You are on page 1of 13

PENGARUH PERS TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI INDONESIA

Oleh: Meyrza Ashrie Tristyana 070913042

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS AIRLANGGA 2010

PENDAHULUAN
Topik: Pengaruh media penyiaran terhadap proses demokrasi di Indonesia Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh berbagai media penyiaran terhadap proses jalannya pemerintahan dan untuk memberikan contoh konsep pers yang dapat memperkuat demokratisasi di Indonesia. Rumusan Masalah: 1. Apakah kebebasan pers pasca Orde Baru memperkuat demokratisasi di Indonesia? 2. Bagaimana peran pers di Indonesia yang dapat memperkuat demokratisasi? Pernyataan tesis: Media penyiaran di Indonesia mulai berkembang setelah orde lama berakhir karena kebebasan pers mulai dirasakan oleh jurnalis. Namun masih banyak hal yang menjadi kendala perwujudan peranan pers sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh faktor dari dalam tubuh pers sendiri.

Latar Belakang: Saat ini, Indonesia telah memiliki banyak media untuk mewujudkan demokrasi. Salah satunya adalah pers. Kebebasan pers dengan kontrol yang juga dinilai kurang jelas. Pada masa orde baru, pers dikekang. Pers hanya boleh memberitakan hal-hal yang telah disetujui atau disensor oleh pemerintah. Pers digunakan sebagai alat untuk mencari legitimasi, menunjukkan citra diri pemerintahan yang baik pada masa itu. Namun tidak sebaliknya. Jangankan menyampaikan pendapat rakyat, rakyat pun kurang bisa menikmati hak kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi seperti yang tertulis pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Hingga akhirnya ada beberapa media yang mulai berani, memberitakan keburukan pemerintahan pada masa itu, dan membuat rakyat geram,

terutama mahasiswa. Sampai mereka berhasil menggulingkan kepala pemerintahan pada saat itu. Hal itu tidak lepas dari peran pers dalam media penyiaran yang ingin mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Setelah itu, kebebasan pers mulai terwujud. Pers seharusnya benar-benar menjadi pengawas atas semua gerakan pemerintah agar pemerintah pun mulai bersikap hati-hati. Sudah seharusnya, kebebasan pers di negeri ini dilandasi dengan kode etik yang kuat dan tidak keluar jalur agar dapat membantu demokratisasi Indonesia.

ISI

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani (dmokrata) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata (dmos) "rakyat" dan (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.1 Jadi, dapat disimpulkan, demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pemahaman sederhananya, menurut masyarakat, demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi sendiri memiliki beberapa ciri, salah satunya adalah adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara. Dan apabila ciri tersebut ada dalam sebuah negara, maka beberapa prinsip demokrasi juga akan terwujud. Contohnya saja, adanya kekuasaan mayoritas, terjaminnya hak-hak minoritas dan hak asasi manusia, persamaan di depan hukum, pluralisme sosial, ekonomi, dan politik, serta tingginya nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat. Untuk mewujudkan semua hal tersebut, diperlukan salah satu alat yang disebut pers. Pengertian yang umum tentang pers adalah usaha-usaha dari alat-alat komunikasi massa untuk memenuhi kebutuhan anggota-anggota masyarakat akan penerangan, hiburan, atau keinginan mengetahui peristiwa-peristiwa atau berita-berita yang telah/akan terjadi di sekitar mereka khususnya di dunia umumnya, biasanya berwujud dalam bentuk surat kabar, majalah, buletin kantor berita, lain-lain media yang tercetak, atau diusahakan melalui radio, televisi, film, dan lain sebagainya.2

http://www.bbc.co.uk/history/ancient/greeks/greekdemocracy_01.shtml (diakses dan diterjemahkan 11 Januari 2011, 17.00 WIB) 2 Taufik, Drs, I, Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia, Penerbit P.T. Triyindo, 1977, hal 78.

Pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum, berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, dilengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya.3 Jadi, dapat disimpulkan, ada 2 pengertian tentang pers yang umumnya dipahami oleh masyarakat, yaitu sebagai berikut: 1. Dalam arti sempit, pers adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran, majalah, tabloid, dan buletin-buletin pada kantor berita. 2. Dalam arti luas, pers mencakup semua media komunikasi, yaitu media cetak, media audio visual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi, film, internet, dan sebagainya. Pers merupakan salah satu pilar demokrasi yang menjembatani pemerintah dengan rakyat secara dua arah. Jadi pers diharuskan bersikap netral dan jujur demi berjalannya fungsi dan peranan pers yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 berikut: 1. Sebagai wahana komunikasi massa. 2. Sebagai penyebar informasi. 3. Sebagai pembentuk opini. 4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi. Selain itu, UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 juga menyebutkan: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.. Jadi dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia secara umum antara lain sebagai berikut: 1. Media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya. 2. Media perantara bagi pemerintah dan masyarakat. 3. Penyampai informasi kepada masyarakat luas. 4. Penyaluran opini publik.
3

Undang-undang No.11 tahun 1966 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara No. 40 tahun 1966) dalam Bab 1 Ketentuan Umum, Pasal 1.

Untuk menjalankan peranannya tersebut, pers sebagai sarana argumen masyarakat, dilindung oleh UUD 1945 Pasal 28, yang berbunyi: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang. Selain itu, kebebasan pers di Indonesia memiliki landasan hukum yang termuat didalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pasal 28 F, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pasal 19 Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Meskipun telah dilindungi oleh undang-undang yang kuat, pers masih saja cukup kesulitan untuk mendapatkan kebebasannya. Sehingga pers tidak berperan penuh dalam demokratisasi di Indonesia ini. Contohnya saja pada masa Orde Baru, demokrasi yang berjalan pada masa itu dikuasai oleh sekelompok kepentingan yang menguasai orang banyak. Dengan kata lain, tidak sepenuhnya demokrasi. Pers masih lebih menjembatani keinginan pemerintah pada rakyatnya, bukan sebaliknya. Rakyat pun kurang berpartisipasi dalam memanfaatkan pers sebagai saran demokrasi. Kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalm proses politik dimasa Orde Baru disebabkan oleh tekanan, monopoli kekuasaan, mobilisasi, besarnya peranan militer dan intervensi Negara yang terlalu besar dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi, sehingga masyarakat mengalami krisis partisipasi politik yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan dianggap tidak sah dan tidak legalnya berbagai tuntutan serta tingkah laku politik masyarakat yang ingin berperan serta dalam proses politik dan pemerintahan.

Akibat partisipasi politik yang dibatasi maka rakyat cenderung memilih unjuk rasa sebagai partisipasi politik. Unjuk rasa yang terjadi pada bulan Mei tahun 1998 yang dilakukan oleh mahasiswa dan didukung oleh masyarakat merupakan suatu bentuk ketidak puasan dan kejenuhan masyarakat terhadap pemerintah yang akhirnya mampu menggantikan kekuasaan yang ada dan menggantikan pula sistem penyelenggaraan Negara, daripada mereka mengutarakan pendapat melalui pers. Karena tidak jarang pula, pers merasa terancam oleh pemerintah yang mengandung unsur militer pada masa itu apabila memberitakan suatu hal yang mengkritisi pemerintah. Hingga akhirnya tercetuslah reformasi yang membawa banyak perubahan bagi Indonesia. Kebebasan pers menjadi sangat nyata dan sebebas-bebasnya. Kalangan pers kembali bernafas lega karena pemerintah mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi manusia dan UU no. 40 tahun 1999 tentang pers. Dalam UU Pers tersebut dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai Hak azasi warga negara (pasal 4) dan terhadap pers nasioal tidak lagi diadakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 2). Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi, kecuali hak tolak gugur apabila demi kepentingan dan ketertiban umum, keselamatan negara yang dinyatakan oleh pengadilan. Hingga kini kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers. Namun kegiatan jurnalisme ini juga cukup banyak yang melanggar kode etik pers sehingga masih menimbulkan kontroversi di masyarakat. Selain itu, beragamnya jenis, tujuan, dan cara pemberitaan oleh pers terkadang menjadi suatu hal yang tidak membantu proses demokrasi di Indonesia. Dalam tujuan pembentukan pers, memang ada sisi ekonomi, namun sebagai lembaga yang harusnya netral, pers harus mengutamakan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Tapi kenyataannya pada saat ini, banyak perusahaan pers yang dikuasai penuh oleh pengusaha. Sehingga mereka lebih mengutamakan uang yang mereka dapatkan dibandingkan bobot darat berita yang mereka sajikan. Pemberitaan pun mulai jauh dari nilai-nilai jurnalistik profesional dan lebih mementingkan unsur-unsur yang menjual seperti seks, kekerasan, dan mistik. Pers seperti ini memang tetaplah pers, karena masih fungsi pers yang menjadi pendidikan di dalamnya. Yang berbeda hanyalah penggolongan profesionalismenya. Dan pers yang seperti ini, kurang membantu dalam demokratisasi di Indonesia.

Hal lain yang cukup mengganggu kinerja pers sebagai sarana demokrasi adalah masuknya orang-orang politik kedalam perusahaan pers. Di Indonesia, ada beberapa stasiun televisi swasta yang mana pemiliknya adalah orang yang berkecimpung didalam partai politik atau sejenisnya. Ini membuat perusahaan pers tersebut tidak cukup netral dalam mebuat suatu pemberitaan terutama jika mengenai politik. Secara tersirat, mereka pasti memihak partai atau kepentingan yang dianut oleh pemilik perusahaan tersebut. Atau paling tidak, mereka tidak akan membuka sedikitpun keburukan tentang aliran politiknya. Maka dari itu, diperlukan suatu konsep pers ideal yang benar-benar mampu menjadi penghubung, pengontrol, sekaligus pengawas bagi pemerintahan yang berjalan di Indonesia. Hal ini diperlukan agar peran pers sebagai penunjang demokratisasi di Indonesia semakin terasa dan juga agar pers mengerti batasan-batasannya. Pers yang ideal demi tegaknya kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokrasi adalah pers bebas yang difungsikan oleh jurnalis-jurnalis profesional. Profesionalisme yang menjadi esensi jurnalis dalam institusi pers bebas itu berfungsi menjaga dihormatinya hak setiap warga masyarakat, siapa pun tanpa kecuali, untuk tidak dimobilisasi melainkan berpartisipasi di dalam setiap proses politik. Jadi pers cukup mengerti dan bertanggung jawab atas pemberitaan yang dibuatnya. Campur tangan pers dalam politik tidak hanya sebatas itu, pers juga diharapkan menjadi kontrol sosial dan juga sebagai kekuasaan keempat, melengkapi tiga kekuasaan lain (eksekutif, judikatif, dan legislatif). Dalam posisi politisnya sebagai kekuasaan keempat dan dalam fungsinya sebagai pengawas kekuasaan itulah pers bebas. Dalam arti mampu melepaskan diri dari badan pemerintah maupun yang tengah berkuasa, baik yang legislatif atau yudisial, apalagi eksekutif. Pers bebas yang tidak ada di bawah kontrol siapa pun, kecuali dikontrol oleh jurnalis profesional yang berkeahlian dan berintelektual tinggi, sebagaimana layaknya insan-insan profesional yang lain, dan yang melaksanakan tugasnya tidak akan dikontrol oleh siapa pun, kecuali oleh kode etiknya sendiri, dan dibawah pemilik organisasinya sendiri yang independen, tidak teracuni dengan pengaruh politik maupun kepentingan ekonomi yang dominan.

Selain itu, pers memiliki beberapa teori yang menjadi landasan pembentukan konsep pers ideal di masing-masing negara, sesuai dengan sistem pemerintahan masing-masing. Menurut saya, Libertarian Press dan Social Responsibility Press adalah teori yang cukup baik demi membantu proses demokrasi di Indonesia. Penggabungan dari keduanya, mampu mewujudkan pers yang bebas dan bertanggung jawab. Libertarian Press adalah teori yang memutarbalikkan posisi manusia dan Negara sebagaimana yang dianggap oleh teori Otoritarian (kebenaran dianggap bukanlah hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang-orang bijak yang berkedudukan membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka). Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, antara alternatif yang lebih baik dengan yang lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan pilihan-pilihan alternatif. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran. Dalam teori Libertarian, pers bukan instrumen pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas sari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers. Sebagian besar negara non-komunis, paling telah menerima teori pers Libertarian. Tetapi pada abad ini telah ada aliran-aliran perubahan. Aliran ini berbentuk sebuah Otoritarianisme baru di negara-negara komunis dan sebuah kecenderungan kearah Liberitarianisme baru di negara-negara non komunis. Sedangkan Social Responsibility Press, teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab Sosial punya asumsi utama bahwa kebebasan, mengandung didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan dan pers yang telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggung jawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Asalkan pers mengerti tanggung jawabnya dan menjadikan itu landasan

kebijaksanaan operasional mereka, maka sistem libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima tanggungjawabnya, maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menjalankan fungsi komunikasi massa. Pada dasarnya fungsi pers dibawah teori tanggungjawab sosial sama dengan fungsi pers dalam teori Libertarian. Digambarkan ada enam tugas pers: 1. Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. 2. Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri. 3. Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah. 4. Melayani sistem ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan, 5. Menyediakan hiburan. 6. Mengusahakan sendiri biaya finansial, sedemikian rupa sehingga bebas dari tekanan-tekanan orang yang punya kepentingan. Diharapkan dengan seimbangnya komposisi kedua teori ini dalam pembentukan sebuah konsep ideal pers, dapat membantu demokratisasi di Indonesia karena sejalan dengan konstitusional Indonesia sendiri.

PENUTUP
Pada masa Orde Baru, pers sangat tidak leluasa dalam menjalankan tugasnya sehingga tidak dapat menonjolkan perannya sebagai pilar demokrasi. Namun setelah reformasi, pers berubah seiring dengan berubahnya pemerintahan negara ini. Banyak yang beranggapan bahwa kebebasan pers yang didapat pada masa reformasi akan membawa perubahan besar bagi proses demokrasi di Indonesia. Namun ternyata tidak. Kurangnya peran pers dalam demokratisasi di Indonesia disebabkan oleh tipe-tipe perusahan pers dan jurnalis yang sangat beragam, dan juga kesalahan pemanfaatan kebebasan pers itu sendiri. Masih banyak pers yag melanggar kode etik jurnalistik. Belum lagi pers yang berani tidak bersikap netral hanya karena mengedepankan keuntungan materi. Sekarang, profesi sebagai jurnalis tidak bisa dipandang enteng oleh siapa pun, sementara makin disadari bahwa media massa sangat berkuasa, mampu mengubah perilaku pembacanya. Di sisi lain, kondisi kesejahteraan para jurnalis di Indonesia juga belum terlalu menggembirakan, sehingga muncul di mana-mana fenomena wartawan yang menawarkan diri mencari uang dari berita yang dimuat atau tidak bakal dimuatnya dari narasumber atau pihak tertentu yang berkepentingan. Keberpihakan pers yang independen terhadap proses demokrasi, tentu lebih mengedepankan idealisme ketimbang disibukkan urusan bisnis, kepentingan individu atau golongan, maupun berita pesanan. Ada banyak celah sebenarnya yang bisa menempatkan pers kita jika ia tidak ingin dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Pertama, berjalan luruslah di dalam rel keberpihakan terhadap rakyat secara maksimal. Kedua, konsistenlah terhadap pemberitaan yang tidak terputus. Sebagai misal ketika ia memberitakan sebuah kasus di pengadilan, selesaikanlah sampai final. Jangan berhenti di tengah jalan apalagi membuat berita jadi menggantung. Ketiga, meningkatkan kemampuan jurnalistik secara mumpuni. Keempat, setialah terhadap pilihan profesi sebagai insan pers. Jalan panjang mencapai pilar keempat demokrasi, setelah pilar pertama eksekutif, kedua legislatif, dan ketiga yudikatif, memang bukan hal yang mudah. Penganiayaan

terhadap wartawan, kesejahteraan sosial, menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, janganlah dijadikan alasan untuk tidak menjadi wartawan profesional.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan. 1996. Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik. Jakarta: Jurnalindo-Gatra. Atmadi, T. 1985. Sistem Pers Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter, dari Gerakan Penindasan menuju Politik Hegemoni, Studi atas Pidato-Pidato Politik Soeharto. Yogyakarta: Insist. Harahap, Khrisna. 2000. Kebebasan Pers di Indonesia. Jakarta: Grafiti. Rizal Malarangeng. 2008. Pers Orde Baru, Tinjauan Isi Harian Kompas dan Suara Karya. Yogyakarta: Gramedia. Siebert, Fred. 1986. Empat Teori Pers. Jakarta: Intermasa. Taufik, I. 1977. Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: Triyindo. http://www.berita-terbaru.com/berita-nasional/kebebasan-pers-di-indonesia-overdosis.html (diakses tanggal 12 Januari 2011, 10.00 WIB) http://beritasore.com/2010/10/04/batasi-kebebasan-pers/ (diakses tanggal 12 Januari 2011, 10.00 WIB) http://definisi-pengertian.blogspot.com/2010/01/definisi-pers.html Januari 2011, 17.00 WIB) http://id.wikipedia.org/wiki/Media_massa (diakses tanggal 10 Januari 2011, 19.00 WIB) http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi (diakses tanggal 10 Januari 2011, 19.00 WIB) http://www.journalismethics.ca/research_ethics/history.htm (diakses dan diterjemahkan 11 Januari 2011, 17.00 WIB) http://www.lintasberita.com/Nasional/Politik/beberapa-hal-yang-mengancam-kebebasanpers- (diakses tanggal 12 Januari 2011, 10.00 WIB) http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,10-Tahun-Reformasi-Kebebasan-PersMemburuk-1792.html (diakses tanggal 12 Januari 2011, 10.00 WIB) (diakses tanggal 11

You might also like