You are on page 1of 3

Katrin Winarsih Hapsari 14020110120027 027

PERANAN BIROKRASI DI DALAM MELAYANI KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT


Menurut Bintoro Tjokroamidjoyo, birokrasi adalah tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugasnya yang bersifat

spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah. Birokrasi memiliki peran dan wewenang yang signifikan dalam pemerintahan. Apalagi di era otonomi daerah seperti ini yang mengharuskan masing-masing daerah untuk mengelola segala urusannya sendiri dan tidak tergantung kepada pemerintah pusat. UU No. 32 tahun 2004 mengisyaratkan hal tersebut, sehingga segala urusan di daerah dapat dikelola dengan baik tak terkecuali masalah pelayanan publik. Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan harus jeli terhadap kualitas pelayanan publik yang dilakukannya terhadap masyarakat di daerahnya. Pelayanan publik sampai saat ini masih banyak kekurangan, terutama pada posisi dan peran birokrasi yang belum profesional dan independen, karena netralitas birokrasi kurang terjaga. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar

masyarakat.Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan. Namun kenyataannya, peran birokrasi sebagai pelayan publik belum dipahami secara benar, akibatnya politisasi birokrasi sangat banyak pada era reformasi saat ini. Birokrasi masih belum efisien, yang antara lain ditandai dengan adanya tumpang tindih kegiatan antar instansi dan masih banyak fungsi-fungsi yang sudah seharusnya dapat diserahkan kepada masyarakat masih ditangani pemerintah. Dengan makin besarnya peran yang dijalankan oleh masyarakat, maka seharusnya peran birokrasi lebih cenderung sebagai agen pembaharuan, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, fungsi pengaturan dan pengendalian yang dilakukan oleh negara adalah perumusan dan

pelaksanaan kebijaksanaan yang berfungsi sebagai motivator dan fasilitator guna tercapainya swakarsa dan swadaya masyarakat termasuk dunia usaha. Peran lain yang seharusnya dijalankan oleh birokrasi adalah sebagai consensus building, yaitu membangun pemufakatan antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Peran ini harus dijalankan oleh birokrasi mengingat fungsinya sebagai agen pembaharuan dan fasilitator. Sebagai agen perubahan, birokrasi harus mengambil inisiatif dan memelopori suatu kebijakan atau tindakan. Sedangkan sebagai fasilitator, birokrasi harus dapat memfasilitasi kepentingan-kepentingan yang muncul dari masyarakat, sektor swasta maupun kepentingan negara. Banyak sudah contoh yang ditemukan di kehidupan masyarakat itu sendiri tentang fakta bahwa birokrasi masih belum bisa menjadi pelayan publik yang ideal. Misalnya saja dalam hal pembuatan KTP (kartu tanda penduduk) yang di beberapa daerah di indoenesia masih saja sulit untuk mendapatkan pelayanan seputar pembuatannya mulai dari pungutan liar, waktu yang lama untuk bisa mendapatkan KTP serta cara yang berbelit-belit yaitu harus banyak pintu yang harus dilewati, selain KTP juga ada lagi yaitu seperti mendapatkan surat keterangan tidak mampu untuk warga miskin serta banyak lagi. Ada kesan di pihak birokrasi kalau mereka itu bukanlah yang harusnya melayani kepentingan rakyat akan tetapi mereka adalah seorang pejabat tinggi Negara yang seharusnya rakyat itu tidak punya hak apa-apa atas mereka. Banyak juga fenomena yang bisa ditemukan di kehidupan sehari-hari seputar penyelewangan jabatan para birokrat misalnya saja kendaraan dinas yang berplat merah yaitu seharusnya kendaran itu hanya bisa digunakan pada saat keperluan kantor dan bukan pribadi seperti belanja di mall atau digunakan untuk tamasya keluarga bahkan mudik sekalipun. Padahal itu bukan hak mereka untuk menggunakan kendaraan dinas atas nama kepentingan pribadi. Selain itu juga, birokrasi di Indonesia ini sepertinya memang memiliki budaya yang sulit diberantas seperti misalnya, banyak pegawai yang jika hari kerja tetapi diselingi oleh libur panjang maka ia malas untuk masuk kerja atau bahkan jika atasannya tidak masuk kerja, mereka jadi malas-malasan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Karena mindset mereka adalah mereka tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa kepada rakyat akan tetapi tanggung jawab terhadap atasan yang sangat besar karena mereka diangkat oleh atasan. Padahal benar-benar pemikiran seperti itu salah. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam

menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya

penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Dalam hubungan itu, konsep dan prakarsa reformasi birokrasi tidak terlepas dari pertimbangan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi, dinamika, dan kinerja birokrasi, meliputi baik faktor-faktor internal birokrasi maupun faktor-faktor lingkungan strategis, termasuk pemahaman mengenai posisi dan peran birokrasi dalam sistem administrasi negara kita. Keseluruhan faktor tersebut perlu dipertimbangkan dalam menentukan format birokrasi yang dikehendaki dan berkemampuan merespon tantangan lingkungan strategis yang semakin kompleks dan meningkat. Sifat kaku aturan main birokrasi menjadi masalah lain untuk menghasilkan pelayanan prima bagi publik. Biasanya pegawai tidak berani mengambil sebuah diskresi

(kebijaksanaan) keputusan administrasi. Alasannya ketakutan terhadap pimpinan/pejabat di atasnya atau ketidakberanian untuk melawan aturan main yang mereka anggap kaku dan zakelek. Di lain pihak, para pejabat/pimpinan di atasnya yang memegang keputusan kebijakan, juga tidak memiliki keberanian mendelegasikan kewenangannya kepada staf yang ia percaya atau pegawai senior yang memiliki keahlian dalam bidang yang sama. Wajar saja karena ia tidak mau disalahkan jika keputusan yang diambil pegawai salah dan berpotensi merusak kinerja, bahkan karier birokrasi mereka. Sebagai bangsa dengan watak budaya ketimuran yamg kental, budaya paternalisme, sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak dominan, sudah menjadi ciri khas. Tetapi, tidak tepat kiranya digunakan sebagai paradigma birokrasi. Pola yang terjadi biasanya lebih banyak menguntungkan atasan/pejabat pusat dibanding keuntungan yang diperoleh masyarakat sebagai pengguna layanan publik. Dengan menggunakan pendekatan manajemen strategis, rencana reformasi birokrasi bertolak dari berbagai fenomena yang dinilai menjadi kelemahan birokrasi yang telah diuraikan sebelumnya untuk selanjutnya dicarikan solusinya. Solusi tersebut terarah pada pengurangan kelemahan sehingga terwujud birokrasi yang mampu menangkap peluang-peluang dan merespon tantangan yang merupakan tuntutan masyarakat dan dinamika global.

You might also like