You are on page 1of 65

Praktikum Teknologi Pati, Gula dan Sukrokimia

Hari, Tanggal : Jumat, Mei 2011 Dosen Asisten : Ir, Sapta Raharja, DEA. : 1. Rizky Bachtiar 2. Ika Kartika F34070086 F34070092

PEMBUATAN TEPUNG DAN EKSTRAKSI PATI, MODIFIKASI TEPUNG KASAVA, PEMBUATAN PATI TERMODIFIKASI DAN PRODUK HIDROLISAT PATI, SERTA KARAKTERISASI TEPUNG DAN PATI

Oleh: M. Rifky Rachmad Lubis Putri Yuliastuti Yuyun Pujiastuti F34080011 F34080062 F34080124

2011 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

I. Mba yuun.. II. Mba yuun

PENDAHULUAN

METODOLOGI

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Percobaan I. Pembuatan Tepung dan Ekstraksi Pati Pembuatan Tepung Kelompok Jenis Bahan Ketan hitam Beras Singkong Kentang Ubi Jalar Talas Bobot Awal/Utuh (g) 1200 2000 3100 2000 Setelah dikupas (g) 849 1400 1800 1650 Rendemen (g) 359,37 302,85 448,00 450,72 Rendemen (%) 29,95 15,14 14,45 22,54

1 2 3 4 5 6

Ekstraksi Pati Kelompok Jenis Bahan Ketan hitam Beras Singkong Kentang Ubi Jalar Talas Bobot Awal/Utuh (g) 200 200 850 1000 1000 1000 Setelah dikupas (g) 649 700 800 900 Rendemen (g) 127,72 58,14 50,00 27,90 101,51 64,95 Rendemen (%) 63,86 29,07 5,88 2,79 10,15 6,50

1 2 3 4 5 6

II. Modifikasi Tepung Kasava Kelompok Jenis Produk Tepung 1 Kasava (dry yeast) Tepung 2 Kasava (ragi tape) 3 4 5 6 Farina Rava Gari Gaplek 475 1100 1000 1350 350 700 800 1000 175,72 391,40 240,00 312,10 36,99 35,58 24,00 23,12 1400 1200 307,30 21,95 1600 1300 393,23 24,58 Bobot Awal/Utuh (g) Setelah dikupas (g) Rendemen (g) Rendemen (%)

Pati Termodifikasi Kelompok 1 2 3 4 5 6 Bahan Sagu Tapioka Tapioka Sagu Tapioka Tapioka Jenis Produk Pati Pregelatinisasi (Suhu Pati Pregelatinisasi (Suhu 50C) Pati Pregelatinisasi (60C) Pati Pregelatinisasi (Starch) Pirodekstrin Starch) Heat-Moisture Treated Starch Bobot Awal (g) 75 75 100 100 500 50 Bobot akhir (g) 58,94 56,16 90,94 75,62 429,73 46,85 Rendemen (%) 78,59 74,88 90,94 75,62 85,95 93,70

III. Produk Hidrolisat Pati Kelompok Percobaan Bobot Awal Bobot Akhir

Maltodekstrin dengan katalis asam (sagu) Maltodekstrin dengan katalis enzim (tapioka) Maltodekstrin dengan katalis asam (tapioka) Maltodekstrin dengan katalis enzim (sagu) Sirup glukosa dengan katalis asam (tapioka) Sirup Glukosa dengan enzim (tapioka)

30 gr dalam 100 ml 30 gr dalam 100 ml 30 gr dalam 100 ml 30 gr dalam 100 ml 30 gr dalam 100 ml 30 gr dalam 100 ml

14,7 gr

34,83 gr

14,28 gr

19,15 gr

21,41 gr

16,84 gr

IV. Karakterisasi Pati Dan Tepung Pati Alami Kelompok (A) Bahan 1 Ketan hitam Pati Termodifikasi (M) Produk Pati Pregelatinisasi (Suhu 50C) Pati Pregelatinisasi (Suhu 60C) Pati Pregelatinisasi (Starch) Pati Pregelatinisasi (Starch) Pirodekstrin Hidrolisat Pati (H) Bahan Maltodekstrin dengan katalis asam (sagu) Maltodekstrin dengan katalis enzim (tapioka) Maltodekstrin dengan katalis asam (tapioka) Maltodekstrin dengan katalis enzim (sagu) Sirup glukosa dengan katalis

Beras

Singkong

4 5

Kentang Ubi Jalar

asam (tapioka) 6 Talas Heat-Moisture Treated Starch Sirup Glukosa dengan enzim (tapioka)

1. Uji Iod Kelompok Pati Alami (A) Bahan Ketan hitam Uji Iod Coklat (++) Pati Termodifikasi (M) Produk Pati Pregelatinisasi (Suhu 50C) Pati Pregelatinisasi (Suhu 60C) Pati Pregelatinisasi (-Starch) Pati 4 Kentang Pregelatinisasi (-Starch) Biru (+++) Uji Iod Biru (+++) Hidrolisat Pati (H) Bahan Maltodekstrin dengan katalis asam (sagu) Maltodekstrin dengan katalis enzim (tapioka) Maltodekstrin dengan katalis asam (tapioka) Maltodekstrin dengan katalis enzim (sagu) Sirup glukosa dengan katalis asam (tapioka) Sirup Glukosa dengan enzim (tapioka) Biru (++) Uji Iod Biru (+++)

Beras

Ungu (++)

Biru (+++)

Ungu (++)

Singkong

Biru (+++)

Ungu (++)

Kuning (++)

Ubi Jalar

Biru (++)

Pirodekstrin

Talas

Heat-Moisture Treated Starch

Ket: +++ = tua ++ = sedang + = muda

2. Bentuk Granula Kelompok 1 Pati Alami (A) Ketan hitam Pati Termodifikasi (M) Pati Pregelatinisasi (Suhu 50C) Hidrolisat Pati (H) Maltodekstrin dengan katalis asam (sagu)

Beras

Pati Pregelatinisasi (Suhu 60C)

Maltodekstrin dengan katalis enzim (tapioka)

Singkong

Pati Pregelatinisasi (Starch)

Maltodekstrin dengan katalis asam (tapioka)

Kentang

Pati Pregelatinisasi (Starch)

Maltodekstrin dengan katalis enzim (sagu)

Ubi Jalar

Pirodekstrin

Sirup glukosa dengan katalis asam (tapioka)

Talas

Heat-Moisture Treated Starch

Sirup Glukosa dengan enzim (tapioka)

3. Suhu Gelatinisasi Pati Alami Kelompo k 1 2 3 4 5 6 3,4 3,2 3,3 3,1 3 3 3,3 3,3 3,3 3,3 3,4 3,4 2 3,2 4,3 35C 45C 55C 65C Tinggi larutan (cm) 3 75C 85C 95C

Pati Termodifikasi Kelompo k 1 2 3 3,2 3,2 3,3 3,3 3,3 3,4 3 4 4,5 35C 45C 55C 65C 75C 85C 95C

Tinggi larutan (cm) 4,5 4 -

4 5 6 3,5 3,4 3,3 3,2 -

Hidrolisat Pati Kelompo k 1 2 3 4 5 6 3,4 3,3 3,2 3,1 3,2 3,1 3,1 3,1 3,15 3,15 3,1 3,15 35C 45C 55C 65C Tinggi larutan (cm) Tidak terjadi kenaikan volume (penurunan) 75C 85C 95C

4. Kadar Air (Pati Alami) Jenis Bahan Beras Ketan Beras Singkong Kentang Ubi Jalar Talas 5,6453 6,6803 1,035 1,08 3,80 Bobot cawan kosong (g) 5,2597 5,1200 Bobot cawan+bahan stlh dioven (g) 6,4050 8,6758 Bobot bahan kering (g) 1,1453 3,5558 Bobot contoh (g) 1,84 3,74 Kadar Air (%) 37,60 4,86

Kelompok

1 2 3 4 5 6

5. Kejernihan Pasta Kelompok Pati Alami (A) Pati Termodifikasi (M) % T (Transmittance) Hidrolisat Pati (H)

1 2 3 4 5 6

19,1

62,0

14,2

43,3

70,0

14,1

27,5

55,9

17,6

6. Apparent viscosity Kelompo k 1 2 3 4 5 6 11,25 15,63 6,06 9,70 7,12 11,77 22,68 43,42 17,42 31,73 7,59 11,34 Pati Alami (A) Waktu awal (s) 9,76 Waktu akhir (s) 25,11 Pati Termodifikasi (M) Waktu awal (s) 11,16 Waktu akhir (s) 46,89 Hidrolisat Pati (H) Waktu awal (s) 9,04 Waktu akhir (s) 22,81

7. Kelarutan dan Swelling Power Pati Alami Bobot Kelompok endapan pasta (g) 1 2 3 4 5 6 18,29 27,95 37,49 37,5300 0,0400 13,33 0,755 20,62 2,65 Bobot contoh (g) 25,00 41,28 Bobot cawan kosong (g) 51,48 53,71 Bobot cawan+bahan stlh dioven (g) 51,5206 53,8600 Penambahan bobot (g) 0,0406 0,1500 Kelarutan (%) 13,53 50,00 Swelling Power (%) 0,954 0,128

Pati Termodifikasi Bobot Kelompok endapan pasta (g) 1 2 3 4 5 6 9,58 40,42 43,07 43,2500 0,1800 60,00 0,593 20,33 9,55 25,01 32,18 Bobot contoh (g) Bobot cawan kosong (g) 56,04 43,43 Bobot cawan+bahan stlh dioven (g) 56,2506 43,5000

Penambahan bobot (g)

Kelarutan (%)

Swelling Power (%)

0,2106 0,0700

70,20 23,33

2,728 0,387

Hidrolisat Pati Bobot Kelompok endapan pasta (g) 1 2 3 4 5 6 6,99 41,91 40,11 40,3900 0,2800 93,33 2,502 21,01 9,99 Bobot contoh (g) 25,1 41,51 Bobot cawan kosong (g) 42,32 33,59 Bobot cawan+bahan stlh dioven (g) 42,4845 33,6500 Penambahan Kelarutan bobot (g) 0,1645 0,0600 (%) 54,83 20,00 Swelling Power (%) 1,853 0,301

8. Uji Total Gula Kelompok 1 2 3 4 5 6 Pengenceran (kali) 20.000 3.000 12.000 10.000 24.000 20.000 Nilai absorbansi 0,623 0,892 0,967 0,873 0,588 0,729

9. Uji DNS Kelompok 1 2 3 4 5 6 Pengenceran (kali) 3000 3000 10000 3000 10000 1000 Absorbansi 0,318 0,590 0,134 0,340 0,788 0,073

10. Uji Kadar Pati Kelompok 1 2 3 4 5 6 Banyaknya tio (ml) 8,5 7,4 8,9 9,4 17 4,8 Kadar pati (%) 0,1899 0,16 0,1971 2,353 0,3978 0,1053

Balanko : 0,2727% Perhitungan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Blanko:

B. Pembahasan 1. Pembuatan Tepung Dan Ekstraksi Pati Tepung yang banyak digunakan pada dasarnya berasal dari gandum, walau terdapat juga tepung berasal dari jagung, beras, buah dan sayuran. Mengenal tipe tepung yang akan digunakan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Agar berhasil saat membuat kue, penting untuk diketahui jenis tepung yang cocok. Di dalam tepung terigu terdapat senyawa yang dinamakan gluten, hal ini yang membedakan tepung terigu dengan tepung-tepung lainnya. Gluten adalah suatu senyawa pada tepung terigu yang bersifat kenyal dan elastis, yang diperlukan dalam pembuatan roti agar dapat mengembang dengan baik, yang dapat menentukan kekenyalan mie serta berperan dalam pembuatan kulit martabak telur supaya tidak mudah robek. Umumnya kandungan gluten menentukan kadar protein tepung terigu, semakin tinggi kadar gluten, semakin tinggi kadar protein tepung terigu tersebut. Praktikum kali ini membuat tepung dari berbagai bahan baik umbi-umbian maupun serealia. Bahan serealia yang digunakan adalah beras ketan hitam. Sedangkan untuk bahan umbi digunakan ubi kayu, ubi jalar, kentang, dan talas. Tepung-tepung yang sudah jadi tersebut dibuat tepung komposit sebelum digunakan untuk membuat produk. Tepung komposit adalah tepung yang terdiri dari berbagai jenis tepung yang berbeda. Tepung-tepung tersebut dicampur untuk menghasilkan sifat tepung yang diharapkan agar mempermudah pengolahan dan menghasilkan sifat produk yang bagus. Tepung dari umbi-umbian dapat dibuat dengan dua cara : yang pertama umbiumbian diiris tipis lalu dikeringkan kemudian ditepungkan dan yang kedua umbi diparut atau dibuat pasta lalu dikeringkan dan ditepungkan. Pada praktikum ini, cara yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah cara pertama dimana umbi diiris tipis lalu dikeringkan. Pengeringan adalah suatu cara untuk mengurang kadar air suatu bahan, sehingga diperoleh hasil akhir yang kering. Pengeringan ini bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan. Pengeringan juga diartikan sebagai suatu proses pindah panas dan pindah masa. Pindah panas berlangsung melalui suatu permukaan yang padat, dimana panas dipindahkan kedalam bahan melalui plat logam alat pemanas. Selanjutnya air dalam bahan keluar dan menguap.

Pada dasarnya penguapan air suatu bahan sangat bervariasi sesuai dengan aliran panas. Pengeringan akan lebih efektif pada aliran udara yang terkontrol. Ada dua cara pengeringan yang biasa digunakan pada bahan pangan yaitu pengeringan dengan penjemuran dan pengeringan dengan alat pengering dan pada umumnya proses pengeringan dilakukan dengan sinar matahari. Menurut Payne et.al (1941), ada dua keuntungan penjemuran di bawah sinar matahari, yitu adanya daya pemutih karena sinar ultra violet matahari dan mengurangi degradasi kimia yang dapat menurukan mutu bahan. Sedangkan kelemahannya dapat terkontaminasinya bahan oleh debu yang dapat mengurangi derajat keputihan tepung. Dalam proses pengeringan sering timbul berbagai masalah seperti sulitnya pengontrol suhu dan kelembapan udara, terjadinya kontaminasi mikroba, serta ketergantungan pada kondisi cuaca setempat. Pengeringan dengan alat pengering buatan akan memperoleh hasil seperti yang diharapkan asalkan kondisi pengering dapat terkontrol dengan baik. Umumnya pengeringan dengan menggunakan alat pengering berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran dan dapat lebih mempertahankan warna bahan yang dikeringkan ( Payne et.al., 1941). Penggilingan merupakan proses yang selalu dilakukan dalam pembuatan tepung (Thomson, 1976). Penggilingan pada praktikum ini menggunakan alat penggiling biji-bijian yang sederhana. Setelah itu dilakukan penyaringan menggunakan saringan agar didapat tepung yang lebih halus. Penggilingan serealia dan biji-bijian ke dalam bentuk tepung dapat meningkatkan daya gunanya sebagai bahan penyedia pemenuh kebutuhan kalori dan protein bagi bahan baku industri pangan. Penggilingan serealia dan biji-bijian ke dalam bentuk tepung dapat dilakukan secara kering dan basah. Kedua cara tersebut pada prinsipnya sama yaitu memisahkan lembaga dari bagian kulitnya (Thomson, 1976). Dalam praktikum ini, perlakuan pengeringan spesifik umtuk bahan tertentu. Untuk bahan-bahan yang mengandung kadar air tinggi seperti talas, ubi jalar, kentang, dan singkong dikeringkan menggunakan oven. Namun dalam pengeringan tersebut bahan seharusnya dibolak-balik agar pengeringan berjalan lebih cepat dan merata. Sedangkan untuk bahan-bahan yang mengandung kadar air rendah seperti ketan hitam dan beras dikeringkan dengan sinar matahari langsung.

Dibandingkan dengan bahan baku lain seperti jagung, gandum, ubi dan lainnya, tepung kentang ini memiliki kandungan protein dan lemak yang rendah, suhu gelatisasi yang rendah serta dapat disimpan dengan kandungan air yang tinggi tanpa menimbulkan bau apek. Selain itu, dibandingkan dengan tepung dengan bahan baku lainnya, tepung kentang memiliki butiran tepung yang lebih besar. Tepung kentang ini banyak digunakan untuk bahan baku pembuatan snack, makanan bayi, mie instan, saus, makanan rendah kalori, soft drink, bir, es krim, permen, selai dan marmalade, buah kaleng, makanan ternak. Selain itu tepung kentang ini juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan plastik kemasan, pembalut wanita, kapsul untuk industri obat-obatan , kertas dan bahan-bahan bangunan dalam industri tekstil. Tepung ketan merupakan bahan pokok pembuatan kue-kue Indonesia yang banyak digunakan sebagaimana juga hal dengan tepung beras. Tepung ketan saat ini sangat mudah untuk mendapatkannnya karena banyak dijual dipasaran dalam bentuk tepung yang halus dan kering. Tepung ketan memiliki amilopektin yang lebih besar dibandingkan dengan tepung-tepung lainnya. Amilopektin inilah yang menyebabkan tepung ketan (beras ketan) lebih pulen dibandingkan dengan tepung lainnya. Makin tinggi kandungan amilopektin pada pati maka makin pulen pati tersebut. Beras adalah makanan pokok rakyat indonesia. Dari beras kemudian akan diolah menjadi nasi yang merupakan makanan utama hampir sebagian besar penduduk. Selain karbohidrat, beras juga mengandung protein, vitamin dan mineral. Vitamin yang dikandung oleh beras yaitu vitamin b-1 ( tiamin ) banyak terdapat pada bagian kulit arinya. Sayangnya, kandungan gizi beras baik berupa vitamin maupun mineral seringkali hilang akibat proses penggilingan tepung beras.karena itu diperkirakan bahwa beras yang kita makan sehari-hari sebenarnya telah mengami degradasi / penurunan kandungan gizi. Hal ini diperparah saat beras dicuci terlalu lama ketika akan dimasak. Serat yang terdapat pada tepung mata beras cocok untuk diet , guna memelihara agar berat tubuh senantiasa ideal. Manfaat tepung beras ini seratnya ini mampu menyerap air dan dapat lebih lama tinggal di dalam lambung, sehingga memperlambat timbulnya rasa lapar. Serat ini juga mampu mengikat sisasisa hasil metabolisme dalam saluran pencernaan, sehingga zat-zat berbahaya ini tidak ditimbun dalam usus melainkan keluar bersama dengan kotoran. Dengan

demikian serat tepung mata beras membantu mencegah terjadinya proses keganasan dalam usus. Tapioka kaya karbohidrat dan energi. Tapung ini juga tidak mengandung gluten, sehingga aman bagi yang alergi. Karena mengandung linamarin, tapioka dapat menangkal pertumbuhan sel kanker. Secara awam, tapioka sering disebut sebagai tepung. Walaupun sama-sama berasal dari singkong, sesungguhnya tapioka sangat berbeda dengan tepung singkong. Tapioka bersifat larut di dalam air, sedangkan tepung singkong tidak larut. Tapioka biasanya digunakan sebagai bahan pengental kuah ataupun sebagai bahan pengisi pada kue-kue kering. Tapioka digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan

pengikat dalam industri pangan, seperti dalam pembuatan puding, sup, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain sebagainya. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan baku pewarna putih alami pada industri pangan dan industri tekstil. Umumnya tapioka digunakan sebagai pengental pada tumisan karena efeknya bening dan kental saat dipanaskan. Tepung sagu juga dapat digunakan untuk mengentalkan, hanya saja warna yang di hasilkan sedikit keruh. Tapioka tidak cocok digunakan untuk gorengan karena menyerap minyak dan mengeras setelah dingin beberapa lama. Ubi kayu dalam keadaan segar tidak tahan lama. Untuk pemasaran yang memerlukan waktu lama, ubi kayu harus diolah dulu menjadi bentuk lain yang lebih awet, seperti gaplek, tapioka (tepung singkong), tapai, peuyeum, keripik singkong dan lain-lain. Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih. Tapioka yang diolah menjadi sirup glukosa dan destrin sangat diperlukan oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula, penggalengan buah-buahan, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain.

Ampas tapioka banyak dipakai sebagai campuran makanan ternak. Pada umumnya masyarakat kita mengenal dua jenis tapioka, yaitu tapioka kasar dan tapioka halus. Tapioka kasar masih mengandung gumpalan dan butiran ubi kayu yang masih kasar, sedangkan tapioka halus merupakan hasil pengolahan lebih lanjut dan tidak mengandung gumpalan lagi. Kualitas tapioka sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Warna Tepung; tepung tapioka yang baik berwarna putih. 2. Kandungan Air; tepung harus dijemur sampai kering benar sehingga kandungan airnya rendah. 3. Banyaknya serat dan kotoran; usahakan agar banyaknya serat dan kayu yang digunakan harus yang umurnya kurang dari 1 tahun karena serat dan zat kayunya masih sedikit dan zat patinya masih banyak. 4. Tingkat kekentalan; usahakan daya rekat tapioka tetap tinggi. Untuk ini hindari penggunaan air yang berlebih dalam proses produksi. Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di alam. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan, antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses metabolisme (Tjokroadikoesoemo, 1986). Berat molekul pati bervariasi tergantung pada kelarutan dan sumber patinya (Hart dan Schmetz, 1972). Dasar pembuatan semua jenis pati adalah sama, yaitu penghancuran sel-sel untuk memisahkan butiran pati dari komponen lainnya dengan pertolongan air untuk mengekstraknya, tetapi proses pembuatan setiap jenis pati mempunyai sifat dan masalah yang berbeda (Dahleberg, 1978). Ekstraksi pati dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara kering dan cara basah, pada cara kering bahan dijemur dahulu sebelum diekstrak patinya, sedangkan pada ekstraksi cara basah tidak dilakukan penjemuran terlebih dahulu. Proses ekstraksi pati melalui beberapa tahap, yaitu pengupasan, pengecilan ukuran, penghancuran sel-sel pati, peremasan, penyaringan, pengendapan, pencucian,

pengeringan dan pengecilan ukuram (Sathe dan Salunkhe, 1981). Pati merupakan produk akhir yang terpenting dari proses fotosintesis dan ditemukan sebagai senyawa

dengan berat molekul tinggi dan merupakan bahan cadangan inaktif dalam kebanyakan tumbuhan kecuali tumbuhan tingkat rendah (Heimann, 1980). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 1984). Salah satu masalah utama dalam pengolahan makanan kering dari bahan berkarbohidrat tinggi seperti tepung-tepungan adalah terjadinya reaksi browning yang menghasilkan warna coklat. Reaksi browning dibedakan atas dua kelompok, yaitu browning enzimatik dan brwning non enzimatik, yang biasanya terjadi secara bersamaan. Reaksi browning enzimatik terutama disebabkan oleh adanya aktifitas dari enzim aksidase yang dapat mengkatalisa reaksi oksidasi senyawa fenol menjadi keton. Browning non enzimatik terjadi pada saat pemanasan dalam keadaan lembab. Kecepatan dari browning non enzimatik tergantung pada suhu dan waktu pengeringan. Umumnya meningkatnya suhu pengeringan akan mempercepat kecepatan terjadinya proses browning non enzimatik (Payne et.al., 1941). Dalam praktikum yang telah dilakukan, rendemen tepung yang paling tinggi didapat dari bahan singkong yaitu sebanyak 29,95% disusul dengan talas sebanyak 22,54%, kentang 15,14%, dan ibu jalar 14,45%. Hasil ini dibandingkan dengan pustaka yang dicantumkan sebelumnya. Untuk tepung kentang, telah memiliki rendemen karbohidrat yang sesuai dengan literatur yaitu sebanyak 10% dari berat keseluruhan. Pada tepung talas, 23,7%, tepung ubi jalar 20-27%, dan tepung singkong sebanyak 90% dari berat awal bahan. Tepung kentang, ubi jalar, dan talas telah sesuai dengan literature yang ada. sedangkan rendemen tepung singkong adalah yang tertinggi namun belum sesuai dengan literature yang ada. Seharusnya dalam praktikum ini dapat dilihat dari jumlah rendemennya merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, maka kita dapat mengetahui bahwa seharusnya hanya 10% bagian singkong yang tidak dapat dikonversi menjadi tepung. Hal ini berarti pembuatan tepung dengan menggunakan singkong paling efisien

disbanding bahan lain. Hal ini dapat diakibatkan karena adanya kesalahan dalam pembuatan tepung yang dilakukan praktikan. Dalam praktikum yang telah dialakukan, juga diperoleh rendemen pati ketan hitam sebanyak 63,86%, pati beras sebanyak 29,07%, pati singkong 5,88%, pati ubi

jalar 10,15%, dan pati talas sebanyak 6,50%. Hasil yang didapat tidak sesuai dengan literatur yang ada yang menyebutkan bahwa rendemen karbohidrat kentang yaitu sebanyak 10% dari berat keseluruhan. Pada tepung talas, 23,7%, tepung ubi jalar 2027%, dan tepung singkong sebanyak 90% dari berat awal bahan. Hasil perolehan pati terbanyak harusnya ada pada bahan singkong karena memiliki kandungan karbohidrat yang paling tinggi. Dan yang terendah adalah pati talas karena dalam talas mengandung gum yang dapat menghalangi ekstraksi pati dengan menghambat proses penyaringan dan pengendapan pati. Namun pada percobaan ini didapatkan bahwa pati ketan hitam adalah yang paling mudah dalam pengekstraksian karena menghasilkan rendemen pati yang tertinggi sedangkan pati singkong adalah yang tersulit untuk diekstraksi oleh praktikan karena rendemennya yang paling rendah. Hasil yang tidak sesuai ini dapat dikarenakan oleh factor kurangnya kemampuan praktikan dalam proses pengekstraksian pati yang dilakukan dengan cara manual.

2. Modifikasi Tepung Kasava Mba yuun..

3. Pati Termodifikasi Pati alami memiliki kegunaan yang sangat terbatas dalam industri, karena keterbatasan karakteristik yang dimilikinya. Masalah tersebut mencoba untuk dipecahkan dengan melakukan perubahan-perubahan karakteristik pati dengan berbagai metode. Pati yang dihasilkan disebut pati termodifikasi. Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah lewat suatu reaksi kimia (esterifikasi, sterifikasi atau oksidasi) atau dengan mengganggu struktur asalnya. Pati diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnnya atau untuk merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati (Heiman, 1980). Pati termodifikasi didefinisikan sebagai pati yang telah mengalami modifikasi baik secara kimia, fisika, maupun enzimatik. Modifikasi yang biasa digunakan adalah hidrolisis asam, oksidasi, substitusi, dan ikatan silang. Akibat dari modifikasi

akan terbentuk ikatan-ikatan baru antara molekul-molekul penyusun di dalam pati itu sendiri (intermolecular-linkage) atau di antara molekul pati yang satu dengan molekul pati lainnya (intramolecular linkage). Pati termodifikasi yang telah membentuk ikatan silang di antara molekul pati granulanya menajadi lebih kuat, yang menyebabkan sifat pengerasannya meningkat. Karena itu, tahan terhadap panas dan asam (Sunarti dkk., 2009). Beberapa metode yang dapat memodifikasi pati antara lain modifikasi dengan pemuliaan tanaman, konversi dengan hidrolisis, cross linking, derivatisasi secara kimia, merubah menjadi sirup dan gula dan perubahan sifat-sifat fisik. Modifikasi dengan konversi dimaksudkan untuk mengurangi viskositas dari pati mentah hingga dapat dimasak dan digunakan pada konsentrasi yang lebih tinggi, pati akan lebih mudah larut dalam air dingin dan memperbaiki sifat kecenderungan pati untuk membentuk gel atau pasta (Robyt, 1984). Pati termodifikasi asam dibuat dengan mengontrol hidrolisis pati dengan asam dalam suspensi. Konversi berlangsung pada suhu sekitar 1250F (520C), di bawah suhu gelatinisasi. Asam sulfat dan asam klorida digunakan sebagai penghidrolisis. Reaksi dasar meliputi pemotongan -1,4-D- glikosidik dari amilosa dan -1,6-D- glikosidik dari amilopektin, sehingga ukuran molekul pati mengecil dan dan meningkatkan kecenderungan pasta untuk membuat gel. Pada saat hidrolisis, struktur granula melemah, namun tidak sampai membuat pati melarut (Robyt, 1984). Menurut Robyt (1984), selama proses modifikasi, asam akan menghidrolisis ikatan glikosida menjadi rantai yang lebih pendek. Hidrolisis dengan asam ini akan lebih sensitif pada ikatan -1,4-glikosidik daripada -1,6-glikosidik. Namun struktur linear dengan -1,4 terdapat pada bagian kristalin, bagian ini tersusun sangat rapat sehingga sangat sukar dimasuki air atau asam, akibatnya akan lebih tahan terhadap asam. Bagian amorf walaupun tersusun oleh ikatan -1,6, namun merupakan daerah yang kurang padat, amorf, dan mudah dimasuki air sehingga akan memudahkan penetrasi dan hidrolisis asam terhadap granula pati. Sama seperti sifat pati alamiah, pati termodifikasi bersifat tidak larut dalam air dingin dan persamaan sifat birefringence. Dibandingkan dengan pati aslinya, pati termodifikasi asam menunjukkan sifat yang berbeda dari sifat aslinya seperti:

a. Penurunan viskositas, sehingga memungkinkan penggunaan pati dalam jumlah yang lebih besar b. Penurunan kemampuan pengikatan iodine c. Pengurangan pembengkakan granula selama gelatinisasi d. Penurunan viskositas intrinsik e. Peningkatan kelarutan dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi f. Suhu gelatinisasi lebih rendah g. Penurunan tekanan osmotik (penurunan berat molekul) h. Peningkatan rasio viskositas panas terhadap viskositas dingin i. Peningkatan penyerapan NaOH (bilangan alkali lebih tinggi) Pada praktikum kali ini, pati termodifikasi yang dibuat baik untuk pati pregelatinisasi 50C, pati pregelatinisasi (-starch), pati pregelatinisasi 60C, heatmoisture treated starch (HMTS), dan pirodekstrin semuanya dibuat dari pati tapioka. Pati merupakan karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer linear dengan ikatan -(1 4) unit glukosa. Derajat polimerisasi dari amilosa berkisar antara 5006000 unit glukosa, tergantung dari sumbernya. Adapun amilopektin merupakan polimer -(1 4) unit glukosa dengan rantai samping -(1 6) unit glokosa. Ikatan -(1 6) unit glukosa ini jumlahnya sangat sedikit dalam suatu molekul pati, berkisar antara 4-5%. Akan tetapi jumlah molekul dengan rantai cabang, yaitu amilopektin, adalah
5 6

sangat banyak dengan derajat polimerisasi (DP) berkisar natara 10 sampai 3x10 unit glukosa (Jacobs dan Delcour, 1998).

Gambar Rumus Struktur Amilosa Amilosa merupakan bagian rantai lurus yang dapat memutar dan membentuk daerah sulur ganda. Pada permukaan luar amilosa sulur tunggal terdapat hidrogen

yang berikatan dengan atom O-2 dan O-6. Rantai lurus amilosa yang membentuk sulur ganda kristal ini tahan terhadap amilase. Ikatan hidrogen inter dan intra sulur mengakibatkan terbentuknya struktur hidrofobik dengan kelarutan yang rendah. Oleh karen itu, sulur tunggal amilosa mirip dengan siklodekstrin yang bersifat hidrofobik pada permukaan dalamnya (Chaplin, 2002). Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin ini tersusun dalam suatu cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16, ada yang merupakan cincin lapisan amorf dan cincin yang merupakan lapisan semikristal (Hustiany, 2006). Amilosa merupakan fraksi gerak, yang artinya dalam granula pati letaknya tidak pada satu tempat, tergantung dari jenis pati. Secara umum amilosa 3 terletak diantara molekul-molekul amilopektin dan secara acak berada selang-seling diantara daerah amorf dan kristal (Oates, 1997).

Gambar Rumus Struktur Amilopektin Amilopektin ketika dipanaskan di dalam air membentuk suatu lapisan yang transparan, larutan dengan viskositas yang tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan seperti untaian tali. Tidak cenderung terjadi retrogradasi dan tidak membentuk gel, kecuali pada konsentrasi yang tinggi. Selain itu didalam pati juga ditemukan komponen lain dalam jumlah yang sedikit, yaitu lipida (sekitar 1%), protein, fosfor dan mineral-mineral. Bagian lipida ada yang berikatan denganamilosa dan ada yang bebas (Belitz dan Grosch, 1999). Modifikasi pati dapat dilakukan secara fisik melalui beberapa cara. Di antaranya yaitu pengeringan, ekstrusi, pengeringan dengan spray, pemanasan, pendinginan, pemasakan maupun perlakuan fisik lainnya (Herawati, 2008). Proses modifikasi pati juga dapat dilakukan secara kimia dengan cara membentuk ikatan

silang, substitusi maupun kombinasi keduanya dengan menggunakan bahan kimia sebagai bahan pembantu reaksi selama proses pengolahan. Berdasarkan proses tersebut, pati termodifikasi yang dihasilkan dapat diklasifikasikan menjadi pati dengan perlakuan asam, perlakuan basa, pemutihan pati, oksidasi pati, perlakuan enzim, penggunaan fosfat, penggunaan gliserol, esterifikasi fosfat dengan natrium trimetafosfat, fosfatisasi fosfat, asetilasi fosfat, esterifikasi asetat dengan anhidrat asetat, esterifikasi asetat dengan vinil asetat, asetilisasi adipat, asetilisasi gliserol, penggunaan hidroksipropil, hidroksipropilasi fosfat, hidroksiprolilasi gliserol dan perlakuan natrium oktenil suksinat (Herawati, 2008). Modifikasi pati dilakukan untuk merubah sifat kimia dan atau fisik dari pati secara alami. Modifikasi pati dapat dilakukan dengan cara pemotongan struktur molekul, penyusunan kembali struktur molekul, oksidasi atau dengan cara melakukan substutusi gugus kimia pada molekul pati (Wurzburg, 1989). Modifikasi tapioka sudah banyak dilakukan dengan berbagai metoda, seperti asilasi tapioka dan pregelatinisasinya dengan asam stearat untuk matriks flavor, asilasi tapioka dengan asam propionat dicampur dengan poliester poliuretan untuk dijadikan film, hidrolisis dengan HCl untuk memperoleh tingkat kristal yang tinggi, hidrolisis dengan HCl dan reaksi silang dengan natrium trimetafosfat untuk pembuatan tablet, reaksi silang dengan fosfor oksiklorida, dekstrin (seperti K4484 adalah dekstrin tapioka) dan pati termodifikasi (seperti flomax 8 adalah pati tapioka termodifikasi) untuk dijadikan matriks (National Starch, 2005). Modifikasi pati yang dapat dilakukan baik secara fisik, kimia, biokimia maupun kombinasi ketiganya secara langsung akan mempengaruhi kharakteristik fisik maupun kimia dari pati termodifikasi yang akan dihasilkan. Kharakteristik tersebut, akan menimbulkan kharakter tertentu sebagaimana tujuan modifikasi yang telah dilakukan. Pati yang telah termodifikasi akan mengalami perubahan sifat yang dapat disesuaikan untuk keperluan-keperluan tertentu. Sifat-sifat yang diinginkan adalah pati yang memiliki viskositas yang stabil pada suhu tinggi dan rendah, daya tahan terhadap sharing mekanis yang baik serta daya pengental yang tahan terhadap kondisi asam dan suhu sterilisasi (Wirakartakusuma, et al., 1989). Teknik modifikasi

dapat dibagi dalam tiga tipe yaitu modifikasi sifat rheologi, modifikasi dengan stabilisasi, dan modifikasi spesifik. Termasuk dalam modifikasi sifat rheologi adalah depolimerisasi dan ikatan silang. Proses depolimerasi akan menurunkan viskositas dan karena itu dapat digunakan pada tingkat total padatan yang lebih tinggi. Cara yang dapat dilakukan meliputi dekstrinisasi, konversi asam, dan konversi basa dan oksidasi. Penelitian Murwani (1989) memperlihatkan bahwa modifikasi asam dan oksidan dapat menurunkan viskositas pati jagung. Sifat pati termodifikasi yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH, suhu inkubasi dan konsentrasi pati yang digunakan selama proses modifikasi. Sedangkan teknik ikatan silang akan membentuk jembatan antara rantai molekul sehingga didapatkan jaringan makro molekul yang kaku. Cara ini akan merubah sifat rheologi dari pati dan sifat resistensinya terhadap asam. Pada praktikum dilakukan pati termodifikasi terhadap dua bahan utama yaitu sagu dan tapioca yang akan diolah menjadi beberaapa produk pati termodifikasi seperti pati preglatinisasi, pati preglatinisasi (-starch), Quick cooking products (rice), pirodekstrin dan Heat-moisture treated starch. Pati preglatinisasi pada dasarnya adalah pati dalam jaringan tanaman yang mempunyai bentuk granula yang berbeda-beda. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Jumlah air yang terserap pada saat terjadi pembengkakan terbatas. Peningkatan granula pati yang terjadi dalam air pada suhu antara 550C 650C, merupakan pembengkakan yang sesungguhnya dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali seperti semula (Winarno, 1980). Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula, perubahan tersebutlah yang disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang dapat dilakukan dengan penambahan air panas. Sedangkan pati preglatinisasi adalah pati dimana kondisinya belum pecah atau masih mengembang sehingga suhu pregelatinisasi ini lebih rendah daripada suhu gelatinisasi. Pati pregelatinisasi ini masih dapat mengalami retrogradasi sehingga dapat kembali ke keadaan semula. Kalau pati sudah tergelatinisasi, keadaan fisik pati sudah tidak dapat kembali ke keadaan semula. Modifikasi fisik merupakan perubahan karakteristik pati yang disebabkan perlakuan fisik, biasanya dikenal dengan pre-gelatinisasi. Alat yang umum digunakan dalam

pre-gelatinisasi adalah spray dryer atau drum dryer sehingga dapat menghasilkan produk yang mudah larur dalam air dingin (Winarno, 1980). Pati pregelatinisasi ini pada dasarnya dibuat dengan cara merusak granula pati dengan bantuan air dan pemanasan. Proses pembuatan pati pregelatinisasi pada prinsipnya adalah pati dibuat larutan (suspensi), kemudian dipanaskan, lalu dikeringkan dan digiling, serta diayak. Pada praktikum kali ini, pati pregelatinisasi dibuat dengan dua suhu pemanasan yang berbeda, yaitu suhu 50 oC dan 60 oC. a. Pati Pregelatinisasi Modifikasi fisik merupakan perubahan karakteristik pati yang disebabkan perlakuan fisik, biasanya dikenal dengan pre-gelatinisasi. Alat yang umum digunakan dalam pre-gelatinisasi adalah spray dryer atau drum dryer sehingga dapat menghasilkan produk yang mudah larut dalam air dingin (Langan, 1989). Pati pregelatinisasi ini pada dasarnya dibuat dengan cara merusak granula pati dengan bantuan air dan pemanasan. Proses pembuatan pati pregelatinisasi pada prinsipnya adalah pati dibuat larutan (suspensi), kemudian dipanaskan, lalu dikeringkan dan digiling, serta diayak. Pada praktikum kali ini, pati pregelatinisasi dibuat dengan dua suhu pemanasan yang berbeda, yaitu suhu 50 oC dan 60 oC. Produk pre-gelatinisasi ini biasanya digunakan untuk produk-produk yang menggunakan pati gel yang dibuat dalam basis instan. Nama lain pati pre-gelatinisasi adalah precooked starch, pregelled starch, instant starch, cold water starch, dan cold water swellable starch. Mekanisme dari pre-gelatinisasi sama prinsipnya dengan gelatinisasi. Akan tetapi, pre-gelatinisasi tersebut menyebabkan pati yang telah mengalami gelatinisasi terhidrasi. Sifat inilah yang menyebabkan pati pre-gelatinisasi dapat larut dalam air dingin. Pada proses pembuatan pati pregelatinisasi ini dibutuhkan alat drum dryer atau hot roll yang berfungsi untuk mengeringakan suspensi pati yang berbentuk pasta sehingga dapat menjadi betuk padatan. Prinsip kerja dari alat ini adalah sebagai berikut : bahan pangan yang berbentuk bubur (pasta) dituangkan kepermukaan drum yang telah dipanaskan terlebih dahulu, kemudian drum tersebut akan berputar pada dua poros yang berbeda dengan arah putaran yang berbeda atau berlawanan dengan jarak antara kedua drum yang diatur sedemikian rupa untuk mengontrol ketebalan lapisan bahan yang akan dikeringkan. Setelah itu, bahan yang telah dituangkan kepermukaan drum akan mengering dan

melekat dipermukaan drum tersebut, yang selanjutnya dikikis dengan menggunakan sebuah pisau untuk melepaskan produk kering yang telah melekat pada kedua permukaan drum. Seperti kita ketahui bersama, bahwa pati alami memiliki kegunaan yang sangat terbatas dalam industri karena keterbatasan karakteristiknya, hal ini berbeda dengan pati pragelatinisasi. Menurut Inglet (1970), pati pregelatinisasi dapat digunakan pada produk pangan dan non pangan. Aplikasi pada produk non pangan adalah sebagai tambahan unutk mengontrol kehilangan air. Biasanya digunakan untuk tahap akhir pada industri tekstil, industri kertas. Selain itu, digunakan pula sebagai pellet pada pakan ternak. Hal ini dikarenakan pati pregelatinisasi yang didispersikan dalam air dingin akan menunjukkan kemampuan mengental dan kecenderungan membentuk gel yang lebih rendah dibanding dengan pati alami. b. Pati pregelatinisasi (-starch) Jenis pati termodifikasi yang kedua adalah pregelatinisasi (-starch). Proses pembuatan pati pregelatinisasi (-starch) hampir sama dengan proses pembuatan pati pregelatinisasi. Perbedaannya adalah tidak adanya proses pemanasan pada pembuatan pati pregelatinisasi (-starch). Jadi setelah dilakukan pembuatan suspensi pati maka dilakukan proses pengeringan dengan drum drier, kemudian dilakukan penggilingan, dan pengayakan. c. moisture treated starch Jenis pati termodifikasi yang ketiga adalah heat-moisture treated starch (HTMS). Pati ini dibuat dengan larutan suspensi pati 50 %, kemudian dikeringkan pada suhu 50-60 oC, lalu digiling dan diayak. d. Pirodekstrin Jenis pati termodifikasi yang terakhir adalah pirodekstrin. Dekstrin merupakan hasil hidrolisis pati yang tidak sempurna. Proses ini juga melibatkan alkali dan oksidator. Pengurangan panjang rantai tersebut akan menyebabkan perubahan sifat dimana pati yang tidak mudah larut dalam air diubah menjadi dekstrin yang mudah larut. Dekstrin bersifat sangat larut dalam air panas atau dingin, dengan viskositas yang relatif rendah. Sifat tersebut akan mempermudah penggunaan dekstrin bila dipakai dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Dekstrin putih dihasilkan dengan pemanasan suhu sedang (79-121oC), mengguanakan katalis asam seperti HCl

atau asam asetat dengan karakteristik produk berwarna putih hingga krem. Dekstrin kuning dihasilkan dengan pemanasan suhu tinggi (149-190o C) menggunakan katalis asam dengan karakteristik produk berwarna krem hingga kuning kecoklatan. Pemanasan kering (tanpa air) seperti penyangraian dan pemanggangan akan menyebabkan dektrin terpolimerasi membentuk senyawa coklat yang disebut pirodekstrin. Pirodekstrin dibuat dengan perlakuan panas atau dengan pati buffer dalam suhu yang tinggi. Sejumlah pati dipanaskan kemudian ditambahkan asam sebagai katalis terjadinya pemutusan ikatan, tapi aktivitas termal memutus ikatan Dglikopiranosidik secara perlahan. Reaksi tersebut membawa ion karbonium pada karbon dari ikatan D-glikopiranosidik. Alternatif lain, aktivasi termal dapat menyebabkan salah penempatan reaksi pada anhidro D-glukosa (Inglet, 1970). Pada praktikum kali ini, pirodekstrin dibuat dengan menyemprotkan larutan HCl pada pati. Kemudian pati tersebut dikeringkan dengan api. Produk pre-gelatinisasi ini biasanya digunakan untuk produk-produk yang menggunakan pati gel yang dibuat dalam basis instan. Nama lain pati pre-gelatinisasi adalah precooked starch, pregelled starch, instant starch, cold water starch, dan cold water swellable starch. Mekanisme dari pre-gelatinisasi sama prinsipnya dengan gelatinisasi. Akan tetapi, pre-gelatinisasi tersebut menyebabkan pati yang telah mengalami gelatinisasi terhidrasi. Sifat inilah yang menyebabkan pati pre-gelatinisasi dapat larut dalam air dingin. Pada proses pembuatan pati pregelatinisasi ini menggunakan bahan awal sagu dan tapioca yang memiliki bobot sama yaitu 75 gram namun pada saat proses dilakukan dengan suhu yang berbeda yaitu 500C untuk sagu dan 600C pada tapioca. Kemudian setelah melakukan proses dengan menggunakan alat drum dryer atau hot roll yang berfungsi untuk mengeringakan suspensi pati yang berbentuk pasta

sehingga dapat menjadi betuk padatan. Setelah diproses didapat hasil olahan (pati preglatinisasi) dari bahan baku sagu dengan bobot akhirnya 58.94 gram dan rendemennya 78.59%, sedangkan pada tapioca menghasilkan bobot akhir sebesar 56.16 gram dengan rendemen 74.88%. hal ini dapat disebabkan karena perlakuan suhu yang berbeda terhadap kedua bahan baku sehingga pada bahan baku yang diberi perlakuan suhu lebih tinggi akan lebih cepat dan banyak menguapkan air

dibandingkan dengan bahan baku (tapioka) yang diberi perlakuan proses dengan suhu rendah sehingga bobot pun menjadi lebih kering dan rendemen yang dihasilkan lebih kecil. Seperti kita ketahui bersama, bahwa pati alami memiliki kegunaan yang sangat terbatas dalam industri karena keterbatasan karakteristiknya, hal ini berbeda dengan pati pragelatinisasi. Menurut Inglet (1970), pati pregelatinisasi dapat digunakan pada produk pangan dan non pangan. Aplikasi pada produk non pangan adalah sebagai tambahan unutk mengontrol kehilangan air. Biasanya digunakan untuk tahap akhir pada industri tekstil, industri kertas. Selain itu, digunakan pula sebagai pellet pada pakan ternak. Hal ini dikarenakan pati pregelatinisasi yang didispersikan dalam air dingin akan menunjukkan kemampuan mengental dan kecenderungan membentuk gel yang lebih rendah dibanding dengan pati alami. Proses selanjutnya adalah pembuatan Jenis pati termodifikasi yang kedua adalah yaitu pregelatinisasi (-starch). Proses pembuatan pati pregelatinisasi (starch) hampir sama dengan proses pembuatan pati pregelatinisasi. Perbedaannya adalah tidak adanya proses pemanasan pada pembuatan pati pregelatinisasi (starch). Jadi setelah dilakukan pembuatan suspensi pati maka dilakukan proses pengeringan dengan drum drier, kemudian dilakukan penggilingan, dan pengayakan. Pada pembuatan jenis pati ini yaitu dengan sagu dan tapioka yang masing-masing memiliki bobot 100 gram dan setelah dilakukan pengeringan dengan drum drier didapat bobot akhir pada masing-masing bahan dimana tapioca yang memiliki rendemen lebih besar yaitu 90,94% dengan bobot akhirnya 90.94 gram dibandingkan tapioca yang memiliki rendemen sebesar 75.62% dengan bobotnya 75.62 gram. Dekstrin adalah suatu produk yang merupakan hasil modifikasi pati melalui proses hidrolisa asam, enzimatis dan pemanasan kering. Dekstrin adalah oligosakarida yang dapat diperoleh dengan menghidrolisis pati. Dekstrin murni berupa serbuk (bubuk), berwarna putih atau hampir putih, tidak berasa, tidak berbau dan dapat larut dalam air dingin. Pengertian dekstrin sangat luas mencakup setiap produk degradasi pati yang diperoleh secara kimia maupun enzimatis, tetapi secara praktis kata dekstrin dipakai untuk produk yang mengacu yang dihasilkan dari proses pirokonversi pati. Pirokonversi adalah proses pemanasan kering pati, produknya

terdiri dari tiga kelompok yaitu dekstrin putih, dektrin kuning dan British gum. Dekstrin yang dihasilkan dengan cara hidrolisis atau pemanasan kering (roasting) disebut pirodekstrin. Prosesnya disebut dengan pirokonversi, yaitu perlakuan pati yang diasamkan kering dengan menggunakan panas. Prosesnya dilakukan dengan pemanasan pati kering sambil diaduk, kemudian disemprot dengan asam klorida dan sulfat. Derajat hidrolisisnya tergantung waktu, suhu, dan pH dari proses konversi. Kondisi dan sifat dekstrin disajikan pada Tabel berikut ini. Tabel Karakteristik dan Sifat Pirodekstrin
Karakteristik Suhu Pemanasan Waktu Pemanasan (jam) Jumlah Katalis Kelarutan Viskositas Warna Dekstrin Putih 110-130 3 s/d 7 tinggi rendah-tinggi rendah-tinggi putih-krem Dekstrin Kuning 135-160 8 s/d 14 medium tinggi rendah kekuningan-gelap British Gum 150-180 10 s/d 24 rendah rendah-tinggi rendah-tinggi terang-gelap

Jenis pirodekstrin ini berbeda dalam cara perlakuan pati sebelum dipanaskan, cara dan tingkat pemanasan, dan sifat-sifat produk yang dihasilkan. Secara umum dekstrin putih dibuat dengan konversi pada suhu rendah dan pH yang tergantung kecepatan proses konversi tanpa pembentukan warna yang berlebihan. Dekstrin kuning merupakan produk yang terkonversi lebih tinggi yang dibuat dengan kombinasi ph rendah dan suhu yang tinggi. British gum disisi yang lain dikonversi pada ph yang tinggi dan suhu yang tinggi untuk konversinya, sehingga warna British gum lebih gelap daripada dekstrin kuning. Pembuatan dekstrin adalah menghidrolisis molekul-molekul pati yang besar menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Pemanasan dan penggunaan asam akan menggunting ikatan-ikatan -D-glikosidik juga untuk mengurangi kadar air pati. Pengurangan air ini kan mencegah proses konversi dekstrin lebih lanjut, dekstrin yang dihasilkan harus segera dikeringkan. Proses pembuatan dekstrin dengan pemanasan kering dilakukan empat tahap meliputi persiapan bahan, pemanasan pendahuluan, pirokonversi, atau pemanasan lanjut dan pendinginan. Pada tahap persiapan, pati diberi katalis asam. Jumlah asam yang diberikan tergantung dari sifat pirodekstrin yang diinginkan, kandungan air pati, jenis pati dan peralatan yang digunakan untuk pengeringan awal dan pemanasan. Biasanya larutan asam disemprotkan ke pati dengan pengadukan secara horizontal dan vertical. Pengadukan inii bertujuan untuk mendistribusikan asam ke

seluruh bagian pati hingga homogen. Pemanasan pemdahuluan dapat dilakuakan atau tidak, tergantung dari jenis pirodekstrin yang akan dihasilkan atau peralatan yang digunakan. Tujuan dari pemanasan pendahuluan untuk mengurangi mengurangi kadar air yang terdapat dalam pati sehingga proses reaksi hidrolisis berkurang. Hal ini penting untk pembuatan dekstrin kuning, berbeda halnya dengan pembuatan dekstrin putih atau british gum, reaksi hidrolisis diperlukan untuk menentukan sifatsifat produk yang diinginkan. Pemanasan pendahuluan dapat digabungkan dengan proses pirokonversi yang dilakukan dengan pemanasan pati asam secara lambat, pengadukan yang kuat dan dialirkan udara yang maksimum untuk menghilangkan air. Pemanasan pendahuluan juga dapat dilakukan terpisah dari proses pirokonversi. Pirokonversi dilakukan dengan alat pemasakan yang dapat bergerak secara vertical dan horizontal yang dilengkapi dengan mixer dan alat-alat pengaduk. Panas yang digunakan berupa pemanasan langsung maupun dengan sistem jacket pemanas. Suhu dan waktu konversi bervariasi tergnatung kepada jenis pirodekstrin yang dihasilkan dan bentuk alat yang digunakan. Suhu pemanasan bervariasi dari 100-2000C, waktu pemanasan bervariasi dari beberapa menit sampai beberapa jam. Secara umum dekstrin putih cenderung dibuat pada suhu rendah dan waktu yang singkat sedangkan dekstrin kuning dan British gum memerlukan waktu reaksi yang lama dan suhu yang tinggi. Kadar air dekstrin pirokonversi dapat dicapai 0-5%. Dekstrin yang dihasilkan dari proses pirokonversi harus segera didinginkan dengan cara memasukkan dekstrin panas kedalam mixer pendingin atau konveyor yang dilengkapi jacket pendingin. Tujuan proses pendinginan adalah untuk mencegah konversi lebih lanjut dari dekstrin. Apabila ph konversi sangat rendah maka dilakukan penetralan asam untuk mencegah konversi lebih lanjut. Netralisasi dilakukan dengan pencampuran kering yang menggunakan reagen alkali ammonium karbonat dan garam fosfat. Kelembaban dekstrin pada akhir konversi berkisar 0,5-3%. Dekstrin dilembabkan dengan membiarkannya di udara terbuka sampai tingkat kelembaban 5-12% sebelum pengemasan. Modifikasi pati dengan metode HMT (Heat Moisture Treatment) merupakan metode modifikasi pati yang dilakukan secara fisik yaitu yang melibatkan perlakuan panas dan pengaturan kadar air. Selanjutnya pemnasan yang dilakukan diatas suhu gelatinisasi pati namun pada kadar air yang terbatas (<35%). Energi yang diterima

oleh pati selama pemanasan berlangsung kemungkinan dapat melemahkan ikatan hydrogen inter dan untra molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati. Kondisi ini memberikan peluang kepada air untuk mengimbibisi granula pati. Jumlah air yang terbatas menyebabkan pergerakan maupun pembentikan interaksi antara air dan molekul. Amilosa atau amilopektin juga terbatas sehingga tidak menyebabkan adanya peningkatan kelarutan pati didalam air selama pemanasan berlangsung. Dengan kata lain, keberadaan air yang terbatas selama pemanasan yang dilakukan pada modifikasi HMT belum mampu mebuat pati mengalami gelatinisasi yang ditunjukkan dengan masih terjaganya integritas granula pati termodifikasi HMT yang dapat dilihat melalui studi difraksi sinar X dan studi granula melalui mikroskop cahaya. HMT dapat menggeserpola difraksi pati dari pola A menjadi pola A+B sebagai akibat adanya penurunan bagian kristalin yang masing-masing mencapai 9% dan 8%. Penurunan persentase daerah kristalin tersebut tidak menyebabkan pati tergelatinisasi. Pati yang tergelatinisasi akan kehilangan keseluruhan bagisan kristalnya. Namun, imbibisi air selama modifikasi HMT berlangsung menyebabkan adanya pengaturan kembali (rearrangement) molekul amilosa dan amilopektin dalam granula pati. Adanya pengaturan kembali ini berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik maupun sifat kimia pati. Perubahan sifat fisik yang terjadi pada pati HMT antara lain perubahan profil gelatinisasi, perubahan karakteristik termal, perubahan swelling power dan perubahan kelarutan. Sementara itu perubahan kimia yang terjadi pada pati termodifikasi HMT antara lain penungkatan fraksi pati yang mempunyai berat molekul kecil. Perubahan karakteristik pati termodifikasi HMT dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain factor internal (karakteristik awal pati) dan factor eksternal (kondisi modifikasi HMT seperti suhu, kadar air, lama pemanasan). Kombinasi antar berbagai factor tersebut dapat menghasilkan pati dengan karakteristik yang berbeda-beda. Perubahan yang terjadi pada pati termodifikasi HMT mengarah pada pembentukan pati dengan stabilitas panas dan pengadukan yang lebih baik. Adanya pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe B bahkan menjadi tipe C mengindikasikan bahwa pati termodifikasi HMT dapat diaplikasikan untuk produk-produk pangan.

Dari hasil praktikum pembuatan pati termodifikasi, rendemen produk pati termodifikasi berbeda-beda karena memang perlakuan yang diberikan berbeda-beda. Bobot awal masing-masing perlakuan berbeda-beda karena disesuaikan dengan kapasitas pembuatan pati termodifikasi. Walaupun bobot awal berbeda tetapi kita tetap bisa membandingkan dari rendemennya. Dari hasil perhitungan rendemen terlihat bahwa pati heat-moisture treated starch memiliki rendemen tertinggi (93,70%), sedangkan -starch memiliki rendemen terendah (74,88%). Dari data yang dihasilkan terdapat kejanggalan dimana produk -starch yang dibuat kelompok 2 memiliki rendemen yang rendah berbeda jauh dengan rendemen kelompok 6 (pati heat-moisture treated starch) maupun yang lainnya. Hal ini terjadi karena terdapat kesalahan prosedur pada saat praktikum sehingga loss pembuatan -starch kel-2 begitu besar. Lost yang terjadi dapat dikarenakan adanya proses dengan drum drier sehingga terdapat bahan yang terjatuh pada saat proses tersebut atau terjadinya kesalahan perhitungan yang dilakukan. Sedangkan pada produk heat-moisture treated starch memiliki rendemen tertinggi karena dengan perlakuan yang diberikan kemungkinan terjadinya loss kecil. Loss yang terjadi hanya pada saat padatan digiling dan diayak, pada saat proses dikeringkan dengan oven kadar air yang akan berkurang. Dilihat dari hasil rendemen yang dihasilkan untuk membuat pati termodifikasi tidak berbeda jauh dengan pati alami yang digunakan. Oleh karena itu, pati termodifikasi ini prospektif untuk dibuat.

4. Produk Hidrolisat Pati Pati natural/alami memiliki kegunaan yang sangat terbatas dalam industri, karena keterbatasan karakteristik yang dimilikinya. Masalah tersebut mencoba untuk dipecahkan dengan melakukan perubahan-perubahan karakteristik pati dengan berbagai metode. Pati yang dihasilkan disebut pati termodifikasi (Heiman, 1980). Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah lewat suatu reaksi kimia (esterifikasi, sterifikasi atau oksidasi) atau dengan mengganggu struktur asalnya. Pati diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnnya atau untuk merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau

bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati. Pati alami (belum dimodifikasi) mempunyai beberapa kekurangan pada karakteristiknya yaitu membutuhkan waktu yang lama dalam pemasakan (sehingga membutuhkan energi tinggi), pasta yang terbentuk keras dan tidak bening, selain itu sifatnya terlalu lengket dan tidak tahan perlakuan dengan asam. Dengan berbagai kekurangan tadi, maka dikembangkan berbagai modifikasi terhadap tepung tapioka yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pasar (industri) baik dalam skala nasional maupun internasional (ekspor). Industri menginginkan pati yang mempunyai kekentalan yang stabil baik pada suhu tinggi maupun rendah, mempunyai ketahanan baik terhadap perlakuan mekanis, dan daya pengentalannya tahan pada kondisi asam dan suhu tinggi. Sifat-sifat penting lainnya yang diinginkan pada pati termodifikasi diantaranya adalah kecerahan lebih tinggi (pati lebih putih), kekentalan lebih tinggi, gel yang terbentuk lebih jernih, tekstur gel yang dibentuk lebih lembek, kekuatan regang rendah, granula pati lebih mudah pecah, waktu dan suhu gelatinisasi yang lebih rendah, serta waktu dan suhu granula pati untuk pecah lebih rendah (Ebook Pangan, 2006). Berbagai proses kimia yang dapat diterapkan pada modifikasi pati diantaranya
oksidasi, hidrolisa, crosslinking atau cross bonding dan subtitusi (Fleche, 1985). Maltodekstrin merupakan salah satu produk hasil hidrolisa pati dengan menggunakan asam maupun enzim, yang terdiri dari campuran glukosa, maltosa, oligosakarida, dan dekstrin (Deman, 1993). Lloyd dan Nelson, 1984 dan Kennedy et al, 1995 dalam ebook pangan menyatakan bahwa produk hasil hidrolisis enzimatis pati mempunyai karakteristik yaitu tidak higroskopis, meningkatkan viskositas produk, mempunyai daya rekat, dan ada yang dapat larut dalam air seperti laktosa.

Maltodekstrin dan sirup glukosa merupakan salah satu produk pati termodifikasi. Modifikasi pati dapat dilakukan dengan katalis asam maupun enzim. Jika pati dipanaskan dengan asam akan terurai menjadi molekul molekul yang lebih kecil secara berurutan dengan hasil akhir berupa glukosa. (C6H10O6)n Pati + nH2O Air nC6H12O6 Glukosa

Molekul pati mula mula dipecah menjadi unit unit rantai glukosa yang lebih pendek disebut dekstrin. Dekstrin dapat dipecah lagi menjadi maltosa dan maltosa yang terurai menjadi glukosa (Smith, 1982). a). Maltodekstrin Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung -D-glukosa unit yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Rumus umum maltodekstrin adalah (C6H12O5)nH2O (Hayati, 2004). Maltodekstrin banyak digunakan dalam industri makanan sebagai bahan pengisi. Idealnya, maltodekstrin sedikit berasa dan berbau, namun maltodekstrin dengan DE 20 menghasilkan rasa manis. Maltodekstrin bersifat kurang higroskopis, kurang manis, memiliki kelarutan yang tinggi dan cenderung tidak membentuk zat warna pada reaksi browning. Mutu maltodekstrin di Indonesia telah ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional. Standar mutu maltodekstrin sama dengan standar mutu dekstrin pada umumnya, kecuali untuk DE maltodekstrin berkisar 19-20. Standar mutu dekstrin dikelompok lagi menurut bidang aplikasinya, yaitu pangan dan non pangan. Tabel nilai standar mutu maltodekstrin menurut DSN (1992 dan 1989) Variabel Warna (visual) Warna dalam lugol Kadar air (%b/b) Kadar abu (%b/b) Serat kasar (%b/b) Bagian yang larut dalam air dingin (%) Kekentalan (cP) Dekstrosa Derajat asam (0,1 N NaOH/100g bahan) Kehalusan (ayakan 100 mesh) Aplikasi Pangan Non pangan Putih sampai kekuningan Putih sampai kekuningan Ungu sampai kecoklatan Ungu sampai kecoklatan Max. 11 Max. 11 Max. 0,5 Max. 0,5 Max. 0,6 Min. 97 Min. 80 3-4 Max. 5 Max. 5 Min. 90 (lolos) 3-4 Max. 5 Max. 6 -

Proses hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati (C6H10O5)n menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6). Produk-produk hasil hidrolisis pati umumnya dikarakterisasi berdasarkan tingkat derajat hidrolisisnya dan dinyatakan dengan nilai DE (dextrose equivalent) yang menunjukkan persentase dari

dekstrosa murni dalam basis berat kering pada produk hidrolisis. Menurut Dziedzic dan Kearsley (1995), dekstrosa murni adalah dekstrosa dengan derajat polimerisasi 1 (unit dekstrosa tunggal). Suatu produk hidrolisis pati dengan nilai DE 15, menunjukkan bahwa persentase dekstrosa murni pada produk kurang lebih sebesar 15% (bk). Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yanitu lebih spesifik prosesnya dan produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Kondisi proses yang dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah serta dihasilkan lebih sedikit produk samping dan abu kerusakan warna yang dapat diminimalkan (Norman, 1981). Akibat pemutusan rantai polimer secara acak tersebut, maka proses hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan menyebabkan terjadinya peningkatan kandungan produk reversi, sehingga kualitas produk hasil hidrolisis akan lebih rendah dan berubah sifat-sifat fungsionalnya. Alfa amilase adalah suatu endo-enzim yang hanya menyerang ikatan -1,4glikosisk secara acak di bagian dalam molekul bauk pada amilosa maupun pada amilopektin (Tjokroadikoesoemo, 1986 ; Wang, 2002). Pengaruh aktivitasnya menyebabkna pati terputus-putus menjadi dekstrin dengan rantai sepanjang 6-10 unit glukosa. Jika waktu reaksinya diperpanjang, dekstrin tersebut dipotong-potong lagiu menjadi campuran antara glukosa, maltosa, maltotriosa dan ikatan lain. Mekanisme kerja -amilase terdiri dari dua tahap, yaitu : tahap pertama degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Hal ini diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat. Tahap kedua terjadi pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan tidak acak. Pada tahap ini pembentukan relatif sangat lambat, sedangkan pada molekul amilopektin kerja amilase akan menghasilkan glukosa, maltosa dan satu seri -limit dekstrin, serta ologosakarida yang terdiri dari empat atau lebih glukosa yang mengandung ikatan 1,6-glikosidik. Maltodekstrin dapat digunakan sebagai pengganti lemak. Maltodekstrin dengan air akan membentuk gel yang dapat mencair atau larut dan mempunyai struktur lemak, sehingga cocok untuk mensubsitusi minyak dan lemak. Penggunaan maltodekstrin dalam produk pangan juga dapat mengurangi kalori lebih dari 70%. Berikut ini merupakan aplikasi maltodekstrin pada produk pangan, yaitu :

Produk rerotian, misalnya cake, muffin, dan biskuit, digunakan sebagai pengganti gula atau lemak. Makanan beku, maltodekstrin memiliki kemampuan mengikat air (water holding capacity) dan berat molekul rendah sehingga dapat mempertahankan produk beku. Makanan rendah kalori, penambahan maltodekstrin dalam jumlah besar. Maltodekstrin dan sirup glukosa dalam industri pangan digunakan sebagai bahan pengisi, mengurangi tingkat kemanisan produk dan sebagai bahan campuran yang baik untuk produk-produk tepung. Penggunaannya sebagai bahan pengisi dapat mengurangi biaya produksi karena mengurangi penggunaan bahan-bahan konsentrat yang memiliki harga relatif tinggi, misalnya flavor. Dalam pembuatan tablet, mltodekstrin dapat mensubsitusi laktosa dan tepung susu dalam jumlah tertentu. Tabel. Komposisi gula pada maltodekstrin DE 15 dan DE 20. DE 15 0 Glukosa (%) Maltosa (%) 0,6 0,8 4,0 5,5 Maltotriosa (%) 7,0 11,0 Sakarida lainnya (%) 88,4 82,7

Maltodekstrin dengan Katalis Asam Maltodekstrin merupakan bentuk pati termodifikasi asam yang dibuat dengan mengontrol hidrolisa pati dengan asam dalam suspensi. Jenis asam yang serinmg digunakan sebagi penghidrolisis adalah asam sulfat dan klorida. Reaksi pembuatan maltodekstrin dengan katalis asam ini meliputi pemotongan ikatan -1,4-Dglukosidik dari amilosa dan -1,6-D-glukosidik dari amilopektin, sehingga ukuran molekul pati menjadi lebih rendah dan meningkatkan kecenderungan pasta untuk membuat gel. Pada saat hidrolisa struktur granula melemah namun tidak sampai membuat pati melarut. Terdapat kelemahan hidrolisa pati menggunakan asam ini, yaitu pemotongan rantai pati oleh asam tidak teratur sehingga hasilnya bisa berupa campuran antra dekstrin, maltosa, dan glukosa (Sunarti, 2009). Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisis asam sepenuhnya terjadi secara acak dan sebagian gula yang dihasilkan berupa gula pereduksi, sehingga pengukuran gula pereduksi tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hasil. Pada hidrolisis

sempurna, dimana seluruh pati dikonversi menjadi dekstrosa, derajat konversi tersebut dinyatakan dengan Dextrose Equivalent (DE). Perbedaan antara pati mentah dengan pati termodifikasi asam adalah viskositas pasta panas lebih rendah sehingga memungkinkan penggunaan pati dalam jumlah lebih besar, kecenderungan retrogradasi lebih besar, rasio viskositas pasta pati dingin dan pasat pati panas lebih rendah, granula yang mengembang selama gelatinisasi dalam air panas lebih rendah, peningkatan stabiltas dalam air hangat di bawah suhu gelatinisasi dan bilangan alkali lebih tinggi. Sifat-sifat pati termodifikasi asam yang mirip dengan sifat pati mentah yaitu sifat tidak larut dalam air dingin dan adanya persamaan sifat birefringence. Reaksi dengan asam dipercepat dengan meningkatkan suhu dan peningkatan suhu ini menyebabkan penggunaan asam dengan konsentrasi yang lebih rendah dan waktu yang lebih singkat. Penambahan asam pada pati akan memotong/memecah granula pati yang ada. Hal ini dikarenakan terjadi pemotongan rantai yang terdapat pada granula karena penambahan asam. Maltodekstrin dengan Katalis Enzim Penggunaan enzim dalam proses hidrolisis memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan penggunaan larutan asam. Pemotongan rantai pati oleh enzim lebih dapat dikendalikan, sehingga dapat diatur kadar maltosa atau glukosanya (Sunarti, 2009). Selain itu menurut Norman (1981), hidrolisa dengan enzim mempunyai kelebihan dibandingkan dengan asam. Enzim mencegah substrat secara spesifik dan karenanya produk dengan kandungan karbohidrat tertentu dapat dibuat. Selain itu, pembentukan warna dan hasil sampingan yang tidak dikehendaki kurang, sehingga lebih memudahkan tahap pemurnian. Selain itu, lebih spesifik prosesnya dan produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Kondisi proses yang dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah serta dihasilkan lebih sedikit produk samping dan abu kerusakan warna yang dapat diminimalkan. Akibat pemutusan rantai polimer secara acak tersebut, maka proses hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan menyebabkan terjadinya peningkatan kandungan produk reversi, sehingga kualitas produk hasil hidrolisis akan lebih rendah dan berubah sifat-sifat fungsionalnya. Pada pembuatan maltodekstrin dengan katalis enzim ini, dilakukan penambahan enzim -amilase yang berfungsi untuk menghidrolisis ikatan lurus (1,4)

dalam rantai pati acak. Enzim ini mereduksi ukuran molekul pati dengan cepat dan meningkatkan viskositas larutan pati. Enzim -amilase adalah endo-enzim yang kerjanya adalah memutus ikatan -1,4 secara acak dibagian dalam molekul pada amilasa dan amilopektin. Sifat dan mekanisme kerja enzim -amilase tergantung pada sumbernya. Umumnya -amilase memotong ikatan dibagian tengah rantai sehingga menurunkan kemampuan pati mengikat zat iodium. Hidrolisis dengan amilase menyebabkan amilosa terurai menjadi maltosa dan maltotriosa. Pada tahap selanjutnya maltotriosa terturai kembali menjadi maltosa dan glukosa. Sedangkan ikatan cabnag (1,6) dalam rantai pati tidak dapat dihidrolisis oleh -amilase tetapi sejumlah molekul -limit dekstrin akan terbentuk saat amilopektin terhidrolisis. Setiap -limit dekstrin mengandung sedikitnya satu ikatan cabang (1,6) (Chaplin dan C. Bukle, 1990). Aktifitas optimal dari enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor dimana diantaranya terdapat beberapa faktor penting yaitu pH dan suhu. Kisaran pH optimal enzim -amilase berkisar antara 4,5 6,5 dan dengan kisaran suhu optimum 40 60
o

C.

Gambar Mekanisme pemotongan amilosa oleh enzim -amilase

Gambar Mekanisme pemotongan amilopektin oleh enzim -amilase (Chaplin, M. F. dan C. Bukle, 1990)

Berdasarkan

hasil

pengamatan

diketahui

bahwa

rendemen

akhir

maltodekstrin yang dihasilkan dengan penambahan asam dari bahan baku pati sagu adalah sebesar 14,7 gram sedangkan dengan penambahan katalis enzim didapatkan sebanyak 19,15 gram. Sedangkan maltodekstrin yang dihasilkan dari tapioka dengan katalis asam sebanyak 14,28 gram dan katalis enzim sebanyak 34,83 gram. Hal ini menunjukkan hasil yang sesuai dengan literatur bahwa dengan penambahan katalis enzim, produk yang dihasilkan akan memiliki kadar abu yang lebih sedikit dah maltodekstrin yang lebih banyak karena pemutusan rantainya yang teratur dan mencegah pembantukan produk reversi yang berlebihan. Berbedanya jumlah hasil akhir maltodekstrin antara bahan baku tapioka dan pati sagu adalah karena perbedaan ukuran granula bahan tersebut. Granula sagu berukuran lebih besar dibandingkan dengan granula tapioka. Hal inilah yang menyebabkan proses hidrolisis pati pada sagu lebih lambat dan produk yang terbentuk pun lebih sedikit dibandingkan dengan tapioka. Sirup Glukosa Sirup glukosa adalah suatu larutan yang diperoleh dari pati melalui hidrolisa yang tidak sempurna, kemudian dilakukan netralisasi dan pemekatan sampai tingkat tertentu (Jacobs, 1944). Proses hidrolisa pati menjadi molekul glukosa secara kimia dapat dilihat pada gambar berikut: (C6H10O5)n + n H2O katalis dan panas pati glukosa n (C6H12O6)

Proses pembuatan pati menjadi sirup glukosa adalah dengan cara menghidrolisa pati menjadi molekul glukosa. Cara menghidrolisa pati dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu hidrolisis pati menggunakan asam, kombinasi asam dengan enzim dan kombinasi enzim dan enzim (Junk dan Pancoast, 1973). Enzim yang banyak digunakan untuk hidrolisis pati adalah alfa amilase, hasil utama hidrolisisnya adalah dekstrin. Kulp (1975) menyatakan bahwa cara kerja enzim alfa amilase tediri dari dua tahap yaitu mula-mula mendegradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa. Degradasi ini berlangsung sangat cepat sehingga viskositas akan menurun dengan cepat. Kedua, relative sangat lambat dengan pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir, dan caranya tidak acak. Kemudian aktifitas

terhadap amilopektin menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis alfa limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu gula yang semuanya mengandung ikatan alfa 1,6. Sakarifikasi merupakan tahapan lanjutan hidrolisis pati untuk menghasilkan sirup glukosa. Pada proses sakarifikasi digunakan enzim amiloglukosidase untuk menghidrolisa pati atau dekstrin dan oligosakarida hasil likuifikasi menjadi glukosa yang mempunyai rasa manis. Amiloglukosidase adalah enzim yang bersifat memcah dari luar dan melepaskan unit-unit glukosa secra teratur dari ujung non pereduksi polimer-polimer pati, sehingga disebut juga exo splitting enzyme (Kulp, 1975). Agar proses sakarifikasi dapat berlangsung samapi tingkat dekstrosa, hidrolisis dilanjutkan dengan menambahkan enzim lain yaitu amiloglukosidase. (Manners, 1979) Glukosa tidak langsung dihasilkan dari pemecahan amilosa dan amilopektin oleh -amilase, hanya hasil pemecahan maltotriosa dan maltotetraosa yang dapat menghasilkan glukosa. Menurut Robyt (1984) didalam Wulansari (2004), pada amilosa peluang terjadinya pemecahan maltotriosa oleh -amilase pada ikatan pertama adalah sebesar 0,84 dan pada ikatan kedua sebesar 0,16. Dalam sirup glukosa dapat terjadi pembentukan warna karena pemanasan. Pembentukan warna ini tergantung pada beberapa factor, antara lain konsentrasi precursor warna seperti Hidroksimetilfurfural dan senyawa-senyawa amino yang ada serta gula pereduksi sirup glukosa. Gula sederhana terutama dekstrosa mudah mengalami reaksi browning non-enzimatik yang menghasilkan warna coklat. Proses likuifikasi adalah proses pencairan gel pati dengan menggunakan enzim -amilase yang menghidrolisa pati menjadi melokul-molekul yang lebih kecil dari oligosakarida atau disebut dekstrin. Menurut Jacobs (1944), tingkat mutu sirup glukosa terutama ditentukan oleh tingkat konversi pati menjadi komponen-komponen glukosa, maltosa, dan dekstrin, yang dikenal sebagai ekivalen dekstrosa. Makin tinggi kadar ekivalen dekstrosa dan semakin rendah kandungan dekstrinnya. Dalam Codex Alimentarius sirup glikosa didefinisikan sebagai suatu larutan cair sakarida nutritive yang telah dimurnikan dan dipekatkan dan diperoleh dari pati. Demikian juga dalam Standar Industri Indonesia, sirup glikosa didefinisikan sebagai cairan jernih dan kental yang komponen utamanya glukosa diperoleh dari hidrolisa

pati.spesifikasi utama sirup glukosa yang diberikan oleh FAO/WHO, yaitu mempunyai kadar padatan kering minimum 70%, Dekstrosa ekuivalen minimum 20% dan sulfur dioksida maksimum 40 g/kg. pada table 1. diperlihatkan syarat mutu sirup glukosa. Tabel Syarat Mutu Sirup Glukosa Komponen Air Abu (dasar kering) Spesifikasi Maksimum 20% Maksimum 1%

Gula reduksi dihitung sebagai D- Minimum 30% Glukosa Tidak nyata Pati Negative Logam berbahaya (Pb, Cn, Zn) Untuk kembang gula maksimum Sulfur dioksida 400 ppm, yang lain maksimum 40 ppm Pemanis buatan Negative Sumber : SII.0418-81 (Haska, 1982) Kemajuan dalam kontroversi enzim telah dapat menghasilkan sirup dengan kadar dekstrosa 95%, proses asam-enzim hanya dapat menghasilkan dekstrosa 9293%. Kadar dekstrosa lebih tinggi dapat diperoleh dengan menggunakan konsentrasi substrat yang lebih rendah, tetapi ada batas ekonomisnya (Berghmans, 1981). Kadar dekstrose juga dapat berkurang oleh adanya transglukosidase karena enzim yang digunakan tidak murni. Dosis enzim tinggi dan waktu konversi yang terlalu panjang mengakibatkan polimerisasi membentuk maltosa/somaltosa yang dapat juga terbentuk karena konversi non ideal. Bobot molekul rata-rata sirup glukosa dipengaruhi oleh DE dekstrose dan berhubungan dengan sifat higroskopis serta titik beku dalam larutan. Bobot molekul rata-rata sirup glukosa dengan DE 42 hampir sama dengan bobot molekul sukrosa, yaitu 340. sedangkan glukosa padat dengan DE 63% bobot molekul rata-ratanya 260 dan dekstrose 180,2. Sirup Glukosa dengan Katalis Asam Jenis asam yang dapat digunakan sebagai katalis dalam pembuatan sirup glukosa antara lain adalah H2SO4, HCl, dan asam oksalat. Bila digunakan asam sulfat

atau asam oksalat, maka larutan gula dinetralkan dengan Ca(OH)2, sedangkan apabila dengan menggunakan HCl, maka larutan gula dinetralkan dengan Na2CO3 (Wulansari, 2004). Proses hidrolisa pati dengan menggunakan katalis asam selalu menggunakan suhu yang tinggi yaitu sekitar 140-460 C. Ini memerlukan masalah yaitu membutuhkan alat-alat yang tahan korosi. Di samping itu peningkatan nilai ekivalen dekstrosa disamping degradasi karbohidrat juga terjadi rekombinasi produk

degradasi yang dapat memenuhi warna, rasa, bahkan menimbulkan masalah teknis. Dalam proses hidrolisis menggunakan asam, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah asam yang digunakan, lama hidrolisa, dan kandungan protein dalam bahan baku. Protein yang tinggi dalam bahan baku dapat menyebabkan rasa yang pahit pada sirup yang dihasilkan, sedangkan lama hidrolisa mempengaruhi warna dan komposisi sirup yang terbentuk. Jumlah asam mempengaruhi kecepatan hidrolisa dan jumlah garam yang terbentuk pada waktu penetralan (Sari, 1992). Sirup Glukosa dengan Katalis Enzim Pada hidrolisis pati secara enzimatis terdapat dua tahapan proses yaitu tahap likuifikasi dan sakarifikasi. Proses likuifikasi adalah proses pencairan gel pati dengan enzim yang namanya -amilase yang menghidrolisa pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dari oligosakarida atau disebut dekstrin. Tahap sakarifikasi dilakukan dengan penambahan enzim amiloglukosidase dan diaduk pada suhu 60C selama 24 jam. Pada tahap sakarifikasi terjadi penguraian lebih lanjut dari senyawa dekstrin dan maltosa menjadi glukosa (Sunaryo, 1985). Enzim -amilase akan menghidrolisis ikatan lurus (1,4) dalam rantai pati acak. Enzim ini mereduksi ukuran molekul pati dengan cepat dan meningkatkan viskositas larutan pati. Hidrolisis amilosa akan menghasilkan maltosa dan maltotriosa sedangkan ikatan cabang (1,6) dalam rantai pati tidak dapat dihidrolisis oleh amilase tetapi sejumlah molekul -limit dekstrin akan terbentuk saat amilopektin terhidrolisis. Setiap -limit dekstrin mengandung sedikitnya satu ikatan cabang (1,6). Berdasarkan data yang diperoleh, didapatkan hasil yang sesuai dengan literature di atas. Pembuatan sirup glukosa dengan penambahan katalis enzim menghasilkan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah sirup glukosa

yang dihasilkan dengan penambahan katalis asam. Bobot sirup glukosa yang dihasilkan dengan katalis enzim adalah sebanyak 16,84 gram dan dengan katalis asam adalah sebanyak 21,41 gram. Hasil ini sesuai dengan pustaka karena pada penggunaan katalis asam jumlah yang dihasilkan akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan katalis enzim dalam selang waktu yang sama. Dengan kecepatan hidrolisis pada katalis asam, produk yang dihasilkan pun akan lebih banyak. 5. Karakterisasi Pati Dan Tepung Uji Iod Pati disusun oleh dua glukan yaitu amilosa dan amilopektin yang tersebar jumlahnya dan komposisinya khas dalam pati suatu bahan. Pada tepung semua bahan masih bercampur baik pati maupun protein, lemak dan mineral, sehingga glukan tersebut sulit untuk ditentukan komposisinya. Kedua glukan ini memiliki karakteristik tersendiri, dari sifat dan strukturnya yang berbeda karena adanya percabangan. Amilosa memiliki struktur linier dan karena itu mudah untuk bereaksi dengan asam lemak ataupun protein dan senyawa lainnya, sedangkan amilopektin strukturnya bercabang. Kekuatan kedua glukan ini untuk menarik suatu senyawa lebih kuat pada amilosa yang mampu membentuk struktur heliks yang dapat mengikat senyawa secara fisik dan menahannya pada struktur heliks tersebut. Sifat ini akan semakin besar jika struktur heliks semakin panjang dan ukurannya lebih kecil, sehingga pati yang berasal dari serealia banyak dimanfaatkan untuk pembuatan produk pengikat senyawa tertentu, seperti di bidang farmasi dan kosmetika, karena senyawa aktif dapat diikat oleh struktur heliks ini. Uji iod sedemikian sehingga dapat mengikat warna biru senyawa Iod apabila diteteskan. Uji iod ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan amilosa dan amilopektin pada pati. Respon warna pati terhadap iodin menurut derajat hidrolisis yaitu jika pati mengandung amilosa maka akan memberikan warna biru tua (kehitaman), sedangkan jika pati mengandung amilopektin maka akan memberikan warna merah violet. Warna biru yang timbul disebabkan karena struktur molekul pati yang berbentuk spiral sehingga bisa mengikat iodin. Warna biru ini hanya bisa direfleksikan oleh polimer glukosa yang lebih besar dari dua puluh, contohnya

amilosa. Bila polimernya kurang dari dua puluh, seperti amilopektin, maka dapat dihasilkan warna merah (Winarno, 1985). Di dalam amilum sendiri terdiri dari dua macam amilum yaitu amilosa yang tidak larut dalam air dingin dan amilopektin yang larut dalam air dingin. Ketika amilum dilarutkan dalam air,amilosa akan membentuk micelles yaitu molekulmolekul yang bergerombol dan tidak kasat mata karena hanya pada tingkat molekuler. Micelles ini dapat mengikat I2 yang terkandung dalam reagen iodium dan memberikan warna biru khas pada larutan yang diuji. Pada saat pemanasan, molekulmolekul akan saling menjauh sehingga micellespun tidak lagi terbentuk sehingga tidak bisa lagi mengikat I2. Akibatnya warna biru khas yang ditimbulkan menjadi menghilang. Micelles akan terbentuk kembali pada saat didinginkan dan warna biru khaspun kembali muncul. Warna biru khas yang ditimbulkan sebagai hasil dari reaksi positif, juga akan hilang jika larutan yang telah positif dalam pengujian iod ditambah dengan NaOH. Ion Na+ yang bersifat alkalis akan mengikat iodium sehingga warna biru khas akan memudar dan hilang. Uji iod ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan amilosa dan amilopektin pada pati. Respon warna pati terhadap iodin menurut derajat hidrolisis yaitu jika pati mengandung amilosa maka akan memberikan warna biru tua (kehitaman), sedangkan jika pati mengandung amilopektin maka akan memberikan warna merah violet. Warna biru yang timbul disebabkan karena struktur molekul pati yang berbentuk spiral sehingga bisa mengikat iodin. Warna biru ini hanya bisa direfleksikan oleh polimer glukosa yang lebih besar dari dua puluh, contohnya amilosa. Bila polimernya kurang dari dua puluh, seperti amilopektin, maka dapat dihasilkan warna merah (Winarno, 1997). Di dalam amilum sendiri terdiri dari dua macam amilum yaitu amilosa yang tidak larut dalam air dingin dan amilopektin yang larut dalam air dingin. Ketika amilum dilarutkan dalam air,amilosa akan membentuk micelles yaitu molekulmolekul yang bergerombol dan tidak kasat mata karena hanya pada tingkat molekuler. Micelles ini dapat mengikat I2 yang terkandung dalam reagen iodium dan memberikan warna biru khas pada larutan yang diuji. Pada saat pemanasan, molekulmolekul akan saling menjauh sehingga micellespun tidak lagi terbentuk sehingga tidak bisa lagi mengikat I2. Akibatnya warna biru khas yang ditimbulkan menjadi

menghilang. Micelles akan terbentuk kembali pada saat didinginkan dan warna biru khaspun kembali muncul. Warna biru khas yang ditimbulkan sebagai hasil dari reaksi positif, juga akan hilang jika larutan yang telah positif dalam pengujian iod ditambah dengan NaOH. Ion Na+ yang bersifat alkalis akan mengikat iodium sehingga warna biru khas akan memudar dan hilang Ciri khas terjadinya hidrolisis pati secara umum, baik hidrolisis secara kimia maupun menggunakan enzim dengan penurunan kekentalan dan kemampuan mengikat iodium. Pada awal hidrolisis biasanya masih terlihat warna biru yang merupakan amilodekstrin. Kemudian akan dihasilkan warna merah coklat yang berasal dari kompleks antara eritrodekstrin dengan iodium. Pada tahap akhir hidrolisis tidak terlihat lagi perubahan yang menandakan bahwa pati sudah menjadi molekul yang pendek sehingga tidak dapat lagi membentuk konfirmasi heliks berikatan dengan iodium (Heiman, 1980). Pengaruh penambahan iodin pada pati pada saat pengamatan mikroskop adalah untuk mengetahui kandungan terbesar dalam granula pati tersebut seperti yang sudah disebutkan pada pustaka di atas. Pada hasil pengamatan pati tanpa perlakuan uji iodin menunjukkan hasil yang positif yaitu berwarna hitam. Warna tersebut merupakan refleksi dari warna biru yang sangat pekat. Hal ini berarti bahwa amilosa masih banyak terkandung dan belum berubah. Pada perlakuan fisik dan suhu, kandungan dalam pati tidak berubah dengan dihasilkannya kisaran warna biru yaitu ungu sampai hitam pekat pada uji iodin. Jadi, perlakuan fisik dan suhu hanya mempengaruhi bentuk granula bukan kandungan granulanya. Berdasar hasil di atas dapat dilihat bahwa kadar amilodekstrin akan berkurang seiring dengan perlakuakn fisik dan panas yang dilakukan. Hal ini ditunjukkan denganberkurangnya kepekatan warna biru pada produk pati termodifikasi pada uji yang dilakukan. Pada praktikum dilakukan uji iod terhadap 18 produk pati baik yang berasal dari kelompok pati alami, pati termodifikasi maupun hidrolisat pati. Dari hasil praktikum dapat diketahui bahwa warna yang dihasilkan setelah dilakukan penambahan iodin berbeda-beda, walaupun pada dasarnya produk tersebut samasama dibuat dari pati, namun pada prosesnya, seperti produk hidrolisat dan pati termodifikasi menyebabkan berubahnya struktur molekul yang terkandung dalam

pati tersebut. Apabila kita pisahkan berdasarkan warna, terdapat 3 kelompok warna, yaitu:1. Kelompok produk berwarna biru (warna setelah diberi larutan iod) adalah pada produk (bahan) Singkong (+++), Ubi Jalar (+++), Talas (+++), Pati

Pregelatinisasi (Suhu 50C) (+++), Pati Pregelatinisasi (Suhu 60C) (+++), Pirodekstrin (+++), Heat-Moisture Treated Starch (+++), Maltodekstrin dengan katalis asam (sagu) (+++), Sirup glukosa dengan katalis (+++), asam (tapioka) (+++), Sirup Glukosa dengan enzim (tapioka) (+++) menunjukan bahwa produk tersebut berarti mengandung amilosa; 2. Kelompok produk berwarna cokelat (warna setelah diberi larutan iod) : ketan hitam (++) , menunjukan bahwa produk tersebut

mengandung amilopektin, dan 3. kelompok produk berwarna ungu (warna setelah diberi larutan iod) termasuk produk Beras (++), Pati Pregelatinisasi (-Starch) (++), Maltodekstrin dengan katalis enzim (tapioka) (++), Maltodekstrin dengan katalis asam (tapioka) (+), yang menandakan bahwa produk tersebut mengandung amilosa (dalam jumlah sedikit). Untuk produk yang ditandai (+) menunjukan bahwa produk tersebut mengandung amilosa dan tanda (-) menunjukan bahwa produk tersebut tidak mengandung amilosa. Pada hasil pengamatan pati dengan uji iod, semua jenis pati termodifiksai yng diuji menunjukkan hasil positif yaitu berwarna biru kehitaman. Hal ini berarti bahwa amilosa masih banyak terkandung dan belum berubah. Semakin biru warna yang dihasilkan, maka menunjukkan semakin banyak kandungan pati yang terdapat pada produk hidrolisat pati. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kemampuan pati dalam mengikat iodine, semakin terlihat warna biru yang ditampakkan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa proses pembuatan semua jenis modifikasi produk hidrolisat pati tidak merusak kandungan pati yang ada pada bahan, sehingga pati termodifikasi yang dihasilkan pun masih mengandung pati. Bentuk Granula Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang berbeda-beda. Proses dasar pembuatan semua jenis pati adalah sama, yaitu penghancuran sel-sel untuk memisahkan butiran-butiran pati dari komponen-komponen lainnya dengan pertolongan air untuk mengekstraknya (Winarno, 1985).

Menurut Greenwood (1970), pati merupakan butir atau granula yang berwarna putih, mengkilat, tidak mempunyai bau dan rasa. Granula pati dibentuk dari lapisan tipis yang merupakan susunan melingkar dari molekul-molekul pati, lapisan-lapisan tersebut tersusun secara terpusat. Granula tiap-tiap jenis pati berbeda dalam bentuk dan ukurannya, sehingga dapat digunakan untuk menentukan sumbernya. Pati terdapat dalam jaringan tanaman dalam bentuk granula yang berbedabeda. Dengan menggunakan mikroskop granula pati dari berbagai spesies tanaman yang berbeda dapat dibeda-bedakan. Karakteristik yang unik tersebut adalah ukuran, bentuk dan keseragaman granula; letak hilum (suatu titik tunggal atau perpotongan dua garis pendek); ada atau tidaknya striation yang sebagian atau seluruhnya mengelilingi hilum; dan penampakan granula di bawah cahaya terpolarisasi (birefringent) (Smith, 1982).

Kentang

Tepung

Tapioka

Beras

Jagung

Sagu

Gambar. Struktur granula berbagai jenis pati (Smith, 1982) Dalam praktikum ini, dilakukan pengamatan mikroskopik terhadap struktur granula pati termodifikasi yang berasal dari pati maizena. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap granula pada masing-masing jenis pati termodifikasi didapatkan bahwa granula pirodekstrin dan Quick Cooking Corn adalah lebih kecil dari pada pati tergelatinisasi yang lain. Untuk pati tergelatinisasi -80oC relative berukuran paling besar di antara yang lain. Menurut Juliano (1985), kadar amilosa berkorelasi negative terhadap kelekatan (stickness), kelunakan (softness), kepulenan dan rasa nasi. Beras dengan kadar amilosa rendah sampai sedang menghasilkan nasi pulen, tetapi lunak setelah

dingin dan mempunyai penampakan mengkilat. Sedangkan beras dengan kadar amilosa tinggi menghasilkan nasi kering dan keras setelah dingin. Struktur granula pati beras alami masih mengandung amilopektin disamping amilosa. Sedangkan untuk waxy rice, kandungan amilopektinnya sudah tidak ada. Hal ini berpengaruh pada saat dilakukan uji iod. Pada waxy rice uji akan negatif sedangkan pada normal rice akan positif. Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai kadar 30 %, dan peningkatan volume granula pada selang suhu 55oC sampai 65oC masih memungkinkan granula kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan yang luar biasa, dan granula pati tidak dapat kembali ke keadaan semula, maka perubahan ini disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya berbeda-beda tergantung pada jenis pati dan konsentrasinya (Winarno, 1997). Winarno (1997) menambahkan bahwa kemampuan pati menyerap air disebabkan oleh adanya gugus hidroksil pada molekul pati dalam jumlah besar. Pemanasan suspensi pati dalam air mengakibatkan suspensi menjadi keruh, dan bila gaya tarik menarik antara molekul air lebih kuat dari pada antar molekul pati, air akan terserap dan granula pati membengkak. Masuknya air ke dalam granula meningkatkan viskositas suspensi pati. Secara umum pada praktikum ini perlakuan pati dengan peningkatan suhu mengakibatkan terjadinya pembengkakan pada struktur granula bahkan pada beberapa pati tampak ada yang sudah pecah granulanya. Jadi, suhu akan mempengaruhi bentuk granula dan tentunya akan mempengaruhi sifat patinya. Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai kadar 30 %, dan peningkatan volume granula pada selang suhu 55oC sampai 65oC masih memungkinkan granula kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan yang luar biasa, dan granula pati tidak dapat kembali ke keadaan semula, maka perubahan ini disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya berbeda-beda tergantung pada jenis pati dan konsentrasinya (Winarno, 1988). Winarno (1988) menambahkan bahwa kemampuan pati menyerap air disebabkan oleh adanya gugus hidroksil pada molekul pati dalam jumlah besar.

Pemanasan suspensi pati dalam air mengakibatkan suspensi menjadi keruh, dan bila gaya tarik menarik antara molekul air lebih kuat dari pada antar molekul pati, air akan terserap dan granula pati membengkak. Masuknya air ke dalam granula meningkatkan viskositas suspensi pati. Dari hasil pengamatan, terluhat bentuk granula pati yang menggerombol bulat-bulat dan berukuran kecil. Bentuk granula dari tiap-tiap jenis pati kurang dapat dibedakan secara signifikan. Suhu Gelatinisasi Zat pati dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Granula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran, ada yang berbentuk bulat, oval, atau bentuk tidak beraturan demikian juga ukurannya, mulai kurang dari 1m sampai 150m tergantung sumber patinya (Banks dan Greenwood, 1975). Menurut Satin (2001), sebaran dan ukuran granula sangat menentukan karakteristik fisik pati serta aplikasinya dalam produk pangan. Bentuk granula pati ialah semi kristal yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf (Banks dan Greenwood, 1975). Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat (Greenwood dan Munro, 1979). Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi. Meyer (1982), menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30 % dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati tidak terlarut dalam air dingin, tetapi berbentuk suspensi dengan makin naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar. Winarno (1984), menambahkan bahwa pembengkakan diawali pada bagian amorf atau bagian yang kurang rapat, merusak ikatan antara molekul yang lemah dan menghidrasinya. Dengan meningkatnya suhu, air mulai memasuki daerah kristalin, sehingga miselin mulai rusak. Granula terus mengembang menjadi jaringan yang membengkak, namun masih terikat oleh misela yang belum rusak. Sebagian amilosa akan keluar dari granula dan melarut dalam larutan. Viskositas meningkat mencapai maksimum yang berkolerasi dengan jumlah volume yang membengkak dan menunjukkan hidrasi maksimum.

Proses gelatinisasi menurut McReady (1970), dibedakan menjadi tiga fase. Fase pertama, air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, fase kedua pada suhu 60-85o C granula akan mengembang dengan cepat dan akhirnya kehilangan sifat birefringence amilosa terdifusi keluar granula. Granula pati singkong sudah terpecah sempurna dibawah suhu 80oC, karena memiliki daya ikat yang lemah. Gelatinisasi merupakan fenomena pembentukan gel yang diawali dengan pembengkakan granula pati akibat penyerapan air. Gelatinisasi merupakan pembengkakan granula pati yang tidak kembali kebentuk semula. Secara umum perubahan yang terjadi selama proses pemanasan suspensi pati diikuti dengan pendinginan, adalah : 1). Pengembangan granula yang disebabkan oleh imbibisi air karma kelemahanya ikatan hydrogen. 2). Hilangnya sifat birefringence atau kristalinitasnya yang dapat diamati dengan mengunakan mikroskop electron (EM). 3).kejernihan yang meningkat dan 4).kenaikan kekentalan secara cepat. Ke empat tahapan perubahan tersebut dapat terjadi secara serentak atau bertahap, oleh karma itu biasanya suhu glatinisasi tidak dinyatakan dalam satu suhu akan tetapi merupakan suatu kisaran (Winarno, 1988). Suhu gelatinisasi adalah suatu kisaran suhu pada saat proses gelatinisasi berlangsung dari awal sampai berakhir sempurna. Suhu gelatinisasi ini diawali dengan pembengkakan yang tidak dapat balik granula pati dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula telah kehilangan sifat krisalnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi antara lain kekompakan granula dan ukuran molekul amilosa dan amilopektin (derajat polimerisasi) serta keadaan media pemanasan. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Pomeranz, 1973 di dalam Sari, 1992). Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu gelatinisasi adalah kandungan amilosa dan ukuran granula pati. Granula pati yang berukuran kecil lebih tahan terhadap gelatinisasi dibandingkan dengan granula yang berukuran besar. Makin tinggi suhu gelatinisasi makin banyak pula molekul amilosa dan amilopektin yang

terlepas dari granulanya untuk membentuk struktur jaringan yang elastis (Greenwood, 1979). Dari hasil percobaan dapat diperoleh bahwa suhu awal gelatinisasi baik pada pati alami, pati termodifikasi dan hidrolisat pati adalah 35C. Dimana pada setiap kenaikan suhu 100C akan diukur ketinggiannya. Rata-rata produk pati mengalami penurunan maupun kenaikan ketinggian cairan produk pati yang akan diglatinisasi seiring berjalannya waktu dan terjadi peningkatan suhu setiap 10 menit sekali. Produk pati yang bertambah ketinggian larutan glatinisasi seiring kenaikan suhu/10 menit adalah pada produk pati alami (produk pada kelompok 1, dan 3), produk pati termodifikasi (pada produk kelompok 1 dan 3), dan pada produk hidrolisat pati (produk kelompok 3), sedangkan produk pati yang mengalami penurunan ketinggian larutan glatinisasi seiring kenaikan suhu adalah produk pati alami, pati termodifikasi dan hidrolisat pati (pada produk kelompok 5). Dalam kasus ini dapat diberi pernyataan bahwa kandungan amilosa yang lebih rendah menyebabkan granula pati lebih sedikit menyerap air dan struktur granula patinya lebih kompak, agak lebih sukar terdispersi dalam air. Akibatnya pengembangan granula terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Pati yang termodifikasi dengan metode pre-gelatinized dan yellow dekstrin memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi daripada pati murninya. Peningkatan suhu gelatinisasi ini disebabkan oleh makin banyaknya daerah amorf yang akan menyebabkan naiknya derajat kristal pati. Hal lain yang menyebabkan naiknya suhu gelatinisasi adalah barkurangnya kapasitas pembengkakan sehingga konsistensi pasta juga lebih rendah. Kadar Air (Pati Alami) Kadar air suatu bahan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan daya simpan suatu bahan. Oleh karena itu pengukuran kadar air suatu bahan sangat penting agar dalam proses pengolahannya mendapatkan penanganan yang tepat. Kadar air sendiri merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri,

kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997). Penentuan kadar air pada praktikum kali ini menggunakan metode oven. Terdapat beberapa kelemahan dari metode ini atara lain : bahan lain ikut menguap, terjadi penguraian karbohidrat menjdai air yang ikut terhitung, ada air yang terikat kuat pada bahan dan tidak dapat terhitung. Pada penghitungan kadar air dengan metode oven ini, perlu dicari bobot konstan dari kertas saring. Bobot yang konstan dapat diartikan bahwa air yang terkandung dalam bahan telah menguap dan yang tersisa hanya padatan dan air yang benar-benar terikat kuat pada bahan. Penentuan kadar air pada praktikum kali ini menggunakan metode oven. Terdapat beberapa kelemahan dari metode ini atara lain : bahan lain ikut menguap, terjadi penguraian karbohidrat menjdai air yang ikut terhitung, ada air yang terikat kuat pada bahan dan tidak dapat terhitung (anonim 2011). Pada penghitungan kadar air dengan metode oven ini, perlu dicari bobot konstan dari kertas saring. Bobot yang konstan dapat diartikan bahwa air yang terkandung dalam bahan telah menguap dan yang tersisa hanya padatan dan air yang benar-benar terikat kuat pada bahan(anonim 2011). Berdasarkan hasil praktikum kadar air terendah dimiliki oleh ubi jalar dengan kadar air 3.80%, sedangkan beras ketan merupakan pati yang memiliki kadar air tinggi yaitu sekitar 37.60 %. Kadar air dengan presentasi 14% merupakan kadar air yang aman bagi bahan tersebut dan lebih tahan lama. Dari literature ini, dapat dilihat bahwa produk beras ketan merupakan produk yang rentan terkena mikroorganisme lain karena kadar airnya yang melebihi 14% dan daya simpannya akan jauh lebih singkat disbanding dengan bahan lainnya, sedangkan beras, talas, dan ubi jalar termasuk produk yang aman karena kadar airnya yang berada dibawah 14%. Kejernihan Pasta Kejernihan pasta merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kualitas pasta pati disamping viskositas pasta, terutama berdasarkan penampakan visual terkait pada sifat jernih atau buram dari pasta yang dihasilkan. Pada sebagian jenis makanan, pasta pati diharapkan berwujud jernih seperti untuk bahan pengisi

kue. Namun ada pula makanan yang menghendaki pasta pati berwujud buram (opaque) seperti pada salad dressing. Konsentrasi larutan pasta untuk mengukur kejernihan dekstrin, menurut Radley (1976) sekitar 30 50 %. Beberapa pati dalam bentuk pasta akan mengalami pengembangan dan perubahan menjadi keruh akibat pengaruh suhu. Kejernihan pasta memiliki hubungan dengan sifat kelarutan dimana semakin tinggi kelarutan maka akan semakin tinggi juga tingkat kejernihan pasta yang dihasilkan. Kejernihan diipengaruhi oleh ISSP (insoluble strach particles) dalam pati. ISSP adalah partikel partikel pati yang tersusun atas sejumlah besar amilosa yang saling bergandengan membentuk rantai lurus (linear). Kandungan ISSP didalam pati slain dipengaruhi oleh tanaman penghasilnya, dapt terbentuk jika campuran antara amilase dan pati mendapat perlakuan pemanasan secara bertahap. Pengujian terhadap tingkat kejernihan pasta pati dapat dilakukan dengan mengukur nilai transmisi cahaya yang dilewatkan melalui sampel pasta pati. Alat yang digunakan untuk mengukur kejernihan pasta adalah spektrofotometer yang dinyatakan dengan % transmisi. Di dalam praktikum ini, nilai yang dibaca terhadap pasta adalah persen transmittan. Transmittan adalah banyaknya cahaya yang dilewatkan oleh suatu zat. Jadi semakin tinggi nilai persen transmittan yang terbaca maka, pasta yang diukur semakin jernih. Pengukuran persen transmisi pasta pati dapat digunakan sebagai indikator perubahan kadar zat warna yang terdapat dalam pasta pati tersebut. Kejernihan hidrolisat pati berkaitan dengan kandungan partikel yang larut. Kejernihan hidrolisat pati berkisar 0,9-84,3 % transmisi yang menunjukkan warna kuning kecoklatan. Warna coklat pada hidrolisat dapat disebabkan oleh reaksi antara gula pereduksi dengan senyawa nitrogen (reaksi maillard). Hasil reaksi maillard gula pentosa menghasilkan furfural yang berwarna coklat. Hidrolisat berwarna kuning kecoklatan menunjukkan terdapatnya senyawa furfural dan hidroksimetilfurfural (Jacobs, 1994). Hasil pengamatan praktikum menunjukkan bahwa nilai persentase absorbansi untuk sepuluh bahan pasta pati berkisar antara 0,1 persen sampai 24, 8 persen. Kejernihan diipengaruhi oleh ISSP (insoluble strach particles) dalam pati. ISSP adalah partikel partikel pati yang tersusun atas sejumlah besar amilosa yang saling bergandengan membentuk rantai lurus (linear). Kandungan ISSP didalam pati slain dipengaruhi

oleh tanaman penghasilnya, dapt terbentuk jika campuran antara -amilase dan pati mendapat perlakuan pemanasan secara bertahap. Dari hasil pengamatan diperoleh hasil persen transmittan yang tertinggi adalah pada pati termodifikasi, sedangkan persen transmittan yang lebih rendah dimiliki oleh pati alami dan disusul dengan hidrolisat pati. Seperti kita ketahui, bahwa semakin tinggi nilai % transmisi, maka semakin kecil kadar zat warna yang terdapat dalam larutan pati tersebut dengan kata lain tingkat kejernihan pastanya makin tinggi pula. Artinya pati termodifikasi memiliki kandungan ISSP yang rendah atau memiliki tingkat kejernihan pasta yang paling tinggi. Sedangkan pati alami yang memiliki nilai kejernihan yang rendah menunjukkan bahwa didalamnya mengandung ISSP yang tinggi. ISSP sendiri merupakan partikel-partikel yang tersusun atas sejumlah besar amilosa yang saling bergandengan membentuk rantai lurus (linear). ISSP merupakan partikel yang larut dalam larutan pasta sehingga dengan demikian mempengaruhi kejernihan dari pasta, ini merupakan faktor yang mempengaruhi kejernihan pasta. Kandungan ISSP di dalam pati selain dipengaruhi oleh jenis tanaman penghasilnya, dapat terbentuk jika campuran antara -amilase dan pati mendapat perlakuan pemanasan secara bertahap. Terlihat bahwa pengujian karakteristik kejernihan pasta ini mempunyai hasil yang berbeda-beda pada tiap perlakuan modifikasi. Adanya perlakuan dimana suspensi pati dicelupkan pada air mendidih ditujukan agar suspensi pati tersebut dapat membentuk pasta secara keseluruhan/sempurna. Perlakuan pengocokan pada setiap 5 menit bertujuan agar pati tidak mengendap dan hasil pasta lebih baik. Apparent viscosity Pati bila dipanaskan akan membentuk pasta yang kental. Kekentalan merupakan salah satu sifat ynag penting dari pasta pati. Beberapa hal yang

mempengaruhi pengukuran viskositas yaitu : metode penyiapan pasta, kecepatan pengadukan, kesadahan air yang digunakan, konsentrasi pati yang digunakan dan suhu sifat rheologi pasta pati memungkinkan untuk diukur secara kontinyu dan menggunakan viscosimeter otomatis yang emmpunyai perekam, pada pengadukan yang konstan, salah satunya yaitu Brabender-viscograph. Peningkatan kekentalan secara tajam terjadi ketika granula yang telah membengkak menempati posisi yang

besar dari total volume dan berhubungan dengan granula-granula lainnya yang akan memberikan kekmtalan maksimum pada kurva. Selama periode pendinginan kekentalan menurun karena pecahnya struktur pati sampai kekentalan maksimum yang kedua dimana pengukuran kekuatan gel dapat dilakukan (McReady, 1970). Untuk uji Apparent viscosity ini, digunakan alat ukur viskosimeter Brookfield sebagai alat ukur stabilitas viskositas. Setiap pati memiliki nilai viskositas yang berbeda-beda. Viscositas suatu pasta pati dipengaruhi oleh kadar glukosanya. Semakin tinggi kadar glukosa maka larutan akan semakin kental. Pasta pati mengalami penurunan viskositas saat pendinginan hingga nilai terendah yaitu 187 cP pada suhu 800C dan 700C, yang merupakan akibat dari penurunan ukuran granula karena terjadinya pelepasan amilosa dan air dari dalam granula yang pecah. Penurunan suhu yang terus dilakukan meningkatkan kembali viskositas pasta hingga mencapai 255 cP pada suhu 300C. Peningkatan viskositas dari 187 hingga 255 cP ini terjadi karena adanya proses retrogradasi dari amilosa yang telah keluar (leaching) dari granula pati. Proses ini menyebabkan air terperangkap dalam ruang 3 dimensi antar molekul amilosa dan amilopektin yang berikatan hidrogen. Proses retrogradasi terjadi karena adanya kecenderungan dari molekul penyusun pati untuk berikatan kembali dengan ikatan hidrogen (Fennema, 1976). Penurunan viskositas merupakan efek yang otomatis terjadi karena rantai amilosa dan amilopektin akan terpotong menjadi lebih pendek karena perlakuan yang dilakukan, sehingga viskositasnya menurun. Penurunan viskositas larutan pati terjadi karena rapuhnya granula pati akibat adanya gesekan dan pemanasan. Dari definisi tersebut, diperoleh gambaran bahwa pasta pati yang nilai viskositasnya lebih rendah disebabkan berkurangnya kapasitas pembengkakan sehingga konsistensi pasta juga lebih rendah selama terjadinya pemanasan (Greenwood, 1970). Dari hasil praktikum kali ini nilai Apparent viscosity yang tertinggi dimiliki oleh pati termidifikasi, disusul dengan pati alami, dan hidrolisat pati. Pada praktikum kali ini tidak dapat dibahas mengenai peningkatan atau penurunana viskositas dari waktu ke waktu dikarenakan data yang ada hanya pada menit awal dan terakhir saja. Namun,dari data tersebut, viskositas bahan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu dan peningkatan yang signifikan dapat terlihat pada pati alami. Sedangkan pati

termodifikasi dan hidrolisat pati lebih tidak signifikan penambahan viskositasnya. Hal ini sesuai dengan pustaka yang didapat bahwa perlakuan pemotongan rantai amilosa dan amilopektin yang terjadi pada pati termodifikasi dan hidrolisat pati menyebabkan berkurangnya konsistensi pasta saat dipanaskan. Kelarutan dan Swelling Power Kelarutan pati dalam media cair merupakan salah satu sifat yang penting dan berguna dalam berbagai aplikasi industri baik pangan maupun non pangan. Pada industri penggunanya, nilai kelarutan pati sangat bermanfaat dalam menentukan jumlah optimal dari pati yang akan digunakan untuk proses produksi atau konversi, sehingga akan dihasilkan produk dengan karakteristik yang diinginkan serta dapat menghindari penggunaan pati yang berlebih. Karena setiap jenis pati mempunyai kelarutan yang berbeda-beda, maka sifat kelarutan ini merupakan salah satu cara guna mengidentifikasi jenis pati mana yang ingin kita gunakan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah derajat polimerisasi (DP). Semakin tinggi DP, kelarutan semakin rendah. Sebaliknya semakin rendah DP, kelarutan semakin tinggi. Nilai kelarutan perlu diketahui sebagai informasi untuk mengetahui besarnya konversi dekstrin dalam kesesuaiannya pada aplikasi produk. Ukuran molekul menyebabkan kelarutan meningkat (Pomeranz, 1991). Suhu merupakan salah satu faktor yang turut menentukan besarnya nilai kelarutan pati, dimana semakin tinggi suhu maka kelarutan akan semakin meningkat. Selain itu, kejernihan pasta memiliki hubungan dengan sifat kelarutan dimana semakin tinggi kelarutan maka akan semakin tinggi juga tingkat kejernihan pasta yang dihasilkan. Dari hasil pengukuran kelarutan pati, hidrolisat pati memiliki rataan persentase kelarutan yang paling tinggi diantara yang lain yaitu sebesar 56,05%, dan pati termodifikasi memiliki persentase kelarutan sebesar 51,17%, dan pati alami memiliki persentase kelarutan terendah yaitu sebesar 25,62%, sehingga hal ini tentunya sesuai dengan teori hubungan antara tingkat kejernihan dengan kelarutan pati diatas. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kelarutan pati berkorelasi dengan tingkat kejernihan pati. Semakin tinggi tingkat kejernihan pati maka tingkat kelarutan juga makin tinggi begitu pula sebaliknya.

Pada tingkat molekuler, kemampuan mengembang dan kelarutan granula pati dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbandingan komposisi amilosa dan amilopektin, berat molekul dari tiap fraksi, derajat percabangan, proses pembentukan, panjang bagian terluar pada cabang amilopektin, dan tentu juga karena ada tidaknya komponen selain karbohidrat seperti lemak dan protein. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ikatan hidrogen juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap nilai kelarutan granula pati dalam air. Pada granula pati terdapat gugus hidroksil yang terkandung pada unit glukosa dalam polimer amilosa dan amilopektin. Gugus hidroksil yang bersifat

hidrofilik ini memiliki kecenderungan untuk berikatan hidrogen dengan gugus hidroksil yang berdekatan membentuk struktur granula yang kompak dan teratur. Sehingga memiliki barrier yang cukup baik terhadap difusi molekul lain kedalam granula pati termasuk molekul air. Jadi, semakin banyak ikatan hidrogen yang terbentuk akan membuat larutan pati semakin tidak larut dalam air (Reilly, 1985). Swelling power dilakukan untuk mengetahui kemampuan pati untuk mengembang. Dari hasil praktikum kali ini, nilai swelling power tertinggi dimiliki oleh hidrolisat pati sebesar 1,55%, diikuti pati termodifikasi sebesar 1.24%, dan pati alami yaitu sebesar 0,612%. Dari sini terlihat bahwa kemampuan mengembang produk pati termodifikasi berkurang karena perlakuan yang dilakukan dan pati alami lebih sulit mengembang. Hal ini tidak sesuai karena hasil yang didapat seharusnya pati alami memiliki swelling power yang tertinggi karena masih banyak ikatan bercabang dalam pati alami yang dapat mengikat gugus hidroksil lebih banyak. Sedangkan untuk pati termodifikasi dan hidrolisat pati seharusnya selling powernya berkurang karena ikatan cabang dalam produk ini telah berkurang akibat perlakuan dalam proses produksinya. Uji Total Gula Nilai total gula ditentukan dari banyaknya kandungan amilosa dan amilopektin yang dikandung pada bahan. Seharusnya makin besar nilai absorbansi, berarti makin banyak gula yang terlarut dalam sampel uji. Pengenceran dilakukan agar nilai absorbansi tidak terlalu besar dan dapat dibaca oleh alat spektrofotometer untuk nilai hasil yang sesuai dengan kurva standar yang telah ditentukan. Dari hasil

praktikum yang telah dilakukan, terlihat bahwa sampel dari kelompok 3 memiliki nilai total gula tertinggi yaitu sebesar 0.967, diikuti kelompok 2 sebesar 0.873, kelompok 6 sebesar 0.729, kelompok 1 dengan 0.623, dan yang terakhir kelompok 5 sebesar 0,588 dengan pengenceran yang berbeda-beda. Dari data ini, dapat dikatakan sampel kelompok 5 mengandung amilosa dan amilopektin tertinggi bila dibandingakan dengan yang lainnya, dan sampel uji kelompok 2 memiliki kandungan amilosa dan amilopektin terendah berdasarkan nilai pengencerannya. Makin besar nilai pengenceran, berarti jumlah amilosa dan amilopektin di dalam bahan uji semakin banyak sehingga harus dilakukan pengenceran bertingkat-tingkat. Asam umumnya akan menghidrolisis ikatan dalam pati. Sementara penambahan enzim akan mennyebabkan mengubah amilosa menjadi maltosa dan glukosa. Menurut Birch, et. al (1979) di dalam wulansari (2004), Glukosa merupakan gula pereduksi, sifat pereduksi ini karena glukosa memiliki gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil reaktif pada gluosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik). Reaksi dengan asam memecah pati secara acak dan gula yang terbentuk sebagian besar merupakan gula pereduksi. Gula pereduksi mampu mereduksi agen pengoksidasi pada analisis gula pereduksi. Semua jenis monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa dapar berfungsi sebagai agen pereduksi. -amilase akan memotong ikatan (1,4) pati menjadi lebih pendek seperti maltosa, maltotriosa, -limit dekstrin dan oligosakarida lainnya. Peningkatan nilai gula pereduksi selama proses hidrolisat/gelatinisasi terjadi dan memang seharusnya nilai gula pereduksi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu karena terjadi pemotongan ikatan -1,4- glikosidik pada amilosa pati akibat proses penambahan enzim dan penambahan asam. Pada tahap awal (pati pregelatinisasi) gula pereduksi pada semua jenis pati kebanyakan memiliki nilai yang kecil atau sedikit mengandung glukosa. Hal ini disebabkan karena kandungan amilosa dan amilopektin dari masing-masing pati belum terurai menjadi glukosa. Pada praktikum kali ini tidak dilakukan pengujian pada tahap awal. Pada hidrolisis sempurna, pati seluruhnya dikonversi menjadi dektrosa, derajat konversi tersebut dinyatakan dengan dextrose equivalent (DE), dari larutan tersebut diberi indeks 100. Dextrose Equivalent (DE) adalah besaran yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati dalam satuan persen. DE

berhubungan dengan derajat polimerisasi (DP). DP menyatakan jumlah unit monomer dalam satu molekul. Unit monomer dalam pati adalah glukosa sehingga maltose memiliki DP 2 dan DE 50. Maltodekstrin diklasifikasikan berdasarkan Dextrose Equivalen (DE). Maltodekstrin dengan DE tertentu digunakan untuk kepentingan tertentu. Menurut Radley 1976, Dextrose Equivalen (DE) atau angka pereduksi menunjukkan jumlah gula pereduksi dari pati atau turunannya yang dihitung sebagai sebagai nilai dextrosa pada bobot kering, sedangkan Degree Of Polimerization (DP) menunjukkan rata rata jumlah unit monomer yang terkandung dalam molekul. Dalam hal ini DP mengindikasikan ratarata jumlah unit glukosa. Dekstrose Equivalent (DE) menyatakan persentase hidrolisis banyaknya pati terkonversi menjadi monomer-monomer terutama glukosa. Nilai DE

mengindikasikan banyaknya polimer-polimer pati yang telah terpotong menjadi molekul-molekul glukosa yang lebih sederhana. Nilai DE diperoleh dari perbandingan antara gula pereduksi dengan total gula. Derajat Polimerisasi (DP) merupakan perbandingan antara total gula dengan gula pereduksi (Hayati, 2004). Oligosakarida seperti maltosa, maltotriosa, maltotetrosa, maltopentosa, dan maltoheksosa yang bersifat reduktif serta sejumlah dekstrin dihasilkan dari proses hidrolisis enzimatis. DE menunjukkan jumlah gula pereduksi yang dihitung sebagai persen dekstrosa dalam bobot kering. Maltodekstrin adalah hidrolisat pati yang mengandung -D-glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan (1,4) glikosidik dengan DE kurang dari 20. Menurut Hayati, (2004), nilai DE dipengaruhi oleh waktu reaksi, dimana semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk hidrolisis semakin banyak substrat yang dihidrolisis oleh enzim, sehingga glukosa yang terbentuk semakin banyak. Semakin banyak glukosa yang terbentuk DE semakin meningkat. Uji DNS Hasil penelitian Slominska et.al (2003) menunjukkan bahwa hidrolisis pati yang tidak digelatinisasi terlebih dahulu nilai dextrose equivalent-nya lebih rendah dibandingkan dnegan hidrolisis pati yang digelatinisasi terlebih dahulu. Howling (1979) menyatakan bahwa proses gelatinisasi dimaksudkan untuk mempermudah enzim memecah rantai atau polisakarida pati, hal ini disebabkan enzim-enzim yang digunakan dalam hidrolisa pati tidak dapat menyerang granula pati secara utuh.

Nilai uji DNS ditentukan dari banyaknya kandungan amilosa dan amilopektin yang dikandung pada bahan. Seharusnya makin besar nilai absorbansi, berarti makin banyak gula yang terlarut dalam sampel uji dan dibutuhkan pengenceran bertingkat agar nilai dapat terbaca. Prinsip pengukuran ini sama dengan penentian total gula sebelumnya. Dari hasil praktikum yang telah dilakukan, terlihat bahwa sampel dari kelompok 3 dan 5 memiliki nilai pengenceran terbesar yaitu 10000 kali pengenceran, diikuti kelompok 1, 2 dan 4 dengan pengenceran 3000 kali, dan yang terakhir kelompok 6 sebanyak 1000 kali. Hasil ini hanya dapat dibandingkan dengan sampel yang memiliki nilai pengenceran yang sama sehingga dapat dikatakan bahwa kelompok 5 memiliki kandungan zar warna lebih banyak dibandingkan dengan sampel secara keseluruhan diikuti dengan sampel kelompok 3, 2, 4, 1, dan yang terkecil adalah kelompok 6. Makin besar nilai pengenceran, berarti jumlah amilosa dan amilopektin di dalam bahan uji semakin banyak karena zat warna didalamnya lebih banyak sehingga harus dilakukan pengenceran bertingkat-tingkat. Sedangkan makin tinggi nilai absorbansi, berarti makin banyak zat warna yang larut dalan sampel yang diuji. Uji Kadar Pati Komposisi pati pada umumnya terdiri dari amilopektin sebagai bagian terbesar dan sisanya amilosa. Adanya informasi mengenai komposisi pati diharapkan dapat menjadi data pendukung dalam menentukan jenis produk yang akan dibuat dari pati atau tepung talas. Metode Luff adalah uji kimia kualitatif yang bertujuan untuk menguji adanya gugus aldehid (CHO). Komponen utama reagen Luff adalah CuO. Uji ini dilakukan dengan menambahkan reagen Luff pada sampel, kemudian dipanaskan. Reaksi positif pada uji Luff ditandai dengan adanya endapan merah. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

Pada reaksi tersebut terjadi reduksi CuO menjadi Cu2O. Cu2O ini kemudian membentuk endapan merah bata. Salah satu manfaat praktis uji Luff adalah mengetahui adanya gula pereduksi atau aldosa (contohnya sukrosa), yang memiliki memiliki gugus aldehid (Anonim 2009). Pada metode luff school terdapat cara

pengukuran yaitu penentuan Cu tereduksi dengan 12 dan menggunakan prosedur laeEynon monosakarida akan mereduksikan CuOdalam larutan Luff menjadi Cu2O. kelebihan Cuo akan direduksikan dengan KI berlebih, sehingga dilepaskan I2. I2 yang dibebaskan tersebut dititrasi dengan laruitan Na2S2O3. Pada dasarnya prinsip metode analisa yang digunakan adalah Iodometri karena kita akan menganalisis I2 yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan kadar. Dimana proses iodometri adalah proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan. Apabila terjadi zat oksidator kuat (missal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat netral atau sedikit asam penambahan ion iodida berlebih akan membuat zat oksidator tersebut tereduksi dan membebaskan I2 yang setara jumlahnya dengan banyaknya oksidator, (Hartati dan Titik, 2003). I2 bebas ini selanjurnya dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3 sehingga I2 akan membentuk kompleks iod-amilum yang tidak larut dalam air. Oleh karena itu, jika dalam suatu titrasi membutuhkan indicator amilum, maka penambahan amilum harus sebelum titik ekuivalen (TBKKP, 2008). Hasil titrasi ditambahkan dengan akuades dan larutan luff kemudian dipanaskan. Pemanasan ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat reaksi reduksi dari monosakarida pada gula terhadap CuO menjadi CuO2 dan dalam pemanasan ditambahkan batu didih hal ini dimaksudkan untuk meratakan pemanasan. Pemanasan cukup lakukan pendinginan es (TBKKP 2008). Larutan ditambahkan larutan KI 10% sebanyak 10 ml untuk mereduksi kelebihan CuO sehingga I2 terlepas dan juga dilakukan penambahan H2SO 25% sebanyak 25 ml yang bertujuan untuk mengasamkan larutan karena pada suasana bas, tio sebagai larutan standar akantereduksi secara parsial menjadi sulfat. Oleh karena tiu perlu dilakukan pengasaman tersebut. Warna akan menjadi cokelat keruh dari awalnya berwarna biru karena larutan Luff. Kemudian dititrasi dengan larutan standar tio sampai terjadi perubahan warna menjadi kuning. Hal ini menandakan larutan tersebut mendekati titik ekuivalen. Sesuai dengan metode maka ditambahkan indicator amilum dan dititrasi hingga berubah warna menjadi putih susu. Metode luff Schoorl ini baik digunakan untuk menentukan kadar karbohidrat yang berukuran sedang. Metode ini merupakan metode terbaik untuk mengukur kadar karbohidrat dengan tingkat kesalahan sebesar 10%. Metode Luff ini memiliki kelemahan terutama disebabkan oleh komposisi yang konstan. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar pati terbesar ada pada kelompok 4 yaitu sebesar 2,353% dan kadar pati terendah adalah pada kelompok 6 yaitu sebesar 0,1053%. Makin banyak tio yang digunakan dalam titrasi, maka kadar pati yang didapatkan juga makin banyak. Karena gugus aldehid dalam larutan contoh banyak.

IV. A. Kesimpulan B. Saran

PENUTUP

Pada praktikum kali membutuhkan suatu ketelitian dan ketekunan dalam membuat, mengolah dan

menguji bahan yang akan diuji. Selain itu, praktikanh a r u s m e n j a g a k e s e r i l a n d a r i b a h a n ya n g a k a n d i u j i . R e n t a n g w a k t u a n t a r a pembuata produk dan pengujiannya cukup lama. Oleh karena itu, produk yangtelah dibuat dan akan diuji harus dijaga kondisi penyimpanannya agar karakteristiknya tidak berubah. Karena menggunakan bahan kimia, makadiperlukan kehatihatian agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Praktikan diharapkan dapat melakukan praktikum dengan benar dan sesuaidengan metode

percobaan sehingga tingkat kesalahan pada data hasil praktikumdapat diminimalisasi.

DAFTAR PUSTAKA Antarlina, S.S. 1991. Pengaruh Umur Panen dan Klon Terhadap Beberapa Sifat Sensoris, Fisik, dan Kimiawi Tepung Ubi Jalar. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bradbury, J.H. & Holloway, W.D. 1988. Chemistry of Tropical Root Crops: Significance for Nutrition and Agriculture in the Pacific. Canberra: Australian Centre for international Agricultural Research. Corbishley, D.A. & Miller, W. 1984. Tapioca, Arrowroot, and Sago Starches: Production. Di Dalam: Whistler, R.L., Miller, J. N. B. & Paschall, E.P. (eds). Starch. Chemistry and Technology. UK: Academic Press. Harborne, J.B. 1987. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: ITB. Fennema, O. R. 1976. Principles of Food Science. Food Chemistry Part I. Departmen of Food Science, University of Wincosin-Madison. Marcel Dekker Inc., New York. Greenwood, C. T. 1970. Starch and Glycogen. Di dalam The Carbohydrates Chemistry and Biochemistry. Academic Press, New York. Hayati, Ari. 2004. Produksi Maltodekstrin dari Pati Umbi Minor Secara Enzimatis. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heiman, W. 1980. Fundamental of Chemistry. Avi Publisher. Co, Westerfort. Hui, Y. H. 2006, Handbook of Food Science, Technology, and, Engineering Volume I. CRC Press, USA Inglet, G.E. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing Company, INC. Westport, Connecticut. Jacobs, M.B. 1994. The Chemistry and Technology of Food and Food Product. Interscience, Publisher, Inc., New York. Junk and Pancoast. 1973. Handbook of Sugar. The Avy Publ., Co., Inc., Westport, Connecticut. Krochta, J. M., E. A. Baldwin, dan M. O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company, New York, NY.

Kulp, K. 1975. Carbohydrates, pp. 60-79. In G. Reed, ed. Enzyme in Food Processing. 2 nd ed. Academic Press, New York. Manner, D.J. 1979. The Enzymic Degradation of Starches. Dalam Blanshard, J.M.V. dan J.R. Mitchell (eds.). Polysaccharides in Food. Butterworths, co., London. Muhtadi, D., Palupi, N.S. & Astawan, M. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Norman, B.E. 1981. New Development in Starch Syrup Technology. Applied Science Publishers, Ltd, London. Pomeranz, Y.1991. Functional Properties of Food Components. Second edition. Academic Press, Inc. Florida Reilly, P.J. 1985. Enzymatic Degradation of Starch. Marcell Deccker Inc.,New York. Robyt, J.F.1984. Enzymes in the Hydrolysis and Synthetic Starch. Academic Press, Inc. Florida. Sari, Zainurita. 1992. Modifikasi Pati Jagung Dengan Hidrolisis Asam (Hcl) Dan Enzim Alpha Amilase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Smith, P. S. 1982. Starch Derivatives and Their Use in Foods. Di dalam Lineback, D. R. dan Inglett, G. E. (eds.). Food Carbohydrates. The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Sumardi & Rumiati, S. 1990. Mutu gaplek dari beberapa varietas Ubi kayu. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pra & Pasca Panen Ubikayu. Lampung, 15 Februari 1990. Sunarti, Titi Candra, Rini Purnawati, dan Indah yuliasih. 2009. Penuntun Praktikum Teknologi Pati dan Gula. Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia Dan Biji-Bijian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tjokroadikoesoemo, P. Soebijanto. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. PT Gramedia. Jakarta. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. Winarno, F.G. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

Winarno, F.G.1985. Enzim Pangan. Gramedia, Jakarta. Wulansari. 2004. Kajian Pengaruh Dosis -Amylase dan Dextrozyme pada Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati Sagu (Metroxylon sp.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

You might also like