhadap pemeliharaan alam ciptaan. Ditekankan disini bahwa alam juga

perlu istirahat.57 Untuk menyikapi hal ini, nilai-nilai budaya yang memberi penghargaan

yang tinggi terhadap alam perlu dilestarikan. Budaya menjadi salah satu sarana bagi Allah

untuk mengingatkan manusia agar menghargai dan memelihara alam. Manusia dituntut

untuk lebih bersikap solider terhadap alam. Manusia yang mengabaikan lingkungannya

berarti mengabaikan hidupnya sendiri. Tidak ada kesejahtraan manusia tanpa disertai

kesejahtraan lingkungan hidup. Manusia perlu menyadari kedudukannya di antara ciptaan

57
Victor Tinambunan, Op.cit. hlm. 57

53
Allah. Senada dengan Christoph Stuekel Berger yang dikutip oleh Karel Erari, mengatakan

bahwa:58

“Selamat datang sebagai tamu di bumi! Rumah bumi terbuka bagi anda. Temukanlah
keanekaragaman dan kekayaan taman bumi ini: bersikaplah sebagai tamu dan bukan sebagai
pemilik. Anda tidak bisa dan tidak boleh berperan sebagai pencipta. Sebagai makhluk yang
diciptakan anda mempunyai kesempatan untuk mengusahakan dan memelihara taman dan dengan
demikian meneruskan kehidupan yang diterima”

Berkaitan dengan pertanyaan di mana Allah pada saat manusia menderita, kita

dapat belajar dari kisah Ayub. Akibat bencana dan penderitaan yang menimpanya, ia

dijadikan sebagai “kambing hitam” oleh masyarakat pada zamannya (bahkan oleh keluarga

dan teman-teman dekatnya sendiri). Menurut Rene Girard sebagaimana dikutip oleh

Sindhunata bahwa, dengan mencari kambing hitam sebenarnya hanyalah sebagai usaha

pembenaran diri sendiri. Kisah Ayub dapat kita dijadikan sebagai pedagogi iman, betapa

Tuhan dan karya-karya-Nya - termasuk juga di dalamnya bencana alam-adalah misteri

yang tak terselami oleh manusia. Tetapi satu hal yang pasti, bahwa Allah tidak pernah

berhenti bekerja dan memelihara umat-Nya.59

4.2 Membangun Solidaritas Kemanusiaan

Tuhan Allah masih bekerja hingga kini. Ia tetap bekerja memelihara dunia ini.

Segala benda dan makhluk sesudah dijadikan masih tetap bergantung kepada Dia. Oleh

karena itu, tidak ada suatu hal pun yang dapat berdiri sendiri dan terlepas dari tangan

Allah.

Seperti yang telah disebutkan bahwa, bencana alam memiliki banyak wajah, selain

menimbulkan penderitaan tetapi juga menimbulkan keprihatinan setiap orang akan relitas

di sekitarnya. Memberikan semangat kemanusiaan: empati dan berbela rasa kepada

58
Karel Ph. Erari, Teologi Lingkungan dalam Perspektif Melanesia, dalam SETIA, Jurnal Teologi Persetia
No.1, 1997, hlm. 21.
59
Sindhunata, Kambing Hitam Teori Rene Girard, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 104.

54
sesama, kebersamaan dan saling menopang. Dalam kaitan dengan relitas penderitaan ini,

dari pada terus-menerus mencari siapa yang harus bertanggung jawab atau “kambing

hitam” atas bencana, mestinya kita justru mencari makna lain di balik peristiwa itu sendiri.

Penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam telah menggoreskan luka yang dalam bagi

para korban. Tetapi di zaman sekarang ini kepedulian dan keprihatinan umat semakin

tenggelam akibat roh spiritual individualis. Orang-orang Kristen semakin kehilangan rasa

solidaritas etis emansipatorisnya di tengah-tengah penderitaan sesamanya. Dalam realitas

kehidupan tersebut, sebagai orang beriman (gereja) kita terpanggil untuk solider bersama-

sama dengan Allah tanpa membeda-bedakan golongan, suku, agama ataupun status sosial

seseorang.

4.2.1 Solidaritas Kemanusiaan: Perspektif Alkitab

Allah adalah kasih (1 Yoh 4: 16), itulah hakikat-Nya. Dalam kasih itu Ia solider

dengan penderitaan manusia. Dimana ada penderitaan dan keputusasaan, maka di sana

jugalah Allah ada bergumul bersama penderita.

Allah di dalam Kristus pun mengidentikkan diri-Nya dengan orang-orang yang

menderita. Hal ini dapat dilihat dalam Matius 25: 31-36, khususnya dalam ayat 40:

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang
kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah
melakukannya untuk aku”
.
Dalam bagian ini Yesus mengidentikan diri-Nya dengan mereka yang menderita, Ia

bukan sebagai “penolong” tetapi yang “ditolong”. Kazoh Kitamori seperti yang dikutip

oleh A.Yewangoe juga mejelaskan mengenai penderitaan sebagai hakikat Allah, dalam

pengertian bahwa Allah bukan benar-benar menderita (substansi), melainkan lebih pada

hubungan sifat kasih Allah kepada manusia. Allah yang menderita dalam kasih-Nya ini

hanya dapat dipahami dalam pengertian salib. Melalui kelahiran dan kematian Kristus di

55
salib merupakan penderitaan Allah dan kebangkitan Kristus tersebut menunjukkan kasih

Allah. Dengan kata lain, seluruh karya keselamatan dapat dipahami sebagai ungkapan

kesetiakawanan Allah terhadap manusia. Sehubungan dengan kasih Allah itu, Kitamori

menjelaskan mengenai tiga tingkatan kasih, yaitu pertama, kasih Allah yang dicurahkan

kepada objeknya (dalam hubungan Bapa-Anak); kedua, kasih Allah yang dicurahkan

kepada manusia (dengan mengutus Anak-Nya mati demi menebus dosa manusia); dan

ketiga, kasih yang didasarkan pada penderitaan Allah (pengampunan Allah).60 Berdasarkan

hal ini, Kitamori berpendapat bahwa penderitaan justru bermanfaat untuk menyaksikan

penderitaan Allah demi kasih-Nya bagi manusia. Tentu saja solidaritas menjadi hal yang

penting dan diperlukan dalam rangka menampilkan wajah Allah yang berempati dan

berbela rasa, yang sepenuhnya memihak kepada yang menderita.

Pemahaman mengenai Allah sebagai Pemimpin dan penolong dalam sejarah, harus

dipahami secara bersama-sama dengan konsep Allah yang ikut menderita. Allah sebagai

Pemimpin dan Penolong menunjukkan kuasa-Nya, dan Allah sebagai yang ikut menderita

menunjukkan kasih-Nya. Inilah gambaran yang relevan dalam konteks penderitaan yang di

sebabkan oleh bencana alam. Ada tanggung jawab untuk mewujudnyatakan kasih-Nya

dengan menguatkan, menghibur, mendukung dan menolong serta menopang mereka yang

menjadi korban.

Kisah orang Samaria yang baik hati (Lukas 10: 25-30), sangat menarik untuk dikaji

berkaitan dengan bagaimana orang percaya memahami siapakah “sesamanya”.

Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati mengetengahkan segi dari kehidupan

manusia, bagaimana seharusnya kita mengasihi sesama. Orang Samaria melalui

tindakannya telah memberi pelayanan kepada orang yang bukan dari golongannya, bukan

60
A.A. Yewangoe, Op.cit., hlm. 223-234.

56
sebangsa, seagama maupun kawan karib. Dari perumpamaan tersebut Yesus mau

mengatakan bahwa, yang menjadi sesama ialah siapa saja yang tergeletak tak berdaya,

tidak penting apakah ia orang Karo atau bukan, beragama Kristen atau non-kristen,

berkulit hitam atau putih, miskin atau kaya, atau latar belakang lainnya, tetapi yang

terpenting bahwa ia juga manusia. Semua manusia adalah saudara yang harus diperhatikan

dalam solidaritas kemanusiaan. Wujud nyata dari kasih tidak membatasi ruang dan waktu.

Ada 3 hal penting yang diajarkan melalui perumpamaan tersebut:61 pertama, murah

hati yang berkaitan dengan kepribadian seseorang. Orang yang murah hati adalah orang

yang menolong dengan melakukan yang terbaik. Kedua, tentang “siapakah sesamaku

manusia”, di dalam Matius 22:37-40: “ Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap

hati....................dan kasihilah sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu

sendiri..............”. Kata “segenap” mengandung makna kasih yang tanpa syarat. Di dalam

1 Korintus 13: 13, rasul Paulus mengatakan bahwa iman dan pengharapan tidak akan

berarti tanpa kasih. Dengan kata lain, kasih kepada Allah dan sesama merupakan wujud

nyata iman dan ketiga, belas kasihan yang bukan sekedar kasihan tanpa tindakan tetapi

ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Berempati dengan menempatkan diri

kita pada posisi sesama yang menderita. Manusia tidak akan menjadi manusia yang

sempuran tanpa sesamanya. Orang lain adalah “ aku “ yang lain, yang harus dihargai, dan

diperhatikan karena mereka merupakan bagian dari diri kita, yang tidak bisa diperlakukan

seenaknya. Manusia tidak akan menemukan martabat manusiawinya tanpa merasakan

penderitaan dan kesusahan orang lain. Dengan mengaku bahwa orang lain adalah sesama

bukanlah tindakan tanpa konsekwensi. Tetapi pengakuan yang menuntut tindakan nyata.

4.2.2 Panggilan dan pengutusan Gereja

61
Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, Yogyakarta: Kanisius. 2003, hlm.

57
Gereja yang melayani adalah gereja yang setia pada hakikatnya dan yang mengabdi

kepada misi Allah di dunia ini. Gereja menjadi alat tindakan-tindakan Allah yang

membebaskan dan menyelamatkan dunia ini. Gereja yang melayani adalah gereja yang

senantiasa menyadari bahwa ia ada dan berada di dunia bukan untuk dirinya sendiri,

melainkan untuk bersolider dan berbelarasa terhadap sesama yang menderita. Kraemer

seperti yang dikutip oleh Freddy Butaran mengatakan bahwa, pembebasan oleh Kristus

terdiri dari pembebasan dari kecenderungan yang terus-menerus memikirkan diri sendiri

yang merupakan dosa paling pokok serta akar dari semua kerusakan dalam hidup

manusia.62

Gereja sentris, gereja yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan menganggap

dirinya sebagai tempat pelarian dari persoalan-persoalan dunia adalah gereja yang

mengingkari hakikat dan panggilannya. Sebaliknya, gereja yang ikut memikirkan dunia

adalah gereja yang menjawab tanggung jawabnya terhadap panggilannya. Misi gereja

selalu terus berjuang untuk menyatakan syaloom Allah di mana ada penderitaan, kesusahan

dan kondisi lainnya yang tidak mensejahterakan umat manusia. Misi gereja bukan untuk

menjauhi persoalan-persoalan dunia, yang hanya ingin menjadi bejana Allah, bukan

sebagai alat Allah, yang hanya ingin dipenuhi oleh Allah bukan dipakai oleh Allah.

Solidaritas Allah kepada manusia itulah dasar solidaritas gereja dengan orang yang

menderita, miskin dan kelaparan. Solidaritas Allah dimandatkan untuk diteruskan oleh

gereja. Solidaritas tersebut merupakan warisan yang perlu diteruskan sebagai sikap dasar

Allah terhadap manusia.

Dengan berpaling kepada sesama yang menderita, merupakan solidaritas gereja

yang utama, dan dengan solidaritas itu gereja melaksanakan misinya dan mempertahankan

62
Freddy Butaran, Saudari Bumi Saudara Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 65.

58
identitasnya. Tidak ada batasan bagi solidaritas. Jikalau hanya pada tempat-tempat tertentu,

agama tertentu, dan budaya/suku tertentu yang dianggap cocok untuk perwujudan gereja,

itu berarti suatu pengingkaran yang nyata terhadap gereja dan akan membatasi secara

kuantitatif dan kualitatif apa yang dapat dilakukan oleh Allah.63

4.3 Membangun Solidaritas Komunitas GBKP: Belajar dari Orang Samaria yang

Baik Hati

Ada dua tipe manusia yang digambarkan dari perumpamaan orang Samaria yang

baik hati. Pertama, Imam (rabi Yahudi) dan orang lewi yang mencari “jalan lain” untuk

melewati si korban. Kedua, orang Samaria yang tidak menghindar tetapi justru mendekati

dan merawatnya sampai tuntas. Ia tidak bertindak setengah-setengah, tetapi terus menerus

sampai penderita tersebut sehat kembali seperti sedia kala dan mampu melanjutkan

hidupnya. Posisi gereja selama ini terhadap korban bencana alam bukanlah seperti Imam

dan orang Lewi yang menghindar dan tidak melalukan apa-apa, tetapi juga belum sampai

pada tahap seperti orang Samaria yang membantu hingga tuntas.

Sebagai sebuah institusi gereja, GBKP dipanggil dan ditantang untuk

menghadirkan Syalom Allah di mana GBKP hadir. Untuk menjadi “sesama” bagi mereka

yang menderita menurut injil: di jalan “Yerikho ke Yerusalem” GBKP tidak mengambil

jalan lain untuk menghindari korban yang terluka dan terkapar di jalan seperti yang

dilakukan oleh Imam dan orang Lewi, melainkan seperti orang Samaria yang mendekat,

memeriksa, untuk kemudian menolongnya.

Tujuan Yesus melalui perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, ingin

mengatakan bahwa tindakan kasih yang ditunjukkannya bersifat universal, kepedulian

63
Jon Sobrino, S.J. dan Juan Hernandez Pico, S.J., Teologi Solidaritas, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 27

59
etisnya melampaui segala sekat-sekat yang ada. Keluar dari tembok-tembok gereja yang

memisahkannya dari realitas hidup. Hal inilah yang harus menjadi perhatian GBKP dalam

rangka melaksanakan misi Allah di bumi.

4.3.1 Sikap dan Tindakan GBKP: “Inilah aku, utuslah aku!”

Sesuai dengan moto GBKP dalam Yesaya 6: 8: “Lalu aku mendengar suara Tuhan

berkata: ‘Siapakah yang akan Kuutus,dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?’. Maka

sahutku: ‘ini aku, utuslah aku!’ “, dan visi serta misinya untuk menghargai kemanusiaan

dan melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kasih, maka GBKP harus menjadi

gereja yang memberdayakan, membangkitkan optimisme dan pengharapan para korban

bukan menambah penderitaan. Selama ini sejauh mana GBKP sudah memaknai moto

tersebut?

GBKP secara sadar memahami bahwa ia berada di dunia, di tengah-tengah

kehidupan umat yang sarat dengan penderitaan. Sadar dengan realitas tersebut, GBKP

menjawab panggilannya: “ Inilah aku, utuslah aku”, yang berarti GBKP diutus kepada

siapa saja yang menderita tanpa pembedaan. Dengan segera dan rela menerima tugas dan

panggilan Allah. Menjadi “garam dan terang”. Menjadi garam dengan larut dalam realitas

masyarakat, dan menjadi terang dengan bersedia menjadi lilin yang menyala demi

membantu sesama yang menderita. Gereja harus melaksanakan peran profetis-holistis nya

yaitu pelayanan yang menyeluruh dan mencakup berbagai segi kehidupan. Fungsi gereja

menjadi garam dan terang akan dapat dirasakan orang lain, ketika gereja peka terhadap

masalah-masalah sosial sebagai salah satu bentuk kesetiaan kepada Allah yang menjumpai

manusia dalam kemanusiaan-Nya. GBKP sebagai tubuh Kristus yang hidup, adalah

persekutuan jemaat yang bersaksi dan melayani. Jemaat perlu dibina, diorganisir dan

dimobilisir untuk merefleksikan imannya dalam tindakan nyata. Syaloom Allah harus

60
dinyatakan. Syaloom berarti damai sejahtera dan juga berkat. Dengan moto tersebut,

kapanpun dan di manapun GBKP harus siap diutus untuk mewujudkan damai sejahtera

Allah. Dengan demikian, GBKP mestinya bukan “menunggu surat pemberitahuan”

melainkan langsung bertindak.

4.3.2 GBKP yang Solider: Tindakan yang Membebaskan dan Memberdayakan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan, jelas bahwa

solidaritas selama ini yang diberikan oleh gereja kepada korban bencana alam masih

bersifat temporer dan karitatif. Tindakan etis seperti ini memang penting sebagai langkah

awal karena memang bantuan seperti itulah (makanan, pakaian, obat-obatan dan bantuan

sejenisnya) yang paling dibutuhkan oleh korban ketika bencana terjadi. Tetapi bantuan

tersebut tidak berkelanjutan dan jenis bantuan yang diberikan tidak membebaskan dan

memberdayakan mereka dari penderitaan. Mereka bukan hanya membutuhkan ikan tetapi

juga pancing.

Tindakan gereja dengan bantuan diakonia karitatif dan temporer yang telah ia

berikan selama ini, belum sampai pada tahap yang membebaskan dan memberdayakan.

Para korban membutuhkan bantuan lebih dari pada sekedar sandang dan pangan,

melainkan juga pekerjaan, tempat tinggal, dan kesembuhan dari trauma. Sebab bencana

alam mengakibatkan para korban bukan hanya kehilanggan harta benda saja, tetapi juga

sanak saudara dan sumber penghasilan. Mereka mengalami krisis baik secara teologis,

ekonomis maupun psikologis. Di sinilah peran gereja, bagaimana ia membantu korban

keluar dari penderitaan mereka. Gereja mestinya menjadi alat penyembuh (konselor).

Seluruh warga jemaat harus dilibatkan dan diberdayakan dalam pelayanan ini sesuai

dengan kemampuan masing-masing. Jika gereja hanya bekerja sendiri tanpa dibantu oleh

pihak lain akan sangat mustahil dapat membantu korban bencana alam betul-betul keluar

61
dari penderitaan mereka. Oleh sebab itu, gereja dengan sumber daya yang dimiliki harus

bekerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Tindakan yang dapat

dilakukan, misalnya pendampingan dengan memberikan trauma healling bagi korban yang

trauma, memberdayakan para korban dengan memberikan pembinaan sesuai dengan

keahlian yang mereka miliki, bahkan membantu anak-anak yang harus putus sekolah.

Tindakan tersebut dapat menjadi representasi dari sikap orang Samaria. Dengan demikian,

para korban bukan hanya dibebaskan dari penderitaan tetapi sekaligus juga diberdayakan.

Tindakan yang kecil tetapi memberi dampak yang besar.

Tindakan orang Samaria yang berlaku sebagai sesama kepada korban perampokan

tersebut, mestinya dilakukan juga oleh GBKP khususnya dan gereja-gereja secara umum.

Bukan hanya sibuk dan tenggelam dengan segala ritus untuk mencari jalan ke surga, yang

akhirnya lupa dengan relitas di sekitar kita tetapi membuka hati, mata dan telingga

terhadap rintihan dan resahan mereka yang menderita. Perumpamaan tersebut juga

mengingatkan kepada orang percaya, bahwa bila seseorang terlalu sering mendiskusikan

hukum kasih maka dengan mudah akan terjebak dalam teori saja, lupa kewajibannya untuk

melakukan hukum tersebut. Realitas seperti ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh

rasul Paulus kepada jemaat di Korintus dalam 1 Korintus 13:1:

“Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika
aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang
gemerincing” (1 Korintus 13: 1)

Solidaritas berarti bersedia untuk membangun kehidupan bangsa dengan

kesetiakawanan satu dengan yang lain. Kita membangun kehidupan bersama dalam tekad

senasib sepenanggungan, bersama dalam kegembiraan, dan bersama dalam memikul beban

yang berat. Menurut Yesus, solidaritas justru kelihatan dalam sikap ketika berhadapan

dengan orang kecil dan lemah, yang susah dan tidak berdaya. Solidaritas yang sebenarnya

62
kelihatan dimana kita tidak mengharapkan balasan dari apa yang telah kita lakukan

( Lukas 6 : 32 – 34 dan 14 : 12 – 14). Dengan demikian, gereja baik secara individu

maupun kolektif dapat memaknai tugas dan panggilannya sebagai pembawa harapan baru

dengan tuntunan Roh Kudus.

4.3.3 Budaya Karo sebagai Media Solidaritas: “ Rakut Sitelu”

Jelaslah bahwa warga GBKP, adalah jemaat Kristen berkebudayaan Karo, yang

tetap setia kepada adat istiadat Karo, mempertahankan bahkan melestarikannya. Dalam

waktu yang sama warga GBKP juga adalah masyarakat Karo yang beriman kepada Yesus

Kristus. Warga GBKP setiap saat ingin memberlakukan imannya, dan pada saat yang sama

juga ingin memberlakukan kebudayaannya sekaligus tanpa kepercayaan leluhur.

Sistem kekerabatan “ rakut sitelu “ (tiga dalam satu ikatan) dalam masyarakat

Karo ialah:64

 Mehamat man Kalimbubu (hormat)

 Medes Ersenina (solider)

 Megani man Anak Beru (pemurah)

Rakut Sitelu merupakan gambaran bahwa masyarakat Karo benar-benar

menjunjung tinggi semangat dan jiwa demokrasi hak-hak azasi manusia. Sistem

kekerabatan tersebut merupakan azas dalam dinamika kekeluargaan dan merupakan suatu

jalinan yang mengikat setiap orang di dalam satu lingkaran. Setiap orang pada saat tertentu

64
Dk. Em. P. Sinuraya, Diakonia GBKP 1, Medan, 1988, hlm. 88
Kalimbubu: Pihak pemberi anak gadis yang sangat dihormati dalam masyarakat Karo. Menentang dan
menyakiti hati Kalimbubu sangat dicela oleh masyarakat. Kalimbubu dalam masyarakat Karo disebut
“dibata ni idah”, yang artinya allah yang kelihatan. Fungsi Kalimbubu adalah memperhatikan kebutuhan
Anak Berunya. Kalimbubu adalah orang yang pemurah.
Senina: Saudara keturunan/semarga. Arti kata senina adalah “seia sekata”, dan sepikir. Senina dalam budaya
Karo berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan kekeluargaan.
Anak Beru: Pihak penerima anak gadis. Fungsi Anak Beru sangat penting dalam keluarga. Anak Beru adalah
orang yang harus memperhatikan kebutuhan Kalimbubunya. Dia harus mengarami dan meneranggi jalannya
acara keluarga.

63
berganti posisi menjadi pelaku atau menjadi objek pelayanan. Jalinan ini membentuk

lingkaran berganti posisi melayani dan dilayani.65 Dapat dikatakan bahwa, setiap orang

terhisap dalam hak dan kewajiban untuk saling menolong dalam kegotong-royongan.

Kebudayaan Karo yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan “si

sampat-sampaten“ (tolong-menolong/gotong royong) dalam sistem kekerabatan Rakut

Sitelu tersebut dapat dijadikan sebagai sarana/media membangun solidaritas terhadap

sesama. Setiap orang (termasuk di dalamnya bukan suku Karo) harus dilihat sebagai

Kalimbubu, Senina dan anak Beru yang memiliki hak dan kewajiban untuk saling

menolong dan menopang. Jika semua orang Karo memposisikan dirinya dalam tiga aspek

tersebut dan mengfungsikan dirinya sesuai dengan fungsinya masing-masing maka budaya

tersebut akan membangun solidaritas dalam makna kasih sesuai dengan nilai-nilai

Kristiani. Sikap “keeksklusifan” yang senantiasa mewarnai kehidupan orang Karo

hendaknya dilihat sebagai suatu usaha dalam mempertahankan jati diri atau identitasnya,

bukan menjadikannya sebagai komunitas yang fanatik yang memandang budayanya di atas

budaya orang lain. Dengan demikian tidak ada alasan dan berdalih “dia bukan orang

Karo”.

4.3.4 Tindakan GBKP: Jangka Panjang dan Jangka Pendek

Berdasarkan uraian dan refleksi tentang bencana alam dan solidaritas kemanusiaan

di atas, maka ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh GBKP dalam rangka

mewujudkan tanggung jawanya menjadi “sesama” bagi para korban bencana alam.

Langkah-langkah tersebut dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu:

65
Ibid. hlm. 89.

64
1. Jangka Pendek

Pelayanan yang bersifat karitatif dan temporer, seperti: terjun kelapangan dengan

membuka POSKO bencana, memberikan bantuan moral (doa), memberikan kebutuhan

pokok (sandang dan pangan), dan lainnya adalah tindakan yang harus dilakukan oleh

gereja sebagai langkah awal dalam membantu para korban. Bantuan yang bersifat jangka

pendek ini harus tetap disosialisasikan oleh gereja kepada seluruh anggota jemaat.

2. Jangka Panjang

Mengingat bahwa bencana alam berdampak kompleks bagi seluruh sendi-sendi

kehidupan, maka gereja juga harus memikirkan langkah jangka panjang yang akan

dilakukan dalam rangka menanggulangi bencana alam. Langkah-langkah yang dapat

dilakukan antara lain:

a. Sekalipun kita tidak dapat memprediksi kapan terjadinya suatu bencana, tetapi paling

tidak warga jemaat perlu dibekali pengetahuan tentang bencana dan memberikan

pelatihan-pelatihan dalam menangani korban bencana, khususnya dalam

pendampingan (aksi pastoral). Hal ini sangat penting sebagai langkah antisipatif dan

mempersiapkan warga jemaat dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Jika kita

tidak dapat memprediksi kapan terjadinya suatu gempa, tetapi kita dapat membuat

sistem komunikasi, perencanaan, dan koordinasi yang baik sehingga dapat mengurangi

terjadinya korban dan jika terjadi korban dengan segera dapat ditangani. Usaha

mitigasi tersebut harus dilakukan dengan baik dan terarah.

b. Membangun kerja sama antara gereja dengan pihak pemerintah dan LSM dalam

membantu korban bencana alam. Kerjasama ini bukan hanya dijalin ketika bencana

alam terjadi saja, tetapi harus berkelanjutan sampai mereka mampu berdiri sendiri.

Kerjasama yang akan terjalin diharapkan dapat memberikan pendampingan kepada

65
korban trauma dan memberikan pembinaan-pembinaan kepada para korban sesuai

dengan keahlian yang dimiliki masing-masing. Kerjasama yang akan dijalin ini juga

harus dengan penuh pertimbangan, karena ada juga pihak-pihak justru akan

memanfaatkan situsi tersebut untuk mencari keuntungan.

c. Pelatihan-pelatihan dan penyuluhan tentang bencana alam dijadikan sebagai program

kerja gereja yang disosialisasikan kepada seluruh warga jemaat dan dilakukan secara

berkesinambungan dan berkelanjutan. Komisi atau bidang tersebut khusus dibentuk

untuk penggulangan bencana alam.

66
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berbicara tentang bagaimana membangun solidaritas kemanusiaan terhadap korban

bencana alam ternyata memiliki cakupan dan persoalan yang kompleks. Oleh sebab itu,

dalam bagian ini penulis berusaha menyimpulkan uraian-uraian diatas dan memberikan

usulan-usulan konkret yang dapat mendukung GBKP melaksanakan tanggung jawabnya

dalam menyikapi dampak bencana alam.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan beberapa hal

seperti di bawah ini:

1. Bencana alam merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dihindari karena diluar

kendali manusia (misalnya tsunami). Kenyataan ini dipengaruhi oleh letak

geografis Indonesia yang berada di antara tiga lempengan dunia yang cukup aktif.

Di samping itu ada juga bencana yang terjadi karena pengaruh prilaku manusia

sendiri yang merusak lingkungan/alam (misalnya: banjir dan tanah longsor).

2. Pemahaman warga jemaat bahwa bencana alam sebagai hukuman Allah masih

tetap berkembang sampai saat ini. Pemahaman tersebut sangat dipengaruhi oleh 2

faktor, pertama: pemikiran Yudaisme tentang paham pembalasan. Perlu dilakukan

reinterpretasi terhadap ayat-ayat alkitab yang selama ini dipahami mengacu pada

teologi hukuman. Hendaknya bencana alam tidak lagi dilihat sebagai hukuman

tetapi bagian dari karya Allah yang terus-menerus untuk ciptaan-Nya dan

67
menjadikan peristiwa bencana alam tersebut sebagai pengalaman iman yang

membangkitkan optimisme dan semangat hidup. Kedua: Pengaruh budaya

tradisionil yang memahami bahwa alam “murka” terhadap manusia masih sangat

kuat mempengaruhi masyarakat.

3. Bencana alam, khususnya yang berskala besar telah merusak tatanan kehidupan

seluruh ciptaan, baik bagi manusia dan tidak terkecuali juga bagi alam. Selama ini

jenis pelayanan yang diberikan kepada korban masih bersifat karitatif dan

temporer. Solidaritas kepada sesama mestinya tidak sekedar sebagai formalitas-

normatif, dalam pengertian derma yang timbul hanya karena rasa kasihan tanpa ada

rasa tanggung jawab. Pelayanan mestinya lebih bersifat kasih sesuai dengan nilai-

nilai Kristiani yang membutuhkan komitmen dan tanggung jawab untuk membantu

hingga tuntas. Selama ini, GBKP khususnya belum tiba pada tahap pembebasan,

pemberdayaan dan pendampingan yang sifatnya holistik (bersifat Reformatif dan

Transformatif). Selain itu peraturan-peraturan gereja yang dipahami secara kaku

juga menjadi salah satu penghambat dalam pelaksanaan pelayanan kepada korban

bencana alam.

4. Latar belakang SARA masih memberi pengaruh yang cukup besar dalam pelayanan

warga jemaat kepada korban bencana alam. Solidaritas masih diwarnai oleh latar

belakang yang sama, khususnya jemaat GBKP. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh

budaya suku Karo yang memegang teguh rasa kekeluargaan.

68
5.2 Saran

1. Karena kita tidak dapat memprediksi kapan terjadinya bencana alam, hendaknya

gereja dari sekarang membekali warga jemaat sebagai usaha untuk mempersiapkan

mereka menghadapi segala kemungkinan yang terjadi (usaha mitigasi).

2. Warga jemaat memiliki potensi yang besar untuk membantu korban bencana alam.

Oleh sebab itu, kesadaran warga jemaat untuk membangun solidaritas harus terus-

menerus ditingkatkan. Semakin tinggi kesadaran jemaat terhadap panggilannya,

akan semakin tinggi pula kadar pelayanan yang diberikan. Untuk itu, GBKP

mestinya lebih memberdayakan warga jemaat yang memiliki potensi dengan

mengikutsertakan mereka dalam membantu penanganan korban bencana alam.

Sangat penting juga meningkatkan kesadaran jemaat melalui kegiatan penyuluhan (

khotbah, seminar, pembinaan warga jemaat dll). Penyuluhan tersebut hendaknya

dilakukan terus-menerus agar pemahaman warga jemaat juga terus-menerus

berkembang, baik pengetahuan tentang bencana maupun solidaritas yang tanpa

sekat.

3. Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya dapat dijadikan sebagai contoh

bagaimana wujud solidaritas terhadap sesama. Walaupun ke-2 Runggun tersebut

tidak dapat mewakili Runggun GBKP secara keseluruhan, tetapi tidak menutup

kemungkinan masih banyak Runggun yang memiliki gambaran yang sama. Oleh

karena itu, GBKP harus memberikan perhatian yang serius terhadap masalah ini.

Dalam kondisi-kondisi tertentu pelayanan gereja mestinya lebih fleksibel, sehingga

birokrasi menjadi sarana untuk menyentuh pergumulan sesama yang menderita.

Otonomi gereja untuk mengambil keputusan dalam kondisi darurat hendaknya

dapat difungsikan dengan baik. Sinode juga hendaknya dengan cepat dan aktif

69
mengsosialisasikan kepada seluruh warga jemaat tindakan yang akan dilakukan

dalam menghadapi bencana alam. Perlu juga dilakukan seminar teologi bagi

seluruh pendeta maupun penatua dan diaken, khususnya bagaimana memahami

bencana alam dan selanjutnya dapat disosialisasikan kepada seluruh warga jemaat.

4. Budaya tradisionil dapat dijadikan sebagai sarana dalam membangun solidaritas

baik bagi manusia maupun bagi alam. Nilai-nilai budaya Karo yang sangat

menjunjung tinggi penghargaan terhadap alam dan sikap kekeluargaan dalam

kegotong-royongan sangat perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan.

5. Perlu adanya kerjasama antara gereja-gereja dengan pihak pemerintah dan

lembaga-lembaga sosial lainnya dalam menghadapi dan menanggulangi bencana

alam, khususnya dalam membantu para korban. Warga jemaat perlu dipersiapkan

sebagai komunitas menjadi alat penyembuh para korban bencana. Dalam kaitan

dengan hal ini, penting untuk mempersiapkan relawan-relawan yang terlatih sesuai

dengan potensi masing-masing.

70
KEPUSTAKAAN

A. Kamus, Alkitab, dan Konkordansi

Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002.

Ensklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I I M-Z, Douglas, J.D. Jakarta: Yayasan Bina

Kasih/OMF, 2001

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, Jakarta.

Konkordansi Alkitab, Walker, D.F. (dkk), Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2002

B. Buku

Aris Marfal, Muh., Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis atas Krisis Lingkungan

Berkelanjutan, Yogyakarta: Wahana Hijau, 2005.

Butaran, Freddy, Saudari Bumi Saudara Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Calvin, Yohanes, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,

2000.

Conn, Harvie M., Teologi Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991.

Diposantono Budiman, Subandono, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, Bogor: PT.

Sarana Komunikasi Utama, 2008.

Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2001

Haight, Roger, Teologi Rahmat dari Masa Kemasa, Flores-NTT: Nusa Indah, 1999.

Heuken SJ, A, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta, 1991.

Kieser SJ, B, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Leks, Stefan, Tafsir Injil Lukas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

71
Moderamen GBKP Kabanjahe, Tata Gereja Batak Karo Protestan, Kabanjahe: Abdi

Karya, 2005.

----------, Garis Besar Pelayanan GBKP 2005-2010, Kabanjahe: Abdi Karya, 2005.

Prinst, Darwan, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2004.

Rambe Hildebrandt, Ati, dkk., edt., Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks

Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase Intim, 2006.

Rani, Markus (peny), Teologi Kehidupan: Melestarikan Lingkungan Hidup, Tana Toraja-

SulSel: PT.SULO, 2006.

Sindhunata, Kambing Hitam Teori Rene Girard, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2006

Sinuraya, P., Diakonia GBKP 1, Medan, 1988.

Sitepu, Sempa, Sejarah – Pijer Podi Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, Medan: ADIYU,

1995.

Sobrino, Jon dan Pico, Juan Hernandes, Teologi Solidaritas, Yogyakarta: Kanisius: 1989.

Tinambunan, Victor, Gereja dan Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat Ditengah

Krisis Multi Dimensi, P. Siantar: L-SAPA STT HKBP, 2006.

Ucko, Hans, Belajar Tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, (terj.), Martin

Lukito Sinaga, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1995.

Winarno, Surachmat, Dasar dan Tehnik Research, Bandung: Tarsito, 1972.

Yewangoe, A.A., Teologi Crusis Di Asia: Pandangan Orang-Orang Kristen di Asia

Mengenai Penderitaan dalam Kemiskinan di Asia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,

2004.

72
C. Karangan

Borrong, Robert, “ Penanggulangan Bencana Alam”, disampaikan dalam lokakarya Dies

Natalis dan Reuni Raya STT Intim Makassar, 15 September 2007.

Erari Ph, Karel, “Teologi Lingkungan dalam Perspektif Melanesia”, dalam SETIA Jurnal

Teologi Persetia No.1, Jakarta, 1997.

Http: // pic – brr. Blogspot.com / bencana alam atau pembunuhan masal, htm., download

22 Oktober 2007.

Http: // id. Wikipedia.org / Wiki Bencana Alam – Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia

Berbahasa Indonesia. Htm, download 9 Februari 2008.

Sotarso, “ Siklus Penanggulangan Bencana”, disampaikan dalam Raker SATLAK PB

seluruh Indonesia di Yogyakarta dan Ujung Pandang, 1997.

D. Informan

1. Abanita Br Tarigan 12. Lopiga Surbakti

2. Pt. Arbi Banggun 13. Bp. Joseko Pelawi

3. Bp. Hendri Sembiring 14. Bp Alan Ginting

4. Dkn. Bani Surbakti 15. Servina Br Tarigan

5. Nd. Andre Surbakti 17. Dkn Sarah Br. Tarigan

6. Dkn. Edi Ginting

7. Nd. Rahel Surbakti

8. Nd. Lopiga Surbakti

9. Pt. Abdi Ginting

10. Pt. Madison Ginting

11. Pdt. Sabar Sembiring

73
Lampiran 1
DAFTAR PERTANYAAN QUESIONER

I. Petunjuk Pertanyaan
1. Lingkarilah salah satu jawaban yang menurut saudara benar.
2. Jika jawaban yang telah tersedia tidak sesuai menurut saudara, maka isilah pada titik-
titik yang disediakan.
II. Pertanyaan
A. Data Responden
1. Usia saudara sekarang:
a. 17 – 25 Tahun c. 56 – 64 Tahun
b. 26 – 55 Tahun d. 65 Tahun Keata
2. Jenis kelamin saudara:
a. Laki-laki
b. Perempuan
3. Pekerjaan saudara:
a. PNS c. Pedagang
d. Petani
b. Pegawai Swasta
e. Lainnya………..
4. Pendidikan terakhir saudara:
a. TK/SD c. SMU/ Sederajat
b. SMP/Sederajat d. Akademi/Perguruan Tinggi
5. Status dalam jemaat:
a. Majelis Jemaat c. Anggota jemaat biasa
b. Pengurus organisasi kategorial d. Lainnya…………..
B. Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam
1. Apakah yang saudara ketahui tentang bencana alam?
a. Bencana alam merupakan proses alamiah yang mengakibatkan kerusakan dan
kerugian
b. Bencana alam yang merenggut nyawa manusia
c. Bencana alam merusak tatanan kehidupan manusia dan ciptaan lain
d. Jawaban a dan b benar
e. Lainnya…………………

74
Lampiran 1
2. Apakah yang menyebabkan terjadinya bencana alam: gempa bumi, banjir, tanah
longsor, dan letusan gunung berapi?
a. Kehendak/ Hukuman Tuhan
b. Ulah manusia
c. Gejala alam
d. Faktor alam dan manusia
e. Lainnya……………….
3. Bagaimana saudara memahami bencana alam yang terjadi di daerah saudara ( bencana
alam di Yogyakarta lumpur Lapindo di Sidoarjo)?
a. Murka alam
b. Proses alamiah
c. Hukuman Tuhan bagi orang Aceh
d. Penyalah gunaan IPTEK
e. Lainnya
4. Apakah pendapat saudara tentang bencana alam Tsunami di Aceh?
a. Hukuman Tuhan
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
……………….
b. Bukan hukuman Tuhan
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
……………….
5. Dari mana pemahaman saudara dibangun tentang bencana alam?
a. Alkitab/ Ajaran gereja
b. Pendidikan formal
c. Pengalaman
d. Lainnya…………….
6. Bagaimana pandangan saudara tentang bencana alam berdasarkan budaya suku
Karo?.................................................................................................................................
.....................................................................................................................

75
Lampiran 1
C. Bentuk Solidaritas (bantuan) yang Diberikan kepada Korban Becana Alam
1. Bagaimana perasaan saudara ketika orang lain tertimpa bencana alam?
a. Sedih
b. Prihatin
c. Takut dan cemas
d. Biasa-biasa saja
e. Lainnya…………..
2. Bagaimana bentuk solidaritas saudara terhadap korban bencana alam, khususnya yang
terjadi di daerah saudara ( Yogyakarta dan Lumpu Lapindo di Sidoarjo)?
a. Memberi dukungan moral (mendoakan)
b. Memberi dukungan material
c. Terjun kelapangan
d. Berdiam diri
e. Lainnya…………….
3. Apakah bentuk solidaritas saudara ditentukan oleh latar belakang SARA (Suku,
Agama, Ras, dan Antar Golongan)?
a. Ya
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
b. Tidak
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
4. Menurut saudara jenis bantuan apakah yang paling tepat diberikan kepada korban
bencana alam?...........................................................................................................
Alasannya………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………..
5. Dalam situasi bencana bantuan karitatif yang sifatnya jangka pendek dan bantuan
pemulihan secara psikologi maupun ekonomi diperlukan para korban bencana alam.
Menurut saudara apakah gereja sudah melakukan hal tersebut?
a. Sudah

76
Lampiran 1
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
b. Belum
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
6. Apakah bentuk solidaritas saudara kepada korban bencana alam diberikan secara
pribadi (individu) atau secara institusi (Gereja)?
a. Secara individu
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
b. Secara institusi
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
7. Bagaimana peran gereja dalam melakukan sosialisasi tentang bencana alam?
a. Belum pernah
b. Sering
c. Jarang
8. Apakah saudara merasa perlu mengetahui cara-cara mencegah/mengatasi bencana
alam?
a. Perlu
b. Tidak perlu
c. Lainnya……………
9. Bagaimana selama ini gereja memberikan penjelasan atau sosialisasi tentang bencana
alam?
a. Melalui khotbah
b. Melalui PA/ Diskusi
c. Melalui seminar atau ceramah
d. Lainnya…………….

77
CURICULUM VITAE

Wina Citra Br. Sembiring Kembaren, dengan filosofi hidup “mela mulih adi lenga

rulih”adalah anak ketiga dari empat bersaudara (2 putra dan 2 putri). Buah cinta kasih dari

pasangan B. Sembiring Kembaren dan I. Br. Barus lahir di keindahan dan kesejukan kuta

Bukum, Kabupaten Deli Serdang, Medan – SUMUT pada tanggal 12 Maret 1985.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh:

 SD Negeri 101841 Bukum pada tahun 1991 – 1997

 SMP Negeri 1 Sibolangit pada tahun 1997 – 2000

 SMU Negeri 1 Pancur Batu pada tahun 2000 – 2003

 Tahun 2003 atas rekomendasi dari Moderamen Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)

melanjutkan pendidikan di lembaga STT INTIM Makassar pada program S-1 Teologi

78
PERNYATAAN PENYERAHAN SKRIPSI

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul:

MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN

Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya

Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam

dan Implikasinya Bagi GBKP

merupakan hasil kerja dan rumusan mandiri oleh penulis dan bebas dari unsur plagiat baik

dari sumber-sumber yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan.

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya serahkan karya ilmiah ini kepada Sekolah

Tinggi Teologia Indonesia Bagian Timur Makassar untuk disimpan, dipublikasikan dan

atau diperbanyak dalam bentuk apapun oleh STT INTIM Makassar bagi keperluan

akademis.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Makassar, 8 September 2008

Wina Citra Sembiring

79
80

You might also like