You are on page 1of 39

1

BAB I PENDAHULUAN 1. Skenario Seorang anak 3 tahun diantar ibunya ke RS dengan demam yang tinggi, anaknya rewel dan tak pernah tidur sejak semalam. Menurut ibunya dalam 3 bulan terakhir ini sudah berkali-kali ia membawa anaknya ke dokter dengan keluhan beringus dan batuk yang hilang timbul, terutama malam hari dan hampir 1 bulan terakhir ini batuk dan beringus anaknya tidak berhenti yang kadang disertai sesak. Pada saat penimbangan di posyandu bulan lalu BB anaknya 10 kg. Anaknya ini adalah anak ke 3. Kedua kakaknya juga sering mengalami keluhan yang sama, hanya saja tidak separah anaknya yang ketiga ini. 2. Kata Sulit Beringus produksi secret yang berlebihan pada saluran pernapasan Sesak perasaan tidak nyaman saat bernapas karena akibat

komensasi tubuh, meningkatkan keja pernapasan akibat dari oksigenasi ke jaringan menurun 3. Kata Kunci Anak 3 tahun Beringus dan batuk sejak 3 bulan terakhir terutama malam hari 1 bulan terakhir batuk dan beringus tidak berhenti dan kadang disertai sesak Demam tinggi BB =10 kg Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tapi lebih ringan

4. Pertanyaan 1. Penyakit-penyakit apakah yang memiliki gejala batuk dan jelaskan? 2. Patomekanisme gejala-gejala yang ada pada kasus? 3. Bagaimana cara menegakkan diagnosis dari kasus tersebut? 4. Apakah ada hubungan satus gizi dengan status yang dialami? 5. Bagaimana hubungan riwayat keluarga dengan penyakit yang diderita pasien? 6. Apakah differential diagnosis dari skenario?

7. Apakah etiologi dari penyakit-penyakit yang menyebabkan batuk dan sesak? 8. Bagaimana penatalaksanaan, pencegahan dan komplikasi dari defferential diagnosis yang didapat? 9. Bagaimana pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis tersebut? 10. Bagaimana gambaran klinis dari deferential diagnosis? 11. Bagaimana prignosisnya dari diferential diagnosis?

BAB II PEMBAHASAN 2. Patomekanisme pada gejala-gejala yang timbul pada skenario Batuk Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi. Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu. Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah. Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50 100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis. Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan

berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu 3050 detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang

menetap' Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80% .

Gambar I. Gambar Skematik Batuk Demam Demam terjadi apabila ada substansi yang menyebabkan demam yang disebut pirogen. Pirogen dapat berasal dari luar hospes (eksogen) maupun dari dalam tubuh hospes sendiri (endogen). Suhu tubuh dikendalikan oleh hipotalamus. Neuron neuron pada hipotalamus anterior praoptik dan hipotalamus posterior menerima dua jenis sinyal. Kedua sinyal ini diintegrasikan oleh pusat termoregulasi hipotalamus untuk mempertahankan temperature normal. Apabila tubuh terpapar oleh pirogen, monosit/makrofag dalam tubuh akan aktif dan mengeluarkan sitokin sitokin pirogenik seperti IL-1, TNF, IL6, IFN, termasuk peningkatan prostaglandin (PGE2). Peningkatan prostaglandin akan berdifusi ke hipotalamus anterior. Sinyal ini kemudian diteruskan ke berbagai saraf eferen, terutama serabut serabut simpatik yang menginervasi pembuluh darah perifer, yang akhirnya mencetuskan vasokonstriksi dan mempermudah konservasi panas. Pusat termoregulasi juga mengirim sinyal ke korteks serebri, mencetuskan perubahan perubahan tingkah laku seperti mencari suatu lingkungan yang lebih hangat, pakaian, sikap khusus.

agen infeksius, toksin, mediator inflamasi demam monosit/makrofag, sel sela endotel/sel lain

peningkatan konservasi/produksi panas

sitokin - sitokin pirogenik (IL-1, TNF, IL-6, IFN)

peningkatan PGE2

hipotalamus anterior

Grafik 1. Mekanisme Demam Sesak Sesak napas atau dispnea terjadi bila kerja pernapasan berlebihan. Peningkatan generasi tekanan diperlukan otot pernapasan untuk menimbulkan perubahan volume yang diberikan jika dinding dada atau paru kurang lentur atau jika resistensi terhadap aliran udara ditingkatkan. Peningkatan kerja pernapasan juga terjadi bila ventilasi berlebihan untuk tingkat aktivitas. Meskipun seseorang lebih mudah menjadi dispnetik bila kerja pernapasan ditingkatkan, teori kerja tidak menerangkan perbedaan persepsi antara napas dalam dengan beban mekanis normal dan napas dalam batas normal dengan peningkatan beban mekanis. Kerja mungkin merupakan hal yang sama dengan kedua pernapasan, tetapi yang normal adalah dengan peningkatan beban akan disertai dengan rasa tidak nyaman. Sebenarnya, dengan beban respirasi, seperti penambahan resistensi pada mulut, terdapat peningkatan haluaran pusat pernapasan, yang diukur dengan indeks terbaru, yang tidak sesuai terhadap peningkatan kera pernapasan. Setiap saat tekanan yang ditimbulkan otot selama pernapasan mendekati beberapa fraksi kemampuan yang menimbulkan tekanan

maksimalnya, yang dapat bervariasi di antara individu, dispnea terjadi karena transduksi mekanis terhadap rangsangan saraf. Sangat mungkin, dalam keadaan

ini, sinyal dari paru dan atau jalan udara beredar melalui saraf vagus ke sistem saraf pusat untuk menimbulkan sensasi. Pada semua kemungkinan, beberapa mekanisme yang berbeda bekerja pada tingkat yang berbeda dalam berbagai situasi klinis yang disertai dispnea. Terdapat hubungan antara deskriptor sensorik dispnea dan metode dengan dispnea yang diinduksi pada subyek normal. Selain itu, terdapat hubungan antara kelompok deskripsi sensorik tertentu dan proses penyakit yang menyebabkan dispnea. 4. Hubungan satus gizi dengan status yang dialami Pada skenario, penderita dapat dikatakan malnutrisi, pada saat

penimbangan berat badan, karena berat badan ideal untuk anak dengan usia 3 tahun adalah 12 kg, sedangkan pada skenario, berat badan anak tersebut hanya 10 kg pada saat penimbangan (bulan lalu). Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan berat badan anak tersebut telah kembali ideal pada saat melakukan pemeriksaan ke dokter. Ada dua kemungkinan yang bisa diperoleh terkait dengan status gizi penderita. Yang pertama, penderita mengalami malnutrisi sehingga daya tahan tubuhnya menurun dan mempermudah terjadinya infeksi. Yang kedua, penderita mengalami malnutrisi karena penyakit yang dideritanya. Untuk memastikan kemungkinan tersebut, diperlukan anamnesis tambahan. 5. Hubungan Penyakit Pasien dengan Riwayat Keluarga Dalam kasus ini, penderita kemungkinan mendapat paparan dari kedua kakaknya yang juga menderita penyakit yang sama. Akan tetapi, kedua kakaknya tidak terlalu parah karena system imun keduanya telah berfungsi dengan baik, sedangkan penderita memiliki system imun yang belum berfungsi dengan baik. Hal ini menyebabkan penderita menunjukkan gejala gejala yang lebih parah dari kedua kakaknya sampai dibawa ke dokter.

6. Tabel differential diagnosis berdasarkan gejala-gejala pada kasus No 1. 2. Kata kunci Anak 3 tahun Beringus dan batuk sejak 3 bulan terakhir terutama malam hari 3. 1 bulan terakhir batuk dan beringus tidak berhenti dan kadang disertai sesak 4. Anak rewel dan tidak tidur sejak semalam 5. 6. 7. Demam tinggi BB 10 kg Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tetapi lebih ringan + + + + + + + + + + + + + + + +/+ + + + + TB Paru + Pneumonia pada anak + Bronkhop neumoni + rhinofari ngitis +

BAB III DIFERENSIAL DIAGNOSA

TB Paru Pada Anak


1. Pendahuluan Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan prevalens tuberkulosis anak tidak mudah. Dengan penelitian indeks tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian prevalens tuberkulosis anak. Kriteria masalah tuberkulosis di suatu negara adalah kasus BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada satu negara pun yang bebas tuberkulosis. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV maka perhatian pada penyakit TB harus lebih ditingkatkan Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin akan menjadi positif. Tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini akan sakit TB.

2. Patogenesis Penularan biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung basil TB. Hanya droplet nucleus ukuran 1-5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus dan alveolus. Di sini basil tuberkulosis berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti dari pejamu karena belum ada kekebalan awal. Di dalam alveolus akan memfagsitosis sebagian basil spesifik. Makrofag di dalam alveolus akan memfagositosis sebagian basil tuberkulosis tersebut tetapi belum mampu membunuhnya sebagian basil TB

dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang biak. Basil TB yang menyebar melalui saluran limfe regional. Sedangkan yang melalui aliran darah akan mencapai berbagai organ tubuh. Di dalam organ tersebut akan terjadi pemrosesan dan transfer antigen ke limfosit. Ada jaringan dan organ tubuh yang resisten terhadap basil TB. Basil TB hampir selalu terdapat bersarang di sumsum tulang, hepar dan limfe tetapi tidak selalu dapat berkembang biak secara luas. Basil TB di lapangan atas paru, ginjal, tulang, dan otak lebih mudah berkembang biak terutama sebelum imunitas spesifik terbentuk. Imunitas spesifik yang terbentuk biasanya cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan basil TB lebih lanjut. Dengan demikian lesi TB akan sembuh dan tidak ada tanda dan gejala klinis. Pada sebagian kasus imunitas spesifik yang terbentuk tidak cukup kuat sehingga terjadi penyakit TB dalam 12 bulan setelah infeksi dan pada sebagian penderita TB terjadi setelah lebih dari 12 bulan setelah infeksi. Kurang lebih 10% individu yang terkena infeksi TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit TB diperbesar pada balita, pubertas dan akil balik. Juga keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas memperbesar kemungkinan sakit TB, misalnya karena infeksi HIV dan pemakaian kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya yang lama, demikian juga pada diabetes melitus dan silikosis. Hipersensitivitas terhadap beberapa komponen basil TB dapat dilihat pada uji kulit dengan tuberkulin yang biasanya terjadi 2-10 minggu setelah infeksi. Dalam waktu 2-10 minggu ini juga terjadi cell-mediated immune response. Setelah terjadi infeksi pertama, basil TB yang menyebar ke seluruh badan suatu saat di kemudian hari dapat berkembang biak dan menyebabkan penyakit. Penyakit TB dapat timbul dalam 12 bulan setelah infeksi, tapi dapat juga setelah 1 tahun atau lebih. Lesi TB paling sering terjadi di lapangan atas paru. Efusi pleura dapat terjadi setiap saat setelah infeksi primer. Efusi biasanya terjadi karena tuberkuloprotein dari paru masuk ke rongga pleura sehingga terjadi reaksi inflamasi dan terjadi pengumpulan cairan jernih di

10

dalamnya. Selama infeksi primer berlangsung basil TB bersarang di kelenjar limfe hilus dan mediastinum, dan dapat juga bersarang di kelenjar limfe lainnya. Infeksi di kelenjar tersebut dapat langsung berkembang menjadi TB aktif, dapat aktif beberapa tahun kemudian atau tidak pernah menjadi aktif sama sekali. Lesi primer dan lesi di kelenjar limfe regional disebut kompleks primer. TB milier dapat terjadi pada masa dini, tetapi dapt juga terjadi setelah beberapa waktu kemudian akibat erosi fokus di dinding pembuluh darah. TB milier dapat mengenai banyak organ misalnya selaput otak, sehingga terjadi meningitis. Dapat juga mengenai tulang, ginjal dan organ lain. Pada individu normal respons imunologik terhadap infeksi tuberkulosis cukup memberi perlindungan terhadap infeksi tambahan berikutnya. Risiko terjadinya reinfeksi tergantung pada intensitas terpaparnya dan sistem imun individu yang bersangkutan (host=pejamu) Pada pasien dengan infeksi HIV terjadi penekanan pada imun respons. Jadi kalau terkena TB sering terjadi TB yang berat dan sering gambaran klinik TB dengan HIV berbeda dengan TB biasa.

3. Pendekatan Diagnosis TB Paru Pada umunya berdasarkan hasil uji tuberkulin, foto rontgen paru dan gambaran klinis sudah dapat ditegakkan diagnosis kerja tuberkulosis. Tetapi pada kenyataannya menegakkan diagnosis TB pada anak tidak selalu mudah. Gejala klinik TB terdiri atas gejala umum atau sistemik (seperti demam, anoreksia, berat badan menurun, keringat malam dan malaise), dan gejala khusus sesuai dengan organ yang terkena. Diagnosis dini biasanya dapat ditegakkan kalau dilakukan uji tuberkulin secara rutin pada setiap anak yang datang berobat. Kalau gejala klinis sudah jelas misalnya adanya limfadenitis di leher, meningitis ata gibbus berarti TB sudah berlanjut atau berkomplikasi. Pada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tanda klinis maka TB dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin positif, kelainan foto paru dan biakan basil TB yang positif. Gejala dan tanda klinis TB tidak khas. Gejala yang didapat biasanya lesu, anoreksia, berat badan menurun, demam tidak tinggi yang berlangsung lama, kadang-kadang juga

11

timbul gejala seperti influensa. Kadang-kadang demam merupakan satu-satunya gejala yang ada. Pada anak dengan TB sering tidak ditemukan tanda dan gejala, dan satu-satunya petunjuk adanya TB adalah uji tuberkulin positif. TB milier dapat menimbulkan gejala akut berupa demam, sesak nafas dan sianosis, tetapi dapat juga menimbulkan gejala kronik yang disertai gejala sistemik. Gejala umum dapat disertai gejala rangsangan meningeal, ditemukannya tuberkel pada funduskopi, hepatomegali, splenomegali dan limfadenopati. Pada anak kecil tidak selalu disertai batuk, reak atau hemoptisis seperti pada TB dewasa. Batuk tidak selalu merupakan gejala utama dan jarang ada batuk darah. Batuk dapat terjadi karena iritasi oleh kelenjar yang membesar dan menekan bronkus. Pada anak besar gejalanya dapat seperti pada orang dewasa, misalnya batuk dengan reak dan dapat juga terjadi hemoptisis. Gambaran klinis TB di luar paru sesuai dengan organ yang terkena. TB kelenjar limfe superfisialis paling sering mengenai leher dan supraklavikula. Juga dapat mengenai aksila, inguinal dan submandibula. Conjunctivitis phlyctenularis dapat erjadi pada anak dengan TB, bahkan tidak jarang TB baru terdeteksi karena adnya phlycten. Pada TB milier dapat ditemukan tuberkel koroid pada funduskopi. Uji tuberkulin dapat menunjukkan infeksi tuberkulosis. Infeksi M.tuberkulosis membentuk sensitifitas terhadap beberapa komponen antigen basil TB yang menjadi bahan pembuatan tuberkulin. Ada 2 jenis tuberkulin yang dipakai yaitu OT (Old Tuberkulin) dan Tuberkulin PPD (Purified Protein Derivatif) dan ada 2 jenis tuberkulin PPD yang dipakai yaitu PPD-S (Seibert) dan PPD-RT23. Uji tuberkulin dibaca setelah 48-72 jam. Diameter indurasi 10 mm atau lebih dinyatakan positif, diameter 5-9 mm masih meragukan dan harus dinilai lagi. Imunisasi BCG dapat juga menyebabkan uji tuberkulin positif. Tetapi uji tuberkulin akibat imunisasi BCG biasanya tidak kuat reaksinya sehingga meskipun telah ada parut BCG kalau reaksi 15 mm atau lebih harus dicurigai adanya superinfeksi alami basil TB. Infeksi Mycobacterium atipik dapat juga menyebabkan uji tuberkulin positif, tetapi biasanya reaksinya kecil. Kadangkadang diperlukan pengulangan uji tuberkulin untuk memastikan ada tidaknya

12

infeksi TB, tetapi sebaiknya uji tuberkulin dilakukan dengan tuberkulin yang sama 1-2 minggu kemudian untuk mencegah efek booster. Gambaran foto rontgen paru pada TB anak tidak selalu khas. Biasanya kecurigaan ke arah TB muncul kalau ditemukan pembesaran kelenjar hilus, paratrakeal dan mediastinum, atelektasis, konsolidasi efusi pleura, kavitas, emfisema lobus dan gambaran milier. Pemeriksaan bakteriologis TB untuk mendapatkan bahan pemeriksaan bakteriologis berupa sputum pada anak sangat sukar, sebagai gantinya biasanya dilakukan bilasan lambung karena cairan lambung mengandung sputum yang tertelan. Cairan ini pun sebenarnya kurang memuaskan disamping kesulitan untuk mendapatkan biakan metode pembiakan basil TB memerlukan waktu cukup lama sehingga dibutuhkan suatu metode pembiakan yang lebih baik. Saat ini dipakai sistem BACTEC. Serodiagnosis. Uji serologis TB umumnya dilakukan dengan cara ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), untuk mendeteksi antibodi IgG terhadap cord factor berguna untuk serodiagnosis paru aktif. Titer antibodi faktor anti cord menurun sampai normal setelah pemberian obat anti tuberkulosis. Uji peroksidase-anti-peroksidase (PAP) merupakan uji serologis imunoperoksidase yang menggunakan kit histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB. Teknik biomolekuler. Reaksi rantai polimerase (PCR-Polimerase Chain Reaction) merupakan pemeriksaan yang sensitif. PCR menggunakan DNA spesifik yang dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam bahan pemeriksaan seperti sputum, bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau darah. Dengan PCR mungkin juga dapat dideteksi adanya resistensi basil TB terhadap obat anti tuberkulosis. Teknik biomolekular PCR merupakan harapan meskipun manfaatnya dalam bidang klinik berlum cukup diteliti.

4. Penatalaksananaan Medikamentosa Obat TB yang digunakan 1. Isoniazid

13

INH adalah obat antituberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, cairan asites, jaringan caseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse reaction) sangat rendah. Dosis harian INH biasa diberikan 5-15 mg/kgBB/hari, max 300 mg/hari, secara peroral, diberikan 1x pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml. INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer, tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobartbital atau fenitoin dapat meningkatkan resiko hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan pemberiannya pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3x harga normal atau terjadi manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut dan kuning. Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin tiap 100 mg INH. Manifestasi alergi atau hipersensitivitas yang disebabkan INH jarang terjadi. Efek samping yang jarang terjadi antara lain pelagra, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD, dan reaksi mirip lupus yang disertai ruam dan artritis.

14

2. Rifampisin Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20mg/kgbb/hari, maksimal 600mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian perhari. jika diberikan bersama INH, dosis rifampisin tidak melebihi 15mg/kgbb/hari dan dosis INH tidak melebihi

10mg/kgbb/hari. Seperti halnya INH, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan diginjal dan urin. Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH. Efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan hepatotoksisitas (ikterus atau hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang asimptomatik. Rifampisin dapat menyebabkan trombositopenia. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150mg, 300mg dan 450mg. sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan. 3. Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian PZA secara oral dengan dosis 1530mb/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2g/hari. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg. efek samping PZA adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensisitivitas dan hiperurisemia jarang timbul pada anak. 4. Etambutol

15

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal

1,25g/hari dengan dosis tunggal. Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna. EMB tersedia dalam tablet 250mg dan 500mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik dan berdasarkan pengalaman, dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi

intermiten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi dengan baik pada dewasa dan anakanak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali

sehari. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat laporan toksisitas optik pada anakanak. 5. Streptomisin Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik. Kuman ekstraseluler pada keadaan basa atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler. Streptomisin dapat diberikan secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram perhari, kadar puncak 40-50 mikrogram permilliliter dalam waktu 1-2 jam. Streptomicin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.

Paduan obat TB Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 2 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan

16

ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman, juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi ketidak teraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Obat-obat baku untuk seagian besar kasus TB pada anak adalah paduan rifampisin, INH dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, INH, dan pirazinamid, sedangkan fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan INH. Pada keadaan TB berat baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain pada fase intensif diberikan minimal 4 macam obat (rifampisin, INH, PZA, EMB, atau streptomisin) sedangkan fase lanjutan diberikan rifampisin dan INH selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama.

Evaluasi hasil pengobatan Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Apabila berespon pengobatan baik yaitu gejala klinisnya hilang dan terjadi penambahan berat badan, maka pengobatan dilanjutkan. Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada, tidak terjadi penambahan berat badan, maka obat anti TB tetap diberikan dengan tambahan merujuk ke sarana lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Apabila setelah pengobatan 6-12 bulan terdpat perbaikkan klinis, seperti berat badan mengingkat, napsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka pengobatan dapat dihentikan. Jika masih terdapat kelainan gambaran radiologis maka dianjurkan pemeriksaan radiologis ulangan.

17

Non medika mentosa 1. Pendekatan DOTS DOTS adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, maka strategi DOTS terdiri atas 5 komponen, yaitu sebagai berikut. komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis Pengobatan dengan panduan OTA jangka pendek dengan

pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan

pemantauan dan evaluasi program penganggulangan TBC 2. Sumber penularan dan case finding Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan melakukan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Selain itu perlu dicari pula anak lain di sekitarnya yang mungkin tertular dengan uji tuberkulin. Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnestik, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu uji tuberkulin. 3. Aspek sosial ekonomi Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio ekonomi, karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan

pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka memerlukan biaya yang cukup besar. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui tentang tuberkulosis. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi. Aktifitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.

18

4. Pencegahan a. BCG Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml diberikan intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan. Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin dulu. Kontra indikasi pemberian imunisasi BCG adalah deficiensi imun, infeksi berat, dan luka bakar. b. Kemoprofilaksis Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB pada anak, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit. Pada kemoprofilaksis primer, diberikan INH dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Obat dihentikan jika sumber kontak sudah tidak menular lagi dan anak ternyata tetap tidak infeksi (setelah uji tuberkulin ulangan).

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, klinis dan radiologis normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia balita, menderita morbili, varisela, dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik, dan kortikosteroid) usia remaja dan infeksi TB baru. Konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan.

PNEUMONIA ANAK Definisi Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paruparu(alveoli) yang terisi cairan eksudat, dengan atau tanpa disertai infiltrasi sel radang ke dinding alveoli/interstitium. Etiologi Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan.

19

Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung : usia, status imunologis, kondisi lingkungan, status imunisasi, faktor penyerta. Pada awalnya sebagian besar didahului oleh infeksi virus : 1. Bayi baru lahir (neonatus-2 bulan) Organisme saluran genital ibu : streptokokus grup B, Echerichia coli dan kuman gram negatif lain, listeria monocytogenes, chlamydia trachomatis tersering sifilis kongenital pneumonia alba. Sumber infeksi lain : pasase transplasental, aspirasi mekonium, CAP 2. Usia > 2-12 bulan Streptokokus grup B, E.coli, P.aeruginosa, Klebsiela, S.pneumoniae, dan H.influenzae tipe b tersering. Staphylococcus aureus dan streptokokus grup A tidak sering tapi fatal. Pneumonia dapat ditemukan pada 20% anak dengan pertusis. Immunocompromised : pseudomonas spp, Enterobakter, Legionella pneumophilia, Actinomyces, dan bakteri anaerob. 3. Usia 1-5 tahun Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, streptokokus grup A, S.aureus tersering. Chlamydia pneumoniae : banyak pada usia 5-14 tahun (disebut pneumoniae atipikal) 4. Usia sekolah dan remaja S. pneumoniae, streptokokus grup A, dan Mycoplasma pneumoniae (pneumonia atipikal) terbanyak. Patogenesis Pneumococcus masuk ke dalamparu bayi melalui jalan pernapasan secara percikan (droplet). Proses radang pneumonia dapat dibagi atas 4 stadium, yaitu 1. Stadium kongesti, kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus terdapat eksudat jernih, bakteri dalam jumlah banyak, beberapa neutrofil dan makrofag . 2. Stadium hepatisasi merah, lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak menggabung udara, warna m enjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Di dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit neutrofil eksudat dan banyak sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung lambat. 3. Stadium hepatisasi kelabu, lobus masih tetap padat dan warna merah menjadi pucat kelabu. Permukaan pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat terjadi fagositosis Pneumococcus. Kapiler tidak lagi kongesti.

20

4. Stradium resolusi eksudat berkurang. Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis dan degenerasi lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang.

Faktor yang resiko tinggi pneumonia bakterialis : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kelainan anatomi bawaan Status imunologi menurun akibat penyakit atau obat Fistula trakeoesofageal Fibrosis kistik Refluks gastroesofageal Aspirasi benda asing Ventilasi mekanik Perawatan lama

Gejala klinik Penegakkan diagnosis berdasarkan tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat bernapas bersama dengan peningkatan frekuensi napas), perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas melemah, dan ronki. Diagnosis penyakit berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya, disertai pemeriksaan pnunjang. Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi dan/atau serologi. Karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan, dan bila dapat dilakukan pun kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan, WHO mengajukan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut, pneumonia dibedakan atas : Pneumonia sangat berat : bila ada sianosis sentral dan tidak sanggup minum, harus dirawat di RS dan diberi antibiotik. Pneumonia berat : bila ada retraksi, tanpa sianosis, dan masih sanggup minum, harus dirawat di RS dan diberi antibiotik.

21

Pneumonia : bila tidak ada retraksi, tetapi napas cepat : >60x/menit pada bayi <2 bulan. >50x/menit pada anak 2 bulan 1 tahun. >40x/menit pada anak 1 5 tahun.

Tidak perlu dirawat, cukup diberi antibiotik oral. Bukan pneumonia : hanya batuk tanpa tanda dan gejala seperti di atas, tidak perlu dirawat, dan tidak perlu antibiotika. Bayi di bawah 2 bulan harus dirawat karena perjalan penyakit lebih bervariasi, komplikasi dan kematian sering terjadi. Pemeriksaan penunjang Anamnesis Non-respiratorik : demam, sakit kepala, kuduk kaku terutama bila lobus kanan atas yang terkena, anoreksia, letargi, muntah, diare, sakit perut, dan distensi abdomen terutama pada bayi. Respiratorik : batuk, sakit dada Pemeriksaan fisis Takipnea, grunting, pernapasan cupping hidung, retraksi subkostal, sianosis,. Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan predominan PMN atau dapat ditemukan leukopenia yang menandakan prognosis buruk. Dapat ditemukan anemia ringan atau sedang. Pemeriksaan radiologis memberikan gambaran bervariasi : Becak konsolidasi merata pada bronkopneumonia. Bercak konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris. Gambaran bronkopneumonia difus atau infiltrat interstitialis pada pneumonia stafilokokkus. Pemeriksaan cairan pleura

22

Pemeriksaan

mikrobiologik,

spesimen

usap

tenggorok,

sekresi

nasofaring, bilasan tronkus atau sputum, darah, aspirasi trakea, punksi pleura atau aspirasi paru. Penatalaksanaan Pengobatan umum pasien-pasien pneumonia biasanya berupa pemberian antibiotik yang efektif terhadap organisme tertentu, terapi O2 untuk menanggulangi hipoksemia, dan pengobatan komplikasi. Seringkali komplikasi dan mortalitas dikaitkan dengan jenis organisme yang mengakibatkan infeksi. Pneumonia pneumokokkus biasanya tidak disertai komplikasi dan jaringan yang rusak dapat diperbaiki kembali menjadi jaringan yang normal. Komplikasi yang paling sering adalah efusi pleura ringan. Obat pilihan untuk penyakit ini adalah Penisillin CG. Adanya bakteremia juga mempengaruhi prognosis

pneumonia. Mortalitas pada pasien dengan bakteremia sekitar dua kali lebih besar daripada kasus tanpa bakteremia. Adanya bakteremia menunjukkan lokalisasi proses paru yang tidak efektif. Bakteremia dapat menimbulkan seperti lesi metastatik yang

mengaikbatkan

keadaan

meningitis,

endokarditis

bakterialis, dan peritonitis. Kini telah tersedia vaksin untuk melawan pneumonia pneumokokkus, dan pada 80-90% orang dewasa, efektif untuk melawan serotipe pneumokokkus yang paling sering. Vaksin ini biasanya diberikan pada kasus-kasus dengan risiko fatal yang tinggi, misalnya, pasien anemia sel sabit, mieloma multiple, sindrom nefrotik atau diabetes melitus. Penyebab lain pneumonia bakteri yang lebih jarang pada orang dewasa adalah streptokokkus selain Streptococcus pneumoniae dan Haemophillus influenzae. Organisme-organisme ini lebih sering menyebabkan infeksi pada anak-anak. Secara umum, jenis nontipikal bertanggung jawab terhadap pneumonia yang terjadi pada orang dewasa dan paling

23

sering menyerang pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (COPD). Terapi pneumonia dilandaskan pada diagnosis berupa AB untuk mengeradikasi MO yang diduga sebagai kausalnya. Dalam pemakaian AB harus dipakai pola berfikir Panca Tepat yaitu diagnosis tepat, pilihan AB yang tepat dan dosis yang tepat, dalam jangka waktu yang tepat dan pengertian patogenesis secara tepat. AB yang bermanfaat untuk mengobati kuman intraseluler seperti pada PA oleh kelompok M. Pneumonia adalah obat yang bisa berakumulasi intraseluler disamping ekstraseluler, seperti halnya obat golongan makrolid.

BRONKOPNEUMONI Defenisi
Bronkopneumonia merupakan peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal. Bronkopneumonia sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru. Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Anak dengan daya tahan terganggu akan menderita bronkopneumonia berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor iatrogen juga memacu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan oleh munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap antibiotik. Adanya organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan terjadinya bronkopneumonia ini.

24

Etiologi Bronkopneumonia lebih sering ditimbulkan oleh invasi bakteri. Bakteribakteri ini menginvasi paru melalui 2 jalur, yaitu dengan : 1. Inhalasi melalui jalur trakeobronkial. 2. Sistemik melalui arteri-arteri pulmoner dan bronkial.

Bakteri-bakteri yang sering menyebabkan ataupun didapatkan pada kasus bronkopneumonia adalah : Bakteri gram positif 1. Pneumococcus 2. Staphylococcus aureus 3. Streptococcus hemolyticus Bakteri gram negatif 1. Haemophilus influenzae 2. Klebsiella pneumonia

Masing-masing bakteri tersebut menyebabkan bronkopneumonia melalui berbagai mekanisme yang berbeda. Bakteri Gram Positif 1. Pneumococcus Merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan yang bertanggung jawab atas lebih dari 90% kasus bronkopneumonia pada masa kanak-kanak. Pneumococcus jarang yang menyebabkan infeksi primer, biasanya menimbulkan peradangan pada paru setelah adanya infeksi atau kerusakan oleh virus atau zat kimia pada saluran pernafasan. Angka kejadiannya meningkat atau paling sering terjadi pada akhir musim dingin dan awal musim semi. Insidens tertinggi pada masa kanakkanak usia 4 tahun pertama kehidupan. Hal ini mungkin disebabkan oleh penyebarannya yang cenderung meningkat di dalam suatu populasi yang relatif tertutup (seperti taman kanak-kanak, rumah penitipan anak). a. Patofisiologi Organisme ini teraspirasi ke bagian tepi paru dari saluran nafas bagian atas atau nasofaring. Awalnya terjadi edema reaktif yang

25

mendukung

multiplikasi

organisme-organisme

ini

serta

penyebarannya ke bagian paru lain yang berdekatan. Umumnya bakteri ini mencapai alveoli melalui percikan mukus atau saliva dan tersering mengenai lobus bagian bawah paru karena adanya efek gravitasi. Organisme ini setelah mencapai alveoli akan menimbulkan respon yang khas yang terdiri dari 4 tahap yang berurutan, yaitu :

1) Kongesti (4 s/d 12 jam pertama) Eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor. 2) Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) Paru-paru tampak merah dan bergranula karena sel-sel darah merah, fibrin dan lekosit polimorfonuklear mengisi alveoli. 3) Hepatisasi kelabu (3 s/d 8 hari) Paru-paru tampak kelabu karena lekosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang. 4) Resolusi (7 s/d 11 hari) Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada strukturnya semula. Bercak-bercak infiltrat yang terbentuk adalah bercak-bercak yang difus, mengikuti pembagian dan penyebaran bronkus dan ditandai dengan adanya daerah-daerah konsolidasi terbatas yang mengelilingi saluran-saluran nafas yang lebih kecil. b. Gambaran Klinis Biasanya didahului dengan adanya infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Pada bayi bisa disertai dengan hidung tersumbat, rewel serta nafsu makan yang menurun. Suhu dapat
o

naik secara mendadak sampai 39 C atau lebih. Anak sangat gelisah, dispnea. Kesukaran bernafas yang disertai adanya sianosis di sekitar mulut dan hidung. Tanda kesukaran bernafas ini dapat berupa bentuk nafas berbunyi (ronki dan friction rub di atas jaringan yang terserang),

26

pernafasan

cuping

hidung,

retraksi-retraksi

pada

daerah

supraklavikuler, interkostal dan subkostal. Pada awalnya batuk jarang ditemukan, tapi dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut serta sputum yang berwarna seperti karat. Lebih lanjut lagi bisa terjadi efusi pleura dan empiema, sehingga perlu dilakukan torasentesis sesegera mungkin. Hasil pemeriksaan fisik tergantung dari luas daerah yang terkena. Pada perkusi bisa ditemukan adanya suara redup yang

terlokalisasi. Pada auskultasi mungkin ditemukan adanya ronki basah halus ataupun adanya suara-suara pernafasan yang melemah. Tanpa pengobatan biasanya penyembuhan dapat terjadi sesudah 2 3 minggu. c. Diagnosis Biasanya jumlah lekosit meningkat mencapai 15.000 40.000/mmk dengan jumlah sel polimorfonuklear terbanyak,

sedangkan bila didapatkan jumlah lekosit kurang dari 5.000/mmk sering berhubungan dengan prognose penyakit yang buruk. Nilai hemoglobin bisa normal atau sedikit menurun. Pemeriksaan sputum harus didapatkan dari sekresi batuk dalam dan aspirasi trakea yang dilakukan dengan hati-hati. Jenis pemeriksaan berupa pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan biakan. Selain itu biakan juga bisa didapatkan dari darah atau dari cairan pleura yang didapatkan dengan melakukan torasentesis. Gambaran radiologis dapat berupa adanya bercak-bercak infiltrat pada satu atau beberapa kasus. Sangat penting untuk mendapatkan gambaran radiologis dari resolusi sempurna, 34 minggu setelah semua gejala menghilang. Apabila respon klinis yang diberikan penderita lambat, maka terdapat indikasi untuk membuat serangkaian rontgenogram. d. Penatalaksanaan

27

Penisilin merupakan terapi yang spesifik karena kebanyakan pneumococcus sangat peka terhadap obat tersebut. Pada bayi dan anak-anak, pengobatan awal dimulai dengan pemberian penisilin G dengan dosis 50.000 unit/kgBB/hari secara intramuskular tanpa penyulit. Terapi ini dilanjutkan sampai 10 hari atau paling tidak sampai 2 hari setelah suhu badan pasien normal. Bila didapatkan penderita alergi penisilin maka diberikan sefalosporin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari. Asupan cairan per oral secara bebas dan pemberian aspirin untuk mengatasi demam tinggi, merupakan tambahan utama untuk pengobatan penyakit ini. Pemberian oksigen segera untuk penderita

dengan kesukaran bernafas sebelum menjadi sianosis. Indikasi pemberian vaksin polivalen pneumococcus polisakarida bermanfaat pada populasi penderita tertentu, misalnya penderita dengan anemia sel sabit. e. Prognosis Dengan pemberian antibiotika yang memadai dan dimulai secara dini pada perjalanan penyakit tersebut, maka mortalitas bronkopneumonia akibat bakteri pneumococcus selama masa bayi dan masa kanak-kanak sekarang menjadi kurang dari 1% dan selanjutnya morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah. 2. Staphylococcus aureus Infeksi yang disebabkan oleh organisme ini merupakan infeksi berat yang cepat menjadi progresif dan resisten terhadap pengobatan, serta bila tidak segera diobati dengan semestinya akan berhubungan dengan kesakitan yang berkepanjangan dan mempunyai angka mortalitas tinggi. Penyakit bronkopneumonia akibat organisme ini jarang ditemukan. Sepeti pada infeksi pneumococcus, infeksi staphylococcus ini sering didahului dengan infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas. Pada umumnya terjadi pada setiap umur, 30% dari semua penderita berumur di bawah 3 bulan dan 70% berumur di bawah 1 tahun. Epidemi penyakit ini terjadi di dalam ruang perawatan bayi, biasanya berhubungan dengan strain-

28

strain organisme patologis spesifik, yang biasanya resisten terhadap berbagai antibiotika. Bayi akan memperlihatkan penyakit dalam beberapa hari setelah dikolonisasi atau setelah beberapa minggu kemudian. Infeksi virus pada saluran pernafasan memegang peranan penting dalam memajukan penyebaran staphylococcus, di antara bayi-bayi dan dalam mengubah kolonisasi menjadi penyakit. a. Patofisiologi Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam toksin dan enzim misalnya hemolisin, lekosidin, stafilokinase dan koagulase. Koagulase akan mengadakan interaksi dengan suatu faktor plasma

untuk menghasilkan suatu zat aktif yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin dan selanjutnya menyebabkan pembentukan koagulan. Bronkopneumonia akibat organisme ini bersifat unilateral atau lebih menonjol pada satu sisi dibandingkan dengan sisi yang lain. Ditandai dengan daerah-daerah luas yang mengalami nekrosis perdarahan serta daerah-daerah pembentukan rongga-rongga yang tidak beraturan. Permukaan pleura biasanya diselubungi oleh lapisan eksudat fibropurulen tebal, sehingga menimbulkan abses yang mengandung koloni staphylococcus, lekosit, eritrosit dan debris nekrosis. Bila abses ini pecah maka dapat terbentuk trombus-trombus sepsis pada daerah-daerah yang mengalami kerusakan dan peradangan luas. b. Gambaran Klinis Adanya riwayat lesi-lesi kulit penderita atau anggota keluarga lain yang disebabkan oleh staphylococcus disertai gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas atau bawah selama beberapa hari sampau 1 minggu. Penderita mengalami demam bersuhu tinggi, batuk dan tanda kesukaran pernafasan seperti takipneu, suara pernafasan yang menungkat, retraksi dada dan subkostal, nafas cuping hidung, sianosis dan kecemasan. Pada beberapa penderita dapat

29

mengalami gangguan saluran cerna yang ditandai dengan muntahmuntah, anoreksia, diare serta distensi abdomen. Pemeriksaan fisik pada awal perjalanan penyakit, suara-suara pernafasan yang menurun, ronkhi yang tersebar dan suara-suara pernafasan bronkhial. Bila terjadi efusi atau empiema, pada perkusi didapatkan suara redup serta getaran-getaran suara yang berkurang pada auskultasi. c. Diagnosis Diagnosis pasti dengan didapatkan adanya lekositosis terutama sel-sel polimorfonuklear, sedangkan bila didapatkan lekopeni maka prognosisnya buruk. Biakan didapatkan dari aspirasi trakea atau sadapan pleura. Pada cairan pleura menunjukkan adanya eksudat dengan jumlah sel-sel polimorfonuklear berkisar dari 300 sampai

100.000/mmk, protein di atas 2,5 g/dl dan kadar glukosa rendah yang relatif sama dengan kadar glukosa dalam darah. Gambaran radiologis berupa bercak-bercak dan terbatas dalam perluasannya dan melibatkan seluruh lobus paru. Perkembangan dari bronkopneumonia menjadi efusi atau empiema sangat mengarahkan petunjuk pada suatu pneumonia staphylococcus. d. Penatalaksanaan Terapi pilihan yaitu dengan pemberian methisilin dengan dosis 50 70 mg/kgBB/6 jam secara intravena. Bila dari biakan didapatkan staphylococcus positif maka methicilin dihentikan, kemudian diberikan penisilin G dengan dosis 25.000-50.000 unit/kgBB/6 jam secara intravena. Cefuroxime diberikan sebagai obat tunggal efektif untuk bronkopneumonia dengan dosis 75

mg/kgBB/hari. Selain itu bisa pula dilakukan drainase pus yang terkumpul, pemberian oksigen disertai posisi penderita setengah miring untuk mengurangi sianosis dan kecemasan. Bila paru sudah mulai mengembang, maka pipa-pipa drainase bisa dilepaskan. Hal ini

30

dikarenakan pipa-pipa tersebut tidak boleh berada di dalam rongga toraks lebih dari 5-7 hari. e. Prognosis Angka kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang, angka mortalitas berkisar dari 1030% dan bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami sebelum penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang menyertai. Semua penderita dengan hasil biakan staphylococcus yang positif sebaiknya harus diuji terhadap kemungkinan fibrosis kistik dan terhadap penyakit defisiensi imunologis. 3. Streptococcus hemolyticus Streptococcus grup A paling sering mengakibatkan infeksi traktus respiratorius bagian atas, tapi kadang juga dapat menimbulkan infeksi ke daerah-daerah lain tubuh termasuk traktus respiratorius bagian bawah. Penyakit ini paling sering ditemukan pada anak berumur 3-5 tahun dan jarang

dijumpai pada bayi-bayi. Penyakit ini sering timbul dengan dipermudah oleh adanya infeksi-infeksi virus terutama eksantema-eksantema dan influenza epidemis. a. Patofisiologi Infeksi traktus respiratorius akibat bakteri ini menimbulkan terjadinya trakeitis, bronkiolitis yang selanjutnya menjadi

bronkopneumonia. Lesi-lesi terjadi pada mukosa trakeobronkial menjadi nekrosis disertai dengan pembentukan ulkus-ulkus yang tidak beraturan dan adanya sejumlah besar eksudat, edema dan perdarahan yang terisolasi. Proses ini kemudian menyebar luas ke sekat-sekat antar alveolus dan pembuluh-pembuluh limfonodi, yang selanjutnya secara limfogen menyebar ke mediastinum dan hilus dan mencapai permukaan pleura dan menjadi pleuritis. Eksudat ini kandungan fibrinnya lebih sedikit bila dibanding dengan eksudat yang diakibatkan oleh pneumococcus. b. Gambaran Klinis

31

Gejala-gejala

yang

ditimbulkan

hampir

sama

dengan

bronkopneumonia oleh pneumococcus. Awalnya terjadi secara tibatiba yang ditandai demam tinggi, menggigil, tanda-tanda kesukaran bernafas serta kadang-kadang adanya kelemahan badan c. Diagnosis Adanya lekositosis seperti pada kasus pneumococcus. Selain itu ditegakkan dari kenaikan titer antistreptolisin serum. Biakan bakteri ini positif didapatkan dari hapusan tenggorokan, sekresi nasofaring, tapi yang lebih positif lagi ditemukannya bakteri ini dalam cairan pleura, darah atau dari cairan aspirasi paru. Pada gambaran radiologis didapatkan bronkopneumonia difus yang disertai efusi pleura yang luas, kaang bisa terlihat suatu adenopati di daerah hilus paru-paru. d. Penatalaksanaan Obat pilihan yang diberikan adalah penisilin G dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari. Awal pemberiannya secara parenteral, kemudian disempurnakan dengan pemberian oral selama 2-3 minggu

setelah terlihat adanya kemajuan klinis. Cefuroxime bisa diberikan sebelum kultur bakteri dilakukan dengan dosis 75 mg/kgBB/hari, ini merupakan terapi yang efektif dan sebaiknya dilanjutkan selama 10 hari. Bila pada penderita sudah terjadi empiema, maka harus dilakukan torasentesis untuk tujuan penegakan diagnosa dan mengeluarkan cairan supaya paru-paru dapat kembali mengembang secara optimal. e. Prognosis Angka mortalitas dan morbiditas menurun setelah pengobatan dengan antibiotika yang sesuai segera diberikan. Selebihnya penyebaran penyakit selanjutnya jarang terjadi. Bakteri Gram Negatif 1. Haemophilus influenzae

32

Infeksi yang serius akibat bakteri patogen ini lebih banyak ditemukan pada anak-anak dan sangat berhubungan dengan adanya riwayat meningitis, otitis media, infeksi traktus respiratorius dan epiglotitis. Organisme patogen yang sering ditemukan adalah Haemophilus influenzae tipe B dan termasuk bakteri gram negatif. a. Patofisiologi Penyebaran dari infeksi di tempat lain adalah secara hematogen. Daerah yang terinfeksi memperlihatkan adanya reaksi peradangan dengan sel-sel lekosit polimorfonuklear ataupun sel-sel limfosit disertai dengan penghancuran sel-sel epitel bronkiolus secara meluas. Peradangan ini selanjutnya menimbulkan edema yang disertai dengan perdarahan. b. Gambaran Klinis Gejala klinis yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan gambaran klinis yang diakibatkan oleh pneumococcus. Batuk hampir selalu dijumpai tapi mungkin tidak produktif. Pada penderita di sini juga dijumpai adanya demam serta tanda kesukaran bernafas.

Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan suara redup yang terlokalisasi saat perkusi serta adanya suara pernafasan yang tubuler saat auskultasi. c. Diagnosis Adanya biakan bakteri ini yang memberikan arti positif. Kultur didapatkan dari darah, cairan pleura maupun dari aspirasi paru yang memperlihatkan adanya lekositosis sedang disertai dengan limfopenia relatif. Selain itu bisa pula dengan pemeriksaan elektroforesis imunologis berlawanan (counter

immunoelectrophoresis) pada sekresi-sekresi trakea, darah, air kemih dan cairan pleura untuk menegakkan diagnosis lebih dini. d. Penatalaksanaan Obat antibiotika pilihan adalah kloramfenikol dengan dosis 100 mg/kgBB/hari. Pemberian kloramfenikol ini dikatakan efektif karena obat sangat aktif mengatasi hasil produksi bakteri ini yaitu

33

berupa beta laktamase dan tidak menimbulkan efek pada cairan serebrospinal serta memberikan efek bakterisidal yang lebih bagus dibanding dengan ampicillin atau cefomandole. e. Prognosis Bila respon awal terhadap pengobatan baik maka diharapkan bakteri penyebab akan melemah dan tidak mampu lagi menyebar terlalu jauh. Namun apabila terdapat penyakit penyerta seperti bakteremia, empiema maka hal tersebut akan memperburuk prognosisnya. 2. Klebsiella pneumoniae Organisme ini termasuk gram negatif yang ditemukan pada traktus respiratorius dan traktus gastrointestinal pada beberapa anak sehat. Organisme ini jarang menimbulkan infeksi pada anak-anak. Infeksi akibat Klebsiella pneumoniae ini bisa timbul sebagai kasus sporadis pada neonatus. Banyak bayi mengandung organisme ini dalam nasofaring mereka tanpa

memperlihatkan adanya tanda-tanda sakit klinis hanya sesekali saja seorang bayi mengalami sakit berat. Bahan-bahan yang menyebarkan infeksi sehingga

menularkan adalah peralatan yang dipakai di dalam ruang pemeliharaan bayi dan alat pelembab udara sebagai sumber-sumber utama infeksi nosokomial dengan organisme tersebut. a. Patofisiologi Infeksi nosokomial yang timbul dari aspirasi orofaringeal. Bakteri ini memasuki alveoli melalui peralatan yang dipakai dengan kecenderungan merusak dinding alveolar. Daerah yang terinfeksi benar-benar mengalami nekrosis disertai dengan adanya sejumlah pus yang banyak dan bahkan jaringan setempat sudah fibrosis. b. Gambaran Klinis Keadaan pasien akibat infeksi Klebsiella pneumoniae ini adalah kekakuan yang multipel pada onset yang mendadak, demam, batuk yang produktif, nyeri pleuritis dan kelemahan yang tiba-tiba, serta dapat terjadi hemoptisis.

34

Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya suara redup saat perkusi dan adanya ronki basah kasar saat auskultasi akibat banyaknya sekresi pus pada kavitas paru. c. Diagnosis Ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis dengan gambaran adanya infiltrasi pada lobus paru dan pleura-pleura yang menonjol. Kultur bakteri yang positif didapatkan dari darah, pus di trakea serta hasil aspirasi paru. d. Penatalaksanaan Penggunaan antibiotik baru berupa sefalosporin generasi ketiga sangat dianjurkan karena obat ini terbukti efektif dalam melawan bakteri ini. Kanamisin merupakan obat pilihan yang digunakan pada neonatus. dosis yang digunakan 15-20 mg/kgBB/hari IM setiap 8 jam selama minimal 10-14 hari. Terapi yang diperpanjang diindikasikan untuk penyebaran infeksi pada kavitas paru. Bila sudah terdapat empiema, drainase perlu dilakukan untuk fungsi pengembangan parunya.

RHINOPHARINGITIS DEFINISI

Infeksi primer dinasofaring dan hidung yang sring dijumpai pada bayi dan anak. Pada infeksi lebih luas, mencakup daerah sinus paranasal, telinga tengah samping nasofaring disertai demam tinggi.

ETIOLOGI

Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia. Penyebabnya ialah beberapa jenis virus dan yang paling penting adalah rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah myxovirus, coxcakie dan virus ECHO. Penyakit ini sangat menular dan

35

gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanyakekebalan atau menurunya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit menahun, dll).

Faktor predisposisi adalah kelelahan, gizi buruk, anemia, dan kedinginan, walaupun umur bukan factor yang menentukan daya rentan, namun infeksi sekunder purulen lebih banyak dijumpai pada anak kecil. Penyakit ini lebih sering diderita pada perganitan musim. Pada stadium prodormal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering, dan gatal didalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat dan ingus encer, yang biasanya dsertai dengan demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Sumbatan hidung menyebabkan anak bernapas melalui mulut dan anak jadi gelisah. Pada anak yang lebih besar kadang-kadang didapat rasa nyeri pada otot, pusing dan anoreksia. Kongesti hidung disertai selaput lendir tenggorokkan yang kering menambah rasa nyeri.

PATOMEKANISME

Stadium pertama, biasanya terbatas tiga hingga lima hari, secret hidung mula-mula encer dan banyak, kemudian menjadi mukoid, lebih kental dan lengket. Penyakit dapat erakhir dititk ini. Namun pada kebanyakkan pasien, penyakitnya berlanjut ke stadium invasi bakteri sekunder dicirikan oleh suatu rhiore purulen, demam dan sering kali sakit tenggorokkan. Mukosa yang merah, bengkak dan ditutupi secret mudah diamati intranasal. Sensasi kecap dan bau berkurang. Mengendus dan menghembuskan napas secara berulang menyebabkan kemerahan lubang hidung dan bibir atas. Stadium ini dapat berlangsung hingga dua minggu, sesudahnya pasien akan sembuh tanpa menemui dokter. Dokter biasanya hanya dihubungi bilamana terjadi komplikasi lanjut seperti pneumonia, laryngitis, infeksi telinga tengah atau sinusitis purulen.

GEJALA KLINIS

36

Panas, kering, gatal dihidung Bersin berulang-ulang Hidung tersumbat dan ingus encer Demam dan nyeri kepala Sesak napas Nyeri otot, anoreksia, anak gelisah.

PENATALAKSANAAN Terapi terbaik pada flu virus tanpa komplikasi mungkin berupa istirahat baring dan isolasi sekitar dua hari. Antibiotic hanya bermanfaat dalam mengobati dalam mengobati infeksi sekunder, antihistamin, desensitisasi, dan tindakkan anti alergi umum dan berguna dalam pengobatan gangguan alergi. Antihistamin digunakan untuk mengobati flu, batuk, dan alergi adalah penghambat H1. Dekongestan oral mengurangi secret hidung yang banyak, membuat pasien merasa nyaman, namun tidak menyembuhkan.

Hanya terapi simtomatik yang diberikan pada anak dengan common cold yaitu diberikan ekspetoran untuk mengatasi batuk, sedativum untuk menenangkan dan antiperietik untuk menurunkan panas pasien. Obstruksi hidung pada bayi sangat sukar diobati. Pengisapan lendir dari hidung dengan berbagai alat tidak efektif dan biasanya berbahaya. Cara terbaik penyaluran secret ialah dengan mengusahakan posisi bayi pronose position, pada anak besar dapat diberikan tetes hidung larutan efedrin 1%. Batuk yang produktif (pada bronchitis dan trakeitis) merupakan kontraindikasi pemberian antitusif (missal kdein) karena terjadi depresi pusat batuk dan pusat muntah terjadi pengumpulan secret sehingga mudah terjadi bronkopneumonia. PROGNOSIS Rhinopharingitis dapat membaik dengan sendirinya, namun pada seorang yang mengalami imunosupresif akan mengalami infeksi sekunder yang menyebakan perpanjangan waktu penyakit tersebut.

37

KOMPLIKASI Pneumonia Laryngitis Infeksi telinga tengah Sinusitis purulen

38

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, maka kami mengambil kesimpulan bahwa diagnosis yang pasti belum dapat ditegakkan karena harus melalui berbagai pemeriksaan yang memerlukan waktu yang cukup lama. Pemeriksaan yang penting adalah pemeriksaan laboratorium dan radiologis serta pemeriksaan fisis agar dapat diperoleh kesimpulan mengenai penyakit yang diderita oleh pasien di atas. Namun, berdasarkan gejala klinik yang disebutkan pada skenario, kami menyimpulkan bahwa diagnosis yang paling mendekati adalah Tb paru pada anak . Diagnosis selanjutnya yang mendekati adalah Pneumoni, Bronkopneumoni, dan Rhinofaringitis.

B. Saran Kepada para pembaca sekalian mohon maaf jika ada perkataan ada yang kurang menyenangkan dan dalam penyajian kurang lengkap dan menarik serta masih ada kekurangan-kekurangan mohon dimaklumi.

39

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H., Mukty, A. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Gyton , hall. 2007 . Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC Issel, Bacher, dkk. 1999. Harrison Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume1. Jakarta: EGC. Nastiti N Rahajoe, dkk. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 2005. Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI : 33-50 Noenoeng Rahajoe, dkk. Perkambangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat Ini. 1994. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI : 161-179 Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC. Rahajoe, Nasiti, dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak, edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC. Swartz, M. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC. http://www.klinikku.com. Bronkus. http://www.utman.edu/lungs. http://bima.ipb.ac.id/ganbar/respi. http://wikipediaindonesia/sistemrespirasi/paru/trakea. www.kalbe.co.id http://library.usu.ac.id

www.penyakitmenular.info

You might also like