You are on page 1of 2

3-Hubungan Akal dan Wahyu Menurut Quraish Shihab Manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani.

Akal atau rasio ada wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan atau bahkan dihadapi oleh akal. Karya seni tidak dapat dinilai semata-mata oleh akal, karena yang lebih berperan di sini adalah kalbu. Kalau demikian, keliru apabila seseorang hanya mengandalkan akal semata-mata. Akal bagaikan kemampuan berenang. Akal berguna saat berenang di sungai atau di laut yang tenang, tetapi bila ombak dan gelombang telah membahana, maka yang pandai berenang dan yang tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung. Pelampung yang dimaksud disini adalah wahyu dari Allah.yang berperan sebagai petunjuk bagi umat manusia (Shihab, 1996: 377) Memahami wahyu dengan akalnya sambil berserah diri berbeda dengan mereka yang menggunakan akalnya sesuai kecenderungannya guna memahaminya. Seseorang yang berpijak pada wahyu lalu menggunakan akalnya untuk memahaminya berbeda dengan seseorang yang berpijak pada pada akal lalu menggunakannyua untuk memahami wahyu. Yang pertama adalah menjadikan wahyu sebgai pokok sambil menundukan akalnya kepada wahyu. Kedua menjadikan akalnya sebagai pokok dan menundukan wahyu kepada akal. Yang pertama adalah sikap penyerahan diri kepada wahyu dan yang kedua adalah sikap mengalihkan wahyu tunduk kepada akal sehingga memungkinkan melahirka tawil yang sesuai dengan tuntutan akal, walau bukan pada tempatnya. (Shihab, 2005: 97) Akal dan wahyu harus selalu dihubungkan, karena akal tidak dapat mencapai arah yang benar kecuali dengan bantuan wahyu dan wahyu pun tidak menjadi jelas tanpa bantuan akal. Akal bagaikan mata dan wahhyu adalah sinarnya. Mata tidak berfungsi tanpa ada sinar, dan sinarpun tidak berfungsi menampakan sesuatu tanpa mata. Akal dan wahyu ibarat dua sisi mata uang, tak dapat dipisahkan satu sama lain, itulah yang bisa disimpulkan dari penjelasan Quraish Shihab di atas, akal yang berjalan tanpa bimbingan wahyu maka ia akan mudah sekali tersesat, seperti manusia yang berjalan tanpa tujuan dan tak tahu arah. Sedangkan wahyu tanpa akal, ia tidak mempunyai arti apapun, wahyu hanyalah kumpulan kalimat yang tak bisa dipahami. Hanya manusia berakal sehatlah yang mampu menjadikan wahyu sebagai petunjuk dan pedoman dalam hidupnya.

Hubungan Akal dan Wahyu Menurut Harun Nasution Menurut Harun Nasution, manusia dengan akalnya cukup kuat untuk mengetahui baik dan jahat. Harun Nasution menempatkan akal pada posisi yang sangat tinggi dalam pemikirannya. Berangkat dari keterbatasan sumber keagamaan (al-Quran dan Hadist), maka menurutnya pengetahuan agama tidak hanya bersumber pada wahyu saja (Nasution, 1973: 14). Kenyataan tersebut juga didukung oleh kedudukan akal yang tinggi dalam al-Quran dan hadits yang menyuruh manusia untuk senantisasa berpikir. Ia menganjurkan menggunakan ijtihad dan meninggalkan taqlid terhadap pemikiran ulama ulama masa lampau. Ijtihad tidak hanya membuat hukum, tetapi menyentuh semua bidang pemikiran keagamaan dalam Islam. Tentu saja Harun Nasution dalam hal ini, sama dengan Mutazilah yang memang memberikan porsi yang lebih besar pada peran akal dari pada wahyu. Menurut Harun Nasution, sedikitnya ayat-ayat al-Quran yang membicarakan soal hidup kemasyarakatan umat sangat sesuai dengan sifat masyarakat itu sendiri yang dinamis, senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan mengikuti zaman. Wahyu hanya memberikan dasardasarnya saja selebihnya diserahkan Tuhan kepada manusia untuk mengaturnya. Mengenai ayat-ayat ilmu pengetahuan dan fenomena alam, yang disebut sebagai ayat-ayat kawniyah, pada dasarnya sangat mendorong manusia untuk senantisasa memperhatikan dan memikirkan alam sekitarnya. Jadi bagi Harun Nasution, Islam senantiasa terbuka untuk menerima pemikiran baru. Meskipun dalam Islam memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal, bagi Harun Nasution akal tidak pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk menempati posisi di bawah teks wahyu yang mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan bukan menentangnya. Akal hanya memberikan tafsiran terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan penafsir (Harun Nasution, 1986: 101). Yang perlu digaris bawahi bahwa, posisi akal tidak lebih tinggi daripada wahyu. Karena pemikiran yang membatalkan wahyu dengan akal sudah bukan lagi muslim. Dalam sejarah Islam klasik, pemikiran yang membatalkan wahyu dengan akal dapat dijumpai pada ibnu al-Rawandi dan al-Razi. Keduanya berpendapat bahwa akal lah satu-satunya jalan untuk memperoleh pengetahuan dan wahyu tidak diperlukan. Harun Nasution menggolongkan mereka sebagai orang mulhidin, percaya kepada Tuhan yang diketahui akal, bukan Tuhan yang dijelaskan wahyu (Harun Nasution, 1986: 103-104). Dengan memberikan lahan masingmasing kepada akal dan wahyu, bagi Harun Nasution antara keduanya tidak dapat dipisahkan dan tidak terdapat pertentangan. Dalam sejarah pemikiran Islam yang dipertentangkan bukanlah akal dan wahyu, melainkan penafsiran yang satu dengan yang lain terhadap teks wahyu. Yang dipertentangkan sebenarnya adalah pendapat ulama satu dengan ulama yang lain yang memberikan penafsiran terhadap suatu teks wahyu tertentu, atau antara ijtihad ulama yang satu dengan ulama yang lain. Terlepas dari ungkapan akal tidak lebih dari wahyu tersebut, kenyataan porsi akal yang lebih besar inilah yang dikatakan sebagai kedudukannya lebih tinggi dari wahyu. Jadi akal dalam pemikiran Harun Nasution akal lebih tinggi dari wahyu. Pemberian kapasitas yang tinggi pada akal manusia, menimbulkan relevansi pada kebebasan manusia untuk menentukan segala pilihannya. Harun Nasution dalam hal ini adalah seorang penganut aliran Qadariyah mengenai Pembebasan manusia. Tidak tanggung-tangung Harun Nasution dalam suatu kesempatan beliau menyatakan pengingkaranya pada rukun iman yang ke enam yaitu percaya pada qada dan qadar Allah. Mengutip pernyataan Harun Nasution yang menyatakan rukun yang ke enam ini membawa kita kepada sikap pasif dan menyerah, padahal zaman sekarang menghendaki keaktifan dan dinamika. Maka kita tinggalkan saja (Ukhrowi dan Thaha, 1989: 55).

You might also like