You are on page 1of 197

Abdurachman POTENSI ULIN (Eusideroxylon zwageri Teijsm.

Binn) DI HUTAN ALAM LABANAN, KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR / Abdurachman dan Amiril Saridan. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 225-236 , 2006 Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn) is one of timber product in East Kalimantan, which has a hight economical value. Ulin has been an important source of income for the forest community and National income. Information of potency and population A.zwageri Teijms. & Binn in natural forest is limited, other hand extraction or exploitation A zwageri Teijms. & Binn is still intensive, without knowing whether the tree has Ulin or not which will impact on genetic resource. This researsch was done at STREK project plots at Labanan tropical production forest with the area of plot each is 4 ha (200 m x 200 m). The totals of plots are 12 plots or 48 hectare. The objective of this research is to get information of stocking and distribution of the trees produced Ulin Eusideroxylon zwageri Teijm & Binn. The result shows that the total of trees on plots are 230 trees, which mean only 5 tree/ha (basal area are 1.9483 m2/ha). The maximum diameter in these plots is 95.2 cm while the minimum diameters were above 10 cm. Kata kunci: Ulin, Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn, Hutan alam, Labanan, Berau, Kalimantan Timur Abdurachman SEBARAN DIAMETER PADA HUTAN 1 TAHUN SETELAH PENEBANGAN DENGAN SISTEM KONVENSIONAL DI BERAU, KALIMANTAN TIMUR / Abdurachman. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 317-324 , 2006 The research was carried out the concession area of PT Inhutani I Labanan, Berau, East Kalimantan. Measurement was conducted at the plots 4 ha (200x200m). The measured diameters were from 10 cm dbh and above. The objective of this research were to know the stand structure from diameter

distribution after logging with conventional system based on exponential, Gamma, Beta, Lognormal and Logistic distribution functions. The result showed that the distribution based on number of tree follow the reserve-j pattern which is the phenomenon of mixed natural forest. Furthermore by using the regression equation based on highest coefficient of determination (R2) and the least standard deviation, the suitable function was obtained namely exponential distribution function. Kata kunci: Diameter, Struktur, Tegakan, Penebangan, Konvensional, Berau, Kalimantan Timur Ade PEMANFAATAN TANAMAN MIMBA UNTUK REHABILITASI LAHAN KERING SEKALIGUS MENINGKATKAN EKONOMI MASYARAKAT PEDESAAN / Ade. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 71-84 , 2006 Tanaman Mimba intaran atau Nee (Azadirachta indica) adalah salah satu jenis pohon asli Indonesia yang tumbuh di daerah kering dan merupakan tanaman serbaguna yang bernilai jual ekonomi tinggi. Produk dari mimba antara lain: (1) untuk pembuatan pupuk dan pestisida organik, (2) kosmetik dan toiletris seperti sabun batangan,-sabun cair, body lotion, shampo, dan pasta gigi, obat kumur, dan produk spa; (3) pembuatan obat seperti teh hijau, kapsul neem, obat luka dan balsem; (4) pakan ternak; (5) produk lain seperti obat nyamuk, minyak pelumas, pengusir hama gudang dan lain-lain. Dalam pembuatan kegiatan tanaman hutan tanaman yang meliputi teknik persemaian, penanaman dan pemeliharaan tidak memerlukan perlakuan khusus dan hampir sama dengan jenis tanaman lain. Khusus kegiatan panen dan pasca panen memerlukan teknologi khusus mulai dari pengambilan bahan tanaman yang dikaitkan dengan pengolahan pasca panen. Dalam pengembangan tanaman mimba PT. Intaran Indonesia menggunakan konsep Strategi Tiga Lingkaran a.l.: preparing, processing and developing, yang melibatkan kerjasama masyarakat, baik pemerintah, LSM, pengusaha dan kelompok tani. Kata kunci: Mimba, Rehabilitasi, Lahan kering, Ekonomi Masyarakat

Adinugroho, Wahyu Catur MODEL PENDUGAAN BIOMASSA POHON MAHONI (Swietenia macrophylla King) DI ATAS PERMUKAAN TANAH (Biomass Estimation Model of Above Ground Mahogany (Swietenia macrophylla King.) Tree) / Wahyu Catur Adinogroho; Kade Sidiyasa. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 103 - 117 , 2006 Protokol Kyoto meliputi mekanisme pembangunan bersih dalam rangka mengontrol karbon yang dihasilkan oleh negara-negara di dunia. Hutan menyerap CO2 dari udara melalui proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai biomassa hutan. Untuk menduga jumlah biomassa di dalam hutan, pendekatan secara tidak langsung melalui model alometrik dan metode biomass expansion factor (BEF) dapat digunakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh besarnya nilai BEF dan membuat model alometrik dalam menduga besarnya biomassa pada pohon mahoni. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut maka ditentukan sebanyak 30 pohon contoh yang ditetapkan secara purposif, yang selanjutnya dilakukan penghitungan biomassa. Biomassa batang dan cabang yang beraturan dihitung dengan menggunakan pendekatan volume sedangkan biomassa bagian lainnya dihitung dengan penimbangan langsung. Model pendugaan biomassa dihasilkan dengan menganalisa hubungan antara nilai biomassa dengan dimensi pohon. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa jumlah biomassa tertinggi terdapat pada bagian batang yakni mencapai 73 % dari biomassa keseluruhan pohon di atas permukaan tanah, kemudian diikuti oleh biomassa cabang (17 %), tunggak (5 %), daun (3 %), dan ranting (2 %). Model alometrik yang dihasilkan untuk menduga biomassa pada pohon mahoni adalah B = aDb, di mana B = biomassa (kg); D = diameter (cm); a, b = konstanta. Persamaan regresi yang dihasilkan tersebut adalah biomassa batang (Bbtg) = 0,044 D2,61 (R2 = 94,7 %), biomassa cabang (Bcab) = 0,00059 D3,46 (R2 = 83,5 %), biomassa ranting (Branting) = 0,0027 D2,42 (R2 = 65,6 %), biomassa tunggak (Btunggak) = 0,022 D1,96 (R2 = 65,6 %), biomassa daun (Bdaun) = 0,0138 D1,93 (R2 = 70 %), biomassa pohon di atas permukaan tanah (Btotal) = 0,048 D2,68 (R2 = 95,8 %). Sedangkan nilai BEF rata-rata untuk pohon mahoni adalah 1,36 (biomassa batang keseluruhan) dan 2,16 (biomassa batang bebas cabang). Kata kunci : Mekanisme pembangunan bersih, biomassa, karbon, model alometrik biomassa, biomass expansion factor, Swietenia macrophylla King

Adman, Burhanuddin PENGARUH KULTUR MEDIA TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN Araucaria cunninghamii Sw. DENGAN KULTUR JARINGAN (Effects of Culture Media on the Growth of Araucaria cunninghamii Sw. Explants with Tissue Culture) / Burhanuddin Adman; R. Mulyana Omon. -- Info Hutan : Vol.III, No.2 ; Halaman 67 - 73 , 2006 Penelitian pengaruh kultur media terhadap pertumbuhan eksplan Araucaria cunninghamii Sw. dengan kultur jaringan telah dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Petanian Universitas Papua, Manokwari, Irian Jaya. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan kultur media yang sesuai untuk pertumbuhan eksplan A. cunninghmii pada kultur jaringan. Percobaan dilakukan dengan tiga media kultur, yaitu MS, WPM, dan Anderson. Setiap media kultur yang volumenya 250 ml ditanami 10 eksplan A. cunninghamii. Hasil memperlihatkan bahwa WPM media telah berpengaruh terhadap pembentukan kalus (20 %) eksplan A. cunninghamii selama 16 minggu pengamatan. Sedangkan media MS dan media Anderson tidak memberikan pengaruh terhadap pembentukan kalus. Persentase pencoklatan masingmasing media berkisar antara 30 % dan 90 % dan persentase kontaminasi berkisar antara 10 % dan 50 %. Secara umum pencoklatan dan kontaminasi eksplan disebabkan oleh oksidasi substrat yang dihasilkan oleh A. cunninghamii. Dengan demikian pembiakkan vegetatif melalui teknik kultur jaringan pada eksplan A. cunninghamii harus dicoba dengan bahan kimia sterilisasi yang lain, misalnya NaOCl, dengan media WPM. Kata kunci : Araucaria cunninghamii Sw., media kultur (MS, WPM, dan Anderson), kultur jaringan Agustini, Luciasih KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR YANG POTENSIAL DALAM PEMBENTUKAN GAHARU DARI BATANG Aquilaria spp. (Biodiversity of Potential Agarwood Inducer Fungi Taken from Aquilaria spp. Stems) / Luciasih Agustini, Dono Wahyuno, dan Erdy Santoso. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.5 ; Halaman 555 564, 2006 Terbentuknya gaharu diyakini sebagai respon pohon gaharu terhadap banyak faktor, di antaranya fisiologis tanaman dan infeksi jamur. Sejumlah isolat jamur

yang berpotensi menginduksi gaharu telah diisolasi dari sampel kayu gaharu dari berbagai daerah. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui keanekaragaman jenis isolat yang berhasil dikoleksi. Sampel kayu diambil dari beberapa lokasi penanaman gaharu di Jawa, Sumatera, Kalimatan, dan Maluku. Kegiatan isolasi, pemurnian, dan perbanyakan dilakukan dengan menumbuhkan pada berbagai media. Identifikasi dilakukan dengan mengamati ciri makroskopis dan mikroskopis isolat yang dibiakkan pada media PDA dan BLA yang diinkubasi pada suhu ruang dengan pencahayaan 300-400 lux selama 10-14 hari. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa biodiversitas isolat koleksi meliputi jenis Fusarium solani (Mart.) Appell and Walenw., F. tricinctum (Corda) Sacc., F. sambucinum Fuckel, dan Cylindrocarpon sp. Kata kunci: Keanekaragaman, Fusarium, Cylindrocarpon, ciri makroskopis dan mikroskopis Alrasjid, Harun PENERAPAN SISTEM TEBANG PILIH DI HUTAN RAWA GAMBUT / Harun Alrasjid. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 45-48 , 2006 Penerapan sistem silvikultur dalam mengelola hutan rawa gabut memerlukan penelitian yang seksama dalam jangka waktu yang lama. untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek diperlukan pengkajian ulang terhadap sistem silvikultur yang sudah mapan. Sebelum sistem silvikultur lainnya diterapkan dalam mengelola hutan rawa gambut patut ditelaah terlebih dahulu kondisi hutan rawa gambut dengan persyaratan yang diminta oleh sistem silvikultur tersebut. Penerapan sistem silvikultur TPTI untuk mengelola hutan rawa gambut perlu dikaji keakuratannya. Kata Kunci: Tebang Pilih, Hutan Rawa Gambut, Silvikultur

Alrasyid, Harun PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH MENURUNNYA KELESTARIAN PRODUKSI KELOMPOK HUTAN ALAM TRENGWILIS - BOA ODAK, GUNUNG RINJANI, NUSA TENGGARA BARAT (Solution Approach of

Sustained Yield Declining Problem of Trengwilis - Boa Odak Natural Forest Complex, Mount Rinjani, West Nusa Tenggara) / Harun

Alrasyid; Yetti Heryati. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 31 - 44 , 2006 Garu (Disoxylum densiflorum Miq.) merupakan salah satu jenis kayu primadona untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat. Saat ini produksi kayu tersebut setiap tahun semakin merosot, sehingga perlu ditangani segera melalui penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan pemecahan masalah penurunan produksi hutan Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa vegetasi. Hasil survey potensi hutan menunjukkan bahwa kelompok hutan Trengwilis Boa Odak yang terletak di lereng Gunung Rinjani memiliki permudaan alam jenis perdagangan yang cukup. Rata-rata permudaan alam tingkat semai ada 9.740 batang per hektar, tingkat pancang 638 batang per hektar, dan permudaan alam tingkat tiang 75 pohon per hektar, namun jumlah volume kayu yang dapat dipungut sangat rendah (27,56 m/ha untuk diameter 50 cm ke atas). Berdasarkan kondisi hutan tersebut di atas, penggunaan sistem Tebang Pilih dengan limit diameter tebang minimum 30 cm akan berakibat penebangan berkelebihan (44,63 m/ha) sehingga kelestarian hutan akan terganggu. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan dengan cara : a. Limit diameter tebang dinaikkan minimum 40 cm, kecuali untuk jenis Disoxylum densiflorum Miq., Eugenia polycephala Miq., dan Memecylum costatum Miq. dengan limit diameter tebang minimum 50 cm. Begitu pula untuk jenis pohon Duabanga moluccana Bl. dengan minimum diameter 70 cm; b. Perlu dilakukan pemeliharaan tegakan di areal bekas tebangan dan pengayaan tanaman khususnya untuk jenis Disoxylum densiflorum Miq. Kata kunci : Kelestarian produksi hutan, Gunung Rinjani, Duabanga Moluccana Bl.., hutan alam Boa Odak, sistem silvikultur

Litter Decomposition in Residual Stand Areas of Natural Mangrove Forest, Sungai Sepada, West Kalimantan) / Harun Alrasyid; Yetti

Alrasyid, Harun PELEPASAN UNSUR HARA MINERAL SELAMA PELAPUKAN SERASAH DAUN DI AREAL TEGAKAN SISA HUTAN ALAM MANGROVE SUNGAI SEPADA, KALIMANTAN BARAT (Loss of Mineral Element During Leaf

Center (GTC), Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Riau. Pengamatan


dilakukan pada jenis-jenis vegetasi di kawasan GTC yang menarik pada lokasi penelitian yaitu Bukit Lancang, sekitar kolam, dan sekitar Air Terjun Granit. Selain itu dikumpulkan juga data jenis satwa yang ada di lokasi penelitian. Analisis vegetasi dilakukan dengan menghitung Indeks Nilai Penting (INP) dan asosiasi antar jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan Bukit Lancang mempunyai keragaman jenis tumbuhan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Selanjutnya, lokasi penelitian tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata alam, dengan rekomendasi bahwa Bukit Lancang dapat dikembangkan sebagai hutan pendidikan lingkungan dan jalur pendakian bagi pengunjung; Air Terjun Granit dan kawasan sekitar kolam sebagai bagian tak terpisahkan dari pelatihan dan demonstrasi pemadaman kebakaran hutan. Kata kunci: Potensi flora, keragaman jenis, pengelolaan kawasan, Taman Nasional Bukit Tigapuluh Anwar, Chairil PREDIKSI MUSIM PUNCAK BUAH EMPAT JENIS MANGROVE BERDASAR HASIL FENOLOGINYA (Fruit Peak Season Prediction of Four Mangrove Species Based on Phenology) / Chairil Anwar. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.3 ; Halaman 237 247 , 2006 Pengamatan secara kontinyu proses terbentuknya buah mangrove matang dilakukan terhadap sepuluh tangkai yang memiliki bakal tunas bunga dari setiap pohon contoh. Berdasar hasil pengamatan fenologi empat jenis mangrove di kawasan mangrove Suwung, Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali, telah diketahui waktu-waktu yang diperlukan pada masing-masing proses tahapan fenologi mangrove : munculnya tunas bunga, munculnya bakal bunga, bunga siap mekar, bunga pada keadaan mekar, terbentuknya bakal buah, buah muda serta buah matang. Sonneratia alba J. Smith memerlukan waktu 15 minggu untuk menjadi buah matang sejak munculnya tunas muda pada ketiak daun di ujung ranting, Rhizophora apiculata B.L. memerlukan waktu 61 minggu, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk 36 minggu, serta R. mucronata Lamk 60 minggu. Dengan diketahuinya tahapan fenologi ini maka dapat diprediksi berapa lama lagi buah mangrove akan matang, apabila dijumpai salah satu tahapan fenologi mangrove di lapangan. Dengan mengadakan studi lapangan

Heryati. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.2 ; Halaman 127 - 136 , 2006

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi tentang peranan hutan mangrove dalam memelihara kesuburan daerah perairan pantai di bawah tegakan tinggal hutan alam mangrove. Lokasi penelitian terletak di komplek hutan alam mangrove Sungai Sepada, Kalimantan Barat. Hutannya didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata Lamk. dan Bruguiera gymnorrhiza Lamk. dan tingginya agak seragam. Tanahnya digenangi air pasang laut yang tingginya beberapa sentimeter. Penaksiran jumlah serasah menggunakan 10 buah jaring serasah berukuran masing masing 1 m x 1 m dan diletakkan secara acak dalam hutan. Serasah kering dikumpulkan setiap triwulan. Untuk menaksir tingkat pembusukan serasah dan laju akumulasi unsur mineral yang terurai menggunakan cara yang digunakan oleh Olson (1963 ) dan Yenny et al. (1949). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa : (a) Tegakan tinggal hutan mangrove menghasilkan rata rata 202.552 gc/m2/th karbon organik; (b) Laju penguraian unsur mineral selama dekomposisi serasah adalah : P>N>Mg>C >Al >S>K>Fe>Cu>Zn>Ca>Mn; dan (c) Pemanenan biomas hutan yang tak terkontrol telah menghilangkan rata-rata 99,4 % karbon organik. Kata kunci : Mangrove, dekomposisi serasah, pelepasan unsur mineral Antoko, Bambang S POTENSI DAN KERAGAMAN JENIS FLORA PADA KAWASAN WISATA ALAM DI GRANIT TRAINING CENTER, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH, RIAU (Potency of Flora and Species Diversity in Granit Training Center, Bukit Tigapuluh National Park, Riau) / Bambang S. Antoko dan Rozza T. Kwatrina. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.5 ; Halaman 513 -532 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang potensi dan keragaman jenis dan peluangnya sebagai lokasi wisata alam di Granit Training

guna mengetahui tahapan fenologi mangrove yang paling dominan pada suatu kawasan tertentu serta pada suatu saat tertentu, maka dapat diprediksi kapan akan terjadi musim puncak berbuah mangrove, yang pada gilirannya akan membantu dalam rangka perencanaan pengunduhan buah serta penyediaan bibit mangrove. Kata kunci: Fenologi mangrove, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera Anwar, Chairil PENAMBATAN KANAL: UPAYA UNTUK MEMPERBAIKI LINGKUNGAN PADA KAWASAN HUTAN RAWA GAMBUT DI SEBANGAU, KALTENG / Chairil Anwar. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 187-195 , 2006 Pembuatan kanal dalam wilayah lahan gambut selain akan memudahkan ekstraksi kayu dalam pembalakan liar, juga penyebabkan terjadinya perubahan ekosistem yang akan berakibat timbulnya kerugian sangat besar dikemudian hari . Gambut di alam pada dasarnya merupakan bahan "spongy" yang mempunyai daya besar dalam menahan air hingga 4,5-30 kali bobot keringnya, sehingga dapat menahan banjir pada musim hujan dan mampu mengalirkan air pada saat musin kemarau. Pengalaman lahan gambut Sebangau tahun 1994 menunjukan bahwa akibat adanya pembuatan kanal yang belum begitu banyak, maka permukaan air tanah dapat mencapai antara 10-30 di atas permukaan tanah pada musim hujan dan dapat mencapai 100 cm di bawah permukaan tanah pada musim kemarau.Pengalaman saat ini dengan semakin maraknya pembuatan kanal-kanal, telah menyebabkan terjadinya banjir besar, sehingga menyebabkan kerugian besar bagi petani sekitar.Mengingat lahan gambut memiliki sifat pengkerutan atau kering tak balik (irreversible) , maka fluktuasi permukaan air tanah yang tinggi ini dapat menyebabkan gambut tidak akan dapat menyerap air kembali apabila tergenang oleh air berikutnya, yang pada gilirannya menyebabkan lahan gambut sangat rentan terhadap kebakaran. Kondisi ini akan memunculkan persoalan lingkungan hidup seperti terancam punahnya fauna dan flora,kebakaran hutan, banjir, sedimentasi, dan penurunan kualitas perairan sungai di sekitarnya. Penambatan kanal merupakan salah satu upaya untuk memperlambat keluarnya air dan memperkecil fluktuasi permukaan air gambut yang diharapkan dapat memperbaiki ekosistem gambut untuk mendukung rehabilitasnya.

Kata Kunci:

Kanal, Hutan rawa gambut, konservasi, Sebangau, Kalimantan Tengah

Anwar, Chairil KERAGAMAN DAN SEBARAN MANGROVE DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT / Chairil Anwar. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 155-165 , 2006 Taman Nasional (TN) Bali Barat memiliki keragaman jenis mangrove yang cukup tinggi. Sekurang-kurangnya dijumpai 53 jenis vegetasi mangrove dan vegetasi peralihannya yang menempati lima komplek mangrove di TN Bali Barat. Empat belas jenis vegetasi merupakan elemen utama pembentuk mangrove, 10 jenis merupakan elemen tambahan dan 29 jenis selebihnya merupakan jenis-jenis vegetasi peralihan yang biasanya berasosiasi dengan mangrove. Berdasar hasil pengukuran secara kasar, diperkirakan luas mangrove di wilayah TN Bali Barat adalah 551 ha, yang terdiri dari mangrove komplek Teluk Gilimanuk Kata kunci: Taman Nasional, Bali Barat, Gilimanuk, Possumur, Pulau Menjangan, Teluk Trima, Tanjung Gelap dan luas Anwar, Chairil SEBARAN MANGROVE DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT DAN KEMUNGKINANNYA SEBAGAI SUMBER BENIH / Chairil Anwar. -Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 223240 , 2006 Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat memiliki keragaman jenis mangrove yang cukup tinggi, sekurang-kurangnya terdapat 55 jenis vegetasi mangrove dan vegetasi peralihannya yang menempati 30 komplek mangrove di Pulau Lombok. Limabelas jenis vegetasi merupakan elemen mayor pembentuk mangrove, tujuh jenis merupakan elemen minor dan 33 jenis selebihnya merupakan jenis-jenis vegetasi peralihan yang biasanya berasosiasi dengan mangrove. Berdasar hasil

pengukuran secara kasar, diperkirakan luas mangrove di Pulau Lombok adalah 1,759 ha, yang tersebar pada pesisir Kabupaten Lotim Utara sekitar 1,592,5 ha dengan keragam 50 jenis mangrove, Kabupaten Lotim Selatan (71 ha, 28 jenis), pesisir selatan Kabupaten Loteng (7 ha, 18 jenis), pesisir Kabupaten Lombar Selatan (77,5 ha, 31 jenis) dan pesisir Kabupaten Lombar Utara (11 ha, 27 jenis) .Untuk keperluan rehabilitasi mangrove, setidaknya terdapat sembilan jenis: A.marina, L. racemosa, R.stylosa, R.apiculata, R. mucronata, C. tagal, S. alba dan S. caseolaris tersebar di Pulau Lombok yang dapat disarankan untuk dijadikan sumber benih mangrove. Kata kunci: Pulau Lombok, Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, Sumber benih, Mangrove Anggraeni, Illa SERANGAN PENYAKIT EMBUN TEPUNG DAN KARAT DAUN PADA Acacia auriculiformis A.Cunn. Ex. Benth. DI KEDIRI, JAWA TIMUR (Powdery Mildew and Rust Attack on Acacia auriculiformis A.Cunn. Ex Benth. in Kediri, East Java) / Illa Anggraeni; Ari Wibowo. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 45 53 , 2006

membelok), dan dapat menyebabkan embun tepung.

pohon menjadi kering dan terselimuti

Kata kunci : Acacia auriculiformis A. Cunn. Ex Benth., penyakit embun tepung, penyakit karat daun Anggraeni, Illa DIAGNOSA PENYAKIT EMBUN JELAGA DAN DAUN MENGGULUNG PADA KLICUNG (Diospyros malabarica (Desr. Kostel) DI KHDTK BARUNG, NUSA TENGGARA BARAT (Diagnostic of Black Mildew and Rolled Leaf Diseases on Diospyros malabarica (Desr.) Kostel at Forest research (KHDTK) of Rarung, West Nusa Tenggara) / Illa Anggraeni; Ngatiman. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.2 ; Halaman 209 - 214 , 2006

Acacia auriculiformis A. Cunn. Ex Benth. merupakan jenis pohon cepat tumbuh untuk penghijauan yang tanaman mudanya mudah terserang penyakit. Penelitian yang dilakukan di RPH Pandantoyo, BKPH Pare, KPH Kediri, Jawa Timur bertujuan untuk mengetahui gejala makroskopis dan mikroskopis dari penyebab penyakit yang menyerang tanaman Acacia auriculiformis A. Cunn. Ex Benth. berumur dua tahun serta akibat yang ditimbulkannya. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tanaman Acacia auriculiformis A. Cunn. Ex Benth. terserang oleh dua jenis penyakit yaitu karat daun dan embun tepung. Persentase serangan penyakit karat daun rata-rata sebesar 91,44 %, yang terserang embun tepung saja tidak ada sedangkan yang terserang kedua penyakit tersebut sebesar 8,55 %. Hasil identifikasi dan determinasi penyebab pada fase aseksual penyakit embun tepung adalah fungi Oidium sp. (Deuteromycetes) atau disebut pula Erysiphe sp. pada fase seksual (Ascomycetes), penyakit karat daun disebabkan oleh Atelocauda digitata G. Wint. Akibat kedua penyakit tersebut tanaman pertumbuhannya menjadi terhambat, bagian pucuk bentuknya tidak normal (keriting, membengkak, dan

malabarica (Desr.) Kostel) secara alami terdapat di Klicung (Diospyros Kabupaten Sumbawa dan Lombok Selatan. Jenis pohon ini tergolong lambat tumbuh (slow growth) dan tergolong jenis kayu mewah (fancy wood). Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 1994 membuat plot uji coba penanaman klicung di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Rarung, Lombok, Nusa Tenggara Barat seluas 5 hektar. Kenyataan di lapangan ternyata tanaman klicung terserang oleh penyakit embun jelaga (black mildew) dan sekaligus juga oleh penyakit daun menggulung (roll leaf). Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan informasi tentang organisme penyebab penyakit embun jelaga dan daun menggulung serta ekobiologinya. Informasi dari penyakit embun jelaga dan daun menggulung yang keduanya sekaligus menyerang tanaman klicung belum pernah ada, sehingga diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal dalam mengambil tindakan pencegahan dan pengendalian secara efektif dan efisien. Hasil pengamatan gejala di lapangan serta pengamatan mikroskopis di laboratorium penyebab penyakit embun jelaga adalah fungi Meliola sp. dan penyakit daun menggulung disebabkan oleh virus.
Kata kunci : Klicung, Diospyros malabarica (Desr.) Kostel, embun jelaga, daun menggulung, Meliola sp. KHDTK Rarung,

Asmaliyah POTENSI ETNOBOTANI SUMATERA SEBAGAI SUMBER PENGHASIL PESTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN HAMA / Asmaliyah, Edwin Martin, dan Sri Utami. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 95-103 , 2006 Pulau Sumatera memiliki potensi besar dalam hal keaneragaman jenis tumbuhan tingkat tinggi. Masyarakat tradisional memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitarnya (etnobotani) untuk keperluan berburu, obat-obatan, dan pengendalian hama tanaman budidaya mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan inventarisasi jenis tumbuh-tumbuhan yang secara tradisional oleh masyarakat etnis Sumatera dimanfaatkan sebagai obat-obatan (tradisional medicine), bahan berburu maupun pangusir hama pertanian, sebagai dasar untuk mengklasifikasi potensi masing-masing jenis sebagai tumbuhan penghasil pestisida nabati. Penelitian dilakukan sejak Desember 2003 sampai dengan Maret 2005 pada kelompok masyarakat suku Talang Mamak di Riau, suku Melayu Tua di jambi, dan suku Rejang Lebong Tapus Bengkulu. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari ketiga lokasi penelitian dapat ditemukan 266 jenis tumbuhan etnobotani. Sebanyak 52 jenis tumbuhan diantaranya diduga berpotensi besar sebagai penghasil pestisida nabati. Berdasarkan hasil uji pendahuluan insektisida jenis belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) dan nango (Canangium sp.) terlihat bahwa ekstrak kedua tumbuhan tersebut mampu mempengaruhi mortalitas, Keberhasilan pembentukan pupa, dan imago Helicoverpa armigera Hbn dan Spodoptera litura F. Masih diperlukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan lebih banyak lagi tumbuhan yang berpotensi sebagai penghasil pestisida nabati maupun efektivitasnya dalam mengendalikan serangga hama tanaman. Kata Kunci: Etnobotani, Inventarisasi jenis tumbuhan, Pestisida nabati, Pengendalian hama

Asmaliyah PROSPEK PEMANFAATAN BIOINSEKTISIDA SEBAGAI ALTERNATIF DALAM PENGENDALIAN HAMA PADA HUTAN TANAMAN / Asmaliyah. -Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 115-124 , 2006 Sampai saat ini cara yang paling umum digunakan untuk mengendalikan hama adalah dengan menggunakan insektisida kimia, karena dianggap paling cepat dan ampuh mengatasi gangguan hama. Namun penggunaannya yang kurang bijaksana sering menimbulkan dampak negatif, antara lain terjadinya resistensi resurjensi, terbunuhnya musuh alami, dan berbahaya bagi mahluk hidup serta pencemaran lingkungan. Untuk menekan timbulnya berbagai permasalahan tersebut di atas, perlu dicari alternatif pengendalian yang efektif terhadap hama sasaran tetapi lebih aman. Salah satunya yang memenuhi persyaratan ini dan layak dikembangkan adalah bioinsektisida (insektisida mikroba dan insektisida organisme non target, tidak meninggalkan residu terhadap lingkungan dan tidak berbahaya bagi manusia, mamalia, dan ikan. Kata Kunci: Bioinsektisida, Pengendalian hama, Hutan Tanaman Asmaliyah PENGAMATAN SERANGGA HAMA BARU PADA TANAMAN PULAI DARAT (Alstonia angustiloba) DI PT. XYLO INDAH PRATAMA-CECAR / Asmaliyah, Sri utami, dan Enik Erna Wati Hadi. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 145-150 , 2006 Kumbang Cycotrachelus sp. (Coleoptera:Brenthidae) merupakan serangga hama baru yang ditemukan menyerang tanaman pulai (Alstonia angustiloba) di PT. Xylo Indah Pratama (XIP), Cecar, Lubuk Linggau. Kumbang ini merupakan hama penggerek daun (leaf miner) yang menyerang daun pulai dengan cara memakan daging daun pada permukaan daun. Keberadaan kumbang ini cenderung meningkat seiring menurunnya serangan ulat Clauges glauculalis. Persentase serangan kumbang cukup tinggi, tetapi tingkat kerusakannya masih sangat rendah. Kondisi ini dikhawatirkan suatu saat nanti serangan kumbang akan membahayakan tanaman apabila sejak dini tidak dikendalikan. Oleh

karena itu perlu pemantauan dan pengamatan secara periodik dan intensif terhadap perkembangan serangan kumbang Cycnotrachelus sp. Kata Kunci: Serangga, Hama, Cycotrachelus sp, Coleoptera: Brenthidae, Pulai, Alstonia angustiloba, PT Xylo Indah Pratama Bastoni PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN JELUTUNG (Dyera lowii) PADA LAHAN RAWA SUMATERA / Bastoni dan Abdul Hakim Lukman. - Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 19-30 , 2006 Potensi lahan rawa sangat besar, meliputi areal seluas 34,4 juta hektar (nasional) dan 7,2 juta hektar (sumatera). Saat ini sebagian besar lahan rawa dalam kondisi rusak yang disebabkan oleh kegiatan eksploitasi hutan, konversi lahan, kebakaran hutan dan lahan. Untuk mempercepat pemulihannya perlu dilakukan rehabilitasi melalui pembangunan hutan tanaman. Jelutung (Dyera lowii) adalah jenis pohon lokal (Indigenous species) yang sangat prospektif untuk hutan tanaman produktivitas tinggi dan ramah lingkungan pada lahan rawa karena keunggulan ekologi dan ekonomi yang dimiliki. Jelutung mempunyai daya adaptasi yang baik dan teruji pada lahan rawa, pertumbuhan cepat dan dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan minimal. Prospek pengembangan hutan tanaman jelutung pada lahan rawa Sumatera sangat baik karena didukung oleh sumberdaya lahan yang luas, sumber plasma nutfah tersebar dengan keragaman genetik yang besar, dan aspek silvikulturnya sebagian besar telah dikuasi. Hutan tanaman jelutung dapat dikelola dengan pola yang seragam (HTI, social forestry) untuk memperoleh hasil getah dan kayu serta pemulihan fungsi lingkungan. Pasar ekspor getah dan kayu jelutung terus mengalami penurunan pasokan sehingga peluang pasar masih sangat besar. Keberhasilan pengembangan hutan tanaman jelutung pada lahan rawa sangat ditentukan oleh peran aktif banyak pihak, khususnya dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk kebijakan dan program yang mengarah pada upaya tersebut serta input teknologi dari lembaga penelitian. Kondisi tersebut akan dapat menumbuhkan dan memacu minat budidaya dan minat kelola oleh masyarakat dan dunia usaha. Kata Kunci: Hutan tanaman, Jelutung, Dyera lowii, Rawa, Sumatera

Bau, Yanuarius Koli REKAYASA SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN DI NTT / Yanuaris Koli Bau. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 69-76 , 2006 Data di berbagai negara memperlihatkan bahwa pertumbuhan penduduk yang semakin pesat telah secara langsung menimbulkan peningkatan kebutuhan masyarakat baik secara individu, kelompok atau bangsa akan sumberdaya alam. Identifikasi di sejumlah negara menunjukan peningkatan kebutuhan nyata yang berkaitan langsung dengan hutan, yakni meningkatnya kebutuhan akan kayu untuk perumahan, perabot rumah tangga, pemanas, dan masak memasak, kebutuhan akan bahan makanan yang berkaitan dengan hutan sebagai gudang alam, serta kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan peternakan.Peningkatan kebutuhan ini telah secara nyata mendorong individu, masyarakat bahkan negara bangsa sebagai pelaku ekonomi melakukan eksploitasi hutan secara berlebihan dan mengganggu keseimbangan ekosistem dan ketersediaan sumberdaya alam jangka panjang. Peningkatan kebutuhan ini pada gilirannya melahirkan antagonisme dan konflik, baik yang bersifat horisontal antar kelompok sosial, yang bersifat vertikal antara rakyat dan negara, maupun yang berisfat trans nasional, antarbangsa. Ketegangan dan konflik ini tidak akan pernah terselesaikan apabila para pihak yang terlibat tidak menggunakan kearifan yang tinggi yang dimilikinya, tanpa harus mengorbankan kepentingan ekonomi dan politiknya masing-masing. Pengalaman lapangan dari desa-desa di Pulau Timor memperlihatkan bahwa penanganan pembangunan kehutanan, termasuk penyelesaian antagonisme dan konflik yang terjadi hanya akan berhasil apabila para pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan pelaku ekonomi bersama-sama dengan masyarakat lokal melakukan rekayasa sosial, menemukan kembali dan memanfaatkan proses belajar dinamis dari kapital sosial yang dimiliki masyarakat. Dengan demikian persoalannya bukan lagi pada akhirnya masyarakat memperoleh manfaat dari tanah, air, dan hutan, tetapi pada mulanya warga masyarakat bersama-sama pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, pelaku ekonomi, berfikir dan bekerja sehingga mereka mendapat manfaat optimal dan berkelanjutan, Kata kunci: Rekayasa sosial, Pengelolaan hutan, Tanah, Air

Butar-Butar, Tigor STUDI SIFAT-SIFAT TANAH DI KEBUN PERCOBAAN BU'AT-SOE TIMOR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR / Tigor Butar-Butar [et.al] . -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 217-221 , 2006 Telah dilakukan penelitian studi sifat-sifat tanah di Kebun Percobaan Bu'at Kecamatan Soe Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilakukan dengan membuat profil tanah di lokasi penelitian untuk dilakukan analisis tanah secara langsung maupun pengambilan contoh tanah untuk dilakukan analisa di laboratorium. Dari penelitian profil di lokasi menunjukan bahwa terjadi proses pedogenesis pada lapisan atas maupun bawah, proses pelapukan berlangsung secara normal, tanah masih relatif muda dan secara edafis masih dapat ditumbuhi oleh beberapa jenis tanaman. Hasil analisa laboratorium menunjukan bahwa pH tanah (H2O maupun KCI) semakin tinggi dari lapisan atas ke lapisan bawah. Kandungan bahan organik dan N total terbesar terletak pada lapisan ke dua. Kata kunci: Kebun percobaan Bu'at-SoE, Nusa Tenggara Timur, Sifat tanah Bustomi, Sofwan KLASIFIKASI POTENSI TEGAKAN HUTAN ALAM BERDASARKAN CITRA SATELIT DI KELOMPOK HUTAN SUNGAI BOMBERAI - SUNGAI BESIRI DI KABUPATEN FAKFAK, PAPUA (Standing Stock Classification of

secara sistematik dengan jarak antar jalur 200 m, lebar jalur 20 m, panjang 1.000 m. Hasil penelitian ditemukan 48 jenis pohon yang tercakup ke dalam 27 famili. Jenis-jenis yang dominan berturut-turut resak/damar (Vatica rassak Bl.), matoa (Pometia pinnata Forst.), kelat/jambu-jambu (Eugenia sp.), kenari (Canarium maluense Lauterb.), mersawa (Anisoptera polyandra Bl.), dan pala hutan (Myristica fatua Houtt.). Pengkelasan hutan menurut warna/tone pada peta citra satelit dapat digunakan, hal ini ditunjukkan oleh kerapatan tegakan hutan dengan diameter 20 cm pada hutan jarang sebesar 96,80 pohon/ha (diameter 50 cm = 7,20 N/ha dan diameter 60 cm = 2,60 N/ha), hutan sedang sebesar 101,25 pohon/ha (diameter 50 cm = 8,70 N/ha dan diameter 60 cm = 4,25 N/ha) dan kerapatan tegakan hutan rapat sebesar 118,05 pohon/ha (diameter 50 cm = 9,45 N/ha dan diameter 60 cm = 4,25 N/ha). Potensi pohon berdiameter 20 cm di areal kerja PT. Prabu Alaska Unit I Fakfak pada hutan jarang sebesar 68,66 m/ha (diameter 50 cm = 18,04 m/ha dan diameter 60 cm =9,56 m/ha), hutan sedang sebesar 76,88 m/ha (diameter 50 cm = 25 m/ha dan diameter 60 cm =17,06 m/ha) dan kerapatan tegakan hutan rapat sebesar 85,78 m/ha (diameter 50 cm = 25,80 m/ha dan diameter 60 cm = 16,46 m/ha). Kata kunci : Klasifikasi, potensi tegakan, citra satelit, kelompok hutan Darmawan, Saptadi RAGAM MANFAAT KEMIRI / Saptadi Darmawan. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 69-76 , 2006 Tanaman Kemiri merupakan tumbuhan serbaguna dan pemanfaatannya sudah dikenal baik oleh masyarakat terutama buahnya. Jenis ini dapat tumbuh dengan baik di Nusa Tenggara dan penyebarannya cukup merata. Kemiri saat ini pemanfaatannya lebih terfokus pada kemiri isi dan kayunya. Tempurung kemiri yang selama ini banyak dijadikan limbah, sebenarnya memiliki kegunaan yang cukup bermanfaat. Beberapa produk dari hasil pengolahan tempurung kemiri adalah arang, briket arang, arang aktif, destilat, dan minyak kemiri. Arang dan briket arang dapat digunakan sebagai sumber energi. Arang aktif dapat digunakan sebagai bahan adsorben, baik pada media cair maupun udara. Destilat telah digunakan untuk memperbaiki sifat tanah dan pencegahan jenis hama dan penyakit tertentu. Arang dan arang aktif juga dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki sifat tanah. Dengan dihasilkannya produk

Nature Forest Based on Landsat Imagery at Bomberai River - Besiri River Forest Natural, Fakfak District, Papua) / Sofwan Bustomi; Djoko

Wahyono; N.M. Heriyanto. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.4 ; Halaman 437 - 458 , 2006

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang kelas kerapatan hutan dan potensi tegakan berdasarkan tampilan warna/tone pada citra satelit. Metode yang digunakan yaitu pengukuran/penilaian potensi pada citra satelit dan pengamatan lapangan. Pengukuran potensi pada citra satelit tersebut dilihat dari tone yang dijumpai, semakin rapat tegakan, semakin jelas tone yang dihasilkan. Sedangkan pengamatan lapangan dilakukan dengan cara menentukan satuan contoh berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 1 km x 1 km (100 ha). Di dalam plot bujur sangkar dibuat lima jalur ukur yang diletakkan

olahan dari tempurung kemiri tersebut diharapkan dapat meningkatkan manfaat bagi masyarakat. Kata Kunci: Kemiri, Limbah, Arang, Briket arang, Destilat Darmawan, Saptadi PENYEBARAN DAN KEBERADAAN INANG GAHARU DI ALAM / Saptadi Darmawan dan Sumardi. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 205-215 , 2006 Telah dilakukan penelitian penyebaran dan keberadaan inang gaharu di alam. Penelitian dilakukan pada bulan November 2004 di kawasan Hutan Timau Kecamatan Amfoang Kabupaten Kupang dan Kawasan Hutan Wanggameti, Kecamatan Metawai Selatan, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilakukan dengan melakukan survey dan wawancara terhadap masyarakat untuk mendapatkan data pengusahaan gaharu dan membuat petak berukuran 20 m x 20 m dengan jarak antar petak 200 m dengan sistem jalur untuk melakukan inventarisasi inang gaharu, pada lokasi tempat ditemukannya gaharu/inang gaharu maupun bekas eksploitasi gaharu/inang gaharu. Dari hasil penelitian di lokasi penelitian diketahui inang gaharu dari jenis Aquilaria malaccensis sulit ditemukan. Inang gaharu di alam pada tingkat pohon dan tiang sudah tidak dapat ditemukan, untuk tingkat pancang dan semai di petak analisis vegetasi masih dapat dijumpai dengan nilai indeks penting masingmasing sebesar 2,86 dan 8,28. Berkurangnya inang gaharu di alam disebabkan oleh perburuan yang berlangsung secara besar-besaran tanpa dilakukan upaya konservasi dengan melakukan budidaya inang gaharu. Kata kunci: Inang, Gaharu, Survey, Inventarisasi

Daryono, Herman PEMANFAATAN LAHAN SECARA BIJAKSANA DAN VEGETASI DENGAN JENIS POHON TEPAT GUNA DI LAHAN RAWA GAMBUT TERDEGRADASI / Herman Daryono. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 1-18 , 2006 Indonesia mempunyai lahan gambut seluas 17 juta hektar yang terbentang dari pantai timur Sumatera Timur seluas 9,6 juta hektar yang meliputi Provinsi Jambi, dan Sumatera Selatan. Di Kalimantan seluas 6,3 juta hektar meliputi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, dan Irian Jaya seluas 70.000 hektar. Laju kerusakan hutan dilaporkan terus meningkat,laporan terakhir dari Badan Planologi Kehutanan (2004) diperoleh bahwa laju deforestasi, baik pada kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan pada periode antara 1997-2000 di Indonesia mencapai 2,83 juta hektar/tahun termasuk kerusakan hutan rawa gambut. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik, dan rapuh (fragile), habitatnya terdiri dari gambut dengan kedalaman yang bervariasi mulai dari 25 cm hingga lebih dari 15m, mempunyai kekayaan flora dan fauna yang khas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Lahan gambut mempunyai peran yang penting dalam menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan kehidupan, baik sebagai reservoir air, carbon storage, dan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, pemanfaatan secara bijaksana harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan budaya maupun fungsi ekologi. Pada masing-masing tipologi lahan, dalam melakukan vegetasi diperlukan pemilihan jenis yang tepat, sehingga kegagalan dalam melakukan rehabilitasi dapat dihindari. Lahan sulfat masam aktual merupakan lahan konservasi yang memerlukan jenis yang spesifik untuk dapat hidup di situ, karena adanya senyawa pirit yang bersifat racun. jenis gelam (Melaleuca sp.), tanah-tanah (Combretocarpus rotundatus), geronggang (Cratoxylum glaucum), geronggang (Carborescens) merupakan jenis-jenis yang tahan hidup pada lahan sulfat asam. Pada lahan gambut yang telah mengalami kebakaran, dan kondisinya dalam keadaan terbuka pada kawasan produksi (gambut <3 m), pembangunan Hutan Tanaman Industri untuk pulp dapat menggunakan jenis Acacia crasicarpa, sedang HTI non pulp bisa dengan jenis meranti batu (Shorea uligonosa), belangeran (S. balangeran), meranti bunga (S. tysmanniana) atau Jelutung (Dyera lowii). Selain itu jenis-jenis pionir seperti pulai rawa (Alstonia pnematophora), Punak (Teramerista glabra), tanah-tanah (Combetocarpus rotundatus) juga dapat dipertimbangkan sebagai jenis untuk rehabilitasi. Sedang pada lahan gambut dalam kategori dangkal, sedang ataupun dalam

10

yang habitatnya masih tedapat tegakan, sehingga intensitas cahaya memenuhi persyaratan untuk hidup jenis komersial seperti ramin (Gonystylus bancanus), kapurnaga (Callophylum macrocarpum), dan lain-lain dapat ditanam di tipologi lahan tersebut. Pada kawasan konservasi (gambut >3m) dalam keadaan terbuka, perlu direvegetasi dengan jenis asli setempat seperti jelutung karena hasil getahnya dapat dimanfaatkan tanpa menebang pohonnya. Selain itu pada lahan gambut masyarakat, dapat dibangun dengan jenis jelutung dengan sistem agroforestry. Kata Kunc: Pemanfaat lahan, Vegetasi, Rawa gambut Darwati, Wida UJI EFIKASI EKSTRAK DAUN, RANTING, DAN BIJI SUREN (Toona sureni Merr: Meliaceae) TERHADAP HAMA DAUN Eurema spp. (Lepidoptera : pieridae) PADA SKALA LABORATORIUM / Wida Darwiati. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 125-128 , 2006 Perlindungan Tanaman terhadap serangan hama dan penyakit mulai dikembangkan dengan insektisida yang tidak mencemari lingkungan. Insektisida ini berasal dari tanaman atau mikroorganisme. Untuk mendapatkan insektisida yang berasal dari tanaman, telah digunakan tanaman kehutanan yaitu Toona sureni Merr yang diketahui mengandung senyawa kimia melalui analisis kromatografi gas yang dapat berfungsi sebagai pembunuh hama. Uji efikasi kandungan senyawa dari tanaman Toona Sureni Merr yang digunakan adalah bagian daun, ranting, dan biji terhadap hama daun Eurema s. dosis yang digunakan 3 cc/100 cc air, 5 cc/100cc air, 7cc/100 cc air, dan kontrol dengan rancangan acak lengkap. Hasilnya menunjukan bahwa perlakuan ekstrak biji suren sangat efektif dan tercepat dalam pengendalian hama daun di laboratorium dengan jangka waktu 3 jam setelah perlakuan mortalitas terbanyak dibanding dengan ekstrak daun dan ranting. Pada pengamatan selama 24 jam semua ulat mati, sedangkan untuk perlakuan ekstrak daun dan ranting memerlukan waktu sampai 72 jam. Kata Kunci: Uji efikasi, Ekstrak daun, Ranting, Biji, Suren, Toona sureni Merr, Hama daun, Eurema sp

Darwo APLIKASI ENDOMIKORIZA, PUPUK KOMPOS, DAN ASAM HUMAT DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN Khaya anathoteca Dx. PADA LAHAN PASCA PENAMBANGAN BATU GAMPING DI CILEUNGSI-BOGOR

Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.2 ; Halaman 195 207 , 2006

(Aplication of Endomycorrhyza, Compos, and Humic Acid to Growth Improvement of Khaya anthoteca Dx. at Post-Limestone Mining Land, Cileungsi-Bogor) / Darwo; Yadi Setiadi; Erdy Santoso. -- Jurnal

Aktifitas reklamasi pada lahan pasca penambangan batu gamping seperti di PT. Semen Cibinong, Cileungsi, Kabupaten Bogor sebagai bahan baku semen menunjukkan hasil yang tidak baik, hal ini dikarenakan kurang memperhatikan karakteristik bekas penambangan, teknik revegetasi, dan penggunaan mikroorganisme tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang respon pertumbuhan Khaya anthoteca Dx. yang diinokulasi cendawan Glomus aggregatum Schenk & Smith terhadap pemberian pupuk kompos dan asam humat pada lahan bekas penambangan batu gamping serta tingkat infeksi cendawan endomikoriza pada tanaman tersebut. Rancangan penelitian menggunakan faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap. Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan unsur hara (P, K, dan Mg), kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa ada dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman, tetapi yang menjadi faktor pembatas adalah reaksi tanah agak alkalis dengan nilai tukar kation Ca sangat tinggi dan kadar salinitas tinggi serta kandungan C-organik dan nitrogen sangat rendah. Dengan pemberian pupuk kompos 2 kg dan atau 500 ml asam humat 1.500 ppm belum cukup memenuhi kebutuhan hara tanaman (kadar C-organik dan nitrogen masih termasuk rendah) dan ditunjukkan tanaman kekurangan nitrogen. Pertumbuhan tanaman yang terbaik, jika bibit telah diinokulasi cendawan Glomus aggregatum Schenk & Smith yang ditanam pada lahan yang diberi 500 ml asam humat 1.500 ppm. Asam humat mampu meningkatkan pertumbuhan, daya hidup, dan persen infeksi akar bermikoriza yang lebih baik. Introduksi cendawan Glomus aggregatum Schenk & Smith berkorelasi positif dengan asam humat dan keberadaan cendawan endomikoriza dan asam humat bersifat sinergis terhadap pertumbuhan Khaya anthoteca Dx. Kata kunci : Reklamasi, batu gamping, endomikoriza, kompos, asam humat

11

Danu TEKNOLOGI DAN STANDARISASI BENIH DAN BIBIT DALAM RANGKA MENUNJANG KEBERHASILAN GERHAN / Danu, Dede Rohadi, dan Nurhasybi. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 63-76 , 2006 Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) adalah program pemerintah dalam upaya merehabilitasi hutan dan lahan dengan target seluas 3 juta hektar selama kurun waktu 5 tahun (2003-2007). Keberhasilan program ini memerlukan dukungan ketersediaan benih dan bibit yang bermutu dan berasal dari sumber benih bersetifikat dalam jumlah besar. Pada kenyataannya kemampuan produksi benih dari sumber benih yang bersertifikat belum memenuhi kebutuhan. Demikian pula ketersediaan perangkat sistem dalam pengawasan mutu benih, seperti standar pengujian dan mutu benih/bibit. baru tersedia untuk jenis-jenis komersial tertentu. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan penggunaan benih/bibit bermutu dalam program rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia. Di antara upaya-upaya tersebut adalah pemeliharaan sumber-sumber benih, pembangunan kebun benih/bibit, penyusunan standar pengujian dan mutu benih untuk berbagai jenis tanaman yang diperlukan serta peningkatan pengetahuan para praktisi di palangan dalam hal penyediaan, penanggulangan, dan pengawasan mutu benih/bibit. Kata Kunci: Teknologi, benih, Standar, Bibit, GERHAN, Rehabilitasi

menggunakan Faktorial Eksperimen dalam RCBD. Faktor-faktor yang diteliti adalah empat jenis kombinasi media dan tiga dosis pupuk NPK. Tiap kombinasi perlakuan diulang tujuh kali dan tiap ulangan terdiri dari lima bibit. Hasilnya menunjukkan bahwa pertumbuhan dan mutu morfologi bibit eboni yang baik dicapai pada medium top-soil + sabut kelapa = 1 : 1 (v/v) dan top-soil + sabut kelapa sawit = 1 : 1 (v/v). Interaksi antara jenis medium dan dosis pupuk NPK nyata terhadap pertumbuhan diameter batang bibit. Tiga kombinasi perlakuan baik untuk pertumbuhan diameter batang bibit adalah top-soil + sabut kelapa sawit = 1 : 1 (v/v) tanpa pupuk (3,18 mm), top-soil + sabut kelapa = 1 : 1 (v/v) dengan pupuk NPK 0,5 g/bibit (3,10 mm), dan top-soil murni dengan 1,0 g/bibit (3,08 mm). Kata kunci : Eboni (Diospyros celebica Bakh.), bibit, top-soil, sabut kelapa, sabut kelapa sawit, NPK Falah, Faiqotul MODEL PEMANFAATAN PARTISIPATIF KAWASAN PENYANGGA HUTAN LINDUNG DENGAN POLA AGROFORESTRY / Faiqotul Falah...(et.al) . -Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 101-109 , 2006 Mengingat fungsi ekologinya, kawasan penyangga hutan lindung perlu dikelola pemanfaatannya agar mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus menunjang fungsi hutan lindung sebagai penyangga tata air. Pemanfaatan kawasan penyangga hutan lindung seyogyanya dilakukan dengan memberdayakan masyarakat dalam seluruh proses pemanfaatan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi. Peran fasilitator diperlukan sebagai pendamping proses tersebut. Model pemanfaatan kawasan penyangga hutan lindung harus disesuaikan dengan karakter biofisik dan sosial ekonomi setempat sehingga dapat lebih tepat guna dan berkelanjutan. Tulisan ini bertujuan memaparkan proses penyusunan rancangan dan pembangunan model pemanfaatan kawasan penyangga hutan lindung dengan penerapan pola agrofishery yang memadukan budidaya ikan dengan tanaman kehutanan/pertanian dalam satu unit lahan. Pemilihan jenis yang akan dibudidayakan harus mempertimbangkan kemampuan sumberdaya manusia pelaksana, modal finansial yang tersedia, prospek keuntungan ekonomi bagi masyarakat, serta fungsinya dalam menunjang konservasi tata air.

Durahim PENGARUH MEDIA DAN PUPUK NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN MUTU BIBIT EBONI (Diospyros celebica Bakh.) (Effects of Media and NPK Fertilizer to the Growth and Quality of Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Seedling) / Durahim; Hendromono. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 9 - 17 , 2006 Eboni (Diospyros celebica Bakh.) adalah salah satu jenis endemik di Pulau Sulawesi yang termasuk diprioritaskan untuk Hutan Tanaman Industri. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kombinasi media dari tanah mineral dan bahan organik serta dosis pupuk NPK (17:17:17) terhadap pertumbuhan dan mutu morfologi bibit eboni. Penelitian

12

Kata Kunci: Kawasan penyangga, Hutan Lindung, Model pemanfaatan, partisipatif, Konservasi, Tata Air Fatima, Imaculata ARSITEKTUR BIOLOGIS MENUJU EKSPLOITASI HUTAN YANG HARMONIS DI FLORES / Imaculata Fatima. -- Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 97-102 , 2006 Pemanfaatan hutan yang tidak seimbang di Flores disebabkan oleh pandangan masyarakat yang hanya melihat nilai manfaat konsumtif (digunakan langsung sehari-hari tanpa mengolahnya untuk mandapatkan nilai tambah) dan nilai pemanfaatan produktif (langsung dijual ke pasar), tingginya ketergantungan masyarakat Flores terhadap sumberdaya hutan, kualitas sumberdaya manusia sekitar hutan yang relatif rendah, berkurangnya peran lembaga adat, dan kebijakan pemerintah yang kurang melibatkan masyarakat. Kata kunci: Eksploitasi hutan, Harmonis, Arsitektur biologis, Flores

tahun) yang masing-masing dipelihara dalam kandang individu berukuran 160 cm x 120 cm x 100 cm. Penelitian menggunakan percobaan faktorial dengan dua faktor yaitu jenis kelamin dan jenis pakan yang berupa kacang-kacangan dan biji-bijian serta buah-buahan dan sayur-sayuran. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan empat ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah rata-rata konsumsi burung bayan jantan sebesar 205,43 gr/hari (255,13 kalori) dan burung bayan betina 185,93 gr/hari (231,29 kalori). Jenis pakan yang paling banyak dikonsumsi, yang menunjukkan jenis pakan yang paling disukai, adalah pepaya dengan rata-rata konsumsi 54,53 gr/hari (26,54 %) untuk burung jantan dan 48,74 gr/hari (26,21 %) untuk burung betina. Berdasarkan hasil analisis terhadap konsumsi pakan berupa buah-buahan dan sayur-sayuran serta pakan berupa kacang-kacangan dan biji-bijian, diketahui bahwa tingkat konsumsi terhadap tiap jenis pakan tidak berbeda nyata antara burung bayan jantan dan betina. Kata kunci: Bayan, Eclectus roratus cornelia Bonaparte, konsumsi, palatabilitas dan penangkaran

Garsetiasih, R. KONSUMSI DAN PALATABILITAS PAKAN BURUNG BAYAN SUMBA (Electus roratus cornelia Bonaparte) DI PENANGKARAN (Consumption and Feed Palatability of Bayan Bird, Electus roratus cornelia Bonaparte, in Captive Breeding)/ R. Garsetiasih; Mariana Takandjandji. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 75 - 82 , 2006 Burung bayan (Eclectus roratus cornelia Bonaparte) merupakan jenis burung endemik Pulau Sumba dengan status dilindungi karena populasinya yang terus menurun. Dalam mengantisipasi kepunahan populasi perlu dilakukan penangkaran jenis burung bayan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tingkat konsumsi dan palatabilitas pakan burung bayan. Penelitian ini dilakukan di penangkaran Oilsonbai, Kupang, Nusa Tenggara Timur pada bulan September 1999 sampai Januari 2000. Penelitian menggunakan 8 individu burung terdiri dari 4 individu betina dan 4 individu jantan umur produktif (lebih dari 1

Gunaja, I Made KEBUTUHAN DUKUNGAN IPTEK DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI BALI / I Made Gunaja. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 63-69 , 2006 Luas kawasan hutan di Provinsi Bali sekitar 23 persen, masih di bawah luasan minimal 30 persen. Permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di daerah ini adalah illegal logging, perambahan, pendudukan kawasan hutan, peredaran ilegal hasil hutan (illegal trading), dan kebutuhan bahan baku yang tinggi, sehingga mengakibatkan degradasi hutan yang semakin meningkat. Untuk mengatasi permasalahan ini maka program pembangunan kehutanan di Provinsi Bali diprioritaskan pada rehabilitasi dan perlindungan hutan serta pengembangan hasil hutan bukan kayu yang melibatkan masyarakat sekitar hutan.Untuk menopang keberhasilan programprogram yang dilakukan, maka dukungan iptek terapan yang praktis dan dengan biaya murah sangat diperlukan. Adapun faktor-faktor pendukung utama untuk pembangunan kehutanan di Provinsi Bali adalah: Potensi sosial budaya

13

masyarakat, makin tingginya partisipasi masyarakat dan komitmen pemerintah untuk memperbaiki hutan dan lingkungan dalam rangka menopang tujuan utama daerah wisata di Bali Kata kunci: Pembangunan kehutanan, IPTEK, Program, Pengelolaan, Sumberdaya hutan Harisetijono PENGEMBANGAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI P. LOMBOK : STUDI KASUS PEMBANGUNAN MODEL HUTAN KEMASYARAKATAN DI KABUPATEN LOMBOK BARAT DAN LOMBOK TENGAH / Harisetijono...(et.al) . -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 111-125 , 2006 Social Forestry merupakan salah satu kebijakan Departemen Kehutanan. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Model Social Forestry bersifat spesifik lokal yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga kebutuhan masyarakat dan kondisi pedo-klimat wilayah merupakan dua aspek yang penting. Hutan kemasyarakatan merupakan salah satu bentuk pengembangan program Social Forestry. Walaupun payung hukum pengembangan hutan kemasyarakatan belum mantap, pengalaman pengembangan hutan kemasyarakatn di Privinsi Nusa Tenggara Barat merupakan hal penting untuk bahan pengkajian. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi tipe dan model hutan kemasyarakatan yang sesuai dengan keberhasilan pengembangannya. Hasil kajian menunjukan bahwa pengembangan hutan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi wilayah Nusa Tenggara Barat, dan mengungkapkan permasalahan dan keberhasilan pengembangannya. Hasil kajian menunjukan bahwa pengembangan hutan kemasyarakatan masih menerapkan prinsip-prinsip Agroforestry Tradisional. Pemilihan jenis tanaman belum sepenuhnya berorientasi pada pasar karena keterbatasan kemampuan teknis dan informasi pasar. Demikian pula, perencanaan bersama mekanisme penyelesaian konflik belum berkembang dengan baik. Berdasarkan model yang berkembang, penanaman dengan menggunakan jalur ganda berseling antara tanaman penghasil kayu dan buah merupakan model yang baik untuk dikembangkan. Perbandingan jenis penghasil kayu dan buah dengan perbandingan 70:30 mampu memberikan pendapatan petani sebesar Rp. 1.683.750,- per petani per 0,25 hektar. Nilai

hasil tanaman tumpangsari dari yang tertinggi sampai dengan terendah secara berurutan adalah pisang, talas, padi, jagung, cabai, dan ubi kayu, dengan kisaran nilai Rp. 305.000,- sampai dengan Rp. 1.024.000,- per hektar. Kata Kunci: Hutan kemasyarakatan, Social forestry, Lombok Barat, Lombok Tengah

Harun, Marinus Kristiadi ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN FISIK SISTEM AGROFORESTRY KHAS LAHAN GAMBUT TIPIS DI DESA SEI PANTAI KABUPATEN BARITO KUALA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN / Marinus Kristiadi Harun. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 209-224 , 2006 Development of agriculture in a peat swamp land should be environmentally sound and ensures the sustainability of production. Agroforestry application in a peat swamp land is able to maintaining high system stability and has a lower risk in land degradation. Agroforestry application in a peat swamp land could be carried out either on agricultural or on forest lands. Agroforestry application in forest area is intended mainly for providing apportunity of landless farmer to cultivate land and also for the objective of establishing forest crops with the best way and cheapest cost. The main objective of application agroforestryin agricultural land is for conserving soil and water, which in the long run is expected to increase land productivity and improving farmer's income. The objective of this research is to analysis social, economic and physic aspect of agroforestry system which have been developed by farmer in Sei Pantai Village, Subdistrict Rantau Badauh, regency Barito Kuala, South Kalimantan Province and suggest to be a basic knowledge and one of way to rehabilitate the forest and land degradation. The result of this study showed that agroforestry system developed by local farmer is: (a). alley cropping with the tongkongan technique; (b). alley cropping with the tongkongan and galengan technique; (c). alley cropping with the surjan technique and (d). Multiple Cropping with the guludan technique. Agroforestry system able to contribued equal to 33,18 percent from total farmer's income. Agroforestry system able to give income equal to 2.766.040 rupiahs per year or 230.503 rupiahs per month.

14

Kata kunci:

Agroforestry, Sosial ekonomi, Lingkungan, lahan gambut, Sei Pantai, Barito Kuala, Kalimantan Selatan

Halidah PERTUMBUHAN BEBERAPA JENIS TANAMAN TERINFEKSI MIKORIZA PADA LAHAN KRITIS DI SPUC MALILI (The Growth of Several Species Infected Mikorizae on Critical Land at Malili Research Station)/ Halidah; Saprudin. -- Info Hutan : Vol.III, No.2 ; Halaman 75 - 83 , 2006 Upaya rehabilitasi lahan kritis telah banyak dilakukan, namun belum memperlihatkan hasil yang diharapkan. Perkembangan iptek sekarang ini telah menjanjikan suatu pendekatan teknologi terutama yang berkaitan dengan penggunaan mikoriza yang berperan dalam proses pertumbuhan tanaman. Dengan melihat permasalahan dalam penanggulangan lahan kritis, maka perlu dikaji kemampuan mikoriza bersimbiose dengan berbagai jenis tanaman yang dapat digunakan dalam rehabilitasi lahan. Tujuan penelitian ini menemukan teknologi rehabilitasi lahan kritis dengan memanfaatkan mikroorganisme yang mampu bersimbiose dengan tanaman serta dapat meningkatkan daya hidup dan pertumbuhannya pada lahan kritis. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat perlakuan yaitu mikoriza; pupuk cepat larut; mikoriza + pupuk cepat larut; serta tanpa mikoriza dan pupuk (kontrol) yang diujikan pada tiga jenis tanaman yaitu bitti, sengon, dan damar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemberian mikoriza di lapangan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan sengon dan damar, tetapi tidak pada tanaman bitti. Kata kunci : Pertumbuhan, jenis, infeksi, mikoriza, lahan kritis

Anwar; Maryatul Qiptiyah. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.4 ; Halaman 367 - 377 , 2006

(Litter Productin and Decomposition Rate, Morphoedaphic, and Ground Water Salinity of Three Species Mangroves)/ Halidah; Chairil

Halidah PRODUKSI DAN LAJU PELAPUKAN SERASAH, MORPHOEDAFIK, DAN SALINITAS AIR TANAH DARATAN PADA TIGA JENIS MANGROVE

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang produksi dan laju pelapukan serasah, substrat, sifat kimia, dan biologi tanah, serta salinitas air tanah daratan pada berbagai jenis tegakan mangrove. Tiga jenis tegakan mangrove yang diamati adalah Sonneratia alba J. Smith., Rhizophora Hasil penelitian mucronata Lamk., dan Avicennia marina (Forsk.)Vierh. menunjukkan bahwa produksi dan laju pelapukan serasah masing-masing tegakan adalah 27,51 ton/ha/th dan 28,93 %/bl (S. alba); 15,40 ton/ha/th dan 28,05 %/bl (R. mucronata); serta 8,96 ton/ha/th dan 26,20 %/bl (A. marina). Substrat pada tegakan R. mucronata didominasi oleh partikel debu pada kedalaman (0-20) cm dan pasir pada kedalaman (20-40) cm. Pada tegakan A. marina didominasi oleh partikel debu, sedangkan pada tegakan S. alba oleh partikel pasir. Kemasaman atau pH pada semua tegakan netral, BO rendah kecuali pada tegakan R. mucronata. DHL, salinitas, KTK umumnya tinggi. Demikian juga unsur hara fosfor dan kalium, tinggi kecuali nitrogen. Sedangkan kation-kation yang dapat tukar juga umumnya tinggi. Fauna tanah yang ditemukan mempunyai nilai indeks keragaman dan indeks dominansi yang berbeda pada setiap tegakan. Indek keragaman dan indek dominansi untuk A. marina adalah 2,023 dan 0,159; S. alba (1,632 dan 0,330); sedangkan R. mucronata (0,926 dan 0,500). Kualitas salinitas air tanah daratan cenderung semakin membaik dengan adanya bentangan mangrove di sepanjang pantai. Kata kunci: Morphoedafik, mangrove, salinitas, produksi dan laju pelapukan serasah

15

Harahap, Rusli M.S EKOLOGI HUTAN TANAMAN Acacia crassicarpa A.Cunn.ex Benth. DAN Acacia mangium Willd. DI PADANGLAWAS, SUMATERA UTARA (Plantation Forest Ecology of Acacia crassicarpa A.Cunn.ex Benth. and Acacia mangium Willd. in Padanglawas, North Sumatra) / Rusli M.S.Harahap, Illa Anggraeni, dan Titi Kalima. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 261-268 , 2006 Penanaman akasia di Padanglawas dimulai dalam rangka pembangunan hutan tanaman secara swakelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara. Hutan Tanaman seluas 38.675 ha merupakan bagian dari DAS Barumun dan Rokan. Selain jenis akasia, juga ditanam mahoni, sengon, ekaliptus, dan tampaknya ekaliptus dan akasia tumbuh dengan baik atau dapat beraklimatisasi. Kebakaran yang terjadi hampir tiap tahun di berbagai lokasi lahan hutan tanaman menunjukkan bahwa jenis akasia dan ekaliptus menghasilkan permudaan yang cukup potensial untuk pengembangannya. Di Sialiali, tercatat rataan permudaan Acacia crassicarpa A.Cunn.ex Benth. dan Acacia mangium Willd. masing-masing 13.500 dan 5.600 anakan per hektar setelah tiga tahun terbakar. Rataan diameter untuk A. crassicarpa A.Cunn.ex Benth. adalah 2,1 cm dengan selang 0,4-9,8 cm menunjukkan pertumbuhannya sangat dipengaruhi kesuburan tanah dan perlu diamati lebih lanjut. Disarankan menanam akasia tersebut di lahan kritis Padanglawas terutama di punggungpunggung bukit dan sebagai pohon perindang jalan dengan harapan kelak menyebar secara alami dan meningkatkan kesuburan tanah, dengan kegunaan untuk kayu bakar, pulp, bahan bangunan, dan meningkatkan fungsi DAS Baruman dan Rokan. Kata kunci :

Hendalastuti, Henti SISTEM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI RAMIN DI HUTAN PRODUKSI (Management and Conservation System of Ramin in Production Forest) / Henti Hendalastuti; Asep Hidayat. -- Info Hutan : Vol.III, No.2 ; Halaman 85 - 94 , 2006 Jenis ramin (Gonystylus sp.) merupakan kayu bernilai komersial tinggi pada perdagangan internasional dengan harga yang bisa mencapai US$ 1.000 untuk setiap meter kubiknya. Meskipun jenis kayu ramin telah terdaftar dalam Appendix III Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) sejak Agustus 2001, namun hal tersebut tidak menjamin penurunan tingkat kelangkaan ramin di Indonesia karena mekanisme tersebut tidak berjalan dengan baik. Persetujuan ramin untuk masuk ke dalam Appendix II CITES yang berlaku sejak 15 Januari 2005 merupakan perubahan yang menjadi harapan baru dalam mengontrol mekanisme produksi dan perdagangannya. Perhatian terhadap mekanisme produksi, peredaran, dan budidaya pada unit manajemen merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menjamin kelestarian ramin pada masa-masa yang akan datang. Kata kunci : Ramin, Gonystylus sp., CITES, kelestarian, mekanisme produksi Hendalastuti R, Henti PENGARUH NAUNGAN DAN PUPUK KANDANG TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA JUMLAH DAN MUTU DAUN NILAM, Pogostemon cablin Benth (Effects of Shading and Manure Application Pogostemon cablin Benth./ Henti Hendalastuti R.; Asep Hidayat; Kosasih. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.2 ; Halaman 137 - 146 , 2006 Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan pada sektor kehutanan karena berpotensi sebagai tanaman bawah pada sistem penanaman tumpangsari dengan jenis tanaman keras lainnya. Namun demikian, tanaman nilam pada umumnya dibudidayakan secara monokultur pada lahan terbuka tanpa perlakuan yang memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intensitas naungan dan pemberian pupuk kandang terhadap pertumbuhan tanaman nilam dan rendemen minyak dari daun yang dihasilkan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri dari 4 perlakuan yang mengkombinasikan dua

on the Plant growth and the Leaf Quantity and Quality of the Nilam,

Acacia crassicarpa A.Cunn.ex Benth., Acacia mangium Willd.,


permudaan alam, lahan kritis, Padanglawas

16

faktor yaitu intensitas naungan (0 % dan 34,35 %) dan pupuk kandang (0 g dan 500 g/tanaman). Setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan. Perlakuan pemberian naungan (34,35 %) dan pemupukan 500g/lubang tanam telah terbukti secara nyata memberikan hasil peningkatan tinggi tanaman sebesar 116,58 %, berat basah daun 203,815 %, dan berat kering daun 126 %. Rendemen minyak cenderung meningkat dalam daun pada tanaman yang diberi naungan dan/atau pupuk kandang. Kata kunci : Nilam, Pogostemon cablin Benth., naungan, pupuk kandang, rendemen minyak Hendalastuti R, Henti TEKNIK PENGEPAKAN BIBIT ROTAN DAN BEBERAPA JENIS MPTS UNTUK PENGANGKUTAN JARAK JAUH (Packaging Technique of Rattan and Multi Purpose Tree Species Seedlings for Long Transportation) / Henti Hendalastuti R., Asep Hidayat; dan Dodi Frianto. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 201-212 , 2006 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui metode penyiapan bibit dan teknik pengepakan untuk memperkecil tingkat kerusakan bibit dalam pengangkutan jarak jauh sehingga menghasilkan bibit yang berdaya hidup tinggi dengan biaya murah. Rotan, alpukat, kemiri, dan jengkol selama 60 jam perjalanan dengan modifikasi box plastic dilapisi styrofoam tanpa perlakuan pada perakaran bibit memberikan daya hidup bibit yang tinggi dengan biaya paling murah. Pengangkutan bibit kemiri dan jengkol sampai 120 jam perjalanan memerlukan balutan campuran sabut kelapa dan arang pada perakaran bibit. Dalam hal ini, bibit rotan dan alpukat tidak memerlukan perlakuan sebagaimana bibit kemiri dan jengkol. Kata kunci : Bibit rotan, teknik pengepakan, pengangkutan jarak jauh

Herdiana, Nanang KERAGAMAN JENIS ANGGREK EPIFIT DI BLOK IRENG-IRENG TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU (Diversity of Epiphyte Orchid

Species in Block of Ireng-Ireng Bromo Tengger Semeru National Park)


/ Nanang Herdiana. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.5 ; Halaman 575 - 583 , 2006

Anggrek merupakan salah satu jenis flora penting yang tumbuh di kawasan Taman Nasional (TN) Bromo Tengger Semeru, khususnya Blok Ireng-Ireng. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi tentang potensi anggrek epifit dalam upaya pelestariannya di TN Bromo Tengger Semeru. Metode yang dilakuan dengan cara mengamati semua anggrek epifit pada petak-petak contoh yang ditempatkan berdasarkan sistem jalur. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 17 genus dan 40 spesies anggrek epifit dengan jenis yang paling dominan adalah jenis Caelogyne speciosa Blume Lindl., Caelogyne speciosa var nn Blume Lindl., dan Pholidota ventricosa Blume Lindl. Jenis yang termasuk ke dalam anggrek endemik Jawa Timur yaitu Bulbophyllum mirun J.J. Sm, Caelogyne flexuosa Rolfe, Dendrobium jacobsonii Blume, Eria verruculosa J.J. Sm., Microsaccus alfinis J.J. Sm, Pholidota canelostalix Rchb.f, Jenis anggrek yang langka, yaitu Maleolla dan Schoenorchis juncifoilia. baliensis J.J. Sm dan Trixpermum malayanum J.J. Sm. Sedangkan jenis yang masuk kategori genting adalah jenis Agrostophyllum laxum J.J. Sm. dan Eria verrucullosa J.J. Sm. Kata kunci : Anggrek epifit, inventarisasi, plasma nutfah Herdiana, Nanang PENANGANAN BENIH TANAMAN HUTAN / Nanang Herdiana. -Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 137-144 , 2006 Mutu Benih merupakan hasil penampakan dari mutu genetik, fisik, dan fisiologis, ketiga mutu ini dapat ditingkatkan dengan tingkat kesulitan yang berbeda.Penilaian untuk mengetahui mutu genetik salah satunya adalah dengan mengetahui sumber benih yang digunakan. Sedangkan untuk penilaian mutu fisik dan fisiologis dapat diketahui melalui penanganan dan pengujian benih. Seluruh aspek tersebut merupakan bagian dari sistem pengadaan benih

17

bermutu, yang merupakan pencerminan kinerja dari suatu proses pengadaan benih, yaitu dimulai dari sumber benih, prosesing benih, pengujian benih hingga ke penyimpanan. Kata Kunci: Mutu Benih, Tanaman Hutan Heriyanto, N.M POTENSI JENIS KONYAL (Passiflora edulis Sims.) SEBAGAI JENIS INVASIF DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT (Potency of Konyal (Passiflora edulis Sims.) as an Invasive Species in The Gunung Gede Pangrango National Park, Cianjur District, West Java) / N. M. Heriyanto dan Reny Sawitri. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 251-260 , 2006 Penelitian potensi jenis konyal (Passiflora edulis Sims.) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dilakukan pada bulan Oktober 2002. Satuan contoh berbentuk jalur sepanjang 1.000 m, lebar 20 m dan di dalam tiga jalur dibuat petak-petak untuk pengukuran dimensi ekologi pohon, belta, dan semai yang berasosiasi dengan konyal yang dibuat memotong garis ketinggian dan kontur. Jenis pohon yang dirambati konyal sebanyak 38 jenis dengan kerapatan 114 tanaman konyal/ha. Jenis-jenis yang berasosiasi kuat dengan konyal yaitu Castanopsis argentea A.DC. (saninten) yang ditunjukkan oleh indeks asosiasi sebesar 0,52; kemudian diikuti oleh jenis Villebrunea rubescens Bl./nangsi (0,48); Altingia excelsa Noronha/rasamala (0,46); dan Schima walichii Korth./puspa (0,41). Tujuh jenis pohon berasosiasi dengan konyal (INP> 10 %) dan yang mendominasi tegakan yaitu : Castanopsis argentea A.DC. (saninten), Altingia excelsa Noronha (rasamala), Schima walichii Korth. (puspa), Quercus teysmanii Bl. (pasang), Q. induta Bl. (pasang bodas), Sloanea sigun L. (beleketebe), dan Ostodes paniculata Benth. (muncang cina). Tingkat belta jenis tersebut tidak termasuk dominan (INP < 10 %). Pengelolaan konyal sebagai jenis asing yang menginvasi di kawasan taman nasional dilakukan dengan pemberantasan secara manual oleh masyarakat lokal. Kata kunci : Konyal, Passiflora edulis Sims., potensi, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Heriyanto, N.M. KEANEKARAGAMAN JENIS POHON YNG BERPOTENSI OBAT DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR (Studies on Diversity of Trees Potential for Medicine at Meru Betiri National Park, East Java) / N.M. Heriyanto. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 55 - 64 , 2006 Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang keragaman jenis pohon yang berpotensi sebagai obat. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode pengukuran jalur berpetak dengan lebar jalur 20 m dan panjang jalur 1.000 m yang diletakkan memotong lereng, jumlah jalur pengamatan 3 jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pohon tumbuhan obat yang dijumpai di Taman Nasional Meru Betiri berjumlah 28 jenis, di antaranya yaitu besule (Chydenanthus excelsus Miers.) dengan kerapatan 15,5 pohon per hektar, jabon (Anthocephallus cadamba Miq.) dengan kerapatan 12,3 pohon per hektar, dan wining (Pterocybium javanicum R. Br.) dengan kerapatan 10 pohon per hektar. Indeks keanekaragaman jenis pohon tumbuhan obat tertinggi dimiliki oleh besule (Chydenanthus excelsus Miers.) dengan nilai keanekaragaman sebesar 0,10 kemudian disusul oleh jenis jabon (Anthocephallus cadamba Miq.) nilai keanekaragaman jenis 0,08, dan wining (Pterocybium javanicum R. Br.) nilai keanekaragaman jenis 0,07. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat yaitu daun, buah, biji, batang, kulit batang, kulit buah, kecambah biji, akar, dan getah. Sedangkan tumbuhan yang paling banyak digunakan yaitu bagian kulit batang (10 jenis), bagian biji (8 jenis), dan bagian daun (6 jenis). Jenis penyakit yang dapat diobati atau dicegah yaitu penyakit kewanitaan, demam, batuk, malaria, dan sakit perut. Kata Kunci : Jenis pohon, tumbuhan obat, Taman Nasional Meru Betiri

18

Resources by Local community in Meru Betiri National Park, East Java) / N.M. Heriyanto; R. Garsetiasih; Endro Subiandono. -- Jurnal
Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.3 ; Halaman 297 308 , 2006

Heriyanto, N.M. PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT LOKAL DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR (Utilization of Forest

Iriansyah, Maming PEMETAAN KEPEKAAN TAPAK HUTAN UNTUK PERENCANAAN PEMBALAKAN RAMAH LINGKUNGAN / Maming Iriansyah. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 271-285 , 2006 Klasifikasi kepekaan tapak hutan adalah merupakan salah satu komponen dalam perencanaan pembalakan. Prosedur dan strategi pemetaan dan penerapannya dengan menggunakan system informasi geografis (SIG) diuraikan dalam tulisan ini.Kesemua hal tersebut dimaksudkan adalah untuk melengkapi perencanaan pembalakan yang ramah lingkungan agar produktivitas hutan dan ekosistemnya dapat lestari. Kata kunci: Tapak hutan, Pemetaan, Perencanaan, Pembalakan, Ramah lingkungan Junaidi, Edy METODE PENENTUAN NILAI EROSI YANG DIPERBOLEHKAN PADA PENGELOLAAN DAS (Method in Determinating Tolerable Erosion Value in a Watershed Management) / Edy Junaidi. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 187 - 200, 2006 Pengelolaan lahan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan DAS, sehingga dalam pengelolaannya harus dilakukan secara bijaksana, agar tidak mengganggu sumberdaya lain dalam DAS. Kegiatan pengelolaan lahan harus dilakukan secara sinergis dan simultan mulai dari perencanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Sasaran utama dalam pengelolaan lahan untuk meningkatkan atau memperbaiki kondisi lahan, sehingga tingkat produktivitas meningkat, bersamaan dengan itu dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut berupa erosi dan sedimentasi di daerah hilirnya dapat diperkecil. Kenyataannya tidaklah mungkin menekan dampak yang disebabkan oleh kegiatan pengelolaan lahan menjadi nol, akan tetapi mungkin untuk mempertahankan keadaan lahan tetap produktif dan dampak luaran kegiatan berupa erosi-sedimentasi yang terjadi tidak mengganggu proses yang berjalan dalam DAS. Oleh karena itu diperlukan metode penentuan nilai erosi yang diperbolehkan pada setiap kegiatan

Penelitian pola pengelolaan partisipatif antara masyarakat dengan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dilakukan di tiga desa yaitu Desa Andongrejo, Desa Curahnongko, dan Desa Wonoasri. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi tentang besarnya pemanfaatan hutan terutama kayu oleh masyarakat sekitar TNMB dan informasi mengenai jasa hutan yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Untuk mendapatkan data primer dilakukan wawancara dengan penarikan contoh terhadap tiga angkatan kerja pada masyarakat di tiga desa sekitar taman nasional, dengan jumlah responden masing-masing desa sebanyak 40 orang (total 120 responden). Selain itu, dikumpulkan data sekunder dari berbagai laporan dan literatur. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa interaksi yang terjadi antara masyarakat desa Andongrejo, desa Curahnongko, dan desa Wonoasri dengan kawasan TNMB antara lain berbentuk pemanfaatan kayu untuk kayu bakar, bahan bangunan perumahan dan peralatan rumah tangga, serta pemanfaatan tumbuhan obat. Jenis hasil hutan yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu kayu bakar untuk memasak. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNMB pada umumnya baru pada taraf pengetahuan fungsi dari taman nasional dan cara melestarikannya. Dari hasil penelitian yang diadakan di tiga desa, Desa Andongrejo memiliki persepsi yang paling tinggi yaitu sebesar 77,5 %, diikuti Desa Curahnongko 70 %, dan Desa Wonoasri sebesar 65 %. Kata kunci : Interaksi, kayu, Taman Nasional Meru Betiri, masyarakat setempat

19

pengelolaan lahan. Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk menentukan nilai erosi yang diperbolehkan, yaitu : (1) Metode Thompson (1957); (2) Metode Hammer (1981); dan (3) Metode Wood dan Dent (1983). Metode Wood dan Dent paling ideal digunakan untuk penentuan erosi yang diperbolehkan dalam pengelolaan DAS. Kata kunci : Pengelolaan DAS, pengelolaan lahan, erosi yang diperbolehkan Kaho, L Michael Riwu TEKNOLOGI PERLINDUNGAN HUTAN DARI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN / L Michael Riwu Kaho. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 85-91 , 2006 Kebakaran merupakan salah satu penyebab gangguan terhadap hutan yang memerlukan pengendalian. Kebakaran di wilayah propinsi Nusa tenggara Timur(NTT) adalah masalah serius yang terjadi secara berulang setiap tahun dan diyakini sebagai salah satu sebab deforestasi. Penyebab utama kebakaran di NTT adalah kondisi iklim yang kering (arida), vegetasi yang didominasi oleh semak belukar dan savana padang rumput, serta kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang mendukung terjadinya kebakaran lahan dan hutan. Pengendalian dan pencegahan kebakaran dapat dilakukan melalui; 1) pendekatan cuaca kebakaran, 2) pendekatan silvikultur, 3) pendekatan sosial ekonomi dan budaya, 4) pendekatan hukum dan kelembagaan. Pemadaman dan penanggulangan kebakaran selain dengan penerapan teknologi, dapat dilakukan dengan pengembangan peningkatan komunikasi, tukar menukar informasi, penyuluhan serta penataan organisasi penanggulangan dan perencanaan pengendalian kebakaran. Kata kunci: Perlindungan hutan, Kebakaran, lahan, Pendekatan, Lahan

Kayat DAMPAK EKOWISATA TERHADAP EROSI TANAH DI JALUR PENDAKIAN MENUJU DANAU SEGARA ANAKAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI DI PULAU LOMBOK / Kayat dan Tigor Butar-Butar. -Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 183-189 , 2006 Dampak positif wisata alam di bidang ekonomi disertai oleh dampak negatif pada kawasan. Monitoring terhadap dampak ini diperlukan dalam rangka pengendalian dampak negatif. Salah satu penyebab dampak negatif penting adalah ditimbulkan oleh perilaku pengunjung. Dampak negatif langsung wisata alam terhadap lingkungan antara lain: (1) Geologi, mineral, dan fosil (pendakian, penelusuran gua, koleksi souvenir); (2) Erosi, pemadatan tanah, fragmentasi,(pembangunan fasilitas, pengunjung berlebihan)(Wiranto dalam Fandell C. dan Mukhlison, 2000).Tujuan dan sasaran penelitian ini adalah mengetahui dampak kegiatan ekowisata Taman Nasional Gunung Rinjani terhadap kondisi tanah pada jalur pendakian menuju Danau Segara Anakan melalui pintu masuk Senaru. Untuk mengetahui data dan informasi dampak kegiatan ekowisata Taman Nasional Gunung Rinjani terhadap erosi pada jalur pendakian menuju Danau Segara Anakan, dilakukan pengambilan sampel/contoh tanah pada 10 titik pengamatan. Lima sampel/contoh pada jalur pendakian dan lima sampel/contoh di luar jalur pendakian. Selanjutnya sampel/contoh tanah dianalisis di laboratorium tanah, hasil dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan terjadinya perubahan tekstur tanah dengan menurunnya fraksi liat pada jalur pendakian dan erodibilitas pada jalur pendakian lebih tinggi dibandingkan dengan di luar jalur pendakian. Tindakan pencegahan erosi yang dapat digunakan adalah dengan metode vegetatif. Kata Kunci: Ekowisata, Erosi tanah, Segara Anakan, Taman Nasional, Gunung Rinjani, Lombok Kayat MANFAAT EKONOMIS EKOWISATA TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI DI PULAU LOMBOK / Kayat dan I Made Widnyana. -Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 191-205 , 2006 Sektor pariwisata sebagian besar kegiatannya berada dalam lingkungan ekologi hutan, pemberian dampak positif terhadap kegiatan wisata pada khususnya dan perekonomian daerah pada umumnya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui

20

manfaat ekonomis kegiatan ekowisata Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), melalui kajian nilai ekonomi dari kegiatan ekowisata pada obyek-obyek yang sudah dikelola. Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik survey melalui wawancara, pengamatan, dan perhitungan langsung nilai ekonomi yang dihasilkan para pelaku dan kegiatannya. Data dianalisis secara semi kuantitatif dan deskriptif. Kesimpulan di tarik berdasarkan nilai proporsi dan kualitas amatan. Total nilai manfaat ekonomi ekowisata Taman Nasional Gunung Rinjani dari obyek-obyek yang sudah dikelola adalah Rp. 3.067.851.250,-. Obyek wisata trekking memberikan nilai manfaat ekonomi yang dominan, yaitu Rp. 2.080.996.250,- (67,83 persen). Para pihak yang mendapatkan manfaat ekonomis dari ekowisata TNGR adalah: pengelola atau pemerintah (melalui Balai Taman Nasional Gunung Rinjani), Rinjani Trekking Centre (RTC) dan Rinjani Information Centre (RIC),Trekking Organizer (TO), guide, porter, pengelola penginapan/homestay, restoran, penginapan dan kios/warung, menandakan adanya potensi positif ekowisata bagi pengembangan perekonomian masyarakat dan daerah, dan insentif bagi partisipasi masyarakat untuk pemantapan pengelolaan TNGR. Manfaat ekonomi ini masih mungkin ditingkatkan melalui pemantapan kelembagaan, peningkatan sarana-prasarana, serta promosi terutama obyek-obyek yang belum berkembang. Kata Kunci: Ekowisata, Taman Nasional, Gunung Rinjani Kayat DAMPAK EKOWISATA TERHADAP KONDISI BIOFISIK KAWASAN DAN SOSEKBUD MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL KOMODO/ Kayat. -- Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 31-41 , 2006 Untuk menunjang kegiatan wisata alam di Taman Nasional (TN) Komodo, pihak pengelola melakukan pengembangan obyek wisata alam. Pengembangan ini setidaknya akan menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, sehingga perlu dilakukan kajian pengembangan obyek wisata tersebut. hasil penelitian yang diperoleh adalah (1) Kegiatan ekowisata di Loh Liang dan Loh Buaya antara lain pengamatan satwa liar, pendakian dan penjelajahan, photo hunting dan video shooting, menyelam dan snorkling, dan atraksi budaya tradisional; (2) Untuk meningkatkan minat pengunjung datang ke lokasi ekowisata, salah satu yang dilakukan oleh pengelola adalah

pembangunan sarana prasarana pendukung; (3) kondisi sosekbud masyarakat di Desa Komodo dan Desa Pasir Panjang, sebagian besar nelayan. Di Desa Komodo ada perubahan mata pencaharian dari nelayan ke pengrajin/penjual souvenir komodo; (4) Pihak yang merasakan manfaat ekonomis dari kegiatan ekowisata adalah pihak pengelola (TN Komodo), Pemda setempat (Kabupaten dan Provinsi), pemilik hotel, pemilik restoran, penyewaan boat, perusahaan dive, guide, perusahaan penerbangan, pedagang souvenir, kios/warung, angkutan, agen travel, dan money changer; (5) Dampak ekologis dari ekowisata berupa perubahan perilaku terhadap beberapa jenis satwa liar seperti komodo, rua, dan babi hutan, serta adanya ekspansi jenis kaktus. Kata kunci: Taman Nasional Komodo, Ekowisata, Pengembangan, Dampak, Sosekbud masyarakat

Koeslulat, Ermi E PELUANG PENGEMBANGAN LEBAH HUTAN MELALUI BUDIDAYA SISTEM KEREK / Ermi E Koeslulat. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 41-45 , 2006 Madu lebah hutan merupakan salah satu produk hasil hutan non kayu andalan di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Pulau Timor. Selama ini usaha untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas madu hutan belum dilakukan secara serius. Salah satu usaha peningkatan produktivitas adalah dengan melakukan uji coba teknis budidaya lebah hutan dengan sistem kerek di mana prinsipnya menyediakan tempat bersarang dengan kayu yang dapat dinaik-turunkan. Maksud diterapkannya teknik ini adalah agar dapat dilakukan panen sunat sehingga intensitas pemanenan dapat ditingkatkan. Meskipun hasil yang diperoleh belum menggembirakan namun berdasarkan pengalaman pemanenan diperoleh keuntungan lain seperti panen dilakukan pada siang hari dan terbuka bagi setiap orang karena tidak diperlukan keahlian memanjat. Walaupun hal tersebut bukan permasalahan pokok bagi masyarakat, namun hal ini dapat memberikan pengalaman berharga bagi masyarakat. Terlepas dari kelemahan teknik ini, penerapan sistem kerek ini memiliki peluang untuk dikembangkan mengingat adanya faktor-faktor yang mendukung seperti masih terdapatnya pohon lebah tinggi, minat masyarakat yang cukup besar, kemudahan pemeliharaan, pasaran madu yang selalu terbuka, dan sebagainya. Kata kunci: Lebah hutan, Lebah, Peluang, Sistem kerek, Budidaya

21

Komala KERAGAMAN PENOTIPA Agathis borneensis Warb. ASAL SIPAGIMBAR DI AEK NAULI SUMATERA UTARA (Phenotypic Variation of Agathis borneensis Warb. of Sipagimbar at Aek Nauli North Sumatera / Komala; Aswandi; Rusli M.S Harahap; dan Edi Kuwato. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 213-217 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi penotipa Agathis borneensis Warb. asal Sipagimbar yang ditanam di arboretum Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera di Aek Nauli. Keragaman penotipa yang diamati adalah tinggi total, diameter batang dan cabang, sudut cabang, panjang internoda, lebar tajuk, panjang dan lebar daun dari dua warna pucuk agathis yang telah berumur 7 tahun. Sumber benih berasal dari tegakan alami agathis di Sipagimbar, Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Analisis ragam terhadap sepuluh sampel dari masing-masing warna pucuk (hijau dan cokelat kemerahan) mengindikasikan terdapat perbedaan dalam ukuran tinggi total, diameter dan sudut cabang, jarak internoda, dan lebar tajuk. Sedangkan diameter batang dan lebar daun tidak berbeda antar kedua warna pucuk. Diduga terdapat dua jenis populasi alami agathis di Sipagimbar. Penelitian anatomi dan karakteristik kayu sebaiknya dilakukan apabila dua populasi tersebut mengindikasikan spesies atau varietas yang berbeda dan disarankan penanaman agathis secara in-situ di Sipagimbar. Kata kunci : Agathis borneensis Warb., keragaman penotipa, konservasi Kosasih, A.Syafari PENGARUH MEDIUM SAPIH TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT Shorea selanica BI DI PERSEMAIAN (The effect of Growing Medium to the Growth of Shorea selanica BI. Seedling at Nursery/ A. Syafari Kosasih; Yetti Heryati. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.2 ; Halaman 147 - 155 , 2006 Medium sapih adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk memperoleh bibit yang berkualitas dalam waktu singkat. Oleh karena itu dalam mempersiapkan medium sapih perlu diperhatikan unsur hara yang tersedia dalam medium tersebut sehingga pertumbuhan bibit dapat berlangsung dengan optimal. Penelitian dilakukan di persemaian Hutan Penelitian Carita, Provinsi Banten dengan metode rancangan acak lengkap dengan tujuh perlakuan

medium. Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan, setiap ulangan terdiri dari 50 bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaaan medium sapih campuran tanah dan kompos dengan volume 4 : 1 memberikan respon yang terbaik pada persen jadi, pertumbuhan tinggi, dan diameter bibit Shorea selanica Bl. sampai umur enam bulan di persemaian. Kata kunci : Medium sapih, Shorea selanica Bl., pertumbuhan bibit Kuntadi TEKNOLOGI PENGELOLAAN LEBAH HUTAN Apis dorsata / Kuntadi. -Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 49-55 , 2006 Lebah hutan Apis dorsata adalah salah satu jenis lebah madu yang penyebarannya meliputi sebagian besar wilayah Indonesia. Meskipun lebah madu ini tergolong jenis liar yang tidak dapat dibudidayakan, namun termasuk yang paling potensial sebagai penghasil madu karena produktivitasnya yang sangat tinggi. Sampai saat ini lebah hutan adalah andalan utama penghasil madu di Indonesia. Permasalahan pokok dalam pengembangan lebah hutan adalah kerusakan habitat A. dorsata akibat tingginya laju deforestasi di Indonesia. Teknik pemanenan madu yang tidak berazaskan kelestarian juga merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup lebah hutan. Permasalahan lain yang tidak kurang pentingnya adalah kualitas madu lebah hutan yang rendah akibat pemanenan dan penanganan pasca panen yang kurang baik. Rehabilitasi hutan dan perbaikan teknik pengelolaan lebah hutan adalah upaya terbaik untuk memulihkan potensi dan meningkatkan kuantitas dan kualitas produk lebah hutan. Teknologi pengelolaan A. dorsata yang meliputi teknik pengembangan sarang buatan dan teknik pemanenan dibahas dalam makalah ini. Kata Kunci: Lebah hutan, Apis dorsata, Madu Kuntadi PAKAN BUATAN UNTUK LEBAH MADU / Kuntadi. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 149-154 , 2006 Sumber pakan utama lebah madu adalah nektar dan tepungsari (pollen) yang dihasilkan dari bunga tanaman. Masa pembungaan tanaman yang umumnya

22

bersifat musiman menyebabkan pada periode tertentu lebah madu mengalami krisis makanan. Kondisi demikian mengakibatkan penurunan populasi koloni. Kekurangan makanan tidak jarang juga menyebabkan hijrahnya koloni. Pemberian makanan buatan adalah salah satu alternatif cara mempertahankan koloni lebah madu , terutama dalam kondisi langka bunga. Makanan buatan terdiri dari makanan pengganti nektar dan makanan pengganti tepungsari. makalah ini membahas cara pembuatan dan pemberian makanan buatan untuk lebah madu yang dibudidayakan. Kata Kunci: Pakan buatan, Lebah madu Kurniadi, Rahman KAJIAN PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT MELALUI PEMANFAATAN HUTAN SEBAGAI EKOWISATA DI RIUNG / Rahman Kurniadi. -- Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 43-53 , 2006 Sampai saat ini sektor kehutanan telah menjadi perhatian banyak pihak karena keterkaitannya dengan banyaknya penduduk miskin di sekitar areal hutan. menurut data Potensi Desa (2003) dalam Ediawan (2005) desa yang berada di dalam dan di sekitar hutan lebih tertinggal dibandingkan dengan desa di luar hutan. Untuk membantu menganalisis permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang bertujuan mengetahui manfaat hutan sebagai ekowisata di Taman laut 17 Pulau Riung yang diperoleh masyarakat dan berupaya meningkatkannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi saat ini menfaat yang diterima masyarakat belum optimal. Untuk meningkatkan manfaat tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan arus kunjungan wisata ke Riung. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan promosi dan meningkatkan sarana dan prasarana rekreasi di Riung. Hasil penelitian juga diperoleh fakta bahwa pemanfaatan hutan sebagai obyek ekowisata di Riung memberikan manfaat lebih banyak kepada masyarakat dibandingkan pemanfaatan dalam bentuk lainnya. Disamping keuntungan ekologi, masyarakat sekitar obyek ekowisata di Riung memperoleh manfaat ekonomi. Kata kunci: Ekowisata, Pemanfaatan hutan, Riung, Manfaat ekologi, Manfaat ekonomi

Kurniadi, Rahman UPAYA PELESTARIAN PENYU DI BALI / Rahman Kurniadi. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 55-62 , 2006 Penyu merupakan salah satu hewan langka dilindungi.Beberapa jenis penyu bahkan telah masuk ke dalam daftar Lampiran (Appendix I) Convention on International Trade of Endangered Species tahun 1978 (CITES). Sementara itu Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan guna melestarikan penyu. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang upaya berbagai pihak untuk melestarikan penyu di Bali. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan acuan untuk melestarikan penyu di daerah lain. hasil penelitian menunjukan bahwa berbagai upaya berbagai pihak untuk melestarikan penyu di Bali antara lain dengan pembentukan Peraturan Daerah, sosialisasi peraturan perundangan, penegakan hukum, penggantian daging penyu dengan daging babi, penggunaan teknologi penangkaran, pelibatan masyarakat dalam penangkaran penyu, dan pelibatan lembaga swadaya masyarakat. Kata kunci: Penyu, Pelestarian, Hewan langka, Satwa langka, Bali Kurniadi, Rahman TEKNOLOGI DAN KELEMBAGAAN SOSIAL FORESTRY DI KAWASAN MUTIS / Rahman Kurniadi. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 47-53 , 2006 Kawasan konservasi merupakan kawasan yang memperoleh perlakuan khusus karena kepentingan perlindungan sumberdaya alam. Segala kegiatan yang dilakukan di kawasan konservasi diatur oleh perundang-undangan. Namun demikian segala peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat menangkal kerusakan areal konservasi. Beberapa kawasan sangat rawan terhadap gangguan. Kawasan Cagar Alam Mutis dan Hutan Lindung Timau misalnya, sangat rawan terhadap gangguan ternak, pertambangan dan berbagai gangguan lainnya. Penelitian ini bertujuan memperoleh bentuk kelembagaan social forestry di kawasan Mutis dan memperoleh teknologi social forestry di kawasan tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk social

23

forestry di kawasan tersebut belum sesuai dengan kondisi ideal. Di samping itu teknologi social forestry yang dimiliki masyarakat belum mampu untuk membangun hutan. Oleh karena itu diperlukan pendampingan untuk membentuk kelembagaan social forestry yang mandiri dan untuk meningkatkan kemampuan teknis serta motivasi masyarakat dalam memelihara tanaman. Kata kunci: Kelembagaan, Social forestry, Teknologi, Mutis Kurniawan, Hery BUDIDAYA ROTAN DENGAN BEBERAPA JENIS INTRODUKSI DI PULAU TIMOR / Hery Kurniawan. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 147-159 , 2006 Keadaan iklim yang sangat kering dan jenis tanah yang miskin merupakan suatu kendala besar dalam pengembangan rotan secara luas di Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik budidaya rotan di Pulau Timor melalui teknik silvikultur yang tepat, mulai dari pembibitan hingga pengembangannya di lapangan. Kegiatan penelitian ini meliputi kegiatan di lingkup persemaian dalam rangka mendapatkan teknik budidaya yang paling tepat untuk memperoleh paket teknologi peningkatan produktivitas dan kualitas rotan.Penelitian ini menggunakan percobaan faktorial dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan blok. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisis ragam dan untuk mengetahui perbedaan perlakuan dilakukan uji beda nyata taraf 5 persen. Parameter pengamatan adalah tinggi anakan rotan yang diukur dari permukaan media tumbuh semai sampai dengan titik tumbuh semai; diamter semai dan jumlah helaian daun tanaman semai di lapangan. Hasil penelitian menunjukan pada pengamatan I hanya spesies dan media yang memiliki pengaruh nyata terhadap tinggi, blok terhadap diameter serta spesies dan blok terhadap jumlah daun. Pada pengamatan II diketahui bahwa spesies, pupuk dan media berpengaruh nyata terhadap tinggi, spesies dan pupuk terhadap diameter serta pupuk dan blok terhadap jumlah daun. Kata kunci: Rotan, Budidaya, Jenis introduksi

Kuswanda, Wanda POTENSI MASYARAKAT DAN PERANAN KELEMBAGAAN DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (Community

Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.4 ; Halaman 459 475 , 2006 Keberadaan masyarakat di sekitar zona penyangga akan mempunyai interaksi dan berpengaruh terhadap Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang potensi (karakteristik, persepsi, dan interaksi) masyarakat dan peranan kelembagaan dalam pengelolaan zona penyangga TNBT. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dan wawancara dengan masyarakat dan stakeholder terkait yang dianalisis dengan tabel frekuensi dan sistem Analytic Hierarchy Process (AHP). Karakteristik masyarakat sebagian besar merupakan penduduk asli, suku Melayu, beragama Islam, dan bekerja sebagai petani. Persepsi masyarakat tergolong positif meskipun interaksi terhadap kawasan TNBT masih cukup tinggi. Peranan kelembagaan dalam penataan batas dan ruang serta perlindungan taman nasional merupakan prioritas program Balai TNBT (nilai = 0,339 dan 0,421, artinya 33,9 % dan 42,1% hal tersebut dinilai responden sebagai peranan Balai TNBT), peningkatan sumberdaya manusia dan ekonomi sebagai prioritas lembaga masyarakat lokal (0,462), dan pemantauan pengelolaan daerah penyangga sebagai prioritas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (0,315). Program pemberdayaan lembaga masyarakat lokal dapat dilakukan dengan membuat kebijakan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, pelatihan, dan memberikan bantuan modal. Kata kunci: Zona penyangga, peranan kelembagaan, persepsi, Nasional Bukit Tigapuluh Taman

Potencies and Institution Roles in The Bukit Tigpuluh National Park Buffer Zone) / Wanda Kuswanda; Abdulah Syarief Mukhtar. -- Jurnal

24

of Land-Use by Communities in Buffer Zone, Bukit Tigapuluh National Park, Jambi Province) / Wanda Kuswanda. -- Jurnal Penelitian Hutan
Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.3 ; Halaman 249 - 258 , 2006

Kuswanda, Wanda POLA PEMANFAATAN LAHAN MASYARAKAT DI DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH, PROVINSI JAMBI (The Patern

Informasi pemanfaatan lahan oleh masyarakat lokal merupakan aspek penting yang harus diketahui di dalam menyusun rencana pengelolaan zona penyangga di taman nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepemilikan dan pola pemanfaatan lahan di Zona Penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Data dikumpulkan melalui penyebaran kuisioner, wawancara, dan pengamatan secara deskriptif, selanjutnya dianalisis secara kuantitatif menggunakan tabel frekuensi. Masyarakat di lokasi penelitian (Desa Lubuk Kambing dan Sungai Rotan) secara umum menggarap lahan pribadi/hak milik dengan luas rata-rata sekitar 3 ha/responden yang berasal dari membuka hutan 35 %, warisan orang tua 8,33 %, dan lainnya. Pemanfaatan lahan oleh masyarakat lokal untuk areal perkebunan, pertanian (ladang dan sawah) dan keperluan lainnya (pekarangan rumah dan jalan). Hasil pengelolaan lahan dimanfaatkan untuk dijual (48,33 %) dan dikonsumsi (20 %). Kata kunci : Pemanfaatan lahan, zona penyangga, Taman Nasional Bukit Tigapuluh

menggunakan program expert choice dan Microsoft Excel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penghambat utama adalah kurang jelasnya batas dan fungsi zona penyangga (nilai = 0,357, artinya 35,7 % hal tersebut dinilai sebagai penghambat pengembangan kelembagaan zona penyangga) dan tingkat ekonomi dan peranserta masyarakat yang masih rendah (0,289). Alternatif strategi untuk mengembangkan kelembagaan adalah pembinaan dan pemberdayaan berbagai stakeholder terkait (0,436), penataan kembali status dan peruntukan lahan untuk kawasan lindung dan budidaya di daerah penyangga (0,323), dan menciptakan kesempatan usaha pada masyarakat (0,241). Program yang dapat dikembangkan di antaranya adalah mendayagunakan Badan Pengelola Multi Stakeholder (BPMS), meningkatkan kapasitas dan wawasan sumberdaya manusia, rasionalisasi batas kawasan dan zonasi TNBT. Kata kunci : Faktor penghambat, strategi, rasionalisasi, zonasi, stakeholder Kuswandi, Relawan MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT ADAT DI PAPUA / Relawan Kuswandi dan Pudja Mardi Utomo. -Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 127-135 , 2006 Paradigma baru pembangunan kehutanan (khususnya di Papua) yang mengarah kepada keberpihakan terhadap masyarakat sekitar hutan, menyatakan bahwa hutan merupakan sumber pangan dan protein selain sebagai sumber kayu dan pengakuan hak masyarakat adat atas suatu kawasan hutan. Oleh karena itu pengelolaan hutan di Papua dewasa ini memasuki era baru. masyarakat adat terlibat secara langsung dalam pengelolaan hutan, mulai dari perencanaan hingga pemungutan hasil hutan melalui suatu wadah atau organisasi yang dibentuk yaitu Koperasi Peran Serta Masyarakat Adat (KOPERMAS) yang bergerak di sektor kehutanan. Koperasi ini menggunakan konsep kemitraan antar pengusaha mapan dengan masyarakat untuk mengelola potensi sumberdaya alam guna meningkatkan taraf hidup masyarakat pemilik hak adat dan hak ulayat. Namun peraturan perundangundangan dan petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan dalam mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan oleh masyarakat cenderung tidak jelas dan tidak konsisten. Oleh karena itu perlu adanya peraturan daerah yang mempertimbangkan unsur perpaduan antara hukum adat dan hukum formal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya hutan KOPERMAS yang diharapkan

Kuswanda, Wanda STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (Strategies on Institutions Development of Bukit Tigapuluh National Park Buffer Zone) / Wanda Kuswanda dan Abdullah Syarief Mukhtar. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.5 ; Halaman 491 - 504 , 2006 Pengelolaan zona penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) belum optimal karena kurangnya koordinasi dan sosialisasi antar lembaga terkait. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang faktor penghambat utama dan strategi untuk mengembangkan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam di zona penyangga TNBT. Pengumpulan data dilakukan melalui kuisioner untuk masyarakat dan stakeholder. Semua penilaian Analytic Hierarchy Process (AHP) responden diolah dengan sistem

25

dapat meningkatkan perekonomian dan pemberdayaan masyarakat adat. Selama ini pengelolaan hutan ulayat pada kenyataannya lebih banyak digunakan oleh pihak investor sebagai mitra kerja, baik IUPHHK maupun non IUPHHK sebagai prasyarat legalitas untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan. Hal ini disebabkan oleh karena rendahnya tingkat pengetahuan, kemampuan, dan fasilitas yang dimiliki oleh masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Untuk itu perlu adanya suatu model pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi masyarakat adat di Papua. Model pengelolaan hutan yang dianggap mudah dan dapat diterapkan adalah model pengelolaan hutan dalam skala kecil dengan berorientasi pada industri pengolahan kayu. Luas areal konsesi antara 1.000-5.000 ha dengan jangka waktu pengelolaan antara 10-20 tahun dan menggunakan sawmill portable atau chain saw. Sistem silvikultur yang digunakan adalah sistem silvikultur TPTI modifikasi yang disederhanakan tetapi tetap mengacu pada prinsip pengelolaan hutan lestari. Kata Kunci: Sumberdaya Hutan, Masyarakat Adat, Papua Mile, M Yamin POLA AGROFORESTRY HARAMAY (Boehmeria nivea (L.) Gaudich.) : PROSPEK AGRIBISNIS DAN TEKNIK BUDIDAYANYA (Ramie (Boehmeria nivea (L.) Gaudich.) Agroforestry Model : Agrobusiness Prospect and Culture Techniques) / M. Yamin Mile. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 239-249, 2006 Pola Agroforestry (Wanatani) Haramay (Boehmeria nivea (L.) Gaudich.) merupakan salah satu bentuk agroforestry di mana tanaman pohon ditanam kombinasi dengan tanaman rami (haramay). Tanaman pohon yang ditanam dapat berupa tanaman penghasil kayu maupun non kayu. Model ini diarahkan untuk dikembangkan menjadi agribisnis kehutanan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Tanaman rami menghasilkan serat untuk bahan baku industri tekstil/ sandang.. Ditinjau dari prospek agribisnis, pemasaran serat rami masih sangat terbuka lebar, baik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri tekstil dalam negeri maupun untuk bahan ekspor. Dengan demikian pola agroforestry haramay diharapkan dapat memenuhi kebutuhan jangka pendek petani yang berasal dari serat rami dan hasil ikutan lainnya serta kebutuhan jangka panjang berupa kayu dan non kayu. Dalam unit prosesing serat, di samping serat sebagai produk utama, dari pengolahan rami dapat dihasilkan produk samping antara lain hand made paper, pupuk organik cair,

dan konsentrat pakan ternak. Oleh karena itu pengembangan agroforestry haramay dapat merangsang berdirinya industri pedesaan. Ditinjau dari aspek teknis, pengembangan teknologi tepat guna, baik dalam penyiapan lahan, penanaman pemeliharaan maupun panen dan penanganan pasca panen sangat diperlukan untuk menjamin kualitas produk yang dihasilkan. Pola agroforesstry haramay dapat diterapkan dalam rangka kegiatan social forestry, baik yang dilaksanakan di luar kawasan maupun yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan. Kata kunci : Agroforestry haramay, social forestry, serat, china grass, hasil hutan kayu dan non kayu Kwatrina, Rozza Tri KRITERIA DAN INDIKATOR PENETAPAN ZONASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (Criteria and Indicator of Appointed Bukit Tigapuluh National Park Zones) / Rozza Tri Kwatrina dan/and Abdullah Syarief Mukhtar. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.5 ; Halaman 585 - 606 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rumusan kriteria dan indikator yang tepat dalam penetapan zonasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), berdasarkan parameter fisik, biotik, dan sosial ekonomi, sehingga bisa menjadi dasar bagi pengelolaan TNBT selanjutnya. Data yang dikumpulkan meliputi data kondisi fisik, biotik, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi vegetasi diperoleh melalui analisis vegetasi pada setiap zona, sedangkan pengamatan satwaliar dilakukan dengan metode perjumpaan pada kelas aves, mamalia, dan primata. Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan dengan penyebaran kuesioner pada responden sebanyak 66 responden yang ada di zona penyangga dan tradisional TNBT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tumbuhan pada zona-zona yang diamati mempunyai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan secara keseluruhan berkisar antara 2,17 sampai dengan 3,71. Terdapat 17 jenis aves, 11 jenis mamalia, dan enam jenis primata yang dijumpai di zona-zona tersebut. Kegiatan perekonomian masyarakat terutama berupa usaha pertanian ekstensif dan pemungutan hasil hutan. Empat kriteria zona TNBT telah sesuai dengan kriteria yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, dan daerah penyangga. Usulan indikator untuk masing-masing zona adalah zona inti

26

sebanyak 13 indikator, zona rimba lima indikator, zona pemanfaatan intensif lima indikator, zona pemanfaatan tradisional 10 indikator, zona rehabilitasi lima indikator, dan daerah penyangga sebanyak 13 indikator. Kata kunci: Taman Nasional Bukit Tigapuluh, zonasi, kriteria, indikator Lestari,Sri ILLEGAL LOGGING DAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI TERHADAP MASYARAKAT SEKITAR HUTAN / Sri Lestari. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 107-114 , 2006 Kegiatan illegal logging yang terjadi di Indonesia mengakibatkan kerusakan hutan semakin meningkat. Saat ini areal hutan Indonesia yang rusak telah mencapai luasan 43 juta hektar dengan laju kerusakan hutan 1,8 juta hektar per tahun (WWF, 2003).Dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1998, kegiatan perambahan hutan dan illegal logging oleh masyarakat semakin merata. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya memiliki bentuk aktivitas tradisional pertanian ladang sebagai pilihan utama yang dilakukan setiap tahun guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Semakin berkembangnya kehidupan dan bertambahnya kebutuhan hidup keluarga, mendorong masyarakat untuk melakukan pembukaan hutan, Kegiatan illegal logging memberikan dampak yang multidimensi pada berbagai sendi kehidupan masyarakat, yaitu meningkatkannya tingkat ketergantungan masyarakat, putusnya hubungan emosional masyarakat lokal dengan lingkungan dan bergesernya kegiatan perekonomian masyarakat sekitar hutan yang semula berladang menjadi kegiatan industri. Upaya penanggulangan illegal logging telah banyak dilakukan, akan tetapi belum memberikan dampak yang nyata terhadap pengurangan laju deforestasi hutan. Oleh karena itu diperlukan kerjasama dari bebagai pihak, mulai dari tingkat pusat sampai ke level masyarakat (multi stakeholders) dan upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan agar upaya peningkatan pembangunan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai. Kata Kunci: Illegal logging, Sosial ekonomi, Masyarakat sekitar hutan

M. Bismark DIMENSI BIODIVERSITAS AVIFAUNA ENDEMIK WALLACEAE SUB KAWASAN NUSA TENGGARA / M. Bismark. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 77-84 , 2006 Kepulauan Nusa Tenggara sebagai sub kawasan Wallaceae mempunyai keanekaragaman jenis avifauna yang tinggi. Dari 697 jenis burung Walaceae, 10,2 persen adalah jenis endemik Nusa Tenggara. Burung endemik Nusa Tenggara mempunyai tingkat keterancaman populasi tinggi sehubungan dengan luasnya kawasan hutan yang menjadi kawasan konservasi (di Nusa Tenggara barat 5,8 persen dan Nusa Tenggara Timur 8,5 persen). Pelestarian populasi burung endemik Nusa Tenggara di alam dapat dipertahankan dengan meningkatkan perlindungan dan perluasan kawasan konservasi, rehabilitasi lahan, pengembangan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan di daerah penyangga kawasan konservasi, serta pengendalian perburuan dan perdagangan burung. Kata kunci: Wallaceae, Avifauna, penyangga, Biodiversitas Endemik, Rehabilitasi lahan, Daerah

M Hidayatullah PEMBANGUNAN KEBUN KONSERVASI EX-SITU CENDANA DI PULAU TIMOR / M Hidayatullah. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 125-135 , 2006 Kegiatan konservasi ex-situ merupakan konservasi komponen keaneragaman hayati di luar habitat alaminya, kegiatan ini dapat dilakukan pada cendana karena memiliki siklus hidup yang relatif panjang maka prosedur yang lazim digunakan dalam pengembangannya adalah dengan cara menanam tanaman tersebut di lokasi yang telah direncanakan. Dengan adanya sebaran alami yang luas serta lokasi yang kontinyu seperti kepulauan, variasi genetiknya diharapkan sangat banyak. Dengan model variasi genetik yang berhubungan dengan daerah asal (provenans) yang banyak inilah diharapkan dapat dilakukan seleksi provenans yang terbaik dengan uji provenans serta kegiatan-kegiatan pemuliaan lebih lanjut untuk memperoleh kebun klon cendana yang memiliki sifat genetik unggul. Untuk menunjang kegiatan tersebut maka diperlukan

27

inventarisasi sebaran alami cendana di alam, sehingga dapat dilakukan kegiatan konservasi insitu untuk kepentingan kegiatan konservasi ex-situ sebelum punah. Kata kunci: Cendana, Konservasi, Pembangunan, Ex-situ cendana M Hidayatullah IDENTIFIKASI RAGAM JENIS BURUNG DI KAWASAN TAMAN NASIONAL KELIMUTU ENDE / M Hidayatullah, Agis Nursyam S dan Kayat. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 199-204 , 2006 Taman Nasional (TN) Kalimutu yang luasnya 5.000 ha, ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 279/Kpts-II/1992, terdiri dari kawasan Taman Wisata Kelimutu 4.984 ha dan Cagar Alam Kelimutu 16 ha, mempunyai potensi flora dan fauna yang cukup beragam. Penelitian ini bertujuan untuk jenis dan sebaran burung pada zona-zona di kawasan TN Kelimutu, sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pengelolaan kawasan, khususnya dalam kaitan alternatif obyek wisata. Pendekatan yang dilakukan adalah inventarisasi dan identifikasi burung dan interaksinya dengan habitatnya, dengan metode titik hitung dan garis transek. Hasil pengamatan menunjukkan, teridentifikasi 22 jenis burung pada zona rimba,rehabilitasi dan pemanfaatan. Frekuensi relatif dan Indeks Nilai Penting (INP) dari 16 jenis pada zona rimba adalah berkisar antara 2,78-11,11 dan 4,78-25,11, pada zona pemanfaatan adalah berkisar antara 3,33-13,33; dan 5,55-26,38 serta pada zona rehabilitasi adalah berkisar antara 3,92-7,65 dan 5,08-24,56. Kata kunci : Identifikasi, Jenis burung, Taman Nasional Kelimutu

Marbawa, I Ketut Catur KEBUTUHAN DUKUNGAN IPTEK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PROGRAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT / I Ketut Catur Marbawa. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 41-53 , 2006 Secara umum pengelolaan taman nasional mempunyai tiga fungsi pokok yaitu: sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam dan ekosistemnya. Taman Nasional Bali Barat adalah salah satu kawasan pelestarian jalak bali. Untuk mencapai fungsi dan tugas pokoknya, kegiatan pengelolaan Taman Nasional Bali Barat yang saat ini dilakukan meliputi pemantapan kawasan, penyusunan rencana pembangunan sarana-prasarana, pengelolaan potensi kawasan, pengelolaan penelitian dan pendidikan, pengelolaan wisata alam, pembangunan integrasi dan koordinasi, dan kerjasama pengelolaan wisata alam. Untuk menunjang keberhasilan kegiatan tersebut, dukungan iptek sangat diperlukan antara lain: sosial ekonomi, pengembangan dan pemanfaatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemuliaan potensi jalak bali, pengelolaan potensi kawasan, dan pengelolaan potensi wisata.Khusus untuk sosial budaya masyarakat perlu menjaga keseimbangan antara kepentingan lokal dan global dengan pengembangan partisipasi masyarakat lokal yang berbasis konsep budaya tradisional seperti Tri Hita Kirana. Kata kunci: Taman Nasional, Partisipasi masyarakat, Ekosistem, IPTEK, Bali Barat

Martin, Edwin PERFORMANSI PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN BERBASIS SOCIAL FORESTRY DI PROVINSI JAMBI / Edwin Martin dan Bondan Winarno. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 157-180 , 2006 Social forestry diharapkan menjadi alternatif solusi pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Social forestry bukan hal baru di Indonesia. Fakta menunjukan

28

bahwa ada keragaman inisiatif dan pendekatan yang sudah dikembangkan dengan hasil yang bervariasi. Salah satu daerah di Indonesia yang dikenal telah dan sedang mengaplikasikan varian social forestry adalah provinsi Jambi. Aplikasi bentuk-bentuk social forestry pada beragam kawasan cukup penting untuk dipelajari, mengingat orientasi pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat ini merupakan paradigma baru bagi pemerintah (Departemen Kehutanan). Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis teknologi dan kelembagaan kegiatan social forestry yang sudah dan sedang dilaksanakan di provinsi Jambi. Hasil penelitian penunjukan kegiatan social forestry yang sudah dan sedang dilaksanakan di provinsi Jambi menggunakan pola pendekatan yang berbeda, baik dari segi teknis pelaksanaan maupun penyiapan kelembagaannya, terutama tergantung pada kawasan hutan fungsi mana social forestry tersebut diterapkan. Pendampingan yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dari mulai identifikasi potensi masyarakat, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, dan pasca kegiatan merupakan cara yang efektif untuk membangun kelembagaan dan kemandirian masyarakat dalam program social forestry. Kata Kunci: Social forestry, Kawasan hutan, Pengelolaan hutan, Jambi Ma'ruf, Amir TEKNOLOGI PENANGKARAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DI DESA API-API KABUPATEN PANAJAM PASER UTARA KALIMANTAN TIMUR / Amir Ma'ruf, Tri Atmoko, dan Ismed Syahbani. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 57-68 , 2006 Rusa sambar (Cervus unicolor) adalah salah satu dari empat jenis rusa di Indonesia yang sudah dilindungi undang-undang dan jumlah populasinya terus berkurang akibat perburuan liar dan semakin tingginya degradasi habitat. Upaya penangkaran rusa mempunyai potensi yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat selain sumber protein hewani lain yang sudah umum. Selain itu juga akan mengurangi perburuan liar oleh manusia serta salah satu upaya untuk melestarikan plasma nutfah hewani di Indonesia, khususnya Kalimantan Timur. Teknik konservasi maupun penangkaran satwa bernilai ekonomi tinggi ini perlu untuk selalu ditingkatkan sehingga pemanfaatannya dapat diusahakan secara lestari. Teknik pemeliharaan, penanganan, perkandangan, pakan, kesehatan, dan pemanfaatan harus disosialisasikan ke masyarakat untuk dapat dipergunakan

sebagai pedoman penangkaran, baik dalam tingkat kecil (rumah tangga) maupun tingkat besar (peternakan). Peran serta masyarakat dan berbagai pihak yang terkait, baik dari aspek ekonomi maupun sosial budaya merupakan modal penting untuk tercapainya tujuan tersebut di atas. Satu hal yang tidak dapat dikesampingkan adalah teknik pengemasan, baik informasi maupun produk harus dibuat dengan baik sehingga budaya masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu tersebut dapat lestari. Kata Kunci: Rusa sambar, Cervus unicolor, Teknologi penangkaran, Api-api, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur Mile, M Yamin POLA AGROFORESTRY HARAMAY (Boehmeria nivea (L.) Gaudich.) : PROSPEK AGRIBISNIS DAN TEKNIK BUDIDAYANYA (Ramie (Boehmeria nivea (L.) Gaudich.) Agroforestry Model : Agrobusiness Prospect and Culture Techniques) / M. Yamin Mile. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 239-249, 2006 Pola Agroforestry (Wanatani) Haramay (Boehmeria nivea (L.) Gaudich.) merupakan salah satu bentuk agroforestry di mana tanaman pohon ditanam kombinasi dengan tanaman rami (haramay). Tanaman pohon yang ditanam dapat berupa tanaman penghasil kayu maupun non kayu. Model ini diarahkan untuk dikembangkan menjadi agribisnis kehutanan yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Tanaman rami menghasilkan serat untuk bahan baku industri tekstil/ sandang.. Ditinjau dari prospek agribisnis, pemasaran serat rami masih sangat terbuka lebar, baik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri tekstil dalam negeri maupun untuk bahan ekspor. Dengan demikian pola agroforestry haramay diharapkan dapat memenuhi kebutuhan jangka pendek petani yang berasal dari serat rami dan hasil ikutan lainnya serta kebutuhan jangka panjang berupa kayu dan non kayu. Dalam unit prosesing serat, di samping serat sebagai produk utama, dari pengolahan rami dapat dihasilkan produk samping antara lain hand made paper, pupuk organik cair, dan konsentrat pakan ternak. Oleh karena itu pengembangan agroforestry haramay dapat merangsang berdirinya industri pedesaan. Ditinjau dari aspek teknis, pengembangan teknologi tepat guna, baik dalam penyiapan lahan, penanaman pemeliharaan maupun panen dan penanganan pasca panen sangat diperlukan untuk menjamin kualitas produk yang dihasilkan. Pola agroforesstry haramay dapat diterapkan dalam rangka kegiatan social forestry, baik yang

29

dilaksanakan di luar kawasan maupun yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan. Kata kunci : Agroforestry haramay, social forestry, serat, china grass, hasil hutan kayu dan non kayu Mile, M Yamin KAJIAN TEKNIS PENGEMBANGAN SOCIAL FORESTRY DENGAN POLA AGROFORESTRY NILAM (Technical Analysis of Social Forestry Development Through Nilam Agroforestry Model) / M. Yamin Mile. -Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 229-238, 2006 kombinasi antara tanaman pokok kehutanan dengan usaha tani nilam (Pogostemon cablin Benth.). Nilam menghasilkan minyak atsiri yang mempunyai nilai pasar tinggi dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu pola agroforestry nilam memperlihatkan prospek agribisnis yang cukup baik sehingga sangat sesuai untuk dijadikan salah satu model dalam kegiatan social forestry. Minyak atsiri yang berasal dari nilam digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik. Indonesia mengekspor minyak atsiri ke lebih dari 25 negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Timur Tengah, Jepang, Kanada, Australia, dan sebagainya. Menurut data dari BPS (2001), diproyeksikan bahwa konsumsi minyak atsiri dunia mencapai 1.200-1.400 ton/tahun dan setiap tahun meningkat mencapai 5-10 %. Kondisi ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi nilam. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan pola agroforestry nilam. Pengembangan social forestry dengan model agroforestry nilam akan meningkatkan nilai produk kayu, baik untuk kosumsi dalam negeri maupun untuk ekspor. Oleh karena itu kegiatan social forestry dengan pola agroforestry nilam memberikan prospek yang baik dalam meningkatkan pendapatan petani secara nyata. Kata kunci: Agroforestry berbasis nilam, Pogostemon cablin Benth., social forestry, agribisnis, minyak atsiri

Mindawati, Nina SEKILAS TENTANG HUTAN PENELITIAN / Nina Mindawati. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 137-148 , 2006 Hutan Penelitian merupakan faktor penunjang yang sangat penting dalam rangka peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan hutan secara nasional khususnya sebagai tempat melakukan dan menghasilkan teknologi (IPTEK) bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Sepuluh hutan penelitian telah dibangun oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam sejak lembaga ini bernama Bousbouw Proefstation, pada tahun 1937, khususnya di Jawa barat, dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Saat ini keberadaan hutan penelitian semakin diperlukan karena selain untuk penelitian juga digunakan untuk pendidikan, koleksi, sumber benih, dan wisata bagi masyarakat, sehingga keberadaannya perlu di jaga dan dilestarikan Kata kunci: Hutan penelitian Muchtar, Abdullah Syarief STATUS RISET DALAM PENGUATAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KELIMUTU DAN TAMAN NASIONAL KOMODO / Abdullah Syarief Muchtar. -- Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 1-12 , 2006 Pola pengelolaan Taman Nasional yang dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi saat ini seperti perambahan kawasan memerlukan pendekatan melalui sistem zonasi yang ditentukan bersama dengan berbagai pihak dengan dasar prinsip kolaborasi. Pembuatan zonasi sebelumnya hanya dilaksanakan oleh pihak pemerintah, saat ini perlu dilakukan secara bersama dengan masyarakat dan para pihak lainnya. Adapun prinsip-prinsip kolaborasi yang harus dibangun bersama oleh pihak terkait adalah penataan ruang yang fleksibel, pembuatan perangkat hukum secara bersama, share learning, membangun kapasitas kelembagaan dan administrasi secara berkala dan keadilan dan kepastian hukum yang jelas dan dapat dipatuhi atau diterapkan oleh para pihak yang berkolaborasi.

Agroforestry nilam adalah suatu model

30

Kata kunci: Kebijakan, Taman Nasional Kelimutu, Taman Nasional Komodo, Zonasi, Kolaborasi Narendra, Budi Hadi PENGARUH PENANAMAN BEBERAPA JENIS LEGUM TERHADAP KONDISI TANAH PADA AREAL BEKAS PENAMBANGAN BATU APUNG (Effect of Legume Species Planting on Soil Condition of the Area Formerly Used for Pumice Mining) / Budi Hadi Narendra dan Eka Multikaningsih. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 173-180 , 2006 Dalam rehabilitasi lahan-lahan bekas tambang diperlukan teknologi yang efektif dan efisien, diantaranya penggunaan tanaman penutup tanah dari famili legum yang terbukti dapat memperkaya hara tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa jenis tanaman legum penutup tanah terhadap perubahan kondisi kimia dan fisika tanah di lahan bekas tambang batu apung. Jenis yang ditanam adalah tiga jenis tanaman penutup tanah tinggi yaitu lamtoro (Leucaena leucocephala Lamk.), turi (Sesbania grandiflora (L.) Poir), gamal (Gliricidea sepium (Jacq.) Steud), dan tanaman penutup tanah rendah berupa sentro (Centrosema pubescens Benth.). Penanaman menggunakan sistem pertanaman lorong. Variabel yang diamati adalah perubahan sifat fisika dan kimia tanah sebelum dan setelah diadakan penanaman. Hasil analisis tanah menunjukkan terjadi perbaikan sifat kimia tanah berupa meningkatnya kandungan bahan organik, N total, dan KTK. Demikian pula dengan sifat fisika tanah terjadi perbaikan pada permeabilitas, infiltrasi, temperatur, kadar air, dan bulk density. Kata kunci : Rehabilitasi lahan, jenis legum, sistem pertanaman lorong, kimia tanah, fisika tanah

Narendra, Budi Hadi UJI COBA SISTEM PERTANAMAN LORONG DALAM REHABILITASI LAHAN KRITIS BEKAS TAMBANG BATU APUNG (Trial of Alley Cropping system in Critical Land Rehabilitattion of Pumice Mined) / Budi Hadi Narendra. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.3 ; Halaman 225 - 235 , 2006. Kebutuhan teknologi tepat guna untuk merehabilitasi lahan bekas tambang batu apung penting saat ini. Salah satu metode yang banyak memberi manfaat dalam merehabilitasi lahan kritis adalah penggunaan sistem pertanaman lorong (alley cropping). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi pertumbuhan dan manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan sistem pertanaman lorong. Dengan menggunakan rancangan acak lengkap tersarang, diuji pengaruh tiga jenis tanaman lorong dari jenis legum yaitu lamtoro (Leucaena leucocephala (Lamk.) De Wit, turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers), dan gamal (Gliricidia sepium Steud.) terhadap pertumbuhan tanaman pokok jati (Tectona grandis L.f.) dan mangga (Mangifera indica L.). Perlakuan dasar yang digunakan adalah pemberian pupuk kandang dosis 4,4 kg/m2 dan penggunaan tanaman penutup tanah jenis sentro (Centrosema pubescens Benth.). Respon yang diamati adalah pertumbuhan tanaman pokok dan biomassa hasil pangkasan ketiga jenis tanaman lorong. Setelah enam bulan pengamatan, hasilnya menunjukkan bahwa tanaman jati dan mangga memiliki kemampuan hidup dan tumbuh dengan baik dan antar jenis tanaman lorong belum berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman pokok. Dari ketiga jenis tanaman lorong, turi menghasilkan biomassa terbesar, namun untuk penganekaragaman manfaat yang diperoleh, perlu dipertimbangkan untuk menanam ketiga jenis legum secara bersama dikombinasikan dengan sentro sebagai tanaman penutup tanah. Kata kunci : Rehabilitasi lahan, sistem pertanaman lorong, lamtoro, Leucaena leucocephala (Lamk.) De Wit, turi, Sesbania grandiflora (L.) Pers, gamal, Gliricidia sepium Steud., pertumbuhan, biomassa

31

Narendra, Budi Hadi TANAMAN PENUTUP LAHAN YANG SUSEAI PADA LAHAN KRITIS BEKAS TAMBANG BATU APUNG (Cover Crop Species Trial on Critical Land of Pumice Mined) / Budi Hadi Narendra dan Syahidan. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No. 4 ; Halaman 357 365 , 2006 Tambang batu apung di Lombok Timur, khususnya di Ijobalit memiliki potensi dan produksi terbesar di Indonesia. Masyarakat menambang secara tradisional tanpa mengupayakan rehabilitasi dan konservasi tanah dan air. Bekas tambang ini merupakan lahan terdegradasi yang dibiarkan saja menjadi lahan kritis dengan permukaan berlubang-lubang yang sebagian besar tidak dimanfaatkan lagi. Hanya vegetasi tertentu saja yang masih dapat dijumpai pada lahan tersebut, karena lahan telah mengalami kemunduran sifat fisika kimia tanahnya. Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi dan teknologi budidaya jenis tanaman penutup tanah dan dosis pupuk kandang yang sesuai untuk rehabilitasi lahan kritis bekas tambang batu apung. Penelitian ini menggunakan desain split plot, di mana tiga macam dosis pupuk kandang sebagai plot utama dan tiga jenis tanaman penutup tanah sebagai sub plot. Masing-masing kombinasi perlakuan ini diulang sebanyak 16 kali. Berdasarkan kemampuan hidup, kemampuan menutup tanah dan biomassanya, tanaman yang paling tepat digunakan sebagai penutup tanah adalah jenis sentro (Centrosema pubescens Benth.). Penggunaan pupuk kandang dengan dosis 4,4 kg/m2 dapat diaplikasikan guna menambah kandungan bahan organik tanah. Kata kunci : Bekas tambang batu apung, lahan kritis, teknologi rehabilitasi lahan, tanaman penutup tanah, pupuk kandang Ngatiman HAMA TANAMAN MERANTI MERAH (Shorea leprosula Miq) / Ngatiman dan Armansyah. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 347-354 , 2006 Pada tanaman meranti merah (Shorea leprosula) umur 10 tahun lebih di lapangan terserang tumor buah, tumor cabang dan rayap. serangan tumor

buah dan tumor cabang tidak menyebabkan kematian, namun serangan rayap menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi dan intensitas serangan hama pada tanaman meranti merah (S. leprosula) dengan cara mengamati setiap individu tanaman di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan hama yang menyebabkan tumor buah pada pucuk tanaman adalah sejenis kutu dengan hama perantara lalat. Hama penyebab tumor batang dan jenis rayap belum teridentifikasi. Serangan tumor buah dan tumor cabang menyebabkan tajuk meranggas dan kering akan tetapi tanaman tidak mati, sedangkan serangan hama rayap mengakibatkan kematian. Kata kunci: Meranti merah, Shorea leprosula Miq, Hama tanaman Njurumana, Gerson ND REHABILITASI LAHAN KRITIS MELALUI PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT BERBASIS SISTEM KALIWU DI PULAU SUMBA (The Study of

Widhana Susila. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 19 - 30 , 2006 Pengelolaan hutan yang menekankan eksploitasi menyebabkan meningkatnya luas lahan kritis dan degradasi ekosistem hutan secara menyeluruh. Luas lahan kritis di Nusa Tenggara Timur mencapai 28 % dari total luas wilayah. Sedangkan di Pulau Sumba jumlah lahan kritis diperkirakan paling sedikit 32 % dari total luas daratan. Peningkatan lahan kritis disebabkan kebakaran lahan dan hutan, fragmentasi hutan akibat penebangan liar dan perladangan serta faktor alam yang kurang menunjang pertumbuhan tanaman. Hal ini berdampak negatif terhadap daya dukung lingkungan dalam menunjang kebutuhan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh alternatif rehabilitasi lahan dan konservasi melalui pengembangan hutan rakyat yang berbasis pada sistem social forestry murni masyarakat beserta kearifan lokalnya. Metode pendekatan yang digunakan adalah observasi langsung terhadap karakteristik sistem kaliwu, wawancara, dan pengumpulan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kaliwu berpeluang dikembangkan untuk rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air di Sumba. Keberadaan sistem kaliwu mampu menunjang tata air, mendukung pendapatan masyarakat dengan nilai NPV positif pada tingkat pengembalian modal lebih dari 12 % per tahun, keragaman jenis tanaman yang tinggi serta dukungan masyarakat. Keuntungan

Critical Land Rehabilitation through the development of Kaliwu Based Community Forest in Sumba Island) / Gerson ND Njurumana; I Wayan

32

pengembangan sistem kaliwu adalah diperolehnya landasan pengelolaan lahan kritis dan konservasi yang berbasis lokal (mengakomodir karakteristik wilayah, sosial budaya, dan kearifan lokal) untuk menggugah peningkatan partisipasi masyarakat dalam pencapaian tujuan pengelolaan lahan. Kata kunci : Sistem kaliwu, rehabilitasi lahan, konservasi dan hutan rakyat Njurumana, Gerson ND PEMANFAATAN HUTAN SECARA ARIF DAN BIJAKSANA / Gerson ND Njurumana. -- Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 111-122 , 2006 Perubahan paradigma pembangunan kehutanan yang sebelumnya berbasis hanya untuk pemanfatan kayu oleh sekelompok masyarakat tertentu menjadi pemanfaatan hutan secara multi guna dengan melibatkan masyarakat hutan sekitar mengharuskan pihak terkait seperti pemerintah, baik pusat atau daerah, masyarakat sekitar hutan untuk membuat konsep pembangunan kehutanan secara bersama. Khusus untuk daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) pembangunan kehutanan harus didasarkan pada kondisi obyektif sumberdaya alam dengan memperhatikan keterbatasan daya dukung sebagai akibat kurangnya pasokan air (sebagai salah satu ciri dari daerah semi arid). Konsep pembangunan yang dapat dikembangkan masyarakat langsung adalah yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan secara multiguna atau agroforestry seperti amarasi, mamar, kaliwu, dan lain-lain. Sistem-sistem tersebut adalah merupakan kearifan lokal yang dapat dikembangkan untuk daerah-daerah yang dekat pemukiman. Kata kunci: Agroforestry, Multiguna, Kearifan lokal

Njurumana, Gerson ND PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN SISTEM IRIGASI SUBAK DI BALI / Gerson ND Njurumana, I Wayan Widhiana S dan Tigor Butar-Butar. -Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 143-154 , 2006 Keberlanjutan sistem irigasi Subak di Provinsi Bali sangat ditentukan oleh berfungsinya komponen pendukung Subak, baik komponen internal maupun komponen eksternal. Faktor kesehatan DAS merupakan komponen eksternal yang menentukan keberlanjutan faktor internal. Penguatan kelembagaan subak dalam membangun keterpaduan dalam pengelolaan mulai dari wilayah hulu, tengah dan hilir merupakan salah satu pilar pendukung keberlanjutan sistem irigasi tersebut di masa mendatang. Kata kunci: DAS, Subak, Pengelolaan, Irigasi, Bali Njurumana, Gerson ND PENDEKATAN REHABILITASI LAHAN KRITIS MELALUI PENGEMBANGAN MAMAR: STUDI KASUS MAMAR DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN / Gerson ND Njurumana. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 1-11 , 2006 Peningkatan degradasi lahan merupakan kesatuan yang bersifat simultan antara aspek sosial ekonomi, budaya, dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan. Karena itu upaya pengendalian dan rehabilitasi lahan kritis perlu melibatkan seluruh pihak termasuk aktor dari kegiatan degradasi lahan. Di pihak lain, pemulihan lahan kritis tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan teknis dan sektoral semata, tetapi perlu memberikan ruang bagi partisipasi multi pihak beserta seluruh modal sosial yang berkembang dalam masyarakat, salah satunya adalah kearifan lokal. Pendekatan kearifan lokal memungkinkan prakarsa pembangunan khususnya rehabilitasi lahan dan lingkungan diletakkan atas dasar pengetahuan masyarakat lokal, sehingga mendorong proses pembaruan, peguatan, penggerakan, dan penyelarasan pengetahuan lokal dengan pengetahuan dari luar. Mamar sebagai salah satu bentuk kearifan lokal

33

memiliki peluang untuk diberdayakan dalam rangka mendukung rehabilitasi lahan. Nilai guna sistem mamar cukup baik terhadap aspek produktivitas, stabilitas, dan keberlanjutan yang cukup tinggi dalam mendukung kegiatan usaha tani, silvopasture, dan lingkungan. Kata kunci: Mamar, Rehabilitasi lahan, Konservasi tanah, Konservasi air Njurumana, Gerson ND PELUANG DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN DI TIMOR BARAT / Gerson ND Njurumana. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 103-117 , 2006 Kerusakan sumberdaya lahan dan hutan di Timor Barat mengalami peningkatan akibat tekanan penduduk, perambahan, kebakaran, konversi lahan, dan pemanfaatan hutan, tanah dan air yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan kelestarian ekosistem. Tekanan penduduk yang tinggi mengindikasikan terbatasnya alternatif sumberdaya yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mendukung pemenuhan kebutuhan hidupnya. Karena itu, pembangunan sektor kehutanan di Timor Barat harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi masyarakat secara obyektif melalui pendekatan site spesifik. Pendekatan site spesifik dilakukan dengan berbagai pendekatan, salah satunya pemanfaatan jenis tanaman yang memberikan manfaat ganda untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Dari aspek kebijakan, pemerintah perlu memberikan perhatian terhadap keragaman model kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat.Pengakuan terhadap kearifan lokal yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan, tanah, dan air diharapkan dapat mengapresiasi dan mendorong masyarakat untuk terlibat secara proaktif melalui kemitraan yang terbangun dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Timor Barat. Pendekatan kearifan lokal memungkinkan prakarsa pembangunan dapat dilakukan dengan memanfaatkan dan memberdayakan potensi dan kekuatan yang sudah ada dalam masyarakat, sekaligus mampu menjembatani konflik kepentingan terhadap sumberdaya lahan dan air. Kata kunci: Degradasi lahan dan hutan, Kearifan lokal, Kebijakan

Njurumana, Gerson ND NILAI PENTING HUTAN KOTA DALAM PEMBANGUNAN PERKOTAAN / Gerson ND Njurumana. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 183-197 , 2006 Hutan kota diidentifikasikan sebagai status lahan yang dengan pohon-pohonan dalam satuan kawasan tertentu baik pada tanah negara maupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan perkotaan dalam pengaturan tata air, polusi udara, habitat flora dan fauna. Kehadiran hutan kota diharapkan dapat mengendalikan peningkatan suhu udara perkotaan, penurunan air tanah, banjir/genangan, intrusi air laut, abrasi pantai, pencemaran air berupa air minum berbau,mengandung logam berat, pencemaran udara seperti meningkatnya kadar CO,ozon, karbon-dioksida, oksida nitrogen dan belerang, debu, suasana yang gersang, monoton, bising dan kotor. Dengan demikian, kehadiran hutan kota diharapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan ekologi perkotaan yang dapat dilakukan dengan mempertahankan kelestarian dan fungsi kawasan-kawasan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun kerjasama dengan komponen masyarakat,LSM dan swasta untuk mendukung tujuan pembangunan hutan kota Kata kunci: Hutan kota, Ekologi, Nilai penting, Lingkungan Noorhidayah Binn) DAN KONSERVASI ULIN (Eusideroxylon zwageri Teijsm PEMANFAATANNYA SEBAGAI TUMBUHAN OBAT (The Ironwood (Eusideroxylon zwageri Teijsm Binn.) Conservation and it's Utilization as Medicinal Plant) / Noorhidayah; Kade Sidiyasa. -- Info Hutan : Vol.III, No.2 ; Halaman 123 - 130 , 2006 Eksploitasi ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn.) secara besar-besaran akan mengakibatkan terancam kelestariannya. Selain memiliki kayu yang kuat dan awet, ternyata ulin juga memiliki manfaat non kayu sebagai bahan obat. Masyarakat telah memanfaatkan daun, batang, dan buah/biji ulin untuk obat rambut, ginjal, muntah darah, dan mengatasi bengkak. Upaya konservasi ulin mencakup tindakan dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ dan menjaga, memanfaatkan, dan mempelajarinya.

34

Kata kunci : Ulin, Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn., obat, konservasi insitu, konservasi ex-situ Nugroho, Agung Wahyu PEMANFAATAN SERASAH PINUS SEBAGAI MEDIA SEMAI / Agung Wahyu Nugroho. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 129-136 , 2006 Media Semai dengan menggunakan media topsoil mempunyai banyak kelemahan diantaranya: media lekas padat, aerasi kurang baik, dan berat per satuan bibit tinggi. Oleh karena itu upaya penggunaan bahan lain sebagai media pertumbuhan dengan tujuan memperkecil pemakaian topsoil perlu segera dilakukan. Serasah daun pinus yang merupakan bahan organik yang bersifat lambat terdekomposisi dapat dijadikan media dengan cara dikomposkan dahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa serasah daun pinus yang lambat terdekomposisi dapat dimanfaatkan sebagai media semai dan mengetahui komposisi media pinus yang sesuai untuk pertumbuhan semai. Penelitian diaksanakan di kebun Karangmalang dan Laboratorium Tanah Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Campuran media terdiri dari daun pinus, pupuk kandang, dan tanah bermikoriza. Digunakan 3 ukuran daun dan 4 variasi aras campuran media. Jumlah keseluruhan perlakuan ada 12 unit dan tiap unit ada 12 semai dan diulang secara acak pada 3 blok.Parameter yang diamati adalah tinggi dan diameter. Data rerata tinggi dan diameter dianalisis dengan uji F dan bila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata metode Duncan. Hasil penelitian menunjukan bahwa serasah daun pinus dapat dimanfaatkan sebagai media semai yang baik. Perlakuan yang menggunakan ukuran daun kasar segar menghasilkan rerata pertumbuhan tinggi semai yang paling baik yaitu sebesar 10,38 cm. Variasi aras campuran media 30 persen daun, 35 persen pupuk kandang, dan 35 persen tanah bermikoriza menghasilkan pertumbuhan tinggi yang paling baik yaitu sebesar 11,20 cm. Untuk pertumbuhan diameter semai, perlakuan yang berpengaruh nyata adalah ukuran daun dan interaksi antara ukuran daun dan variasi aras campuran media. Ukuran dan kasar segar menghasilkan rerata pertumbuhan diameter yang paling baik yaitu sebesar 1,23 mm dan interaksi antara ukuran daun dan variasi aras campuran media 30 persen daun kasar segar, 35 persen pupuk kandang, 35 persen tanah

bermikoriza menghasilkan rerata pertumbuhan diameter yang paling baik sebesar 1,30 mm. Kata Kunci: Serasah pinus, Media semai Nurhaedah M PENGARUH MURBEI (Morus spp.) DAN ULAT SUTERA PERSILANGAN (Bombyx mori Linn) TERHADAP KUALITAS ULAT, KOKON, DAN SERAT SUTERA (Effect of Mulberry (Morus spp) and Silkworm Hybrid (Bombyx mori Linn.) on Silkworm, Cocoon, and Silk Quality) / Nurhaedah; Harry Budisantoso; Wahyudi Isnan. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 65 - 73 , 2006 Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pengaruh murbei (Morus spp.) dan ulat sutera persilangan (Bombyx mori Linn.) terhadap kualitas ulat, kokon, dan serat sutera. Parameter yang diamati meliputi kualitas ulat, kokon, dan serat sutera. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial dengan dua faktor yaitu: M (murbei persilangan) dan U (ulat sutera persilangan) dan setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan. Analisis statistik menunjukkan bahwa murbei persilangan memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas ulat, kokon, dan serat sutera. Jenis NI, B2A, dan Morus cathayana A. cenderung memberikan hasil yang baik. Sedangkan ulat sutera persilangan memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas ulat, tetapi tidak memberi pengaruh nyata terhadap kualitas kokon dan serat sutera dan belum ada jenis yang memberikan hasil yang baik. Kombinasi antara murbei persilangan dan ulat sutera persilangan memberi pengaruh nyata pada rendemen pemeliharaan dan bobot kokon. Kombinasi M1U3 (murbei NI dan ulat sutera HG 8) cenderung memberikan hasil yang baik. Kata kunci : Murbei persilangan, Morus spp., ulat sutera persilangan, Bombyx mori Linn., kualitas ulat, kualitas kokon, kualitas serat

35

Nurhaedah M. KUALITAS BIBIT ULAT SUTERA (BOMBYX MORI L.) PADA BEBERAPA WAKTU PENGUPASAN KOKON (Quality of Silkworm Eggs with Several Cocoon Peeling Period)/ Nurhaedah M. . -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.2 ; Halaman 177 - 184 , 2006 Bibit ulat sutera yang berkualitas akan diperoleh jika pemeliharaan ulat induk menghasilkan kokon yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan penanganan khusus seperti pemberian pakan, penanganan ulat dan kokon serta pencegahan penyakit. Penelitian ini dilakukan di Balai Persuteraan Alam Bili-Bili, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui waktu pengupasan kokon yang tepat sebagai bahan pembibitan ulat sutera. Penelitian dilakukan di laboratorium dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri 3 perlakuan waktu pengupasan kokon yaitu 8 hari setelah mengokon, 7 hari setelah mengokon dan 6 hari setelah mengokon serta kontrol (0 hari). Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan waktu pengupasan kokon yang baik untuk penetasan dan rendemen ulat kecil adalah 8 hari sedangkan untuk keperidian dan jumlah pupa jadi ngengat adalah 7 hari, disamping itu waktu pengupasan kokon yang terlalu cepat dan tidak terseleksi (kontrol) menyebabkan waktu keluarnya ngengat lebih beragam. Kata kunci : Ulat sutera, pengupasan, kokon Omon, R. Mulyana PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN TABLET MIKORIZA TERHADAP PERTUMBUHAN STEK Shorea johorensis Foxw. DI RUMAH KACA (Effects of Temperature and Storage Duration of Mycorrhizae Tablet to Growth of Shorea johorensis Foxw. Cuttings in Greenhouse) / R. Mulyana Omon. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 83 - 93 , 2006 Penelitian pengaruh suhu dan lama penyimpanan tablet mikoriza terhadap pertumbuhan stek Shorea johorensis Foxw. telah dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Loka Litbang Satwa Primata, Samboja Kalimantan Timur. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan informasi suhu dan lama penyimpanan optimal tablet mikoriza untuk produksi penyediaan tanaman stek yang berkualitas di persemaian. Perlakuan dalam percobaan ini terdiri dari dua tingkat suhu dan tujuh periode lama penyimpanan. Rancangan percobaan yang

digunakan adalah faktorial dalam pola acak lengkap dengan ulangan sebanyak tiga kali. Tiap unit perlakuan terdiri dari 10 bibit. Hasil memperlihatkan bahwa penyimpanan tablet selama tiga bulan di kedua suhu yang berbeda (4o C dan 20o C) telah memberikan pengaruh yang nyata lebih baik terhadap persen hidup (86,67 %), pertumbuhan tinggi (4,32 cm), jumlah daun (4 helai), dan persentase kolonisasi akar (81,84 %) dibandingkan dengan lama penyimpanan lainnya setelah 6 bulan pengamatan. Sedangkan suhu dan interaksi antara suhu dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup, pertumbuhan tinggi, jumlah daun, dan persentase kolonisasi akar. Dengan demikian untuk rencana dan strategi penyediaan stek Shorea johorensis Foxw. yang berkualitas di persemaian direkomendasikan tablet mikoriza dapat disimpan optimal selama 3 bulan pada suhu 4o C atau 20o C untuk diinokulasikan pada stek Shorea johorensis Foxw. Kata kunci : Shorea johorensis Foxw., stek, waktu penyimpanan, mikoriza tablet

Omon, R. Mulyana PENGARUH PEMBERSIHAN ALANG-ALANG (Imperata cylindrica L. Beauv.) DENGAN HERBISIDA PADA TANAMAN JATI (Tectona grandis L.f.) DI KAWASAN REHABILITASI SAMBOJA (Effect of Alang-alang (Imperata cylindrica L. Beauv.) Clearing with Herbicide on Teak (Tectona grandis L.f.) Plantation in Samboja Rehabilitation Area) / R. Mulyana Omon; Ishak Yasir. -Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.4 ; Halaman 421 - 428 , 2006 Pengaruh pembersihan alang-alang dengan penyemprotan herbisida pada tanaman jati (Tectona grandis L.f.) umur 2,5 tahun, telah dilaksanakan di kawasan rehabilitasi Samboja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang teknik pemeliharaan tanaman jati pada lahan alang-alang. purposive dengan Pembuatan plot percobaan dilakukan secara mempertimbangkan keadaan topografi. Dua plot terletak di bukit berukuran 20 m x 25 m dengan ketinggian 87 m dpl (di atas permukaan laut) dan satu plot terletak di lembah dengan ukuran yang sama dengan ketinggian 47 m dpl. Di kedua plot tanaman jati tersebut alang-alangnya disemprot dengan herbisida, dengan dosis sebanyak 8 liter herbisida/ 800 liter air dan satu plot tanaman jati yang terletak di bukit tidak dilakukan penyemprotan sebagai kontrol. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan penyemprotan alang-alang dengan

36

herbisida pada tanaman jati telah memberikan pengaruh efektif terhadap pertumbuhan, yaitu sebesar 3,5 kali untuk diameter dan tinggi sebesar 5 kali dibandingkan dengan tidak disemprot herbisida (kontrol). Sedangkan riap diameter dan tinggi tanaman jati yang di lembah lebih tinggi dibandingkan dengan di bukit. masing-masing sebesar 2,43 cm dan 185,7 cm. Perbedaan pertumbuhan tersebut, dikarenakan kesuburan tanah di lembah lebih baik dibandingkan dengan di bukit. Dengan demikian penyemprotan alang-alang dengan herbisida pada tanaman jati dengan dosis 8 liter herbisida/800 liter air per ha dapat direkomendasikan untuk pembersihan alang-alang pada tanaman jati. Kata kunci : Tanaman jati, Tectona grandis L.f., herbisida, lahan alang-alang, Imperata cylindrica L. Beauv. Omon, R. Mulyana TEKNIK PEMBIAKAN VEGETATIF MELALUI STEK PUCUK DIPTEROCARPACEAE PADA MEDIA PADAT DAN AIR / R. Mulyana Omon. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 19-27 , 2006 Perbanyakan stek pucuk dari famili Dipterocarpaceae merupakan salah satu alternatif dalam pengadaan bibit di persemaian. Hal ini terkendala dengan masa berbuah massal yang tidak teratur dan bijinya bersifat recalcitrant yang tidak dapat disimpan lama yaitu hanya beberapa minggu saja. Keberhasilan perbanyakan dengan stek pucuk dipterokarpa dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain kelembaban, temperatur, intensitas cahaya, media, teknik, pengambilan bahan, dan hormon tumbuh yang digunakan. Untuk media padat (pasir, gambut, dan vermikulit) keuntungannya bahannya mudah diperoleh, tetapi kelemahan tidak dapat dikontrol setiap saat apakah sudah berakar atau belum dan perlu penyiraman. Sedangkan media cair (air) keuntungannya mudah dikontrol dan apabila belum berakar dapat dikembalikan ke tempat semula tanpa mengganggu proses perakaran dan tidak perlu penyiraman. Kelemahannya untuk yang pertama adalah diperlukan biaya yang besar yaitu harus tersedia kompresor atau aerator sebagai penghasil oksigen dan listrik. Teknik pembiakan vegetatif melalui stek pucuk dengan media padat (pasir, gambut, dan vermikulit) dan air (water rooting system) diperoleh dari hasil kerja sama antara Departemen Kehutanan cq. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Samarinda di Stasiun Penelitian Wanariset Samboja

dengan Yayasan Tropenbos Belanda dengan nama MOF-Tropenbos Kalimantan Project yang dimulai pada tahun 1985 sampai tahun 2000. Selain itu pula telah dikembangkan teknik pembuatan kebun pangkas sebagai sumber bahan stek dan teknik inokulasi mikoriza sebagai pemacu pertumbuhan. Sejak Juli 2002 Stasiun Penelitian Wanariset Samboja telah berubah menjadi Institusi Loka Litbang Satwa Primata. Teknik tersebut telah diaplikasikan oleh HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di Indonesia dan bahkan lebih dari 1.000 orang yang telah mengikuti training Alih Teknologi Stek Pucuk dan Kebun Pangkas di Wanariset Samboja. Selain itu banyak tamu-tamu yang datang, baik dari dalam dan luar negeri seperti Jepang, India, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan lain-lain, turut mempelajari metoda tersebut. Dari hasil pembiakan vegetatif melalui stek ada beberapa jenis yang mudah tumbuh di media padat dan cair seperti Shorea leprosula dan Shorea selanica. Selain itu ada juga beberapa jenis yang mudah tumbuh di media air antara lain Anisoptera marginata, Dipterocarpus hasseetii, Dryobalanops lanceolata, Hopea odorata, S. assamica, S. laevis, S. paucifloria, S. parvifolia, S. smithiana, S. johorensis, dan Parashorea sp. Kata Kunci: Pembiakan vegetatif, Stek pucuk, Dipterocarpaceae, Media padat, Media air Panjaitan, Sudin SISTEM CABUTAN ANAKAN ALAM SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYEDIAAN BIBIT JENIS DIPTEROCARPACEAE / Sudin Panjaitan, Rusmana dan Marinus Kristiadi Harun. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 335-345 , 2006 Pengadaan bibit Dipterocarpaceae dengan sistem cabutan anakan alam merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi kelemahan pengadaan bibit secara generatif (asal buah/biji). Tulisan ini dimaksudkan sebagai bahan informasi bagi para pelaksana di lapangan, sehingga kendala pembuatan bibit dalam skala luas dan tepat waktu dapat diatasi untuk mendukung program pembangunan hutan tanaman. Teknik pembuatan bibit sistem cabutan anakan alam harus memenuhi syarat, yaitu waktu pencabutan yang tepat, teknik pencabutan yang baik, ukuran anakan ideal, tidak terdapat deformasi batang dan akar anakan, teknik pengepakan dikondisikan lembab, penggunaan media tepat, teknik penyapihan dan pemeliharaan bibit di persemaian sesuai standar

37

Kata kunci: Cabutan anakan, Alternatif, Penyediaan bibit, Dipterocarpaceae Panjaitan, Sudin RESPON PERTUMBUHAN ANAKAN PULAI (Alstonia scholaris (L) R.Br) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK PINUFERT DAN NPK DI PERSEMAIAN BP2HTIBT, BANJARBARU/ Sudin Panjaitan, Mahliani dan Acep Akbar. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 355-373 , 2006 Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan anakan pulai akibat pemberian pupuk pinufert dan NPK. Percobaan disusun dengan Rancangan Acak Lengkap dari perlakuan pupuk pada anakan pulai umur 16 minggu yang diulang sebanyak 7 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase hidup anakan adalah 10 persen. Pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap tinggi dan diameter batang. Sedangkan antara anakan pulai yang diberi pupuk NPK 8 gr, 6 gr, 4 gr per anakan dengan pemberian pupuk pinufert 5 gr dan 10 gr per anakan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Jumlah daun anakan juga dipengaruhi oleh pemberian pupuk dimana anakan yang diberi pupuk menghasilkan nilai tertinggi pada jumlah daun dibanding tanpa pupuk. Dalam rangka pengembangan budidaya pulai di persemaian disarankan menggunakan pupuk pinufert 5 gr atau NPK gr per batang. Kata kunci: Pulai, Alstonia scholaris (L) R.Br, Pertumbuhan, Anakan pulai, Pupuk pinufert, NPK

Parthama, I.B Putera PEMANFAATAN PRANATA SOSIAL LOKAL DALAM REHABILITASI LAHAN: SEBUAH PENGALAMAN DI NUSA PENIDA BALI / I.B PUTERA PARTHAMA DAN HADI S PASARIBU. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 85-92 , 2006 Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan peduli lingkungan serta berkomitmen dalam merehabilitasi lahan ialah dengan mengaitkan dan memanfaatkan pranata sosial masyarakat lokal setempat. Dalam hal ini masyarakat diingatkan dan diarahkan untuk menerapkan konsepsi, fisolofi, serta aturan yang mereka miliki sendiri untuk melaksanakan rehabilitasi lahan, bukan diminta mengadopsi rehabilitasi lahan model baru. Pendekatan pranata sosial masyarakat setempat yang telah diaktualisasi didaerah ini antara lain: Tri Hita karana, Tri Mandala, Tri Fungsi Hutan, Lembaga Pelaksana Pura, Banjar Pakraman, dan Awig-awig. Pendekatan tersebut telah dicoba dilaksanakan di Nusa Penida, Pulau Kecil dan kering yang berada di Tenggara pulau Bali. Penerapan model ini menunjukkan hasil yang positip yaitu dengan tingkat keberhasilan tanaman 80 persen. masyarakat menunjukkan antusias yang tinggi untuk terlibat dalam rehabilitasi lahan sejak awal perencanaan hingga pelaksanaan dan pemeliharaan serta berminat untuk meningkatkan kemampuan teknisnya. Pendekatan serupa bisa diterapkan di daerah lain yang memiliki kondisi sama. Kata kunci: Rehabilitasi lahan, Pranata sosial lokal, Tri hita karana, Pranata sosial lokal

Pudja M.U KONSERVASI EMPAT JENIS ENDEMIK PAPUA DI PERTANAMAN BPPK PM MANOKWARI / Pudja M.U, Herman R. dan Daud Leppe. -Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 77-86 , 2006 Kondisi sumbardaya hutan Indonesia pada saat ini mengalami kemunduran dan dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Angka degradasi hutan tropis Indonesia selama 10 tahun terakhir, menurut data Departemen Kehutanan tahun 2000 mencapai 1.6 juta ha/tahun. Hal ini merupakan hasil dari proses panjang kegiatan pengusahaan hutan alam tropis sejak dekade 70-an sampai

38

sekarang. Oleh karena itu perlu segera dilakukan program konservasi dan rehabilitasi. Program ini merupakan salah satu dari lima program pokok Departemen Kehutanan. Konservasi secara umum dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu in-situ dan ex-situ. In-situ berarti melestarikan sumberdaya genetik pada habitat aslinya. Sedangkan ex-situ di luar habitat aslinya. Sejak tahun 1986, Balai Litbang Kehutanan Papua dan Maluku telah melakukan penanaman beberapa jenis endemik (jenis asli) potensial yang mulai terancam keberadaannya di hutan alam, seperti Agathis labillardieri, Araucaria cuninninghamii, Instia sp., Pometia sp., dan lain-lain. dalam bentuk arboretum kebun percobaan, dan kebun koleksi. Secara umum kondisi tanaman di kebun koleksi dan arboretum Inamberi dan Anggresi masih tergolong cukup baik, walaupun tempat tumbuh di tiga lokasi kurang subur, tingkat persentase hidup tegakan tergolong baik yaitu lebih dari 70 persen dengan kesehatan tegakan termasuk baik. Riap diameter rata-rata tahunan dan pertumbuhan diameter pada umur di bawah lima tahun umumnya lebih kecil dibandingkan tanaman setelah berumur di atas 10 tahun, kecuali pada jenis Pometia pinnata ada kecenderungan menurun setelah umur lebih dari 15 tahun. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan diameter rata-rata P. Pinnata umur 5 tahun 5,62 cm memberikan riap 1,12 cm/thn, umur 11 tahun dengan diameter rata-rata 15,20 cm memberikan riap 1,38 cm dan umur 16 dengan diameter rata-rata 16,80 cm memberikan riap 1,05 cm/thn. Ternyata keadaan masih berlanjut pada tahun berikutnya di mana diameter rata-rata mencapai 19,38 cm dan MAI mencapai 1,14 cm/tahun. Hal ini juga berlaku pada ketiga jenis lainnya. Awal pertumbuhan yang umumnya sulit selain disebabkan pemeliharaan yang kurang intensif, diduga juga disebabkan tanah di Manokwari umumnya bercampur karang, sehingga tanaman harus melakukan penetrasi akar terhadap karang. Oleh karena itu setelah umur tanaman di atas 10 tahun biasanya pertumbuhan mulai membaik. Dibandingkan dengan asumsi riap di hutan alam sebesar 1 cm/thn, riap di kebun koleksi dan arboretum ini dianggap masih kecil. Namun secara individual ada beberapa pohon mempunyai MAI yang cukup tinggi pada masing-masing jenis. seperti Intsia sp. dapat mencapai 2,00 cm/tahun. Pometia sp. memberikan 3 cm/tahun, Agathis sp. memberikan 2,3 cm/tahun, dan Araucaria sp. dapat mencapai 2,8 cm/tahun. Kondisi ini menunjukan bahwa pemilihan dan penanganan bibit yang tepat serta tempat tumbuh yang cocok bagi jenis-jenis tersebut diharapkan mempunyai pertumbuhan yang baik. Melihat kenyataan tersebut, jenis-jenis ini relatif mudah untuk dikonservasi dan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan tanaman dalam hutan tanaman untuk mendukung gerakan rehabilitasi lahan di Papua.

Kata Kunci: Konservasi, Endemik, Papua, Manukwari Pramono, Joko MANFAAT SERTIFIKASI SUMBER BENIH, MUTU BENIH, DAN MUTU BIBIT DALAM MENDUKUNG GERHAN / Joko Pramono dan Hendi Suhaendi. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 49-61 , 2006 Pembangunan tanaman hutan yang berkualitas memerlukan benih dan bibit bermutu. Faktor dominan yang berpengaruh terhadap mutu benih/bibit adalah genetik dan lingkungan. Mutu genetik dipengaruhi oleh asal-usul benih. Faktor lingkungan yang ditentukan mutu non genetik dibedakan manjadi mutu fisik dan mutu fisiologi dan dipengaruhi oleh teknik penanganan benih/bibit. Belum adanya sertifikasi sumber benih, mutu benih, dan mutu bibit menyebabkan konsumen tidak memperoleh jaminan terhadap asal-usul benih, mutu benih maupun mutu bibit. Perbenihan tanaman hutan yang mengandung arti segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan benih tanaman hutan menunjukan perlu adanya sertifikasi sumber benih, sertifikasi mutu benih, dan sertifikasi mutu bibit dalam mendukung GERHAN. Kata Kunci: Sertivikasi, Sumber benih, Mutu benih, Mutu Bibit, GERHAN Pratiwi REHABILITASI LAHAN KRITIS DI WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR / Pratiwi. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 55-68 , 2006 Di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), lahan kritis terjadi akibat sistem pengelolaan lahan yang tidak memadai dengan lingkungan iklim kering. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan tanah baik kimia maupun fisik, sehingga produktivitasnya menurun. Oleh karena itu upaya rehabilitasi perlu dilakukan agar kerusakan lingkungan dapat dikurangi dan produktivitas lahan dapat ditingkatkan. Agar rehabilitasi lahan kritis di daerah Nusa Tenggara Timur dapat berhasil, diperlukan informasi mengenai aspek-aspek karakteristik faktor lingkungan daerah NTT dan permasalahannya serta alternatif pengelolaannya.

39

Dengan kondisi iklim kering dan solum tanah yang tipis dan berbatu-batu, curah hujan yang rendah dan topografi sebagian besar curam sampai sangat curam mengakibatkan kesuburan daerah ini sangat rendah. Oleh karena itu diperlukan pemilihan jenis yang akan dikembangkan yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut, teknologi yang memadai dan kelembagaan yang mendukung keberhasilan program yang akan diterapkan. Kata kunci: Rehabilitasi, Lahan kritis, Nusa Tenggara Timur Prayudyaningsih, Retno HAMA DAN PENYAKIT JENIS MURBEY EKSOT DAN TINGKAT KEHILANGAN DAUNNYA PADA AKHIR MUSIM KEMARAU (Pest and Santoso. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.4 ; Halaman 429 - 435 , 2006

Kata kunci : Hama dan penyakit murbei, murbei eksot, tingkat kehilangan daun Prayudyaningsih, Retno PEMBUNGAAN DAN PEMBUAHAN BITTI (Vitex cofasus Reinw.) (Flowering and Fruiting of Bitti (Vitex cofasus Reinw.)) / Retno Prayudyaningsih; Edi Kurniawan. -- Info Hutan : Vol.III, No.2 ; Halaman 131 - 138 , 2006 Penelitian mengenai pembungaan dan pembuahan bitti (Vitex cofassus Reinw.) telah dilakukan di Arboretum dan Laboratorium Silvikultur Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi selama 6 bulan (Januari-Juni 2003). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik bunga, produksi bunga, keberhasilan bunga membentuk buah, serangga pengunjung, produksi buah, dan produksi biji tanaman bitti. Informasi ini diharapkan dapat mendukung keberhasilan proses penyerbukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakterisitk bunga bitti adalah hermaprodit dengan malai berjumlah 549,33-2.768,67 kuntum bunga, panjang bunga 0,78-0,89 cm, diameter bunga 0,78-1,13 cm, panjang stamen 0,53-0,60 cm dan 0,45-0,59 cm, dan panjang putik 0,84-1,00 cm. Jenis serangga yang selalu mengunjungi bunga bitti adalah kupu-kupu, lebah madu, dan lebah tukang kayu. Produksi bunga per cabang adalah 10.805,32-167.544,86 kuntum bunga. Pada penyerbukan secara alami 2,13 %-11,95 % bunganya akan membentuk buah. Produksi buah per pohon adalah 7.215-45.210 buah dengan produksi biji sekitar 0,59-3,77 kg. Kata kunci : Karakteristik bunga, serangga pengunjung, bitti, Vitex cofassus Reinw., penyerbukan alami

Disease of Exotic Mulberry and level of its Leaves Lost I the End of Dry Season) / Retno Prayudyaningsih; Hermin Tikupadang; Budi

Serangan hama dan penyakit pada tanaman murbei akan mengakibatkan produksi daun menurun, baik kualitas maupun kuantitasnya. Apabila masalah ini dibiarkan berlanjut, maka ada kemungkinan ketersediaan daun murbei akan berkurang dan pemeliharaan ulat sutera oleh petani akan terhambat. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wajo, Sidrap, dan Enrekang pada bulan November 2003. Jenis tanaman murbei yang diamati adalah jenis murbei eksot (Morus indica S-54 dan Morus multicaulis) dan Morus nigra. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman murbei eksot pada akhir musim kemarau serta tingkat kehilangan daun akibat serangan hama dan penyakit tersebut. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan percobaan faktorial 3 x 3. Faktor pertama adalah jenis murbei dan faktor kedua adalah lokasi. Hasil penelitian menunjukkan ada delapan jenis hama dan empat jenis penyakit yang menyerang tanaman murbei eksot selama akhir musim kemarau. Jenis hama yang paling banyak menyebabkan kerusakan adalah kutu daun (Maconellicoccus hirsutus Green) dan belalang (Valanga sp.), sedang jenis penyakit yang banyak menyebabkan kerusakan adalah bercak daun (Septogleum mori Briosi et Cavapa) dan karat (Aecidium mori Barclay). Lokasi yang tingkat kehilangan daunnya tinggi adalah Kabupaten Wajo (20,05 %) sedangkan jenis murbei yang mempunyai tingkat kehilangan daun paling tinggi adalah M. indica S-54 (15,32 %).

40

High Protein Contain of The Ornate Lorikeet (Trichoglossus ornatus Linne 1758) Diet in Capacity) / Indra A.S.L.P. Putri. -- Jurnal
Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.3 ; Halaman 259 270 , 2006

Putri, Indra A.S.L.P. PREFERENSI DAN KONSUMSI PAKAN BERPROTEIN TINGGI PADA BURUNG PERKICI DORA (Trichoglossus ornatus Linne 1758) Diet in Capacity DALAM PENANGKARAN (Preferences and Consumption of

Rahmat, Mamat PELUANG PERBAIKAN POLA AGROFORESTRY DALAM MENJAGA KELESTARIAN TAMAN NASIONAL : KASUS DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT WILAYAH SUMATERA SELATAN / Mamat Rahmat dan Manifas Zubay. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 85-93 , 2006 Program pemberdayaan masyarakat sudah seringkali dilakukan pada desa penyangga TNKS. Namun kegiatan yang bersifat destruktif masih terus berlangsung. Makalah ini mengulas pola mata pencaharian masyarakat dan interaksinya dengan kawasan TNKS, pola agroforestry yang sudah berlangsung selama ini, serta peluang perbaikan pola agroforestry tersebut dalam rangka menjaga kelestarian kawasan TNKS. Terdapat dua peluang yang keduanya bisa dilaksanakan secara bersamaan. Peluang pertama adalah melalui diversifikasi kebun karet dengan tanaman sela musiman dan tanaman pelapis dari jenis pulai. Kedua adalah dengan cara mengimplementasi model kebun campuran tersebut pada zona pemanfaatan khusus. Kata Kunci: Agroforestry, Taman Nasional, Daerah penyangga, Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera Selatan Rachmawati, Ida PENGEMBANGAN TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas LINN) SEBAGAI ALTERNATIF PENDUKUNG ENERGI BIODISEL / Ida Rachmawati. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 13-19 , 2006 Ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi cukup tinggi menyebabkan kurangnya upaya eksploitasi sumberdaya alam untuk bahan bakar alternatif. Perlu diupayakan segera cara mengatasinya melalui aplikasi kebijakan energi nasional yang mencakup intensifikasi, konservasi, dan diversifikasi energi. Pemanfaatan biodisel merupakan alternatif yang cukup menjanjikan sebagai pengganti minyak disel asal fosil. Penggunaan biodisel mendesak untuk direalisasikan karena selain sebagai solusi menghadapi bahan energi asal fosil pada masa mendatang, juga bersifat ramah lingkungan dan terbarukan. Jarak pagar (Jatropha curcas Linn) sangat prospektif untuk dimanfaatkan sebagai

Pakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan upaya penangkaran burung. Pakan utama burung perkici dora (Trichoglossus ornatus Linne 1758) di habitatnya adalah pollen dan nektar yang mengandung protein tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui preferensi dan konsumsi pakan berprotein yang dibuat dari pakan alami yaitu pepaya dan pisang ambon dengan penambahan protein, serta dampak pemberian pakan terhadap berat badan burung Perkici dora. Jenis pakan berprotein yang ditambahkan pada pakan alami adalah telur dengan kadar 10 %, 15 %, dan 20 % dari total pakan yang disajikan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi-square, t-paired sample test, anova satu arah, dan uji Tukey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa burung perkici dora yang dipelihara dalam kandang penangkaran memiliki preferensi dan konsumsi terhadap pakan berprotein tinggi dengan urutan preferensi dan konsumsi pakan adalah pakan alami > pakan berkadar telur 20 % > pakan berkadar telur 10 % > pakan berkadar telur 15 %. Selain itu pemberian pakan berkadar protein tinggi secara signifikan berpengaruh pada kenaikan berat badan burung perkici dora. Kata kunci : Preferensi, konsumsi, protein, pakan, perkici dora, Trichoglossus ornatus Linne 1758

41

bahan baku biodisel. Jarak pagar adalah tanaman yang cepat tumbuh, sangat toleran terhadap iklim tropis, dan jenis tanah sehingga sesuai untuk dikembangkan sebagai tanaman konservasi. Tanaman ini juga dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisionil, pupuk, kosmetik, pestisida, dan industri rumah tangga. Pengembangan jarak pagar untuk mendukung biodisel bertujuan untuk mengganti bahan bakar fosil dan memperbaiki polusi udara yang disebabkan oleh emisi dari pembakaran biodisel. Namun perlu dicermati pengembangan penanaman jarak pagar secara monokultur mungkin menimbulkan permasalahan lingkungan seperti keseimbangan daya dukung lahan, kondisi ekonomi, dan kondisi sosial budaya. Perlu dilakukan penelitian berbagai model penanaman secara benar dan terencana secara berkesinambungan. Teknologi ini juga harus diikuti dengan teknologi pengolahan hasil yang dapat dikelola sendiri oleh masyarakat. Kata kunci: Jarak pagar, Jatropha curcas Linn, Biodisel, Konservasi, Energi Rahmayanti, Syofia APLIKASI PUPUK DAUN DAN ZAT PENGATUR TUMBUH PADA ANAKAN JABON (Anthocephalus chinensis (lamk.) A.Rich. ex Walp.'s (Leaf Fertilizer and Growth Regulator Application to Anthocephalus chinensis (lamk.) A.Rich. ex Walp.'s Seedling) / Syofia Rahmayanti; Eka Novriyanti. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 95 - 102 , 2006 Pupuk daun dan zat pengatur tumbuh sebagai perlakuan yang diaplikasikan pada anakan jabon (Anthocephalus chinensis (Lamk.) A.Rich. ex Walp.). Pengujian statistik, menunjukkan perlakuan tersebut berpengaruh nyata hanya sampai dua bulan pertama sejak perlakuan terakhir. Saat itu, perlakuan pupuk daun 2 g/l + zat pengatur tumbuh 2 ml/l menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter yang terbesar, masing-masing dengan nilai 17,87 cm dan 3,16 cm. Perlakuan tersebut berpengaruh nyata dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi anakan jabon tapi tidak berbeda dengan perlakuan zat pengatur tumbuh 3 ml/l dalam meningkatkan pertumbuhan diameternya, yang nilainya 3,06 cm. Kata kunci: Anakan jabon, Anthocephalus chinensis (Lamk.) A.Rich. ex Walp., pupuk daun, zat pengatur tumbuh

Rayan PERLAKUAN MEDIA KECAMBAH TERHADAP BENIH TUMBUHAN PENGHASIL GAHARU (Aquilaria microcarpa) DI PERSEMAIAN BP2KK SAMARINDA. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 240-245 , 2006 Tumbuhan penghasil Gaharu (Aquilaria microcarpa) termasuk suku Thymelaceae bernilai ekonomis tinggi yang selalu diburu dan ditebang orang jika ditemukan pencari gaharu di hutan karena banyak kegunaannya seperti untuk pembuatan parfum, kosmetik dan obat-obatan dan lain-lain. Penelitian dilaksanakan di Persemaian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan dan bertujuan untuk mengetahui media perkecambahan benih tumbuhan penghasil gaharu (Aquilaria microcarpa) yang baik. Parameter yang diamati adalah kecepatan berkecambah dan daya kecambah benih. Metoda yang digunakan adalah Rancangan Percobaan Acak Kelompok dengan perlakuan-perlakuan media perkecambahan yaitu : P1 (Media Perkecambahan Pasir) dan P2 (Media Perkecambahan Pasir Campur Kompos (1:1) Hasil penelitian menunjukan bahwa proses perkecambahan benih tumbuhan penghasil gaharu jenis Aquilaria microcarpa, mulai berkecambah pada hari ke 7 dan terakhir hari ke 22 dengan rata-rata kecepatan berkecabah selama 14 hari. Sedangkan daya kecambahnya rata-rata 77,67 persen, perkecambahan benih tumbuhan penghasil gaharu dengan pemberian kompos pada media pasir disamping dapat meningkatkan daya perkecambahan juga dapat mempercepat perkecambahannya yaitu penaburan benih pada media pasir rata-rata daya kecambah dan kecepatan berkecambah masing-masing 76.67 persen dan 14.46 hari, sedangkan penaburan di media pasir campur kompos (1:1) masing-masing berturut-turut 78.67 persen dan 13,54 hari. Hal ini disebabkan karena media pasir campur kompos lebih basah/lembab dibandingkan dengan media pasir tanpa kompos dan salah satu syarat perkecambahan diantaranya harus kelembabannya stabil atau tetap terjaga dan setelah diuji secara statistik tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Kata kunci: Gaharu, Aquilaria microcarpa, Media kecambah, Daya kecambah, Kecepatan berkecambah

42

Rayan PENGARUH MEDIA TERHADAP PERTUMBUHAN CABUTAN ANAKAN ALAM JENIS TUMBUHAN PENGHASIL GAHARU (Aquilaria microcarpa) / Rayan. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 326-333 , 2006 Gaharu adalah gumpalan resin berbentuk padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum, yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika diduga akibat terinfeksi oleh sejenis jamur, serta merupakan komoditi elit dalam kelompok hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan untuk pembuatan parfum, kosmetik, dan obat-obatan. Penelitian dilaksanakan di persemaian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan perlakuan berbagai media sapih, antara lain: M1 (media topsoil), M2 (media topsoil campur tanah gambut (3:1), M3 (media topsoil campur tanah gambut (2:1), M4 (media subsoil campur tanah gambut (3:1), M8 (media topsoil campur bokasi (2:1), M9 (media subsoil campur bokasi (3:1), M10 (media subsoil campur bokasi (2:1), penelitian ini diulang dengan 3 kali ulangan yang tiap-tiap ulangan terdiri dari 30 benih. Hasil penelitian penunjukan bahwa Rata-rata pertumbuhan tinggi mencapai 29,75 cm dengan diameter 0,28 cm dan persentase hidup mencapai 82,53 persen asal cabutan anakan alam selama 6 bulan di persemaian, pemberian Gambut pada media sapih pada umumnya cenderung meningkat tetapi pemberian pada media subsoil belum dapat menyamakan kesuburan topsoilnya. Berbeda halnya dengan pemberian Bokasi pada media sapih disamping meningkatkan kesuburan tanah dan juga pemberian pada media subsoil dapat melebihi kesuburan topsoilnya. Yaitu pertumbuhan tinggi cabutan yang disapih pada media subsoil campur bokasi (M9, 32,7 cm) lebih tinggi dari pada media topsoil (M1, 29,74 cm)begitu juga dengan pertumbuhan diameternya yaitu cabutan anakan alam yang di sapih pada M9, 0,34 cm dan yang disapih pada M1 adalah 0,28 cm tetapi sebaliknya dengan persentase hidup yaitu persentase lebih rendah dengan pertumbuhan yang lebih tinggi. Kata kunci: Gaharu, Aquilaria microcarpa, Media sapih, Gambut, Bakasi

Renden, Ruben KOMBINASI PERMUDAAN ALAM Agathis dammara (Lambert) L.C. Rich. DENGAN TANAMAN Theobroma cacao Linn. PADA LAHAN KURANG PRODUKTIF DI MALILI, SULAWESI SELATAN (Combining Natural Regeneration of Agathis dammara (Lambert) L.C. Rich. With Planted Theobroma cacao Linn. at Lessproduction Land of Malili, South Sulawesi) / Ruben Renden; Merryana Kiding Allo; Suhartati. -Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.3 ; Halaman 215 - 223 , 2006 Hutan dijadikan sebagai sumber pemuas kebutuhan dan penghasilan, karena itu mereka memperlakuan hutan secara tidak bijak tanpa mempertimbangkan kemampuan alam yang ada. Selain itu pula teknik pembukaan lahan dilakukan secara tebas habis lalu dibakar (slash and burn) sehingga kerusakan lapisan topsoil tanah sulit dihindarkan. Penyediaan paket teknologi sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan jenis andalan setempat melalui penerapan teknik konservasi tanah berupa pemupukan dalam rangka rehabilitasi lahan kurang produktif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang pertumbuhan permudaan alam Agathis dammara (Lambert) L.C. Rich. yang dikombinasikan dengan tanaman Theobroma cacao Linn. pada lahan kurang produktif di Malili. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan Rancangan Petak Terpisah atau Split Plot, dengan perlakuan utama adalah dosis pupuk NPK, dan sub perlakuan adalah kombinasi antara pupuk kandang dengan kapur dolomit. Menurunnya kandungan bahan organik tanah pada bagian hutan yang telah berubah menjadi lahan HKM yaitu pada lapisan atas 5,93 dan pada lapisan bawah 5,43. Sedangkan untuk meningkatkan pertumbuhan permudaan alam agatis sebaiknya menggunakan cara penanaman campuran dengan tanaman coklat karena pemupukan akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman pokok pada penambahan bahan organik pupuk NPK 100 gram + pupuk kandang 2 kilogam + kapur dolomit 300 gram. Kata kunci : Agathis dammara (Lambert) L.C. Rich., Theobroma cacao Linn., coklat, bahan organik, NPK, pupuk kandang, dolomit

43

Retnowati, Eulis PENANGANAN JENIS INVASIF EKSOTIK Eichhorniae crassipes Solms (ECENG GONDOK) PADA BEBERAPA DAS DI PROPINSI PAPUA, INDONESIA / Eulis Retnowati. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 155-161 , 2006 Eichhorniae crassipes SOLMS (eceng gondok) adalah tumbuhan air mengambang yang berasal dari Brazil, Amerika Selatan. Tanaman ini dikenal sebagai "Water hyacinth" (di Eropa dan Amerika) "blue devil" (di Bengal), dan "German weed" (di Bangladesh). E. crassipes SOLMS pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh penjajah Belanda pada tahun 1894. Pada saat ini, jenis tumbuhan ini sudah menyebar di seluruh Indonesia. Di beberapa daerah Aliran Sungai (DAS) di Propinsi Papua Indonesia, E. crassipes SOLMS sudah menjadi gulma (jenis invasif eksotik). Tumbuhan jenis ini menutupi beberapa perairan. Saluran-saluran irigasi, dan mencemari beberapa smber air. Penanganan E. crassipes SOLMS pada DAS-DAS di propinsi Papua Indonesia ini, dapat dilakukan dengan cara: (1) memanfaatkan E. crassipes SOLMS untuk makanan ternak, pupuk biogas, membuat kertas, dan pulp, dan (2) memusnahkan E.crassipes SOLMS secara mekanis. Pemusnahan E. crassipes SOLMS tidak boleh dilakukan secara biologis atau secara kimiawi. Di Propinsi Papua Indonesia, penanganan E.crassipes SOLMS harus terpadu dan terkoordinir. Seluruh komponen masyarakat harus terlibat dalam penanganan jenis tumbuhan ini. Kata Kunci: Enceng gondok, Invasif eksotik, DAS, Papua Ruby, Kamindar MASALAH PEMBALAKAN LIAR DAN PENYELUNDUPAN KAYU DI PROVINSI RIAU (The Issue of Illegal Logging and Log Smugglings in Riau Province)/ Kamindar Ruby. -- Info Hutan : Vol.III, No.2 ; Halaman 117 - 122 , 2006 Pembalakan liar dan penyelundupan kayu mempunyai hubungan erat. Hasil pembalakan liar untuk memasok kebutuhan industri kecil, menengah dan tidak menutup kemungkinan untuk bahan baku industri besar. Pembalakan liar telah dimulai sejalan dengan pembukaan wilayah hutan oleh HPH, di mana perusahaan yang memegang ijin tersebut menebang di luar blok tebangan.

Pembalakan liar tidak saja pada hutan produksi, bahkan sudah merambah kepada hutan lindung. maupun hutan konservasi. Pembalakan liar dan penyelundupan kayu merupakan kejahatan yang terorganisir termasuk pelanggaran hukum pidana. Dampak dari kejahatan tersebut dapat mengganggu aspek kehidupan, baik dalam sektor ekonomi, sosial, maupun budaya. Untuk itu, pemberantasan dan penyidikan harus terus menerus secara serius dilaksanakan dan berkas perkara kasus tersebut segera diajukan ke pengadilan dalam waktu relatif singkat, sehingga hasil tangkapan dapat dilelang secara cepat dan disetor ke kas negara. Kata kunci : Pembalakan liar, penyelundupan kayu, pelanggaran hukum Salim, Andi Gustiani KUANTIFIKASI NILAI EKONOMI EROSI DI SUB DAS JENEBERANG, SULAWESI SELATAN (Quantification of Erosion Economics Value on Jeneberang Sub Watershed, South Sulawesi) / Andi Gustiani Salim; Laode Asir Tira; Muhammad Sulaiman. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.4 ; Halaman 343 - 356 , 2006 Pada penelitian ini, unsur hara yang terbawa erosi diasumsikan sebagai nilai ekonomi erosi atau nilai kerugian lingkungan. Nilai erosi ini dihitung dengan pendekatan biaya ganti (replacement cost), yaitu nilai erosi didekati dengan biaya ganti tanah dan unsur hara yang hilang terbawa erosi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai kerugian ekonomi lingkungan akibat erosi secara kuantitatif. Penelitian dilakukan melalui pendekatan volume sedimen yang tertampung dalam Sabo Dam (Sabo Dam diasumsikan sebagai penampung sedimen). Sedimen yang terdapat pada Sabo Dam diukur volumenya, kemudian diambil sampelnya untuk dianalisis kandungan unsur haranya. Demikian pula air yang ada pada Sabo Dam dianalisis kandungan unsur haranya. Untuk mengetahui sumber-sumber erosi, diketahui melalui pemodelan AGNPS (Agriculture Non Point Source Pollution Model) sehingga bisa diketahui besarnya kontribusi erosi masing-masing penggunaan lahan. Pendekatan biaya ganti yang digunakan dimaksudkan untuk memberikan gambaran nilai kerugian secara kuantitatif yang dialami oleh suatu wilayah akibat erosi. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa luas catchment Sabo Dam 6 adalah 74.250.000 m2 dan volume Sabo Dam 102.193,75 m3 dan pada Sabo Dam 8 volumenya sebesar 21.362,5 m3 dengan luas catchment 47.075.000 m2. Tegalan merupakan penggunaan lahan yang paling besar

44

menyumbangkan erosi pada Sabo Dam 6 dan Sabo Dam 8. Kerugian akibat erosi yang dihitung dengan pendekatan biaya ganti angkut sebesar Rp 3.678.430.307,-/thn untuk Sabo Dam 6 dan Rp 274.083.333,-/thn untuk Sabo Dam 8, dan biaya ganti unsur hara sebesar Rp 7.191.576,-/thn untuk Sabo Dam 6 dan Rp 1.545.202,-/thn Sabo Dam 8. Kata kunci : Kuantifikasi, ekonomi, erosi, tanah, unsur hara Salim, Andi Gustiani KARAKTERISTIK BIOFISIK, SOSIAL-EKONOMI, BUDAYA, DAN KELEMBAGAAN DAS LIMBOTO, GORONTALO (Characteristic of Hunggul Yudono SHN. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 159171, 2006 Daerah Aliran Sungai (DAS) Limboto merupakan salah satu DAS kritis prioritas I berdasarkan SK Menhut No. 248/Kpts-II/1999. Kekritisan ini didasarkan pada luasnya lahan kritis, tingginya tekanan penduduk, tingginya laju sedimentasi dan pendangkalan Danau Limboto, yaitu 40,6 cm/thn. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan teknik rehabilitasi lahan yang tepat untuk mengurangi laju degradasi lahan di DAS Limboto. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik biofisik, sosial-ekonomi, budaya dan kelembagaan DAS Limboto serta menentukan alternatif teknik rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) DAS Limboto. Hasil yang diperoleh yaitu karakteristik DAS Limboto meliputi bentuk DAS bulat dengan RC rasio mendekati 1(0,96), pola aliran sungai dendritik dan luas DAS 86.368,80 ha. Struktur geologi utama adalah sesar normal dan sesar jurus mendatar. Topografi beragam dari landai sampai curam. Jenis tanah bervariasi dan didominasi jenis alfisol. Penggunaan lahan terluas adalah tegalan. Jumlah penduduk 575.790 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 1%/thn dan lebih dari 52% bekerja sebagai petani. Penyebab utama luasnya lahan kritis adalah perambahan hutan, konversi hutan menjadi lahan budidaya dan perladangan berpindah. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan pengelolaan DAS Limboto diarahkan pada : Pelestarian fungsi kawasan, mencegah banjir dan kekeringan, meningkatkan produktivitas, peningkatan pendapatan dan konservasi danau. Untuk mencapai tujuan tersebut disusun alternatif arahan teknik RLKT yaitu : (a) RLKT on site yaitu : reboisasi, penghijauan, hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, agroforestry,

aplikasi teknik konservasi tanah dan air; b) RLKT off site : normalisasi sungai, peningkatan daerah resapan, konservasi sempadan sungai/danau; c) Pengembangan sosial-ekonomi dan kelembagaan : pemberdayaan masyarakat, penguatan kelembagaan, pengintegrasian program, penegakan hukum dan perundangan. Kata kunci : Biofisik, sosial-ekonomi, budaya, kelembagaan, rehabilitasi Samsoedin, Ismayadi DINAMIKA LUAS BIDANG DASAR PADA HUTAN BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN TIMUR (The Dynamic of Basal Area in Logged-Over Forest in East Kalimantan) / Ismayadi Samsoedin. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.3 ; Halaman 271 - 280 , 2006 Kegiatan eksploitasi hutan produksi di Indonesia telah dilakukan selama lebih dari 30 tahun. Informasi tentang kondisi hutan terkini terutama luas bidang dasar sangat diperlukan untuk mengetahui produktivitas hutan setelah kegiatan penebangan. Penelitian dilakukan pada kawasan hutan bekas tebangan milik PT. Inhutani I dan II di Kalimantan Timur. Data dikumpulkan dari 16 petak ukur permanen berukuran masing-masing satu hektar, terdiri dari masing-masing empat petak di LOA-5, 10, dan 30 tahun serta empat petak di lokasi hutan primer yang belum ditebang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 30 tahun setelah eksploitasi, produktivitas hutan kembali tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya jumlah pohon (577 pohon/ha) dan luas bidang dasar (46,9 m2/ha), sehingga tidak berbeda nyata dengan hutan primer (605 pohon/ha, 45,8 m2/ha), sedangkan produktivitas LOA-5 (501 pohon/ha, 28,5 m2/ha) dan 10 tahun (501 pohon/ha, 32,6 m2/ha) masih lebih rendah dibandingkan hutan primer. Dalam penelitian ini, tidak dijumpai adanya indikasi perubahan struktur tegakan yang diukur dari sebaran kelas diameter Kata kunci : Hutan hujan tropik, areal bekas tebangan, eksploitasi hutan, luas bidang dasar

Biophysics, Socio-Economics, Culture, and Institution of the Limboto Watershed, Gorontalo) / Andi Gustiani Salim, Enik Eko Wati, dan

45

Samsoedin, Ismayadi PERMUDAAN ALAM HUTAN PRODUKSI BEKAS TEBANGAN DI KABUPATEN MALINAU, KALIMANTAN TIMUR (Natural Regeneration in Logged-over Production Forest in Malinau District, East Kalimantan) / Ismayadi Samsoedin. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.3 ; Halaman 327 - 341 , 2006 Penelitian yang dilakukan di hutan hujan tropik di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kondisi permudaan alam (anakan dan pancang) pada hutan bekas tebangan. Penelitian dilaksanakan dengan menghitung jenis, jumlah, dan dominasi permudaan pada hutan bekas tebangan LOA-5, LOA-10, dan LOA-30 dan membandingkannya dengan hutan primer. Dari hasil penelitian ditemukan anakan sebanyak 1.022 jenis, yang terdiri dari 408 genus dan 111 suku, dengan Dipterocarpaceae paling dominan dibandingkan dengan suku lain. Tidak terjadi perbedaan yang nyata dalam jumlah jenis dan individu anakan antara lokasi bekas tebangan dan hutan primer. Untuk pancang, ditemukan 802 jenis, 241 genus, dan 65 suku dengan 67 jenis dari suku Dipterocarpaceae. Tidak terjadi perbedaan nyata dalam jumlah individu pancang, sedangkan untuk jumlah jenis, LOA-5 memiliki jumlah yang terbesar yang tidak berbeda nyata dengan LOA-10 dan LOA-30. Kata kunci : Hutan hujan tropik, areal bekas tebangan, regenerasi alam Samsoedin, Ismayadi KONDISI STRATA TAJUK PADA HUTAN PRODUKSI BEKAS TEBANGAN DI AREAL KERJA PT. INHUTANI I DAN II DI KABUPATEN MALINAU, KALIMANTAN TIMUR (The Condition of Canopy Strata in Logged-Over

Data dikumpulkan dari 16 petak ukur permanen berukuran masing-masing 1 hektar, terdiri dari 4 petak di LOA-5, LOA-10, dan LOA-30, serta 4 petak pada hutan primer yang belum ditebang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tidak dijumpai adanya pohon menjulang (emergent) pada hutan primer dan LOA-30. Areal ini memiliki strata tajuk yang lebih rendah dibandingkan LOA-5 dan LOA-10. Pada hutan primer, strata tajuk atas dan tengah didominasi oleh jenis-jenis dari suku Dipterocarpaceae, sedangkan Koompassia malaccensis Maing. ex. Benth. dominan di strata tajuk paling atas (emergent) pada LOA-5, LOA-10, dan LOA-30. Pohon-pohon menjulang (emergent) pada LOA-10 didominasi oleh Koompassia excelsa (Becc.) Taub. sedangkan pada LOA-5 didominasi oleh Shorea parvifolia Dyer. Kata kunci : Hutan hujan tropik, areal bekas tebangan, strata tajuk Samsoedin, Ismayadi KESUBURAN TANAH HUTAN HUJAN TROPIK DAN KESESUAIANNYA UNTUK BEBERAPA JENIS TANAMAN PERTANIAN PADA HUTAN PRODUKSI BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN TIMUR (Fertility of dan I Wayan Susi Dharmawan. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.5 ; Halaman 505 - 512, 2006

Tropical Rain Forest Soil and Its Suitability for Some Crops in LoggedOver Production Forest of East Kalimantan) / Ismayadi Samsoedin

Production Forest of PT. Inhutani I and II in Malinau District, East Kalimantan) / Ismayadi Samsoedin. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan
Konservasi Alam : Vol.III, No.4 ; Halaman 379 - 388 , 2006

Kegiatan eksploitasi hutan telah diketahui sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan hujan tropik di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi terkini mengenai kondisi hutan khususnya strata tajuk yang sangat diperlukan untuk mengetahui kerusakan hutan akibat kegiatan penebangan. Penelitian ini dilakukan pada lokasi hutan produksi bekas tebangan milik PT. Inhutani I dan II di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Pengetahuan tingkat kesuburan lahan hutan hujan tropik sangat diperlukan dalam mengembangkan tanaman pertanian untuk mendukung kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan, guna mengurangi tekanan atau intervensi masyarakat terhadap hutan. Penelitian dilakukan di lokasi hutan hujan tropik Hutan Penelitian Bulungan, Kalimantan Timur pada hutan bekas tebangan berumur 5, 10, dan 30 tahun dengan pembanding hutan primer pada ketinggian 100-300 m dpl. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi kesuburan tanah hutan pada hutan bekas tebangan berumur 5, 10, dan 30 tahun, guna mengetahui kelayakan lahan sekitar hutan untuk kemungkinan pengembangan tanaman pertanian. Penelitian dilakukan dengan mengambil contoh tanah pada lokasi hutan bekas tebangan berumur 5, 10, 30 tahun serta hutan primer untuk keperluan analisis dan penilaian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah di lokasi penelitian adalah Oxisols. Kesuburan tanahnya rendah sampai dengan sangat rendah untuk produksi tanaman pertanian, dengan tingkat kesesuaian lahan yang umumnya marginal

46

(S3) atau tidak layak (N). Hasil ini menunjukkan bahwa lahan hutan produksi dengan ekosistem hutan hujan tropik dataran rendah hanya cocok untuk mendukung kegiatan kehutanan. Kata kunci : Hutan hujan tropik, kesesuaian lahan, tanaman pertanian Samsoedin, Ismayadi POTENSI SISA KAYU PADA HUTAN PRODUKSI BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN TIMUR (Coarse Woody Debris Potential in Logged-Over Production Forest of East Kalimantan / Ismayadi Samsoedin dan/and I Wayan Susi Dharmawan. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.5 ; Halaman 564 - 574, 2006 Adanya sisa kayu besar pada hutan alam bekas tebangan adalah hal yang tidak bisa dihindari karena sisa kayu dihasilkan secara alami oleh adanya pohon yang mati dan sisa kayu penebangan yang tidak termanfaatkan. Sisa kayu besar memiliki peran penting sebagai bahan nutrisi dan hara dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, tetapi hal ini juga menunjukkan kurang efektifnya pemanfaatan kayu dalam pemanenan hutan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai sisa kayu besar di hutan bekas tebangan dan hutan alam dalam rangka memperbaiki pengelolaan hutan dan menjaga keragaman jenis. Penelitian ini dilakukan pada hutan produksi bekas tebangan di hutan hujan tropik dataran rendah, Kalimantan Timur. Data dikumpulkan dari 16 petak berukuran masing-masing 1 ha, terdiri dari empat petak untuk tiap perlakuan yaitu petak bekas tebangan berumur 5, 10, dan 30 tahun serta 4 petak pada hutan primer sebagai petak kontrol. Dari hasil penelitian ini terbukti bahwa tidak terjadi perubahan yang nyata dalam hal jumlah batang untuk sisa kayu berdiri dan rebah, luas bidang dasar, dan volume kayu antara hutan primer dengan hutan bekas tebangan 5, 10, dan 30 tahun. Meskipun tidak berbeda nyata, sisa kayu pada hutan primer di lokasi penelitian sebesar 67,3 m3/ha atau 2 kali lebih besar daripada hutan primer di Costa Rica. Kata kunci : Hutan hujan tropik, areal bekas tebangan, sisa kayu besar

Santoso, Budi EFEKTIVITAS PEMUPUKAN UREA TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAUN, DAN KANDUNGAN PROTEIN DAUN MURBEI (Morus sp. Var. NI and Morus sp. Var. AsI)) (Effectivity of Urea Fertilizer for

Growth, Leaf Production, and Protein Content for Varieties Mulberry (Morus sp. Var. NI and Morus sp. Var. AsI)) / Budi Santoso; Bintarto
Wahyu Wardani; Retno Prayudyaningsih. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.1 ; Halaman 1 - 8 , 2006

Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penelitian dan Uji Coba Malili, Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan rancangan Acak Lengkap Berblok secara faktorial. Faktor pertama adalah jenis murbei (Morus sp. var. NI dan Morus sp. Var. AsI), sedang faktor kedua adalah dosis pupuk urea yaitu 10 g, 20 g, 30 g, dan 40 g/tanaman. Untuk parameter kandungan protein rancangan penelitian menggunakan rancangan Acak Lengkap secara faktorial dengan faktor pertama adalah jenis murbei (Morus sp. var. NI dan Morus sp. Var. AsI) dan faktor kedua dosis pupuk urea. Pemberian pupuk urea pada NI dengan dosis sebesar 30 g/tanaman dapat meningkatkan panjang cabang sebesar 6,14 %, sedang pada varietas AsI dosis pupuk terbaik adalah 40 g/tanaman dapat meningkatkan panjang cabang 14,46 %. Sedang untuk parameter jumlah cabang dosis pupuk terbaik untuk kedua varietas murbei adalah 30 g/tanaman. Penambahan dosis pupuk urea dapat meningkatkan produksi daun murbei (Morus sp. var. NI dan Morus sp. Var. AsI), namun pengaruh perbedaan dosis pupuk terhadap peningkatan produksi daun tidak signifikan. Pemberian pupuk urea dengan berbagai dosis dapat meningkatkan kandungan protein daun murbei (Morus sp. var. NI dan Morus sp. Var. AsI) , namun pengaruh peningkatan dosis pupuk urea terhadap peningkatan kandungan protein daun tidak berbeda nyata. Pada NI dosis pupuk urea sebesar 30 g/tanaman dapat meningkatkan kandungan protein 3,32 %, sedang apabila ditingkatkan dosis pupuknya (40 g/tanaman) kandungan protein menurun menjadi 3,22 %. Kata kunci:

Morus sp. var. NI, Morus sp. Var. AsI, panjang cabang, produksi daun, kandungan protein daun murbei, pupuk urea

47

Santoso, Budi TINGKAT KERONTOKAN DAN PRODUKSI DAUN BEBERAPA JENIS MURBEI (Morus multicaulis Perr., Morus nigra Linn., and Morus indica S-54) DI DAERAH BERLAHAN KERING (Percentage of Mulberry Leaf Fall and Leaf Production of Some Mulberry Species Morus multicaulis Perr., Morus nigra Linn., and Morus indica S-54 in a Dry Area) / Budi Santoso; Retno Prayudyaningsih. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.2 ; Halaman 119 - 126 , 2006 Penelitian tingkat kerontokan dan produksi daun beberapa jenis murbei di daerah kering ini dilakukan di empat kabupaten yang menjadi sentra utama persuteraan alam di Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan terhadap tiga jenis tanaman murbei berumur lima tahun dalam plot percobaan di lapangan yang ditetapkan secara purposive sampling. Setiap jenis tanaman murbei di setiap tempat diteliti dalam tiga plot dengan ukuran plot 10 m x 10 m masing-masing dengan 50 tanaman. Tanaman yang masuk dalam plot kemudian dilakukan pemangkasan setinggi 40 cm dari tanah, pendangiran, perbaikan guludan, pemupukan urea 20 g/tanaman, dan pelabelan. Perlakuan ini seragam di setiap lokasi penelitian. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap tingkat kerontokan daun dan produksi daun. Tingkat kerontokan daun dipengaruhi jenis murbei, lokasi tempat tumbuh, dan interaksi antara jenis murbei dengan lokasi tempat tumbuh. Jenis murbei yang mempuyai tingkat kerontokan daun terbesar adalah Morus indica S-54 (43,49 %), sedang lokasi yang tanaman murbeinya mempunyai tingkat kerontokan terbesar adalah Kabupaten Sidrap (48,41 %). Produksi daun dipengaruhi jenis murbei dan interaksi antara jenis murbei dengan lokasi tempat tumbuh. Jenis murbei yang produksi daunnya tertinggi adalah Morus multicaulis Perr.(232,36 g/tanaman), sedang lokasi yang tanaman murbeinya mempunyai produksi daun tertinggi adalah Enrekang (229,35 g/tanaman). Kata kunci : Tingkat kerontokan daun, produksi daun, Morus indica S-54

Santoso, Budi MULTIPLIKASI TANAMAN MURBEI (Morus sp.) VARIETAS KI 14 SECARA INVITRO (Invitro Multiplication of Mulberry KI 14 Variety) / Budi Santoso; Retno Prayudyaningsih; Andi Rismawati. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.2 ; Halaman 157 164 , 2006 Penelitian multiplikasi tanaman murbei varietas KI 14 bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang konsentrasi NAA dan BAP yang optimal pada perbanyakan tanaman murbei varietas KI 14 secara invitro. Kegiatan ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Pelaksanaan penelitian selama tiga bulan antara bulan Maret sampai Mei 2004, dengan rancangan acak lengkap secara faktorial. Faktor pertama adalah konsentrasi NAA (0,05 ppm; 0,10 ppm; dan 0,15 ppm) dan faktor kedua adalah konsentrasi BAP (0,5 ppm; 1,0 ppm; dan 1,5 ppm) setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Hasil penelitian ini menunjukkan : 1) konsentrasi NAA 0,10 ppm yang terbaik untuk mempercepat terbentuknya tunas yaitu 5,8 hari; 2) jumlah tunas terbanyak (3 tunas) dicapai pada perlakuan NAA 0,05 ppm; dan 3) kombinasi perlakuan NAA 0,05 dan BAP 0,5 ppm memberi respon paling tinggi (5,492 cm) pada tinggi tunas dalam media kultur varietas murbei KI 14. Kata kunci : NAA, BAP, varietas murbei KI 14, multiplikasi, kultur jaringan, Morus sp. Santoso, Budi KESESUAIAN JENIS MURBEI DAN BIOFISIK DAERAH KERING (Compatibility of Mulberry with Its Soilss Biophysics at Dry Area of South Sulawesi) / Budi Santoso, Bintarto Wahyu Wardani, dan Retno Prayudyaningsih. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.5 ; Halaman 533 - 539, 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kesesuaian jenis murbei, curah hujan, dan fisik serta kimia tanah daerah pengembangan persuteraan alam di Sulawesi Selatan pada musim kemarau. Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yaitu Lawowoi (Kabupaten Sidrap) dan Sabangparu (Kabupaten Wajo). Pada setiap lokasi dibagi menjadi tiga blok dan setiap blok

48

terdiri atas sembilan jenis/varietas murbei. Parameter yang diamati adalah produktivitas daun, curah hujan, sifat fisik dan kimia tanah. Produksi daun tertinggi di Wajo dan Sidrap dihasilkan oleh Morus khunpa K. yaitu 193,67 g/tanaman di Wajo dan 194,00 g/tanaman di Sidrap. Curah hujan di Lawowoi (Sidrap) dan Sabbangparu (Wajo) rendah, sehingga kurang mendukung untuk pertumbuhan tanaman murbei. Tanah di Lawowoi layak digunakan untuk budidaya tanaman murbei, namun harus ditambahkan pupuk nitrogen, kalsium, dan posfor. Sedang tanah di Sabbangparu harus dipupuk dengan nitrogen, kalsium, dan posfor serta diperbaiki tekstur tanahnya. Kata kunci : Murbei, kesesuaian jenis, daerah kering Sawitri, Reny KUALITAS PERAIRAN LAHAN BASAH DI SUNGAI COMAL, PEMALANG DAN SUNGAI KEDUNG COET, INDRAMAYU (Riverine Quality of dan Konservasi Alam : Vol.III, No.2 ; Halaman 185 - 193 , 2006

digolongkan ke dalam perairan eutrophic dan S. Kedung Coet, RPH Cemara, BKPH Indramayu termasuk perairan antara eutrophic dan oligotrophic. Kata kunci: Lahan basah, kualitas fisik dan kimia air, jenis benthos dan plankton

Sawitri, Reny KAJIAN STATUS POPULASI BURUNG MERANDAI DI PANTAI UTARA PULAU JAWA (The Study Population Status of Shorebirds in North Beach of Java Island) / Reny Sawitri; Endang Karlina. -- Info Hutan : Vol.III, No.2 ; Halaman 147 - 157 , 2006 Burung merandai terbagi dua, burung penetap dan burung migran di pantai utara Pulau (P.) Jawa mengalami kecenderungan penurunan jumlah jenis maupun populasi sebagai akibat konversi lahan basah, pencemaran, dan kurangnya persediaan sumber pakan burung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status populasi burung merandai di pesisir utara P. Jawa, pencemaran habitat sebagai dampak negatif konversi lahan basah menjadi tambak dan populasi ikan yang merupakan persediaan pakan burung serta arahan pengelolaan kawasan lahan basah habitat burung merandai menjadi kawasan ekosistem esensial. Metode yang dipergunakan adalah transect line dengan menyusuri sungai menuju muara sungai, yaitu Sungai Comal dan Sungai Kedung Coet. Burung merandai terutama yang termasuk burung migran mengalami penurunan dari tahun 1987-2004 sebesar 5 % per tahun. Di Pemalang, Jawa Tengah, ditemukan 17 jenis burung merandai yang termasuk ke dalam empat famili, enam jenis diantaranya dilindungi. Sedangkan di Kedung Coet, RPH Cemara, BKPH Indramayu ditemukan 13 jenis burung merandai yang termasuk ke dalam 6 famili, 6 jenis diantaranya dilindungi. Habitat burung merandai di Pemalang telah mengindikasikan adanya pencemaran berdasarkan temuan kandungan pestisida di air tambak dan cangkang telur berupa endosulfan dengan konsentrasi di bawah 0,0002 ppm dan 0,0226 ppm, kondisi ini masih di bawah ambang batas 0,100 ppm. Di S. Comal, Pemalang, ikan yang ditemukan 32 jenis, 22 famili; dan di Kedung Coet, RPH Cemara, BKPH Indramayu, ikan yang ditemukan 10 jenis, 10 famili yang dibagi ke dalam Bagridae 18 %, Cyprinidae 14 %, Gobidae 9 %, Terraponidae 9 %, dan Chanidae 9 %. Habitat burung merandai sebagai kawasan ekosistem esensial memerlukan pengayaan tanaman mangrove untuk menarik datangnya burung merandai dan memperkaya nutrisi perairan dengan serasah guna peningkatan

Wetlands in Comal River, Pemalang and Kedung Coet River, Indramayu) / Reny Sawitri; Endang Karlina. -- Jurnal Penelitian Hutan

Pemanfaatan kawasan untuk jaringan pembuangan industri, sampah rumah tangga, eksploitasi sumberdaya alam, konversi lahan, pertanian, dan pertambakan berdampak negatif pada kualitas perairan lahan basah. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang berapa besar pengaruh dari berbagai pemanfaatan kawasan terhadap kualitas air secara fisik maupun kimia dan pengaruhnya terhadap keragaman jenis benthos dan plankton sebagai indikator kualitas lingkungan perairan. Metode yang digunakan adalah purposive random sampling pada badan Sungai (S) Comal, Pemalang dan S. Kedung Coet, Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Cemara, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Indramayu. Dari hasil penelitian disebutkan bahwa, kualitas air secara fisik maupun kimia di kedua sungai tersebut menurun sebagai akibat dari eksploitasi vegetasi mangrove dan intrusi air laut dilihat dari residu terlarut (10,373 mg/l dan 33,357 mg/l), salinitas (20 mg/l dan 25 mg/l), BOD (19,88 mg/l dan 77,12 mg/l), COD (48,20 mg/l dan 188,76 mg/l), N/P rasio (77,5 % dan 436,33 %), klorida (Cl) (3,349 mg/l dan 12,996 mg/l), sulfat (179,34 mg/l dan 6,05 mg/l), besi (0,387 mg/l dan 0,847 mg/l), dan tembaga (0,02 mg/l dan 0,117 mg/l). Jenis benthos yang mendominasi kawasan perairan adalah Gammarus spp. merupakan jenis yang bertoleransi terhadap pencemaran lingkungan. Sedangkan dari jenis plankton, kawasan di S. Comal, Pemalang

49

populasi dan keragaman jenis ikan sebagai sumber pakan burung merandai di alam. Kata kunci : Burung merandai, ikan, ekosistem esensial lahan basah Setiawan, Ogi KUANTIFIKASI JASA HUTAN LINDUNG SEBAGAI PENGATUR TATA AIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PALU (Quantification of Protected Forest as A Stream Regulator at Palu Watershed) / Ogi Setiawan; Ryke Nandini. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.3 ; Halaman 309 - 326 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang potensi dan nilai ekonomi jasa hutan lindung khususnya sebagai pengatur tata air. Penelitian ini dilaksanakan di DAS Palu yang mempunyai hutan lindung seluas 86.294 ha atau 25,4 % dari luas total DAS Palu (BAPLAN Kehutanan, 2002). Dalam analisis data untuk mengetahui hasil air sebagai dampak ada atau tidaknya hutan lindung terhadap jasa yang diberikan digunakan pendekatan bilangan kurva (curve number). Sedangkan untuk kuantifikasi jasa lingkungan yang diberikan hutan lindung dilakukan dua pendekatan yaitu nilai manfaat dan dampak. Kedua pendekatan ini menggunakan beberapa metode perhitungan antara lain travel cost, biaya pengganti, harga pasar, dan kontingensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa jasa hutan lindung DAS Palu sebagai pengatur tata air yaitu jasa pengatur tata air untuk pertanian, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), jasa air untuk konsumsi rumah tangga, jasa air untuk perikanan, dan jasa proteksi terhadap banjir. Hasil kuantifikasi jasa hutan lindung tersebut dalam satu tahun adalah Rp 116.526.335.765,- atau setara dengan Rp 1.350.294,-/hektar/tahun. Banyaknya manfaat yang diberikan hutan lindung sebagai pengatur tata air menunjukkan bahwa terdapat banyak stakeholder yang terlibat. Partisipasi aktif dan persamaan persepsi antar stakeholder, adanya dukungan kelembagaan termasuk di dalamnya lembaga, aturan, dan mekanisme pembiayaan/insentif sangat diperlukan untuk menuju pengelolaan hutan lindung yang lestari. Kata kunci : Hutan lindung, nilai ekonomi, pengatur tata air

Setiawan, Ogi KUALITAS ALIRAN SUB DAS WUNO DAN MIU DAS PALU (Discharge Quality of Wuno and Miu Sub Watershed, Palu Watershed) / Ogi Setiawan; Hunggul Yudono SHN. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.4 ; Halaman 389 - 400 , 2006 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang kualitas aliran sub DAS Wuno dan sub DAS Miu, DAS Palu sebagai dampak pengelolaan lahan serta informasi untuk menentukan arahan pengelolaan lahan di DAS tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan pendekatan model, dalam hal ini model AGNPS. Model AGNPS merupakan model kejadian hujan yang berbasis sel segi empat dengan tiga komponen utama yaitu hidrologi, erosi, dan unsur hara. Model ini juga mampu menentukan sumber erosi dan pencemar. Hasil penelitian di sub DAS Wuno pada kejadian hujan 53 mm, erosi yang dihasilkan adaalah 0,71 ton/ha dengan hasil sedimen 13.451 ton atau setara dengan 15,53 ton/ha/tahun untuk curah hujan tahunan 978,8 mm. Sumber erosi di sub DAS Wuno adalah ladang. Konsentrasi unsur hara adalah 29,49 mg/liter untuk N; 0,09 mg/liter untuk P; dan 124 mg/liter untuk COD. Konsentrasi N dan COD melebihi batas maksimum yang diperbolehkan untuk air minum, perikanan, pertanian, dan peternakan. Sedangkan konsentrasi P masih berada di bawah ambang batas maksimum. Adapun sumber pencemar unsur hara adalah ladang dan kebun campuran. Pada kejadian hujan 65 mm, tingkat erosi di sub DAS Miu adalah 0,41 ton/ha dengan hasil sedimen 7.965 ton. Bila curah hujan tahunan 1.118,5 mm maka erosi yang terjadi setara dengan 6,93 ton/ha/tahun. Ladang, kebun campuran, dan coklat merupakan sumber erosi terbesar. Konsentrasi N (1,25 mg/liter), P (0,13 mg/liter), dan COD (19 mg/liter) masih ada di bawah ambang batas maksimum yang diperbolehkan untuk semua pemanfaatan air. Arahan pengelolaan lahan untuk kedua sub DAS secara umum adalah penerapan teknik konservasi tanah dan air, penerapan sistem agroforestry, pengembalian kawasan fungsi lindung, dan pengurangan pemakaian pupuk non organik dan diganti dengan pupuk organik. Kata kunci : Kualitas aliran, model AGNPS

50

Biophisic and Social Economy of Community for Supporting Rongkong Watershed Management) / Ogi Setiawan; Ryke Nandini. -- Jurnal

Setiawan, Ogi STUDI BIOFISIK DAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DALAM RANGKA MEMANTAPKAN PENGELOLAAN DAS RONGKONG (Study of Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.4 ; Halaman 401 419 , 2006 Penelitian ini dilaksanakan di DAS Rongkong, Kabupaten Luwu Utara. Adapun tujuannya adalah untuk mendapatkan data dan informasi biofisik, sosial dan ekonomi masyarakat, dan informasi tentang arahan penggunaan lahan di DAS Rongkong. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga tahap kegiatan, yaitu interpretasi peta, pengamatan lapangan serta wawancara dan studi literatur. DAS Rongkong mempunyai luas 182.011,3 ha, penggunaan lahan DAS Rongkong didominasi hutan campuran 110.839,5 ha (61,4 %) dan kebun campuran 44.098,5 ha (23,9 %). Tipe iklim DAS Rongkong adalah A (sangat basah), jenis tanah dominan podsolik merah kuning (45,5 %), dan kelas lereng didominasi lereng sangat curam (> 40 %). Nilai KRS mempunyai kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan tingkat erosi 2,01 ton/ha/tahun dan laju sedimentasi 1,35 mm/tahun. Berdasarkan hasil analisis aliran permukaan, penyumbang aliran permukaan terbesar adalah kebun campuran dan kebun sejenis. Kelas KPL yang mendominasi DAS Rongkong adalah KPL IV. Jumlah penduduk DAS Rongkong 122.468 jiwa, dengan tingkat pendapatan Rp 225.000,-/bulan - Rp 275.000,-/bulan. DAS Rongkong mempunyai kelembagaan formal dan informal yang berpotensi untuk dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pengelolaan DAS. Berdasarkan kriteria dan indikator hidrologi, lahan, sosial, ekonomi dan budaya DAS Rongkong mempunyai skor nilai 1,96 yang berarti bahwa kondisi DAS Rongkong termasuk sedang. Arahan pemantapan pengelolaan DAS Rongkong adalah perbaikan kualitas penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air serta adanya dukungan institusional. Kata kunci: Biofisik, sosial dan ekonomi, pengelolaan DAS, arahan penggunaan lahan

Siahaan, Hengki TEKNIK SILVIKULTUR ULIN (Eusideroxylon zwageri T.et B.) / Hengki Siahaan...(et.al) . -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 181-185 , 2006 Ulin (Eusideroxylon zwager T.et B) merupakan salah satu jenis andalan di Sumatera bagian selatan dan Kalimantan. Kualitas kayunya tinggi karena termasuk dalam kelas kuat I dan kelas awet I sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti konstruksi bangunan, konstruksi dalam air, Jembatan, dan bantalan rel kereta api. Saat ini akibat eksploitasi ulin yang dilakukan secara terus menerus tanpa diimbangi kegiatan penanaman telah menjadikan potensi jenis ini semakin berkurang dan jika tidak segera diantisipasi dapat berdampak lebih buruk berupa kelangkaan dan kepunahan. Tulisan ini menyajikan teknik silvikultur ulin yang meliputi aspek perbenihan, pembibitan, pemeliharaan bibit, hingga penanaman di lapangan yang dirangkum dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan informasi awal untuk melakukan budidaya dan konservasi jenis ulin. Kata Kunci: Silvikultur, Ulin, Eusideroxylon zwager T.et B Setyowati, Retno PERTUMBUHAN JENIS ANDALAN SETEMPAT UNTUK REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI / Retno Setyowati. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 137-146 , 2006 Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) secara klimatologis dimasukkan ke dalam daerah semi arid karena curah hujan yang relatif rendah (sebagian besar tipe iklim E dan F) dan didominasi oleh keadaan vegetasi seperti savana dan stepa, curah hujan rata-rata setahun berkisar antara 710-1.500 mm dengan hari hujan 50-100 hari. Dengan kondisi seperti itu, banyak dijumpai lahan terdegradasi di NTT. Untuk mencegah dan mengurangi kerusakan lahan yang lebih parah maka perlu dilakukan upaya pengendalian yaitu melalui kegiatan rehabilitasi lahan terdegradasi. Kegiatan rehabilitasi lahan dalam bentuk penghijauan /reboisasi bertujuan untuk memperbaiki lahan yang rusak dan tidak produktif serta mengurangi erosi permukaan dan meningkatkan kondisi hutan ke arah yang

51

lebih produktif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang pertumbuhan jenis-jenis andalan NTT sebagai bahan pertimbangan dalam rehabilitasi lahan dengan menggunakan berbagai perlakuan media tumbuh di persemaian. Dengan adanya teknologi tepat guna rehabilitasi lahan terdegradasi ini diharapkan mampu mempercepat keberhasilan upaya rehabilitasi lahan terdegradasi di NTT. Kata kunci : Rehabilitasi lahan, Jenis andalan setempat, NTT Siran, Sulistyo A. GAHARU, KOMODITI HHBK ANDALAN KALIMANTAN TIMUR / Sulistyo A. Siran, Ngatiman, dan Yusliansyah. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 29-48 , 2006 Gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang mempunyai peranan penting untuk meningkatkan devisa negara dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Dalam makalah ini diuraikan antara lain gambaran umum tumbuhan penghasil gaharu di Kalimantan Timur, jenis penghasil gaharu,pemungutan dan pengolahan gaharu, kandungan dan manfaat gaharu, tata niaga dan klasifikasi mutu gaharu, tata niaga gaharu, status penelitian gaharu dan program penelitian dan pengembangan gaharu. Status penelitian gaharu di Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan kalimantan antara lain budidaya meliputi teknik produksi bibit gaharu melalui biji, cabutan , dan stek pucuk, pembentukan gaharu dengan menginokulasikan Fusarium sp. Pada pohon penghasil gaharu menggunakan inokulasi padat dan cair, teknik penyulingan dengan menggunakan gaharu mutu rendah untuk menghasilkan minyak gaharu, habitat tempat tumbuh gaharu yang mempelajari mengenai penyebaran jenis gaharu secara alami dan ekologinya.Konservasi insitu dan ex-situ pada jenis-jenis gaharu yang ada di kalimantan Timur, mempelajari beberapa kajian yang menyangkut manfaat gaharu, tata niaga gaharu, serta standarisasi produksi gaharu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar hutan, promosi, dan alih teknologi pengembangan gaharu yang dilakukan pada beberapa kabupaten seperti Berau, Kutai barat, Malinau, Pasir, dan Nunukan, penerbitan publikasi khusus mengenai gaharu, monitoring pengembangan gaharu serta sosialisasi dan diseminasi pengembangan gaharu dengan cara penyebaran informasi melalui media cetak dan media elektronik (RRI dan TVRI) dan penyebaran informasi dengan ekspose hasil-hasil penelitian.Program penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan

mengenai pohon penghasil gaharu meliputi: litbang budidaya gaharu, teknik pemanenan, pengelolaan dan standarisasi mutu, pembentukan gaharu, habitat tempat tumbuh gaharu, kajian sosial ekonomi masyarakat pencari gaharu dan pemasaran gaharu serta kajian pemanfaatan pohon penghasil gaharu untuk bahan baku MDF dan pensil. Kata Kunci: Gaharu, HHBK, Kalimantan Timur Siregar, Mustaid TINJAUAN JENIS-JENIS POHON LOKAL BALI YANG BERPOTENSI DIKEMBANGKAN SEBAGAI KAYU KOMERSIL / MUSTAID SIREGAR, NI KADEK EROSI UNDAHARTA DAN HARTUTININGSIH M SIREGAR. -Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 93-100 , 2006 Pengembangan jenis-jenis lokal yang sudah sesuai dengan kondisi biofisik wlayah Bali seperti kondisi tanah, iklim, dan faktor fisik lainnya akan lebih mudah dikembangkan daripada mengembangkan jenis eksotik lainnya. Akan tetapi perlu pertimbangan jenis-jenis yang mendapat prioritas mengingat status konservasinya telah mulai mengalami kelangkaan di alam yaitu Manikara kauki (L.) Dub., Dalbergia latifolia Roxb., Lagerstroemia speciosa Pers., Santalum album Linn., Cordia subcordata Lamk., Dysoxylum caulostachyum Miq., Heritiera littoralis Dryand, Mimusops elengi L., dan Murraya paniculata Jack. Kata kunci: Pohon lokal, Kayu komersial, Konservasi, Kelangkaan jenis

52

Siringoringo, Harris Herman PERUBAHAN KANDUNGAN KARBON TANAH PADA TEGAKAN Paraserianthes falcataria (L) Nielsen DI SUKABUMI, JAWA BARAT

(Soil

Paraserianthes falcataria (L) Nielsen Plantation In Sukabumi, West Java / Harris Herman Siringoringo dan/and Chairil Anwar Siregar. -Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.5 ; Halaman 477 - 489, 2006 Karbon tanah dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Oleh karena itu, mempelajari perubahan kandungan karbon tanah di bawah tegakan hutan tanaman adalah sangat penting. Tujuan utama penelitian ini untuk mendapatkan informasi tentang perubahan kandungan karbon dengan cara membandingkan kandungan karbon tanah, kerapatan tanah, dan simpanan karbon tanah kumulatif pada tegakan hutan tanaman Paraserinthes falcataria (L) Nielsen dan vegetasi awalnya (hutan sekunder). Penelitian dilaksanakan pada jenis tanah Latosol Coklat Kemerahan (Ferralsols/Oxisols) dengan kondisi iklim B (curah hujan tahunan 2.929 mm) di Desa Buniwangi, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan karbon tanah lebih tinggi pada lapisan permukaan tanah dan menurun pada lapisan tanah yang lebih bawah. Karbon tanah pada kedalaman 0-30 cm di bawah tegakan P. falcataria dan vegetasi baseline tidak menunjukkan perbedaan, yaitu berturut-turut 1,52-3,16 % dan 1,24-3,21 %. Sedangkan kerapatan tanah (BD) pada tegakan P. falcataria lebih tinggi daripada kerapatan tanah pada vegetasi baseline pada kedalaman 0-30 cm, yaitu berturut-turut 0,83-0,86 g/cc dan 0,73-0,76 g/cc. Sementara simpanan karbon tanah kumulatif pada kedalaman 0-30 cm di bawah tegakan P. falcataria sedikit lebih tinggi daripada vegetasi baseline walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan, yaitu sebesar 59,43 ton/ha dan 51,16 ton/ha secara berurutan. Sistem tegakan hutan tanaman rakyat jenis P. falcataria belum memberikan pengaruh yang berarti terhadap peningkatan kandungan karbon tanah dan simpanan karbon tanah kumulatif pada saat tegakan berumur 6-7 tahun. Kata kunci : Karbon tanah, kerapatan tanah, simpanan karbon tanah kumulatif

Carbon

Changes

Affected

ByThe

Establishment

of

Siringoringo, Harris Herman MODEL PERSAMAAN ALLOMETRI BIOMASA TOTAL UNTUK ESTIMASI AKUMULASI KARBON PADA TANAMAN PARASERIANTHES FALCATARIA (L) NIELSEN (Total Biomass Allomeric Equation Model For Assessing Accumulated Carbon In Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) / Harris Herman Siringoringo dan/and Chairil Anwar Siregar. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.5 ; Halaman 541 553, 2006 Pertumbuhan pohon yang ditopang oleh proses fotosintesis dapat mengurangi konsentrasi karbondioksida di atmosfir. Oleh karena itu, pendugaan fiksasi karbon pada tanaman pohon yang dihubungkan dengan isu pemanasan global menjadi penting sebagai bagian dari upaya untuk mengetahui simpanan karbon dalam biomasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang dugaan peningkatan simpanan karbon pada biomasa hutan tanaman rakyat jenis Paraserinthes falcataria (L) Nielsen yang disajikan dalam model matematik. Penelitian dilaksanakan pada tipe tanah Latosol Coklat Kemerahan (Ferralsols/Oxisols) dengan kondisi iklim tipe B (curah hujan tahunan 2.929 mm) di desa Buniwangi, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Biomasa total Paraserinthes falcataria (L) Nielsen dan vegetasi baseline-nya diduga dengan menggunakan keeratan hubungan allometri antara DBH dan biomasa total dan atau (DBH)2H dan biomasa total. Sedangkan biomasa tumbuhan bawah pada tegakan Paraserinthes falcataria (L) Nielsen dan baseline diduga dengan menggunakan keeratan hubungan allometri antara persen penutupan tajuk dikalikan dengan tinggi maksimum tumbuhan bawah (UC x UH-max) dan biomasa tumbuhan bawah di atas tanah. Peningkatan karbon terfiksasi dihitung berdasarkan perbedaan produksi karbon biomasa antara tegakan hutan tanaman Paraserinthes falcataria (L) Nielsen dan vegetasi baseline. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persamaan allometri yang dibangun untuk menduga biomasa total tegakan Paraserinthes falcataria (L) Nielsen adalah 0,1479 (DBH)2,2989, (R2 = 0,9445) berdasarkan persamaan DBH-biomasa total; dan 0,0986 (DBH)2H0,8144, (R2 = 0,9458) berdasarkan persamaan (DBH)2Hbiomasa total. Simpanan karbon dalam biomasa tegakan Paraserinthes falcataria (L) Nielsen hampir 3 kali lebih besar daripada biomasa pada vegetasi baseline-nya, yaitu sebesar 28,9 ton karbon/ha (persamaan DBH-biomasa) dan 28,05 ton karbon/ha (persamaan (DBH)2H-biomasa, dan simpanan karbon pada vegetasi baseline-nya sebesar 10,96 ton C/ha (persamaan DBH-biomasa) dan 9,05 ton C/ha (persamaan (DBH)2H-biomasa). Sedangkan selisih produksi karbon dalam biomasa tumbuhan bawah tegakan Paraserinthes falcataria (L)

53

Nielsen dan tumbuhan bawah vegetasi baseline terbukti sangat kecil dan tidak berbeda nyata, yakni masing-masing sebesar 2,06 ton C/ha dan 1,9 ton C/ha, secara berurutan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa peningkatan karbon terfiksasi oleh tegakan Paraserinthes falcataria (L) Nielsen adalah sebesar 1819 ton C/ha atau setara dengan 66-70 ton CO2/ha, dengan kerapatan tegakan sebesar 1.300 pohon/ha. Kata kunci : Persamaan allometri, biomasa total, simpanan karbon, peningkatan karbon terfiksasi Sofyan, Agus PERTUMBUHAN TANAMAN JATI (Tectona grandhis Linn.) PADA BEBERAPA DAERAH DI SUMATERA SELATAN / Agus Sofyan...(et.al) . -Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 77-83 , 2006 Pertumbuhan tanaman jati pada berbagai lokasi di beberapa kabupaten di Sumatera penting untuk diketahui mengingat animo masyarakat pada tanaman jati sangat tinggi namun potensi kesesuaian lahannya belum diketahui. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan survey, pengukuran pertumbuhan tanaman serta identifikasi kualitas tapak melalui pembuatan profil dan pengambilan contoh tanah untuk analisis kimia tanah pada masing-masing plot yang telah ditentukan, juga dilakukan pengukuran tinggi dan diameter, umur dan pemeliharaan. Beberapa plot tanaman jati di wilayah Kabupaten OKI dan Banyuasin mengalami kendala pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sementara di beberapa wilayah Kabupaten OKU tanaman jati tumbuh normal, hal ini menunjukan bahwa tanaman jati dapat dikembangkan di wilayah tertentu dengan kondisi lahan yang mempunyai persyaratan tempat tumbuh (edafis) dan iklim (klimatis) sesuai dengan kriteria kelas kesesuaian lahan untuk tanaman jati (site-species matching). Pengembangan jenis eksot di wilayah Sumatera Selatan harus diketahui terlebih dahulu data dasar potensi lahan serta kesesuaiannya menyangkut persyaratan tumbuh jenis yang akan dikembangkan. Kata Kunci: Tanaman jati, Tectona grandhis Linn, Sumatera Selatan

Subiakto, Atok PENGEMBANGAN TEKNOLOGI STEK PUCUK UNTUK HUTAN TANAMAN / Atok Subiakto dan Chikaya Sakai. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi : Halaman 1-7 , 2006 Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam bekerjasama dengan KOMATSU Ltd. telah berhasil mengembangkan teknik stek untuk propagasi secara massal jenis-jenis meranti dan pohon indigenous lainnya. Teknik yang telah dikembangkan ini dinamakan KOFFCO system akronim dari Komatsu-FORDA Fog Cooling System. Teknik ini mengatur kondisi ideal untuk proses perakaran dari jenis-jenis meranti seperti S.leprosula dan S. selanica. Kondisi lingkungan yang diupayakan optimal adalah (1) cahaya antara 5.000-20.000 lux, (2) kelembaban di atas 95 persen, (3) temperatur di bawah 30 derajat C., dan (4) media yang higienis, poros dan dapat mengikat air. Komponen utama sistem ini adalah pompa air, nozel, dan termostat. Sistem ini bekerja secara otomatis bila temperatur dalam rumah kaca mencapai 30 derajat C. Ujicoba produksi stek masal dengan KOFFCO system telah dilaksanakan di P3HKA, Bogor, Jabar; Balitbang Kehutanan Samarinda, Kaltim; Balitbang HTI Banjarbaru, Kalsel; dan Loka Litbang HHBK Kuok, Riau. Sampai saat ini sebanyak 24 jenis-jenis indigenous telah dicoba dengan KOFFCO system yaitu Anisoptera marginata, D. Grandiflorus, Hopea bancana, H. gragaria, H. odorata, Shorea acuminatissima, S. balangeran, S. guisso, S. javanica, S. johorensis, S. laevis, S. leprosula, S. macrophylla, S. ovalis, S. palembanica, S. parvifolia, S. pinanga, S. platyclados, S. Selanica, S. seminis, S. smithiana, S. stenoptera, Vatica sumatrana, Gonistylus bancanus, Dyera costulata, Alstonia scholaris, dan Fragaea fragrans. Persen beakar bervariasi antara 0 persen sampai 99 persen tergantung jenisnya. Dengan dukungan JICA, alih teknologi teknik ini sedang dilaksanakan kepada sektor kehutanan di Indonesia. Kepada para pihak yang berminat memanfaatkan teknologi ini dapat menghubungi Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam di Bogor. Kata Kunci: Stek pucuk, Hutan tanaman

54

Sugiana, Agis Nursyam KAJIAN POTENSI DAN BIOFISIK TAMAN NASIONAL KELIMUTU DI PULAU FLORES/ Agis Nursyam Sugiana, Mariana Takandjandji, Kayat. -- Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 13-30 , 2006 Kajian potensi dan biofisik Taman Nasional perlu dilakukan agar data yang diperoleh bisa dijadikan dasar untuk menentukan langkah pengelolaan selanjutnya. Seyogyanya Taman Nasional yang telah ditunjuk sudah harus mengetahui potensi dan biofisik kawasannya, sehingga pengelolaannya bisa fokus, efektif, dan efisien. Oleh karena itu menjadi urgen untuk mengkaji kondisi potensi dan biofisik kawasan, agar pengelolaan taman nasional lebih fokus dan tepat guna. Hasil pengamatan (data primer) dan pengumpulan data sekunder menyatakan bahwa flora yang ditemukan dalam kawasan TN Kelimutu, tingkat semai sebanyak 42 jenis didominasi oleh kirinyuh (Chromolaena odorata), belta 31 jenis didominasi oleh cemara (Casuarina junghuhniana) dan lamtoro (Leucaena leucacephalla), dan pohon 41 jenis didominasi oleh cemara (Casuarina junghuhniana) dan ampupu (Eucalyptus urophylla). Sedangkan fauna yang ditemukan terdiri dari jenis aves 20 jenis; jenis mamalia 9 jenis; dan reptilia 5 jenis. Kata kunci: Danau tiga warna, Flora, Fauna, Taman Nasional Kelimutu, Flores, Potensi, Biofisik Suhaendi Hendi STRUKTUR DAN TEKNIK PEMELIHARAAN TEGAKAN TINGGAL HUTAN RAWA GAMBUT DI AREAL KERJA HPH PUTRA DUTA INDAH WOOD / Hendi Suhaendi. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 31-43 , 2006 Pengelolaan hutan rawa gambut dilaksanakan dengan system silvikultur Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI), penebangan pohon dilakukan pada pohon berdiameter 40 cm ke atas. Untuk menjamin adanya produksi kayu perdagangan pada rotasi tebang berikutnya, perlu dilakukan pemeliharaan tegakan tinggal. Pemeliharaan tegakan tinggal ditujukan untuk memelihara dan

membina pohon-pohon jenis komersial, dengan cara menunjuk dan menandai minimal 100 batang per hektar pohon-pohon jenis komersial berdiameter di bawah 40 cm, termasuk di dalamnya pohon inti sebanyak 25 batang per hektar yang berdiameter >atau sama dengan 35 cm. Komposisi jenis dan tingkat pertumbuhan pohon binaan yang terdapat di tegakan tinggal hutan rawa gambut di kelompok hutan Sungai Kumpeh dan Sungai Air Hitam Laut, Jambi di dalam petak coba seluas 6 hektar terdiri dari 78 batang pohon (13 persen), 98 batang tingkat tiang (16,3 persen), dan 424 batang tingkat pancang (70,67 persen) Kata kunci: Teknik pemeliharaan, Tegakan tinggal, Rawa gambut, Putra Duta Indah Wood Suhartati TEKNIK PEMBIBITAN BITTI (VITEX COFASUS REINW.) SECARA KULTUR JARINGAN (Seedling Cultivation Technique of Bitti (Vitex cofasus Reinw.) by Tissue Culture Methode) / Suhartati. -- Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol.III, No.2 ; Halaman 165 176 , 2006 Teknik pembibitan bitti (Vitex cofassus Reinw.) dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi, Makassar. Penelitian perbanyakan tanaman bitti secara kultur jaringan, bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kombinasi antara sumber eksplan dan jenis zat pengatur tumbuh yang terbaik untuk perkembangan kalus, serta komposisi media yang terbaik untuk pertumbuhan planlet tanaman bitti. Perlakuan yang dicobakan adalah kombinasi antara sumber eksplan dan jenis zat pengatur tumbuh, dan perlakuan berbagai jenis komposisi media kultur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi antara sumber eksplan embrio dan 0,1 ppm NAA menghasilkan perkembangan kalus yang terbaik yaitu 90 %. Komposisi media yang terbaik untuk pertumbuhan tunas planlet adalah 1,0 ppm BAP + 1,0 ppm GA3. Media tersebut juga dapat untuk perbanyakan bibit bitti secara kultur jaringan. Kata kunci : Bitti, Vitex cofassus Reinw., kultur jaringan, pengatur tumbuh, kalus media kultur, zat

55

Sukresno PELUANG KEMITRAAN MULTI PIHAK DALAM PEMBANGUNAN BERBASIS DAS DI NTT / Sukresno. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 93-102 , 2006 Kondisi DAS super prioritas (kritis) yang harus segera direhabilitasi/dikonservasi untuk menyelamatkan sumberdaya hutan, tanah dan air telah meningkat jumlahnya dari semula 22 DAS pada tahun 1984 menjadi 39 DAS pada tahun 1994, 42 DAS pada tahun 1998, dan 58 DAS pada tahun 2000 dari total 470 DAS. Di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini empat DASnya masuk dalam kategori Prioritas I, yaitu DAS Benain, DAS Noelmina, DAS Aesesa, dan DAS Kambaniru, dimana secara administrasi DAS Benain terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Balu, DAS Noelmina di Kabupaten Kupang, DAS Aesesa di Kabupaten Ngada, dan DAS Kambaniru di Kabupaten Sumba Timur. Walaupun propinsi NTT dikenal sebagai daerah beriklim semi arid (kering), namun akhir-akhir ini bencana alam banjir dan tanah longsor intensitasnya meningkat dan terjadi hampir setiap tahun di semua kabupaten. Dengan pendekatan DAS sebagai unit analisis akan diteliti bagaimana peluang kemitraan multi pihak dalam pembangunan berbasis DAS di NTT khususnya dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah terkait isu bencana banjir dan tanah longsor pada empat DAS kritis di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hasil yang diperoleh yaitu: 1) Identifikasi permasalahan DAS atau Sub DAS dapat dilakukan secara langsung (data hidrologi yang diperoleh dari SPAS) dan atau pendugaan (sidik cepat penilaian degradasi sub DAS); 2) empat DAS kritis di NTT, DAS Benain, DAS Noelmina, dan DAS Kambaniru secara hidrologis tergolong kritis dengan nilai KRS (Qmks/Qmin)>120;3) Upaya penanggulangan banjir, potensi banjir dan atau daerah rawan banjir sebaiknya didasarkan pada sumber penyebabnya serta kesesuaian tata ruang wilayahnya sehingga sasaran dan implementasi kegiatan yang dilakukan dapat lebih efektif; 4) Dengan mengetahui permasalahan yang ada dalam suatu DAS/Sub DAS serta rencana penanganan yang sesuai dengan hierarkhinya maka dimungkinkan para pihak terkait (stakeholders) berperan aktif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut (misal kasus banjir)sesuai dengan kewenangan dan hierarkhinya; 5) Tindak lanjut analisis permasalahan banjir di DAS Benain, Noelmina dan Kabaniru perlu dilakukan pada tingkat yang lebih detail (Sub DAS/Sub Sub DAS, dan atau satuan lahan) untuk mengetahui sumber-sumber penyebabnya; dan

6) peran dan kewenangan stakeholders terkait dapat dilakukan analisis lebih lanjut untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan. Kata kunci: DAS, kemitraan, NTT, Banjir Sumarhani TEKNIK BUDIDAYA PADI GOGO TAHAN NAUNGAN UNTUK KELANGSUNGAN USAHATANI TUMPANGSARI / Sumarhani. -Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 163-174 , 2006 Penelitian teknik budidaya padi Gogo di bawah tegakan mangium (Acacia mangium), Jati (Tectona grandis). dan Khaya (Khaya anthotheca0 telah dilakukan di areal hutan tanaman masing-masing di KPH Bogor, KPH Sukabumi, dan KPH Banyumas Barat. Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk menyampaikan informasi hasil penelitian padi gogo tahan kekeringan, pH tanah rendah, resisten naungan, dan berumur genjah di berbagai tegakan hutan tanaman. Selanjutnya informasi ini diharapkan dapat membantu petani sekitar hutan dalam pengadaan tanaman pangan padi gogo tahan naungan secara berkesinambungan melalui sistem tumpangsari. Hasil uji coba lima varietas/galur padi gogo di bawah tegakan hutan tanaman magium umur 5 tahun dengan intensitas cahaya 68 persen menunjukan bahwa produksi gabah tertinggi adalah padi gogo varietas Jatiluhur dengan rata-rata produksi sebesar 1,4 ton/ha dan galur TB 177E-TB-28-B-3 rata-rata sebesar 1,2 ton/ha. Di bawah tegakan hutan tanaman jati umur 3 tahun dengan intensitas cahaya 64 persen, produksi gabah tertinggi adalah padi gogo verietas Jatiluhur dengan rata-rata produksi sebesar 1,3 ton/ha dan galur Dt 15/II/KU rata-rata sebesar 1,2 ton/ha. Dibawah tegakan hutan tanaman khaya umur 3 tahun dengan intensitas cahaya 70 persen produksi gabah tertinggi adalah padi gogo galur Dt 15/II/KU ratarata sebesar 1,85 ton/ha sedangkan varietas Jatiluhur merupakan terendah dengan rata-rata produksi sebesar 1,25 ton/ha. Dengan demikian padi gogo varietas Jatiluhur, galur TB 177E-TB-28-B-3, dan galur Dt 15/II/KU mempunyai prospek baik untuk dikembangkan sebagai komoditi tanaman pangan di bawah tegakan pohon hutan dengan sistem tumpangsari. Kata Kunci: Budidaya, Padi gogo, Tumpangsari

56

Suharti, Sri PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT MELALUI BUDIDAYA VANILI (Vanilla planifolia Andrews) PADA KAWASAN HUTAN DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT / Sri Suharti. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 175-161 , 2005 Salah satu upaya untuk mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan dan juga untuk mangakomodir perubahan paradigma dalam pengelolaan dan pembangunan di bidang kehutanan adalah pengembangan usahatani vanili dengan teknik wanatani (agroforestry). Tanaman vanili (Vanila planifolia Andrews) merupakan salah satu komoditi yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di propinsi Nusa Tenggara Barat.Beberapa keunggulan tanaman vanili antara lain, tahan terhadap naungan, tidak memerlukan tempat tumbuh sendiri karena sifatnya yang selalu memerlukan tanaman panjat sebagai inang, harga produk relatif tinggi,serta pasar masih terbuka lebar.Dengan teknik wanatani (agroforestry), lahan hutan yang kondisi biofisiknya masih baik maupun yang sudah kurang terpelihara dapat ditingkatkan produktivitas. Dengan peningkatan produktivitas hutan, pendapatan masyarakat akan meningkat secara signifikan sehingga selanjutnya akan menurunkan tekanan masyarakat terhadap hutan.Tulisan ini mencoba menguraikan potensi dan prospek pengembangan budidaya tanaman vanili pada kawasan hutan melalui teknik wanatani di Propinsi Nusa Tenggara Barat yang merupakan salah satu sentra produksi vanili di wilayah Indonesia Bagian Tengah. Kata kunci: Ekonomi rakyat, Vanili, Vanilla planifolia Andrews Suhaendi, Hendi PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH "IBA" DAN MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN STEK Eucalyptus deglupta Blume / Hendi Suhaendi. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman215-222 , 2006 Salah satu bahan baku penting dalam industri terpadu pulp dan kertas adalah Blume. Stek merupakan salah satu alternatif pembiakan vegetatif untuk mengatasi tidak tersedianya bibit yang baik dalam waktu yang diperlukan. Keberhasilan pertumbuhan stek ditentukan oleh kecepatan terbentuknya akar lateral yang mendorong proses fisiologis berlangsung sempurna.Terciptanya kondisi fisiologis yang optimal serta tepatnya pemilihan bahan tanaman yang

digunakan menentukan presentase keberhasilan yang tinggi. IBA merupakan zat pengatur tumbuh yang sifat kimiawinya stabil dan memiliki rentang konsentrasi yang lebah untuk merangsang perakaran. Penggunaan media tumbuh yang cocok, pencampuran tanah ikut menentukan perkembangan stek. Nilai persentase berakar tertinggi dicapai oleh media pasir dengan konsentrasi IBA 200 ppm sedangkan berat kering total tertinggi diperoleh pada media serabut kelapa dengan konsentrasi IBA 200 ppm dan rasio teras akar tertinggi dicapai oleh media serabutkelapa dengan konsentrasi IBA 400 ppm. Berdasarkan uji polinomial ortogonal, nilai konsentrasi IBA yang optimal untuk persentase berakar stek adalah 2.776 ppm sedangkan konsentrasi IBA yang optimal untuk berat kering total adalah 2.990 ppm. Kata kunci:

deglupta

Zat pengatur tumbuh, IBA, Media tumbuh, Stek, Eucalyptus Blume

Suhaendi, Hendi POLA PEWARISAN GENETIK SIFAT-SIFAT MORFOLOGI DAN PRODUKSI GETAH PINUS MERKUSII STRAIN ACEH / Hendi Suhaendi. -- Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 123-131 , 2006 Penelitian ini dilakukan pada hutan tanaman P. merkusii strain Aceh, dalam populasi Saree, Aceh, Pengukuran tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter batang, bentuk batang, tebal kulit batang dan produksi getah kayu di lakukan di lapangan. Tujuan penelitian ialah menduga nilai heritabilitas luas dari setiap sifat pohon;serta korelasi genetik dan korelasi fenotipa dari semua pasangan sifat pohon yang dibentuk. Dengan diketahuinya pola pewarisan genetik dari berbagai sifat pohon diharapkan akan diketahui tolok ukur untuk seleksi sifatsifat pohon, dengan tujuan akhir menentukan sifat-sifat yang perlu dikembangkan dalam pemuliaan pohon untuk tujuan industri. Semua parameter genetika diduga tanpa melalui uji keturunan. Ragam genetik dan lingkungan diduga menurut metode Shrikhande (1957). Heritabilitas luas serta korelasi genetik dan fenotipa berikut peragam-peragamnya diduga menurut metode Sakai dan Hatakeyama (1963). Lima sifat pohon yang dikendalikan secara kuat oleh faktor genetik adalah diameter batang, bentuk batang, tebal kulit batang, produksi getah, dan tinggi total. Yang dikendalikan secara sedang oleh faktor genetik adalah tinggi bebas cabang. Seleksi simultan dapat dilakukan terhadap

57

pasangan sifat tinggi total dan bentuk batang.Seleksi untuk peningkatan diameter batang diduga akan menyebabkan peningkatan tebal kulitnya. Seleksi untuk memperbaiki bentuk batang diduga akan memperbaiki pula tinggi bebas cabang dan diameter batang. Diameter batang yang besar diduga dapat digunakan secara efektif sebagai satu indeks untuk menyeleksi tetua-tetua yang produksi getahnya tinggi. Kata kunci: Pinus merkusii, Hertabilitas, Korelasi genetik, Korelasi fenotipa, Aceh, Marfologi

Sujatmoko, Sujarwo TEKNIK BUDIDAYA KUTU LAK DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI NUSA TENGGARA TIMUR / Sujarwo Sujatmoko. -- Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 77-85 , 2006 Dewasa ini budidaya kutu lak telah menjadi primadona masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) dan kondisinya terus mengalami penurunan produksi yang signifikan. Pola budidaya kutu lak yang dilakukan oleh masyarakat NTT umumnya masih sederhana dan belum melalui tahapan budidaya yang standar. Petani melakukan penularan kutu lak sekali pada pohon inang yang sudah diberi tanda kepemilikan, setelah itu ditinggalkan sampai panen. Penularan kutu lak pada pohon inang berikutnya menguntungkan pada tularan alam melalui angin. Usaha peningkatan produksi dan kualitas usaha budidaya kutu lak dapat dilakukan melalui perbaikan sistem budidaya dan pemeliharaan tanaman inang, perbaikan sistem penularan, pemeliharaan, dan pemanenan tularan kutu lak. Kata kunci: Kutu lak, Tanaman inang, Budidaya, Nusa Tenggara Timur Sumardi PERANAN HUTAN TAMAN NASIONAL LAIWANGI - WANGGAMETI DALAM MENYIMPAN KARBON/ Sumardi, Kayat dan Bernadus Ndolu. -Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 103-110 , 2006 Telah dilakukan penelitian peranan hutan Taman Nasional LaiwanggiWanggameti (TNLW) dalam menyimpan karbon. Penelitian dilakukan di Hutan TNLW. Tulisan ini bertujuan untuk menghitung dan mengevaluasi besarnya kapasitas biomassa tegakan (aboveground biomass) pada hutan alam TNLW dalam memfiksasi karbon melalui perhitungan biomasa pohon dan karbon. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi media promosi untuk mempertinggi kemungkinan investasi dalam memajukan pengelolaan hutan alam di TNLW. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pembuatan plot Metode Forest Health Forest Monitoring. Data yang didapatkan berupa data tinggi dan diameter digunakan untuk menghitung biomassa karbon dengan menggunakan model Brown dan metode Vademikum Kehutanan. Dengan menggunakan

Suhaendi, Hendi UJI COBA PROVENANSI INTERNASIONAL Pinus caribaea Morelet DAN Pinus oocarpa Schiede UMUR 13 TAHUN DI INDONESIA / Hendi Suhaendi. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 161-168 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk menilai performans pertumbuhan umur 13 tahun dari provenansi-provenansi Pinus caribaea dan Pinus oocarpa yang tumbuh di Kebun Percobaan Sumberjaya, Lampung. Dua belas provenansi P. caribaea dan enam provenansi P. oocarpa dinilai sifat-sifat pertumbuhannya dalam arti tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter batang, dan bentuk batang. Sebagai pembanding, dinilai pula dua provenansi lokal Pinus merkusii. Rancangan acak lengkap digunakan dalam tiap-tiap Pinus dengan ukuran petak awal adalah 25 pohon dalam bentuk bujur sangkar dengan jarak tanam 2,5 x 2,5. Satuan percobaan yang digunakan dalam analisis data adalah sembilan pohon. Kata kunci: Pinus caribaea Morelet, Pinus oocarpa Schiede, Provenansi

58

metode Brown (1997) dan Vademikum Kehutanan (1976), rata-rata jumlah biomasa karbon yang diserap oleh vegetasi yang berada di dalam kawasan TNLW cukup tinggi yaitu sebesar 197,5 ( lebih kurang 77,9) ton/ha dan 189,9 (lebih kurang 74,9) ton/ha. Kata kunci: Karbon, Biomassa, Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti Sumardi PENGEMBANGAN DAERAH PENYANGGA SEBAGAI ALTERNATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI BERBASIS MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT / Sumardi. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 121-131 , 2006 Telah dilakukan penelitian pengembangan daerah penyangga sebagai alternatif pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Penelitian bertujuan untuk mencari formula/strategi yang tepat dalam bentuk kegiatan nyata untuk pengelolaan TNBB berbasis masyarakat. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan, wawancara, penyebaran kuesioner kepada masyarakat daerah penyangga (Sumberklampok dan Pejarakan) dan studi literatur. Data dan informasi yang terkumpul di tabulasi dan dianalisa dengan analisis deskritif dan SWOT (Strengh, Weakness, Opportunities, dan Threat) yang ditekankan pada fenomena-fenomena yang diakibatkan oleh kegiatan masyarakat. Dari penelitian dihasilkan bahwa ketergantungan masyarakat desa Sumberklampok dan Pejarakan terhadap kawasan TNBB masih relatif tinggi dan bentuk interaksinya meliputi pemungutan hasil hutan non kayu, kayu bakar serta pemanfaatan lahan. Masyarakat sebagian besar setuju dengan keberadaan TNBB, namun jika tidak disertai dengan pembinaan dan apabila keberadaan TNBB tidak memberikan peningkatan sosial ekonomi maka kerusakan ekosistem dapat terjadi dengan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan.Masyarakat sebagian besar menginginkan adanya bentuk keterlibatan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi terhadap pengelolaan TNBB. Keterlibatan masyarakat sebenarnya akan memberikan dampak positif bagi TNBB karena masyarakat akan merasa lebih memiliki dan bertanggung jawab terhadap keberadaan TNBB.

Kata kunci: Konservasi, Daerah penyangga, Taman Nasional, Bali Barat Sumardi EVALUASI UJI PEROLEHAN GENETIK KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi subsp cajuputi) Di Persemaian Sampai Umur 4 Bulan / Sumardi. -Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 3340 , 2006 Telah dilakukan penelitian evaluasi uji perolehan genetik kayu putih (Meulaleuca cajuputi subsp cajuputi) di persemaian sampai umur 4 bulan, di Kabupaten Timor tengah Utara dan Kabupaten Sumba Timur,Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Meulaleuca cajuputi merupakan jenis yang menghasilkan minyak kayu putih bernilai ekonomi tinggi dan dapat digunakan sebagai obat-obatan. Upaya peningkatan produktivitasnya tidak terlepas dari pemilihan benih unggul yang menghasilkan tanaman dengan produksi daun dan kandungan minyak yang tinggi. Penelitian dilakukan dengan melakukan evaluasi pertumbuhan tinggi dan diameter semai kayu putih yang diukur setiap bulan.Penelitian ini bertujuan untuk evaluasi uji perolehan genetik tanaman kayu putih dari benih unggul, di wilayah NTT. Dari informasi yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengembangan kayu putih pada skala yang lebih besar. Benih unggul yang digunakan pada penelitian ini berasal dari 3 pohon plus (famili) pada tegakan kebun benih uji keturunan Paliyan. Pertumbuhan tanaman M. cajuputi tingkat semai tidak banyak menunjukan keragaman signifikan antar famili . Hal tersebut kemungkinan karena ketiga famili tersebut merupakan pohon plus sebagai sumber benih yang merupakan hasil seleksi, sehingga keragamannya cenderung kecil. Pertumbuhan M. cajuputi pada tingkat semai sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan persemaian. Kata kunci: Genetik, Jenis unggul, Kayu putih, Melaleuca cajuputi subsp cajuputi

59

Sumardi PRODUKTIVITAS Gmelina arborea ROXB. KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NUSA TENGGARA TIMUR / Sumardi dan Martinus Lalus. -Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 119123 , 2006 Telah dilakukan penelitian produktivitas Gmelina arborea Roxb. di Stasiun Penelitian Bu'at Kecamatan Soe Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran tinggi dan diameter tegakan G. Arborea umur 6 tahun. Data yang terkumpul di tabulasi dan dilakukan perhitungan riap rata-rata tahunan terhadap tinggi, diameter dan volumenya. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa riap rata-rata tahunan (MAI/diameter=2.13 cm, MAI-tinggi=1.20 m dan MAI-volume=0.0117 m3. Kata kunci: Gmelina arborea Roxb., Produktivitas, Riap, MAI, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur Sumardi STUDI KUALITAS TAPAK BEBERAPA LOKASI DI HUTAN PRODUKSI TERBATAS KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA, NUSA TENGGARA TIMUR / Sumardi, Muhammad Hidayatullah dan Tigor Butar-Butar. -Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 169176 , 2006 Telah dilakukan penelitian studi kualitas tapak beberapa lokasi di hutan produksi terbatas Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi penelitian memiliki kemiringan >25 derajat, dengan bentuk unit lahan berbukit sampai bergunung, persentase batuan relatif tinggi. PH tanah berkisar antara 7,07-7,38 untuk pH H2O dan 6,92 - 7,15 untuk pH KCI. Kelas tekstur tanah pada lokasi Peutana adalah liat sampai lempung berpasir, sedangkan Kuafeu adalah liat lempung berpasir. Kandungan bahan organik pada lokasi Peutana yang meliputi lokasi I (1), I (2), II dan lokasi Kuafeu yang meliputi lokasi III berturut-turut adalah 2,07 persen, 3,82 persen, 11,08 persen dan 4,33 persen, bahan organik terbesar terdapat pada lokasi II (Peutana). Kandungan N total dari lokasi Peutama yang meliputi lokasi I (1), I (2), II dan lokasi Kuafeu yang meliputi lokasi III berturut-turut adalah 0,16 persen, 0,22

persen, 0,42 persen dan 0,42 persen. Lokasi Kuafeu terdapat 10 jenis tanaman dengan jenis pohon komersial dominan mahoni (Swietenia mahagoni) sedangkan lokasi Peutana terdapat jenis tanaman murni kemiri (Aluerites molucana) yang sudah berbuah dan merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang pernah dipanen penduduk sekitar. Kata kunci: Tapak, Bobonaro, Topografi, Tekstur, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur Sukresno PELUANG KEMITRAAN MULTI PIHAK DALAM PEMBANGUNAN BERBASIS DAS DI NTT / Sukresno. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 93-102 , 2006 Kondisi DAS super prioritas (kritis) yang harus segera direhabilitasi/dikonservasi untuk menyelamatkan sumberdaya hutan, tanah dan air telah meningkat jumlahnya dari semula 22 DAS pada tahun 1984 menjadi 39 DAS pada tahun 1994, 42 DAS pada tahun 1998, dan 58 DAS pada tahun 2000 dari total 470 DAS. Di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini empat DASnya masuk dalam kategori Prioritas I, yaitu DAS Benain, DAS Noelmina, DAS Aesesa, dan DAS Kambaniru, dimana secara administrasi DAS Benain terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Balu, DAS Noelmina di Kabupaten Kupang, DAS Aesesa di Kabupaten Ngada, dan DAS Kambaniru di Kabupaten Sumba Timur. Walaupun propinsi NTT dikenal sebagai daerah beriklim semi arid (kering), namun akhir-akhir ini bencana alam banjir dan tanah longsor intensitasnya meningkat dan terjadi hampir setiap tahun di semua kabupaten. Dengan pendekatan DAS sebagai unit analisis akan diteliti bagaimana peluang kemitraan multi pihak dalam pembangunan berbasis DAS di NTT khususnya dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah terkait isu bencana banjir dan tanah longsor pada empat DAS kritis di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hasil yang diperoleh yaitu: 1) Identifikasi permasalahan DAS atau Sub DAS dapat dilakukan secara langsung (data hidrologi yang diperoleh dari SPAS) dan atau pendugaan (sidik cepat penilaian degradasi sub DAS); 2) empat DAS kritis di NTT, DAS Benain, DAS Noelmina, dan DAS Kambaniru secara hidrologis tergolong kritis dengan nilai KRS (Qmks/Qmin)>120;3) Upaya penanggulangan banjir, potensi banjir dan atau daerah rawan banjir sebaiknya didasarkan pada sumber penyebabnya serta kesesuaian tata ruang wilayahnya sehingga sasaran

60

dan implementasi kegiatan yang dilakukan dapat lebih efektif; 4) Dengan mengetahui permasalahan yang ada dalam suatu DAS/Sub DAS serta rencana penanganan yang sesuai dengan hierarkinya maka dimungkinkan para pihak terkait (stakeholders) berperan aktif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut (misal kasus banjir) sesuai dengan kewenangan dan hierarkinya; 5) Tindak lanjut analisis permasalahan banjir di DAS Benain, Noelmina dan Kabaniru perlu dilakukan pada tingkat yang lebih detail (Sub DAS/Sub Sub DAS, dan atau satuan lahan) untuk mengetahui sumber-sumber penyebabnya; dan 6) peran dan kewenangan stakeholders terkait dapat dilakukan analisis lebih lanjut untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan. Kata kunci: DAS, kemitraan, NTT, Banjir Surata, I Komang DUKUNGAN HASIL LITBANG DALAM PENGEMBANGAN BUDIDAYA KLICUNG (Diospyros malabarica Der Kostel) DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT / I Komang Surata, Nurdini Estikasari, dan Kurnaidi. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 918 , 2006 Klicung (Diospyros malabarica Der Kostel) adalah hasil hutan kayu yang tergolong penting di Provinsi Nusa Tenggara Barat karena merupakan spesies andemik, termasuk jenis kayu mewah (fancy wood) dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Dewasa ini populasinya sudah semakin menurun, oleh sebab itu dalam pemanfaatannya perlu segera diikuti upaya pelestarian dan penanaman. Untuk mewujudkan upaya keberhasilan penanaman sebagaimana yang diharapkan, dukungan teknologi budidaya sangat diperlukan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara telah berupaya untuk menyediakan paket teknologi yang dibutuhkan lewat kegiatan penelitian. Paket teknologi yang telah dihasilkan terutama teknik budidaya klicung yang meliputi teknik perbenihan, pembibitan, penanaman. Di samping itu dalam tulisan ini ditampilkan pula hasil plot uji coba pengembangan budidaya klicung di Rarung Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat serta permasalahannya yang sedang dihadapi yang sangat menentukan dalam menunjang keberhasilan pengembangan. Kata kunci: Klicung, Diospyros malabarica Der Kostel, Budidaya, Nusa Tenggara Barat

Surata, I Komang SEBARAN DAN PERTUMBUHAN PENOTIPE TEGAKAN ALAM SUMBER BENIH AMPUPU (Eucalyptus urophylla S.T Blake) DI FLORES PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR / I Komang Surata. -- Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 87-95 , 2006 Tujuan penelitian adalah untuk mengumpulkan data dan informasi kondisi tempat tumbuh, sebaran alami, dan pertumbuhan penotipe pohon plus tegakan alam ampupu (Eucalyptus urophylla S.T. Blake) di Flores. Data yang dihasilkan berguna dalam rangka penunjang kegiatan penunjukan dan pengelolaan sumber benih serta kegiatan penelitian pemuliaan pohon di masa mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebaran alami ampupu di Flores terdapat di Kabupaten Sikka (Egon, Kaliboluk, Natakolin, Kilawair, Kwangau, dan Hikong). Kabupaten Flores Timur (Lewotobi, Palueh, lle Mandiri, Leworok, Ile Boleng, Kawale) dan kabupaten Lembata (Ile Kerbau, Ile Ape, Labalekan, dan Lewokukun). Kondisi tempat tumbuhnya terdapat di daerah pegunungan mulai dari kaki gunung sampai lereng pada ketinggian 150-980 m dpl, pada tipe iklim E menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson. jenis tanah mediteran haplik, kambisol, dan litosol. Pada ketinggian di bawah 600 m dpl masih bercampur dengan E. alba sehingga benih yang dihasilkan hibrid antara E. urophylla dan E, alba. Urutan pertumbuhan penotipe pohon plus ampupu dari yang terbaik-terendah adalah: Ile Boleng, Ile Ape, Ile kerbau, Palueh, Lewotobi,Kwangau, Kilawair, Lewokukun, Hikong, Labalekan, Kaliboluk, Leworok, Natakolin, Egon, Ilemandiri, dan Kwale. Musim panen raya buah terjadi pada bulan Juli-Agustus akan tetapi semua lokasi yang dieksploitasi berbuah banyak dan seragam. Kata kunci: Eucalyptus urohpylla, Ampupu, Sebaran alami, Penotipe, Sumber benih, Hibrid

61

Surata, I Komang PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN CENDANA (Santalum album L) DI PROPINSI BALI / I Komang Surata. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 19-31 , 2006 Cendana (Santalum album L.) yang dikenal dengan nama melayu sendana dan dalam dunia perdagangan sandalwood memegang peranan yang sangat penting sebagai penghasil kayu kerajinan dan memiliki nilai ritual keagamaan yang cukup tiggi di Provinsi Bali. Kebutuhan kayu cendana di daerah ini semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan kemajuan pariwisata. Dewasa ini tidak ada lagi pasokan bahan baku kayu cendana secara resmi dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengingat populasi cendana di daerah ini sudah menurun dan di beberapa tempat sudah hampir punah. Untuk memenuhi kebutuhan kayu cendana di provinsi Bali maka perlu segera dilakukan penanaman. Bedasarkan data biofisik wilayah, sosial budaya,ekonomi masyarakat, dan kesiapan teknologi maka hampir sepertiga wilayah di Provinsi Bali memenuhi syarat untuk lokasi penanaman cendana. Penanaman dilakukan di lahan/ladang masyarakat (hutan rakyat) dalam bentuk tanaman jalur atau sisipan, sistem tumpangsari, model sumber benih, dan kepemilikannya dapat diserahkan ke masyarakat. Model ini sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan lahan penanaman cendana yang terbatas dan masyarakat dapat berperan secara aktif untuk memelihara dan menjaga keamanan tanaman cendana serta dalam jangka panjang dapat menambah pendapatan masyarakat. Untuk menciptakan kemandirian masyarakat maka dalam penanaman cendana pemerintah pusat/daerah dalam 5 tahun pertama perlu memberikan bantuan bibit dan penyuluhan teknologi penanaman kepada petani peserta penanaman dan selanjutnya di masa mendatang masyarakat diharapkan sudah mampu mandiri untuk melaksanakan program pengembangan budidaya cendana. Kata kunci: Cendana, Nilai ritual, Hutan rakyat, Silvikultur intensif

Surata, I Komang PARTISIPASI DAN KEINGINAN MASYARAKAT LOKAL DALAM MENANGANI PERMASALAHAN HUTAN MANGROVE DI PRAPAT-BENOA, PROVINSI BALI / I Komang Surata. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 133-141 , 2006 Penelitian bertujuan untuk mengkaji data dan informasi partisipasi dan keinginan masyarakat lokal dalam menangani permasalahan kelestarian mangrove. Metode penelitian dilakukan secara deskriptif survei dari masingmasing desa adat di sekitar mangrove secara purpositive sampling dan juga instansi yang mengelola mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan mangrove di Prapat-Benoa Bali masih rendah 2,34 persen terutama dalam kegiatan penanaman. Tingkat partisipasi masyarakat untuk manjaga kelestarian mangrove sudah baik yaitu sebesar 98,66 persen. Tindakan yang tidak partisipasif dalam kelestarian mangrove adalah 1,34 persen. Untuk menjaga kelestarian mangrove beberapa keinginan masyarakat yang perlu menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengatasi permasalahan adalah menjaga keberhasilan sampah dari hulu dan masyarakat di sekitarnya, pembentukan regu kebersihan mangrove, pembuatan jalan lingkar setapak yang menjadi pembatas zonasi mangrove dengan lahan masyarakat yang sekaligus sebagai jalan rekreasi, tidak memberi ijin tukar menukar kawasan dan pinjam pakai mangrove, melengkapi sarana dan prasarana rekreasi/pariwisata dan sosialisasi program pengelolan mangrove yang dilakukan pemerintah. Kata kunci: Hutan mangrove, Partisipasi, Masyarakat lokal, Pengelolaan, Prapat Benoa, Bali

62

Surata, I Komang EKSPLORASI TEGAKAN ALAM SUMBER BENIH AMPUPU (EUCALYPTUS UROPHYLLA S.T. BLAKE) DI PULAU TIMOR, PROVINSI NUSA TEMGGARA TIMUR / I Komang Surata. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 21-31 , 2006 Ampupu (Eucalyptus urophylla S.T. Blake) adalah salah satu jenis dari 4 jenis Eucalyptus yang ada di Indonesia, yang salah satu penyebaran alaminya terdapat di Pulau Timor. Jenis ini mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting untuk kayu industri antara lain untuk kontruksi, kayu bakar, arang, dan pulp. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi kondisi tempat tumbuh, sebaran alami, dan pertumbuhan penotipe pohon plus tegakan alam ampupu di Pulau Timor. Data yang dihasilkan berguna dalam rangka menunjang kegiatan penunjukan dan pengelolaan sumber benih serta kegiatan penelitian pemuliaan pohon dalam pembangunan hutan tanaman. Hasil penelitian penunjukan bahwa penyebaran alami ampupu di Pulau Timor Barat terdapat di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Belu yang berada di Pegunungan Mutis, Timau, dan Lakaan pada ketinggian 500-2.500 m dpl, tipe iklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, jenis tanah Ustropept, Haflustalf, Dystropepts menurut Soil Taxonomi. Pada ketinggian 500-600 m dpl provenan Humau, Obaem, Wedomo masih bercampur dengan E. alba sehingga benih yang dihasilkan hibrid antara E. urophylla dan E. alba. Urutan pertumbuhan penotipe terbaik-terendah: Nenbena, Bonmuti, Oepopo, Aesrael, Fatuneno, Naususu, Naija Upat, Mollo, Tutem, Lelobatan, Humau, Obaem, Wedomo, Susbian, Tune, Fatumnasi, Nenas, lakaan, Nuafin, Leloboko. Musim berbunga ampupu terjadi pada bulan Januari-Maret dan panen raya buah terjadi pada bulan Juli-Agustus, akan tetapi tidak semua lokasi yang dieksplorasi berbuah banyak dan seragam. Hampir semua lokasi ampupu terancam kerusakan akibat perluasan untuk perladangan, kebakaran, dan illegal logging. Kata kunci: Ampupu, Eucalyptus urophylla S.T. Blake, Sebaran alami, Pertumbuhan penotipe, Hibrid

Suryanto SOCIAL FORESTRY DI KHDTK SEBULU DAN SAMBOJA: SEBUAH MODEL PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN BERSAMA PADA KAWASAN HUTAN TERDEGRADASI / Suryanto dan Sulistyo A. Siran. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 87-99 , 2006 Pada era demokrasi saat ini, pendekatan task-force untuk mengamankan hutan terhadap intervensi masyarakat (perambahan) untuk memenuhi hajat hidupnya banyak mengalami kegagalan. Masyarakat harus diajak bersama secara aktif, menjaga, mengelola, dan memanfaatkan hutan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan yaitu merubah pendekatan task-force menjadi get the force melaui kemitraan atau partisipasi aktif masyarakat, yang dikenal dengan pola social forestry, Namun demikian pendekatan kemitraan atau social forestry yang dilakukan masih juga mengalami banyak kegagalan. Pada umumnya ketidakberhasilan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam program social forestry karena program tersebut bersifat topdown. Masyarakat hanya ditempatkan sebagai obyek atau pelaksana yang hanya menerima instruksi teknis yang harus dilaksanakan di lapangan, yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Selain itu keberlangsungan dan keberlanjutan program social forestry yang diikutinya banyak yang tidak jelas, yang pada akhirnya masyarakat menjadi kurang serius dalam pelaksanaannya. Salah satu model social forestry yang saat ini sedang dan sudah dilakukan penelitian untuk menyempurnakan model social forestry sebelumnya adalah menggunakan dua pendekatan sekaligus yaitu kemitraan yang sejajar antara pemerintah dan masyarakat, dan kedua dengan membuat komitmen bersama dalam menyusun rencana dan program sebagai keinginan dan kebutuhan bersama yang tentunya tidak terlepas pada prinsip pokoknya yaitu melestarikan hutan dan menyejahterakan masyarakat sekitar hutan. Kata kunci: Social forestry, KHDTK Sebulu, KHDTK Samboja, Pengelolaan Bersama, Partisipasi masyarakat, Hutan terdegradasi

63

Suryanto PENELITIAN PENDAHULUAN: HIRARKI PERMASALAHAN DALAM KEBIJAKAN OTONOMI BIDANG KEHUTANAN. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 247-269 , 2006 Secara komprehensif, terdapat 3 tahapan kegiatan penelitian yang meliputi identifikasi masalah, analisis prioritas dan perumusan multipihak. Penelitian pendahuluan ini terdapat pada tahap identifikasi masalah dengan tujuan mengidentifikasikan semua permasalahan berkenaan dengan kebijakan otonomi bidang kehutanan. Sasaran penelitian pendahuluan ini adalah menganalisa dan mengelompokkan semua permasalahan-permasalahan tersebut kedalam kerangka masalah yang sederhana, mewakili dan tepat dalam sebuah hirarki. Luaran adalah hirarki permasalahan dalam kebijakan otonomi bidang kehutanan. Luaran dari hasil penelitian ini akan digunakan sebagai bahan untuk analisis prioritas dan perumusan multistakeholders. Metode pokok penelitian yang digunakan adalah AHP atau Analytical Hierarchy Process (Proses Analisis Hirarki). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua fokus permasalahan kebijakan, yaitu kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan pemerintah daerah. Permasalahan yang diidentifikasikan dalam fokus kebijakan pemerintah pusat terbentuk dalam 4 hirarki, yaitu fokus, pengaruh, faktor dan bentuk. Pilihan masalah yang perlu pemecahan prioritas dalam hirarki pengaruh terdiri dari 5 pilihan, meliputi kemauan, SDM pembuat kebijakan, latar belakang, SDM penerima kebijakan dan infrastruktur. Dan akhirnya, hirarki bentuk terdiri dari 2 pilihan meliputi kebijakan pusat berkaitan dengan kebijakan makro yang diaplikasikan dalam bentuk kebijakan makro dan mikro oleh pemerintah daerah dan kebijakan pemerintah pusat sudah meliputi kebijakan makro mikro yang diapkilasi oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana. Permasalahan yang terindentifikasi dalam fokus kebijakan pemerintah daerah terbentuk dalam 4 hirarki pengaruh terdiri dari 4 pilihan meliputi peluang kewenangan, sumber hukum, tuntutan dan dikotomi. Dalam hirarki bentuk terdiri dari 3 pilihan meliputi penjabaran, inisiatif sendiri dan kombinasi antar penjabaran dan inisiatif. Dan akhirnya hirarki aktor terdiri dari 3 pilihan kewenangan utuh pemerintah daerah, kewenangan pemerintah daerah di bawah koordinasi koordinator pemerintah propinsi dan kewenangan pemerintah daerah (kabupaten dan propinsi) dibawah koordinasi langsung pemerintah pusat.

Kata kunci: Kebijakan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, permasalahan, AHP, hirarki. Susanty, Farida Herry ANALISIS MODEL PENDUGAAN VOLUME JENIS Acacia mangium, Gmelina arborea DAN Switenia mahagoni DI HUTAN TANAMAN / Farida Herry Susanty [et.al] . -- Prosiding Seminar Bersama HasilHasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 197-208 , 2006 Plantation inventory for estimation potency of stand needed for quantitative tools as volume prediction models or tree volume table with good validity. Aim of this research to arrange volume prediction models or tree volume table for plantation species in Timber Estate in Kalimantan to increase accuracy of mass or volume stand estimation. Measurement of sample trees using stereoscopis technique for standing tree of Acacia mangium, Gmelina arborea and Swietenia mahagoni of plantation area in Riam Kiwa, Banjarbaru Kalimantan Selatan. Result of height curve indicated that Acacia mangium there was nonsignificant coorelation between diameter and heigh variable, while Gmelina arborea and Swietenia mahagoni there was significant coorelation (R2>70 persen), thus analysis of volume prediction models could be continued by using two and one variable (tariff). Volume prediction models from this research and some reference show that generally were set up in exponential and logaritmic pattern. Validation of chosen regression equation model base on agregative deviation and mean deviation shows that the equation could be using for tree volume table assesment. Kata kunci: Pendugaan volume, Tinggi, Model, Diameter, Acacia mangium, Gmelina arborea, Switenia mahagoni, Hutan tanaman

64

Susanty, Farida Herry TIPOLOGI EKOLOGI DAN ANALISIS POTENSI TEGAKAN PADA HUTAN BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN TIMUR / Farida Herry Susanty [et.al] . -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 303-316 , 2006 Evaluation of degree of standing stock production potency and ecological effect resulting by harvesting technique which applied in Forest Management Unit (FMU), being one of many important aspect in fulfilling prerequisite Criterion and Indicator for Sustainable Forest Management. This research was aimed to describe the structure and potency of stand in old logged over forest thus examined to SK Menhut No. 8171/Kpts-II/2002 which suitable for forest biophysic condition in East Kalimantan. Data collecting done in PT. Hutan Sanggam Labanan Lestari (PT. HLL) and PT. Gunung Gajah Abadi (PT. GGA) that having different age were 19 and 20 years after logging (LOA 19 and LOA 20), covering:species, diameter, height and tree position in plot.Difference of FMU characteristic base on evaluation of ecological typologi resulting that PT.HLL was sensitive biology-sensitive physic, while PT. GGA was safety biology-sensitive physic. Base on varians analysis there in class diameter. Dominance of species composition for both area were by Dipterocarpaceae. Standing stock by total number of trees on LOA 19 and LOA 20 having higher than criterian having lower potency in class diameter 10-19 cm and 50 cm up. Kata kunci: Struktur, Potensi, Tegakan, Hutan bekas tebangan Susila, I Wayan Widhana UJI COBA JENIS-JENIS INTRODUKSI PADA LAHAN KRITIS DI DALAM KAWASAN HUTAN BATUR DAN BEDEGUL / I Wayan Widhana Susila, Gerson ND Njurumana Felipus Banani. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 33-40 , 2006 Lahan kritis diartikan sebagai lahan yang tanahnya secara potensial tidak mampu berperan dalam salah satu atau beberapa fungsi seperti: 1) unsur produksi, 2) media pengaturan tata air (fungsi hidrologi), dan 3) media

perlindungan alam lingkungan (fungsi orologi) atau lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Luas lahan kritis Provinsi Bali adalah 307.035 ha, terdiri dari 127.706 ha tersebar di dalam kawasan hutan dan 179.329 ha tersebar di luar kawasan hutan. Jenis-jenis yang diujicobakan pada lahan kritis di Kawasan Batur dan Bedugul adalah ampupu(Eucalyptus urophylla), pulai (Alstonia scholaris), cendana (Santalum album), Acacia mangium, majegau (Dysoksilum sp.), gmelina (Gmelina arborea), mahoni (Sweitenia macrophylla), kayu putih (Meulaleuca leucadendron), gaharu (Aquilaria malaccensis), duabanga (Duabanga maluccana), mindi/jeminis (Melia azedarah), dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum). Jenis-jenis tersebut diujicoba melalui uji jenis dan uji produksi (ampupu, kayu putih, kamadulensis, dan duabanga). Hasil evaluasi tanaman umur enam bulan di lapangan dapat diinformasikan sebagai berikut: 1) Sengon buto merupakan jenis introduksi yang cocok pada kondisi lahan kritis di kawasan Batur yang ditunjukan oleh perkembangan pertumbuhan dan persen tumbuh yang tinggi, yaitu riap diameter 1,37 cm, riap tinggi 61,53 cm, persen tumbuh 96,15 persen, dan sampai umur 10 bulan di lapangan persen tumbuhnya 90,16 persen; 2) Jenis kayu putih dan ampupu merupakan jenis yang cukup sesuai untuk dikembangkan di kawasan kritis Batur dan Bedugul; dan 3) Pemberian kompos di Bedugul dan campuran tanah + kompos di Batur pada media tanam belum memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan persen tumbuh tanaman. Kata kunci: Lahan kritis, Ujicoba jenis, Ujicoba jenis, Kesesuaian tempat tumbuh, Uji produksi Suwandi PERLAKUAN MIKORIZA DAN NPKN PADA PERTUMBUHAN STUMP JATI (Tectona grandis L.f.) (Treatment of Mycorrhizae And NPK on the Growth of Tectona grandis L.f. Stump) / Suwandi; Surtinah; Kamindar Rubby. -- Info Hutan : Vol.III, No.2 ; Halaman 139 - 145 , 2006 Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian mikoriza dan NPK terhadap pertumbuhan stump jati (Tectona grandis L.f.). Metode penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dalam pola faktorial, yaitu faktor (M1), 3 mikoriza dengan perlakuan 0 g/tanaman (M0), 1,5 g/tanaman g/tanaman (M2), dan 4,5 g/tanaman (M3); kemudian faktor NPK (N) dengan perlakuan 0 g/tanaman (N0), 1 g/tanaman (N1), 2 g/tanaman (N2), 3 g/tanaman

65

(N3), dan 4 g/tanaman (N4), dengan dua ulangan, setiap ulangan terdiri dari empat tanaman. Jumlah 160 tanaman. Parameter yang diukur tinggi tunas, diameter, jumlah daun, lebar daun, dan panjang akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mikoriza tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh parameter pertumbuhan stump jati. Pemberian NPK berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tunas, diameter, lebar daun, dan panjang akar; sedangkan interaksi mikoriza dan NPK berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas, diameter, dan panjang akar. Kata kunci : NPK , mikoriza, Tectona grandis L.f. Takandjandji, Mariana PENANGKARAN RUSA TIMOR OLEH MASYARAKAT / Mariana Takandjandji, Kayat. -- Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, 2005 : Halaman 55-76 , 2006 Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki 2 sub spesies rusa timor yang potensial untuk ditangkarkan. Potensi ini memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi pemanfaatan rusa di alam. Namun masyarakat belum memanfaatkan secara optimal dan bijaksana. Oleh karena itu aset yang cukup besar potensinya ini perlu untuk dikembangkan dan dilestarikan sebagai suatu usaha sekaligus konservasi. Sampai saat ini sudah ada 3 KK yang telah berhasil menangkarkan rusa, hal ini ditandai dengan rusa yang mereka pelihara telah beranak. Usaha penangkaran rusa cukup menjanjikan sehingga layak untuk dilaksanakan.Kegiatan penangkaran rusa cukup menguntungkan walaupun pada awalnya memerlukan biaya dan investasi yang lebih besar. Usaha ini memerlukan luas lahan yang lebih kecil, akan tetapi dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dari ternak-ternak yang sudah dikenal. Kata kunci: Penangkaran, Rusa timor, Aset, Potensi

Takandjandji, Mariana KAJIAN TEKNIK PENANGKARAN PENYU DI BALI / Mariana Takandjandji dan Edy Sutrisno. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 111-120 , 2006 Penyu merupakan reptil laut yang menarik karena mampu beradaptasi dengan baik untuk hidup di perairan laut. Di samping itu, penyu bersifat amphibious, di mana dapat menempuh hidup pada dua habitat yang berbeda. Biasanya penyu hidup di perairan laut dangkal kecuali lahir dan bertelur. Untuk mengkaji teknik penangkaran penyu di Bali, perlu diketahui potensi, penyebaran, bio-ekologi penyu dan statusnya serta kebijakan pemerintah terhadap upaya yang telah dilakukan. Namun permasalahan yang muncul dalam kajian tersebut adalah adanya penangkapan penyu yang dilakukan secara besar-besaran sehingga populasi menurun, baik kualitas maupun kuantitas. Pembinaan yang telah dilakukan antara lain melalui upaya perlindungan penyu dari kepunahan. Upaya tersebut ditempuh dengan cara melindungi panyu dari gangguan manusia dengan cara membuat peraturan yang melindungi penyu, dan upaya penambahan populasi penyu melalui penangkaran/budidaya. Kata kunci: Penangkaran, Penyu, Reptil, Amphibious, Bio-ekologi Tira, La Ode Asir KARAKTERISTIK LAHAN BEKAS TAMBANG BATU KAPUR DI KABUPATEN PANGKEP, SULAWESI SELATAN (Land Characteristic of Abandoned Lime Stone Mined in Pangkep Regency, South Sulawesi Province) / La Ode Asir Tira dan Eka Multikaningsih. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 219-228 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik lahan bekas penambangan batu kapur di Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa areal bekas penambangan berupa hamparan terbuka dan bergelombang dengan kemiringan 0-8 %. Penutupan vegetasi sangat sedikit, kurang dari 10 % dengan jenis vegetasi dominan adalah kersen (Muntingia colabura Linn.), akasia (Acacia auriculiformis A.Cunn), krinyu (Eupatorium pallescens DC), rumput jarum (Andropogon aciculatus

66

Retz.), rumput teki (Cyperus sp.) dan alang-alang (Imperata cylindrica Beauv.). Kemampuan lahan digolongkan ke dalam kelas VIII dengan faktor pembatas utama untuk penggunaan adalah prosentase batuan permukaan (60-80 %), faktor batuan singkapan (60-80 %), dan kedalaman tanah (<10 cm). Karakteristik kimia tanahnya adalah sebagai berikut pH (H2O) 8,3; KTK 8,66 me/100 g; N-total 0,05 %; C-organik 0,28 %; P-tersedia 85 ppm; K-tersedia 3 ppm; kation Ca 90,06 me/100 g; kation Mg 0,25 me/100 g; dan kation Na 0,09 me/100 g. Curah hujan rata-rata tahunan 3.186 mm. Kata kunci : Karakteristik, lahan bekas tambang batu kapur Ulfa, Maliyana PROSPEK APLIKASI MIKORIZA UNTUK PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DI LAHAN RAWA GAMBUT / Maliyana Ulfa dan Efendi Agus Waluyo. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 151-155 , 2006 Sebagian besar lahan rawa gambut di Indonesia telah mengalami kerusakan, sehingga perlu adanya usaha rehabilitasi yang sesuai. Pembangunan hutan tanaman menjadi bentuk rehabilitasi yang wajib dilakukan. Salah satu penunjang keberhasilan hutan tanaman adalah penyediaan bibit berkualitas. Bibit yang berkualitas dapat diperoleh secara manipulasi genetik maupun lingkungan.Aplikasi mikoriza merupakan salah satu alternatif teknologi untuk mendapatkan bibit yang berkualitas. Kata kunci: Mikoriza, Hutan tanaman, Rawa gambut Wardani, Marfu'ah IDENTIFIKASI JENIS MERANTI SUMATERA MELALUI SIFAT MORFOLOGI DAUN (Identification of Meranti Sumatera by Using its Leaves Morphology) / Marfu'ah Wardani. -- Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam : Vol.III, No.3 ; Halaman 281 - 296 , 2006 Pengetahuan pengenalan jenis meranti seperti Shorea acuminata Dyer, S. assamica Dyer, S. atrinervosa Sym. berdasarkan sifat vegetatif masih terbatas

jenis yang mudah dipelajari dan dipraktekkan melalui sifat morfologi daun dan alat vegetatif lainnya. Daun adalah bagian utama dari pohon meranti yang selalu tersedia, sehingga dengan melalui pengetahuan sifat morfologi daun diharapkan dapat membantu mengenal jenis meranti dengan mudah, cepat, dan tepat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan spesimen herbarium jenis meranti yang tersimpan di herbarium Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Tujuan penelitian untuk menguji keefisienan teknik identifikasi berdasarkan sifat morfologi daun dari 51 jenis meranti (Shorea spp.) berasal dari Sumatera, sehingga dalam mengidentifikasi tidak memerlukan pengamatan sifat morfologi bunga dan buah. Kata kunci : Meranti, daun, karakter morfologi, nama jenis Wardi, I Nyoman POTENSI KELEMBAGAAN DAN NILAI SOSIAL BUDAYA LOKAL UNTUK MENDUKUNG PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MELAKSANAKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI DAERAH BALI / I Nyoman Wardi. -Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 1-18 , 2006 Daerah Bali dengan budidaya yang bercorak Hindu dikenal memiliki diversifikasi budaya yang tinggi dengan segala keunikannya. Salah satunya berupa kearifan lokal ekologi (lingkungan) yang merupakan bagian dari kearifan budaya. Kearifan ekologi tercermin dalam berbagai bentuk sistem kepercayaan (religi), cerita mitos, nilai teknologi aturan dan norma hukum adat (awig-awig). Berbagai bentuk nilai budaya yang diwarisi dan kemudian menjadi landasan etika lingkungan masyarakat Bali untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah: kalpataru, tumpek uduh, wanakerti, analog hutan dengan brahman, nilai filosofi figur banaspati dan bhoma, kearifan dalam bentuk hukum adat ( awig-awig), dan nilai budaya tri mandala. Lembaga adat yang terkait dengan pengelolaan hutan di Bali adalah: lembaga adat (subak, desa adat/pakraman),lembaga formal, lembaga swasta. Sedangkan kendala pengelolaan sumberdaya hutan di Bali adalah: kemiskinan, konflik kepentingan, pencurian kayu, kebakaran hutan, lemahnya koordinasi lintas sektoral. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang sinergi dengan kearifan lokal adalah social forestry.

pada pengalaman lapangan. Oleh karena itu

diperlukan sarana pengenalan

67

Kata kunci: Kelembagaan, Nilai sosial budaya lokal, Partisipasi masyarakat, Kearifan lokal, Ekologi Wiati, Catur Budi IDENTIFIKASI KEBERADAAN HUKUM ADAT DAN PERANANNYA DALAM PENCEGAHAN ILLEGAL LOGGING DI HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT / Catur Budi Wiati. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 173-190 , 2006 Ketergantungan masyarakat tradisional terhadap keberadaan hutan untuk mendukung kehidupan menyebabkan mereka harus menjaga dan mengatur pemanfaatannya agar tetap lestari. Untuk itu biasanya masyarakat tradisional yang masih menerapkan hukum adat memasukkan aturan-aturan pemanfaatan hutan dalam hukum-hukum adat. Meski pengakuan keberadaan hukum adat masih menemui sejumlah kendala dalam implementasinya di lapangan, tetapi keberadaan hukum adat berpeluang untuk menjadi salah satu instrument dalam rangka pemberantasan illegal logging. Terkait dengan permasalahan tersebut kegiatan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan hukum adat dan peranannya dalam pencegahan illegal logging dirasakan sangat perlu untuk dilakukan. Berdasarkan kedekatan dengan hutan lindung, keberadaan hukum adat dan adanya kegiatan illegal logging, dua desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Kampung Mului, Kecamatan Muara Komam dan Desa Perkuwin, Kecamatan Long Kali, di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur. Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan cara pengaturan masalah pengusahaan dan pemanfaatan tanah dan hutan serta penghormatan mereka terhadap roh-roh penunggu melalui upacara-upacara adat yang masih dijalankan membuktikan bahwa hukum-hukum adat masih ada dan diterapkan oleh Masyarakat Mului. Dengan cara yang sama, hasil penelitian menunjukan bahwa hukum adat hampir tidak ada dan tidak dijalankan lagi pada Masyarakat Perkuwin. Selain itu berdasarkan tidak adanya sama sekali kegiatan penebangan liar (illeagl logging) di wilayah adat Masyarakat Mului dan cara mereka dalam menghadapi aksi tersebut mengindikasikan bahwa hukum adat terbukti dapat menjadi salah satu instrument untuk mencegah illegal logging. Sebaliknya maraknya penebangan liar yang terjadi di Desa Perkuwin semakin memperkuat bukti bahwa hukum adat dapat berperan dalam pencegahan illegal logging.

Kata kunci: Hukum adat, Illegal logging, Hutan lindung, Gunung Lumut Wiati, Catur Budi KONDISI HUTAN RAKYAT DI SEKITAR KHDTK SAMBOJA DAN SEBULU TAHUN 2005 DALAM KONSTEKS SOSIAL FORESTRY / Catur Budi Wiati, Karmilasanti dan Supartini. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 287-302 , 2006 Pengembangan model hutan rakyat merupakan salah satu dari kebijakan pengembangan social forestry yang ditetapkan Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS). Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Model social forestry bersifat spesifik lokal yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga kebutuhan masyarakat dan kondisi pedo-klimat wilayah merupakan dua aspek yang penting. Penelitian dilakukan di Desa Semoi Dua, Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara dan Desa Sumber sari, Kecamatan Sebulu Kabupaten Kutai Kertanegara dengan tujuan untuk mengetahui kondisi hutan rakyat di sekitar KHDTK Samboja dan Sebulu tahun 2005 dalam konteks social forestry. Berkaitan dengan hal tersebut, saat ini Balai Litbang Kehutanan telah membangun plot model hutan rakyat masing-masing seluas 3 hektar dan 3,6 hektar di Desa Semoi Dua, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Desa Sumber Sari, Kabupaten Kutai Kertanegara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun baru dilaksanakan dalam 2 (dua) tahun terakhir yaitu tahun 2004 sampai 2005, kondisi hutan rakyat di sekitar KHDTK Samboja dan Sebulu ditinjau dari status kawasan merupakan lahan yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah. Untuk kegiatan plot hutan rakyat bekerjasama dengan Kelompok Tani sebagai mitra dari Balai Litbang Kehutanan Kalimantan. Di Desa Semoi Dua plot pembangunan hutan rakyat dilakukan secara monokultur, sedangkan di Desa Sumber Sari dilakukan secara tumpang sari dengan tanaman palawija. Pemasaran hasil kegiatan pembangunan plot hutan rakyat di Desa Semoi Dua belum memberikan hasil dibanding dengan Desa Sumber Sari. Kata kunci: Hutan rakyat, KHDTK Samboja, Sosial forestry

68

Wibowo, Ari PADANG ALANG-ALANG DI INDONESIA : KERAWANANNYA TERHADAP KEBAKARAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA (Imperata Grassland in Indonesia : Its Susceptibility to Fire and its Control Efforts) / Ari Wibowo. -- Info Hutan : Vol.III, No.2 ; Halaman 49 - 59 , 2006 Luas padang alang-alang (Imperata cylindrica L. Raeuschel) di Indonesia mencapai 8,5 juta ha, dan sampai saat ini masih dianggap sebagai jenis gulma yang mengganggu. Areal yang didominasi oleh jenis ini dianggap sebagai lahan kritis yang tidak produktif, sehingga perlu direhabilitasi agar menjadi kawasan hutan yang lebih produktif. Secara teknis, upaya rehabilitasi areal alang-alang telah dapat dikuasai, akan tetapi kegagalan reboisasi umumnya disebabkan oleh kebakaran yang sering terjadi pada kawasan yang didominasi oleh alangalang. Terjadi hubungan erat yang saling terkait antara masalah kebakaran dan timbulnya alang-alang. Dalam rangka pengendalian kebakaran pada padang alang-alang, diperlukan pengetahuan mengenai daerah-daerah yang beresiko tinggi untuk terbakar (daerah penyebab), kondisi iklim/musim kering yang terjadi, serta daerah prioritas untuk dilindungi. Kegiatan pengendalian lebih ditekankan kepada upaya pencegahan kebakaran, perlakuan untuk meminimkan bahan bakar dan kegiatan pemadaman. Selain itu, kegiatan pengendalian kebakaran harus melibatkan masyarakat agar lebih efektif. Kata kunci : Alang-alang, Imperata cylindrica L. Raeuschel, pengendalian kebakaran Wibowo, Ari PEMBANGUNAN HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN SISTEM KONTRAK / Ari Wibowo. -- Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi 2005 : Halaman 207-214 , 2006 Dalam rangka mencegah makin memburuknya kondisi hutan dan masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan pengelolaan hutan yang berorientasi pada kelestarian hutan dan peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang dituangkan dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001, tentang penyelengaraan hutan kemasyarakatan sebagai bentuk tindak lanjut dari kebijaksanaan tersebut, pada tahun anggaran 1998/1999, 10 provinsi di Indonesia yaitu Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, Nusa Tenggara Barat,

Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku menerima bantuan dari Pemerintah Jepang melalui JBIC/OECF untuk melaksanakan pilot proyek pembangunan hutan kemasyarakatan. Pelaksanaan proyek ini dilakukan dengan sistem kontrak, yaitu pelaksana pekerjaan diserahkan kepada pihak swasta (konsultan dan kontraktor), perguruan tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pelaksanaan proyek pengembangan Hutan Kemasyarakatan dengan sistem kontrak telah memberikan pengalaman baru dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan meningkatkan fungsi hutan. Meskipun kegiatan ini mengalami banyak hambatan dalam pelaksanaannya, akan tetapi telah memberikan manfaat bagi masyarakat dan kelestarian hutan. Kata kunci: Hutan kemasyarakatan, sistem kontrak Widiarti, Asmanah PEMBAGIAN PERAN JENDER DAN DAMPAK KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DI SUKABUMI (Gender Roles Distribution and Impact of Forest Rehabilitation in Sukabumi) / Asmanah Widiarti; Chiharu Hiyama; Indartik. -- Info Hutan : Vol.III, No.1 ; Halaman 1 - 30 , 2006 Dari hasil penelitian aspek jender dan tipologi masyarakat pada kegiatan rehabilitasi hutan menunjukkan bahwa, baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam hampir semua kegiatan, tidak terkecuali pekerjaan itu sifatnya berat atau ringan. Contohnya dalam kegiatan yang paling berat seperti pembersihan lahan ternyata dikerjakan oleh laki-laki dengan dibantu perempuan. Perempuan memiliki peran khusus dalam kegiatan rehabilitasi. Curahan waktu kerja perempuan dalam kegiatan rehabilitasi adalah sekitar 40 %. Persepsi laki-laki dan perempuan terhadap pembagian kerja pada kegiatan rehabilitasi dinilai sudah cukup fair. Dalam pengambilan keputusan, laki-laki memang mempunyai peran lebih besar dibandingkan perempuan, namun keputusan tersebut umumnya diambil setelah melalui proses diskusi antara suami dan istri. Ini menunjukkan perempuan juga mempunyai kekuatan dan pengaruh dalam proses pengambilan keputusan di dalam keluarga. Namun demikian perempuan memiliki kesempatan yang terbatas di masyarakat, karena itu perempuan kurang memperoleh kesempatan untuk menghadiri pertemuanpertemuan, penyuluhan dan pelatihan. Dalam hal dampak kegiatan rehabilitasi hutan, terdapat perbedaan yang lebih nyata di antara berbagai golongan masyarakat daripada antara laki-laki dan perempuan. Kelompok petani yang

69

tidak memiliki lahan dan tidak ikut program PHBM adalah kaum marjinal yang tidak mendapatkan manfaat dari kegiatan rehabilitasi hutan dan cenderung mendapat dampak negatifnya. Keterbatasan utama kaum marjinal ikut berpartisipasi adalah keterbatasan sumber modal dan akses informasi. Untuk menghindari dampak negatif pada kelompok marjinal, diperlukan mekanisme yang memungkinkan kelompok ini dapat berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi. Informasi PHBM harus didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota masyarakat terlebih dahulu sebelum dimulainya program. Kegiatan penyuluhan dan pelatihan di bidang kehutanan tidak hanya untuk laki-laki tetapi juga perempuan. Kata kunci : Kegiatan rehabilitasi hutan, jender, kaum marjinal, dampak rehabilitasi

tanam perlu dikombinasikan dengan tanaman bernilai komersial dan berproduksi secara rutin. Proporsi bagi hasil kayu seharusnya mempertimbangkan beban peserta dalam upaya rehabilitasi. Kata kunci: Rehabilitasi hutan, kaum miskin, manfaat, informasi, ganti rugi lahan garapan

Windyarini, Eritrina KAJIAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT / Eritrina Windyarini. -- Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan : Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat ; Halaman 101-110 , 2006 Berdasarkan Undang-Undang No. 51/1990 Taman nasional diartikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Pengelolaan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) sangat membutuhkan dukungan dan peran serta berbagai pihak guna mengoptimalkan kawasan sesuai dengan fungsinya, yaitu perlindungan, pengawetan, dan memanfaatan secara lestari. Hal ini mengharuskan TNBB memperhatikan faktor lain di luar batas kawasannya. Kegiatan yang berlangsung pada bulan Juli-September 2004 ini dimaksudkan untuk mengkaji pengelolaan kawasan TNBB.Metode yang digunakan adalah studi pustaka, wawancara, dan observasi. TNBB memiliki enam kegiatan pokok pengelolaan, yaitu pengamanan potensi kawasan, koordinasi dan integrasi, serta pembangunan sarana dan prasarana yang dalam pelaksanaannya menemui beberapa hambatan dan kekuatan. Secara keseluruhan kegiatan pengelolaan ini sangatlah kompleks karena melibatkan banyak pihak dengan berbagai peran dan kepentingan yang berbeda. Untuk itu pengembangan TNBB ke depannya diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat serta efisiensi pengelolaan menjamin keberlanjutan sumberdaya alam melalui pengelolaan bersama. Pengelolaan bersama ini mengacu pada suatu bentuk kerjasama, di mana pihak yang berkepentingan setuju untuk saling berbagi peran dalam manajemen, hak, dan tanggungjawab atas suatu kawasan. Dengan pengelolaan bersama ini diharapkan kawasan dapat menjadi lebih efisien dan efektif dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Widiarti, Asmanah APAKAH KEGIATAN REHABILITASI HUTAN BERSAMA MASYARAKAT MEMBERIKAN MANFAAT KEPADA KAUM MISKIN? : STUDI KASUS DI BKPH PELABUHAN RATU KPH SUKABUMI (Do Forest Rehabilitation Activities Benefit to the Rural Poor? / Asmanah Widiarti; Chiharu Hiyama; Handoyo. -- Info Hutan : Vol.III, No.1 ; Halaman 31 - 48 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) bermanfaat bagi kaum miskin. Lokasi penelitian di BKPH Pelabuhan Ratu KPH Sukabumi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PHBM memiliki kontribusi kecil pada penghasilan keluarga pesertanya. Peserta menganggap PHBM bermanfaat dari segi sosial dan lingkungan. Kegiatan PHBM memerlukan biaya cukup besar. Biaya tahun pertama merupakan faktor pembatas kelompok masyarakat sangat miskin untuk berpartisipasi. Bagi kelompok rata-rata miskin biaya tersebut ditunjang oleh berbagai sumber penghasilan. Distribusi informasi PHBM kurang merata menyebabkan kesempatan masyarakat menjadi peserta tidak sama sehingga terjadi ketidakadilan distribusi lahan garapan. Ganti rugi hak lahan garapan dilakukan oleh sekitar 20 % anggota kelompok tani hutan yang umumnya sangat miskin kepada penduduk desa yang lebih mampu. Hal ini menyebabkan lahan terlantar, bahkan ada yang belum ditanami dengan pohon kayu-kayuan dan terjadi kesenjangan ekonomi di antara peserta PHBM. Agar PHBM bisa berkontribusi pada ekonomi rumah tangga peserta secara berkelanjutan, pola

70

Kata kunci: Pengelolaan, Bali Barat, Kajian pengelolaan Windyarini, Eritrina IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN AWAL HAMA PENYAKIT PADA AMPUPU (Eucalyptus urophylla) di NTT. -- Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna : Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera, 2006 ; Halaman 177-182 , 2006 Laporan Dinas Kehutanan Kabupaten Belu tanggal 17 Februari 2005 menyebutkan terjadinya kerusakan pada Kawasan Hutan Lakaan Mandeu (RTK 187) yang merupakan tegakan alam Eucalyptus urophylla (ampupu) dan Eucalyptus alba. Tanaman Ampupu yang sudah mati seluas lebih kurang 16 ha dan lebih kurang 15 ha sisanya sedang diserang/menunjukan gejala kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis dan penyebab kerusakan yang terjadi pada tegakan alam Ampupu di Kabupaten Belu serta usaha pengendalian awalnya. Penelitian meliputi identifikasi jenis dan penyebab kerusakan, pengukuran intensitas serangan, serta uji pengendalian awal pada Ampupu. Hasil pengamatan dan identifikasi menunjukan kerusakan yang penyebab bersifat kompleks. Namun yang paling dominan adalah penyakit bercak daun yang disebabkan oleh jamur Curvularia sp dan serangan-serangan pemakan daun dari Famili Coccinelidae, sub famili Epilachninae. Intensitas serangan pada plot pengamatan mencapai 83,3 persen. Tindakan uji pengendalian awal injeksi pestisida (fungisida bahan aktif mankozeb dan insektisida bahan aktif monokrotofos) dengan dosis 5-10 ml/pohon belum memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara perlakuan dan kontrol. Meski demikian, secara keseluruhan individu dalam plot mengalami peningkatan kesehatan. Informasi mengenai jenis hama dan penyakit di atas diharapkan mampu menjadi dasar bagi tindak lanjut upaya pengendalian yang lebih spesifik, serta menjadi bahan masukan bagi pengelolaan ke depannya. Kata kunci: Hama penyakit, Pengendalian, Ampupu, Eucalyptus urophylla, NTT

Yafid, Bugris PENANAMAN JENIS POHON HUTAN DI SUMATERA DAN KAITANNYA DENGAN PELESTARIAN PLASMA NUTFAH (Forest Tree Plantations in 66 , 2006

Sumatera and Their Relation to the Conservation of Plant Genetic Resources) / Bugris Yafid. -- Info Hutan : Vol.III, No.2 ; Halaman 61 -

Konservasi sumber plasma nutfah sangat diperlukan untuk mengatasi cepatnya perubahan ekosistem yang disebabkan oleh pengrusakan hutan. Hal ini dapat dicapai melalui konservasi in-situ maupun melalui penanaman (ex-situ). Penanaman dalam skala luas hendaknya dilaksanakan sehubungan dengan bahaya eksploitasi berlebihan jenis-jenis di dalam habitat aslinya. Jenis-jenis pohon hutan yang dapat ditanam dan direkomendasikan untuk penghutanan kembali atau untuk penanaman antara lain adalah Fagraea fragrans Roxb (tembesu), Styrax benzoin Dryand (kemenyan), Cratoxylon (geronggang) dan Toona spp. (surian). Jenis-jenis dipterocarpa yang berhasil ditanam sejak dulu dalam skala kecil adalah Shorea javanica K. et V. dan Hopea dryobalanoides Miq. yang ditanam untuk keperluan resin damarnya dan Shorea platyclados V.Sl (banio) jenis dipterokarpa yang berhasil ditanam di daerah tinggi di Simalungun, Sumatera Utara. Penanaman jenis pohon hutan di Sumatera yang telah sejak lama dilaksanakan dan berhasil dengan baik antara lain adalan rasamala (Altingia excelsa Noronha) dan antuang (Manglietia glauca Blume) di Merek dan Tongkoh (Kabanjahe), tanaman meranti di Purbatongah (Purba/Simalungun), dan tanaman surian di Sikabu-kabu (Payakumbuh). Kata kunci: Konservasi in-situ, konservasi ex-situ, jenis pohon hutan, hutan tanaman Yafid, Bugris BEBERAPA JENIS POHON TAHAN API DAN PENANGKAL ALANG-ALANG (Some resistant Tree Species Suppressing the Alang-alang) / Bugris Yafid. -- Info Hutan : Vol.III, No.3 ; Halaman 181-185, 2006 Jenis pohon tahan api dan dapat tumbuh di padang alang-alang antara lain adalah tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) kemenyan (Styrax benzoin Dryand), blangiran (Shorea balangeran Burck), Toona spp., dan geronggang (Cratoxylum spp.). Rehabilitasi lahan alang-alang dataran tinggi seperti di daerah Tapanuli (Tanah Karo) disarankan menggunakan jenis Styrax benzoin Dryand, dan di

71

dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl dapat digunakan tembesu (Fagraea fragrans Roxb.). Jenis-jenis lain yang dapat tumbuh dan menekan alang-alang, antara lain adalah puspa (Schima wallichii Korth.), mahoni (Swietenia macrophylla King), dan sengon/jeunjing (Paraserianthes falcataria Bakh). Fagraea fragrans Roxb. (tembesu) merupakan tanaman asli Sumatera Selatan, seringkali ditanam sepanjang pinggir jalan dan sebagai pohon peneduh, juga ditanam dalam rangka penghutanan kembali karena kayunya termasuk jenis bernilai ekonomi tinggi, kayunya termasuk kelas awet I dan kelas kuat II-I dengan Berat Jenis 0,81. Jenis ini termasuk pionir tahan api dan tumbuh di tempat terbuka. Fagraea fragrans Roxb. (tembesu) dahulu ditanam di sepanjang jalan di daerah Sumatera Selatan. Hasil yang baik adalah berupa tanaman campuran antara Fagraea fagrans Roxb. dan Schima wallichii Korth. (puspa) dengan Cassia multijuga L.C. Rich. sebagai cover crop. Tembesu (Fagraea fagrans Roxb.) tumbuh jauh lebih baik apabila cabang-cabang sampingnya dibebaskan. Styrax benzoin Dryand baik ditumbuhkan di tempat tinggi dengan tanah berpasir. Secara tradisional benzoin ditanam bersamasama dengan padi. Kata kunci: Pohon tahan api, alang-alang, tanaman Yeny, Irma JENIS-JENIS TUMBUHAN BERKAYU BERMANFAAT BAGI SUKU HATAM DI HUTAN DIKLAT TUWANWOUWI, MANOKWARI (Wood Plants Which : Vol.III, No.2 ; Halaman 95 - 116 , 2006

dari kawasan hutan. Selain untuk kebutuhan bangunan pemanfaatan jenis tumbuhan berkayu pada hutan diklat Tuwanwouwi sudah relatif berkurang. Hal ini disebabkan kebutuhan tersebut dapat diperoleh dari kebun maupun pasar terdekat. Kata kunci : Identifikasi, tumbuhan berkayu, pemanfaatan, Tuwanwouwi Yuliansyah MENGENAL JARAK PAGAR (Jatropha curcas L) PENGHASIL BAHAN BAKAR ALTERNATIF YANG TERBARUKAN. -- Prosiding Seminar Bersama Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur dan Loka Litbang Satwa Primata : Samarinda 12 April 2006 ; Halaman 191-195 , 2006 Jarak pagar (Jatropha curcas L.) adalah tanaman perdu yang telah lama dikenal masyarakat sebagai tanaman pagar dan tanaman obat. Minyak yang dihasilkan dari biji tanaman tersebut telah pula digunakan masyarakat sebagai minyak lampu, minyak bakar kompor dan bahan pewarna pada bahan katun dan benang. Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menjadi sumber energi utama dunia saat ini cadangannya terus berkurang dan diperkirakan tidak lama lagi akan habis. Di lain pihak harga BBM naik berlipat ganda. Keadaan ini menyadarkan pemerintah dan berbagai pihak untuk mencari bahan bakar alternatif yang lebih murah dan terbarukan. Salah satu diantaranya adalah pemanfaatan minyak nabati yang berasal dari biji jarak pagar.Pusat Penelitian dan Pengembangan hasil Hutan, Bogor telah berhasil mengolah biji jarak menjadi minyak jarak mentah (Crude Jatropha Oil) yang dapat digunakan sebagai bahan bakar kompor, kemudian minyak kurkas untuk mesin diesel berputaran rendah dan Biodisel.Tanaman jarak pagar memungkinkan dikembangkan di Kalimantan Timur, khususnya pada daerah-daerah dengan curah hujan < 2000, namun untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan kerusakan lingkungan, pada tahap awal perlu dilakukan penanaman uji coba pada lahan yang sesuai dengan tanaman tersebut. Kata kunci: Jarak pagar, Jatropha curcas L, Bahan bakar, Biodisel

is Exploited By Hatam Tribe at Diklat (Traning and Education) Tuwanwouwi Forest, Manokwari) / Irma Yeny ... [et al] . -- Info Hutan
Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis-jenis tumbuhan berkayu yang dimanfaatkan oleh Suku Hatam, macam penggunaannya, bagian yang digunakan serta cara penggunaannya. Pengumpulan data jenis tumbuhan berkayu yang dimanfaatkan masyarakat Suku Hatam dan berada pada kawasan hutan diklat Tuwanwouwi (6.000 ha) dilakukan dengan mewawancara tokoh adat dan melakukan survey keberadaan jenis dengan melakukan peninjauan lapangan. Dari hasil wawancara dan survey keberadaan jenis diketahui pada kawasan hutan diklat Tuwanwouwi didata 41 jenis tumbuhan berkayu yang dimanfaatkan oleh Suku Hatam sebagai bahan pangan (6 jenis), perkakas (9 jenis), alat berburu (5 jenis), sarana seni budaya (8 jenis), konstruksi (25 jenis) dan obat-obatan (4 jenis). Jumlah jenis tertinggi terlihat pada bentuk pemanfaatan bahan bangunan (25 jenis atau 60,97 %) yang masih diperoleh

72

Abdurrohim, Sasa SIFAT KEAWETAN KAYU DAN PENYEMPURNAANNYA / Sasa Abdurrohim, Ginuk Sumarni dan Jasni. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 29-41 , 2006 Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap organisme perusak kayu (OPK), berupa serangga, jamur, dan binatang laut penggerek kayu. Setiap jenis kayu mempunyai keawetan yang berbeda terhadap OPK dan bergantung pada kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam pohon, kecepatan tumbuh dan di mana kayu tersebut digunakan. Keawetan kayu Indonesia dibagi menjadi 5 kelas yatu kelas awet I,II,III,IV dan V. Kayu kelas awet I dan II, yang hanya 14,3% tidak perlu disempurnakan melalui pengawetan, sedangkan 85,7% kayu tidak awet ditambah kayu gubal kelas awet I dan II sebelum digunakan harus diawetkan terlebih dahulu. Berdasarkan umur pakai kayu perumahan dan gedung 5 tahun dan 15 tahun masing-masing pada kayu tidak awet yang tidak diawetkan dan diawetkan terlebih dahulu dapat dihitung kayu dan uang yang dapat dihemat serta kesempatan kerja yang dapat tersedia. Kayu yang dapat dihemat sebesar 7,35 juta m3/tahun atau setara 147.000 ha hutan alam yang dapat menekan illegal logging sebesar 20,5%. Uang yang dapat dihemat pada 15 tahun pertama sebesar Rp. 3,9 trilyun/tahun. Lapangan kerja yang tersedia sekitar 24.900 orang. Kata kunci: Keawetan, penyempurnaan melalui pengawetan, penghematan. Abdurrohim, Sasa BAGAN PENGAWETAN TIGA JENIS KAYU DENGAN BAHAN PENGAWET CCB SECARA RENDAMAN PANAS DINGIN DI SEL PENUH / Sasa Abdurrohim. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 55-62 , 2006 Bagan pengawetan setiap jenis bagi kelengkapan spesifikasi pengawetan kayu perumahan dan gedung masih belum lengkap. Penelitian bagan pengawetan secara rendaman panas dingin dan sel penuh perlu dilakukan. Tiga jenis kayu ukuran kaso (4x6 cm) sepanjang 30 cm sebanyak 180 contoh uji diawetkan secara rendaman panas dingin dan sel penuh. Rendaman panas dengan suhu 65 derajat C selama 1,2 dan 3 jam diikuti rendaman dingin 1 hari. Vakum awal dan akhir 65-70 cm Hg masing-masing 30 dan 15 menit, serta tekanan 10 atm selama 1,2 dan 3 jam. Konsentrasi bahan pengawet tembaga-khrom-boron

(CCB) pada kedua proses 5 dan 10 persen . Hasil penelitian menunjukan bahwa dua jenis kayu dan ketiga jenis dapat diawetkan masing-masing secara rendaman panas dingin dan sel penuh dengan bagan yang digunakan dalam penelitian ini. Bagan pengawetan ketiga jenis kayu telah disusun. Kata kunci: Pengawetan, CCB, Rendaman panas dingin, Sel penuh Andianto RANCANG BANGUN ALAT UNTUK PREPARASI CUPLIKAN KAYU KERAS DALAM STUDI ANATOMI / Andianto ...[et.al.] . -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.1 ; Halaman 15-23 , 2006 Pemahaman mikroteknik botani merupakan suatu dasar untuk penyediaan preparat guna pengamatan struktur mikro organ tumbuhan, termasuk kayu. Kesulitan sering dijumpai apabila cuplikan kayu yang akan disayat sangat lunak atau sebaliknya sangat keras. Tanpa perlakuan khusus, hasil sayatan mikrotom biasanya sobek atau bahkan hancur. Tulisan ini mengetengahkan teknik pembuatan preparat sayat untuk cuplikan kayu yang keras. Bahan cuplikan dilunakkan dalam panci bertekanan selama beberapa jam dengan media campuran gliserin dan air 1:1. Setelah itu bahan dijepit dengan pemegang cuplikan pada mikrotom kemudian dilakukan pelunakkan kembali dengan uap panas selama kurang lebih 15 menit sebelum disayat. Uap panas ini dihasilkan dari belanga presto yang dimodifikasi, disalurkan melalui pipa ke permukaan cuplikan. Teknik ini dapat menghasilkan sayatan bidang lintang dengan baik pada cuplikan kayu dengan berat jenis 0,93 atau bahkan mungkin lebih. Kata kunci: Mikroteknik botani, Anatomi kayu

73

Basri, Efrida SIFAT KEMBANG SUSUT DAN KADAR AIR KESEIMBANGAN BAMBU TALI (Gigantochloa apus Kurtz) PADA BERBAGAI UMUR DAN TINGKAT KEKERINGAN (Shringkage-Swelling Properties and Equilibrium Moisture content of Bambu tali (Gigantochloa apus Kurtz) at Various age and Drying Level) / Efrida Basri; Saefudin. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24 No.3 ; Halaman 241-250 , 2006 Proses kembang susut berlangsung selama kadar air bambu belum mencapai kadar air keseimbangan (KAK) dengan lingkungannya. Oleh karena itu pengetahuan tentang sifat kembang susut dan KAK penting diketahui untuk menjaga mutu produk. Penelitian dilakukan pada bambu tali {Gigantochloa apus Kurts) umut 3, 4 dan 5 tahun yang diambil dari bagian pangkal, tengah dan ujung batang. Pengeringan menggunakan metode oven pada suhu 60o C. Perlakuan kadar air untuk pengujian sifat kembang susut dan KAK adalah 0%, 6% dan 12%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bambu tali umur 4 tahun

40C - 50C, sementara suhu untuk pengeringan kayu jati berkisar antara 45C - 70C. Untuk mengeringkan sortimen kayu dengan kadar air 50% sampai mencapai kadar air 10% memerlukan waktu rata-rata 13 hari dan menghasilkan rendemen kayu kering sekitar 80%. Konsumsi limbah kayu untuk bahan bakar tungku pada setiap periode pengeringan 8 m3. Kata kunci: Mesin pengering, tenaga surya, tungku tipe I, limbah kayu, jati, kelayakan teknis dan finansial D. Martono POLA SERANGAN DAN CARA PENCEGAHAN JAMUR BIRU / D. MARTONO. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005 : Halaman 43-54 , 2006 Perubahan sumber asal bahan baku kayu perlu diikuti informasi sifat dasar kayu, sifat keawetan alami, jamur biru sebagai organisme perusak dan cara pencegahannya. Pencegahan kerusakan dalam proteksi disesuaikan perubahan sistem pengangkutan dan pengolahan kayu, yang didasari pengetahuan bioteknologi jamur biru. Perlakuan proteksi serangan jamur biru dapat meningkatkan mutu kayu dan nilai tambah yang cukup nyata serta dapat mengeliminir limbah pengolahan kayu. Pencegahan kerusakan akibat pewarnaan kayu dapat dilakukan dengan pestisida yang telah diizinkan, sehingga jenis-jenis kayu untuk mebeler dari kayu yang berwarna cerah, gambar, dan tekstur dapat terjaga. Kata kunci: Jamur biru, Organisme perusak, Keawetan kayu Darmawan, Saptadi PEMBUATAN MINYAK KEMIRI DAN PEMURNIANNYA DENGAN ARANG AKTIF DAN BENTONIT (Extraction and Purification of Candlenut Oil with Activated Charcoal and Clay-bentonite) / Saptadi Darmawan. -Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.5 ; Halaman 413 - 423, 2006 Pembuatan minyak kemiri dapat dilakukan dengan cara sederhana dan mudah dilakukan oleh masyarakat. Perlakuan pemanasan pada biji kemiri dan daging kemiri sebelum proses pemecahan dan pengepresan serta penggunaan arang

secara fisik sudah masak tebang dan dimensinya relatif stabil. Pengeringan bambu tali sampai ke kadar air 6% menghasilkan KAK pada level sekitar 9%.
Kata kunci: Kembang-susut, KAK, umur, tingkat kekeringan, bambu

Basri, Efrida UJI COBA MESIN PENGERING KAYU KOMBINASI TENAGA SURYA DAN PANAS DARI TUNGKU TIPE I (Trial on Wood-drying Machine Powered by the Combined Solar Energy and Type-1 Heating-Stove) / Efrida Basri & Achmad Supriadi. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.5 ; Halaman 437 - 448, 2006 Telah dilakukan uji coba teknis dan finansial terhadap mesin pengeringan kayu kombinasi tenaga surya dan panas dari tungku tipe SC+TI untuk kapasitas 19 m3 di salah satu industri/pengrajin kayu di Ngaringan, Grobogan, Jawa Tengah. Uji coba dilakukan terhadap kayu jati (Tectona grandis L.f.). Kebutuhan panas pengeringan di siang hari diperoleh dari tenaga surya dan di malam hari atau tergantung kebutuhan diperoleh dari tungku pembakaran dengan bahan bakar biomas/limbah kayu dari penggergajian sendiri. Tujuan uji coba adalah untuk mengetahui kelayakan teknis dan finansial dari pemanfaatan mesin pengering tersebut. Hasil uji coba menunjukan suhu ratarata harian dari panas surya yang diterima ruang pengering berkisar antara

74

aktif dan bentonit pada tahap pemurnian minyak kemiri akan mempengaruhi kualitas minyak. Penelitian ini bertujuan untuk 1). mengetahui pengaruh pemanasan daging kemiri terhadap rendemen dan warna minyak yang dihasilkannya dan 2). mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi bahan pemucat (arang aktif dan bentonit) terhadap sifat fisiko-kimia minyak kemiri. Pemanasan pada biji kemiri berupa penjemuran (3, 4 dan 5 jam), penyangraian (7,5; 12,5 dan 17,5 menit) dan pengovenan pada suhu 60oC (1; 1,5 dan 2 jam) dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi terbaik dalam pembuatan minyak kemiri dilihat dari rendemen dan warna minyaknya. Pembuatan minyak dilakukan dengan cara kempa hidraulik pada suhu 60oC. Minyak kemiri yang dihasilkan dari kondisi terbaik (penyangraian selama 1,5 jam) kemudian dimurnikan menggunakan arang aktif dan bentonit pada konsentrasi 2%, 3% dan 4% serta diuji sifat fisiko-kimianya. Penggunaan arang aktif sebesar 2% menghasilkan sifat fisiko-kimia minyak kemiri yang optimum dan telah memenuhi Standar Nasional Indonesia untuk indeks bias, berat jenis, bilangan iod dan bilangan asam. Kata kunci : Minyak kemiri, pemurnian, arang aktif, bentonit dan kualitas fisiko-kimia minyak kemiri.

(rit) berkisar antara 1-3 batang dengan volume berkisar antara 0,040-0,500 m3/rit dengan rata-rata 0,163m3/rit. 3. Produktivitas pengeluaran kayu berkisar antara 1,527 - 5,656 m3 /jam dengan rata-rata 2,519 m3 /jam, sedangkan biaya rata-rata pengeluaran kayu adalah Rp 15.713/m3 . 4. Dibandingkan dengan upah pengeluaran kayu setempat, pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang P3HH24 jauh lebih murah sehingga layak diusahakan. 5. Untuk pengeluaran kayu pada areal yang mempunyai kelerengan 15% ke atas, disarankan untuk menggunakan sistem kabel layang P3HH24. Kata kunci: Hutan tanaman, sistem kabel layang P3HH24, produktivitas, biaya Dulsalam PRODUKTIVITAS DAN BIAYA PERALATAN PEMANENAN HUTAN TANAMAN: STUDI KASUS DI PT MUSI HUTAN PERSADA, SUMATERA SELATAN (Productivity and Cost of Harvesting Equipment in Forest Plantation: Case Study on PT Musi Hutan Persada, South Sumatera) / Dulsalam; Djaban Tinambunan. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24 No.3 ; Halaman 251-266 , 2006 Penelitian peralatan pemanenan di hutan tanaman PT Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan telah dilakukan untuk mendapatkan informasi produktivitas dan biaya peralatan pemanenan hutan tanaman yang tepat guna dan ramah lingkungan. Hasilnya menunjukkan bahwa: 1. Alat penebangan yang digunakan adalah chainsaw (gergaji rantai) berukuran kecil merek Husqvarna dengan rata-rata produktivitas sebesar 2,14 m3/jam dan biaya sebesar Rp 15.334/m3. 2. Penyaradan dilakukan dengan menggunakan forwarder merek Timberjack G10 dan Timberjack 101 0B. Rata-rata produktivitasnya berturut-turut adalah 18,25 m3/jam dan 21,25 m3/jam dengan rata-rata biaya berturutturut sebesar Rp39.852/m3 dan Rp 79.254/m3. 3. Pemuatan dan bongkar kayu digunakan alat merek Hitachi dan Volvo dengan rata-rata produk-tivitas masing-rnasing sebesar 70 m3/jam untuk muat dan 34 m3/jam untuk bongkar muatan. Untuk Hitachi, rata-rata biaya muat adalah Rp 6.155/m3 , bongkar adalah Rp 12.671/m3 , sedangkan untuk Volvo kedua besaran tersebut berturut-turut adalah Rp 6.200/m3 dan Rp 12.764/ m3.

P3HH24 Skyline System in Plantation Forest of West Pekalongan Forest District) / Dulsalam; Djaban Tinambunan. -- Jurnal Penelitian
Hasil Hutan : Vol.24, No.1 ; Halaman 77 - 88 , 2006

Dulsalam PRODUKTIVITAS DAN BIAYA PENGELUARAN KAYU DARI HUTAN TANAMAN DENGAN SISTEM KABEL LAYANG P3HH 24 DI KPH PEKALONGAN BARAT (Productivity and Cost of Log Extraction Using

Penelitian produktivitas dan biaya pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang P3HH24 telah dilakukan di hutan tanaman KPH Pekalongan Barat pada tahun 2002. Tujuanya untuk mendapatkan informasi tentang produktivitas, biaya pengeluaran kayu dan berbagai aspek operasional sistem kabel layang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Pengoperasian kabel layang P3HH24 untuk mengeluarkan kayu di hutan tanaman KPH Pekalongan Barat dapat berjalan lancar. 2. Diameter kayu yang dikeluarkan berkisar antara 20 - 51 cm dengan rata-rata 36 cm, sedangkan -.. jumlah batang yang disarad per satu tahap operasi

75

4. Pengangkutan kayu dengan truk tunggal rata-rata produktivitasnya sebesar 5 m3/jam dengan rata-rata biaya sebesar Rp 44.697/m3, sedangkan truk semi gandengan, rata-rata produktivitasnya sebesar 15 m3/jam dengan ratarata biaya sebesar Rp 37.676/m3. 5. Penebangan pohon dan pengangkutan kayu tidak menimbulkan gangguan lingkungan yang berarti. Penyaradan kayu dengan forwarder Timberjack G10 dan Timberjack 101 OB menimbulkan pemadatan dan pergeseran tanah relatif kecil sedangkan pemuatan dengan alat pemuat Hitachi dan Volvo menimbulkan pergeseran tanah cukup besar. 6. Kombinasi peralatan perlu perbaikan dan produksi kayu yang minimal pada periode tertentu perlu ditentukan agar arus kayu lancar serta pekerja dan peralatan tidak banyak waktu tunggu. Kata kunci: Pemanenan, hutan tanaman, peralatan tepat guna, produktivitas, biaya Endom, Wesman KAJIAN OPERASI PENGELUARAN KAYU SISTEM KABEL LAYANG EXPO2000 DENGAN PENGGUNAAN ALAT PENDUKUNG (Study of Applying Expo-2000 Skyline with Auxiliaries for Extracting Logs) / Wesman Endom. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24 No.4 ; Halaman 339357 , 2006 Expo-2000 merupakan sebuah prototype alat yang dirancang dan dibangun untuk membantu dalam kegiatan pengeluaran kayu. Pada tahun 2005 dilakukan kegiatan perbaikan pada alat Expo-2000 itu sendiri dan dibuat aksesoris pendukung lainnya dengan tujuan lebih mudah dalam pergerakannya dilapangan dan lebih tinggi hasil kinerjanya. Pembuatan aksesoris itu meliputi wahana angkutan lokal, tiang penyangga dan kereta pengangkut kayu kabel layang model KM Exp-I. Berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan bulan Oktober tahun 2005, kinerjanya menunjukkan produktivitas cukup baik sekitar 15 m .km/jam, tergantung jarak, ukuran kayu, kondisi permukaan lapangan dan kerapatan tegakan. Hasil uji coba memperlihatkan kini produktivitasnya lebih meningkat setelah dipakai kereta model KM Exp-I yang dilengkapi dengan pengunci. Dengan investasi sebesar Rp 100 juta (berikut kabel dan perlengkapan lainnya), hasil kajian biaya operasi pengeluaran kayu adalah Rp60.175/jam atau Rp 620/m . Dari analisis biaya dengan suku bunga bank 18% per tahun dan dengan proyeksi biaya 6 tahun, nilai NPV didapat

sebesar antara Rp 881 juta dengan IRR sebesar 22 - 52%. Perhitungan ini diperoleh dengan menggunakan dasar biaya upah setempat sebesar Rp 35 ribu/m . Kata kunci: Kereta kayu Expo-2000, alat bantu, pemanenan, kabel layang, produktivitas Endom, Wesman PEMANENAN HUTAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI HUTAN ALAM/ Wesman Endom, Zakaria Basari, dan Yuniawati. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 85-96 , 2006 Untuk mencapai pemanfaatan hutan produksi alam lestari, pembalakan ramah lingkungan sangat penting untuk dipakai sebagai acuan dalam melakukan kegiatan pengusahaan hutan tersebut. Sekalipun kerusakan hutan memang tidak dapat dihindarkan, diantaranya yang memang diperlukan keberadaannya antara lain untuk pembuatan prasarana jalan, jembatan,base camp, tempat workshop dan gudang. Tetapi pelaksanaan pemanenan itu sendiri cenderung boros terhadap kekayaan sumberdaya alam. Misal pada praktek pemanenan yang tidak terencana dan terawasi dengan baik, faktanya antara lain diperlihatkan oleh kerapatan panjang jalan sarad hampir 3 kali lipat lebih besar dibanding cara pemanenan ramah lingkungan. Konsekuensinya berdampak pada meningkatnya lapisan tanah hutan yang terganggu dan terjadinya pengurangan tanaman tingkat pancang (diameter pohon 5-20 cm) sebesar 2.5 kali lipatnya, serta akan memperbesar terjadinya erosi dan sedimentasi. Padahal, ketiga hal itu menjadi unsur penting bagi kesinambungan pengelolaan hutan alam tersebut. Mengingat pentingnya penyelamatan industri pengolahan kayu yang telah menginvestasikan modalnya hingga ratusan milyar rupiah, berarti mengelola keberadaan sumberdaya alam hutan alam produksi sebagai pemasoknya secara lestari sangat penting.Agar kelangsungan hutan produksi itu dapat terus berjalan dengan baik maka ada 5 aspek teknis penting yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan hutan produksi alam tersebut yaitu kegiatan perencanaan, pembukaan wilayah atau pembuatan jalam, penebangan, penyaradan, penyiapan tempat pengumpulan kayu bundar (logyard). Kata kunci: Pemanenan, wawasan lingkungan, hutan tanaman

76

Endom Wesman KAJIAN PENGELUARAN DAN PEMUATAN KAYU DENGAN ALAT EXPO2000 YANG DISEMPURNAKAN (Study on Logs Extraction and Loading Using Improved Expo-2000) / Wesman Endom [et.al] . -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.5 ; Halaman 449 - 461, 2006 Dalam upaya mengatasi kesulitan mengumpulkan kayu-kayu hasil tebangan di daerah curam dengan cara manual, diperlukan terobosan berupa penyediaan alat ekstraksi kayu yang tidak mahal, mudah dioperasikan, produktif dengan biaya operasi dan perawatan rendah. Sesuai dengan harapan itu dilakukan kegiatan penelitian uji coba pengumpulan kayu dan muat bongkar dengan menggunakan hasil rekayasa alat Expo-2000 di daerah hutan Resort Polisi Hutan (RPH) Ciguha, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sukabumi, Jawa Barat. Produktivitas yang dicapai dengan dilakukannya penyempurnaan berupa penambahan endless drum diperoleh hasil sebesar 5 m3.hm/jam dan untuk muat/bongkar 50m3/jam. Dengan biaya investasi sebesar Rp 100 juta, maka dengan biaya pemilikan dan pengoperasian alat berdasarkan perhitungan adalah sebesar Rp 60.175 per jam, sehingga biaya pengumpulan dan pemuatan kayu secara berurutan masing-masing adalah Rp 12.305 dan Rp 1.135 per m3. Biaya ini jelas lebih efektif dan efisien dibanding cara konvensional yang besarnya mencapai masing-masing secara berurutan Rp 35.000 dan Rp 15.000 per m3 . Kata kunci : Pengumpulan, kayu, efektif, efisien, alat Expo-2000 Endom, Wesman STRATEGI MENGURANGI KERUSAKAN TANAH DALAM PEMBALAKAN / Wesman Endom. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.2 ; Halaman 133-142 , 2006 Tulisan ini menyajikan upaya mengurangi kerusakan tanah sebagai dampak dilakukannya kegiatan pembalakan. Diharapkan pengetahuan ini dapat memperbaiki pengelolaan hutan yang berwawasan lingkungan. Bahan utama disadur dari Handbook for Guiding Skidding and Road Building in British Columbia yang diterbitkan oleh Forest Research Institute Canada (FERIC) tahun 1991 yang sedikit diperluas. Ada beberapa acuan yang mungkin dapat diterapkan yaitu klasifikasi kerusakan tanah, klasifikasi tingkat dampak, strategi perencanaan pembalakan, jumlah dan luas TPn serta diagram lebar dan jarak

jalan sarad. Kegiatan pembalakan agar secepatnya diikuti dengan penanaman kembali di semua lokasi bekas tebangan agar tercapai pengelolaan hutan lestari. Kata kunci: Strategi, perencanaan, pembalakan, kerusakan tanah minimal Hajib, Nurwati SIFAT FISIS DAN MEKANIS KAYU JATI SUPER DAN JATI LOKAL DARI BEBERAPA DAERAH PENANAMAN (Physical and Mechanical Properties Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24 No.4 ; Halaman 359-369 , 2006

of Super and Local Teak Woods Originated from Several Plantation Areas) / Nurwati Hadjib; Mohammad Muslich; Ginuk Sumarni. -Penelitian sifat fisis dan mekanis kayu jati (Tectona grandis L.f.) jenis lokal dan super dari daerah Binjai, Maros, Parung, Panajam, Kutai, Lampung, Bengkulu dan Palembang bertujuan untuk melihat perbedaan karakteristik sifat fisis dan mekanis kayunya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata berat jenis (BJ) kayu jati super lebih tinggi daripada kayu jati lokal, sedangkan BJ tertinggi pada kayu jati super adalah dari Binjai dan terendah dari Maros. Jenis jati lokal dan super berpengaruh nyata terhadap berat jenis basah kayu tersebut, sedangkan lokasi penanaman jati tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat jenis. Kayu yang terkuat adalah jati lokal dari Palembang, diikuti berturut-turut kayu jati super dari Lampung, jati lokal dari Kutai, jati super dari Bengkulu, jati super dari Kutai, jati lokal dari Binjai, jati super dari Parung, jati super dari Binjai, jati super dari Palembang, jati lokal dari Lampung, jati lokal dari Sulawesi dan yang terendah jati super dari Sulawesi. Perbedaan BJ tersebut berpengaruh nyata pada kekakuan dan keteguhan tekan sejajar serat, sedangkan lokasi tanaman berpengaruh nyata terhadap kekakuan dan kekuatan patahnya. Kayu jati yang diteliti tergolong kelas kuat III-IV. Kata kunci: Kayu jati, lokal, super, fisis,mekanis

77

Hendra, Djeni PEMBUATAN ARANG AKTIF DARI TEMPURUNG KELAPA SAWIT DAN SERBUK KAYU GERGAJIAN CAMPURAN (The Manufacture of Activated Charcoal from Oil Palm Shells and Mixture of Wood Sawdust) / Djeni Hendra. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.2 ; Halaman 117 - 132 , 2006 Tulisan ini menyajikan hasil penelitian pembuatan arang aktif dari tempurung kelapa sawit dan serbuk kayu gergajian campuran dengan cara aktivasi uap. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari alternative pemanfaatan limbah dari pabrik minyak kelapa sawit dan serbuk kayu gergajian menjadi arang aktif yang dapat memberikan nilai tambah. Proses pembuatan arang aktif dilakukan dengan menggunakan retort dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan elemen listrik pada suhu 650, 750 dan 850 C. Sebagai bahan pengaktif digunakan larutan H3P04 dengan konsentrasi masing-masing 7,5,10,0 dan 12,5%. Kondisi optimum untuk membuat arang aktif dengan kualitas terbaik dihasilkan dari arang aktif yang dibuat dari bahan baku serbuk kayu gergajian campuran pada suhu 850C dengan konsentrasi H3P04 12,5% menghasilkan rendemen arang aktif sebesar 63,3%, kadar air 7,90%, kadar abu 8,04%, kadar zat mudah menguap 11,50%, kadar karbon terikat 79,86%, daya serap benzena 28,43% dan daya serap terhadap yodium sebesar 1.107,43 tng/g. Sedangkan arang aktif yang dibuat dari bahan baku tempurung kelapa sawit pada suhu 6500C dengan konsentrasi H3P04 7,5% menghasilkan rendemen arang aktif sebesar 80%, kadar air 5,30%, kadar abu 5,44%, kadar zat mudah menguap 11,30%, kadar karbon terikat 83,74%, daya serap terhadap benzena 26,23% dan daya serap terhadap yodium sebesar 1.045,27 mg/g. Angka daya serap benzena dan yodium ini memenuhi Standar Indonesia dan Jepang. Kata kunci: Tempurung kelapa sawit, serbuk kayu gergajian campuran, arang aktif, benzena, yodium.

Iskandar, M.I. SIFAT PAPAN BLOK SENGON DENGAN VENIR SILANG KAYU TUSAM (The Properties of Sengon Blockboard with Cross Core Layer from Tusam Wood) / M.I. Iskandar; I.M.Sulastiningsih. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.2 ; Halaman 145 - 155 , 2006 Papan

perekat urea formaldehida. Venir luar dan bilah inti papan blok terbuat dari kayu sengon sedangkan venir silang terbuat dari kayu tusam. Tebal venir luar 2 mm sedangkan tebal venir silang 3 mm. Ukuran bilah inti terdiri dari dua macam ketebalan (1 dan 1,5 cm) dan 3 macam lebar ( 0,7, 2,5 dan 7,6 cm). Sifat papan blok diuji menurut Standar Indonesia (SNI) meliputi kadar air, kerapatan, keteguhan rekat dan delaminasi. Pengujian keteguhan lentur papan blok dilakukan menurut Standar Jerman (DIN) sedangkan pengujian pengembangan dimensi papan blok lilakukan menurut Standar Amerika (ASTM). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ukuran bilah inti terhadap sifat papan blok sengon dengan venir silang kayu tusam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air rata-rata papan blok adalah 12% sedangkan kerapatan rata-rata papan blok adalah 0,42 g/cm3. Lebar bilah inti berpengaruh terhadap pengembangan tebal dan pengembangan lebar papan blok. Tebal bilah inti berpengaruh terhadap pengembangan lebar papan blok tetapi tidak berpengaruh terhadap pengembangan tebal dan pengembangan panjang papan blok. Keteguhan rekat papan blok yang diuji berdasarkan uji geser tarik dan uji delaminasi memenuhi persyaratan Standar Indonesia (SNI). Penggunaan venir silang kayu tusam dalam pembuatan papan blok sengon meningkatkan keteguhan lentur sebesar 6,2% pada arah sejajar serat dan 18,6% pada arah tegak lurus serat. Keteguhan lentur sejajar serat papan blok sengon yang dibuat dengan menggunakan venir silang kayu tusam semuanya memenuhi persyaratan Standar Jerman (DIN). Kata kunci: Sengon, tusam, venir silang, papan blok

(Paraserianfhes falcataria) dan kayu tusan (Pinus merkusii) yang direkat dengan

blok

(5

lapis)

sekala

laboratorium

dibuat

dari

kayu

sengon

78

Iskandar, M.I PEMANFAATAN KAYU MANGIUM UNTUK BAHAN KAYU LAPIS DAN KAYU LAPIS INDAH / M.I. Iskandar dan Suwandi Kliwon. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 117-130 , 2006 Salah satu hutan tanaman industri yang telah berkembang adalah HTI mangium (Acacia mangium Willd.) Luas tanaman mangium sekitar 176.888,24 Ha, didominasi di daerah Sumatera Selatan sekitar 176.615 ha. Pemanfaatan kayu mangium masih terbatas sebagai bahan baku pulp. Di industri pengolahan serpih kayu (chip) seperti PT Tanjung Enim Lestari bahan baku kayu mangium diolah menjadi serpih sebagai bahan baku pulp. Untuk meningkatkan nilai tambah kayu mangium perlu peningkatan diversifikasi produknya antara lain untuk pembuatan venir indah sebagai bahan baku kayu lapis dan kayu lapis indah. Hasil penelitian menunjukan bahwa kayu mangium ternyata dapat dipergunakan sebagai bahan baku kayu lapis dan kayu lapis indah. Mutu kayu lapis yang dihasilkan pada umumnya dapat memenuhi persyaratan standar nasional Indonesia dan Jepang. Kata kunci: Pemanfaatan kayu, Mangium, Kayu lapis, Kayu lapis indah Jasni PENGUJIAN RESIN BERBASIS LIGNIN SEBAGAI BAHAN PENCEGAH SERANGAN RAYAP KAYU KERING (Cryptotermes cynocephalus Light.)

formaldehida yang dibuat dari jenis lignin efektif dalam mencegah serangan rayap kayu kering pada kayu karet dan tusam tingkat kematian rayap kayu kering antara 62,4 - 100,0% dan mampu meningkatkan kelas ketahanan kayu karet maupun tusam dari kelas IV (tanpa perlakuan) menjadi kelas II. Kata kunci: Lignin formaldehida, rayap kayu kering, karet, tusam Krisdianto ANATOMI DAN KUALITAS SERAT LIMA JENIS KAYU KURANG DIKENAL DARI LENGKONG, SUKABUMI (Anatomy and Fiber Quality of Five Lesser Known Wood Species from Lengkong, Sukabumi) / Krisdianto. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.3 ; Halaman 201 - 218 , 2006 Sumber bahan baku alternarif untuk industri perkayuan nasional saat ini dan masa yang akan datang berasal dari hutan tanaman dan pemanfaatan jenis kayu kurang dikenal. Dalam pemanfaatan kayu kurang dikenal diperlukan informasi struktur anatomi dan kualitas seratnya untuk keperluan pengenalan jenis dan pemanfaatannya. Untuk keperluan identifikasi, ciri utama dari kelima jenis tersebut adalah: 1. Kayu ki hantap {Sterculia oblongata R.Br.) berwarna kuning keabu-abuan, corak bergaris, dengan lingkaran tumbuh jelas oleh parenkim pita. Parenkim bentuk sayap, dan difus berkelompok, jari-jari 2 ukuran. 2. Kayu ki kuya (Ficus vasculosa Wall. ex Miq.) berwarna kuning cerah, lingkaran tumbuh jelas oleh parenkim pita. Parenkim pita tebal membentuk corak garis-garis pudh pada produk kayunya. 3. Kayu ki lubang {Calophyllum grandiflorum JJ.S.) berwarna coklat kemerahan dan termasuk dalarn kelompok kayu perdagangan bintangur. Pembuluh kayu ki lubang bersusun dalam kelompok radial atau diagonal dan parenkim pita memanj ang yang kadang terputus. 4. Kayu ki bancet (Turpinia sphaerocarpa Hassk.) berwarna kekuningan, agak lunak. Lingkaran tumbuh kayu ki bancet kurang jelas, pembuluhnya agak banyak dan berukuran agak kecil, jari-jari 2 macam ukuran. 5. Kayu ki bulu (Gironniera subaequalis Planch.) berwarna kuning kepurihan dan agak keras. lingkaran tumbuhnya jelas oleh adanya parenkim pita tipis dan perbedaan ketebalan dinding selnya, jari-jari 2 ukuran. Serat kelima jenis kayu termasuk dalam kelas kualitas I sebagai bahan baku pulp untuk kertas.

No.4 ; Halaman 301-308 , 2006

(Possible Application of Lignin-based Resin as a Chemical Agent to Prevent the attack of Dry Wood Termite (Cryptotermes cynocephalus Light.)) / Jasni; Adi Santoso. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24

Kayu karet dan tusam banyak digunakan sebagai bahan mebel. Kelemahan kedua kayu tersebut mudah diserang organisme perusak kayu. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan untuk meningkatkan keawetannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis bahan pencegah serangan rayap kayu kering menggunakan resin lignin formaldehida. Dalam penelitian ini resin dibuat dari 3 jenis lignin yang dihidroksimerilasi kemudian dikondensasi dengan larutan NaOH 50% dan formaldehida 37%. Reaksi dilangsungkan pada suhu 70 80oC selama 1 jam. Nisbah mol lignin: formalin =1:2. Resin tersebut diaplikasikan pada kayu karet dan tusam, masing-masing mewakili kayu daun lebar dan kayu daun jarum yang selanjutnya ketahanannya terhadap serangan rayap kayu kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resin berbasis lignin

79

Kata kunci : Lima, anatomi, kayu, idcnrinkasi, serat Krisdianto ANATOMI DAN DIMENSI SERAT BATANG KELAPA DALAM DAN HIBRIDA (Cocos nucifera L.) / Krisdianto. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.1 ; Halaman 1-14 , 2006 Struktur anatomi dan dimensi serat kelapa dalam dan kelapa hibrida berumur 19 tahun dipelajari untuk melengkapi data dan informasi struktur anatomi dan dimensi serat batang kelapa. Struktur anatomi batang kelapa dipelajari dari preparat sayatan, sedangkan dimensi serat diukur dari preparat maserasi. Batang kelapa mempunyai dua komponen utama, yaitu ikatan pembuluh dan jaringan parenkim dasar. Di dalam ikatan pembuluh terdapat pembuluh metaxylem, protoxylem, phloem dan ikatan serat. Struktur anatomi dan dimensi serat kelapa dalam dan hibrida tidak memiliki perbedaan yang nyata. Panjang pembuluh metaxylem rata-rata 293 2,3 um untuk kelapa dalam dan 296 3,2 um untuk kelapa hibrida. Sedangkan noktah pada dinding metaxylem berukuran 23,9 1,84 um untuk kelapa dalam dan 23,85 2,11 um untuk kelapa hibrida. Secara umum, dimensi serat batang kelapa bertambah panjang dari pangkal ke ujung pohon, sedangkan berdasarkan kedalamannya serat bertambah panjang dari bagian tengah ke arah kulitnya. Ketebalan dinding serat menunjukkan pola yang mirip dengan panjang serat, yaitu bagian pangkal batang lebih tebal dari bagian ujung, sedangkan berdasarkan kedalamannya serat bagian dalam lebih tipis dari bagian dekat kulitnya. Kata kunci: Kelapa dalam, hibrida, anatomi, dimensi serat Krisdianto PELENGKUNGAN DALAM INDUSTRI PENGOLAHAN ROTAN / Krisdianto; Jasni. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.1 ; Halaman 39-48 , 2006 Pembuatan bentuk lengkung merupakan proses penting dalam industri mebel rotan. Hampir semua potongan rotan besar perlu dilengkungkan dalam proses pembuatan barang jadi, baik untuk keperluan fungsional maupun estetika. Tulisan ini bertujuan mempelajari proses dan mutu pelengkungan rotan dalam

industri mebel. Proses pelengkungan melalui dua tahap, yaitu persiapan dan pelengkungan. Mutu hasil pelengkungan ditentukan tahap persiapan karena dalam tahap ini rotan harus dipilih bebas cacat dan bebas ruas. Pada industri besar dan menengah jenis rotan manau lebih mudah dilengkungkan dari jenis lain. Mutu pelengkungan dengan mesin pada jenis yang sama tidak selalu lebih baik dari manual. Pelengkungan rotan selain manau pada industri menengah, terdapat yang menghasilkan mutu lebih baik. Ini diduga akibat operatornya lebih terampil. Untuk meningkatkan mutu pelengkungan mungkin perlu diterapkan metode plastisasi alternatif sehingga kerjasama dengan instansi penelitian diperlukan. Kata kunci: Rotan, pelengkungan, mebel, mutu, manau

Krisdianto PERBANDINGAN PERSENTASE VOLUME TERAS KAYU JATI CEPAT TUMBUH DAN KONVENSIONAL UMUR 7 TAHUN ASAL PENAJAM, KALIMANTAN TIMUR (Heartwood Portion in Logs of 7 Years Old Fast

Growing and Conventional Teak Taken from Penajam, East Kalimantan) / Krisdianto & Ginuk Sumarni. -- Jurnal Penelitian Hasil
Hutan : Vol.24, No.5 ; Halaman 385 394, 2006

Kayu jati (Tectona grandis L.f.) telah dikenal sebagai bahan baku mebel dan konstruksi dengan kualitas tinggi. Jati cepat tumbuh atau dikenal dengan nama dagang 'Jati super', 'Jati unggul, 'Jati prima' atau 'Jati emas' merupakan tanaman jati yang dikembangkan melalui kultur jaringan dan bertujuan menambah pasokan bahan baku kayu jati. Sedangkan kayu jati konvensional merupakan tanaman yang dikembangkan melalui perkecambahan biji. Informasi mengenai kualitas kayu jati cepat tumbuh belum diketahui. Salah satu parameter kualitas kayu jati dapat dilihat dari persentase kayu terasnya dalam batang. Penelitian ini bertujuan membandingkan persentase teras kayu jati super dan konvensional pada umur dan lokasi yang sama. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada umur 7 tahun, kayu teras telah terbentuk pada seluruh lempengan kayu jati super maupun konvensional dari bagian ujung, tengah dan pangkal. Persentase kayu teras jati super rata-rata 39,6%, lebih besar dari jari konvensional 20,3%. Berdasarkan persentase kayu terasnya kayu jati konvensional lebih baik parameter kualitas kayu yang lain juga harus diperhatikan seperti kualitas serat dan keawetan alaminya. Berdasarkan SNI 01-

80

5007.1-2003, batang kayu jati pada umur 7 tahun dapat masuk dalam kriteria kayu bulat kecil (KBK, A.I.). Kata kunci: Jati, super, konvensional, persentase, teras Lelana, Neo Endra EFEKTIFITAS PENULARAN Metarhizium SERANGGA

Lelana, Neo Endra POTENSI BAHAN BAKU KAYU DAN KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN INDUSTRI CINDERAMATA DI CARITA / Neo Endra Lelana; Jasni; Agus Ismanto. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.1 ; Halaman 33-38 , 2006 Kawasan Carita, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten merupakan tujuan wisata penting di Indonesia. Salah satu faktor pendukung pariwisata adalah cinderamata dengan bahan baku limbah penebangan dan industri baik kayu maupun kayu kelapa. Data potensinya belum diketahui secara baik sehingga perlu dilakukan penelitian. Data dikumpulkan dari industri penggergajian dan kerajinan serta instansi maupun masyarakat terkait. Data yang dikumpulkan berupa jumlah industri cinderamata, industri penggergajian dan potensi bahan baku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi bahan baku berupa limbah penebangan dan industri penggergajian kayu dan batang kelapa banyak tersedia. Selain itu industri cinderamata di sekitar Carita yang sudah berkembang juga dapat mendukungnya. Kata kunci: Bahan baku, cinderamata, limbah industri dan pembalakan Lempang, Mody RENDEMEN DAN KANDUNGAN NUTRISI NATA PINNATA YANG DIOLAH DARI NIRA AREN (Recovery and Nutrition Content of Nata Pinnata Processed from Aren Sap) / Mody Lempang. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.2 ; Halaman 133 - 144 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur nira dan penambahan pupuk ZA pada nira aren yang diolah untuk menghasilkan nata pinnata. Nata adalah sejenis makanan ringan yang menyerupai jelly yang biasanya diolah dari air kelapa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nira aren yang diolah untuk memproduksi nata pinnata menghasilkan rendemen antara 23,83% sampai 82,42% atau rata-rata-rata 55,64%. Umur nira dan penggunaan bahan suplemen pupuk ZA berpengaruh nyata terhadap rendemen produksi nata pinnata, semakin panjang umur nira semakin rendah produksi nata, sementara semakin tinggi dosis penggunaan pupuk ZA semakin tinggi rendemen nata. Rendemen produksi nata pinnata yang tinggi (94,22 %) diperoleh dari pengolahan yang menggunakan nira aren umur 6 jam dengan penambahan suplemen pupuk ZA sebanyak 2,5 gram per liter nira. Kandungan nutrisi nata pinnata yang diolah dari nira aren (kadar air, protein, vitamin, serat

anisopliae OLEH RAYAP PEKERJA Coptotermes curvignathus (Effectiveness of Transmission of Some Isolates of Entomopathogenic Fungus Metarhizium anisopliae by Subterranean Termite Workers, Coptotermes curvignathus) / Neo

BEBERAPA

ISOLAT

JAMUR

PATOGEN

Endra Lelana ...[et.al.] . -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.3 ; Halaman 219 - 225 , 2006

Jamur patogen serangga Metarhizium anisopliae diketahui bersifat patogen terhadap banyak serangga termasuk rayap. Penularan terjadi melalui penyebaran spora. Efektivitas penularan oleh kasta rayap pekerja Coptotermes curvignathus yang telah terinfeksi spora jamur dari 6 isolat yang dikumpulkan dari berbagai lokasi di Jawa dievaluasi. Beberapa kelompok rayap yang terdiri dari campuran rayap pekerja yang terinfeksi spora dan yang sehat dimasukkan dalam botol kultur berisi media pasir steril yang lembab, diinkubasi dalam ruang gelap dan lembab pada suhu kamar selama 14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase mortalitas rayap cenderung meningkat setelah inkubasi dibandingkan dengan sebelum inkubasi. Isolat dari Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor (BGR), Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM)p dan Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Semarang (SMG) menunjukkan efektivitas penularan yang tinggi, menyebabkan mortalitas rayap lebih dari 80% pada perlakuan rayap terinfeksi dengan konsentrasi 50%. Isolat dari Bogor tampaknya paling efektif untuk ditularkan oleh rayap pekerja ke dalam koloninya. Kata kunci: Jamur patogen serangga, M. anisopliae, C. curvignathus, penularan spora, mortalitas rayap

81

kasar, lemak, abu, kalsium dan posfor) berbeda dengan kandungan nutrisi nata decoco yang diolah dari air kelapa, nira kelapa maupun kolang-kaling. Kata kunci: Nira aren, nata pinnata, rendemen, kandungan nutrisi Lempang, Mody STRUKTUR ANATOMI, SIFAT FISIK DAN MEKANIK KAYU PALASO (Aglaia sp) (Anatomical Structure, Physical and Mechanical Properties of Aglaia sp) / Mody Lempang; Muhammad Asdar. Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.2 ; Halaman 171 - 181 , 2006 Penelitian ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi struktur anatomi, sifat fisik dan sifat mekanik kayu palado (Aglaia sp.) yang diambil dari hutan produksi alam di Kalukku kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa palado memiliki kayu gubal berwarna putih sampai krem dan teras berwarna coklat muda sampai coklat kelabu; serat lurus, tekstur agak halus, pori sedikit (3 per.mm) berbentuk lonjong dan tersebar tata baur; perforasi tipe sederhana; jari-jari luar biasa pendek, sempit dan jarang (tinggi 327 m; lebar 25,52 m dan frekuensi 5 per mm, parenkim tersebar atau baur. Panjang serat 1132 m dan diameter serat 25,61 m; diameter lumen 17,39 m; dan tebal dinding 1,64 m. Kadar air kering udara 15,85%; berat jenis kering udara 0,48 dan berat jenis kering tanur (kerapatan) 0,53; penyusutan kering udara ke kering tanur 2,71% (Radial) dan 4,67% (Tangensial); keteguhan lentur pada batas patah 612,72 kg/cm2 dan keteguhan tekan sejajar serat 402,28 kg/cm2 . Kata kunci : Kayu, sifat, anatomi, fisik, mekanik, Palado Lestari, Setyani B DIMENSI SERAT EMPAT JENIS BAMBU DARI JAWA TIMUR / Setyani B. Lestari & Yoswita. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.2 ; Halaman 109114 , 2006 Tulisan ini menginformasikan nilai dimensi serat beserta nilai turunannya dari empat jenis bambu yang berasal dari Jawa Timur, yaitu bambu ampel (Bambusa vulgaris Schat), bambu petung (Dendrocalamus asper Bck), bambu apus (Gigantochloa apus Kurz) dan bambu jajang ulet (Gigantochloa apus kurz

forma). Bambu yang diteliti memiliki panjang serat antara 2600 sel berkisar antara 1,0 2,0 mikron, diameter lumen memiliki nilai antara 13-16,8 mikron. Berdasarkan nilai turunan dimeni serat, empat jenis bambu yang diteliti menunjukkan nilai karakteristik yang baik sebagai bahan baku pulp dan kertas. Kata kunci: Bambu, dimensi serat, nilai turunan Malik, Jamaludin TEKNOLOGI PEMADATAN MELALUI PENGEMPAAN DENGAN PERLAKUAN PENDAHULUAN PENGUKUSAN UNTUK PENINGKATAN KUALITAS KAYU / Jamaludin Malik. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.1 ; Halaman 49-58 , 2006 Jenis-jenis kayu inferior yang memiliki sifat tidak kuat dan tidak stabil dapat disempurnakan melalui teknologi pemadatan sehingga pemanfaatannya meluas. Teknologi ini sudah lama dikembangkan dengan berbagai metode. Salah satu metode pemadatan yang dianggap memiliki kelebihan adalah melalui pengempaan dengan perlakuan pendahuluan pengukusan. Proses utama metode ini adalah pengukusan, pengempaan dan pengkleman. Sifat dasar kayu yang mengalami peningkatan adalah kerapatan, keteguhan lentur stads (MOE & MOR), kekerasan, keteguhan tarik dan pukul, serta stabilitas dimensi. Peningkatannya dapat mencapai > 90%. Kayu yang dipadatkan dapat dimanfaatkan lebih luas, seperti untuk tiang bangunan, dinding, pegangan tangga, lantai, mebel, bingkai, pemintal tenun, kumparan, pegangan alat, baling-baling dan plat sambungan yang memerlukan kekuatan gesek tinggi. Kata kunci: Pemadatan, peningkatan kualitas, pemanfaatan Malik, Jamaludin PENGOLAHAN KAYU DIAMETER KECIL UNTUK KAYU LAMINA DAN KOMPONEN MEBEL / Jamaludin Malik, Abdurachman dan Achmad Supriadi. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 153-163 , 2006 Produksi alternatif yang dapat meningkatkan efisiensi dan nilai tambah produk yang diolah dari kayu diameter kecil adalah kayu lamina dan komponen mebel. Penelitian pembuatan produk tersebut telah dilakukan terhadap beberapa jenis

82

kayu yaitu tusam (Pinus merkusii) damar (Agathis sp.), gmelina (Gmelina arborea), bengkel (Nauclea sp), pisang-pisang (Alponsea teysmanii Boerl), dan jambu jambu (Eugenia spp.) dari bagian cabang. Sedangkan kayu lamina bentangan besar dibuat dari bagian batang utama kayu mangium (Acacia mangium Wild.) dan sengon (Paraserianthes falcataria) berdiameter kecil. Hasil penelitian penunjukan bahwa produk kayu lamina dan kayu lamina untuk bentangan besar yang dibuat dari kayu diameter kecil sengon dan mangium memenuhi syarat standar (SNI 2000, JAS 1996 dan JAS 2003). Komponen mebel dapat memenuhi standar pabrik. Kata kunci: Pengolahan kayu, kayu diameter kecil, kayu lamina, mebel

Mandang, Y.I DIGITALISASI BASIS DATA XYLARIUM PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BOGOR / Yance I. Mandang . -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.2 ; Halaman 75-85 , 2006 Xylarium Bogoriense Pusat Litbang Hasil Hutan di Bogor menyimpan hampir 40.000 contoh kayu yang dikumpulkan dari seluruh kepulauan Indonesia. Semua contoh kayu dicatat dalam buku register dan setiap contoh memiliki keterangan yang meliputi nomor contoh kayu, nomor herbarium, nama setempat, suku, nama ilmiah, sinonim, asal contoh kayu, kolektor dan tanggal dikoleksi. Catatan tersebut ditulis tangan sejak tahun 1915 dalam 12 jilid buku. Masalahnya hampir semua buku register sudah lapuk dan datanya terancam musnah. Oleh karena itu perlu dicarikan cara untuk menyelamatkan data tersebut sekaligus disusun kembali dalam bentuk mutakhir. Dalam makalah ini disajikan pengalaman merenovasi sistem informasi xylarium dengan memanfaatkan perkembangan terakhir dalam bidang teknologi informasi. Untuk keperluan identifikasi kayu, deskripsi anatomi kayu dari berbagai sumber ditransformasikan ke dalam kode IAWA (International Association of Wood Anatomist) lalu diketik dalam format MS Access. Basis data koleksi dan basis data ciri kayu ini kemudian diimpor ke dalam MS SQL Server pada komputer server yang sudah disiapkan. Penelusuran informasi dan identifikasi kayu dilakukan dengan menuliskan query dalam bentuk pernyataan-pernyataan SQL lalu dieksekusi. Beberapa contoh proses penelusuran informasi dan identifikasi kayu disajikan. Waktu yang diperlukan untuk penelusuran informasi dan identifikasi kayu sangat singkat dibanding dengan cara lama. Kata kunci: Xylarium, Sistem informasi Misdarti KUALITAS BAMBU LAMINASI ASAL KABUPATEN TORAJA, SULAWESI SELATAN (Qualities of Laminated Bamboo of Toraja Regency, South Sulawesi) / Misdarti. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.3 ; Halaman 183 - 189 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis bambu dan macam perekat poly vinyl acetate (PVAc) terhadap sifat fisis dan mekanis bambu laminasi. Jenis bambu yang digunakan adalah hitam dan parring. Sedangkan macam perekat PVAc yang digunakan adalah fox, tiger dan epoxy. Bambu

Malik, Jamaludin PENGARUH PEMADATAN TERHADAP LAJU PENURUNAN KADAR AIR KAYU RANDU ALAS (Gossampinus malabarica Alst.) / Jamaludin Malik & Andianto. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.2 ; Halaman 143-147 , 2006 Pemadatan kayu randu alas (Gossampinus malabarica Alst) merubah struktur anatomis dan sifat fisis sehingga memberi peluang untuk dimanfaatkan sebagai perkakas. Perubahan kedua sifat ini merubah sifat pengeringan kayu yang dipadatkan. Penelitian sifat pengeringan kayu yang dipadatkan perlu dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air awal kayu yang dipadatkan 54%, lebih rendah 10,5% dari kayu yang tidak dipadatkan. Pengeringan kayu yang dipadatkan dan tidak dipadatkan selama sembilan hari masing-masing mencapai kadar air 15,9% dan 15%. Penurunan kadar airnya menunjukkan perbedaan nyata. Hubungan kadar air (Y) dan waktu pengeringan (X) pada kayu yang tidak dipadatkan mengikuti persamaan Y = 64,640 9,296x + 0,421x2 , dengan R2 = 0,999. Pada kayu yang dipadatkan mengikuti persamaan Y = 53,440 7,926x + 0,428x2 , dengan R2 = 0,999. Kata kunci: Randu alas, pemadatan, kadar air kayu, pengeringan

83

laminasi dibuat dengan menggunakan bambu kering udara dengan ukuran 51 x 2,5 x 0,5 cm. Kemudian sampel bambu dilaburi perekat secara merata pada salah satu sisi dengan berat labur 200 gr/m . Selanjutnya sampel bambu dari jenis yang sama direkat satu sama lain kemudian dikempa pada suhu ruangan dengan menggunakan klem selama 12 jam. Bambu lamina kemudian dikondisikan pada suhu ruangan selama 1 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan macam perekat berpengaruh tidak nyata terhadap sifat fisis dan mekanis bambu laminasi yang dibuat dari bilah bambu hitam dan bambu parring. Bambu laminasi dengan menggunakan lem epoxy cenderung memiliki nilai MOE dan keteguhan rekat yang lebih baik dibanding lem fox dan lem tiger. Efisiensi perekatan terbesar terjadi pada bambu laminasi parring dengan lem epoxy. Kata kunci : Bambu laminasi, macam perekat PVAc, sifat fisis dan mekanis Muslich, Mohammad KEAWETAN 25 JENIS KAYU DIPTEROCARPACEAE TERHADAP PENGGEREK KAYU DI LAUT (Durability of 25 Dipterocarpaceae Wood Species Against Marine Borers) / Muhammad Muslich; Ginuk Sumarni. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.3 ; Halaman 191 - 200 , 2006 Dua puluh lima jenis kayu Dipterocarpaceae diuji sifat keawetannya terhadap serangan penggerek kayu di laut. Masing-masing jenis kayu dibuat contoh uji berukuran 2,5 cm x 5 cm x 30 cm, direnteng dengan tali plastik, kemudian dipasang di perairan pulau Rambut dan diamati setelah 6 bulan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang keawetan 25 jenis kayu Dipterocarpaceae terhadap penggerek kayu di laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 6 bulan, sebagian besar contoh uji mendapat serangan berat oleh famili Pholadidae dan Teredinidae. Lima dari 25 jenis kayu atau 20% tahan terhadap penggerek di laut. Giam durian (Cotylelobium flavum Pierre) dan balau laut [Shorea falcifera Dyer) termasuk dalam katagori sangat tahan, sedangkan giam tembaga (Cotylelobium melanoxylon Pierre), balau laut batu (Shorea elliptica Burck.), dan resak ayer (Vatica teysmanniana Burck.) termasuk dalam katagori tahan terhadap penggerek di laut. Kelima jenis kayu tersebut cocok untuk bangunan kelautan. Kata kunci: Keawetan, Dipterocarpaceae, penggerek di laut

Novrianto, Eka PENELAAHAN FAKTOR YANG DAPAT MEMPENGARUHI PENETAPAN UKURAN SASARAN VENIR KAYU LAPIS (Assessing Factors That Affects the Determination of Targeted Veneer Size for Plywood) / Eka Novriyanto. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.5 ; Halaman 371 - 384, 2006 Untuk mendapatkan konstruksi panel yang memiliki ukuran tebal yang diinginkan, maka diperlukan penetapan ukuran sasaran pada saat pengupasan vinir, Faktor-faktor penyusutan vinir, pengempaan panel, pengampelasan, dan penyusutan panel serta keragaman pengupasan total dapat mempengaruhi penetapan ukuran sasaran, Data yang dikumpulkan dalam percobaan ini adalah tebal vinir sesudah kupas 1,76 mm, penyusutan vinir 6,34%, pengaruh pengempaan 11,94%, pengaruh pengampelasan 0,44%, tebal vinir dalam panel 1,22 mm, rata-rata tebal panel akhir 28,02 mm, dan penyusutan panel 1,42%, Data-data tersebut selanjutnya diolah dengan formula yang diturunkan dari perubahan yang dialami vinir sampai menjadi panel oleh proses produksi, untuk mendapatkan ukuran sasaran pengupasan vinir kayu lapis konstruksi 19-lapis, Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ukuran sasaran pengupasan vinir adalah 1,870 0,013 mm, Kata kunci : Kayu lapis, vinir, ukuran sasaran pengupasan vinir Nurhayati, Tjutju PRODUKSI DAN PEMANFAATAN ARANG DAN CUKA KAYU DARI SERBUK GERGAJI KAYU CAMPURAN (Production and Utilization of Charcoal and Wood Vinegar of Mixture Wood Sawdust) / Tjutju Nurhayati, Ridwan Ahmad Pasaribu & Dida Mulyadi. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.5 ; Halaman 395 - 411, 2006 Penelitian produksi terpadu arang dan cuka kayu menggunakan serbuk gergaji kayu campuran asal hutan alam dan hutan tanaman dilakukan pada tungku sakuraba dan tungku blower. Arang serbuk dimanfaatkan untuk bahan baku produksi arang aktif dan cuka kayunya untuk budidaya tanaman padi. Hasilnya sebagai berikut ; Produksi terpadu arang dan cuka kayu crudedari serbuk gergaji kayu campuran hutan alam dan hutan tanaman pada tungku sakuraba masing-masing 292,68 kg/ton dan 232,24 kg/ton dan pada tungku blower 344,76 kg/ton dan 323,07 kg/ton. Rendemen arang dan cuka kayu ke dua jenis

84

serbuk gergaji relatif sama pada masing-masing tungku yaitu 20,6% dan 14,6% (sakuraba), 19,3% dan 22% (blower). Rendemen terpadunya pada tungku sakuraba 35,2% menunjukkan angka lebih rendah dari blower 41,3%. Oleh karena itu produksi terpadu pada tungku blower lebih baik dari sakuraba. Sifat arang dari tungku blower lebih baik dari sakuraba ditunjukan oleh kadar abu (2,2%) dan kadar zar mudah terbang (11,9%) yang lebih rendah, dan kadar karbon tertambat (86,7%) yang lebih tinggi. Cuka kayu crude dari ke dua serbuk gergaji mengandung jenis komponen kimia yang sama pada kadar yang bervariasi, terdiri dari asam asetat, metanol, fenol, asetol, orto kreosol, para kreosol, furfural, alfa metil guaiakol, sikloheksana. Produksi arang aktif memenuhi SNI pada parameter daya serap iod (857,7 mg/g) diperoleh dari perlakuan aktifasi perendaman asam fosfat 20% dan uap air pada suhu 695OC dan aktifasi dengan uap panas tanpa asam fosfat pada suhu 605OC (789,7 mg/). Produksi arang aktif dengan mutu baik ini diperoleh setelah tungku aktifasi diredam emisi panasnya dengan gelas wol. Pemanfaatan cuka kayu distilasi 2,5% pada tanaman padi jenis ciherang dengan perlakuan penambahan pupuk NPK dapat menggantikan penggunaan bahan organik 2,5% dengan hasil gabah kering giling yang sama yaitu 5,75 ton/ha. Perlakuan tanpa pupuk NPK menghasilkan gabah kering giling paling tinggi pada cuka kayu yaitu 4,41 ton/ha, bahan organik 4,10 ton /ha dan kontrol 3,21 ton/ha. Penggunaan cuka kayu distilat 2,5% ini memberi petunjuk terhadap fungsinya sebagai pupuk dan merespon pertumbahan padi yang lebih baik. Kata kunci : Serbuk gergaji kayu, tungku, arang, cuka kayu, arang aktif, padi. Pari, Gustan KAJIAN STRUKTUR

meningkatnya suhu karbonisasi, sedangkan untuk tinggi lapisan (Lc), derajat kristalinitas (X) dan jumlah lapisan aromatik (N) meningkat dengan makin naik karbonisasi. Spektrum FTIR dari arang lignin menunjukkan bahwa antara suhu 300-500 perubahan struktur kimia dari bahan baku secara nyata. Ikatan OH, dan C=C alifatik menurun dengan naiknya suhu, sedangkan struktur eter dan dihasilkan aromatik makin berkembang. Pada suhu 850C arang yang mempunyai struktur aromatik yang permukaannya mempunyai gugus C-O-C, C=O dan C-H. Analisis SEM menunjukkan bahwa jumlah dan diameter pori arang meningkat dengan naiknya suhu karbonisasi. Kualitas arang yang baik diperoleh pada suhu karbonisasi 5000C menghasilkan derajat kristalinitas sebesar 33,90 %, tinggi lapisan aromatik 3.21 nm, leba aromatik 10,96 nm, jumlah lapisan aromatik 8,67, jarak antar lapisan aromatik d(002) = 0,35 nm i = 0,21 nm dengan diameter port arang antara 12,6 um. Arang ini mempunyai sifat keteraturan tertinggi, permukaannya bersifat polar, kaku, keras dan struktur porinya makropori. Kata kunci: Arang, difraksi, lignin, struktur kimia. Pari, Gustan PENGARUH LAMA WAKTU AKTIVASI DAN KONSENTRASI ASAM FOSFAT TERHADAP MUTU ARANG AKTIF KULIT KAYU ACACIA MANGIUM (The Influence of activation Time and Concentration of Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.1 ; Halaman 33 - 46 , 2006

Phosphoric Acid on the Quality of Activated Charcoal of Acacia mangium Bark) / Gustan Pari; Djeni Hendra; Ridwan A. Pasaribu. -Dalam tulisan ini dikemukakan hasil penelitian pembuatan arang aktif dari kulit kayu Acacia mangium. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu aktivasi dan konsentrasi bahan pengaktif terhadap hasil dan mutu arang aktif yang dihasilkan. Proses pembuatan arang aktif dilakukan dengan menggunakan retor yang terbuat dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan elemen listrik pada suhu 750 C dengan lama waktu aktivasi 30, 60 dan 90 menit. Bahan pengaktif yang digunakan adalah larutan asam fosfat (H3PO4) dengan konsentrasi 0,0; 5,0; 10,0 dan 15%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum untuk membuat arang aktif dengan kualitas terbaik dihasilkan dari arang yang direndam asam fosfat 10%, dengan lama waktu aktivasi 60 menit, menghasilkan rendemen sebesar 98,20%, kadar air 8,39%, kadar abu 26,70%, kadar zat terbang 8,72%, kadar karbon terikat 64,60%, daya serap

ARANG DARI LIGNIN (Study on Charcoal Structure of Lignin) / Gustan Pari [et.al] . -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.1 ; Halaman 9 - 20, 2006 Tulisan ini membahas struktur arang dari lignin pada suhu karbonisasi yang berbeda. Proses pembuatan arang lignin dilakukan pada suhu 200,300,400,500,650,750 dan 850C dalam suatu retort yang terbuat dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan pemanas listrik. Untuk mengetahui perubahan struktur arang yang terjadi dilakukan analisis dengan menggunakan FTIR, XRD dan SEM. Hasil analisis XRD menunjukkan bahwa jarak antar ruang lapisan aromarik (d) dan lebar lapisan (La) menurun dengan makin

85

terhadap yodium 513 mg/g dan daya serap terhadap benzena sebesar 16,10%. Arang aktif dari kulit kayu mangium ini hanya dapat digunakan untuk penjernihan air. Kata kunci: Acacia mangium, kulit kayu, arang aktif, karbon terikat, yodium. Pari, Gustan KOMPONEN KIMIA SEPULUH JENIS KAYU TANAMAN DARI JAWA BARAT (Chemical Component of Ten Planted Wood Species Originated from West Java) / Gustan Pari ....[et al] . -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.2 ; Halaman 89 - 101 , 2006 Tulisan ini mengemukakan hasil analisis komponen kimia 10 jenis kayu yang berasal dari hutan tanaman di Jawa Barat. Jenis kayu tersebut adalah ki sereh (Cinnamomum parthenoxylon), suren (Toona sureni), ki bawang (Melia excelsa), pulai kongo (Alstonia kongoensis), tusam (Pinus merkusii Jungth), sengon buto (Entorolobium cyclo), kapur (Dryobalanops aromatica), salamander (Grevillia robusta A.cunn), mahoni (Switenia macrophylla King) dan ki lemo (Litsea cubeba Pers). Analisis yang dilakukan mencakup penetapan kadar holoselulosa, lignin, pentosan, abu, kelarutan dalam air dingin, air panas, alkohol benzena dan kelarutan dalam NaOH 1%. Analisis ini merupakan dasar untuk menetapkan kegunaan kayu tersebut terutama sebagai bahan baku pulp kertas. Hasil analisis memperlihatkan bahwa kadar holoselulosa berkisar antara 64,6 69,9%, lignin antara 26,0 30,9%, pentosan antara 15,6 18%, abu antara 0,2 0,9%, silika antara 0,1 0,5%. Kelarutan dalam air dingin antara 2,4 6,3%, air panas antara 3,0 7,3%, alkohol benzena antara 1,5 5,75% dan kelarutan dalam NaOH 1% antara 9,1 20,7%. Semua jenis kayu yang diteliti mengandung kadar holoselulosa yang tinggi lebih dari 65% yaitu kayu ki sereh, suren, ki bawang, tusam, sengon buto, kapur, salamander, mahoni dan ki lemo, kecuali kayu pulai kongo yaitu 64,6%. Kadar lignin dan abu semua jenis kayu yang diteliti termasuk ke dalam kelas sedang, karena kadarnya ada di antara 18 33% untuk kadar lignin dan ada di antara 0,2 6,0% untuk kadar abu. Kadar pentosan semua jenis kayu yang diteliti termasuk kelas rendah karena kadarnya kurang dari 21%. Sedangkan kadar zat ekstraktifnya terutama kelarutan dalam alkohol benzena yang termasuk kelas sedang antara 2 4% adalah kayu suren, ki bawang, tusam dan ki lemo, dan yang termasuk ke dalam kelas tinggi lebih dari 4% yaitu kayu ki sereh dan pulai kongo,

sedangkan yang termasuk kelas rendah kurang dari 2% yaitu kayu sengon buto, kapur, salamander dan mahoni. Berdasarkan atas nilai skor dan hasil uji BNJ (Beda nyata jujur) komponen kimia 10 jenis kayu asal Jawa Barat (Tabel 3) ternyata hanya kayu ki sereh dan pulai kongo yang tidak cocok untuk bahan baku pulp kertas, sedangkan ke delapan jenis kayu lainnya yang terdiri dari kayu suren, ki bawang, tusam, sengon buto, kapur, salamander mahoni dan kayu ki lemo cukup baik untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp untuk kertas dengan menggunakan proses kimia, dan semikimia. Kata kunci : kayu, kimia, lignin, holoselulosa, pentosan, Jawa Barat. Pari, Gustan ARANG AKTIF SERBUK GERGAJI KAYU SEBAGAI BAHAN ADSORBEN PADA PEMURNIAN MINYAK GORENG BEKAS (Activated Charcoal from Wood Sawdust as Adsorbent Material for Frying Oil Refinery) / Gustan Pari ...[et.al.] . -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24 No.4 ; Halaman 309-322 , 2006 Tulisan ini mengemukakan hasil penelitian pembuatan arang aktif dari serbuk gergaji kayu dengan proses aktivasi kombinasi antara cara kimia dan fisika. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) Pengaruh konsentrasi asam fosfat sebagai bahan pengaktif kimia, 2) Pengaruh suhu dan lama waktu aktivasi terhadap rnutu arang aktif dan 3) Pengaruh penambahan arang aktif terhadap mutu minyak goreng bekas. Sebelum dibuat arang aktif, terlebih dahulu serbuk gergaji kayu dibuat arang dengan menggunakan tungku semi kontinyu pada suhu 300 C. Arang yang dihasilkan selanjutnya direndam dalam larutan asam fosfat dengan konsentrasi 5,0 dan 10% selama 24 jam. Proses aktivasi dilakukan di dalam retort yang terbuat dari besi tahan karat pada suhu 800, 850, 900C dengan lama waktu aktivasi masing-masing 30, 60 dan 90 menit. Dalam penelitian ini digunakan larutan ((NH4)2C3 0,20% sebagai gas pengoksida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas arang aktif serbuk gergaji kayu yang terbaik adalah arang aktif yang direndam asam fosfat 5% pada suhu 900C selama 30 menit. Pada proses aktivasi tersebut diperoleh rendemen arang aktif sebesar 72,71%, dan arang aktif yang dihasilkan mengandung kadar air 4,23%, kadar zat terbang 5,84%, kadar abu 42,53%, kadar karbon terikat 52,25%, daya serap terhadap kloroform 24,86%, benzena 16,97% dan daya serap terhadap yodium sebesar 668,63 mg/g. Nilai daya

86

serap ini memenuhi syarat Standar Amerika dan arang aktif yang dihasilkan permukaannya lebih bersifat polar sehingga dapat digunakan untuk menyerap polutan yang juga bersifat polar seperti aldehida. Kualitas minyak goreng bekas menjadi lebih baik setelah ditambahkan dengan arang aktif sebanyak 2,5% yang ditunjukkan dengan menurunnya kandungan asam lemak bebas dan bilangan peroksida masing-masing dari 0,27% menjadi 0,17% dan dari 18,87 menjadi 10,96 meq 02/kg. Sedangkan untuk kecerahan warna mengalami peningkatan dari 13,98 menjadi 16,02%. Mutu minyak goreng ini terutama asam lemak bebas dan bilangan perokisda memenuhi syarat minyak goreng yang ditetapkan SNI. Kata kunci : Serbuk gergaji, arang aktif, iodin, minyak goreng, asam lemak bebas Pari, Gustan PEMBUATAN DAN PEMANFAATAN ARANG AKTIF SEBAGAI REDUKTOR EMISI FORMALDEHIDA KAYU LAPIS (Manufacturing and Application

sedangkan emisi yang dihasilkan dengan penambahan arang aktif sebanyak 5% menjadi 15,36 ppm dengan tanpa mempengaruhi keteguhan rekat kayu lapis. Kata kunci : Arang aktif, serbuk gergaji kayu, mangium, kayu lapis, emisi formaldehida

Pasaribu, Ridwan A. TEKNOLOGI PEMANFAATAN LIMBAH UNTUK INDUSTRI SKALA KECIL / Ridwan A. Pasaribu dan Tjutju Nurhayati. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 145-151 , 2006 Teknologi pemanfaatan limbah pembalakan dan industri kayu dari hasil penelitian yang dilakukan secara bertahap meliputi teknologi isolasi dan perbanyakan fungsi pelapuk putih, produk karton, dan papan serat, produksi pulp rayon dan papan isolasi, produksi komponen mebel dan kayu lamina, arang aktif , produksi arang briket. Teknologi yang layak secara finansial untuk pengembagan industri kecil adalah teknologi produksi karton menggunakan bahan baku pulp dari limbah sebetan kayu gergajian dan jamur tiram menggunakan media limbah serbuk gergajian kayu. Kata kunci: pemanfaatan limbah, Industri skala kecil

of Activated Charcoal as Reductor of Plywood Formaldehyde Emission) / Gustan Pari, Adi Santoso & Djeni Hendra. -- Jurnal
Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.5 ; Halaman 425 - 436, 2006

Telah dilakukan penelitian pembuatan arang aktif dari serbuk gergajian kayu Acacia mangium Willd. Arang aktif yang dihasilkan digunakan sebagai reduktor emisi formaldehida pada perekat kayu lapis. Tujuan penelitian ini adalah untuk memanfaatkan limbah serbuk gergajian kayu mangium untuk dibuat arang aktif dan digunakan sebagai reduktor emisi formaldehida dalam perekat kayu lapis. Sebelum dibuat arang aktif, serbuk gergaji diarangkan dalam pada suhu 500oC. Arang yang dihasilkan diaktivasi secara kimia, fisika dan kombinasinya di dalam tungku baja tahan karat yang dilengkapi dengan pemanas listrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas arang aktif yang terbaik diperoleh dari serbuk gergajian kayu mangium yang diaktivasi dengan cara kombinasi oksidasi gas dan kimia dengan rendemen sebesar 53%, kadar air 4,33%, kadar abu 8,17%, kadar zat terbang 5,88%, kadar karbon terikat 83,77%, daya serap terhadap yodium sebesar 960,2 mg/g, metilien biru 135,0 mg/g, benzena 14,59%, kloroform 28,96% dan daya serap terhadap formaldehida sebesar 26,21%. Pencampuran arang aktif pada perekat kayu lapis mampu menurunkan emisi formaldehida pada perekat kayu lapis. Terbukti hasil uji emisi kayu lapis yang tanpa penambahan arang aktif sebesar 16,48 ppm

Pasaribu, Gunawan PROFIL KERAJINAN UKIRAN KAYU DI PUIAU SAMOSIR, SUMATERA UTARA / Gunawan Pasaribu. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.2 ; Halaman 97-107 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji profit teknis dan kelembagaan industri kerajinan ukiran kayu di Pulau Samosir. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Desember 2004 di Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samusir, Pulau Sumatera Utara. Data sekunder dikumpulkan dari instansi-instansi pemerintah yang berada di lingkungan Pemda Samosir dan Pemda Tobasa. Data primer diperoleh melalui wawancara terhadap para pengrajin ukiran kayu dengan menggunakan kuisioner. Secara teknis, mulai dari penyediaan bahan baku, produksi dan pemasaran belum ditangani secara baik oleh pengrajin.

87

Dari pengujian beberapa produk setengah jadi, yang dilakukan masih ditemukan produk dengan nilai kadar air produk yang masih tinggi yaitu sekitar 50%, sehingga dapat mengganggu sifat dari produk akhir yang dihasilkan. Proses pengukiran kayu sampai penyelesaian akhir masih menggunakan cara sederhana tanpa bantuan alat mekanis yang lebih cangkih. Dalam kelembagaan, hanya terdapat beberapa kelompok pengrajin yang aktif dan koperasi yang ada tidak banyak membantu usaha kerajinan kayu. Kata kunci: Ukiran kayu, bahan baku, kelembagaan Rachman, Osly DIVERSIFIKASI BAHAN BAKU DAN PRODUK INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU / Osly Rachman, Nurwati Hadjib, dan Jamal Balfas. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 99-116 , 2006 Salah satu faktor yang menyebabkan terpuruknya industri pengolahan kayu di tanah air saat ini adalah ketidakseimbangan antara pasokan bahan baku kayu yang lestari dan kebutuhan kayu untuk mencukupi kapasitas industri kayu. Agar tetap survive dunia perkayuan harus berupaya melakukan diversifikasi bahan baku kayu tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pemanfaatan tanaman berkayu dari areal perkebunan yang jumlahnya sangat besar, yaitu: Kayu karet, sawit, kelapa, randu, dan kayu hutan tanaman. Tanaman berkayu lainnya yang dapat diandalkan untuk memasok industri perkayuan adalah bambu. Pada kenyataannya tanaman tersebut tidak hanya mampu menghasilkan produk kayu bernilai tinggi tetapi juga ramah lingkungan. Baik kayu yang berasal dari tanaman perkebunan maupun kayu hutan tanaman umumnya mempunyai sifat inferior, seperti diameter kecil, kurang awet, stabilitas dimensi dan kekuatan rendah. Namun dengan teknologi perekatan, stabilitas dimensi, densifikasi, modifikasi kayu dan pembuatan produk majemuk, sifat-sifat tersebut dapat diatasi. Produk kayu yang dapat dibuat dari kayu asal hutan tanaman dan tanaman perkebunan selain kayu gergajian, dihasilkan pula produk olahan, seperti papan dan bilah sambung, papan partikel, venir lamina, glulam, kayu lapis dan kayu lapis indah. Sedangkan dari bambu selain produk konvensional seperti barang kerajinan dapat pula dihasilkan papan bambu lamina dan bambu lapis. Produk kayu yang dihasilkan umumnya memenuhi standar industri yang disyaratkan. Dalam pemanfaatan bambu dan kayu dari perkebunan permasalahan kelembagaan

dan kebijakan, bahan baku, bahan penolong dan teknologi serta pasar dalam negeri perlu mendapat perhatian dan ditangani lebih serius oleh instansi terkait. Kata kunci: Diservasi, bahan baku, industri, pengolahan kayu Roliadi, Han EXPLICABILITY OF THE H-FACTOR TO ACCOUNT FOR THE DELIGNIFICATION EXTENT AND PROPERTIES OF PLANTATION FOREST WOOD PULP IN THE KRAFT COOKING PROCESS (Penerapan

Hutan : Vol.24 No.4 ; Halaman 275-299 , 2006

Faktor-H Untuk Menelaah tingkat Delignifikasi dan Sifat Pulp empat Jenis Kayu Hutan Tanaman Industri pada Proses Pengolahan Kimia Sulfat) / Han Roliadi; Noor Rahmawati. -- Jurnal Penelitian Hasil

Semakin terbatasnya sumber serat kayu di Indonesia dan anjuran mengurangi ketergantungannya dari hutan produksi alam untuk industri pulp dan kertas menyebabkan kekhawatiran serius. Satu usaha mengatasinya adalah pembangunan hutan tanaman industri (HTI) sebagai pemasok serat kayu. Perbedaaan jenis kayu HTI bisa mempengaruhi sifat pengolahan dan mutu hasil pulp/kertas tersebut. Percobaan pengolahan pulp sulfat/kraft secara individu terhadap empat jenis kayu HTI (sengon, gmelina, meranti kuning, dan kapur) dilakukan pada kondisi tetap pemasakan: alkali aktif 16 persen, sulfiditas 22,5 persen, dan perbandingan kayu dengan larutan pemasak 1:4. Sedangkan suhu maksium pemasakan bervariasi (170oC dan 175oC), masing-masing dipertahankan dalam 4 taraf waktu (0, 30, 60, dan 90 menit). Tingkat delignifikasi selama pemasakan hingga selesai ditelaah dengan faktor H, dan juga kaitannya dengan sifat pengolahan pulp dan sifat fisik/kekuatan pulp. Tingkat delignifikasi tertinggi hingga terendah terjadi pada jenis kayu gmelina, sengon, meranti, hingga kapur. Tingkat delignifikasi lebih dipengaruhi oleh perbandingan banyaknya inti siringil dengan inti vanilin (S/V) dalam lignin (R2 = 0.5972), dari pada oleh berat jenis kayu (R2 = 0.5212). Tingkat tersebut berkorelasi negatif dengan rendemen pulp total dan persentase pulp reject, dan positif dengan rendemen pulp tersaring. Pulp dengan rendemen pulp tersaring tinggi dengan persentase reject rendah berindikasi tingkat degradasi fraksi karbohidrat rendah dan tidak undercooked, dan ternyata menghasilkan lembaran pulp/kertas dengan sifat kekuatan tinggi; dan sebaliknya. Sifat fisik/kekuatan lembaran pulp dipengaruhi secara positif oleh perbandingan S/V dan secara negatif oleh berat jenis kayu.

88

Kata kunci: Kayu hutan tanaman, faktor H, tingkat delignifikasi, berat jenis, perbandingan S/V Roliadi, Han PEMBUATAN DAN KUALITAS KARTON DARI CAMPURAN PULP TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT DAN SLUDGE INDUSTRI KERTAS

Santoso, Adi KULIT MANGIUM SEBAGAI SUMBER TANIN UNTUK PEREKAT / Adi Santoso. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 165-175 , 2006 Pemanfaatan kulit pohon mangium (Acacia mangium Wild) sebagai sumber tanin untuk bahan perekat di Indonesia pada masa mendatang diperkirakan semakin berkembang berkenaan dengan pemanfaatan limbah kulit kayu tersebut dalam upaya optimalisasi hasil hutan khususnya non kayu dari hutan tanaman. Sampai saat ini kulit pohon mangium sebagian besar ditinggalkan di hutan atau di sekitar pabrik sebagai limbah. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa rendemen kulit mangium berkisar 5-12 persen. Kulit tersebut bila diekstrak dengan air 1:3 bisa menghasilkan ekstrak tanin cair sebanyak 8 kali bobot kulitnya. Dalam upaya mengurangi kebergantungan terhadap perekat impor dan memenuhi kebutuhan perekat dalam negeri dengan bahan baku yang berasal bukan dari minyak bumi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah mengembangkan perekat berkualitas WBP (Weather Boiling Proof) yang terbuat dari tanin yang berasal dari kulit pohon mangium. Rangkuman dari beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa kulit mangium sangat potensial sebagai sumber tanin untuk bahan baku perekat. Perekat tanin ini bisa diaplikasikan guna memproduksi berbagai jenis produk perekat yang ramah lingkungan seperti kayu lapis, balok lamina, bambu lamina dan papan partikel komposit dengan kualitas eksterior yang setara dengan perekat jenis fenol-dan resorsinol formaldehide Kata kunci: Kulit mangium, Tanin, Perekat Satyawardana PETA POTENSI AKTUAL HASIL HUTAN INDONESIA SEBAGAI PENGHARA INDUSTRI KEHUTANAN / Satyawardana. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 19-26 , 2006 Dalam rangka program restrukturisasi kehutanan, hal yang paling penting untuk diperbaiki adalah seimbangnya antara potensi aktual hasil hutan dengan kapasitas hasil industri hasil hutan yang ada. Makalah ini menyajikan data untuk menjawab permasalahan tersebut, yaitu isinya meliputi: Luas penutupan lahan Indonesia (2003); Prakiraan potensi kayu pada hutan alam; Data produksi kayu dari hutan tanaman; Data potensi hutan rakyat; Kapasitas izin IKPH tahun

A. Pasaribu. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24 No.4 ; Halaman 323-337 , 2006

(Manufacture and Qualities of Paperboard from the Mixture of Empty Oil-Palm Bunches Pulp and Paper-Mill Sludge)/ Han Roliadi; Ridwan

Industri karton skala kecil saat ini mengalami kesulitan kontinuitas pasokan bahan baku (khususnya pulp dan kertas bekas). Limbah industri pengolahan minyak kelapa sawit dalam bentuk tandan kosong kelapa sawit (TKKS) sebagai bahan serat berligno selulosa berlimpah jumlahnya dan belum banyak dimanfaatkan, sehingga berindikasi pemanfaatannya sebagai bahan baku industri karton. TKKS sesudah dijadikan serpih, diolah menjadi pulp menggunakan proses semikimia soda panas tertutup pada ketel pemasak skala semi-pilot hasil rekayasa Pusat Litbang Hasil Hutan (Bogor) pada kondisi pemasakan: konsentrasi alkali (NaOH) 10%, nilai banding serpih TKKS dengan larutan pemasak 1:5.5, dan waktu pemasakan 2 jam pada suhu maksimum 120oC dan tekanan 1,2 1,5 atmosfir. Rata-rata rendemen pulp TKKS yang diperoleh 60,17%, bilangan kappa 38,17, dan konsumsi alkali 9,81%. Lembaran karton dibentuk dari campuran pulp TKKS 50% dan sludge industri kertas 50%; dan dari pulp TKKS 100%, masing-masing dengan penambahan bahan aditif (kaolin 5%, alum 2%, tapioka 4%, dan rosin size 2%). Sifat fisik karton asal pulp TKKS 100% dan asal campurannya dengan sludge industri kertas (50% : 50%) lebih tinggi dari pada karton produksi industri rakyat (dari campuran kertas bekas 50% dan sludge 50%, tetapi tanpa bahan aditif). Hal ini mengisyaratkan prospek penggunaan pulp TKKS yang dicampur dengan sludge, sebagai bahan baku altermatif/pengganti pada industri karton yang menggunakan kertas bekas. Kata kunci: Tandan kosong kelapa sawit (TKKS), pulp, karton, industri karton rakyat

89

2004; Data Produksi Hasil Hutan Non Kayu tahun 2004; Prakiraan stok produksi kayu di hutan alam, hutan tanaman, dan hutan rakyat; Permasalahan umum stok produksi hasil hutan kayu dan non kayu. Kata kunci: Peta potensi, Hasil hutan, Industri kehutanan Sudradjat, R. TEKNIK PEMBUATAN DAN SIFAT BRIKET ARANG DARI TEMPURUNG DAN KAYU TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) (Technical Setiawan; Han Roliadi. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24 No.3 ; Halaman 227-240 , 2006

Sudradjat, R BIODESEL DARI TANAMAN JARAK PAGAR SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF UNTUK PEDESAAN / R. Sudradjat dan D. Setiawan. -Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan : Halaman 207-219 , 2005 Biji Jarak (Jatropha curcas Linn.) telah lama dikenal sebagai penghasil minyak untuk bahan bakar dan obat. Dengan adanya krisis energy, maka minyak jarak mulai diteliti kembali pemanfaatannya untuk pembuatan biodesel. Prospek pengembangan tanaman ini sebagai tanaman energi sangat baik karena daya adaptasi terhadap jenis tanah dan iklim sangat besar, cepat tumbuh dan berbuah, dapat ditanam pada lahan yang sempit dalam bentuk pagar, kandungan minyak sangat tinggi, sekali tanam dapat dipanen selama 35 tahun serta hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan dan diubah menjadi produk yang dapat dijual. Oleh karena itu, tanaman ini sangat sesuai untuk dimanfaatkan sebagai energi alternatif khususnya di pedesaan sekaligus memperluas lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan. Di dalam makalah ini dikemukakan mengenai aspek yang berhubungan dengan tanaman, teknologi, kualitas produk dan aspek kelayakan finansial dalam pengusahaannya. Dengan tujuan memberikan informasi yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pihak yang berkepentingan. Kata kunci: Biodesel, Jarak pagar, Jatropha curcas Linn., Energi alternatif, Pedesaan

Process and Characteristics oof Charcoal Briquette From Jatropha Curcas (Jatropha curcas L.) Shell and Wood) / R. Sudradjat; D.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pemanfaatan limbah dari tanaman jarak pagar berupa tempurung biji dan kayu untuk briket arang, yaitu dalam rangka meningkatkan kelayakan ekonomi pengusahaan minyak jarak pagar untuk biodisel. Perlakuan dalam penelitian ini adalah pemberian tekanan 200, 400 dan 600 kg/cm2, serta komposisi campuran bahan baku (tempurung biji dan kayu jarak pagar) dengan tempurung kelapa 0, 25, 50, 75 dan 100%. Hasil penelitian menunjukkan, briket yang dibuat dari tempurung biji jarak pagar (100%) lebih tinggi di dalam kerapatan dan keteguhan tekan, tetapi lebih rendah di dalam kadar air, karbon terikat dan nilai kalor dari briket dari kayu jarak (100%). Briket kayu jarak pagar (100%) sebaliknya lebih tinggi dalam kadar air, karbon terikat dan nilai kalor, tetapi lebih rendah dalam kerapatan dan keteguhan tekan dari briket tempurung biji jarak pagar. Pencampuran dengan tempurung kelapa dapat meningkatkan karbon terikat dan nilai kalor briket dari tempurung biji jarak, serta meningkatkan kerapatan dan keteguhan tekan briket dari kayu jarak pagar. Beberapa sifat fisiko-kimia briket arang telah memenuhi Standar Jepang yaitu: keteguhan tekan, kadar air, zat terbang, karbon terikat (kecuali briket arang dari tempurung biji jarak B 100/0). Sifat yang tidak memenuhi standar adalah: kerapatan, kadar abu dan nilai kalor (kecuali briket arang dari kayu jarak B 50/50). Kata kunci: Tempurung biji jarak, kayu jarak pagar, briket arang, nilai kalor.

Suhartana, Sona EFISIENSI PENGGUNAAN CHAINSAW PADA KEGIATAN PENEBANGAN: STUDI KASUS DI PT SURYA HUTANI JAYA, KALIMANTAN TIMUR (Efficiency of Chainsaw Utilization on Felling: A Case Study at PT Surya Hutani Jaya, East Kalimantan) / Sona Suhartana; Yuniawati. -Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.1 ; Halaman 63 - 76 , 2006 Dewasa ini, untuk kegiatan penebangan di hutan tanaman industri (HTI) telah menggunakan chainsaw, tetapi belum diketahui secara pasti jumlah chainsaw yang sebaiknya digunakan agar hasilnya efisien. Oleh karena itu informasi mengenai penggunaan Chainsaw ditinjau dari jumlah kebutuhannya perlu disampaikan. Dalam tulisan ini disajikan hasil penelitian penggunaan chainsaw untuk menebang tanaman mangium dan gmelina dan hasil tersebut selanjutnya

90

digunakan untuk mengetahui jumlah kebutuhan penggunaan chainsaw yang tepat dan efisien dalam penebangan pohon mangium dan gmelina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penentuan jumlah kebutuhan chainsaw yang efisien adalah berdasarkan rencana produksi perusahaan, yaitu 21 unit untuk penebangan mangium dan 5 unit untuk penebangan gmelina. Penggunaan chainsaw sesuai jumlah yang ada di lapangan akan mempersingkat pekerjaan. Cepatnya waktu ini mengakibatkan alat tersebut tidak beroperasi lagi pada bulan nya sehingga mengakibatkan tingginya biaya untuk menutupi semua biaya tetap. Kata kunci: Jumlah chainsaw, efisiensi, target produksi, biaya Suhartana, Sona PENINGKATAN PRODUKSI HASIL HUTAN MELALUI IMPLEMENTASI PEMANENAN HUTAN BERWAWASAN LINGKUNGAN / Sona Suhartana, Dulsalam, Djaban Tinambunan. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 65-77 , 2006 Produksi hasil hutan terutama kayu memegang peranan cukup berarti dalam pembangunan nasional. Produksi kayu dari hutan alam cenderung menurun dari tahun ke tahun. Produksi kayu dari hutan tanaman masih relatif sedikit. Kebutuhan kayu untuk industri pengolahan kayu cukup besar sementara jatah produksi tahunan relatif kecil. Untuk meningkatkan produksi hasil hutan terutama kayu dapat dilakukan dengan peningkatan efisiensi pemanenan kayu melalui implementasi pemanenan hutan yang berwawasan lingkungan (PBL). Peningkatan efisiensi pemanenan kayu di hutan alam maupun di hutan tanaman ditujukan agar pemanfaatan sumberdaya hutan optimal dan gangguan lingkungan minimal. Upaya peningkatan produksi hasil hutan dapat direalisasikan melalui implementasi PBL kaitannya dengan teknik, efisiensi dan upaya peningkatan efisiensi pemanenan kayu. Upaya tersebut diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi para penentu kebijakan dan pelaksana di lapangan. Kata kunci: Peningkatan produksi, Hasil hutan, Pemanenan hutan, Wawasan lingkungan

Sukadaryati PENGELUARAN KAYU DENGAN SISTEM KABEL LAYANG P3HH24 DI HUTAN TANAMAN KPH SUKABUMI (Log Extraction Using P3HH24 Skyline System in Plantation Forest of Sukabumi Forest District) / Sukadaryati; Dulsalam. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.2 ; Halaman 157 - 169 , 2006 Pengeluaran kayu di areal hutan tanaman yang berbukit-bukit dengan ukuran kayu relatif lebih kecil perlu mendapat perhatian khusus. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah membuat alat pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang P3HH24 yang dirancang untuk mengeluarkan kayu pada areal berbukit. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi teknis dan finansial penggunaan alat pengeluaran kayu tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume kayu yang dikeluarkan dan waktu kerja yang diperlukan berturut-turut berkisar dari 0,012 - 0,144 m (rata-rata 0,046 m3) dan 77,0 - 215,8 detik/rit (rata-rata 161,0 detik/rit). Produktivitas pengeluaran kayu bervariasi antara 1,665 - 8,018m /jam (rata-rata 3,562 m /jam), dan biaya pengeluaran kayu adalah Rp 16.300/m3. Pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang P3HH24 adalah layak secara ekonomi dengan Pay Back Periode = 1,39 tahun; NPV = Rp 75.175.045; IRR = 66,4%; danB/C Ratio =1,51. Kata kunci: Hutan tanaman, sistem kabel layang P3HH24, pengeluaran kayu, produktivitas, biaya Sukadaryati PEMANENAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI HUTAN TANAMAN / Sukadaryati dan Sukanda. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 79-82 , 2006 Bukan langkah yang bijak bila hutan alam yang sekarang ini kondisinya carut marut dijadikan tumpuan utama pemasok bahan baku kayu untuk industri. Hutan tanaman yang sekarang ini disorot, manjadi salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus dilakukan teknik pemanenan yang tepat, sehingga kelestarian produk tetap terjaga tanpa meninggalkan kelestarian ekologinya. Pemanenan yang dilakukan di hutan tanaman tidak jauh berbeda dengan di hutan alam. Sistem tebang habis dan dimensi kayu yang relatif kecil menuntut perlakuan khusus agar dampak negatif yang ditimbulkan dapat

91

dikurangi. Salah satu cara untuk mendapatkan teknik pemanenan yang efisien dan berdampak minimal adalah kesesuaian penggunaan alat pemanenan dengan kondisi hutan tanaman. Penggunaan peralatan yang tidak tepat akan mempengaruhi efektifitas kerja, produktivitas, dan biaya serta gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Kata kunci: Pemanenan, Wawasan lingkungan, Hutan tanaman Sulastiningsih, I.M. PENGARUH KADAR PEREKAT TERHADAP SIFAT PAPAN PARTIKEL BAMBU (Effect of Resin Portion on Bamboo Particleboard Properties) / I.M. Sulastiningsih; Novitasari; Agus Turoso. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.1 ; Halaman 1 - 8 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar perekat terhadap sifat papan partikel bambu. Bambu yang digunakan adalah bambu betung (Dendrocalamus asper), sedangkan perekatnya adalah urea formaldehida (UF) cair. Bentuk partikel bambu yang digunakan adalah untai. Papan partikel bambu sekala laboratorium dibuat dengan target kerapatan 0,70 g/cm dengan kadar perekat bervariasi yaitu 8,9,10,11 dan 12% dari berat kering partikel bambu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis papan partikel bambu sangat dipengaruhi oleh kadar perekat yang digunakan. Semakin tinggi kadar perekat semakin baik sifat papan partikel bambu yang dihasilkan. Penggunaan kadar perekat minimum 11% dari berat kering partikel bambu menghasilkan papan partikel bambu yang cukup kuat dan stabil serta memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia. Kata kunci: Bambu, papan partikel, kadar perekat, sifat fisis dan mekanis Sulastiningsih, I.M TEKNOLOGI PEMBUATAN BAMBU LAMINA DAN BAMBU LAPIS / I.M. Sulastiningsih, Nurwati Hadjib dan Karnita Yuniarti. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 131-141 , 2006 Indonesia sebagai salah satu negara tropis di dunia memiliki sumber daya bambu yang cukup potensial. Sumberdaya bambu tersebut perlu ditingkatkan pemanfaatannya agar dapat memberi sumbangan terhadap pertumbuhan

ekonomi nasional. Pemanfaatan bambu di Indonesia saat ini pada umumnya untuk mebel, barang kerajinan dan supit. Oleh karena itu perlu ditingkatkan diversifikasi produk pengolahan bambu khususnya produk bambu yang dapat digunakan sebagai subtitusi kayu. Untuk tujuan tersebut maka produk bambu yang dihasilkan harus dapat menggantikan fungsi papan atau balok kayu sehingga produk bambu tersebut memiliki ukuran tebal, lebar dan panjang tertentu. Bambu yang termasuk tanaman cepat tumbuh dan mempunyai daur yang relatif pendek (3-4 tahun) merupakan salah satu sumberdaya alam yang cukup menjanjikan sebagai bahan penunjang kayu atau bahan pengganti (subtitusi) kayu untuk mebel, bahan bangunan serta penggunaan lain. Akan tetapi, disamping mudah diserang bubuk, masalah yang timbul dalam pemanfaatan bambu sebagai bahan mebel, bahan bangunan dan penggunaan lain adalah keterbatasan bentuk dan dimensinya. Kemajuan dalam teknologi perekatan diharapkan dapat mengatasi keterbatasan bentuk dan dimensi bambu sebagai bahan subtitusi kayu. Dengan menggunakan perekat tertentu, bambu yang bentuk aslinya bulat dan berlubang dapat diolah menjadi produk perekatan bambu berbentuk papan bambu atau balok bambu yang dikenal dengan nama bambu lamina dan produk panel bambu berupa bambu lapis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah melakukan beberapa penelitian mengenai bambu lamina dan bambu lapis. Kata kunci: Teknologi pembuatan, bambu lamina, bambu lapis

Sumadiwangsa, E. Suwardi TEKNOLOGI PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU / E. Suwardi Sumadiwangsa. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 179-199 , 2006 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bila dikelola secara seksama dapat berperan besar dalam meningkatkan nilai lahan hutan dan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Paradigma baru kehutanan bila telah dilaksanakan, dapat memacu perkembangan HHBK bernilai tinggi sesuai lahan hutan setempat. Sampai sekarang teknik budidaya pemanenan, pengolahan dan diversifikasi produk masih dilakukan secara tradisional belum ditunjang IPTEK tepat guna yang memadai. IPTEK tepat guna yang diperlukan mencakup pemilihan jenis tumbuhan bernilai tinggi yang akan ditanam, seleksi bibit, teknik penanaman dan pemeliharaan, panen, pasca panen, pengolahan, diversifikasi produk dan

92

teknik pemasaran. Beberapa komoditi HHBK seperti gaharu, kemenyan, sagu, jernang, nilam, gondorukem, damar, kopal, kemiri, kilemo dan ipuh kebanyakan masih dikelola secara lokal sehingga belum dapat menghasilkan produktivitas dan kualitas HHBK. Selain itu juga dipaparkan mengenai diversifikasi produk yang dapat meningkatkan nilai tambah HHBK dan Beberapa hasil Penelitian yang sudah saatnya ditindaklanjuti dengan tahap uji coba di lapangan. Kata kunci: Teknologi pemanfaatan, Hasil hutan bukan kayu Suprapti, Sihati KETAHANAN EMPAT JENIS KAYU HUTAN TANAMAN TERHADAP BEBERAPA JAMUR PERUSAK KAYU (The Resistance of Four Plantation Wood Species Against Several Wood Destroying Fungi) / Krisdianto. -Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24 No.4 ; Halaman 267-274 , 2006 Pada umumnya kayu dari hutan tanaman memiliki diameter kecil dan mudah terserang jamur perusak kayu. Ketahanan empat jenis kayu hutan tanaman standar DIN 52176 yang telah dimodifikasi. Contoh uji dibagi dalam dua kelompok secara radial, yaitu bagian tepi dan dalam dolok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu Acacia aulacocarpa dan Eucalyptus pellita termasuk kelompok kayu agak-tahan (kelas III) dan kayu Acacia auricultformis, Acacia crassicarpa termasuk kelompok kayu tidak-tahan (kelas IV). Berdasarkan dua kelompok contoh uji, kehilangan berat kayu bagian dalam sebesar 6,3% (kelas III) lebih rendah dibandingkan dengan kehilangan berat kayu bagian tepi sebesar 12,4% (kelas IV). Kehilangan berat tertinggi (36,8%) terjadi pada bagian tepi kayu Acacia crassicarpa yang diletakan pada biakan Polyporus sp. Sedangkan kehilangan berat terendah (0,8%) terjadi pada bagian dalam I crassicarpa yang diletakkan pada biakan Pycnoporus sanguineus HHB-8149. Berdasarkan kemampuan untuk melapukkan kayu, kemampuan tertinggi dijumpai pada Tyromyces palustris, kemudian diikuti Polyporus sp., Pycnoporus sanguineus HHB-324, dan Schizophyllum commu. Kata kunci : Ketahanan kayu, jamur perusak, kehilangan berat

Supriadi, Achmad PRODUKTIVITAS DAN BIAYA PRODUKSI SERPIH KAYU MENGGUNAKAN MESIN SERPIH MUDAH DIPINDAHKAN (SMD): STUDI KASUS DI BKPH PARUNGPANJANG, BOGOR. (Productivity and Cost of M.I.Iskandar. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.2 ; Halaman 103 - 115 , 2006 Hasil pemanenan kayu di areal hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman masih menyisakan potongan-potongan kayu kecil. Potongan kayu yang biasa disebut sebagai limbah pemanenan pada umumnya ditinggalkan di hutan dan sebagian yang dianggap masih laik dijual kepada penduduk sekitar hutan untuk dimanfaatkan sebagai kayu bakar atau bahan baku energi lainnya. Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan limbah kayu dari hasil pemanenan hutan tanaman, telah dilakukan penelitian pengolahan limbah kayu jenis mangium (Accacia mangium) di areal hutan tanaman di BKPH Parungpanjang, Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor konversi rarta-rata limbah pemanenan untuk bahan baku serpih (chip) adalah 1 sm = 0,4791 m = 0,257 ton. Rendemen serpih sebelum disaring dan setelah disaring masing-masing adalah 97% dan 53%. Produktivitas penyerpihan adalah 1,6 ton/hari. Investasi pendirian satu unit pengolahan serpih kayu sebesar Rp 38.000.000. Biaya produksi per tahun sebesar Rp 156.109.113 dan harga pokok produksi serpih sebesar Rp 325.227 per ton serpih. Dengan harga jual serpih Rp 360.000 per ton, dapat diperoleh laba kotor dan laba bersih rata-rata per tahun masingmasmg sebesar Rp 16.691.040 dan Rp 14.11 Kata kunci : Hutan tanaman, limbah, mesin serpih mudah dipindahkan, serpih kayu

Chip Production Using Portable Chipper: Case Study in BKPH Parungpanjang, Bogor) / Achmad Supriadi; Osly Rachman;

(Acacia aulacocarpa A. Cunn., Acacia auriculiformis A. Cunn., Acacia crassicarpa A. Cunn., dan Eucalyptus pellita F.v.M.) diuji terhadap jamur menggunakan

93

Supriadi, Achmad SIFAT PELENGKUNGAN LIMA JENIS KAYU DENGAN DUA MACAM PERLAKUAN AWAL (Bending Characteristics of Five Wood Species With Two Types of Pretreatment) / Achmad Supriadi ; Osly Rachman. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.1 ; Halaman 21 - 31 , 2006 Industri kayu sekunder cukup banyak menggunakan komponen kayu dalam bentuk lengkung seperti industri mebel, alat-alat olah raga dan perahu. Komponen dalam bentuk lengkungan tersebut umumnya dibentuk dengan cara digergaji mengikuti pola lengkungan. Cara pembuatan komponen lengkung dengan menggunakan gergaji cenderung menghasilkan rendemen yang rendah. Cara lain yang lebih efisien adalah pelengkungan kayu secara fisis dan kimia. Dalam studi ini dilakukan determinasi karakteristik pelengkungan pada 5 jenis kayu, yaitu kayu asam jawa (Tamarindus indica L.), kendal (Eretia acuminata R.Br) balobo (Diplodiscus sp), marasi (Hymenaea sp.) dan rasamala (Altingia excelsa N.) dengan dua macam perlakuan awal yaitu (1) pengukusan dan (2) perendaman dalam larutan NaOH 3% dilanjutkan dengan pengukusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu yang terlebih dahulu direndam dalam larutan NaOH 3% selama 7 hari kemudian dikukus, dapat dilengkungkan hingga radius 26 cm, sedangkan kayu yang diberi pengukusan hanya dapat dilengkungkan hingga radius 51 cm. Kayu asam jawa memiliki karakteristik pelengkungan yang lebih baik dibandingkan dengan kayu marasi, balobo, kendal dan rasamala. Kata kunci: Pelengkungan, pengukusan, perendaman, kerapatan, pengembangan dimensi.

Data dikumpulkan dari berbagai instansi pemerintah, swasta terkait, lembaga pemasaran dan asosiasi. Tujuan kajian untuk mengetahui potensi dan mendapatkan sistem pengelolaan kayu perkebunan. Hasil kajian menunjukkan, potensi kayu perkebunan secara nasional adalah 61,1 juta m3/tahun, terdiri dari kayu karet 17,4 juta m3/tahun, kayu sawit 30,4 juta m3/tahun dan kelapa 13,3 juta m3/tahun. Pemerintah telah mengatur kebijakan penebangan dan retribusi kayu perkebunan, tetapi industri perkayuan belum memperoleh kayu perkebunan secara maksimal. Dalam rangka mendorong pemanfaatan kayu perkebunan, seyogyanya ada kebijakan pemerintah yang mendorong pihak terkait melakukan pengelolaan kayu dan tertarik untuk memanfaatkannya. Kayu perkebunan mungkin dapat ditampung dalam Tempat Penampungan Kayu Perkebunan (TPKP) yang dilengkapi dengan sarana pengolahan dolok diameter kecil. Di TPKP harus segera diberi pestisida pencegah jamur biru dan kumbang ambrosia. Sebelum diolah atau terjual, di TPKP paling lambat tersimpan dua minggu. Apabila tersimpan lebih lama, setiap dua minggu harus diberi pestisida kembali. Dalam pengelolaan, perlu dibentuk Tim Koordinasi Kayu Perkebunan (TKKP) di tingkat daerah dan pusat yang melibatkan Departemen Kehutanan c.q. Ditjen Bina Produksi Kehutanan dan Departemen Pertanian c.q. Ditjen Perkebunan Kata kunci: Kayu perkebunan, industri kayu, penebangan, restribusi dan pengelolaan Waluyo, Totok K. KARAKTERISTIK DAN SIFAT FISIKO-KIMIA BERBAGAI KUALITAS KEMENYAN DI SUMATERA UTARA (Characteristics and Physicochemical Properties of Benzoin Gum qualities in North Sumatera) / Totok K. Waluyo; Poedji Hastoeti; T. Prihatiningsih. -- Jurnal Penelitian Hasil Hutan : Vol.24, No.1 ; Halaman 47 - 61 , 2006 Sumatera Utara merupakan sentra produksi kemenyan di Indonesia. Kemenyan di pasaran dikelompokkan menjadi 6 kualitas berdasarkan kriteria uji ukuran (besar kecilnya) lempengan/ bongkahan dan warna kemenyan, yaitu kualitas I s/ d VI. Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan sifat fisiko-kimia kemenyan berbagai kualitas yang ada di pasaran, sehingga diharapkan nantinya pengelompokkan kualitas kemenyan dapat dipertimbangkan secara kuantitatif berdasarkan unsur-unsur sifat fisikokimianya. Sifat fisiko-kimia kemenyan yang diuji adalah warna, bentuk, ukuran,

Supriadi, Achmad POTENSI DAN KONSEP PENGELOLAAN KAYU PERKEBUNAN UNTUK MENDUKUNG INDUSTRI PERKAYUAN / Achmad Supriadi, Abdurachman, Osly Rachman & Edi Sarwono. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.2 ; Halaman 87-95, 2006 Industri perkayuan dituntut untuk mencari bahan baku alternatif, selain dari hutan alam. Salah satu sumber alternatif adalah kayu perkebunan. Potensi dan pengolahannya belum diketahui sehingga perlu pengkajian. Pengkajian dilakukan di Pulau Jawa dan Sumatera, terhadap kayu karet, sawit dan kelapa.

94

kadar air, kadar kotoran, kadar abu, titik lunak dan kadar asam balsamat. Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air dan kadar abu relatif sama antara kemenyan kualitas I, II, III, IV dan V. Kadar kotoran dan titik lunak kemenyan kualitas I, II, III dan IV adalah relatif sama, sedangkan kadar asam balsamat kemenyan kualitas I, II dan III relatif sama. Dengan demikian disarankan pembagian kualitas kemenyan menjadi 4 kelas kualitas yaitu kualitas I berasal dari kemenyan kualitas I s/d III, kualitas II berasal dari kemenyan kualitas IV, kualitas III berasal dari kemenyan kualitas V dan kualitas IV berasal dari kemenyan kualitas VI. Kata kunci: Kualitas, kemenyan, sifat fisik-kimia, asam balsamat. Waluyo, Totok K PENYULINGAN GAHARU KAMEDANGAN DAN GAHARU BUAYA DENGAN METODA KOHOBASI / Totok K. Waluyo; Umi Kulsum; E. S. Sumadiwangsa. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.1 ; Halaman 59-65 , 2006 Gaharu merupakan komoditi hasil hutan bukan kayu yang harganya sangat mahal, banyak diburu di hutan alam sehingga keberadaannya di hutan dan di pasar semakin langka, terutama gaharu kualitas tinggi (gaharu gubal/super). Saat ini yang ada di pasar umumnya gaharu dengan kualitas rendah dan harganya relatif murah seperti gaharu buaya dan gaharu kamedangan. Untuk meningkatkan nilai tambah, maka perlu usaha diversifikasi produk gaharu, salah satunya adalah dengan cara penyulingan. Penyulingan gaharu dilakukan dengan menggunakan metode sederhana (kohobasi), yaitu penyulingan dengan cara merebus. Sebelum penyulingan gaharu dijadikan serbuk berukuran 40 - 50 mesh, selanjutnya direndam dalam air selama 5 hari, 10 hari dan tidak direndam dalam air. Pada waktu penyulingan ditambah satu sendok garam dan tanpa ditambah garam. Perendaman 5 hari menghasilkan rendemen minyak gaharu tertinggi, yaitu gaharu kamedangan 0,85% dan gaharu buaya 0,75%. Kata kunci: Gaharu buaya, gaharu kamedangan, kohobasi, rendemen

Waluyo, Totok K. BEBERAPA PRODUK-PRODUK HHBK PROSPEKTIF DAN TEKNOLOGI PEMANFAATANNYA YANG SIAP PAKAI / Totok K. Waluyo...(et.al) . -Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 201-206 , 2006 Produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan produk yang bersifat kedaerahan, banyak jenisnya (kulit, buah, biji, daun, bunga, resin/getah, binatang dan lain-lain) dan sudah sangat dikenal oleh masyarakat sekitar hutan sejak dulu. Akan tetapi produk HHBK pada umumnya dari dulu hingga saat ini banyak diperdagangkan masih berupa produk mentah atau asalan sehingga kurang memberikan kontribusi ekonomi pada masyarakat tersebut. Tulisan ini memaparkan beberapa produk-produk HHBK yang prospektif dan teknologi yang siap pakai antara lain pemanenan dan pengolahannya. Dengan demikian diharapkan adanya pengembangan jenis-jenis HHBK yang prospektif dan penerapan teknologi pemanfaatan yang siap pakai akan dapat meningkatkan nilai tambah produk HHBK sehingga dapat pula meningkatkan kesejahteraan khususnya masyarakat sekitar hutan. Kata kunci: Asam sinamat, jernang, kilemo, dekstrin, damar Wargadalam, Arian STRATEGI DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN DALAM PENYELAMATAN INDUSTRI KEHUTANAN / Arian Wargadalam. -- Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2005: Halaman 9-13 , 2006 Kebijakan Pengembangan Industri Nasional diarahkan kepada peningkatan industri yang berdaya saing global yaitu industri yang mempunyai keunggulan kompetitif, berorientasi eksport dan berwawasan lingkungan. Strategi tersebut mengupayakan penciptaan dan peningkatan nilai tambah, efisiensi dan produktivitas. Program pengembangan industri nasional ditujukan untuk meningkatkan lapangan kerja dengan cara mengembalikan dan meningkatkan kinerja industri berorientasi eksport, dan industri yang menggunakan bahan baku dalam negeri. Keberhasilan pengembangan industri memerlukan dukungan iklim investasi, iklim usaha yang kondusif termasuk pembiayaan, stabilitas keamanan dan law enforcement. Industri pengolahan hasil hutan di Indonesia merupakan industri yang memanfaatkan sumber bahan baku yang berasal dari hutan alam maupun hutan tanaman. Kondisi sumber bahan baku

95

tersebut dewasa ini semakin menipis potensinya karena adanya ketidakseimbangan antara pasokan dengan permintaan dari sisi industri pengolahannya. Ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pasokan kayu bulat tersebut antara lain disebabkan oleh semakin menurunnya kemampuan daya dukung hutan yang disebabkan oleh kurang baiknya manajemen pengolahan hutan dan semakin maraknya penjarahan hutan Kata kunci: Strategi, departemen perindustrian, industri kehutanan Wibowo, Santiyo BEBERAPA JENIS POHON SEBAGAI SUMBER PENGHASIL BAHAN PENGAWET NABATI NIRA AREN (Arenga pinnata Merr.) / Santiyo Wibowo -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.1 ; Halaman 67-74 , 2006 Penggunaan bahan pengawet pada nira aren sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan seperti terbentuknya asam, buih putih dan lendir. Nira yang telah rusak kurang baik jika digunakan untuk membuat produk turunannya. Beberapa jenis pohon sebagai sumber penghasil bahan pengawet nabati yang biasa digunakan untuk mengawetkan nira antara lain tuba (Denis eliptica Benth.), kawao (Milletia sericea W. & A.), sesoot (Garcinia picrorrhiza Miq.), funi (Garcinia syzygiifolia Pierre), kayu nangka (Artocarpus Integra Merr.), kulit buah manggis (Garcinia mangostana Linn.), kulit kayu nyirih (Xilocarpus granatum Koen., X. moluccensis M.Roem) dan cengal (Hopea sangal Korth). Kata kunci: Bahan pengawet, nira aren, produk turunan, jenis pohon Wibowo, Santiyo PENGUSAHAAN KULIT KAYU MEDANG LANDIT DI DESA BULU MARIO, SIPIROK-TAPANULI SELATAN, SUMATERA UTARA / Santiyo Wibowo. - Info Hasil Hutan : Vol.12 No.2 ; Halaman 105-112, 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengusahaan kulit kayu medang landit (Persea spp) di desa Bulu Mario, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Data yang dikumpulkan meliputi potensi, cara pemanenan, penanganan pasca panen, tata niaga dan kendala pengusahaan melalui teknik observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi pohon medang landit

adalah 14 pohon/ha. Cara pemanenan kulit medang landit dilakukan dengan menebang pohon, kayu belum dimanfaatkan secara optimal, dan belum ada budidaya tanaman. Pohon medang landit yang dipanen merupakan tanaman yang tumbuh di kawasan hutan baik hutan rakyat maupun kawasan hutan negara. Kulit kayu medang landit dimanfaatkan sebagai bahan campuran pembuatan obat anti nyamuk bakar dan dupa (hio). Kata kunci: Kulit kayu medang landit, pemanenan, obat anti nyamuk, dupa

Winarni, Ina PENGARUH PEREBUSAN, PENGOVENAN DAN PERENDAMAN TERHADAP KEUTUHAN BIJI KEMIRI / Ina Winarni & E. Suwardi Sumadiwangsa. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.2 ; Halaman 115-122 , 2006 Kemiri merupakan tanaman serbaguna, dimana hampir seluruh bagian dari tanaman kemiri dapat digunakan, seperti batang, daun, buah dan daging buah. Permasalahannya pengupasan biji kemiri secara tradisional tidak dapat dilakukan lagi dalam skala industri sehingga dibuatnya mesin pengupasan biji kemiri untuk menghasilkan persentase keutuhan biji kemiri yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan pendahuluan dan kecepatan putar berapa yang paling efektif agar menghasilkan persentase biji kemiri utuh yang tinggi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah perlakuan pendahuluan berupa perebusan, pengovenan dan perendaman. Nilai keutuhan biji kemiri tertinggi (40 %) terdapat pada kecepatan putar 1000 rpm dengan perlakuan rebus 4 jam, oven 6 jam, dan rendam 24 jam. Semakin lama perlakuan perebusan dan pengovenan, tingkat keutuhan biji kemiri akan semakin tinggi. Kata kunci : kemiri, perebusan, pengovenan, perendaman

96

Yuniawati PRODUKTIVITAS DAN BIAYA MUAT BONGKAR KAYU BULAT DENGAN MENGGUNAKAN ALAT MEKANIS / Yuniawati; Sona Suhartana. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.1 ; Halaman 25-32 , 2006 Muat bongkar dolok merupakan salah satu kegiatan dalam pemanenan hutan. Di luar Pulau Jawa, pada areal yang luas, muat bongkar umumnya menggunakan peralatan mekanis. Harga alat muat bongkar sangat mahal sehingga perlu direncanakan secara matang sesuai keadaan lapangan. Dengan mengetahui produkdvitas dan biaya muat bongkar, pemilihan alat yang sesuai dapat lebih mudah dilakukan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa Caterpillar 966C beroda menghasilkan produktivitas muat tertinggi. Produktivitas bongkar tertinggi menggunakan Allis Chalrners 745H dengan risiko kerusakan kayu sangat kecil. Biaya muat bongkar yang terendah masingmasing menggunakan wheel/oaaferKomatsu WA350. Kata kunci: Muat bongkar, produkdvitas, biaya Yuniawati KAJIAN PENYARADAN KAYU DENGAN TRAKTOR CATERPILLAR / Yuniawati & Sona Suhartana. -- Info Hasil Hutan : Vol.12 No.2 ; Halaman 123-131 , 2006 Penyaradan merupakan kegiatan memindahkan kayu dari tunggak ke tempat pengumpulan kayu (TPn). Penggunaan alat sarad mekanis traktor perlu mempertimbangkan segi teknis, ekonomis dan ekologi. Tujuan tulisan ini untuk mengetahui produktivitas yang dihasilkan dan biaya yang dikeluarkan serta kerusakan ekologi yang ditimbulkan pada beberapa tipe traktor Carterpillar. Produktivitas penyaradan kayu dengan menggunakan traktor Caterpillar D7g memiliki nilai tinggi, yaitu 32,56 m3/jam dengan jarak sarad 289,2 m, volume kayu 10,43 m3 dan waktu kerja 20,60 menit. Biaya penyaradan dengan traktor ini adalah sebesar Rp 7.081,91/ m3. Penggunaan traktor caterpillar tidak terlepas dari kerusakan ekologi yaitu kerusakan tegakan tinggal, pemadatan tanah dan penggeseran tanah. Faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah jarak sarad, volume kayu yang disarad, topografi dan kondisi tanah. Biaya penyaradan dipengaruhi produktivitas, kondisi topografi dan kondisi tanah. Kerusakan ekologi

dipengaruhi kemiringan lapangan, sistem penebangan, intensitas penggunaan jalan sarad dan kandungan air tanah. Kata kunci; Penyaradan, traktor Caterpillar, produktivitas, biaya, kerusakan

97

Adinugraha, Hamdan Adma STUDI PENYAMBUNGAN JENIS EKALIPTUS BERASAL DARI KEBUN BENIH WONOGIRI (Grafting Study of Eucalyptus pellita from Seed Orchard at Wonogiri) / Hamdan Adma Adinugraha; Hidayat Moko. -Wana Benih : Vol.7, No.1 ; Halaman 37 - 46 , 2006 Salah satu teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif adalah dengan cara sambungan yang dapat mempertahankan genotipe pada pohon induknya secara konsisten dan berkelanjutan. Salah satu kendala yang selalu dihadapi dalam sambungan adalah ketidaksesuaian pertautan sambungan, untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh dalam penyambungan antara batang bawah (rootstock) dari hasil penyemaian benih dengan batang atas (scion) dari beberapa pohon plus E. pellita di kebun benih Wonogiri. Penelitian dilaksanakan di Pusat Litbang Hutan Tanaman dengan metode penelitian melakukan beberapa kegiatan seperti persiapan rootstock, scion, penyambungan dengan cara sambung samping dan pemeliharaan tanaman sambungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan sambungan adalah sekitar 10 persen - 80 persen, perlakuan naungan memberikan keberhasilan sambungan, jumlah dan panjang tunas yang lebih baik pada tanaman berumur 2 bulan. Diameter rootstock yang lebih besar meningkatkan pertumbuhan tanaman sambungan. Scion yang berasal dari pertunasan cabang berdiameter lebih 3 mm memberikan pertumbuhan (jumlah dan panjang tunas) yang lebih tinggi dibanding scion hasil perlakuan batang tanaman (girlding). Sambungan langsung dengan menggunakan scion segar diperoleh keberhasilan 80 persen lebih besar dibandingkan scion direndam air selama 1 - 3 hari. Kata kunci: Eukaliptus pellita, Kebun Benih, Kompatibilitas, vegetatif, Sambungan Perbanyakan

Adinugraha, Hamdan Adma KEMAMPUAN BERTUNAS TANAMAN SUKUN DI KEBUN PANGKAS DARI ENAM POPULASI DENGAN APLIKASI HORMON IAA (Sprouting Ability of Artocapus altilis from Several Population at Hedge Orchard with the Application of IAA) / Hamdan Adma Adinugraha, Dedi Setiadi dan Mulat Nuning Ambari. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, Suplement No.1 ; Halaman 265-273, 2006 Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh asal populasi tanaman sukun dan pemberian IAA terhadap pembentukan tunas sebagai bahan stek, mendapatkan kombinasi asal tanaman sukun dengan pemberian IAA yang mempunyai kemampuan tunas terbaik. Penelitian disusun dengan menggunakan rancangan split plot, yang terdiri atas 2 faktor dan diulang sebanyak 3 kali. Faktor pertama sebagai petak utama adalah Pemberian IAA terdiri atas 2 aras yaitu PO = tanpa disemprot IAA dan PI = disemprot IAA. Faktor kedua sebagai anak petak adalah asal tanaman terdiri atas 6 aras yaitu Al = NTB, A2 = Banyuwangi, A3 = DIY, A4 = Bone, A5 = Malino dan A6 = Sorong. Parameter yang diamati meliputi jumlah tunas, panjang tunas total (cm) dan berat kering tunas (g). Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa asal populasi dan pemberian IAA berpengaruh terhadap jumlah tunas, panjang tunas dan berat kering tunas pada umur 12 minggu. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah tunas 6,60-10,67 tunas dengan hasil terbaik dari DIY, panjang tunas rata-rata 4,85 cm-7,10 cm dengan hasil terbaik dari Banyuwangi dan berat kering tunas rata-rata 8,93g-18,57g dengan hasil terbaik dari Bone. Kata kunci: Artocarpus altilis, asal populasi, IAA, kemampuan bertunas Adinugraha, Hamdan Adma PERTUMBUHAN STEK PUCUK SUKUN ASAL DARI POPULASI NUSA TENGGARA BARAT DENGAN APLIKASI ZAT PENGATUR TUMBUH (The Hamdan Adma Adinugraha; Hidayat Moko; Cepi. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.2 ; Halaman 93 - 100 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh posisi bahan stek pucuk dan zat pengatur terhadap keberhasilan tumbuh stek pucuk tanaman sukun.

Growth of Leafy Cuttings of Breadfruit Trees Taken from Nusa Tenggara Barat with Application of Growth Regulator Hormone)/

98

Penelitian dilakukan di persemaian Litbang Hutan Tanaman Yogyakarta, sejak bulan Mei sampai Oktober 2005. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang disusun secara faktorial. Faktor utama ada 2 yaitu pertama adalah posisi bahan stek pucuk yang terdiri atas bagian ujung tunas (PI) dan bagian pangkal tunas sedangkan kedua adalah konsentrasi zat pengatur tumbuh, yang terdiri atas KO = kontrol konsentrasi 25%, K2 = 50%, K3 = 75% dan K4 = 100%. Setiap perlakuan terdiri dari 6 ulangan dalam setiap ulangan terdapat 8 sample stek. Parameter yang diamati terhadap persentase stek bertunas, persentase stek berakar, jumlah dan panjang akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stek pucuk bagian ujung memberikan pengaruh yang lebih baik secara nyata terhadap persentase stek bertunas, persentase stek berakar, jumlah dan panjang akar dibandingkan dengan stek pucuk bagian pangkal, pemberian zat pengatur tumbuh memberikan hasil yang lebih baik terhadap seluruh parameter yang diamati dibandingkan dengan kontrol. Kata kunci: Stek pucuk, Sukun, Nusa Tenggara Barat, Zat pengatur tumbuh Adinugraha, Hamdan Adma PENGUPASAN KULIT PADA CABANGAN DAN AKAR DALAM REJUVENASI TANAMAN KAYU PUTIH (Treatment of Stem and Root Bark Peeling in Rejuvenation of Melaleuca cayuputi / Hamdan Adma Adinugraha; Hidayat Moko. -- Wana Benih : Vol.7, No.1 ; Halaman 9 16 , 2006 Perbanyakan tanaman kayu putih biasa digunakan dengan biji (generatif) yang pada umumnya cara ini memiliki banyak kelemahan, diantaranya jumlah benih yang berkualitas masih terbatas, persen berkecambah rendah, viabilitas benih sangat besar dan perolehan genetik kurang optimal. Untuk itu diperlukan cara perbanyakan yang efektif dan efisien seperti cara perbanyakan vegetatif. Salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan materi dalam perbanyakan vegetatif adalah rejuvenasi dengan menanam cabang atau akar pada media pasir. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengupasan kulit pada cabang dan akar selama rejuvenasi telah dilakukan di Pusat Litbang Hutan Tanaman. Rancangan penelitian yang digunakan adalah acak Lengkap yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor, yaitu faktor pertama adalah bahan tanaman (B1 = bahan cabang, B2 = bahan akar), sedangkan faktor kedua adalah pengupasan Kulit (KO=kulit tidak dikupas dan K1=kulit dikupas).

Parameter yang diamati meliputi persentase bertunas, jumlah mata tunas dan jumlah tunas yang terbentuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengupasan kulit pada cabang memberikan persentase bertunas yang lebih tinggi, jumlah mata tunas dan jumlah tunas yang lebih banyak dibandingkan pengupasan kulit pada akar dan bahan yang tidak dikupas kulitnya. Kata kunci: Akar, Cabang, Kayu putih, Pengupasan kulit, Rejuvenasi Anggraeni, Illa HASIL- HASIL PENELITIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN HUTAN DAN IMPLEMENTASINYA / Illa Aggraeni, Sri Esti Intari dan Wida Darwiati. -- Prosiding Ekspose/Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman, Jakarta 23 Nopember 2006 ; Halaman 1-14 , 2006 Sejalan dengan kebijakan restrukturisasi sektor kehutanan, Departemen Kehutanan telah menetapkan target pembangunan hutan tanaman seluas 9 juta hektar sampai dengan tahun 1009 termasuk 3 juta hektar yang telah dibangun sampai dengan saat ini, dari total luas 9 juta hektar yang ditargetkan pembangunannya sampai dengan tahun 2009 tersebut, di samping Hutan Tanaman Industri (HTI) terdapat kawasan yang akan dialokasikan sebagai kawasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional "Revitalisasi Sektor Kehutanan". Hutan tanaman merupakan sebuah konsep pembangunan hutan yang bertujuan untuk mengatasi berbagai persoalan kehutanan yang bermuara pada terciptanya kelestarian ekosistem lingkungan dan keberlanjutan peranan sosial-ekonomi sumber daya hutan. Dalam perspektif tersebut diperlukan suatu konsep penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi kawasan hutan tidak produktif yang dipadukan dengan ketersediaan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri kehutanan (Iskandar dkk, 2003). Pembangunan hutan tanaman dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi tersebut dibangun dengan menerapkan silvikultur intensif. Penerapan sistem silvikultur intensif dalam pembangunan hutan tanaman merupakan suatu upaya pembangunan yang bersifat kompleks. Sekalipun luas hutan tanaman yang ditargetkan 9 juta hektar, berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi menuntut kita semua untuk berupaya mengatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu keberhasilan upaya pembangunan hutan tanaman sangat tergantung pada keberhasilan dalam mengatasi masalahmasalah yang dihadapi seperti ketidaksesuaian jenis tanaman dengan tapak,

99

serangan hama/penyakit, perkembangan pasar kayu merupakan faktor resiko yang harus diperhitungkan.Pada hutan tanaman komposisi tegakan hutan terdiri dari jumlah jenis yang terbatas atau bahkan seringkali monokultur. Dalam keadaan yang demikian ekologinya cenderung untuk memacu peningkatan populasi hama/penyakit seperti halnya yang terjadi pada ekosistem perkebunan dan pertanian. Ekosistem monokultur dapat lebih rentan terhadap kerusakan oleh hama/penyakit karena tidak adanya keanekaragaman jenis tanaman dan adanya perubahan cuaca yang disebabkan oleh manusia. Gangguan hama/penyakit akan mudah timbul apabila tidak ada keseimbangan lagi antara hama penyebab/patogen penyebab, tanaman inang dan lingkungan setempat. Untuk dapat mengatasi gangguan dari berbagai macam hama/penyakit yang timbul di lingkungan hutan tanaman sangat diperlukan penelitian dasar yang menyangkut kepada pengenalan jenis kepada hama/penyakit dengan mempelajari gejala dan akibat yang ditimbulkannya, ekobiologi dari hama/penyakit, serta cara-cara penyerangan dan penularannya. Dalam rangka itulah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman (P3HT) sangat berperan dalam memberikan informasi berbagai masalah tersebut bagi kepentingan para pengelola hutan agar tujuan pokok kehutanan di dalam pengembangan fungsi hutan semaksimal mungkin secara lestari dapat dicapai. Arisman, Hardjono ACACIA MANGIUM / Hardjono Arisman dan Eko B. Hardiyanto. -Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada hutan tanaman Akasia,2006 : Halaman 1-6 , 2006 Makalah ini menguraikan perkembangan budidaya Acacia mangium di Indonesia. Jenis ini pertama kali ditanam di Sabah tahun 1966 dan Sumatera Selatan tahun 1979 sebagai tanaman sekat bakar pada lahan alang-alang (Imperata cylindrica) A. mangium pada akhirnya dipilih sebagai tanaman komersial untuk memenuhi kebutuhan industri karena kemampuannya beradaptasi pada lahan marjinal, tumbuh cepat dan sifat kayu yang baik. Luas hutan tanaman jenis ini di Indonesia telah mencapai lebih dari 1 juta ha. Produksi kayu pulp A. mangium saat ini mencapai 9 juta m3/tahun sedangkan potensi produksi kayu bulat sekitar 165,000 m3/tahun. Proses domestikasi jenis ini berlangsung cepat dan serangkaian penelitian di bidang genetika, silvikultur dan pemanfaatan kayu telah dan sedang dilakukan.

Kata kunci: Acacia mangium, budidaya Asaad, A. Indra Jaya PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DAN DAS MELALUI PENDEKATAN EKOWISATA / A. Indra Jaya Asaad dan Khairul Fattah. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 111-115 , 2006 Hutan dan Derah Sungai merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Dari perspektif perikanan, keterkaitan ekologis di antara keduanya mempunyai hubungan yang kuat terutama dalam fungsi S-N-F (Spawing, Nursery, Feeding grounds) bagi biota air, khusunya ikan. Pengelolaan kawasan tersebut memerlukan suatu pengelolaan yang terintegrasi mengingat adanya suatu keterkaitan ekologis diantara kedua ekosistem tersebut. Berbagai jenis pengelolaan telah tersedia, salah satunya pendekatan pengelolaan yang meliputi kedua aspek utama tersebut adalah pengelolaan dengan pendekatan ekowisata. Kata kunci: Hutan tepi, Riparian, Ekowisata, Daerah Aliran Sungai, DAS Asmaliyah EFIKASI BEBERAPA JENIS INSEKTISIDA TERHADAP HAMA PEMAKAN DAUN PADA TANAMAN PULAI DARAT (Efficacy of Some Types of Insecticides for Leaf Eating Pest on Pulai Darat Plantation) / Asmaliyah; Sri Utami; Yudhistira. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.2 ; Halaman 83 - 91 , 2006 Saat ini permasalahan pada tanaman pulai yang paling krusial untuk segera dipecahkan adalah masalah serangan hama. Salah satu pemecahannya adalah penggunaan bioinsektisida dan penggunaan insektisida kimia secara benar dan bijaksana. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efikasi beberapa jenis insektisida terhadap hama C. glauculalis. Penelitian dilakukan di laboratorium perlindungan hutan Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman (BP2HT) Palembang dan di areal rakyat PT. Xylo Indah Pratama (XIP), Lubuk Linggau. Penelitian di lapangan dilakukan mulai Mei sampai Agustus 2004. Hasil penelitian menunjukkan semua jenis insektisida yang digunakan efektif dalam menyebabkan kematian ulat C. glauculalis dalam skala

100

laboratorium, namun aplikasi insektisida mikroba secara campuran efektif dalam menekan serangan hama C. glauculalis dalam skala lapangan pada kondisi serangan ringan atau kepadatan populasi yang rendah. Serangan hama C. glauculalis tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman pulai darat umur 1 tahun selama empat bulan pengamatan. Kata kunci: Efikasi, jenis insektisida, larva C. glauculalis, pulai darat, A.

Bakri KAJIAN KARAKTERISTIK LAHAN GAMBUT DI DAERAH OGAN KOMERING ILIR, BANYUASIN DAN MUSI BANYUASIN: DAERAH PEDAMARAN-PAMPANGAN, TULUNG SELAPAN DAN MUARA MEDAK / Bakri. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 15-24 , 2006 Pengembangan pertanian melalui ekstensifikasi ke lahan rawa dan lahan gambut saat ini menjadi alternatif karena terbatasnya lahan kering untuk usaha budidaya tanaman. Pemanfaatan lahan rawa dan lahan gambut harus mempertimbangkan aspek lingkungan seperti kedalaman, sebaran dan kematangan gambut. Untuk mengelola lahan gambut diperlukan data dasar yang diperlukan untuk perencanaan akses dan pembuatan saluran drainase. Penelitian dilakukan pada tahun 2004 dan 2005 dilokasi Pampangan, Sugihan dan Muara Medak merupakan kerjasama antara South Sumatera Forest Fire Management Project dengan Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya. Penelitian menggunakan metode survey dengan bantuan teknologi penginderaan jauh. Jalur pengamatan menggunakan sistem grid, jarak antar titik pengamatan adalah 500 m. Jarak jalur tiap lokasi 30 km - 40 km untuk masing-masing lokasi. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa rawa gambut di daerah Pedamaran-Pampangan dominan ditumbuhi oleh pakis dan perpat serta sedikit galam. Kedalaman gambut dari dangkal hingga sangat dalam (4 m hingga 6 m). Kematangan gambut bervariasi dari safrik hingga febrik dan ditemukan jejak terbakar secara periodik. Karakteristik gambut di daerah Tulung Selapan mempunyai kedalaman 0,2 m - 7,0 m, gambut tergolong matang dan jejak terbakar ditemukan pada semua titik pengamatan. Kondisi lahan rawa gambut di daerah Muara Medak ditunjukkan oleh kedalaman gambut berkisar antara 0,1 m sampai 5,5 m. Kondisi vegetasi pohon masih dominan di antaranya Asam Payo, Meranti, Manggris, Jelutung, Rotan, Bakung, Pakis dan Gelam. Hasil kajian menunjukkan bahwa pada areal rawa, sebaran gambut menyebar dengan kedalaman yang berbeda. Untuk perencanaan dibidang pertanian data dasar, sebaran rawa gambut menyebar dengan kedalamn yang berbeda. Untuk perencanaan di bidang pertanian dasar seperti ini sangat diperlukan untuk membuat zonasi areal konservasi, pembuatan aksesibilitas dan saluran. Kata kunci: Lahan gambut, Karakteristik, Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, Pedamaran-Pampangan, Ulung Selapan, Muara Medak

angustiloba
Asmaliyah KARAKRETISTIK SERANGAN HAMA Clouges glauculalis PADA HUTAN TANAMAN PULAI (Alstonia spp.) DAN UPAYA PENGENDALIANNYA / Asmaliyah, Edwin Martin dan Fitri Windra Sari. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 25-30 , 2006 Pulai (Alstonia spp.) saat ini merupakan jenis tanaman yang potensial dan prospektif untuk dikembangkan dalam upaya pembangunan hutan tanaman karena memiliki sebaran alami yang luas dan beragam manfaat kayunya. Salah satu faktor yang menjadi kendala dalam mewujudkan pencapaian pembangunan hutan tanaman pulai dengan produktivitas tinggi di PT Xylo Indah Pratama adalah serangan hama C. glauculalis. Serangan hama ini dapat mengakibatkan sebagian daun menjadi rusak, kering dan kemudian gugur, bahkan pada masa populasi mencapai puncaknya dapat menyebabkan tanaman gundul. Pengetahuan tentang karakteristik serangan merupakan dasar dalam menentukan strategi pengendalian optimum. Tulisan dalam makalah ini berisi tentang karakteristik serangan hama C. glauculalis terjadi sepanjang tahun dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim terutama curah hujan dan musuh alami. Serangan hama ini sudah terjadi dari tanaman berumur 4 bulan di lapangan dan sampai tanaman berumur 1 tahun merupakan kondisi kritis terhadap serangan hama C. glaucucalis. Pengendalian yang bisa dimanfaatkan dan dikembangkan untuk mengatasi serangan hama C.glaucucalis adalah dengan menggunakan insektisida mikroba yang berbahan aktif dan bakteri Bacilus thuringiensis, yang diaplikasikan secara campuran dan insektisida kimia yang sifat racun perutnya lebih kuat. Kata kunci: Insektisida mikroba, Bacillus thuringiensis, Karakteristik, Pulai, Alstonia spp, Hama Clauges glauculalis

101

Bastoni TIPE VEGETASI HUTAN SUMATERA SELATAN / Bastoni, Agus Sumadi dan Efendi Agus Waluyo. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 45-54 , 2006 Kebakaran hutan merupakan salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, baik hutan alam maupun hutan tanaman. Kebakaran merupakan rangkaian proses yang terjadi dari 3 faktor, yaitu bahan bakar, sumber api dan oksigen. Pengelolaan kebakaran antara lain ditujukan untuk meminimasi sumber dan potensi bahan bakar serta pengendalian sumber api melalui rekayasa teknologi dan kelembagaan yang dilakukan secara bersamaan. Pemahaman dan pengenalan tipe hutan dan tipe vegetasinya akan sangat membantu upaya pengelolaan bahan bakar, khususnya untuk pemetaan bahan bakar dan cara-cara untuk meminimasi sumber dan potensinya. Makalah ini menyajikan ragam tipe hutan dan tipe vegetasi yang terdapat di Sumatera Selatan dengan fokus pada tipe hutan dan vegetasi rawa yang memiliki tingkat kerawanan lebih tinggi dibandingkan dengan tipe hutan lainnya. Kata kunci: Tipe vegetasi, Bahan bakar, Sumatera Selatan Bastoni PENGARUH JENIS MEDIA SAPIH TOP SOIL, SUB SOIL DAN GAMBUT TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT MAHONI (Swietenia macrophylla King.)/ Bastoni dan Effendi Agus Waluyo. -- Prosiding Seminar HasilHasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 91-94 , 2006 Mahoni (Swietenia macrophylla King) adalah jenis pohon eksotik yang cukup banyak dipilih untuk hutan tanaman karena mempunyai kualitas kayu yang unggul dan bernilai ekonomi tinggi. Pengembangannya membutuhkan dukungan teknologi, diantaranya adalah teknologi pembibitan. Salah satu faktor yang menentukan kualitas bibit adalah kualitas media sapih yang digunakan untuk pembibitan. Gambut adalah media sapih alternatif yang dapat menggantikan top soil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

media sapih top soil dan sub soil tanah podsolik merah kuning (Ultisol) serta gambut (Histosol) terhadap pertumbuhan bibit mahoni (S. macrophylla). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai umur 2,5 bulan setelah sapih, pertumbuhan bibit yang rendah pada media sapih gambut adalah pH (3,34) sangat masam dan kejenuhan basa (4,11 persen) sangat rendah. Kata kunci: Mahoni, Swietenia macrophylla King., Media sapih, Top soil, Sub soil Bastoni PEMANFAATAN LAHAN RAWA TERPADU DENGAN POLA AGROSILVOFISHERY / Bastony. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 8593 , 2006 Luas lahan rawa gambut yang terdapat di Sumatera Selatan sekitar 1,42 juta hektar. Saat ini kondisinya sebagian besar telah rusak, tidak produktif dan belum dikelola secara baik. Hal tersebut sangat terkait dengan berbagai kendala biofisik lahan, ekonomi dan sosial budaya yang membatasi aktivitas budidaya pada lahan rawa. Lahan rawa yang terlantar hanya dikenal sebagai penghasil asap setiap musim kemarau. Oleh karena itu perlu dicari pola pemanfaatan terpadu untuk mengubah lahan rawa menjadi lahan yang produktif. Pola alternatif yang dapat diterapkan adalah Agrosilvofishery. Pola agrosilvofishery merupakan sistem usaha tani atau penggunaan tanah yang memadukan potensi sumber daya pertanian, kehutanan dan perikanan dalam satu hamparan lahan. Manfaat ekologi dan ekonomi yang diperoleh dari penerapan pola tersebut adalah pemanfaatan lahan lebih ramah lingkungan karena tidak merubah ekosistem rawa secara radikal dan tetap mempertahankan sumberdaya awal, efisiensi pemanfaatan lahan, serta diversifikasi komoditi dan pendapatan. Dampak yang diharapkan dari penerapan pola tersebut adalah terbentuknya pola pemanfaatan lahan rawa menetap yang efisien, intensif dan mampu meningkatkan pendapatan. Pola agrosivolfishery dapat diterapkan secara intensif atau semi intensif tergantung dari lokasi, luas lahan dan tujuan pengembangannya. Pola agrosilvofishery intensif dapat dikembangkan pada lahan rawa yang dekat dengan pasar, luas lahan 0,25 sampai 0,5 hektar per kepala keluarga (KK). Pola agrosilvofishery semi intensif dapat dikembangkan pada lahan rawa di daerah terpencil dan belum berkembang (desa-desa) hutan, luas lahan 1 sampai 2 hektar per KK. Pemilihan jenis komoditi pertanian,

102

kehutanan dan perikanan yang akan dikembangkan dalam pola agrosilvofishery harus didasarkan pada kesesuaian lahan dan pasar. Kata kunci: Lahan rawa, Rawa, Pemanfaatan, Agrosilvofishery Beadle, Chris STRATEGI PEMANGKASAN DAN PENJARANGAN UNTUK MENINGKATKAN MUTU KAYU Acacia mangium / Chris Beadle. -Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia,2006 : Halaman 87-96 , 2006 Hutan tanaman Acacia mangium di Indonesia berpotensi menghasilkan kayu untuk pasar furnitur baik di dalam maupun di luar negeri. Adanya potensi cabang pohon untuk tumbuh besar dan resiko cabang mati sebagai titik masuknya jamur penyebab busuk hati menyebabkan perlunya dilakukan pemangkasan. Dengan pemangkasan dan penjarangan pertumbuhan pohon sampai akhir daur dapat diatur untuk menghasilkan pohon bebas cabang yang tinggi dan pertumbuhannya optimal. Makalah ini menguraikan strategi pemangkasan dan penjarangan untuk Acacia mangium guna menghasilkan kayu dengan mutu yang memenuhi syarat sebagai kayu pertukangan. Pemangkasan bentuk sebelum pemangkasan lift dilakukan dengan hasil akhir 300 batang pohon di pangkas hingga ketinggian 4,5 m. Dapat disimpulkan bahwa insiden heartrot dapat meningkat jika pemangkasan dilakukan pada saat tanaman rentan terhadap serangan dan adanya jamur penyebab yang masuk melalui luka bekas pangkas. Hutan tanaman A. mangium merupakan sumber kayu utama untuk bahan baku industri pulp dan kertas di Indonesia (Rimbawanto 2000). Kayu mangium yang bebas dari cacat tumbuh mempunyai penampilan yang menyerupai jati (Gales 2002). Di pasar domestik, kayu mangium mulai digunakan sebagai bahan baku industri furnitur dan sebagian di ekspor ke pasar dunia (Hardiyanto 2005). Dengan rotasi yang tidak lebih dari 20 tahun (Srivastava 1993), kayu glondongan mangium dapat menjadi sumber kayu yang penting bagi pasar kayu pertukangan. Knots dan busuk hati merupakan cacat yang mengurangi kekuatan fisik, penampilan dan nilai kayu. Sebagian pohon mangium juga menghasilkan batang ganda (multi-stem), proposinya kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan tempat tumbuhya (Srivasta 1993). Pohon berbatang tunggal merupakan prasyarat pokok untuk produksi kayu bulat. Untuk itu diperlukan perlakuan pemangkasan. Untuk tujuan kayu pulp, hutan A. mangium dapat ditanam hingga kerapatan

1000 pohon/ha. Tingkat kerapatan seperti di atas terlalu tinggi bila tegakan tersebut akan dikelola untuk menghasilkan kayu bulat. Jarak tanaman yang rapat disaat penanaman merupakan salah satu pilihan, akan tetapi pengalaman dengan jenis lain menunjukkan bahwa kerapatan tanaman yang tinggi pada awal penanaman menjamin tersedianya pohon yang dapat memenuhi kriteria pemangkasan (Beadle et al. 1994). Kerapatan yang tinggi juga dapat mempengaruhi rata-rata ukuran cabang. Cabang yang berukuran besar lebih sulit dipangkas dan berpotensi rentan terhadap masuknya penyakit. Oleh sebab itu pemangkasan merupakan hal yang harus dilakukan sebagai bagian dari perlakuan silvikultur tanaman A. mangium untuk produksi kayu bulat. Kata kunci: Acacia mangium, Pemangkasan, Penjarangan, Mutu kayu Bustomi, Sofyan PENDUGAAN ISI POHON JENIS PUSPA DI DAERAH SUKABUMI, JAWA BARAT (Tree Volume Estimation for Puspa in the Sukabumi District of West Java) / Sofwan Bustomi. . -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, Suplement No.1 ; Halaman 209-222 , 2006 Beberapa persamaan telah dianalisa untuk menduga volume pohon puspa (Schima walliclii Korth.) di KPH Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Persamaan tersebut disusun dengan analisis regresi menggunakan peubah bebas diameter atau kombinasi diameter dan tinggi pohon menggunakan 119 pohon model. Terdapat 2 jenis persamaan volume yaitu persamaan regresi sederhana yang menunjukkan hubungan antara volume dengan diameter dan persamaan regresi ganda yang berdasarkan diameter dan tinggi pohon. Persamaanpersamaan tersebut digunakan untuk menduga volume bebas cabang dan volume sampai diameter ujung batang 7 cm. Walaupun dugaan volume diperoleh dengan menggunakan peubah bebas diameter dan tinggi merupakan dugaan yang sangat teliti, namun dengan adanya kesulitan pengukuran tinggi pohon di lapangan maka persamaan hanya menggunakan peubah diameter tunggal diameter dapat merupakan pilihan. Kata kunci: Isi, pendugaan, puspa, Sukabumi

103

Daryono, Herman PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT SECARA BIJAKSANA DALAM RANGKA MENJAGA KELESTARIANNYA / Daryono, Herman. -Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 35-50 , 2006 Indonesia mempunyai lahan gambut seluas sekitar 17 juta ha yang meliputi di Sumatera 4.613.000 ha. Kalimantan 3.531.000 ha, Selawesi 34.000 ha, Maluku 42.000 ha dan Irian Jaya 8.753.000 ha. Laju kerusakan hutan dilaporkan terus meningkat, laporan terakhir dari Badan Planologi Khutanan (2004) diperoleh bahwa laju deforestasi baik pada kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan pada periode tahun 1997-2000 di Indonesia mancapai 2,83 juta hektar/tahun termasuk di dalamnya kerusakan hutan lahan gambut. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik, dan rapuh (fragile), habibatnya terdiri dari gambut dengan kedalaman yang bervariasi mulai dari 25 cm hingga lebih dari 15 m., mempunyai kekayaan flora dan fauna yang khas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Lahan gambut mempunyai peran yang penting dalam menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan kehidupan baik sebagai resorvoir air, rosot dan carbon storage, serta keanekaragaman hayati yang saat ini eksistensinya semakin terancam. Oleh karena itu, pengelolaan secara bijaksana harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan budaya maupun fungsi ekologi sehingga kelestarian hutan rawa gambut dapat terjamin. Lahan gambut mempunyai karakteristik yang spesifik seperti adanya subsidensi, sifat irreversible drying, hara mineral yang sangat miskin serta sifat keasaman yang tinggi dan mudah terbakar apabila dalam keadaan kering kekurangan air pada lahan gambut tersebut, sehingga peran hidrologi/tata air di dalam gambut sangatlah penting. Ada beberapa tipologi di lahan rawa gambut yang perlu diketahui, sehingga dalam melakukan rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi dapat lebih berhasil. Pelestarian hutan rawa gambut dengan segala nilai kekayaan biodiversity harus segera ditindaklanjuti dengan nyata, dengan merehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi. Pemilihan jenis yang tepat, teknologi dan kelembagaan rehabilitasi perlu dikaji dan diketahui sehingga kegagalan dalam melakukan rehabilitasi dapat dihindari. Lahan sulfat masam aktual merupakan salah satu lahan konservasi yang memerlukan jenis yang spesifik untuk dapat hidup disitu, karena adanya senyawa pirit yang bersifat racun. Jenis galam (Melaleuca sp), tanah-tanah (Combretocarpus rotundatus) dan lain-lain. Hasil uji coba pengembangan jenis pohon asli dan bernilai ekonomi perlu diimplikasikan untuk rehabilitasi kawasan lahan gambut yang terdegradasi.

Kata kunci:

Rawa gambut, Degradasi, Lahan sulfat, Pengelolaan bijaksana, Senyawa pirit

Darwiati, Wida PEMANFAATAN PESTISIDA NABATI UNTUK MENGENDALIKAN HAMA URET SECARA IN VITRO (The Use of Floral Pesticides to Control Soil Pest by In Vitro) / Wida Darwiati. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, Suplement No.1 ; Halaman 257-264, 2006 Uret merupakan larva dari serangga Hollotricia helleri Brsk (Scarabaeidae) yang telah menjadi hama utama pada komoditas pertanian khususnya pada tanaman padi gogo, jagung, vanili, kentang dan lain-lain, sedangkan pada tanaman kehutanan lebih banyak yang ditanam dengan pola tumpang-sari. Penelitian dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit P3HKA Bogor pada bulan September- Desember 2003. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pestisida nabati yang berpotensi untuk dijadikan pengendali alternatif untuk hama uret, sebagai pengganti pestisida kimia. Pestisida nabati yang digunakan adalah jamur Beauveria bassiana, jamur Metarhirizium anisopliae, tepung kanji, ekstrak kulit mahoni dan serbuk daun mimba. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3 kali ulangan, masing-masing perlakuan digunakan 5 larva uret. Pengujian dilakukan dengan cara mencampur bahan pestisida nabati tersebut dengan tanah media hidup uret di dalam wadah plastik. Hasil penelitian menunjukkan mortalitas tertinggi dicapai pada hari ke 4 dengan persentase kematian 83,3% untuk perlakuan serbuk kulit mahoni, sedangkan perlakuan mortalitas terendah dicapai pada hari ke 8 dengan persentase 83,3% dengan perlakuan serbuk daun mimba. Semua perlakuan pestisida nabati memberikan pengaruh yang nyata. Berdasarkan uji beda nyata terkecil, 2 perlakuan sangat nyata dalam pengendalian larva uret secara in vitro, yaitu ekstrak kulit mahoni dan serbuk daun mimba. Pengendalian dengan pestisida nabati terhadap larva uret memberikan pengaruh sebagai penghambat aktivitas makan (antifeedan), juga sebagai insektisida kontak yaitu secara kontak langsung dengan tubuh mengakibatkan pingsan (paralisis) dan kematian larva. Kata kunci: In vitro, pestisida nabati, uret

104

Dharyati, Emmy PENELITIAN ASPEK PERIKANAN TANGKAP LAHAN RAWA DI SEKITAR PATRATANI KABUPATEN MUARA ENIM SUMATERA SELATAN / Emmy Dharyati. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 117-123 , 2006 Penelitian aspek perikanan tangkap di lahan rawa yang merupakan bagian dari perairan umum tempat hidup dan berkembang biak beberapa jenis ikan rawa sekitar Patratani Kab. Muara Enim. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2001, penelitian meliputi jenis ikan, alat tangkap, habibat dan aspek social ekonomi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis ikan tertangkap dari beberapa habibat lahan rawa. Metode penelitian dilakukan dengan survei lapangan dan wawancara dengan dipandu kuesioner terpola, sampel ikan yang tertangkap ditimbang dan dikelompokkan berdasarkan alat tangkap yang dioperasikan, aspek sosial ekonomi dilakukan dengan metode RRA (Rapid Rural Appraisal). Penelitian dilakukan pada musim kemarau dan musim hujan, data yang dikumpulkan dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tangkapan terdapat 35 jenis ikan rawa dengan 10 macam alat tangkap dari beberapa habibat lahan rawa dan 10 jenis ikan ekonomis penting. Dari jumlah 70 nelayan sebagai responden 50 persen status nelayan Full Time dan 50 persen status nelayan sambilan dengan pendapatan perbulan Rp. 2.090.000,-. Dengan kelayakan usaha perbandingan Benefit Cost Ratio (B/C) = 1,39. Kata kunci: Perikanan, Ikan, Ekonomi komposisi ikan, Alat tangkap, Habibat Farid A, Mohd BUSUK AKAR PADA TANAMAN SELAIN ACACIA / Mohd Farid A [et.al] . -- Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia,2006 : Halaman 62-70 , 2006 Survei penyakit akar dilakukan pada tanaman Azadirachta excelsa, Tectona grandis dan Khaya ivorensis di Semenanjung Malaysia. Ditemukan dua penyakit akar putih dan penyakit akar merah, masing-masing disebabkan oleh jamur Rigidoporus sp. dan phellinus sp. Penyakit akar yang mematikan yang menyerang K. ivorensis ditemukan di wilayah negeri sembilan, namun jamur penyebabnya belum dapat diidentifikasi. Penyakit ini nampaknya berhubungan dengan buruknya cara persiapan lahan dan serangan jamur yang terjadi

sebelumnya. Studi menggunakan penanda molekuler menemukan bahwa pasangan primer PNOX01/ITS4 dapat membedakan Phellinus noxius. Pendekatan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi jamur secara cepat tanpa tergantung pada cara identifikasi morphologi. Kata kunci: Acacia mangium, Penyakit akar putih, Penyakit, Akar putih, Akar merah, Hutan tanaman, DNA Fiani, Ari PENGARUH PUPUK NITROGEN TERHADAP PRODUKSI TUNAS DAN KUALITAS STEK PUCUK MERAWAN (Effect of Nitrogen Fertilizers on Shoot Yield and its Quality as Shoot Cutting of H. odorata)/ Ari Fiani; Hidayat Moko. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.1 ; Halaman 45 - 52 , 2006 Ketersediaan benih untuk bibit Merawan yang tidak teratur dan sifat rekalsitran dan benih, menuntut dilakukannya perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan stek pucuk. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi pupuk nitrogen terhadap produksi tunas dan kualitas stek pucuk, telah dilakukan di areal kebun pangkas di Kaliurang Yogyakarta sejak bulan Juli sampai Oktober 2002. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan menguji 5 macam dosis pupuk N, yaitu 7,5 g N (50 g NPK), 15 g N (100 g NPK), 23 g N (50 g urea), 46 g N/tanaman (100 g urea) dan kontrol (tanpa pupuk). Perlakuan pupuk diberikan kepada 10 baris tanaman sebagai ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 5 tanaman. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah dan panjang tunas di kebun pangkas serta kualitas stek pucuk pada akhir percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan 50 g urea/tanaman menghasilkan jumlah dan panjang tunas yang lebih baik di kebun pangkas, sedangkan perlakuan pupuk 100 g NPK/tanaman menghasilkan kualitas stek pucuk yang lebih baik dibandingkan kontrol. Kata kunci: Hasil tunas, kebun pangkas, merawan, pupuk nitrogen, stek pucuk.

105

Gaffar, A. Karim KEGIATAN PERIKANAN DI PERAIRAN HUTAN RAWA SUNGAI MUSI KECAMATAN SEKAYU / A.Karim Gaffar dan Khairul Fatah. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 125-133 , 2006 Penelitian telah dilakukan selama delapan bulan mulai Mei - Desember 2005 pada 2 tipe rawa banjiran sungai Musi di Kecamatan Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin yaitu: (1) Lebung Pasunde dengan karakteristik rawa bervegetasi tipe pohon dan tiang, (2) Lebak Sungai Mati dengan karakteristik vegetasi semai dan tumbuhan bawah berupa rumputan, bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis ikan yang tertangkap dan selektivitas alat tangkap. Diperairan hutan rawa lebung Pasunde Sungai Musi didapatkan 45 jenis ikan hasil, sedangkan di lebak sungai Mati 14 jenis. Di lebung pasunde alat tangkap yang paling tidak selektif adalah empang, sedangkan di lebak Sungai Mati adalah jaring. Hasil tangkapan di lebak Sungai Mati didominasi oleh ikan Sapil (Helestoma temminkii) sedangkan di lebung Pasunde didominasi oleh ikan Lais (Cryptopterus spp). Kata kunci: Perikanan, Hutan rawa, Rawa banjiran, Tipe vegetasi, Keragaman jenis ikan, Alat tangkap, Ikan Glen, Morag PENGGUNAAN TEKNIK DNA UNTUK IDENTIFIKASI JAMUR / Morag Glen. -- Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia,2006 : Halaman 50-55 , 2006 DNA menyimpan banyak karakter taksonomi untuk identifikasi organisme yang mempunyai sedikit karakter morphologi, atau hanya mempunyai sifat-sifat yang unik hanya pada masa tertentu dari siklus hidupnya. Meskipun banyak metode untuk menganalisa DNA, saat ini yang paling banyak digunakan adalah metode yang berdasarkan pada PCR (polymerase chain reaction) karena cepat, sensitif dan dapat memberikan hasil dalam jumlah besar. Teknik-teknik lain yang banyak digunakan dalam bidang pangan, ekologi, kesehatan, peternakan, dan penyakit tanaman juga diuraikan. Metode yang dipilih untuk aplikasi tertentu dipengaruhi beberapa faktor, termasuk jumlah sample dan jumlah kandidat jenis. Semua teknik DNA memerlukan sample herbarium yang memadai dengan uraian morphologi yang lengkap untuk verifikasi hasil dari

teknik DNA. Teknik DNA merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk identifikasi jamur.Teknik ini terutama berguna untuk identifikasi jamur yang tidak menghasilkan badan buah, bagian yang digunakan untuk identifikasi taksonomi jenis jamur. Beberapa jenis jamur dapat dengan mudah ditumbuhkan dalam kultur dan menghasilkan karakter mikroskopis yang berguna untuk identifikasi. Sementara sebagian lainnya sulit untuk ditumbuhkan dalam kultur atau kalaupun bisa tidak menghasilkan sifat-sifat yang spesifik. Teknik identifikasi DNA terutama diperlukan untuk identifikasi cepat misalnya untuk keperluan karantina atau bio-security. Penggunaan teknik DNA untuk identifikasi jamur telah banyak diterapkan di bidang kesehatan manusia dan hewan. Dimana identifikasi yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk membantu menentukan perlakuan kesehatan yang tepat. Teknik ini juga banyak diterapkan untuk pengujian mutu pangan untuk mendeteksi kontaminasi jamur. Identifikasi DNA terhadap jamur yang berkaitan dengan tanaman juga berguna untuk meneliti jamur mikorhiza yang bermanfaat bagi tanaman, memonitor keberadaan jamur simbiotik, dan deteksi awal jamur perusak. Kata kunci: Jamur, Identifikasi, Teknik DNA Glen, Morag IDENTIFIKASI SECARA MOLEKULER ORGANISME PENYEBAB BUSUK AKAR DAN BUSUK HATI / Morag Glen [et.al] . -- Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia,2006 : Halaman 56-61 , 2006 Makalah ini membahas aplikasi teknik molekuler untuk identifikasi jamur penyebab busuk akar dan busuk hati pada Acacia mangium menggunakan empat sampel yang berbeda. Hasil ini menunjukkan kegunaan informasi sekuens DNA untuk mengklarifikasi informasi ekologis, biologi dan patologi jamur. Kata kunci: Acacia mangium, Busuk hati, Busuk akar, Identifikasi

106

Golani, G.D PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DI INDONESIA DAN ANCAMAN TERHADAP KELANGSUNGANNYA / G.D. Golani. -- Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia,2006 : Halaman 7-13 , 2006 Pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan harus mencakup kepentingan Plane bumi-konservasi keragaman hayati dan mencegah kerusakan lingkungan; Penduduk - menyediakan kesempatan untuk pengembangan sosial dan pengentasan kemiskinan;Keuntungan - menjamin suplai bahan baku serat yang terbarukan, bermutu tinggi dan ekonomis. Keberlangsungan hutan tanaman terancam karena manajemen yang tidak tepat atas tanaman monokultur, kebakaran dan penebangan illegal. Makalah ini menguraikan cara-cara untuk mengatasi hal diatas melalui cara pengelolaan yang tepat dan pendekatan multi-stakeholder untuk mengakhiri penebangan illegal. Penelitian inter-disiplin akan terus memainkan peran dalam pembangunan hutan tanaman di Indonesia. Kata kunci: Acacia mangium, Managemen, Plantation forest, Social ecological, Hutan tanaman Hairudin, Hendi PROSPEK PENGELOLAAN LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI WILAYAH AIR KUMBANG PADANG / Hendi Hairudin dan Ulil Amri. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 69-72 , 2006 Lahan di wilayah Air Kumbang Padang pada umumnya merupakan lahan rawa pasang surut dan sebagian besar lahan ini merupakan lahan marginal sebelum adanya pengelolaan lahan lebih lanjut. Survei atas adanya kandungan dan kedalaman pirit menjadi sangat penting sebelum kita melakukan desain tata air di wilayah tersebut. Perlu perlakuan awal lahan dengan melakukan pembuatan saluran drainase yang tepat dan pengapuran yang cukup untuk mendapatkan lahan yang optimal, sebelum melakukan standar budidaya kelapa sawit sebagaimana dilakukan dilahan kering pada umumnya. Pengelolaan yang baik dan benar dapat merubah lahan ini dari lahan marginal menjadi lahan yang memiliki potensi S1 dan S2 untuk kelapa sawit.

Kata kunci: Lahan rawa pasang surut, Agribisnis, Rawa, Pasang surut, Kelapa sawit, Air Kumbang Padang Hardi TW, Teguh UJI EFIKASI AKAR TUBA TERHADAP HAMA PENGGEREK PUCUK MURBEI / Teguh Hardi TW dan Priyatna Wiraardinata. -- Prosiding Ekspose/Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman, Jakarta 23 Nopember 2006 ; Halaman 61-63 , 2006 Tanaman murbei (Morus spp) banyak tumbuh di daerah tropis dan sub tropis pada ketinggian 400 m -700 m dpl dengan suhu rata-rata 21-25 derajat celcius (Katsumata, 1964) dan tanaman ini merupakan makanan utama ulat sutera (Bombyx mori). Kualitas dan kuantitas daun murbei sebagai bahan makanan ulat sutera sangat dipengaruhi aspek biologis, pertumbuhan populasi, produksi kokon, serta mutu kokon yang dihasilkan oleh ulat sutra sehingga kondisi tanaman murbei sangat menentukan akan produksi yang dihasilkan oleh ulat sutera. Tersedianya tanaman murbei yang baik merupakan salah satu penentu keseimbangan produksi benang sutera , namun ketersediaan tanaman ini sangat dipengaruhi oleh sistem budidaya, seperti pemilihan varietas yang ditanam, pemangkasan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. serangan hama dan penyakit pernah dilaporkan menyebabkan gagalnya budidaya ulat sutera di Indonesia. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar maka usaha pengendalian dengan insektisida sangat diperlukan. Mengurangi dampak negatif penggunaan insektisida kimia (sintesis), seperti keracunan pada manusia, ternak peliharaan, polusi lingkungan dan hama menjadi resisten maka penggunaan insektisida ramah lingkungan merupakan alternatif yang tidak dapat ditawar lagi. Salah satu insektisida yang ramah lingkungan adalah insektisida nabati yaitu insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan, seperti akar tanaman tuba (Derris eliptica (Roxb) Benth). Tumbuhan ini dikenal di Indonesia dengan nama daerah akar jenu, kayu tuba, tuba kurung (Kalimantan Barat). Didaerah Jawa Timur dan Jawa Tengah dikenal dengan nama besto, oyod ketungkul, tuba, akar tuba, tuba jenu, sedangkan di Jawa Barat dikenal dengan nama tuwa, tuwa laleue, tuwa leteng. Kata kunci: Hama, Penyakit, Hama penggerek, Uji efikasi, Akar tuba, Murbei

107

Hardiyanto, Eko B ACACIA MANGIUM UNTUK KAYU PERTUKANGAN / Eko B Hardiyanto. - Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia, 2006 : Halaman 97-104 , 2006 Kayu Acacia mangium tidak saja sesuai untuk bahan baku pulp dan kertas bermutu tinggi tetapi juga dapat digunakan sebagai bahan baku kayu pertukangan.Permintaan akan kayu bulat mangium meningkat seiring dengan berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam. Kayu bulat mangium yang sekarang tersedianya berasal dari tegakan yag tidak dipangkas dan tidak dijarangi, sehingga rendemen kayunya juga rendah (banyak mata cabang dan batangnya tidak lurus) sehingga rendemen kayunya juga rendah. Perlakuan silvikultur yang tepat seperti pemangkasan sangatlah penting bila tegakan ditujukan sebagai penghasil kayu bulat. Tegakan A. mangium dapat dijadikan kayu bulat dengan daur 10 tahun dan dapat menghasilkan hingga 200 m3 per ha per tahun. Sekitar 30 persen cocok untuk kayu bulat dengan diameter terkecil 30 cm. Meskipun pada saat ini harga kayu bulat mangium relatif rendah, harga ini diharapkan akan meningkat seiring dengan berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam. Kayu mangium makin dikenal masyarakat dan meningkatnya mutu kayu sebagai hasil dari perlakuan silvikultur yang tepat untuk produksi kayu bulat. Kata kunci: Acacia mangium, Kayu pertukangan Herdiana, Nanang PENGARUH JENIS MEDIA TABUR TERHADAP PERKECAMBAHAN BAMBANG LANANG (Maduca aspera) / Nanang Herdiana, Hengki Siahaan dan Teten Rahman S. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 111-116 , 2006 Bambang lanang (Madhuca aspera) merupakan salah satu andalan lokal yang telah direkomendasikan untuk dikembangkan dalam kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Sampai saat ini informasi yang berkaitan dengan jenis ini, termasuk teknik pembibitanya belum banyak diketahui, sehingga penelitian yang berkaitan dengan aspek ini masih diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis media tabur yang

paling optimal untuk perkecambahan benih bambang lanang. Jenis media yang diuji adalah perbedaan komposisi pasir dan tanah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan jenis media tabur hanya berpengaruh nyata terhadap parameter keserampakan tumbuh , sedangkan pada parameter daya berkecambah dan kecepatan berkecambah berbeda tidak nyata. Jenis media tabur yang paling sesuai untuk perkecambahan benih bambang lanang adalah media M3 (komposisi pasir: tanah = 50:50 v/v) dan M2 (komposisi pasir: tanah = 75:25 v/v). Perbedaan kemampuan setiap media yang diuji dalam mendukung perkecambahan bambang lanang terkait dengan perbedaan sifat fisik media. Kandungan-kandungan tanah akan berpengaruh dalam penyediaan air yang dibutuhkan selama proses perkecambahan, tetapi kandungan tanah yang sangat tinggi akan berpengaruh pada struktur media (keremahan media). Kata kunci: Bambang lanang, Maduca aspera, Media tabur, Daya berkecambah, Kecepatan berkecambah, Keserampakan tumbuh Herdiana, Nanang POTENSI BUDIDAYA KEPUH (Sterculia foetida Linn.)/ Nanang Herdiana. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 137-140 , 2006 Kepuh (Sterculia foetida Linn) merupakan salah satu jenis tanaman asli Indonesia dan mempunyai kisaran tempat tumbuh yang luas walaupun lebih cocok untuk daerah pesisir. Jenis ini merupakan salah satu jenis substitusi yang paling baik bagi jenis ramin (Gonystylus bancanus) yang pada saat ini sudah semakin sukar didapatkan karena sudah langka dan telah masuk jenis yang dilindungi. Kayu jenis ini juga kemungkinan dapat digunakan untuk bahan baku pulp dan kertas. Di samping itu beberapa bagian dari tanaman ini baik kulit batang, daun, biji maupun yang lainya mempunyai potensi sebagai bahan baku obat dan masyarakat lokal sudah sejak dulu menggunakannya untuk pembuatan obat tradisional atau jamu. Untuk mendukung program pengembangan kepuh ini, pengadaan benih atau bibit serta informasi mengenai teknik budidayanya sangatlah penting. Kata kunci: Kepuh, Sterculia foetida Linn., Budidaya

108

Hermanto, R MODEL SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN RAWA PASANG SURUT: KONSEPSI DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA / R Hermanto dan G Subowo. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 57-68 , 2006 Semakin menciutnya lahan subur untuk kegiatan non pertanian dan beberapa lahan sawah intensif yang telah mengalami jenuh produksi (leveling off) serta meningkatnya permintaan akan hasil pertanian khusunya pangan, telah mengarahkan pengembangan areal pertanian pada pemanfaatan lahan rawa pasang surut. Namun demikian pemanfaatan lahan tersebut belum dilakukan secara optimal karena adanya berbagai kendala teknis, biofisik dan sosial ekonomi sehingga produktivitasnya masih relativ rendah. Hal ini berimplikasikan bahwa pembangunan pertanian di lahan rawa pasang surut harus dilakukan melalui serangkaian kegiatan terpadu di sektor pertanian dalam kerangka sistem dan usaha agribisnis. Dari serangkaian pengkajian yang dilakukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan, Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan model sistem dan usaha agribisnis di lahan rawa pasang surut. Model tersebut merupakan serangkaian kegiatan terpadu di sektor pertanian dengan mengintegrasikan antara penerapan teknologi spesifik lokasi dan rekayasa kelembagaan pertanian. Oleh karena itu, untuk pengembangannya secara optimal dan berkelanjutan, diperlukan strategi yang ditunjang oleh berbagai persyaratan tertentu sehingga pengembangan model tersebut mampu meningkatkan pendapatan dan nilai tambah kepada petani serta menjadi wahana yang penting untuk menanggulangi kemiskinan di pedesaan. Kata kunci: Lahan rawa pasang surut, Agribisnis, Rawa, Pasang surut Hood, Ian A MIKOLOGI BASIDIOMYCETES / Ian A Hood. -- Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia,2006 : Halaman 31-49 , 2006 Sejumlah penyakit penting pada pohon dan tanaman di daerah tropis Asia disebabkan oleh jenis-jenis Basidiomycetes. Basiodiomycetes merupakan kelompok penting dari jamur yang mencakup bentuk-bentuk yang sudah

dikenal seperti bentuk mushroom (jamur payung yang bisa dimakan), jamur toadstool (jamur payung beracun), jamur papan dan jamur kerak, jamur puffball (jamur kancing dengan banyak serbuk spora), jamur earshstar (bintang) dan jamur koral, yang digolongkan menurut produksi spora seksual di luar struktur mikroskopi yang disebut basidium. Basidiomycetes menempati banyak relung lingkungan termasuk pada sampah terdekomposisi, kayu lapuk, dan tanah dengan habitat yang beragam seperti hutan maupun daerah terbuka, beberapa jenis membentuk hubungan mycorhizal yang menguntungkan dengan akar pohon inang, sedangkan beberapa jenis yang lain merupakan patogen yang menyerang daun, batang, atau sistem perakaran pada beberapa jenis pohon yang berbeda. Jenis-jenis Basidiomycetes secara tradisional diidentifikasi melalui bentuk dan struktur mikroskopis badan buah dan bentuk pertumbuhan ketika diisolasi dalam kultur laboratorium. Penyakit penting pada pohon-pohon di Indonesia disebabkan oleh jenis Basidiomycetes seperti Rigidoporus microporus, Junghuhnia vincta, Phellinus noxius dan beberapa jenis ganoderma. Kata kunci: Acacia mangium, Basidiomycetes, Jamur, Penyakit akar, Kayu lapuk, Taksonomi, Identifikasi Husna DIVERSITAS MIKORIZA PADA POHON PLUS JATI DI SULAWESI TENGGARA (Diversity ofMicoriza on PlusTtree of Teak in South East Sulawesi) / Husna, Faisal DanuTuheteru dan Mahfudz. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, Suplement No.1 ; Halaman 275284, 2006 Pelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman Mikoriza Arbuskula (CMA) pada pohon induk Jati di Sulawesi Tenggara. Penelitian dilaksanakan 2 tahap, yaitu tahap pertama adalah pengambilan sampel tanah dan akar tanaman di 3 daerah pusat jati asal Kabupaten Muna (Raha, Matakidi dan Wakuru), Buton (Sampolawa) dan Konawe Selatan yang dilaksanakan pada tanggal 28 Maret - 2 April 2005. Tahap kedua yaitu isolasi, identifikasi dan pengamatan kolonisasi CMA dilakukan di Laboratorium Budidaya Pertanian Unit Kehutanan Fakultas Pertanian Unhalu Kendari. Hasil penelitian menunjukan bahwa jati berasosiasi dengan CMA dengan ditemukan empat genus yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospora dan Scutellospora. Glomus ditemukan pada semua lokasi pengamatan dengan empat tipe spora. Daerah Matakidi

109

merupakan daerah dengan keanekaragaman CMA yang tinggi. Bentuk kolonisasi yang ditemukan adalah hifa internal, hifa eksternal dan vesikula. Kata Kunci: Cendawan Mikoriza Arbuskula, diversitas, jati Jayusman INISIASI TUNAS RAMIN MELALUI KULTUR JARINGAN (Shoots initiation of Gonystylus bancanus Kurz In-vitro Propagation)/ Jayusman; Arif Setiawan. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.1 ; Halaman 53 - 62 , 2006 Penelitian inisiasi tunas ramin (Gonystylus bancanus) melalui perbanyakan kultur jaringan telah dilakukan dengan obyek pengamatan meliputi (1) media dasar dan (2) kombinasi zat pengatur tumbuh (zpt) yang sesuai untuk kultur jaringan G. bancanus. Pada skala luas diharapkan dapat menyediakan bibit skala produksi masal dalam waktu singkat dengan kualitas bibit sesuai induknya. Pengujian dilakukan dengan berbagai media dasar yaitu Murashige and Skoogs (MS); 1/2 MS; Woody Plant Medium (WPM) dan Greshoff & Doys (GD). Dua jenis Auxin: Indole Acetic Acid (IAA), Napthalene Acetic Acid (NAA) dan jenis Sitokini (Benzyl Amino Purine-BAP) pada berbagai konsentrasi, kombinasi beberapa zat pengatur tumbuh akan diuji dalam kultur tunas ramin ini. Hasil pengujian menunjukkan bahwa eksplan yang ditanam pada media 1/2 media dasar dengan kombinasi BAP 1 ppm + NAA 0,01 ppm terbukti memberikan respon terbaik pada inisiasi tunas. Media GD dengan BAP 1,25 ppm + IAA 0,05 ppm terlihat hanya sesuai untuk induksi kalus dengan perkembangan lambat. Kata kunci:

Jayusman PERAN MEDIA DASAR DAN KONSENTRASI HORMON PERTUMBUHAN TERHADAP INDUKSI DAN MULTIPLIKASI TUNAS PUCUK KEMENYAN (The Effect of Basal Media and Plant Growth Regulator Concentration Hutan Tanaman : Vol.3, No.1 ; Halaman 1 - 10 , 2006

Towards The Succes of Induction and Multiplication in Shoot tip Culture of Styrax benzoione DRYAND) / Jayusman. -- Jurnal Penelitian

Salah satu cabang bioteknologi yang telah diterapkan di Indonesia adalah perbanyakan kultur jaringan. Sejumlah tanaman telah berhasil diproduksi secara komersial seperti T. grandis dan A. mangium. Saat ini pengembangan jenis-jenis prioritas seperti jenis G. bancanus dan S benzoine mulai ditangani secara intensif. Untuk itu percobaan ini ditujukan untuk mendapatkan media dasar, jenis dan kombinasi Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) yang ideal pada fase ini dan multiplikasi S. benzoine. Pengujian di fokuskan pada aplikasi media dasar (MS dan MS) dan aplikasi ZPT BAP, NAA dan Kinetin pada beberapa konsentrasi pada tahap induksi dan multiplikasi S. benzoine. Hasil pengujian menunjukkan bahwa inisiasi eksplan pucuk pada media dasar 1/2 MS dengan aplikasi kombinasi ZPT BAP 1 ppm + IAA 0,05 ppm terbukti menjadi perlakuan terbaik tahap induksi dan kombinasi media dasar MS dengan aplikasi kombinasi BAP 0,5 ppm + NAA 0,01 ppm terbukti menjadi perlakuan terbaik tahap multiplikasi. Kata kunci: Induksi, kultur jaringan, multiplikasi, Styrax benzoine, zat pengatur tumbuh Jayusman KLASIFIKASI KEMENYAN BERDASARKAN VARIABILITAS FENOTIPIK DI TAPANULI UTARA (Styrax benzoine Classification Revealed Phenotypic Variability in North Tapanuli) / Jayusman. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, Suplement No.1 ; Halaman 233245, 2006 Pengembangan jenis-jenis prioritas seperti kemenyan mulai dilakukan secara intensif. Untuk itu penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan deskripsi fenotipik jenis kemenyan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui variabilitas fenotipik jenis kemenyan di beberapa sentra produksi getah

Gonystylus bancanus, kultur jaringan, kultur tunas, zat


pengatur tumbuh.

110

kemenyan di Simasom, Simangonding, Sitoluama dan Aek Nauli, Tapanuli Utara, Profinsi Sumatera Utara. Observasi dilakukan terhadap 15 karakter fenotipik pada 81 pohon yang berasal dari lokasi tersebut. Data dianalisis berdasarkan Uji Bartlett, perbandingan varians dengan standar deviasi variasi fenotipik dan analisis gerombol berdasarkan program NTSYSpc version 2.10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis S. benzoine memiliki variabilitas fenotipik yang luas terutama pada karakter diameter batang, tipe tajuk, tebal kulit dan luas daun, bentuk buah (diameter dan berat buah) dan bentuk biji (panjang, diameter dan berat biji). Dua tipe variasi spesifik masing-masing ditemukan pada tipe getah pohon dan bentuk biji yang dibedakan atas tipe getah meleleh dan menggumpal serta bentuk dasar biji runcing dan agak datar. Analisis gerombol menunjukkan bahwa kedua jenis S. benzoine var dryand dan S. benzoine var hiliferum mengelompok berdasarkan karakter yang memiliki variabilitas fenotipik yang luas, namun sebagian individu dari kedua jenis kemenyan tersebut mengelompok menjadi satu. Koefisien kesamaan fenotipik menunjukkan bahwa pada skala kesamaan 0,19 (perbedaan 0,81 atau 81%), seluruh individu pohon dari dua jenis S. benzoine mampu disatukan dalam satu kelompok. Hasil penelitian ini membuka peluang identifikasi tanaman S. benzoine melalui kegiatan seleksi terhadap karakter unggul yang dimiliki. Kata kunci: Fenotipik, getah, S. benzoine var dryand, S. benzoine var hiliferum, variabilitas Jayusman EVALUASI KERAGAMAN GENETIK BIBIT SURIAN DI PERSEMAIAN (Evaluation of Genetik Variation of Surian Seedling at Nursery Level)/ Jayusman. -- Wana Benih : Vol.7, No.1 ; Halaman 1 - 8 , 2006 Tujuan penelitian adalah mengevaluasi pertumbuhan semai surian (Toona sinensis) di persemaian. Materi yang diuji dikoleksi dari tiga populasi (daerah koleksi benih) surian asal Propinsi Sumatera Utara yaitu: Ambarita (5 famili), Sipolha (3 famili) dan Tarutung (3 famili). Pertumbuhan tinggi semai, diameter dan kekokohan semai bervariasi; berturut-turut 5,13 cm - 7,34 cm, 1,16 mm 1,38 mm dan 4,28 - 5,32. Analisis varians menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara populasi pada sifat tinggi dan kekokohan semai dan tidak berbeda nyata pada sifat diameter semai. Famili yang diuji menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada semua pada sifat yang diuji. Kata kunci: Surian, Famili, Fase semai, Toona sinensis, Variasi genetik

Jayusman METODE EKSTRAKSI DAUN DAN INTENSITAS POLA PITA ISOZIM JENIS KEMENYAN (Leaf Extraction Method and Isozyme of Styrax benzoine Band Pattern Intensity) / Jayusman. -- Wana Benih : Vol.7, No.1 ; Halaman 17 - 27 , 2006 Teknik Elektroforesis dapat diterapkan untuk mendeteksi isozim dalam perincian genotipe populasi tanaman kemenyan. Masalah utama dalam ekstraksi isozim adalah munculnya senyawa sekunder dalam jaringan tanaman seperti tanin, senyawa fenolik serta subrat dalam sel yang sulit diidentifikasi. Penelitian ini mengkaji prosedur visualisasi sistem enzim di dalam populasi S. benzoine dengan menggunakan elektrophoresis horizontal. Konsentrasi gel kentang adalah 13 persen dengan arus listrik 35 Ampere meter dengan voltase konstan 250 volt. Temperatur elektrophoresis konstan 4 derajat Celcius. Sistem enzim yang diuji Acid phosphatase (Acp), Malate dehydrogenase (Mdh), Phosphogluco isomerase (Pgi), Glutamate oxaloacetate transaminase (Got), Alcohol dehydrogenase (Adh) dan Glucosa-6-phosphate dehydrogenase (G-6-pdh). Analisis isozim juga menguji kombinasi bufer ekstraksi, bufer elektrolit dan bufer gel dan karakter material daun. Kondisi eletroforesis optimum diperoleh dari ekstrak bufer TPTDAM pH 7,5 dan elektrolit bufer Natrium Borat pH 8. Enam sistem enzim yang diuji menunjukkan adanya variasi aktivitas enzim dengan karakter migrasi pita isozim berkisar pada nilai Rf 20 - 62,5 yang tergolong migrasi lambat sampai sedang. Interpretasi genotipe berdasarkan profil pita isozim dalam bentuk zimogram menghasilkan struktur enzim monomer dan trimer dengan 10 lokus 20 alel. Kata kunci: Kemenyan, Bufer ekstraksi, Elektroforesis, sistem enzim, Styrax benzoine, Zimogram

Jayusman SERTIFIKASI ASAL KULTUR JARINGAN: IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASINYA BAGI PERLINDUNGAN KONSUMEN/PENGGUNA / Jayusman. -- Prosiding Pertemuan Forum Komunikasi Jati V, Yogyakarta 12 April 2006 : Halaman 35-41 , 2006 Jenis jati (Tectona grandis) saat ini tidak identik lagi dengan Perum Perhutani, karena jenis ini telah banyak dibudidayakan dalam skala luas khususnya hutan rakyat dan menjadi jenis pilihan utama dalam Gerakan Rehabilitasi Hutan dan

111

Lahan (GERHAN). Bibit jati asal kultur jaringan memberi kontribusi besar dalam pemenuhan kebutuhan bibit jati di atas,meskipun standarisasi dan sertifikasi bibit asal kultur jaringan tersebut belum optimal. Saat ini masih banyak ketimpangan persepsi berkaitan potensi bibit kultur jaringan yang satu sisi dianggap selalu berkualitas dan memiliki keseragaman pertumbuhan dan disisi lain adanya keraguan mutu sumber materi genetik yang digunakan. produksi bibit elit (berkualitas) tidak selalu atau harus dihasilkan melalui teknologi kultur jaringan. Banyak faktor yang berperan dalam menghasilkan bibit unggul, diantaranya materi perbanyakan harus lolos pemuliaan genetik. Keputusan Menhut melalui SK No. 67/Menhut/-II/2004, menegaskan bahwa bibit jati yang dipasarkan harus dilacak asal usulnya agar tidak memberi dampak negatif baik aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. Implementasi sertifikasi bibit asal kultur jaringan harus diawali pelacakan terhadap sumber materi genetik bibit. Solusi yang dapat ditempuh adalah dengan (a) integrasi marker molekuler untuk pelacakan asal usul materi bibit. (b) menggunakan metoda gabungan antara sertifikasi konvensional (pemeriksaan lapangan, uji laboratorium, uji vigoritas) dikombinasikan dengan pelacakan marker molekuler. Implikasi dari implementasi sertifikasi diyakini memiliki multi dampak karena selain petani/konsumen mendapatkan harga ideal dan kepastian hasil, pemerintah juga mendapat mitra dalam pengadaan bibit, penangkar/produsen bibit mendapat harga jual yang pantas terhadap kualitas benih yang diproduksi serta pemulia pohon mendapatkan perlindungan intelektual. Beban sertifikasi tidak harus ditanggung pemerintah semata, mengingat sertifikasi juga bersifat sukarela (voluntary) yang sangat terbuka untuk semua pihak berperan aktif memulai dan mengimplementasikan sertifikasi sumber benih, mutu benih dan mutu bibit tanaman hutan. Kata kunci: Jati, Tectona grandis, Bibit, Kultur jaringan, Sertivikasi

Judhiharto, Heru SERANGAN HAMA PENYAKIT DAN CARA ANTISIPASINYA PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DAN HUTAN TANAMAN RAKYAT PT KUTAI TIMBER INDONESIA / Heru Judhiharto dan Agus Setiawan. -Prosiding Ekspose/Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman, Jakarta 23 Nopember 2006 ; Halaman 41-43 , 2006 Penanaman HTI (hutan Tanaman Industri) dan HTR (Hutan Tanaman Rakyat) dengan jenis tanaman fast growing species untuk bahan baku plywood industry, antara lain adalah Sengon laut (Paraserienthes falcataria), Balsa (Ochroma sp), Waru rangkang (Hibiscus similis), Jabon (Gmelina arborea), dll. Penanaman yang dilakukan oleh PT. Kutai Timber Indonesia (PT. KTI) sudah dilakukan sejak tahun 1997 sampai sekarang dengan luas kurang lebih 3000 ha dn jumlah tanaman 4,5 juta pohon serta lokasi 2.347 site dengan pola penanaman terintegrasi, sebagai berikut: Pihak perusahaan PT. KTI melakukan manajemen penanaman sendiri dan pihak perusahaan PT. KTI melakukan pola kerjasama dengan masyarakat/institusi dengan sharing modal dan hasilnya. Didalam aktivitas perawatan tidak terlepas dari pada permasalah an-permasalahan tentang adanya serangan hama dan penyakit yang menyerang pada tanaman tersebut dan didalam pelaksanaan dari silvikultur hutan tanaman, antara lain persemaian, persiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pruning/rempesan cabang, penjarangan I dan II dan pemanenan. Kata kunci: Hama, Penyakit, Hutan tanaman industri, Hutan tanaman rakyat, PT Kutai Timber Indonesia

Kunarso, Adi KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA: PENGALAMAN PENGELOLAAN HUTAN PENELITIAN / Adi Kunarso dan Edwin Martin. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 95-101 , 2006 Hutan penelitian Kemampo adalah hutan yang dibangun dengan tujuan sebagai tempat berlangsungnya penelitian di bidang hutan tanaman untuk menghasilkan paket-paket teknologi tepat guna bagi perkembangan hutan

112

khususnya hutan tanaman. Salah satu ancaman bagi pengembangan dan pengelolaan hutan Kemampo adalah kebakaran yang terjadi hampir setiap tahun. Kerugian akibat kebakaran yang terjadi adalah rusak dan hilangnya plotplot penelitian yang berarti juga kehilangan data penelitian. Beberapa permasalahan yang dihadapi di hutan adalah: kurangnya sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian kebakaran, sedikitnya petugas dilokasi, serta belum adanya tindakan hukum terhadap pelaku pembakaran. Sementara itu upaya yang telah dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman (BP2HT) sebagai pengelola hutan Kemampo antara lain: dengan pendekatan secara silvikultur yaitu dengan membuat sekat bakar (jalur hijau) dan ilaran api, pengawasan untuk mendeteksi secara lebih dini kemungkinan terjadinya kebakaran serta penanggulangan secara fisik saat kejadian kebakaran. Kata kunci: Kebakaran hutan, Hutan Penelitian Kemampo, Pengendalian kebakaran, Pengelolan hutan Kunarso, Adi POTENSI DAN POTRET PENGUSAHAAN NIPAH (Nypa fruticans) DALAM MENUNJANG EKONOMI RUMAH TANGGA DI SUMATERA SELATAN / Adi Kunarso. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 161-166 , 2006 Provinsi Sumatera Selatan memiliki potensi lahan rawa pasang surut yang cukup luas. Nipah (Nypa fruticans) merupakan salah satu vegetasi penyusun ekosistem rawa pasang surut yang mempunyai nilai ekonomi dan ekologi yang tinggi. Tanaman ini banyak dijumpai dirawa-rawa air payau dan di depan muara-muara sungai. Hampir seluruh bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Salah satu bagian tanaman yang sudah dimanfaatkan serta diusahakan dalam skala industri rumah tangga di Sumatera Selatan yaitu daun, sebagai bahan baku pembuatan atap. Dari hasil observasi di kelurahan Karyajaya, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang, untuk memproduksi satu keping atap nipah dibutuhkan biaya produksi sebesar Rp. 300,- hingga Rp. 450,- dengan harga jual Rp. 600,- hingga Rp. 700,-. Keuntungan bersih yang diperoleh pengrajin atap nipah bisa mencapai Rp. 16.000,- per hari. Usaha kecil atap daun nipah, merupakan usaha padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Usaha ini akan terus langgeng karena peminat atap sederhana ini tidak akan surut. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan usaha ini adalah

belum adanya kelembagaan yang mengakomodasi kepentingan pengrajin serta minimnya modal yang dimiliki, sementara uluran bantuan modal baik dari pemerintah maupun lembaga keuangan swasta tidak pernah menjangkau pengrajin atap daun nipah. Kata kunci: Nipah, Nypa fruticans, Atap daun nipah, Nilai ekonomi, Industri rumah tangga, Sumatera Selatan Kurniawan, Agus EVALUASI INTENSITAS KERUSAKAN MATI PUCUK ASAL SUMBER BENIH ACACIA MANGIUM DI KHDTK BENAKAT / Agus Kurniawan dan C. Andriyani. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 87-90 , 2006 Pembangunan hutan monokultur menyebabkan resiko kerusakan tanaman oleh hama menjadi meningkat. Hal ini disebabkan oleh ekosistem mikro yang kurang stabil/seimbang, selain itu tegakan monokultur bagi hama berarti akumulasi bahan makanan untuk kehidupannya. Patah pucuk merupakan jenis kerusakan yang umum dijumpai pada tanaman Acacia. Kerusakan ini menimbulkan kerugian dan banyak menyebabkan kematian tanaman. Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui intensitas kerusakan mati pucuk pada delapan asal sumber benih Acacia mangium umur 3,5 tahun di KHDTK Benakat. Pengamatan dilakukan pada bulan September 2005. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kerusakan akibat mati pucuk pada tanaman Acacia mangium umur 3,5 tahun di KHDTK Benakat rata-rata sebesar 12.74 persen dari seluruh tanaman. Pada masing-masing asal sumber benih, kerusakan tertinggi dialami oleh A. mangium asal kebun benih Wonogiri, kerusakan mencapai 21.1 persen. Sedangkan kerusakan terendah ditujukan oleh tanaman A. mangium asal tegakan benih Riam Kiwa, Kalimantan Selatan yang hanya terserang 5.86 persen. Kata kunci: Acacia mangium, Mati pucuk, Asal sumber benih, KHDTK Benakat

113

Lasminingsih, Mudji PERKEMBANGAN BAHAN TANAM KARET DAN POTENSI PENGEMBANGANNYA PADA LAHAN GAMBUT / Mudji Lasminingsih. -Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 151-159 , 2006 Tanaman karet di Indonesia merupakan salah satu sumber devisa negara yang memberikan kontribusi cukup tinggi, dengan areal mencapai 3,3 juta ha dan menunjang perekonomian rakyat karena sebagian besar merupakan perkebunan karet rakyat. Areal karet tersebut saat ini sebagian besar tersebar pada tanah-tanah mineral, sedangkan pada tanah gambut belum banyak walaupun pada beberapa tempat dijumpai pertanaman karet pada jenis tanah ini. Dari data pengujian klon pada lahan gambut tampaknya pertumbuhan awal, tanaman ini masih mampu tumbuh dan mencapai usia matang sadap sama dengan pertumbuhan karet pada tanah mineral. Salah satu kendalanya adalah dari ketahanannya terhadap ketumbangan/kemiringan pohon pada umur tanaman yang lebih lanjut. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan pembuatan saluran-saluran drainase dan juga melakukan okulasi di tempat sehingga perakaran tunggangnya tidak terganggu. Untuk teknologi okulasi di tempat ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Saat ini telah tersedia berbagai klon anjuran hasil pengujian yang dilakukan pada tanaman mineral. Dengan melihat potensi lahan gambut yang ada di Indonesia dan dalam rangka pengembangan karet serta pemanfaatan lahan gambut yang ada maka klonklon ini dapat diujicobakan pada lahan gambut dengan beberapa perbaikan teknologi untuk mengatasi kendala yang mungkin timbul. Kata kunci: Karet, Hevea brasiliensis Muell Arg, Lahan gambut, Klon karet Lubis, Irwansyah Reza PEMANFATAN HUTAN DAN LAHAN RAWA GAMBUT DI PANDANG DARI APEK KONSERVASI: PENGALAMAN KEGIATAN CCFPI DI SUMATERA SELATAN / Irwansyah Reza Lubis. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 2534 , 2006 Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan basah cukup luas di dunia yang mencapai 54.968.061 ha. Akan tetapi akibat banyaknya tekanan dan konversi, luas lahan basah makin menyusut hingga tinggal 40 juta hektar. saat

ini (menurun sekitar 25 persen). Lahan rawa merupakan salah satu tipe dari lahan basah. Menurut ekosistemnya, lahan basah rawa di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 tipe: (1) Hutan rawa air tawar (2) Rawa berumput/lebak (3) Rawa dan lahan gambut. Hutan rawa air tawar dan rawa berumput adalah jenis lahan rawa yang sudah banyak rusak dan semakin kurang keberadaanya. Hal ini disebabkan karena kesuburan dan besarnya potensi sumber daya alam yang berada disekitarnya. Sedangkan rawa gambut dan lahan gambut sendiri juga saat ini mulai mengkhawatirkan keberadaannya. Lahan gambut yang tadinya dianggap lahan marginal dan tidak banyak dimanfaatkan mulai dibuka dan dikonversi karena dari semakin menyempitnya ketersediaan lahan. Kata kunci: Rawa gambut, Lahan gambut, CCFPI, Sumatera Selatan Lukman, Abdul Hakim ASPEK TEKNIK SILVIKULTUR DALAM MENUNJANG PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN TEMBESU / Abdul Hakim Lukman. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 21-24 , 2006 Akibat eksploitasi hutan yang tidak seimbang dengan upaya rehabilitasi yang dilakukan selama ini, membuat potensi hutan alam kita baik dalam skala nasional maupun lokal di Sumatera semakin menurun.Khusus di Sumatera Selatan, indikasi tersebut tampak dari semakin sulitnya beberapa industri (penggergajian, maupun kerajinan khas Palembang) dan masyarakat memperoleh beberapa jenis kayu komersial yang berkualitas seperti ulin, raminn, jelutung dan tembesu. Dilaporkan, saat ini sebanyak 167 sawmill legal di Sumsel terpaksa ditutup, akibat kelangkaan pasokan bahan baku yang turun drastis dari 4,2 juta meter kubik menjadi 700.000 meter kubik. Sementara pasokan kayu (pertukangan) dari Hutan Tanaman Industri (HTI) hingga saat ini belum mampu memenuhi kekurangannya. Selain itu kebanyakan HTI yang dibangun diperuntukkan memenuhi kebutuhan industri pulp. Melihat kenyataan tersebut, pembangunan hutan tanaman yang diperuntukkan sebagai pemasok bahan baku kayu pertukangan dengan jenis-jenis lokal yang komersil sudah selayaknya direalisasikan. Tembesu (Fagraea fragrans) yang merupakan salah satu jenis pohon andalan setempat di Sumatera Selatan, mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Secara ekologis, pasar maupun penguasaan teknik silvikulturnya, pengembangan hutan tanaman tembesu di Sumatera

114

Selatan dimungkinkan dapat berhasil dengan baik. Tembesu dapat ditanam pada areal lahan yang didominasi alang-alang, semak belukar dan hutan sekunder bervegetasi jarang, dengan penyiapan lahan secara manual tebas total dan jarak tanam rapat 2,5 m x 1 atau 3 m x 1 m. Pemeliharaan tanaman pada awal pertumbuhan mutlak dilakukan yang berupa pembersihan tumbuhan bawah dan aplikasi pupuk. Kegiatan pemangkasan cabang (pruning) dilakukan sedini mungkin untuk meningkatkan kualitas kayu berupa berkurangnya jumlah mata kayu. Kata kunci: Tembesu, Hutan tanaman, Jenis andalan setempat, Teknik silvikultur Mahfudz PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH DAN MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN STEK PUCUK MERBAU (Effect of Growth Regulators and Plant Mediums on the Growth of Instia spp Shoot Cuttings) / Mahfudz; Isnaini; Hidayat Moko. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.1 ; Halaman 25 - 34 , 2006 Merbau (Instia spp) merupakan jenis tanaman hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam pembangunan hutan tanaman memerlukan pengadaan bibit dalam jumlah banyak. Salah satu upaya dalam pengadaan bibit adalah dengan perbanyakan tanaman secara stek pucuk. Zat pengatur tumbuh dan media tanam merupakan aspek penting dalam perbanyakan tanaman dengan cara tersebut. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh zat pengatur tumbuh dan media tanam telah dilakukan di Pusat Litbang Hutan Tanaman sejak Juni sampai Desember 2004. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan menguji 2 faktor perlakuan, yaitu faktor pertama zat pengatur tumbuh IBA dan IAA dengan konsentrasi 0 dan 20 ppm, sedangkan faktor kedua adalah media tanam yaitu campuran tanah + pasir (l:l), pasir + kompos (1:1) dan tanah + pasir + kompos (1:1:1) dengan ulangan sebanyak 3 kali dan setiap ulangan terdiri dari 10 stek. Parameter yang diamati meliputi pertumbuhan, bobot basah dan bobot kering stek dan volume akar stek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa merbau dapat diperbanyak secara stek pucuk dan perlakuan zat pengatur tumbuh dapat meningkatkan pertumbuhan dan bobot segar dan bobot kering stek dengan media tanaman yang mengandung bahan organik tinggi. Kata kunci: Biomasa, media tanam, merbau, stek pucuk, zat pengatur tumbuh.

Mahfudz VARIASI PERTUMBUHAN BEBERAPA KLON JATI HASIL STEK PUCUK PADA DUA JARAK TANAM DI GUNUNG KIDUL (The Growth Variation of

Some Teak Clones from Cuttings on Two Planting Distances at Gunung Kidul) / Mahfudz, Tyastuti Purwani dan Wahyu Yudianto. -- Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, Suplement No.1 ; Halaman 247256, 2006

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja pertumbuhan klon jati hasil stek pucuk dan jarak tanam yang tepat di lapangan. Penelitian dilakukan di petak 22a, RPH Banaran, BKPH Playen Gunung Kidul pada bulan Nopember sampai Januari 2005. Penelitian menggunakan rancangan tersarang dengan 5 blok sebagai ulangan, 12 klon jati sebagai perlakuan dan 5 treeplot berbentuk bans untuk tiap perlakuan dengan jarak tanam 3 m x 3 m dan 2 m x 6 m. Hasil analisis tanaman jati umur 22 bulan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman secara umum baik dengan kisaran 2,22 m - 4,49 m untuk tinggi dan 2,29 m - 4,63 m untuk diameter. Jarak tanam 2 m x 6 m memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan jarak tanam 3 m x 3 m. Kata kunci: Jati, klon, pertumbuhan tanaman Mahfudz PENGARUH SUMBER SCION TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT JATI ASAL GRAFTING / Mahfudz, Hidayat Moko dan Aswan Ajarul. -Prosiding Pertemuan Forum Komunikasi Jati V, Yogyakarta 12 April 2006 : Halaman 43-47 , 2006 Salah satu aspek penting dalam pengembangan hutan jati rakyat adalah penyediaan bibit dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat. Grafting merupakan salah satu cara dalam perbanyakan tanaman untuk penyediaan bibit yang diperlukan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui sumber scion terhadap pertumbuhan bibit jati asal grafting telah dilakukan di persemaian Pusat Litbang Hutan Tanaman Yogyakarta, sejak juni sampai Desember 2004. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Lengkap Berblok dengan 5 perlakuan sumber scion yaitu: KG!, GK2 (scion dari Gunung Kidul), LMG1, LMG2 dan LMG3 (scion dari Lamongan) dengan 5 kali ulangan dan setiap ulangan

115

terdiri dari 5 tanaman hasil grafting. Pengamatan dilakukan terhadap persentase hidup, jumlah daun, panjang tunas dan diameter tunas. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan scion yang berasal dari sumber yang berbeda tidak berbeda nyata terhadap semua parameter yang diamati.Scion yang berasal dari Lamongan menunjukkan pertumbuhan tanaman hasil grafting yang lebih baik dibandingkan dari Gunung Kidul. Kata kunci: Jati, Tectona grandis, Grafting, Kompatibel, Rootstock, Sumber scion Martin, Edwin KELAYAKAN EKONOMI DAN MANFAAT SOSIAL PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI (Economic

Martin, Edwin MANFAAT PERENCANAAN PARTISIPATIF DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH SOSIAL FORESTRY: DENGAN CONTOH KASUS APLIKASI PRA UNTUK PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DIDESA TANJUNG SARI II KECAMATAN LEMPUING OKI / Edwin Martin, Fidelia Balle Galle. -Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 31-44 , 2006 Program pembangunan dimasa lalu seperti hutan kemasyarakatan (HKm), penghijauan, hutan rakyat, rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) sejauh ini belum berhasil mewujudkan hutan lestari dan rakyat sejahtera. Ditengah kegalauan dalam mengelola kehutanan Indonesia, pada era tahun 2002-2003 Departemen Kehutanan menggaungkan "Social Forestry" sebagai payung semua program yang akan dilaksanakan. "Social Forestry" masih belum mampu memenuhi harapan banyak pihak dan perlu dibenahi. Penyebab kurang berhasilnya sosial forestry di masa lalu antara lain adalah kebijakan yang tidak mendukung, lemahnya koordinasi antar lembaga yang terkait, social forestry dianggap proyek, serta tidak dilibatkannya masyarakat secara aktif dalam pengambilan keputusan dan perumusan program. Salah satu teknik yang cukup dikenal dalam mengembangkan partisipasi masyarakat adalah PRA (Participatory rural appraisal). Tulisan ini hendak menyajikan hasil penelitian aksi perencanaan pengembangan hutan rakyat di Desa Tanjung Sari II Kecamatan Lempuing Kabupaten Ogan Komering Ilir. Pelaksanaan kegiatan menggunakan teknik-teknik PRA. Tidak semua teknik PRA digunakan untuk mengkaji keadaan masyarakat Desa Tanjung Sari II karena sesuai dengan prinsip PRA hasil yang optimal, bahkan beberapa teknik justru didalami dan dipertajam hasilnya sesuai dengan Prinsip Triangulasi. Outcame PRA seperti yang diaplikasikan di Desa Tanjung Sari II sangat berguna bagi Dinas Kehutanan untuk mengambil langkah-langkah taktis dalam melaksanakan tindakan kegiatan pengembangan hutan rakyat. Melalui perencanaan partisipatif ini, pertanyaan " Bagaimana melaksanakan program hutan rakyat di suatu daerah?" menjadi terjawab. Lembaga pengembang program dapat melakukan aktifitasnya (sesuai tupoksinya) dengan arahan yang jelas, tidak lagi berdasarkan asumsi-asumsi atau pandangan dan pendapat subjektif belaka. Kata kunci: Perencanaan partisipatif, PRA, Social forestry

Feasibility and Social Benefit of Social Forestry Program at Industrial Plantation Forest)/ Edwin Martin; Helly Fitriyanti. -- Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman : Vol.3, No.2 ; Halaman 117 - 128 , 2006

Konsep perhutanan sosial (social forestry) seringkali dipahami hanya sebagai obat penawar untuk menangani konflik sosial usaha hutan tanaman, bukan sebagai salah satu sistem usaha produktif ekonomis. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang apakah program social forestry dapat dijadikan sebagai sebuah pilihan sistem usaha dalam pembangunan hutan tanaman industri. Alat analisis utama yang digunakan yaitu studi kelayakan usaha dan tinjauan manfaat sosial terhadap program tersebut. Program social forestry MHBM dan MHR PT. MHP di Sumatera Selatan dijadikan sebagai objek studi kasus. Pelaksanaan program social forestry hutan tanaman industri dengan pola MHBM seperti diterapkan oleh PT. MHP bernilai ekonomis jika suku bunganya berada kisaran 14% -15,55%, sedangkan untuk program MHR bernilai ekonomis jika suku bunganya berada pada kisaran 14% - 17,89%. Manfaat sosial diterapkannya program social forestry yaitu menurunnya kejadian kebakaran di lahan konsesi HTI, semakin berkurangnya intensitas konflik sosial dengan masyarakat, semakin terbukanya kesempatan berusaha bagi masyarakat Kata kunci: Hutan Tanaman Industri, kelayakan usaha, manfaat sosial, social forestry

116

Mindawati, Nina PENGARUH FREKWENSI PEMELIHARAAN TANAMAN MUDA TERHADAP PERTUMBUHAN MERANTI DI LAPANGAN (The effect of Tending Frequency on Growth of Shorea Sapling at Field)/ Nina Mindawati; Yetti Heryati. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.2 ; Halaman 63 - 71 , 2006 Shorea atau meranti dikenal di perdagangan dunia sebagai kayu tropik yang cukup berperan penting. Program pembangunan HTI tengkawang tidak akan berhasil dengan baik jika tanpa dilakukan pemeliharaan pada tanaman muda di lapangan. Penelitian mengenai macam dan frekwensi pemeliharaan terhadap tanaman muda di lapangan telah dilakukan di HP Haurbentes, Jasinga, Jawa Barat. Rancangan yang digunakan adalah Acak Lengkap dengan dua tipe pemeliharaan yang dilakukan sampai tanaman berumur 3 tahun, yaitu berupa pemeliharaan intensif dan kurang intensif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemeliharaan intensif berpengaruh nyata terhadap-rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter jenis S. stenoptera sebesar 3,19 m dan 3,64 cm, sedangkan jenis S. mecistopteryx 3,43 m dan 3,76 cm. Prestasi kerja pembangunan hutan tanaman meranti mulai dari penyiapan lahan, penanaman dengan pemeliharaan yang intensif selama 3 tahun memerlukan sekitar 66 HOK/ha, sedangkan jika pemeliharaan kurang intensif sebesar 56 HOK/ha. Kondisi tanah dan tumbuhan di areal dengan pemeliharaan yang intensif menunjukkan hasil yang lebih baik ditinjau dari pH tanah, N total, P tersedia dan KTK serta nilai INP tumbuhan bawah jika dibanding pemeliharaan intensif. Kata kunci: Frekuensi pemeliharaan, pertumbuhan, shorea, tengkawang Mindawati, Nina PENGARUH PENANAMAN BEBERAPA JENIS POHON HUTAN TERHADAP KONDISI KESUBURAN TANAH ANDOSOL ( The effect of Some Forest Species Plantation to Condition of Andosol Soil Fertility)/ Nina Mindawati; A. Syaffari Kosasih; Yetti Heryati. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.3 ; Halaman 155 - 164 , 2006 Pembangunan hutan tanaman Industri perlu memperhatikan faktor kesuburan tanah, karena tanah yang subur memungkinkan pohon tumbuh dan menghasilkan kayu serta produk lainnya dengan baik. Penelitian mengenai pengaruh penanaman jenis pohon hutan, seperti Agathis lorantifolia, Pinus

oocarpa, Shorea platyclados, Alnus nepalensis, Toona sureni, Casuarina junghuhniana, Khaya anthotheca dan Acacia cassicarpa telah dilakukan pada tanah andosol di dataran tinggi Cikole, Jawa Barat. Pengmbilan sampel tanah dilakukan dibawah tegakan yang telah berumur enam tahun pada 3 titik dan dicampur untuk dianalisa sifat kimia dan biologi tanahnya, sedangkan sifat fisik sampel diambil pada dua kedalaman 0cm - 15 cm dan 15 cm - 30 cm dengan menggunakan ring sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah di bawah tegakan umumnya masam sama dengan kondisi awal, kecuali untuk jenis S. platyclados sangat masam. Kandungan bahan organik, unsur hara makro dan kapasitas tukar kation pada umumnya sama, sehingga penanaman jenis dapat menstabilkan kondisi tanah. Tekstur tanah setelah penanaman lempung liat berdebu, kecuali T. sureni yang menjadi liat, sedangkan pengaruhnya terhadap porositas, berat jenis dan air tersedia berpengaruh positif. Selain itu, penanaman dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme, jumlah fungsi dan respirasi di dalam tanah yang berdampak positif terhadap kesuburan tanah. Kata kunci: Kesuburan tanah, Penanaman, Pohon hutan, Tanah andosol Mohammed, Caroline L BUSUK HATI DAN BUSUK AKAR PADA ACACIA MANGIUM : IDENTIFIKASI GEJALA DAN PENILAIAN TERHADAP TINGKAT SERANGAN / Caroline L Mohammed, Karen M Barry dan Ragil S.B Irianto. -- Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia, 2006 : Halaman 20-30 , 2006 Metode ini menguraikan tentang metode yang cepat, tepat, dan dapat diandalkan untuk mengenali serangan busuk hati dan busuk akar. Busuk hati pada A. mangium disebabkan oleh hymenomycetes yang menyerang selulosa dan lignin.Perkembangannya diikuti dengan perubahan warna, tekstur dan penampilan dari kayu yang diserang. Tanda-tanda tersebut digunakan untuk menilai secara cepat kejadian dan tingkat serangan busuk hati pada log hasil penebangan di lapangan. Hasilnya dibandingkan dengan survei yang berdasarkan pada log hasil longitudinal pada log. Penilaian terhadap 2 percobaan, satu di Riau dan lainnya di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa provenansi dapat mempengaruhi serangan busuk hati tetapi tidak ada hubungannya dengan kandungan ekstraktif kayu. Busuk akar dibedakan menurut warna jaringan yang terserang jamur dan terkait dengan beragam

117

basidiomycetes. Teknik monokuler telah berhasil mengidentifikasi jamur Ganoderma philippi sebagai jamur penyebab busuk akar merah.Penyakit busuk akar menyebabkan kematian tajuk, pertumbuhan terhambat dan akhirnya kematian pohon. Ketika busuk akar pertama kali ditemukan, pohon yang terserang cenderung terjadi secara acak namun kemudian mengelompok menandakan bahwa serangan jamur telah meluas. Survei yang akurat harus mencatat gejala di atas permukaan tanah, memeriksa luasnya infeksi pada akar, dan mengamati pola penularan penyakit. Kecepatan perkembangan penyakit nampaknya berhubungan dengan awal serangan busuk akar. Penggunaan teknik penginderaan jauh untuk survei penyakit juga diulas. Survei terhadap penyakit pada hutan tanaman acacia menyimpulkan bahwa busuk hati, busuk akar, dan karat daun adalah ancaman utama (Old et al., 2000). Busuk hati pada A. mangium adalah pelapukan kayu oleh jamur saprotrophic yang menyebabkan penurunan mutu kayu meskipun tidak mematikan pohon. Jamur penyebab busuk hati adalah parasit basidiomycetes yang masuk ke dalam pohon melalui luka, bekas cabang, dan tidak secara khusus menyerang jaringan hidup. Busuk akar adalah pelapukan akar oleh beberapa patogen basidiomycetes yang menyerang jaringan hidup dan dapat mengakibatkan kematian pohon. Busuk akar menyebar melalui hubungan antara akar yang sehat dengan akar yang terjangkit jamur busuk akar atau kayu yang membusuk akibat jamur akar. Penilaian terhadap busuk hati dan busuk akar memerlukan pendekatan yang berbeda. Untuk keperluan operasional di lapangan, metode tersebut perlu sederhana, cepat dan mudah dilakukan oleh petugas lapangan dengan pelatihan secukupnya. Kata kunci: Acacia mangium, Busuk hati, Hutan tanaman, Busuk akar, Tingkat serangan Munandar, Aris KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA SECARA TERPADU DI SUMATERA SELATAN / Aris Munandar dan Syafrul Yunardi. -Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 1-6 , 2006 Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Propivinsi Sumatera Selatan sampai saat ini merupakan rangkaian kegiatan yang berlangsung secara berkesinambungan dari kegiatan sebelumnya. Pelaksanaan pembangunan tersebut selain telah menghasilkan keberhasilan yang telah dicapai, juga masih

menyisakan masalah-masalah pembangunan antara lain isu kemiskinan, pengangguran dan rendahnya pendapatan perkapita yang perlu diantisipasi dan segera dicarikan jalan keluarnya. Pemahaman lebih lanjut terhadap isu-isu tersebut di atas, memacu Provinsi Sumatera Selatan untuk melasanakan pembangunan dengan memprioritaskan peningkatan kesejahteraan melalui berbagai langkah strategis dan kebijakan pokok yang dituangkan ke dalam dokumen Rencana Pembangunan jangka menengah daerah dan difokuskan pada agenda mewujudkan Sumsel sebagai Lumbung Energi Nasional, Mewujudkan Sumsel sebagai lumbung Pangan, Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat serta Mewujudkan sumsel Bersatu Teguh yang selanjutnya akan dijabarkan lebih jauh dalam program-program pembangunan yang bersifat implementatif. Sebagai daerah yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk potensi lahan rawa, Sumatera Selatan memiliki potensi posisi strategis dalam perekonomian nasional. Dengan potensi sumberdaya alamnya yang besar, kekuatan sumberdaya manusia yang masih besar dan multidisiplin, kedudukan geografis dan kondisi geopolitan yang sangat terkendali, maka wilayah pembangunan di propinsi ini sangat layak untuk dijadikan sebagai salah satu daerah tumpuan strategis bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Kata kunci; Kebijakan, Lahan rawa, Sumatera Selatan Ngatiman PENYAKIT BERCAK DAUN PADA TANAMAN EKALIPTUS (Attack of leaf spot disease on Eucalyptus)/ Ngatiman; Illa Anggraeni. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.3 ; Halaman 183 - 191 , 2006 Di areal hutan tanaman PT. Surya Hutani Jaya Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tanaman Eucalyptus urophylla Blake, umur 3 tahun terserang penyakit bercak daun. Akibat penyakit tersebut daun-daun rontok dan tanaman kering meranggas. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis pathogen dan gejala yang ditimbulkannya serta persentase kejadian penyakit pada E. urophylla. Penelitian dilakukan di lapangan (untuk mengamati gejala, persentase kejadian penyakit), kemudian dilanjutkan di laboratorium Kelti Perlindungan dan Pengaman Hutan, Puslitbang Hutan Tanaman Bogor untuk identifikasi patogen bercak daun. Kegiatan identifikasi merupakan suatu proses mencocokkan secara umum dan membandingkan ciriciri yang didapat secara makroskopis maupun mikroskopis dengan ciri-ciri yang ada dalam referensi. Hasil identifikasi ternyata penyakit bercak daun pada E.

118

urophylla umur 3 dan 5 tahun disebabkan oleh fungi Macrophoma sp. Persentase kejadian penyakit pada E. urophylla umur 3 tahun sebesar 57,46 persen dengan intensitas serangan 7,08 persen, sedangkan persentase kejadian penyakit pada umur 5 tahun sebesar 40,15 persen dengan intensitas serangan 4,61 persen. Kata kunci: Eucalyptus urophylla Blake, Penyakit bercak daun Nurdawati, Syarifah PERANAN EKOSISTEM HUTAN RAWA DI DANAU CALA KABUPATEN MUSI BANYUASIN SEBAGAI HABIBAT IKAN PERAIRAN UMUM / Syarifah Nurdawati. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 143-149 , 2006 Danau Cala merupakan sungai mati (oxbow lake), bentuknya setengah cincin dan letaknya berdekatan dengan sungai utamanya yaitu Sungai Musi dan perairan ini terletak di Kabupaten Musi Banyuasin. Sebagian besar perairan Danau Cala dikelilingi hutan rawa dan banyak terdapat sungai-sungai kecil yang bermuara ke danau. Sungai-sungai ini mengering pada musim kemarau dan menyatu dengan danau pada musim penghujan. Jenis-jenis vegetasi yang hidup di perairan hutan rawa danau Cala antara lain Nanggai (Talauma candolei), Resan (Barcinia dulcis), Cungcungre (Denox caniformis), Kukulang (Melostoma paliantum), Marsepang (Midraraetil tharipoides), Pandan (Pandanus tectorius), Bambu (Bambusa sp), Sukun (Artocarpus comunis), Teki (Cyperus rotandus), Bungur (Lagertrounia spiasa, Rumput gayu (Spinifex litorus), Tinggiran binti (Rhizophora micronata), Duri (Mimosa infisa), Bengkal (Bruguera conjugate) dan Mangga Hutan (Magifera sp). Sebanyak 58 jenis ikan perairan umum memanfaatkan hutan rawa untuk mencari makan (feeding ground), 31 jenis diantaranya melakukan pemijahan (spanig ground) di perairan hutan rawa dan memanfaatkan pakan alami di hutan rawa untuk pembesaran larva dan benih dan 14 jenis larva ikan perairan umum masuk ke perairan hutan rawa dan memanfaatkan perairan hutan rawa sebagai tempat perawatan larva (nursery ground). Di danau Cala pada umumnya penangkapan dilakukan pada musim penghujan untuk menangkap ikan hias antara lain ikan botia (Botia macracantus) dan penangkapan ikan balashark atau ikan kutung hanyut (Balantiocheilos melanopterus), ikan Lemak (leptobarbus hoevenii). Ikan Juar (Luciosoma setigerum) dan Ikan Seluang Batang (Epalzeorhnchos kalopterus). Penangkapan ikan konsumsi dimulai setelah air mulai surut dengan cara

menutup sungai-sungai kecil yang banyak terdapat di danau Cala. Alat tangkap yang besar yang biasa dioperasikan di danau cala adalah empang, corong dan kilung. Jenis-jenis tersebut adalah Ikan toman (Channa micropeltes), Bujuk (Channa lucius), Serandang (Channa pleuropthalmus), Kalui (Osphronemus goramy), Kebarau (Hampala macrolepidota), Baung (Mystus nemurus), Tembakang (Helostoma temminckii), Kepor (Pristolepis fasciata) dan Tapah (Wallago attu). Kata kunci: Ekosistem, Hutan rawa, Danau cala, Habibat, Musi, Banyuasin, Ikan, Perairan umum

Vol.3, No.1 ; Halaman 11 - 23 , 2006

Kamper Wood and Hopea on Alang-alang Areas With Prepare Planting Technique) / R. Mulyana Omon. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman :

Omon, R.Mulyana PERTUMBUHAN KAYU KAMPER DAN HOPEA PADA LAHAN ALANGALANG DENGAN TEKNIK PENYIAPAN LAHAN TANAM (Growth of

Pengaruh teknik persiapan lahan tanam telah dilakukan terhadap pertumbuhan Dryobalanops lanceolata dan Hopea sangal pada lahan lang-alang di hutan lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur. Teknik penyiapan lahan dilakukan sebelum penanaman adalah dengan menggunakan herbisida yang bertujuan untuk memusnahkan alang-alang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi teknik rehabilitasi lahan alang-alang dengan jenis yang sesuai dari famili Dipterocarpaceae. Setiap perlakuan dibuat petak coba dengan ukuran 50 m x 50 m (0,25 ha) dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Rancangan percobaan yang digunakan faktorial 2x3 dengan pola acak lengkap yang diulang sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis, penyiapan lahan tanam dan interaksi antar jenis dan penyiapan lahan tanam tidak berpengaruh nyata terhadap persen hidup tanaman. Untuk perlakuan jenis terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter yang paling besar adalah D. lanceolata, yaitu rata-rata sebesar 39,79 cm dan sebesar 0,38 cm. Perlakuan penyiapan lahan tanam dengan cara disemprot total dengan herbisida lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu rata-rata sebesar 39,79 cm dan sebesar 0,38 cm. Perlakuan penyiapan lahan tanam dengan cara disemprot total dengan herbisida lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu dengan rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing sebesar 35,37 cm dan 0,38 cm. Dengan demikian penanaman jenis dari suku

119

Dipterocarpacea khusus dari jenis D. lanceolata dan H. lanceolata dan H. sangal telah memberi harapan yang baik untuk dikembangkan sebagai jenis komersial untuk ditanam di lahan yang terbuka (alang-alang), dengan perlakuan penyiapan lahan disemprot total dengan herbisida. Kata kunci: Alang-alang, Dryobalanops lanceolata, herbisida, Hopea sangal Omon, R. Mulyana PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN TABLET MIKORIZA TERHADAP PERTUMBUHAN STEK MERANTI MERAH (The effect of

Prasetyawati, C Andriyani PERANAN TANAMAN PIONER DALAM REHABILITASI HUTAN / C. Andriyani Prasetyawati dan Kristanta Tri Saputra. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 131-135 , 2006 Tanaman pioner berperan penting dalam suksesi alam. Keberadaan jenis pioner masih belum dimanfaatkan secara optimal dalam rehabilitasi hutan yang mengalami kerusakan. Kerusakan hutan yang memprihatinkan perlu mendapat perhatian. Usaha merehabilitasi banyak mengalami kendala di lapangan dan belum menggembirakan. Pemanfaatan jenis pioner sebagai salah satu usaha biologis disamping usaha mekanis yang selama ini diterapkan. Tanaman pioner mempunyai peranan penting dalam usaha perbaikan kondisi tapak maupun ekologi tanah. Beberapa tanaman pioner dapat dikembangkan menjadi tanaman komersial yang mempunyai nilai jual tinggi. Jenis pioner dapat menjadi tanaman terpilih sesuai kondisi alam dan persyaratan tumbuhnya. Kata kunci: Tanaman pioner, Kerusakan hutan, Rehabilitasi hutan Premono, Tejo B KAJIAN PELUANG PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN JENIS LOKAL POTENSIAL DI SUMATERA / B. Tejo Premono dan C. Andriyani Prasetyawati. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 77-84 , 2006 Pembangunan hutan tanaman yang tujuan utama untuk menutupi defisit kebutuhan kayu yang semakin besar hanya dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas tegakan yang dihasilkan. Penggunaan tanaman jenis eksotik telah banyak dilakukan selama ini. Banyaknya perusahaan hutan tanaman yang menggunakan jenis eksotik ini menyebabkan jenis lokal yang unggul mulai terpinggirkan. Tanaman jenis eksotik ini mempunyai kelemahan, adanya penundaan perkembangan penyakit yang telah dibawa dari daerah asal. Pada awalnya gejala ini tidak akan nampak namun akan mningkatkan riap tegakan yang dihasilkan. Dilain pihak banyak tanaman jenis lokal potensial untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman karena jenis lokal

Temperature and Storage Duration of Mycorrizae Tablet to Growth of Red Meranti Cuttings)/ R. Mulyana Oman. -- Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman : Vol.3, No.2 ; Halaman 129 - 138 , 2006

Pengaruh suhu dan lama penyimpanan tablet mikoriza telah dilaksanakan di Laboratorium dan rumah kaca Loka Litbang Satwa Primata, Samboja Kalimantan Timur. Tujuan dari percobaan adalah untuk mendapatkan informasi suhu dan lama penyimpanan optimal untuk produksi penyediaan tanaman stek yang berkualitas di persemaian. Perlakuan dalam percobaan ini 2 suhu dan 6 lama penyimpanan. Rancangan percobaan yang digunakan faktorial dalam pola acak lengkap dengan ulangan sebanyak 3 kali. Hasil menunjukkan bahwa lama penyimpanan tablet selama 3 bulan di kedua suhu yang berbeda (4C dan 20C) telah memberikan pengaruh yang nyata terhadap persen hidup (90%), pertumbuhan tinggi (5 cm), jumlah daun (5 helai), berat kering (0,28 gr) dan persentase kolonisasi akar stek bermikoriza S. parvifolia (88%) dibandingkan dengan lama penyimpanan lainnya setelah 6 bulan pengamatan. Suhu dan interaksi antara suhu dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup, pertumbuhan tinggi, jumlah daun, berat kering dan persen kolonisasi akar stek S. parvifolia. Dengan demikian untuk S. parvifolia yang berkualitas di rencana dan strategi penyediaan stek persemaian direkomendasikan tablet mikoriza dapat disimpan optimal selama 3 bulan pada suhu 4C atau 20C masih dapat diinokulasikan pada stek S.

parvifolia

Kata kunci:

Meranti merah, Shorea parvofolia, Stek, Suhu, Tablet mikoriza, waktu penyimpanan

120

telah banyak dikenal oleh masyarakat, mempunyai data adaptasi yang lebih baik dengan kondisi alami tempat tumbuhnya selain menghasilkan kayu jenis lokal juga menghasilkan produk non kayu seperti getah. Yang menjadi utama perlu adanya pemuliaan tanaman jenis lokal untuk meningkatkan riap pertumbuhan sebagai syarat dalam pembangunan hutan tanaman. Riap yang tinggi, cepat tumbuh dan mampu beradaptasi dengan lingkungan merupakan faktor penting dalam membangun hutan tanaman. Kata kunci: Pembangunan hutan tanaman, Jenis eksotik, Jenis lokal potensial, Pemuliaan Premono, B. Tejo HASIL HUTAN NON KAYU (HHNK) HUTAN RAKYAT, PERLUKAH DIBERI SERTIFIKAT: ANTARA KELESTARIAN HUTAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT / B. Tejo Premono. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 103-110 , 2006 Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) sebagai hasil sampingan dari hutan (side product) yang dapat berasal dari bagian pohon baik berupa getah, kulit, daun maupun hasil hutan lainnya seperti rotan dan bambu. Dari segi pemanenan HHNK lebih menjamin adanya pengelolaan hutan yang lestari (sustainable Foret Management) karena sistem pemanenannya yang hanya mengambil bagian dari pohon melalui penyadapan sehingga tidak mempunyai dampak yang berarti terhadap kondisi ekologi dan lingkungan. Dalam pengembangan hutan model Agroforesty di Krui Lampung Timur dengan tanaman damar mata kucing (Shorea javanica). HHNK ini menjadi penghasil tambahan (side incomes) yang menjanjikan. Namun produksinya cenderung menurun yang disebabkan antara lain harga yang rendah, teknologi yang belum tertata. Dan juga adanya barang subtansi berupa barang sintetik yang menyebabkan daya saing HHNK ini semakin berkurang. Dengan melihat kondisi tersebut maka perlu adanya perlindungan terhadap produsen (petani) dan konsumen (pembeli) yang berupa sertivikasi Hasil Hutan Non Kayu. Sertivikasi ini bertujuan untuk melindungi petani dari banyaknya barang subtitusi (sintetis) yang menyebabkan permintaan terhadap barang yang terus menurun dan pada akhirnya harga HHNK akan turun. Sertifikasi juga bertujuan untuk melindungi kepada

konsumen bahwa barang yang dihasilkan suatu produk adalah baik untuk kesehatan (green market). Kata kunci: Hasil Hutan Non Kayu, Sertifikasi, Kelestarian hutan Prihatini, Istiana PENGGUNAAN PENANDA MIKROSATELIT UNTUK ANALISIS INDUK Acacia mangium Willd (Application of Microsatellitte Marker for Parentage Analysis of Acacia mangium Willd)/ Istiana Prihatini; Taryono; Anto Rimbawanto. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.2 ; Halaman 139 - 148 , 2006 Penanda molekuler diketahui memiliki potensi menggantikan upaya penyerbukan buatan secara manual dalam program pemuliaan. Kebun benih persilangan A. mangium dapat dibangun menggunakan individu-individu terpilih agar penyerbukan terbuka (open pollination) yang terjadi dapat menghasilkan individu unggul. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari penggunaan penanda mikrosatelit bagi pengujian induk A. mangium. Analisis induk dilakukan menggunakan DNA genomik total dari 251 individu sebagai kandidat induk dan 296 individu hasil keturunannya. Reaksi PCR dilakukan menggunakan 15 penanda mikrosatelit (SSR). Genotipa dari semua individu tersebut digunakan untuk menentukan pasangan induk dari setiap keturunan yang diuji. Penelitian yang dilakukan dapat mendeteksi pasangan induk dari 202 individu (68.2%). Kata kunci: Acacia mangium, analisis induk, penanda mikrosatelit, SSR

Priyono, Suryanto PERKEMBANGAN TAJUK POHON JATI BERASAL DARI BIJI, KULTUR JARINGAN DAN STEK PUCUK (Crown Development of Teak from Seedling, Tissue Culture and Shoot Cutting)/ Priyono Suryanto; W.B. Aryono; Moh. Sambas Sabarnurdin. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.1 ; Halaman 35 - 43 , 2006 Pengelolaan hutan, pengguna pohon utama jati mengalami problematika penyediaan benih dan intensifikasi lahan. Program pencarian bahan tanaman

121

jati menghasilkan alternatif pilihan yang berasal dari biji, kultur jaringan dan stek. Ketiga bahan tanaman ini mempunyai karakteristik yang perlu dikaji terutama perkembangan tajuk yang berhubungan denga intensifikasi lahan. Intensifikasi lahan menekankan alternatif manajemen ruang dalam bentuk agroforestri. Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD dengan tiga bahan tanaman (menggunakan variasi 5 pohon plus) dan tiga blok. Plot perlakuan berbentuk bujur sangkar, setiap plot berisi sembilan pohon dengan jarak tanam 6 m x 2 m. Estimasi penutupan tajuk dicapai pada waktu tegakan berumur berurut-urut 12 tahun, 15,2 tahun dan 8,5 tahun bila biji, kultur jaringan dan stek pucuk dipakai sebagai bahan tanaman. Bila persediaan biji bermutu cukup, biji sebagai bahan tanaman adalah pilihan pertama sedangkan apabila persediaan benih terbatas, dua alternatif lainnya dapat digunakan dengan pertimbangan penguasaan teknik dan lebih dari itu, alasan ekonomi. Kata kunci: Perkembangan tajuk, asal bahan tanam, Tectona grandis L.f Rahmat, Mamat STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN PADA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN RAWA GAMBUT, DALAM KAITANNYA DENGAN KELESTARIAN HUTAN / Mamat Rahmat. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 103-110 , 2006 Kemiskinan merupakan salah satu tantangan dalam pembangunan kehutnan di Indonesia. sekitar 10,2 juta orang masyarakat miskin tinggal di dalam hutan dan sekitar 6 juta orang masyarakat desa sekitar hutan memperoleh sumber penghidupannya dari hutan. Kemiskinan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, telah memicu berbagai kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan. Dengan demikian, untuk menjaga kelestarian hutan, pengentasan kemiskinan adalah upaya vital. Dalam makalah ini digambarkan beberapa strategi pengentasan kemiskinan, yang didasarkan pada karakteristik masyarakat miskin di dalam dan sekitar hutan. Diusulkan tiga strategi pengentasan kemiskinan pada masyarakat di sekitar hutan rawa gambut di Sumatera Selatan, diantaranya adalah melalui pemberian insentif, pembangunan infrastruktur dan pengembangan usaha ekonomi produktif. Kata kunci: Kemiskinan, Pengentasan kemiskinan, kelestarian, Hutan rawa gambut

Rimbawanto, Anto KERAGAMAN GENETIK EMPAT POPULASI Intsia bijuga BERDASARKAN PENANDA RAPD DAN IMPLIKASINYA BAGI PROGRAM KONSERVASI BAGI PROGRAM KONSERVASI GENETIK (Genetic diversity of Four Populations of Intsia bijuga Revealed by RAPD Markers and Its Anto Implications for Genetic Conservation Programme)/ Rimbawanto; AYPBC Widyatmoko. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.3 ; Halaman 149 - 154 , 2006 Intsia bijuga atau merbau merupakan jenis kayu bernilai ekonomi tinggi dan telah mengalami eksploitasi yang intensif. Penelitian ini bertujuan mempelajari kaeragaman genetik populasi merbau guna membantu penyusunan strategi konservasi genetik, dengan menggunakan penanda RAPD. Sampel daun dikumpulkan dari 4 populasi dan dianalisa menggunakan 15 primer RAPD yang menghasilkan 77 lokus polimorfik. Rata-rata lokus polimorfik per primer adalah 5,1. Nilai keragaman genetik rerata dalam populasi sebesasar 0,296 sedangkan keragaman antara populasi 0,141. Analisis klaster membagi keempat populasi menjadi dua kelompok populasi yaitu Carita dan Manokwari pada kelompok pertama, sedangkan kelompok kedua terdiri dari populasi Ternate dan Nabire. Pembagian kelompok antara Manokwari dan Naabire lebih memperjelas pembagian Papua menjadi 6 wilayah geogenetik. Kata kunci: Intsia bijuga, Keragaman genetik, Penanda RAPD Rimbawanto, Anto DISTRIBUSI KERAGAMAN GENETIK POPULASI Santalum album BERDASARKAN PENANDA RAPD (Genetic Diversity and Its Distribution of Santalum album Populations Revealed by RAPD Markers) / Anto Rimbawantao; AYPBC Widyatmoko dan Purnamila Sulistyowati. -Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.3 ; Halaman 175 - 181 , 2006 Santalum album atau yang dikenal dengan nama cendana merupakan jenis kayu bernilai tinggi dan telah mengalami degradasi sumber genetik yang serius. Jenis ini merupakan tanaman asli Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik dan hubungan kekerabatan populasi Santalum album untuk mendukung program konservasi dan pemuliaan jenis tersebut. Sampel daun dikumpulkan dari 17 populasi dan dianalisa

122

menggunakan 17 primer RAPD yang menghasilkan 34 lokus polimorfik. Ratarata lokus polimorfik per primer adalah 2. Nilai rata-rata keragaman genetik dalam populasi sebesar 0,391 sedangkan keragaman antara populasi 0,038. Analisis klaster membagi 17 populasi menjadi dua kelompok besar. Secara umum pembagian kelompok tidak memperlihatkan hubungannya dengan jarak geografis, tetapi populasi-populasi yang berdekatan mempunyai kecenderungan untuk membentuk satu sub-kelompok. Kata kunci: Keragaman genetik, Konservasi, RAPD, Santalum album Rimbawanto, Anto KERAGAMAN POPULASI Eusideroxylon zwageri KALIMANTAN TIMUR Diversity of BERDASARKAN PENANDA RAPD (Population Eusideroxylon zwageri in East Kalimantan Revealed by RAPD Markers) / Anto Rimbawanto; AYPBC Widyatmoko; Harkingto. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.3 ; Halaman 201 - 208 , 2006 Euderoxylon zwageri atau ulin adalah kayu bernilai ekonomi tinggi dan telah mengalami eksploitasi yang intensif sehingga keberadaan tegakan ulin di hutan alam semakin langka. Penelitian ini bertujuan mempelajari keragaman genetik populasi ulin di Kalimantan Timur guna membantu program konservasi genetik, dengan menggunakan penanda RAPD. Sampel daun dikumpulkan dari 5 populasi dan dianalisa menggunakan 19 primer RAPD yang menghasilkan 48 lokus polimorfik. Nilai keragaman genetik rerrata dalam populasi sebesar 0,3564 sedangkan keragaman antara populasi 0,0415. Analisi AMOVA menunjukkan bahwa 96 persen dari keragaman genetik terdapat di dalam populasi, sedang sisanya ada di antara populasi. Analisis klaster menghasilkan dua kelompok populasi yaitu TN Kutai, Meratus, S. Wain dan Semboja, sedang populasi Lempake satu kelompok tersendiri.

Rimbawanto, Anto KERAGAMAN GENETIK DAN KETAHANAN HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN / Anto Rimbawanto. -- Prosiding Ekspose/Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman, Jakarta 23 Nopember 2006 ; Halaman 15-20 , 2006 Persoalan ancaman hama dan penyakit pada hutan tanaman telah menjadi isu nyata yang dihadapi oleh banyak negara yang mengembangkan hutan tanaman dalam skala luas. Dalam sepuluh tahun terakhir luas hutan tanaman di Asia meningkat dari 46 juta ha pada tahun 1990 menjadi lebih dari 65 juta ha di tahun 2005 (FAO 2005). Di Indonesia, hingga tahun 2004 telah dibangun hutan tanaman untuk pulp seluas 2.500.966 ha dan untuk kayu pertukangan 865.256 ha (Ditjen BPK, 2005). Dari jumlah itu sebagian besar didominasi oleh tanaman Acacia mangium yang sesuai untuk tanah-tanah mineral, sedangkan untuk tanah gambut ditanam A.crassicarpa. Disamping hutan tanaman industri di atas yang sebagian besar tersebar di Sumatera dan Kalimantan, hutan tanaman rakyat juga berkembang dengan pesat. Dari sekitar 1.5 juta ha hutan tanaman rakyat, sebagian besar didominasi oleh jenis jati dan sengon (Ditjen RLPS, 2005). Hamparan hutan tanaman satu jenis yang luas tersebut tentu saja merupakan sumber pohon inang yang sesuai bagi berkembangnya hama dan penyakit tanaman. Dalam beberapa tahun terakhir ini serangan hama pada penyakit pada hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat telah mencapai tingkatan yang merugikan secara ekonomi. Sebagai contoh penyakit busuk akar (root rot) yang menyerang A. mangium, dan karat puru (gall rust) pada sengon. Secara alamiah tanaman telah mempunyai cara mempertahankan diri dari serangan hama dan penyakit. Disisi lain hama dan penyakit juga mempunyai sistem penyerangan yang sesungguhnya merupakan cara mempertahankan diri untuk hidup dan berkembang. Memahami mekanisme sistem pertahanan diri tanaman, yang dikendalikan oleh faktor genetik dan interaksinya dengan sistem biologi hama dan penyakit merupakan kunci keberhasilan pengendalian dan pengelolaan ancaman tersebut. Kata kunci: Genetik, Hama, Penyakit

123

Rimbawanto, Anto SERTIFIKASI BENIH: UPAYA MENJAMIN MUTU BENIH DAN MUTU TEGAKAN YANG DIHASILKANNYA / Anto Rimbawanto. -- Prosiding Pertemuan Forum Komunikasi Jati V, Yogyakarta 12 April 2006 : Halaman 17-19 , 2006 Seiring dengan meningkatnya pembangunan hutan tanaman, baik untuk tujuan hutan industri, hutan rakyat, maupun upaya rehabilitasi lahan kritis, kebutuhan akan benih berbagai jenis tanaman juga meningkat. Perkembangan pembangunan hutan tanaman industri yang pesat telah menumbuhkan kesadaran pengguna benih akan pentingnya mutu genetik benih. Hal ini sejalan dengan keberhasilan program pemuliaan pohon jenis-jenis cepat tumbuh meningkatkan riap volume tegakan yang menggunakan benih unggul hasil pemuliaan. Penggunaan benih bermutu genetik tinggi tidak dapat dipisahkan dengan mutu tegakan yang dihasilkan. Pembangunan hutan tanaman di berbagai negara termasuk pembangunan HTI di Indonesia membuktikan bahwa benih genetik unggul (genetically superior seeds) hasil pemuliaan dapat melipatgandakan pertumbuhan dan mutu tegakan. Pohon dengan batang yang lurus, bebas cabang yang tinggi serta riap yang tinggi merupakan bukti keberhasilan pemuliaan pohon dalam meningkatkan mutu genetik tanaman. Benih unggul adalah investasi jangka panjang yang dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar. Data dari beberapa perusahaan HTI menunjukan bahwa pengadaan benih unggul Acacia mangium hanya mengambil 4 persen dari total biaya pembangunan tanaman. Namun dampak ekonomi dari investasi kecil itu dapat berupa peningkatan riap volume antara 20 persen - 30 persen pada akhir daur. Oleh karena itu untuk memberikan jaminan akan kebenaran mutu genetik sumber benih maka diperlukan sertifikat yang memberikan perlindungan hukum terhadap produsen dan konsumen benih. Kebutuhan akan sertifikasi benih akhir-akhir ini terasa meningkat sebagai konsekuensi dari diberlakukannya penerapan harga bibit oleh pemerintah berdasarkan asal sumber benihnya untuk program pengadaan bibit Gerhan. Peningkatan ini tidak dapar serta merta dihubungkan dengan meningkatnya pemahaman publik terhadap benih bersertifikat, namun lebih dikarenakan oleh pertimbangan ekonomis semata. Kata kunci: Jati, Sertivikasi benih, Mutu benih, Mutu tegakan, benih jati

Rimbawanto, Anto BUSUK HATI DI HUTAN TANAMAN: LATAR BELAKANG DAN PROYEK ACIAR / Anto Rimbawanto. -- Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia, 2006 : Halaman 14-19 , 2006 Dalam dasa warsa terakhir peneliti dari Australia dan negara-negara Asia Tenggara telah menyelesaikan serangkaian penelitian bersama dalam bidang patologi hutan. Ahli-ahli patologi dan pemuliaan pohon dari CSIRO telah menjalin kerjasama dengan para peneliti dari lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia dan lima negara lainnya di Asia Tenggara dengan dukungan ACIAR dan CIFOR. Salah satu proyek yang paling berhasil adalah survei tentang penyakit pada akasia tropis yang dilakukan pada tahun 1995-1996 termasuk lokakarya di Subanjeriji. Salah satu hasil penting dari lokakarya itu adalah diterbitkannya buku ""A Manual of Diseases of Tropical Acacias in Australia, South East Asia and India"" (Old et al. 2000). Salah satu penyakit penting yang dibahas dalam pertemuan itu adalah busuk hati pada Acacia mangium. Permintaan akan kayu baik untuk keperluan pasar dalam negeri maupun international terus meningkat dan pemerintah telah menetapkan program pembangunan hutan tanaman untuk menjamin kelangsungan pasokan kayu. Sejak pertengahan tahun 1980an terjadi peningkatan luas hutan tanaman, khususnya rotasi pendek yang sangat signifikan. Program pembangunan hutan tanaman mentargetkan pembangunan hutan seluas 2.3 juta ha pada akhir tahun 2000 dan 10.5 juta ha pada akhir tahun 2030. Program pembangunan hutan tanaman pada saat ini diarahkan untuk menghasilkan bahan baku kayu untuk industri pulp dan kertas dan MDF. Ketersediaan benih unggul ditenggarai sebagai salah satu faktor utama bagi keberhasilan pembangunan hutan tanaman ini. Hutan tanaman jenis cepat tumbuh sangatlah penting bagi ekonomi negara-negara di Asia Pasifik termasuk Indonesia dan Australia. Jenis utama hutan tanaman di Indonesia adalah Acacia mangium yang juga rentan terhadap serangan busuk hati. Jika masalah penyakit busuk hati ini tidak ditanggulangi secara tepat maka keunggulan genetik sebagai hasil pemuliaan tidak akan dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan produktivitas dan nilai ekonomi. Kepentingan petani kecil dalam system tumpangsari juga perlu diperhitungkan agar mereka juga dapat memperoleh keuntungan ekonomi. Kata kunci: Acacia mangium, Busuk hati, Hutan tanaman, ACIAR

124

Santoso, Budi VARIASI PERTUMBUHAN JATI MUNA HASIL OKULASI (Growth Variation of Bud Grafting of Muna Teak)/ Budi Santoso; Bintarto Wahyu Wardani. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.3 ; Halaman 165 - 173 , 2006 Penelitian keberhasilan okulasi pohon induk jati Muna (Tectona grandis L.) bertujuan untuk mengetahui persentase keberhasilan okulasi, pertumbuhan tinggi dan diameter semai hasil okulasi pohon induk jati Muna. Kegiatan penelitian okulasi jati dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap, dengan pohon induk jati sebagai perlakuan. Jumlah pohon induk yang diokulasi sebanyak 60 dan setiap pohon induk dibuat 75 ulangan. Lokasi penelitian di persemaian PT. Fajar Agribisnis, Maroangin Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Data pengamatan meliputi persen tumbuh dan pertumbuhan awal pertanaman. Persen jadi okulasi hanya mencapai 35,53 persen. Pertumbuhan tinggi dan diameter pada tingkat semai dari propagul keturunan pohon induk jati terjadi variasi antar pohon induk. Pertumbuhan tinggi terjadi variasi antar semai keturunan pohon induk dan pertumbuhan tertinggi mencapai 40,35 cm dan terendah 10,50 cm, sedang pertumbuhan diameter tingkat semai dari keturunan pohon induk terbesar 7,40 mm dan terendah 3,85 mm. Persen hidup di lapangan semai dari keturunan pohon induk jati cukup tinggi mencapai kisaran 95 persen - 100 persen. Kata kunci: Jati Muna, Okulasi, Pohon induk, Tectona grandis L. Santoso, Budi PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS BENIH JATI MUNA / Budi Santoso. -Prosiding Pertemuan Forum Komunikasi Jati V, Yogyakarta 12 April 2006 : Halaman 49-56 , 2006 Tujuan penelitian ini untuk mengetahui produktivitas buah jati Muna per pohon, mengetahui variasi kualitas benih dan menentukan persen perkecambahan benih jati Muna dari berbagai sumber benih dan periode pemanenan buah. Penelitian ini dilaksanakan di hutan jati Muna, Sulawesi Tenggara dan persemaiannya dilaksanakan di green house Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Penelitian variasi kualitas benih menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan faktor pertama adalah sumber benih dan faktor kedua adalah periode pemanenan. Hasil

penelitian ini menunjukan bahwa produktivitas buah jati Muna mencapai 1,588 kg/pohon, sumber benih tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap persen perkecambahan, sedangkan periode pemanenan berpengaruh terhadap persen perkecambahan. Persen perkecambahan terbaik diperoleh dari benih yang dikumpulkan pada bulan September. Pemanenan buah pada tegakan jati yang dilaksanakan pada bulan September menghasilkan persen perkecambahan rata-rata 45,07 persen. Variasi ukuran buah jati muna digolongkan 10 persen ukuran kecil, 65 persen ukuran sedang dan 25 persen ukuran besar. Kata kunci: Jati, Tectona grandis, Benih, Jati muna, Pemanenan, Sumber benih Santoso, Budi KUALITAS SEMAI DAN PERTUMBUHAN BIBIT JATI MUNA DARI KEBUN PANGKAS / Budi Santoso. -- Prosiding Pertemuan Forum Komunikasi Jati V, Yogyakarta 12 April 2006 : Halaman 57-61 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas stek tiap klon dari pangkas jati Muna di Malili, kualitas semai dari stek kebun pangkas jati Muna dan pertumbuhan bibit asal kebun pangkas. Penelitian dilakukan di Stasiun Penelitian dan Uji Coba Malili Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan. Lokasi terletak pada ketinggian 100 m dpl. Curah hujan rata-rata tahunan 2.140 mm, jenis tanah termasuk famili Rhodic Hapludoxs, lempungan, ferririk, isohipertermik. Hasil penelitian menunjukan bahwa rerata produksi stek di kebun pangkas tanaman jati Muna di Malili yang dapat dihasilkan perpohon mencapai 17,5 stek. Rerata pertumbuhan semai yang berasal dari biji umur tiga bulan tingginya mencapai mencapai 27,97 cm, diameter 7,33 mm dan jumlah daun 6 helai, sedangkan yang berasal dari stek, tinggi semai dapat mencapai 37,73 cm, diameter 5,86 mm dan jumlah daun 6 helai. Kualitas semai baik bibit jati Muna asal biji dan stek dari kebun pangkas baik untuk ditanam. Indeks kualitas semai bibit yang berasal dari biji 0,52 sedang dari stek 0,22. Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman jati Muna umur 4 bulan di lapangan yang tertinggi (34,13 cm) besar (8,45 mm) berasal dari generatif. Kata kunci: Jati, Tectona grandis, Jati muna, Kebun pangkas

125

Height on Seedling Stock and IBA Concentrations on the Growth of Breadfruit Shoot Cuttings) / Dedi Setiadi, Hamdan A. Adinugraha dan
Hidayat Moko. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, Suplement No.1 ; Halaman 223-231 , 2006

Setiadi, Dedi PENGARUH TINGGI PANGKASAN PADA BIBIT DAN KONSENTRASI IBA TERHADAP PERTUMBUHAN STEK PUCUK SUKUN (Effect of Hedging

Sukun (A. altilis) merupakan salah satu jenis tanaman hutan rakyat yang menghasilkan buah dengan kandungan karbohidrat tinggi, di mana perbanyakan tanaman ini biasa dilakukan secara vegetatif dengan stek akar. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh tinggi pangkasan bibit sukun dan konsentrasi IBA dilakukan di Pusat Litbang Hutan Tanaman, sejak April sampai September 2005. Penelitian dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dengan menguji 2 faktor, faktor pertama adalah tinggi pangkasan bibit (P) yaitu: PI = 20 cm, P2 = 30 cm, P3 = 40 cm dan P4 = 50 cm, sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi IBA (H), yaitu : HO = tanpa IBA (kontrol), HI = 1250 ppm, H2 = 2500 ppm dan H3 = 3750 ppm, dengan 3 kali ulangan dengan setiap unit percobaan terdiri atas 5 stek pucuk. Parameter yang diamati meliputi persentase stek hidup, persentase stek bertunas, tinggi tunas, persentase stek berakar dan jumlah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi pangkasan dan IBA berpengaruh terhadap keberhasilan stek pucuk sukun, tinggi pangkasan bibit 30 cm dan konsentrasi IBA 1250 ppm memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap persentase hidup, persentase bertunas, tinggi tunas, persentase berakar dan jumlah akar. Kata kunci: Bibit, IBA, konsentrasi, pangkasan, sukun. Setiadi, Dedi PRODUKTIVITAS TRUBUSAN STEK AKAR SUKUN DARI BEBERAPA POPULASI DI JAWA DAN MADURA (Sprouting Productivity of Bread Fruit Root Cuttings from Several Populations in Java and Madura) / Dedi Setiadi; Hamdan Adma Adinugraha; Prastyono. -- Wana Benih : Vol.7, No.1 ; Halaman 29 - 36 , 2006 Tanaman Sukun (Artocarpus artilis Forsbeg) merupakan tanaman serbaguna yang biasa ditanam di ladang/pekarangan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan bibit sukun dari empat populasi yang berasal dari

Jawa Timur yaitu : Kediri dan Madura serta dari Jawa Barat yaitu: Lebak/Banten dan Sukabumi. Parameter yang diamati meliputi jumlah trubusan, jumlah daun, panjang trubusan, diameter trubusan dan kekokohan bibit. Penelitian ini dirancang dalam pola rancangan acak lengkap, setiap sumber populasi terdiri 5 ulangan masing-masing 10 bibit untuk parameter yang diamati. Pengamatan dilakukan pada umur bibit 5 bulan setelah penyapihan. Hasil pengamatan menunjukkan perbedaan yang nyata antar sumber populasi untuk parameter jumlah trubusan, jumlah daun, dan kekokohan bibit sedangkan untuk parat\meter panjang trubusan dan diameter trubusan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Bibit hasil koleksi dari populasi Kediri (Jawa Timur) menunjukkan kualitas yang paling baik dibandingkan dengan yang lainnya Kata kunci: Produktivitas trubusan, Sukun, Sumber populasi Setijono, Djoko PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT PADA DESA-DESA LAHAN RAWA GAMBUT SEBAGAI BAGIAN PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN YANG BERBASIS MASYARAKAT / Djoko Setijono. -Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 51-55 , 2006 Pada bencana kebakaran besar akibat fenomena El nino tahun 1997 yang lalu, Provinsi Sumatera Selatan termasuk salah satu provinsi yang mengalami kebakaran hutan dan lahan yang sangat parah, khusunya pada daerah lahan rawa gambut. Berdasar profil lingkungan hidup kawasan pantai timur Sumatera Selatan (Tim PPLH UNSRI, 1992) dinyatakan bahwa kawasan rawa gambut di daerah tersebut mempunyai potensi alami yang tinggi, baik potensi fisik, kimia maupun biotik, tidak mengherankan bila daerah ini menjadi sasaran pembangunan. Mengingat fungsinya yang penting tersebut, maka upaya untuk melestarikan ekosistem kawasan tersebut merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada kawasan lahan rawa gambutdengan segala keterbatasan yang ada, kiranya tanpa kesaradan dan peran aktif masyarakat desa-desa setempat akan sulit dilakukan apabila hanya mengandalkn kepada regu-regu pemadam kebakaran hutan dan lahan yang terkonsentrasi di kota. Oleh sebab itu, SSFFMP berpendapat pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang baik adalah dengan upaya pencegahan dan pemadaman dini, dengan peningkatan kesadaran dan peran serta seluruh masyarakat, baik pria maupun wanita dibantu oleh segenap stakeholders yang

126

terkait, bagi desa-desa di sekitar kawasan hutan dan lahan. Masyarakat akan dengan senang hati melaksanakan pencegahan kebakaran apabila hal tersebut menguntungkan/meningkatkn pendapatannya dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupannya. Berangkat dari pola pemikiran tersebut di atas, SSFFMP mengembangkan konsep pengelolaan kebakaran hutan dan lahan yang berbasis masyarakat pada tingkat desa di Sumatera Selatan Kata kunci: Pendapatan, Masyarakat, Lahan rawa gambut, Kebakaran hutan Siswoyo, Hadi PENGALAMAN PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT PADA Acacia mangium DI HUTAN TANAMAN SEMARAS DAN Shorea polyandra DI PETAK UJI COBA PENANAMAN MERANTI DI PULAU LAUT UTARA, PT INHUTANI II, KALIMANTAN SELATAN / Hadi Siswoyo, Winarto dan Rosilawati. -- Prosiding Ekspose/Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman, Jakarta 23 Nopember 2006 ; Halaman 55-58 , 2006 Usaha dibidang kehutanan memerlukan waktu yang lama. Selama masa pembangunan banyak sekali peluang terjadinya gangguan, antara lain serangan hama dan penyakit tanaman. Setiap gangguan akan memberikan dampak negatif terhadap kualitas dan kuantitas hutan yang dibangun. Lain halnya dengan sektor pertanian yang berumur pendek apabila terjadi gangguan, tindakan yang dilakukan dapat lebih tegas: dibongkar atau diteruskan. Sedang pada usaha kehutanan gannguan terebut akan terbawa sampai akhir daur, sehingga setiap bentuk gangguan memerlukan pertimbangan tindakan bijaksana, karena hal ini menyangkut perhitungan untung rugi dalam jangka panjang. Semestinya dalam dunia kehutanan konsistensi perhatian harus lebih besar dibandingkan dengan sektor pertanian ditunjau dari panjang daur. Setiap bentuk kelengahan dalam pembangunan tanaman hutan yang dapat menyebabkan tanaman rusak oleh hama dan penyakit maka pengaruhnya akan dibawa sampai hasil akhir. Dilain pihak waktu yang diperlukan cukup lama dan biaya yang dikeluarkan sudah cukup besar. Jika akan dilakukan pembongkaran maka akn memulai dari awal lagi. Seiring dengan penurunan potensi hutan alam Indonesia membuat para pengusaha kehutanan mulai untuk mencoba pembuatan hutan tanaman, antara lain PT Inhutani II mencoba membangun hutan tanaman jenis fast growing jenis A. mangium dimulai tahun 1985 di Semaras, P. Laut Kalimantan Selatan, sedangkan jenis daur panjang diuji

cobakan membuat hutan tanaman meranti jenis meranti putih (S. polyandra) skala kecil yang dibuat pada tahun 1976 di area P. Laut Utara Kalimantan Selatan. Kata kunci: Hama, penyakit, Acacia mangium, Hutan tanaman Semaras, Shorea polyandra, Meranti, Pulau Laut Utara, PT Inhutani II, Kalimantan Selatan Sofyan, Agus TEKNIK PEMBIBITAN TEMBESU / Agus Sofyan, Mamat Rahmat dan Kusdi. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 15-19 , 2006 Jenis lokal telah menjadi prioritas dalam rangka memilih jenis pohon untuk merehabilitasi lahan kritis. Salah satu kendala yang dihadapi adalah minimnya informasi tentang teknik budidaya mulai dari tahap pembibitan hingga penanaman serta pemeliharaan di lapangan. Tulisan ini menyajikan teknik pembibitan tembesu yang merupakan salah satu jenis lokal di Sumatera Selatan. Pembibitan tembesu dapat dilakukan secara generatif maupun secara vegetatif. Pembibitan generatif yaitu pembiitan dengan menggunakan benih/biji, sedangkan pembibitan vegetatif menggunakan bahan yang berasal dari bibit (seedling) maupun trubusan alam. Kata kunci: Tembesu, Pembibitan Sofyan, Agus PERTUMBUHAN TANAMAN JATI (Tectona grandis Linn.) PADA BEBERAPA DAERAH DI SUMATERA SELATAN / Agus Sofyan [et.al] . -Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 55-60 , 2006 Jati merupakan salah satu jenis tanaman yang cukup banyak diminati masyarakat, hal ini tergambar dari begitu banyaknya permintaan jenis ini dalam program kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk di Sumatera Selatan.

127

Mengingat bahwa jati bukan tanaman asli Sumatera (jenis eksot), maka kajian atau penelitian mengenai kelayakan pengembangan dan penanaman jati di wilayah ini sangat penting, karena kegiatan ini menyangkut investasi serta harapan hasil yang sangat besar. Untuk mengetahui tentang prospek pengembangan jati di wilayah Sumatera Selatan, telah dilakukan penelitian mengenai kelas kesesuain lahan yang menyangkut berbagai persyaratan tumbuh jati pada tiga belas lokasi di tiga (3) Kabupaten yaitu Banyu Asin, Ogan Komering Ilir dan Ogan Komering Ulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sebagain besar lokasi yang diteliti terdapat kendala utama yang menghambat pertumbuhan jati secara permanen, yaitu tingkat kemasaman tanah yang rendah serta kedalaman solum yang dangkal, sehingga jati tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Namun demikian pada lokasi tertentu di mana tingkat kemasan tanah serta kedalaman efektif terpenuhi, tanaman jati ternyata dapat tumbuh dan berkembang dengan cukup baik di wilayah ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi lahan pada lokasilokasi penelitian kurang sesuai untuk pengembangan tanaman jati. Kata kunci: Jati, Tectona grandis Linn, Sumatera Selatan, Pertumbuhan, Kesesuaian lahan

Sofyan, Agus FAKTOR-FAKTOR PEMBATAS PERTUMBUHAN TANAMAN JATI DI SUMATERA SELATAN / Agus Sofyan dan Mamat Rahmat. -- Prosiding Pertemuan Forum Komunikasi Jati V, Yogyakarta 12 April 2006 : Halaman 29-33 , 2006 Penanaman jati oleh masyarakat khususnya di Sumatera Selatan, seringkali tidak memperhatikan kesesuaian lahan. Tidak jarang ditemui tanaman mengalami mati pucuk pada tahun kedua dan ketiga. Faktor lingkungan (edafis dan klimatis) sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman jati. Evaluasi kesesuaian tempat tumbuh penting dilakukan di Sumatera Selatan, untuk mengetahui daerah-daerah yang relatif cocok untuk penanaman jati. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan BPPHT Palembang, dapat diketahui bahwa pada beberapa daerah di Sumsel, tanaman jati tidak sesuai. Tingkat kemasaman tanah (pH), drainase dan kedalaman solum merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman jati yang ditemukan pada lokasi penelitian. Kata kunci: Jati, Tectona grandis, Kesesuaian lahan, Sumatera Selatan, Faktor pembatas Sugiarto, Bambang SOSIALISASI CORE RESEARCH BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN PALEMBANG / Bambang Sugiarto dan Triwilaida. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 1-14 , 2006 Keberhasilan pembangunan dan kelestarian hutan tanaman antara lain memerlukan dukungan IPTEK yang tepat pada semua tahapan, mulai dari perencanaan hingga pemanenan serta kondisi masyarakat sekitar hutan yang mendukung. Berkembangnya pembangunan hutan tanaman, tingginya laju degradasi hutan dan lahan, permasalahan sosial masyarakat hutan, kebijakan pemerintah daerah bidang kehutanan yang mendukung serta kondisi internal seperti ketersediaan sumberdaya manusia dan sarana prasarana litbang. Balai Litbang Hutan Tanaman IBB memfokuskan penelitian di bidang pembangunan dan pengelolaan hutan tanman, rehabilitasi hutan dan lahan kritis serta pembangunan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan.

Sofyan, Agus PENGARUH TEKNIK PENYIANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN JATI DI KEMAMPO, SUMATERA SELATAN / Agus Sofyan [et.al] . -- Prosiding Pertemuan Forum Komunikasi Jati V, Yogyakarta 12 April 2006 : Halaman 23-28 , 2006 Tulisan ini berisi tentang hasil penelitian teknik penyiangan tanaman jati (Tectona grandis Linn.) dalam rangka mencari teknik penyiangan tanaman jati yang paling optimal. Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Penelitian dilakukan sejak tanaman berumur 1 tahun hingga umur 3 tahun. Metode penelitian yang dilakukan adalah rancangan acak kelompok dengan 3 blok, 4 perlakuan dan 20 tree plot per unit perlakuan. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan penyiangan total chemis menunjukan pertumbuhan diameter dan tinggi yang lebih besar pada saat tanaman berumur 3 tahun. Kata kunci: Jati, Tectona grandis, Penyiangan, Kemampo, Sumatera Selatan

128

Kata kunci: Core research, Hutan tanaman, Lahan kritis, Palembang Suhartati PENGARUH DOSIS PUPUK DAN ASAL BIBIT TERHADAP PERTUMBUHAN JATI (The Effect Fertilizer's Dosage and Seedling Process on the Growth of Teak)/ Suhartati; Nursyamsi. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.3 ; Halaman 193 - 200 , 2006 Penanaman jati pada tanah-tanah yang kurang subur perlu didukung silvikultur intensif seperti teknik pemeliharaan antara lain dengan pemberian pupuk. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Malili, Sulawesi Selatan, pada bulan Oktober 2004. Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan pada umur 20 bulan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asal bibit yang pertumbuhannya paling baik, serta tingkat dosis pupuk yang efektif untuk petumbuhan yang optimal di lapangan. Penelitian ini dirancang dengan pola Split Plot, dengan petak utama adalah asal bibit dan anak petak adalah dosis pupuk NPK. Petak utama terdiri atas tiga asal bibit jati Muna, dan jati super, sedangkan anak petak terdiri atas 4 taraf dosis pupuk, yaitu 50 gr, 100gr, 150 gr, dan kontrol (tanpa pupuk). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit jati muna dan jati super memiliki penampilan pertumbuhan lebih baik dibanding bibit asal biji, sedangkan dosis 100 gr adalah dosis pupuk yang optimal untuk pertumbuhan tanaman jati pada umur 20 bulan di lapangan. Kata kunci: Jati, Jati muna, Jati super, Silvikultur intensif Sumadi, Agus PEMODELAN PENDUGA VOLUME POHON PULAI DARAT (Estimation Modelling of Pulai Darat Tree Volume) / Agus Sumadi; Fatahul Azwar; Joni Muara. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.2 ; Halaman 73 - 81 , 2006 Model penduga volume pohon jenis pulai darat (Alstonia angustiloba) yang dikembangkan PT. X Indah Pratama yang berlokasi di Kabupaten Musi Rawas Propinsi Sumatera Selatan disusun berdasar satu peubah bebas diameter serta dengan dua peubah bebas diameter dan tinggi pohon. Pemili model terbaik berdasarkan pemberian peringkat terhadap nilai koefisien determinasi (determinai coeficient = R2), galat baku (standard error = Se), simpangan rata-

rata (mean deviation = SR) simpangan agregatif (agregatif'deviation = SA). Model penduga pohon terbaik berdasarkan satu peubah bebas diameter adalah persamaan V = 0.0795 - 0.0127 D + 0.000751 D2 dengan nilai R2 (94.80%) (3.11%), SR (1.91%) dan nilai SA (0.02%). Model penduga volume pohon terbaik berdasarkan peubah bebas diameter dan tinggi pohon adalah persamaan V = - 0.0769 + 0.0093 H + 0.00885 0.000102 D2 + 0.000045 D^ 0.00100 DH dengan mlai R2 (96.30%), Se (2.69%), SR (1.49%) nilai SA (0,33%). Model penduga volume pohon dengan dua peubah bebas memiliki ketelitian 1 tinggi dengan meningkatkan nilai R2 sebesar 1.5%, menurunkan nilai Se (0.42%), menurunkan SR (0.43 %), tetapi menaikkan nilai SA (0.31%). Kata kunci: Diameter, model, pulai darat (Alsionia angustiloba), tinggi pohon, volume. Sumantoro, Pujo PENGALAMAN DALAM PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT DAN PRAKTEK MANAJEMEN TANAMAN DI PERHUTANI / Pujo Sumantoro dan Sarkoro Doso B. -- Prosiding Ekspose/Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman, Jakarta 23 Nopember 2006 ; Halaman 47-53 , 2006 Perum perhutani mengelola hutan tanaman di Jawa seluas sekitar 2,5 juta hektar yang terdiri dari jenis penunjang industri kayu dan industri non kayu. Jenis-jenis tanaman tersebut antara lain jati (Tectona grandis), pinus (Pinus merkusii), mahoni (Swietenia macrophylla), kayu putih (Melaleuca cajuputi), kesambi (Schleichera aleosa), sengon laut (Paraserienthes falcataria), sono keling (Dalbergia latifolia) dan jenis lainnya dalam skala kecil. Jati dan pinus merupakan dua jenis tanaman yang paling luas ditanam di Jawa.Sejalan dengan program Perhutani Hijau 2010 untuk menghijaukan lahan hutan yang kosong, telah diprogramkan penanaman jenis taman yang paling luas ditanam di Jawa. Sejalan dengan program Perhutani Hijau 2010 untuk menghijaukan lahan hutan yang kosong, telah diprogramkan penanaman jenis fast growing species, antara lain mindi (melia azedarach), mimba (Azadiracha indica), ekaliptus (Eucalyptus pellita), mangium (Acacia mangium). Dari berbagai jenis tanaman hutan tersebut, permasalahan hama penyakit mulai dirasakan sebagai factor yang cukup serius mempengaruhi keberhasilan dan produktivitas hutan tanaman pada beberapa tahun terakhir. Jenis-jenis hama penyakit yang menyerang

129

pertanaman di lapangan tersebut ada yang sudah lama dikenal dan jenis hama/penyakit baru dikenal pada jenis-jenis tanaman hutan. Seiring dengan keluasan area tanaman dan lama daur pengelolaan suatu jenis hutan tanaman, hama penyakit mulai muncul dan berpotensi menimbulkan kerugian yang cukup signifikan. Kata kunci: Hama, Penyakit, Manajemen tanaman, Perhutani Suryanto, Priyono PERKEMBANGAN TAJUK POHON JATI BERASAL DARI BIJI, KULTUR JARINGAN DAN STEK PUCUK (Crown development of teak from seedling, tissue culture and shoot cutting) / Priyono Suryanto, W.B Aryono dan Sambas Sabarnurdin. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.1 ; Halaman 35 - 43 , 2006 Pengelolaan hutan, pengguna pohon utama jati mengalami problematika penyediaan benih dan intensifikasi lahan. Program pencarian bahan tanaman jati menghasilkan alternatif pilihan yang berasal dari biji, kultur jaringan dan stek. Ketiga bahan tanaman ini mempunyai karakteristik yang perlu dikaji terutama perkembangan tajuk yang berhubungan dengan intensifikasi lahan. Intensifikasi lahan menekankan alternatif manajemen ruang dalam bentuk agroforestri. Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD) dengan tiga bahan tanaman (menggunakan variasi 5 pohon plus) dan tiga blok. Plot perlakuan berbentuk bujur sangkar, setiap plot berisi sembilan pohon dengan jarak tanam 6m x 2m. Estimasi penutupan tajuk dicapai pada waktu tegakan berumur berturut-turut 12 tahun, 15,2 tahun dan 8,5 tahun bila biji, kultur jaringan dan stek pucuk dipakai sebagai bahan tanaman. Bila persediaan biji bermutu cukup, biji sebagai bahan tanaman adalah pilihan pertama, sedangkan apabila persediaan benih terbatas, dua alternatif lainnya dapat digunakan dengan pertimbangan penguasaan teknik dan lebih dari itu, alasan ekonomi Kata kunci: Perkembangan tajuk, Asal bahan tanaman, jati, Stek pucuk, Kultur jaringan, Tektona grndis L.f

Taufikurahman MENIMBANG PENGGUNAAN PESTISIDA DALAM PENANGGULANGAN HAMA PENYAKIT TANAMAN HUTAN: TINJAUAN ASPEK MANFAAT DAN RESIKO LINGKUNGAN / Taufikurahman. -- Prosiding Ekspose/Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman, Jakarta 23 Nopember 2006 ; Halaman 29-31 , 2006 Selama ini penggunaan pestisida, baik di luar negeri maupun di Indonesia terutama ditujukan dalam upaya untuk meningkatkan produksi pertanian. Penggunaan pestisida untuk non-agricultural use juga masih terbatas pada upaya pengontrolan vektor penyakit pada manusia yang berkaitan dengan produksi pertanian. Hassal (1990) menyimpulkan bahwa pengontrolan terhadap vektor penyakit malaria, typhus, sakit tidur, yellow fever dan sebagainya. Terkait dengan menurunnya energi penduduk untuk melakukan kerja yang terkait dengan pertanian. Namun demikian sejalan dengan perkembangan jaman, penggunaan pestisida untuk keperluan lain khususnya untuk pemakaian di rumah tangga, gedung, gudang, dan dalam kehutanan mulai mengambil porsi yang semakin signifikan. Sebagai perbandingan, penggunaan pestisida di USA sendiri untuk sektor kehutanan hanya berkisar antara 1 persen - 5 persen dari total penggunaan pestisida. Peruntukan pestisida di Indonesia masih terbatas pada penggunaan di lahan pertanian, perkebunan, dan rumah tangga. Jika berkaitan dengan kehutanan, penggunaan pestisida masih terbatas dalam kaitannya terutama dengan pengawetan kayu sebagai produk hutan. KEPMENTAN TAHUN 2001 yang mengkategorikan bidang penggunaan pestisida meliputi: a) Pengelolaan tumbuhan, b) peternakan, c) perikanan, d) penyimpanan hasil pertanian, e) pengawetan hasil hutan, f) pengendalian faktor penyakit manusia, g) pengendalian rayap, h) rumah tangga, i) fumigasi, j) industri lainnya seperti pada cat, anti pencemaran, dan k) bidang lain. Jadi pestisida dalam kehutanan mungkin masih masuk dalam kategori "bidang lain". Bila kebutuhan pengguna pestisida untuk hutan produksi mulai meningkat, tampaknya pelu dimasukkan kegiatan pestisida untuk kehutanan dengan pengaturannya sendiri. Pestisida yang lazim dipakai dalam pengelolaan tanaman hutan produksi meliputi herbisida, insektisida, fungisida dan rodentisida. Selain itu juga meliputi akarisida, molluscisida, dan larvasida. Dalam PP No. 7 th 1973 bahkan hormon pertumbuhan dimasukkan dalam kategori pestisida. Senyawa-senyawa pestisida tersebut pada umumnya merupakan senyawa kimia sintetik, beberapa penggunaan senyawa aktif dari bahan alam. Dalam pengelolaan kehutanan, pestisida digunakan untuk

130

mengontrol tumbuhan gulma, serangga, penyakit, rodensia, untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan dan produktivitas hutan. Dalam kaitannya dengan tumbuhan, pestisida digunakan untuk memperlakukan nonnative dan invasif spesies tumbuhan. Kata kunci: Hama, Penyakit, Pestisida, Tanaman hutan Tjahjono, Budi PENGELOLAAN HAMA PENYAKIT DI HTI PT RAPP / Budi Tjahjono. -Prosiding Ekspose/Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman, Jakarta 23 Nopember 2006 ; Halaman 45-46 , 2006 Masalah hama dan penyakit selalu dihadapi oleh usaha pertanian dan perkebunan dimanapun juga di muka bumi ini. Demikian pula dalam pengusahaan akasia, eucaliptus ataupun tanaman lain dalam Hutan Tanaman Industri (HTI), masalah hama penyakit menjadi salah satu kendala yang semakin dirasakan penting artinya. Manajemen APRIL PT. Riau andalan Pulp and Paper telah mengantisipasi masalah hama penyakit ini dengan serius. PT. RAPP telah berkomitmen untuk menangani masalah ini dengan cara berwawasan lingkungan, ekonomi dan menjamin produktivitas dan keberlanjutan HTI. Untuk menekankan pentingnya kesehatan tanaman dan untuk memfasilitasi penelitian dan implementasi konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT), Program Penelitian atau Bagian Hama dan Penyakit telah dibangun dalam R&D Riau Fiber. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) merekomendasikan cara hayati, misal penggunaan antagonis, sebagai bagian dari pengelolaan hama terpadu yang berwawasan lingkungan di HTI. Sebagai perusahaan yang telah mendapat sertifikasi LEI, PT. RAPP melalui R&D nya berusaha untuk mengembangkan musuh alami seperti serangga Sycanus dan cendawan Trichoderma untuk pengendalian hayati hama dan penyakit. Kata kunci: Hama, Penyakit, Hutan tanaman industri, PT RAPP, PT Rian andalan Pulp and Paper

Tjahjono, Budi MEMINIMALKAN SERANGAN PENYAKIT DI PERSEMAIAN PADA Acacia crassicarpa DAN Acacia mangium / Budi Tjahjono. -- Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia, 2006 : Halaman 83-86 , 2006 Penanaman kembali hutan tanaman bekas tebangan harus dilakukan segera setelah penebangan. Oleh sebab itu diperlukan perencanaan yang matang agar suplai bibit dari persemaian dapat tepat waktu dan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu diperlukan bibit yang uniform, sehat, bermutu tinggi, dan kehilangan akibat serangan penyakit harus minimalkan. Kekurangan produksi bibit di persemaian mempengaruhi secara langsung target penanaman dan dapat berakibat meningkatnya biaya pemeliharaan. Kata kunci: Serangan penyakit, Acacia mangium, Acacia crassicarpa, Penyaki Ulfa, Maliyana PENGARUH INOKULASI CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA PADA TANAMAN PULAI DI LAHAN BEKAS TAMBANG BATUBARA (The Effects of Arbuscular Mycorrizae Fungi Inoculation to Pulai at Ex Coal Mining) / Maliyana Ulfa; Efendi Agus Waluyo; Edwin Martin. -- Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Vol.3, No.2 ; Halaman 101 - 106 , 2006 pertumbuhan tanaman pulai darat (Alstonia sp.) telah dilakukan di lahan reklamasi bekas tambang batubara pada Dumping Area Pit Tiga, Bangko Timur, PT. Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan, setelah 9 bulan ditanam. Riset menggunakan 2 perlakuan, inokulasi G. etunicatum dan perbedaan media sapih, menggunakan Rancangan Acak Blok dengan tiga ulangan. Parameter pertumbuhan yang diukur adalah tinggi, diameter dan persen hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah ditanam di lahan, pertumbuhan pulai darat (Alstonia sp.) relatif tidak menunjukkan perbedaan parameter tinggi dan diameter di antara perlakuan. Tetapi di sisi lain, inokulasi G. etunicatum berpengaruh pada persentase hidup tanaman untuk hidup di lahan bekas tambang, yang ditunjukkan dengan hampir 100% hidup pulai darat (Alstonia sp.). G. etunicatum tidak cukup berpengaruh pada pertumbuhan pulai di lahan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh proses biokimia tanaman, seperti ketersediaan nitrogen dan akumulasi bahan organik

131

yang tidak terdekomposisi dengan baik. Hal tersebut menyebabkan sporulasi dan kolonisasi CMA tidak berjalan dengan baik. Kata kunci: Glomus etunicatum, lahan, pulai, Alstonia sp. Ulfa, Maliyana PEMANFAATAN MIKORIZA DALAM MENINGKATKAN KUALITAS BIBIT JENIS PRIORITAS SUMATERA SELATAN / Maliyana Ulfa, Edwin Martin dan Efendi Agus Waluyo. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 69-76 , 2006 Aplikasi mikoriza merupakan alternatif teknologi dalam upaya mempersiapkan bibit berkualitas. Manfaat ini telah dibuktikan dengan menginokulasi mikoriza pada beberapa tanaman kehutanan, antara lain pulai (Alstonia sp.), bungur (Lagerstromia speciosa), sungkai (peremona canescens), mangium (Acacia mangium), seru (Scima wallicii) dan mahoni (Swietenia macrophylla) yang dilakukan di Balai Hutan Tanaman Palembang. Jenis mikoriza yang diinokulasikan pada pulai, bungur, sungkai dan mngium adalah Glomus etunicatum, sedangkan pada seru telah diuji diinfeksi dengan Glomus etunicatum, Glomus clorum dan Gigaspora sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi mikoriza dapat meningkatkan kualitas bibit tanaman kehutanan tersebut. Bentuk teknologi ini lebih efektif dan efisien, mengingat dapat menyediakan bibit berkualitas dalam waktu yang singkat dalam jumlah yang banyak. Selain itu karena yang diinokulasikan adalah jasad hidup, maka pemberiannya cukup dilakukan sekali di awal pembibitan dan menghemat biaya operasional, karena untuk seterusnya akan berkembang dengan sendirinya dan terus menginfeksi. Pada lahan kritis, mikoriza dapat memudahkan penyerapan nutrisi dan air, serta mampu mengefisienkan pemberian pupuk buatan, sehingga mudah terserap oleh tanaman. Selain itu tanamanpun akan lebih tahan terhadap kekeringan dan serangan patogen akar. Kata kunci: Kualitas bibit, Jenis prioritas, Mikoriza

Ulfa, Maliyana PROSPEK APLIKASI MIKORIZA UNTUK REHABILITASI HUTAN RAWA GAMBUT BEKAS KEBAKARAN / Maliyana Ulfa, Efendi Agus Waluyo dan Bastoni. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 123-126 , 2006 Kerusakan hutan rawa gambut semakin meningkat setiap tahunnya, yang disebabkan oleh (1) eksploitasi hutan (2) konservasi lahan untuk pertanian dan (3) kebakaran hutan. Dampak kerusakan yang terparah disebabkan kebakaran hutan, yang mengakibatkan kerusakan tidak hanya pada tegakan hutan tetapi juga pada tanah (gambut), deposit bahan organik penyusun gambut habis terbakar sehingga menurunkan produktivitas lahan dan menurunkan daya dukung lahan. Usaha rehabilitasi yang bisa diupayakan adalah dengan aplikasi mikoriza. Aplikasi ini dapat diterapkan dengan memperhatikan kondisi yang mendukung perkembangan mikoriza pada lahan rawa gambut pasca kebakaran, meliputi kondisi fisik, kimia dan biologi tanah serta karakteristik dan tipologi lahannya. Kata kunci: Mikoriza, Kebakaran, Lahan rawa gambut, Rehabilitasi Ulfa, Maliyana POTENSI APLIKASI MIKORIZA UNTUK PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DI LAHAN RAWA GAMBUT / Maliyana Ulfa dan Efendi Agus Waluyo. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 127-130 , 2006 Sebagian besar lahan gambut di Indonesia telah mengalami kerusakan. Sehingga perlu adanya usaha rehabilitasi yang sesuai. Pembangunan hutan tanaman menjadi bentuk rehabilitasi yang wajib dilakukan. Salah satu penunjang keberhasilan hutan tanaman adalah penyediaan bibit berkualitas. Bibit yang berkualitas dapat diperoleh secara manipulasi genetik maupun lingkungan. Aplikasi mikoriza merupakan salah satu alternatif teknologi untuk mendapatkan bibit yang berkualitas.

132

Kata kunci: Rawa gambut, Hutan tanaman, Mikoriza, Hutan tanaman Ulya, Nur Arifatul PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN UNTUK REHABILITASI KAWASAN HUTAN RAWA GAMBUT / Nur Arifatul Ulya. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 97-102 , 2006 Indonesia merupakan salah satu negara dengan lahan rawa gambut terluas di dunia. Seringnya terjadi kebakaran hutan dan tingginya konversi lahan menyebabkan semakin menciutnya areal berhutan dalam kawasan hutan rawa gambut. Hal ini juga menyebabkan rusaknya gambut yang berada di areal yang tidak berhutan tersebut. Di sisi lain pembangunan HTI hanya mampu menghasilkan 1/3 dari kebutuhan industri sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan pembangunan HTI. Propinsi Sumatera Selatan mempunyai lahan gambut seluas kurang lebih 1,484 juta hektar atau sekitar 20,6 Kata kunci: Hutan tanaman, Rehabilitasi, Rawa gambut Utomo, Agus Djoko KETERKAITAN KELESTARIAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN EKOSISTEM PERAIRAN RAWA BESERTA UPAYA PELESTARIANNYA / Agus Djoko Utomo. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 73-83 , 2006 Peran penting perairan umum yaitu sebagai tempat hidup berbagai jenis organisme air tawar, tempat mata pencaharian bagi nelayan, sumber protein hewani, pendapatan asli daerah dan keseimbangan lingkungan. Ekologi perairan umum sangat komplek dan sangat dipengaruhi oleh musim. Kehilangan habibat yang penting di perairan umum akan berdampak langsung pada kehidupan organisme air. Pemahaman ekosistem lahan basah sangat diperlukan untuk mengevaluasi kegunaan dan keuntungannya. Evaluasi kegunaan lahan basah diperlukan dalam rangka memberikan masukan bagi pengelola. Konversi lahan basah harus dipertimbangkan dengan masak agar nilai sumberdaya alam tidak hilang. Beberapa penyebab kerusakan habibat yaitu penebangan hutan rawa, reklamasi lahan. Jenis ikan yang hampir punah

antara lain Tengkeleso (Shclerophages formosus), Kapas-kapas (Rochteichtys micropeltis), Ikan Elang (Datniodes quadrifsciatus), Timah-timah (Cryptopterpus apagon), Mok-mok (Hemisilurus scheronema), Sengarat (Belodonticthys dinema), Temparang (Macrothirictys microphirus). Salah satu teknik pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu dengan cara menyediakan habibat yang dilindungi untuk dijadikan suaka perikanan. Suaka perikanan mempunyai peran besar bagi penyediaan benih ikan secara alami di perairan umum. Suaka perikanan dapat dipakai sebagai perangkat pelestarian plasma nutfah, pemulihan populasi dan peningkatan produksi perikanan. Beberapa tipe habibat yang dapat dijadikan suaka perikanan yaitu Lebung, ruas sungai yang terdapat lubuk dan danau rawa. Suaka perikanan yang baik dapat meningkatkan produksi perikanan di perairan sekitarnya. Kata kunci: Rawa, Ekosistem, Perikanan Wasrin, Upik Rosalina ASPEK EKOLOGI DALAM "VEGETATION MANAGEMENT PADA HUTAN TANAMAN / Upik Rosalina Wasrin. -- Prosiding Ekspose/Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman, Jakarta 23 Nopember 2006 ; Halaman 21-27 , 2006 Departemen Kehutanan melalui program Revitalisasi Sektor Kehutanan telah mentargetkan untuk membangun sekitar 9 juta hektar hutan tanaman industri dan hutan tanaman rakyat di dalam kawasan hutan yang terdegadrasi serta hutan rakyat pada lahan-lahan milik masyarakat. Pengalaman dari beberapa perusahaan kehutanan dalam membangun hutan tanaman industri masih banyak menemui kendala antara lain resiko-resiko jangka panjang akibat dari pemilihan jenis tanaman yang tidak atau kurang sesuai dengan tapak, serangan hama dan penyakit, serta informasi jangka panjang kegunaan dan nilai ekonomi dari tegakan yang ditanam. Informasi biofisik yang meliputi tanah, iklim, dan topografi relatif cukup tersedia, demikian pula dengan "trend" penggunaan kayu, kebutuhan industri pasar serta nilai ekonomi dari produk perkayuan, relatif lebih mudah diperoleh. Persoalan utama didalam membangun hutan tanaman adalah kemungkinan terjadinya ledakan populasi serangan dan epidemi penyakit yang berakibat pada serangan hama dan penyakit secara besar-besaran pada hutan tanaman, sebagai indikasi tidak adanya keseimbangan ekologi dari jenis yang ditanam dengan keadaan lingkungan.

133

Kata kunci: Ekologi, Vegetation management, Hutan tanaman Widyastuti, SM FOREST HEALTH MONITORING DI HUTAN TANAMAN / SM Widyastuti. -- Prosiding Ekspose/Diskusi Sehari Jaringan Kerja Litbang Hutan Tanaman : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Hutan Tanaman, Jakarta 23 Nopember 2006 ; Halaman 33-39 , 2006 Dalam dasawarsa terakhir ini Forest Healts Monitoring (FHM) sering dibicarakan. FHM penting dilakukan untuk mengetahui seberapa baik hutan dapat mendukung kehidupan manusia, baik pada saat ini maupun masa yang akan datang. Fungsi hutan yang penting bagi kehidupan manusia diantaranya adalah menyediakan air, habibat untuk wildlife, kayu bangunan, kayu perkakas, bahan pulp serta dapat digunakan untuk tempat rekreasi. Hutan yang sehat juga berfungsi sebagai sumber bahan pangan dan sebagai paru-paru dunia. Banyak pihak yang dapat memanfaatkan informasi tentang kesehatan hutan. Bagi pembuat kebijakan, FHM dapat dipakai sebagai dasar yang penting dalam pembuatan rencana strategis khususnya terkait dengan data perubahan kesehatan hutan. Apabila informasi tentang kesehatan hutan dipadukan dengan program penataan administrasi yang baik serta dukungan pakar yang berkomitmen tinggi terhadap masalah-masalah lingkungan, maka akan dapat dihasilkan rencana strategis pengembangan hutan yang lestari dan lingkungan yang berkesinambungan. Bagi para pengelola hutan, informasi tentang kesehatan hutan dapat dimanfatkan untuk memperkirakan tingkat (kualitas) hutan yang pada gilirannya sangat penting untuk merespon keinginan pihakpihak yang berkepentingan. Bagi masyarakat informasi tentang kesehatan hutan yang diperoleh secara benar akan meningkatkan kesadaran dan peran serta mereka dalam ikut memanfaatkan hutan secara benar. Kata kunci: Forest Health Monitoring, Hutan Tanaman

Widyastuti, SM POTENSI ANTAGONISTIK FUNGI TRICHODERMA SEBAGAI AGEN PENGENDALI HAYATI TERHADAP FUNGI PATOGEN TULAR TANAH / SM Widyastuti. -- Prosiding Lokakarya Busuk Hati dan Busuk Akar pada Hutan Tanaman Akasia,2006 : Halaman 71-81 , 2006 Makalah ini mendeskripsikan kemampuan Trichoderma sp. sebagai pengendali hayati patogen busuk akar Ganoderma spp. Ganoderma spp. merupakan patogen busuk akar potensial yang dapat menyebabkan kerusakan serius pada berbagai tipe hutan tanaman di Indonesia. Pengendalian hayati pada patogen tanaman merupakan pendekatan alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada pertanian modern dan fungisida kimia yang dapat menyebabkan polusi lingkungan dan berkembangnya galur resisten. Filamen fungi trichoderma spp. bersifat mikroparasit terhadap patogen tanaman dan merupakan salah satu agen potensial yang dapat digunakan sebagai pengendali hayati pada penyakit tanaman. Walaupun mekanisme mikroparasit belum diketahui sepenuhnya, ekspresi dinding sel ekstraseluler dalam mendegradasi enzim diasumsikan merupakan bagian dari proses tersebut, termasuk enzim kitinolitik dan glukanolitik. Seperti dilaporkan dalam sistem kitinolitik lain, endokitinase (EC 3,2.1.14) merupakan salah satu enzim yang paling efektif sebagai antifungi dan aktivitas litik dibanding dengan enzim kitinolitik yang lain. Baru-baru ini, 32-kDa enzim kitinase telah dimurnikan dan dikarakterisasi dari T.reesei. Uji coba mengenai kemampuan antagonistik isolat Trichoderma dalam menghambat fungi patogen pada beberapa tanaman, seperti Ganoderma spp., Ridigoporus microporus, Rhizoctonia spp. Fusarium sp., san Sclerotium rolfsii, Hasil penelitian menunjukkan bahwa Trichoderma spp. dapat secara efektif mampu menekan perkembangan fungi patogen secara in vitro dan eksperimen rumah kaca. Kata kunci: Acacia mangium, Penyakit akar putih, Penyakit, Akar putih, Akar merah, Hutan tanaman, DNA

134

Wijaya, Danu EKOSISTEM HUTAN RAWA AIR TAWAR SEBAGAI TEMPAT PEMIJAHAN (Spawning ground) BAGI IKAN-IKAN PERAIRAN UMUM / Danu Wijaya dan Safran Makmur. -- Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 135-141 , 2006 Salah satu tipe ekosistem perairan umum yang khas adalah ekosistem hutan rawa air tawar. Ekosistem hutan rawa air tawar biasanya terdapat pada Daerah Aliran Sungai bagian tengah. Hutan rawa air tawar didominasi oleh vegetasi pohon, perdu, tanaman air dan tanaman semak lainnya. Hutan rawa air tawar mempunyai nilai ekologis yang penting karena pada saat musim hujan daerah tersebut merupakan tempat memijah (spawning ground) bagi banyak ikan termasuk beberapa jenis ikan berniali ekonomis seperti ikan Belida (Chitala lopis), Tapa (Wallago leeri), Betutu (Oxyeleotris marmorata), Baung (Mytus nemurus) dan Putak (Notopterus notopterus). Hutan rawa air tawar menjadi tempat pemijahan ikan terutama pada waktu musim hujan. Kondisi hutan rawa air tawar yang relatif lebih tenang dan banyak substrat atau tanaman mati yang merupakan media untuk menempelkan telur menjadikan hutan rawa air tawar sebagai daerah yang ideal untuk ikan-ikan yang bermigrasi untuk memijah. Pelestarian hutan rawa air tawar perlu dilakukan guna menjaga kelestarian dan produksi ikan terutama ikan-ikan bernilai ekonomis dan ekologis. Beberapa cara untuk pelestarian tersebut adalah dengan tidak melakukan penebangan liar, menjadikan daerah hutan rawa air tawar sebagai daerah reservat dan adanya peraturan penangkapan pada bulan-bulan tertentu terutama pada musim kawin atau musim pemijahan. Kata kunci: Ekosistem, Hutan rawa, Hutan rawa, Air tawar, Pemijahan, Spawning ground, Perairan umum, Ikan

Winarno, Bondan PENGEMBANGAN JATI SEBAGAI TANAMAN EKSOTIS: PELAJARAN DARI MASYARAKAT KAUR, BENGKULU / Bondan Winarno dan Edwin Martin. -- Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 7 Desember 2005 : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman 61-67 , 2006 Jati merupakan tanaman eksotis yang dibudidayakan oleh masyarakat Kaur. Jati mulai menarik perhatian masyarakat Kaur pada pertengahan dekade 90-an seiring dengan maraknya budidaya jati di berbagai lokasi. Masyarakat secara swadaya menanami lahannya yang terlantar (tidak produktif) dengan tanaman jati. Barikut adalah beberapa faktor yang memotivasi masyarakat untuk melakukan budidaya jati di Kaur: (1) Gambaran keuntungan ekonomi yang akan diperoleh; (2) Teknik budidaya jati mudah dikuasai dan sederhana; (3) Memanfaatkan lahan terlantar yang tidak produktif, dan (4) untuk memenuhi kebutuhan kayu di masa depan. Sebagian besar jati yang ada merupakan tanaman antara 1997-2001. Luas kepemilikan tanaman jati masyarakat sangat bervariasi antara 0,25-7 ha. Hasil pengukuran potensi jati menggunakan plot ukur 0,25 hektar berulangan untuk beberapa seri tahun tanam jati disajikan secara berturut-turut tahun tanam, rerata diameter dan tinggi bebas cabang: 2002 : 7,51 cm dan 5,14 m; 2001: 8,89 cm dan 6,90 m; 2000: 9,71 cm dan 7,74 cm; 1999: 13,25 cm dan 8,81 m; 1998: 11,63 cm dan 6,13 m. Sebagian besar tanaman jati di Kaur belum memasuki masa panen namun ada sebagian tanaman yang berumur 12-15 tahun telah dipanen dengan diameter batang 20 cm - 25 cm. Penampakan kayu jati tersebut pada umumnya cukup baik tanpa gerowong dan cacat lain namun kayu tersebut belum berkembang dengan baik dan terlihat masih muda dengan kayu teras yang terlihat belum matang. Pada tahun 2002, minat masyarakat Kaur terhadap budidaya jati mulai berkurang. Beberapa hal yang mendorong perkembangan budidaya jati di Bengkulu cenderung menurun adalah sebagai berikut: (1) Pertumbuhan dan perkembangan jati tergantung perawatan dan tempat tumbuh; (2) Pasar kayu jati belum terbentuk dengan jelas; (3) Budidaya jati secara monokultur tidak menyediakan ruang untuk budidaya jenis tanaman lain; (4) mulai berkembangnya tanaman perkebunan yang dapat memberikan hasil lebih cepat dan kontiyu. Peran dan fasilitas instansi pemerintah terkait terutama dinas kehutanan diperlukan dalam merespon perkembangan budidaya jati dan mencari solusi terhadap permasalahan yang terjadi di Kaur dari sisi teknis budidaya dan akses pasar.

135

Kata kunci:

Jati, Tectona grandis Linn, Lahan milik, Tanaman eksotis, Kaur, Bengkulu

Yassir, Ishak HUBUNGAN POTENSI ANTARA CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA DAN SIFAT-SIFAT TANAH DI LAHAN KRITIS (The Relationship Hutan Tanaman : Vol.3, No.2 ; Halaman 107 - 115 , 2006

Zulfikhar KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN RAWA GAMBUT DENGAN POLA KPH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN / Zulfikhar. -Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu : Halaman 7-13 , 2006 Ekosistem lahan basah dan rawa gambut mencakup sepertiga bagian dari total wilayah Provinsi sumatera Selatan, dan dua pertiga bagian di antaranya merupakan kawasan hutan dengan kondisi penutupan vegetasi sebagian kecil masih berupa hutan alam dan sebagian besar telah terombak menjadi padang rumput, semak dan belukar. Untuk itu pemerintah Provinsi Sumatera Selatan harus menentukan solusi kebijakan strategis pengelolaan hutan rawa gambut dengan mendasarkan pada data/informasi yang terkini, pemahaman yang memadai terhadap ekosistem hutan lahan basah dan rawa gambut, tercakup di dalamnya sistem lahan dan hidrologi, keragaman hayati dan dinamika populasi hutan rawa gambut, sistem silvikultur serta faktor-faktor sosial ekonomi yang terkandung di dalamnya. Rekayasa proses suksesi ekologi hutan rawa gambut yang dipercepat dengan mengakomodasi kepentingan sosial ekonomi sangat diperlukan, karena proses suksesi hutan merupakan proses yang panjang sedangkan permasalahan sosial ekonomi memerlukan solusi yang segera. Untuk itu diperlukan strategi metamorfosis yang terbimbing untuk menuju keseimbangan ekosistem hutan rawa gambut yang baru. Pengelolaan hutan rawa gambut merupakan usaha untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari tersebut maka kawasan hutan dibagi kedalam kesatuan pengelolaan hutan (KPH), dan pembentukan KPH tersebut selanjutnya menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi dan kabupaten/kota, di mana pada setiap KPH dikelola oleh suatu Unit Organisasi KPH. Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi hutan dan reklamasi serta perlindungan hutan dan konservasi alam, dalam penyelenggaraannya dilaksanakan oleh KPH dalam bentuk swakelola dan pemerintah dapat mendelegasikan pengelolaan hutan kepada Badan Usaha Milik Negara di bidang kehutanan. Pemahaman terhadap landasan kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan rawa gambut dan pola KPH merupakan titik masuk bagi para pihak untuk dapat mengkritisi dan memberikan saran solusi terhadap upaya mewujudkan pengelolaan hutan lestari serta antisipatif terhadap kemungkinan munculnya permasalahan yang lebih komplek sebagai dampak negatif atas kebijakan pengelolaan hutan rawa

Between Arbuscular Mycorrhizal,Fungi Potency and Soil Properties in Marginal Land)/ Ishak Yassir; R. Mulyana Omon. -- Jurnal Penelitian

Penelitian tentang hubungan antara Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) dengan sifat-sifat fisik dan kimia tanah pada lahan kritis telah dilakukan di areal rehabilitasi Samboja Lestari Km 35, Kalimantan Timur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sifat-sifat fisik dan kimia terhadap potensi CMA pada lahan kritis. Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan metoda tunggal berdasarkan letak topografi dan komposisi tumbuhan. Pada setiap kondisi topografi (puncak, lereng dan lembah) dibuat petak yang berukuran 10 m x 10 m masing-masing sebanyak 5 buah petak. Di dalam petak berukuran 10 m x 10 m dibuat petak berukuran 1 m x 1 m yang ditempatkan secara acak dan diulang sebanyak 3 kali. Jumlah petak yang diamati seluruhnya sebanyak 3 x 5 x 3 = 45 buah petak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi tanah di lokasi penelitian secara umum tidak subur, yang ditunjukkan dengan pH tanah yang masam (4,32), bahan organik yang rendah sampai dengan sedang, yaitu C-organik (2,15%), kandungan N total (0,13%) P tersedia (498 ppm), K tersedia (0,44 me/g) dan KTK (8,99 me/100g). Kepadatan spora CMA cukup baik, dengan jumlah 1288-2321 spora/50 g pada bulan kering dan pada bulan basah 1274-2163 spora/50 g tanah, dari genus Glomus, Acaulospora dan Gigaspora. Untuk hubungan antara potensi CMA dengan sifat-sifat tanahnya sangat ditentukan oleh kandungan P tersedia, dan terjadi korelasi negatif antara jumlah spora dengan kandungan P tersedia, yang ditunjukkan oleh jumlah spora CMA yang menurun selaras dengan meningkatnya kandungan P tersedia di dalam tanah.

136

gambut dan dapat bermanfaat bagi para pihak sebagi acuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan rawa gambut yang lebih baik di Propinsi Sumatera Selatan. Kata kunci: Rawa gambut, Kebijakan, Hutan rawa gambut, KPH, Sumatera Selatan

137

Achmad, Budiman KAJIAN POTENSI USAHA BAMBU RAKYAT DI KABUPATEN TASIKMALAYA / Budiman Achmad, Soleh Mulyana, dan Devy Priambodo Kuswantoro. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 96-111 , 2006 Potensi bambu di Kabupaten Tasikmalaya cukup tinggi yakni sekitar 2.985.957 batang menempati luasan 7.464.89 ha yang mampu membangkitkan kreatifitas usaha sebagian masyarakat Tasikmalaya. Jenis yang paling banyak dijumpai adalah bambu tali, bambu hitam, bambu surat, dan bambu temen. Bambu tumbuh hampir merata di wilayah Kabupaten Tasikmalaya tetapi kurang didukung dengan meratanya ketrampilan sumberdaya manusia (SDM) sehingga terjadilah ketidakseimbangan antara potensi SDA (sumber daya alam) dengan potensi SDM yang merupakan indikator bahwa potensi usaha bambu belum digali secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji berbagai kemungkinan upaya peningkatan potensi pemanfaatan bambu melalui perluasan variasi produk dan penyertaan teknologi untuk meningkatkan mutu dan nilai tambah produk. Pengambilan data dilakukan dengan sengaja berdasarkan ketinggian tempat tumbuh yaitu dataran rendah dan dataran tinggi dan dilakukan survey potensi bambu dan produknya serta wawancara dengan petani, pengrajin, dan eksportir. Data diolah secara deskriptif dan dilakukan analisis keuntungan antara produk konvensional (standar) dengan produk pengembangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya untuk meningkatkan potensi usaha bambu rakyat bisa dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu penerapan sistem silvikultur yang tepat,pengkelasan mutu dan pemanfaatan setiap bagian batang sesuai dengan potensi dan sifat dasarnya serta pemanfaatan limbah sebagai bahan baku yang sesuai dengan kebutuhan dari proses produksi lain (interface). Input teknologi dan pemasaran menjadi faktor penentu disamping dukungan pemerintah. Kunci untuk meningkatkan potensi usaha bambu rakyat terletak pada seberapa jauh upaya peningkatan mutu, kekuatan desain, dan harga serta jalinan kepercayaan antara produsen dan pembeli. Kata kunci: Bambu, Kabupaten Tasikmalaya, Potensi usaha

Achmad, Budiman ARANG BAMBU DARI LIMBAH INDUSTRI KERAJINAN: POTENSI EKONOMI YANG BELUM DIGALI DI KABUPATEN TASIKMALAYA / Budiman Achmad, Devy Priambodo Kuswantoro, dan Soleh Mulyanan. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 164-174 , 2005 Industri pembuatan sumpit sebagai salah satu upaya teknologi pemanfaatan bambu menghasilkan limbah yang cukup besar yaitu lebih kurang 65 persen yang perlu diupayakan pemanfaatannya agar menjadi produk yang bernilai tambah. Penelitian ini mencoba salah satu upaya pemanfaatan limbah dengan pembuatan arang bambu secara tradisional secara tumpuk timbun dengan menggunakan lima jenis bambu bahan baku industri sumpit yaitu bambu ampel, betung, ater, tali, dan gombong dan diuji kualitas arang yang dihasilkan menurut standar SNI. Hasil penelitian menunjukan bahwa perbedaan jenis bambu menghasilkan nilai kualitas arang bambu yang sangat berbeda nyata. Bambu tali sebagai bambu yang paling banyak digunakan untuk bahan baku sumpit ternyata menghasilkan kualitas arang bambu yang secara umum paling baik dibanding empat jenis bambu lainnya dengan besar nilai kalor 6.945 kal/g, kadar karbon terikat 74,13 persen dan kadar zat terbang 18,98 persen. Kata kunci: Arang Bambu, Limbah Kerajinan, Potensi Ekonomi, Tasikmalaya Achmad, Budiman PENGELOLAAN TAPAK HUTAN TANAMAN ACACIA MANGIUM BERDASARKAN DAUR EKONOMIS / Budiman Achmad. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 175-184 , 2005 Pengelolaan hutan tanaman secara lestari bisa dicapai jika jatah tebang tahunan (AAC) tidak melebihi riap. Penelitian ini dilaksanakan pada hutan tanaman Acacia mangium di Pasir Pangrayan, Propinsi Riau. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mutu tapak dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan hasil dan menyediakan beberapa alternatif solusi untuk meminimalkan inefisiensi dalam pengelolaan hutan tanaman. Tegakan umut 1 sampai 4,9 th dalam 50 plot dengan luasan 0,1 ha/plot diukur diameter dan

138

tingginya. Berdasarkan empat mutu tapak yang diperoleh yakni kelas II,kelas III, dan IV dan kelas V kemudian disusunlah grafik CAI dan MAI. Hasil penelitian menunjukan bahwa siklus tebang paling optimal adalah 6.5 th, 6 th, 5.5 th dan 5 th untuk berturut-turut klas II,III,IV dan Klas V. Untuk mendapatkan hasil optimal jumlah pohon yang ditanam harus mempertimbangkan mutu lahan.Semakin rendah mutu lahan, semakin tinggi kerapatan pohon yang ditanam, demikian sebaliknya. Kata kunci: Acacia mangium, Hutan Tanaman, Mutu Lahan Achmad, Budiman KAJIAN IMPLEMENTASI TATAUSAHA DAN TATANIAGA KAYU RAKYAT: KASUS DI KABUPATEN GARUT / Budiman Achmad, Soleh Mulyana, dan Devy Priambodo Kuswantoro. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 85-96 , 2006 Hutan Rakyat merupakan alternatif yang semakin strategis untuk mengisi demand kayu yang semakin meningkat saat ini. Akan tetapi, nilai strategis baik yang tangible maupun intangible belum ditempatkan sesuai fungsinya dan belum dihargai secara proporsional,sebagaimana terlihat pada semakin sempitnya coverage relatif hutan di Kabupaten Garut yang tidak lebih dari 10 persen saja. Kendala lain yang lebih bersifat disinsentif bersumber dari peraturan tatausaha yang tidak bersifat khas dengan daerah dan kurang mengakomodir kepentingan seluruh stakeholder secara berimbang. Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui pola pemasaran dan kemungkinan pengembangannya sehingga persoalan yang terkait dengan in-efisiensi tataniaga bisa diminimalkan. Selain itu juga untuk mendapatkan alternatif penatausahaan kayu yang bisa menciptakan iklim usaha (market change) efektif dengan mempertimbangkan faktor kepraktisan dan kekhasan daerah tanpa mengorbankan efisiensi. Kajian dilakukan dengan pengumpulan peraturan-peraturan mengenai tata usaha kayu yang ada, melakukan in-depth interview dengan responden ahli/kunci, dan wawancara dengan petani kayu dan pelaku usaha kayu untuk mengetahui interpretasinya terhadap tata usaha kayu rakyat. Hasil kajian mengindikasikan bahwa arus informasi pasar ke petani cukup terbuka diduga karena profesi ganda sebagai petani sayur dan kayu berimbas pada semakin luasnya jaringan bisnis sehingga petani telah mampu meluaskan pasarnya. Inovasi nilai harga kayu maupun peraturan belum

tertangani sebagaimana diindikasi oleh kecilnya margin yang diterima petani bersamaan dengan image biroaktif pengurusan perizinan yang berlaku. Sistem insentif yang efektif perlu dikembangkan dengan dukungan peraturan yang perencanaannya bersifat kolektif dan inovative sehingga mampu menimbulkan komitmen sukarela. Kata kunci: Kayu Rakyat, Tatausaha, Tataniaga, Kab. Garut Alviya, Iis ILLEGAL LOGGING: KAJIAN PERKEMBANGAN ISU KEHUTANAN / Iis Alviya. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 153-161 , 2005 Penebangan Liar (illegal logging) dan perdagangan kayu ilegal (illegal trading) merupakan salah satu dari lima kebijakan prioritas utama Departemen Kehutanan saat ini. Sektor kehutanan dengan segala potensinya pernah tercatat sebagai sumber pendapatan negara terbesar nomor dua setelah minyak. Namun saat ini dengan maraknya kasus illegal logging negara harus menerima kerugian mencapai Rp. 30 triliun/ha. Kasus illegal logging ini terus meningkat akibat lemahnya kemampuan aparat penegak hukum sehingga tidak mampu membongkar sampai ke akar permasalahannya. Ada beberapa titik konsentrasi praktek penebangan liar serta penyelundupan kayu, yaitu perbatasan RIMalaysia di Kalimantan Barat, perbatasan Papua, Perairan Riau, dan Kalimantan Timur. Selama ini telah berjalan proses lelang terhadap kayu hasil temuan, sitaan, dan rampasan. Namun sistem pelaksanaan lelang tersebut belum berjalan secara efektif dan optimal sehingga menimbulkan kerugian bagi negara mencapai Rp. 500 miliar/tahun. Berdasarkan hal tersebut, pada tanggal 13 Januari 2005 pemerintah telah mengesahkan tiga draft rancangan Peraturan Menteri Kehutanan tentang petunjuk pelaksanaan lelang kayu. Diharapkan dengan kebijakan tersebut kerugian negara akibat illegal logging dapat ditekan dan praktek illegal logging yang umumnya menggunakan proses lelang kayu sebagai modus pemutihan kayu hasil tebangan liar tersebut dapat dihilangkan. Kata kunci: Illegal Logging, Isu kehutanan

139

Astana, Satria ANALISIS KEBIJAKAN EKSPOR KAYU BULAT DARI HUTAN TANAMAN ACACIA MANGIUM / Satria Astana. -- Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 4971 , 2006 Lambannya pembangunan hutan tanaman disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah rendahnya harga kayu bulat dalam negeri akibat kebijakan larangan ekspor. Terdapat kekhawatiran yang luas terhadap harga kayu bulat yang terus rendah. Kenyataannya, harga kayu bulat yang rendah bukan hanya menyebabkan nilai pengembalian investasi dalam pembangunan hutan tanaman khususnya Acacia mangium lebih rendah dari harga kapital yang digunakan tetapi juga mencegah masuknya investasi baru. Ini pada gilirannya akan menyebabkan pembangunan hutan tanaman mengalami stagnasi. Upaya mencegah dampak buruk yang lebih jauh dapat dilakukan melalui intervensi kebijakan mengijinkan produksi kayu bulat dari hutan tanaman khususnya Acacia mangium diekspor. Dalam kaitan ini, dampak kebijakan eksport kayu bulat perlu dikaji. Diukur dengan surplus produsen dan konsumen, hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan kriteria KaldorHicks dampak kebijakan eksport kayu bulat dari hutan tanaman khususnya Acacia mangium tanpa atau dengan pengenaan pajak eksport non-prohibitive adalah lebih baik dibanding kebijakan larangan ekspor. Kata kunci: Acacia mangium, Kayu Bulat, Kebijakan ekspor Astana, Satria PERANAN HUKUM ADAT DALAM UPAYA MENCEGAH ILLEGAL LOGGING DI HUTAN LINDUNG DAN KONSERVASI: PELUANG DAN TANTANGAN/ Satria Astana, C. Woro M. Runggandini, dan Indartik. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 119 , 2005 Lemahnya penegakan hukum menyebabkan kegiatan illegal logging meluas bukan hanya terjadi di hutan produksi, tetapi juga di hutan lindung dan hutan konservasi. Pemberantasan illegal logging melalui pendekatan keamanan telah dilakukan, namun hasilnya belum optimal. Pola jaringan illegal logging kapan saja dapat bangkit kembali dalam kehidupan masyarakat dengan kondisi sosial

ekonomi yang rentan dan lingkungan bisnis hutan yang tidak kondusif. Kelembagaan masyarakat hukum adat di sekitar hutan lindung dan konservasi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu instrumen sosial budaya yang efektif dalam upaya mencegah illegal logging. Ketersediaan unsur adat dan penegakan sanksi yang efektif bagi pelanggar, dalam pemanfaatan hutan yang lestari, merupakan suatu peluang hukum adat berperanan dalam upaya mencegah illegal logging. Namun unsur-unsur hukum adat secara terus-menerus mengalami tekanan dari banyak aspek, antara lain: 1) intrusi budaya luar, 2) aspek ekonomi, 3) Kebijakan yang kurang kondusif. Sifat hukum adat yang terbuka dan dapat berubah, menyebabkan terjadinya asimilasi dan/atau akulturasi budaya. Interaksi dengan budaya luar, aspek ekonomi, dan kebijakan dapat menghasilkan asimilasi dan/atau akulturasi budaya yang dapat berdampak negatif atau positif terhadap kelestarian sumberdaya hutan, merupakan suatu tantangan yang perlu dicermati. Upaya mencegah illegal logging melalui instrumen hukum adat, agar efektif, perlu dibarengi oleh kebijakan penguatan kelembagaan dan meningkatkan ekonomi secara konsisten, yang ditujukan khususnya bagi masyarakat hukum adat yang daerahnya menghadapi tekanan illegal logging yang tinggi. Kata kunci: Illegal Logging, Hukum Adat, Hutan Lindung, Konservasi Cahyono, S. Andy FAKTOR PENENTU KEMISKINAN PETANI PENYADAP GETAH PINUS DI DESA SOMAGEDE, KEBUMEN, JAWA TENGAH (The Determinant factor

of Pine Tapping Farmer Poverty in Somagede, Kebumen, Central Java)/ S. Andy Cahyono ... [et.al.]. -- Jurnal Penelitian Sosial dan

Ekonomi Kehutanan : Volume 3 Suplemen No.2 ; Halaman 109-116 , 2006 Masyarakat sekitar hutan umumnya berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Peningkatan kemiskinan akan berdampak pada perusakan sumberdaya hutan. Untuk itu, kemiskinan pada masyarakat sekitar hutan harus dientaskan dan pemahaman terhadap faktor penentu atau penyebab kemiskinan menjadi penting. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor penentu suatu rumah tangga petani penyadap getah pinus tergolong miskin. Metode survey dipergunakan untuk mengumpulkan data. Jumlah responden 30 keluarga/rumahtangga. Model binary choice dengan fungsi logit

140

dipergunakan untuk mengetahui faktor penentu atau penyebab kemiskinan pada rumah tangga petani penyadap getah pinus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 46,67% rumahtangga penyadap pinus termasuk dalam kategori miskin, sedangkan 53,33% lainnya termasuk dalam kategori keluarga tidak miskin. Kemiskinan rumahtangga petani penyadap getah pinus dipengaruhi secara signifikan oleh beberapa faktor, yaitu pendapatan dari getah pinus, pendapatan dari luar getah pinus, dan umur penyadap. Sementara peluang keluar dari kondisi miskin akan semakin besar dengan meningkatnya pendapatan dari getah pinus, dan pendapatan di luar getah pinus. Implikasi kebijakannya adalah peningkatan produktivitas getah pinus dan harga getah, serta diversifikasi sumber pendapatan diluar getah pinus. Kata kunci: Kemiskinan, determinan kemiskinan, petani penyadap getah pinus, pinus Cahyono, S. Andy KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN RUMAH TANGGA PENYADAP GETAH PINUS DI DESA (Socio-Economic SOMAGEDE, KEBUMEN, JAWA TENGAH

umur pinus, dan produksi getah pinus. Pendapatan rumah tangga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pendapatan di luar sadap pinus dan peningkatan produktivitas pinus. Penelitian ini merekomendasikan bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga penyadap dilakukan dengan diversifikasi pendapatan di luar pinus dan peningkatan produktivitas getah. Kata kunci: kegiatan, umur tegakan, produktivitas pinus, pendapatan di luar penyadapan

Cahyono, S. Andy IMBAL JASA MULTIFUNGSI DAS UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI / S. Andy Cahyono dan Purwanto. -Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 63-81 , 2006 Pendekatan pengelolaan DAS yang pernah diragukan efektivitasnya kini mulai relevan kembali seiring dengan semakin lajunya degradasi sumberdaya alam di DAS. Pendekatan pengelolaan DAS yang menekankan pada jasa monofungsi DAS yang disederhanakan pada penanggulangan erosi sedimentasi perlu diubah dengan jasa multifungsi DAS baik tangible maupun intangible. Imbal jasa multifungsi DAS dapat dipergunakan sebagai mekanisme kompensasi dari pemanfaatan jasa multifungsi kepada penyedia jasa multifungsi untuk menjaga ketersediaan jasa yang dihasilkan. Imbal jasa dapat berupa finansial maupun non finansial. Namun imbal jasa non finansial seperti ketersediaan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, kualitas hidup lebih baik, akses pada sumberdaya pada daerah penyedia jasa multifungsi akan lebih bermanfaat. Paper ini mengurai imbal jasa multifungsi DAS untuk mendukung pengelolaan DAS dan jasa implementasinya. Dalam implementasinya, imbal jasa multifungsi DAS tergantung pada negosiasi, kapasitas stakeholder dan kesepakatan serta kesepahaman para stakeholder untuk merealisasikannya. Untuk itu, diperlukan kontribusi dari banyak pihak dalam suatu kerangka kerja pengelolaan DAS yang disepakati. Kata kunci: DAS, Imbal Jasa

Characteristics Affecting Household Income of Pine Gum Taper: Case Study in Somagede, Kebumen, and Central Java) / S. Andy Cahyono;

Nur Ainun Jariyah; Yonky Indrajaya. -- Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan : Volume 3 Suplemen No.2 ; Halaman 147-159 , 2006 Peningkatan pendapatan rumah tangga menentukan tingkat kesejahteraan keluarga dan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga mempengaruhi pendapatan rumah tangga penyadap getah pinus. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik sosial ekonomi yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga penyadap pinus. Metode survey dipergunakan pada penelitian ini dengan penarikan sampel menggunakan metode simple random sampling pada 30 orang petani responden. Analisis data menggunakan persamaan regresi linier berganda pada peubah karakteristik sosial ekonomi yang diduga mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Hasil kajian menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani penyadap getah pinus. Pendapatan rumah tangga petani penyadap getah pinus dipengaruhi nyata secara statistik oleh pendapatan dari luar getah pinus,

141

Djaenudin, Deden ANALISIS EKONOMI PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN ACACIA MANGIUM DI SUMATERA SELATAN / Deden Djaenudin...(et.al) . -Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 103-120 , 2006 Jenis tanaman yang banyak dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman antara lain adalah Acacia mangium. Untuk itu perlu diketahui kelayakan finansial dan ekonomi pembangunan hutan tanaman untuk keperluan investasi pembangunan hutan. Sekaligus perlu diketahui bagaimana apabila peranan penambahan nilai karbon ditambahkan dalam analisis kelayakan tersebut. Analisis biaya pembuatan dan nilai hutan tanaman dilakukan dengan metode Benefit Cost Ratio dengan menggunakan program EXCEL, dengan tingkat suku bunga yang dipakai adalah 15 persen untuk suku bunga private (finansial) dan 20 persen untuk suku bunga sosial (ekonomi). Analisis manfaat biaya dilakukan dengan menggunakan kriteria investasi NPV, Net B/C, dan IRR. NPV adalah selisih antara manfaat (B) dengan biaya (C) yang telah didiskonto. Kriteria ini mengatakan bahwa proyek akan dipilih apabila NPV proyek sama dengan nol. IRR adalah suatu tingkat bunga yang menunjukan bahwa jumlah manfaat sekarang yang dihasilkan sama dengan total biaya sekarang yang dikeluarkan. Dengan perkataan lain, IRR adalah suatu tingkat bunga dimana seluruh arus kas bersih sesudah didiskonto sama jumlahnya dengan biaya investasi, biaya proyek, atau biaya mula-mula, dan dapat dirumuskan sebagai berikut;Hasil penelitian menunjukan bahwa pembangunan hutan tanaman mangium di Sumatera Selatan layak secara finansial maupun ekonomi, dengan IRR sebesar 25,0 persen dan 26,2 persen secara mekanik dan manual. Karena itu pembuatan hutan tanaman secara manual lebih menguntungkan daripada mekanik, karena menghasilkan IRR dan NPV yang lebih tinggi sebagai akibat dari biaya pembuatan yang lebih murah. Selain itu pembuatan hutan tanaman secara manual juga lebih direkomendasikan karena melibatkan penggunaan tenaga kerja yang lebih besar, sehingga bisa mengurangi permasalahan pengangguran dan penambahan sumber pendapatan masyarakat. Terlihat bahwa penambahan nilai karbon sebesar Rp. 27.500 per ton akan meningkatkan IRR dari 26,2 persen menjadi 28,8 persen per hektar atau meningkat sebesar 5 persen. Begitu juga dengan NPV meningkat dari Rp. 2.942.000 menjadi Rp. 4.482.000 per hektar, atau meningkat sebesar 25 persen per hektar. Nilai ini menunjukan bahwa keuntungan penambahan nilai karbon cukup signifikan dan menambah kelayakan pembuatan hutan tanaman. Sehingga diharapkan pembangunan hutan tanaman mangium bisa dilestarikan.

Kata kunci: Acacia mangium, Hutan Tanaman, Analisis Ekonomi, Sumatera Selatan Diniyati, Dian KAJIAN SIKAP PETANI TERHADAP LEMBAGA PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT / Dian Diniyati dan Tri Sulistyati W.-- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 79-95 , 2005 Pembangunan hutan rakyat selama ini didukung berbagai lembaga seperti kelompok tani, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga usaha dan lembaga pemerintahan.Kontribusi peranan setiap lembaga tersebut ditunjukan oleh sikap petani, meskipun sikap tersebut adakalanya tidak sesuai dengan harapan dari lembaga-lembaga yang mendukung pembangunan hutan rakyat. Untuk itulah perlunya dilakukan kajian mengenai sikap petani terhadap lembaga pembangunan hutan rakyat yang dilakukan di Desa Cisitu, Kabupaten Garut dan Desa Werasari mempunyai kecenderungan sama, yaitu sikap yang positif terhadap kelompok tani, lembaga usaha dan pemerintah, sedangkan sikap terhadap LSM untuk Desa Cisitu netral dan Desa Werasari negatif, hal tersebut disebabkan kurangnya responden mengetahui dan merasakan manfaat langsung dari LSM. Selanjutnya sikap tersebut tidak dipengaruhi karakteristiknya. Kata kunci: Hutan Rakyat, Petani, Sikap petani, Garut Diniyati, Dian KONDISI DAN POTENSI HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN CILACAP, CIAMIS, TASIKMALAYA, WONOSOBO DAN KUNINGAN/ Dian Diniyati...(et.al). -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 132-150 , 2006 Bentuk pengembangan hutan rakyat di setiap wilayah akan berlainan dan memiliki kekhasan masing-masing, namun masih memiliki persamaan

142

diantaranya: kehomogenan petani pemilik hutan rakyat, budidaya hutan rakyat, serta pemasaran. Dengan pengelompokan persamaan pengembangan hutan rakyat setiap wilayah, akan memudahkan untuk mengetahui permasalahannya, walaupun dalam pemecahannya harus memperhatikan kondisi sosial ekonomi dan budaya setempat. Diharapkan dengan mengetahui persamaan dan permasalahan pengembangan hutan rakyat maka memudahkan dalam membuat kebijaksanaan untuk pengembangannya, akan tetapi setiap kebijaksanaan yang dibuat harus disesuaikan dengan lokasi, diharapkan pembangunan hutan rakyat akan semakin tinggi sehingga pasokan kayu akan selalu terjamin keberadaannya. Kata kunci: Hutan Rakyat, Cilacap, Ciamis, Tasikmalaya, Wonosobo, Kuningan Diniyati, Dian HUTAN RAKYAT DAN PENYULUHAN KEHUTANAN: KASUS DI DESA CISITU, MALANGBONG, GARUT DAN DESA WERASARI,BANTARUJEG, MAJALENGKA / Dian Diniyati dan Eva Fauziah. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 151-163 , 2005 Faktor pendukung terciptanya hutan rakyat pada satu lokasi sangat tergantung pada banyak hal dan berlainan sehingga akan tercipta hutan rakyat yang spesifik untuk setiap daerah. namun demikian tetap mempunyai persamaannya karena kegiatan hutan rakyat ini banyak dilakukan secara proyek, swadaya , dan kemitraan. Dengan demikian peranan penyuluh kehutanan sangat tinggi pada pembangunan hutan rakyat ini, untuk itulah maka tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan faktor pendukung terciptanya hutan rakyat serta peranan penyuluh terhada keberhasilan pembangunan hutan rakyat. Kegiatan ini dilakukan di Desa Cisitu Garut dan Desa Werasari Majalengka pada bulan Agustus 2005,.Metode penelitian yang digunakan adalah wawancara dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu, selanjutnya data yang terkumpul dianalisa secara diskriptif. Hasil dari kajian ini diketahui bahwa: kondisi hutan rakyatdi dua desa penelitian memiliki beberapa persamaan yaitu kondisi sosial petani, teknologi yang digunakan masih sederhana, letak topografi desa, serta bentuk pemanenan dan pemasaran.Penyuluh sebagai mitra petani pada pembangunan hutan rakyat masih perlu ditingkatkan, hal ini berkaitan dengan faktor pembatas, seperti:

jumlah tenaga yang kurang dan berubahnya fungsi penyuluh, fasilitas yang kurang memadai. Kata kunci: Hutan Rakyat, Penyuluh Kehutanan, Garut, Majalengka Diniyati, Dian POLA KEMITRAAN UNTU MENDUKUNG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN / Dian Diniyati dan Eva Fauziah. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 227-239 , 2005 Beberapa faktor yang menjadi kendala yang dihadapi oleh petani dalam pengembangan dan pembangunan hutan rakyat diantaranya adalah faktor modal, teknologi tepat guna, pemasaran dan kualitas sumberdaya manusia. Agar keberhasilan pembangunan hutan rakyat dapat tetap terjamin, maka perlu dukungan dari semua pihak melalui kemitraan.Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk menyediakan paket informasi mengenai beberapa pola pengembangan dan pembangunan hutan rakyat, untuk meningkatkan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan sehingga meningkat kemandiriannya dan pada akhirnya kesejahteraan akan tercapai. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis dan Banjar pada bulan Nopember-Desember 2004, selanjutnya pada masing-masing kabupaten dipilih secara sengaja desa sebagai lokasi penelitian, dengan kriteria adanya kegiatan kemitraan pada sektor hutan rakyat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei dengan analisis petani pemilik dan penggarap hutan rakyat yang terlibat dalam kegiatan kemitraan. Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan satistik deskriptif dan kemudian dianalisa sesuai dengan data yang diperoleh. Dari hasil kajian di lapangan diketahui bahwa pembangunan huatn rakyat terbagi atas tiga tipe yaitu: (1) secara kemitraan antara masyarakat dengan BUMN, (2) swadaya yang dibagi menjadi dua tipe, yaitu tpe pemilik berada dekat lokasi hutan rakyat, dan tipe pemilik tidak berada di lkasi hutan rakyat, (3) serta kerjasama (kemitraan dengan pemerintah. Bentuk-bentuk pengembangan hutan rakyat ini sangat mempengaruhi terhadap pemberdayaan masyarakat, dan ini berguna untuk menilai keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Motivasi dilaksanakan kemitraan ini yaitu melindungi sumberdaya alam, peningkatan kesejahteraan petani, meningkatkan perfomance perusahaan, melindungi aset negara dari perambahan, menyediakan tambahan lapangan pekerjaan untuk masyarakat

143

disekitar hutan, mencegah terjadinya okupasi lahan, adanya kepastian kawasan sehingga perencanaan dapat dilakukan dengan baik, keamanan hutan dapat terjamin karena masyarakat turut melindungi. Selanjutnya untuk lebih meningkatkan kegiatan kemitraan ini maka sebaiknya ada lembaga pendamping, sebagai mediator antara peserta mitra dengan instansi pelaksana mitra, dimana lembaga pendamping harus independen. Kata kunci: Sosial Forestry, Pola Kemitraan, Pemberdayaan masyarakat Diniyati, Dian STRATEGI PENGEMBANGAN KELOMPOK TANI HUTAN RAKYATI / Dian Diniyati dan Eva Fauziah. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 51-64 , 2006 Kelompok tani hutan rakyat merupakan perkumpulan para petani yang mengusahakan hutan rakyat, dalam perjalanannya banyak memiliki kelebihan dan kekurangan, hal ini sangat dipengaruhi faktor dari luar dan lingkungan kelompok itu sendiri. Untuk mengembangkan kelompok tani perlu dicari strategi yang tepat, untuk itulah maka diperlukan kajian ini yang bertujuan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari kelompok tani sehingga dapat diramu strategi yang sesuai agar kelompok tani dapat mandiri dan berdayaguna bagi anggotannya. Kegiatan ini dilakukan di Desa Cisitu Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut dan Desa Werasari Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka. Responden adalah para pakar yang memahami tentang kelompok tani. Alat analisa yang digunakan yaitu analisa SWOT. Hasil pengolahan data diketahui kekuatan utama kelompok tani di Desa Cisitu adalah memiliki lahan garapan, sedangkan yang menjadi kelemahan utama tingkat pendidikan yang masih rendah, sedangkan peluang yang utama adanya dukungan dari pemerintah (adanya program yang mendukung) dan ancaman yang utama yaitu kurangnya tenaga penyuluh di lapangan. Hasil kajian untuk Desa Werasari adalah sebagai berikut, yang menjadi kekuatan utama yaitu memiliki lahan garapan, sedangkan kelemahan utamanya yaitu teknologi masih sangat tradisional, peluang utama yang dimiliki adalah adanya bimbingan teknis/pelatihan-pelatihan, dan terakhir yaitu ancaman utama kepemilikan lahan yang sempit. Kata kunci: Hutan Rakyat, Kelompok Tani

Diniyati, Dini KAJIAN BIAYA DAN PENDAPATAN HUTAN RAKYAT YANG DIKELOLA PETANI PADA BEBERAPA POLA PENGEMBANGAN / Dian Diniyati dan Eva Fauziah. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 119 - 128 , 2006 Manajemen yang digunakan pada pengembangan hutan rakyat pada umumnya adalah manajemen pemiliknya baik itu untuk aspek budidaya maupun aspek finansial, sehingga tidak jarang hasil/keuntungan yang diterima petani masih jauh dari standar yang diharapkan. Seperti pada aspek finansial banyak faktor yang tidak diperhitungkan yang menyebabkan keuntungan semu bagi petani. Untuk itulah maka kajian ini diperlukan untuk mengetahui besarnya biaya dari pendapatan pada semua pola pengembangan hutan rakyat, diharapkan hasilnya dapat memberikan informasi sehingga dapat menarik minat petani untuk terus mengembangkan hutan rakyat.Kegiatan ini dilakukan di 4 desa yang dipilih secara acak pada bulan Agustus-Desember 2005. Metode kajian yang dilakukan adalah metode survey dan wawancara terhadap responden terpilih. Selanjutnya analisa data yang digunakan adalah statistik deskriptif. Hasil kajian diperoleh bahwa komponen biaya yang dikeluarkan petani terdiri dari: persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, tenaga kerja dan pemanenan, dan biaya yang paling besar dikeluarkan petani adalah untuk tenaga kerja pada seluruh pola pengembangan. Sedangkan pendapatan yang paling tinggi yaitu pola GNRHL, dengan demikian keuntungan yang diperoleh petani yang paling tinggi pada pola GNRHL. Kata kunci: Hutan Rakyat, Kajian biaya, Pendapatan, Petani Ekawati, Sulistya KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS LOKAL: SEBAGAI WACANA DALAM PENGELOLAAN SUB DAS CICATIH / Sulistya Ekawati. -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 147-153 , 2006 Sub DAS Cicatih merupakan DAS lokal yang mempunyai karakteristik sosial ekonomi yang unik, yaitu banyaknya industri yang memanfaatkan air yang berasal dari DAS tersebut. Dari segi finansial seharusnya pengelolaan Sub DAS

144

Cicatih belum mempunyai kelembagaan yang mapan. Masing-masing stakeholders mempunyai kepentingan yang berbeda dan belum terjalin koordinasi diantara mereka. Agar sub DAS Cicatih terjaga kelestariannya diperlukan suatu kelembagaan, untuk mengatur perilaku seluruh stakeholders agar sejalan dengan tujuan sosial yang telah disepakati bersama, dirumuskan dan disepakati bersama karena merupakan motivator untuk membentuk suatu kelompok sosial. Kerjasama timbul apabila masing-masing pihak mempunyai tujuan yang sama dan pada saat yang sama mempunyai kesadaran untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bentuk kelembagaan yang disarankan adalah PPTPA (Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air). Kedudukan PPTPA tersebut sebagai fasilitator diantara para pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS (operator/provider, regulator/owner, user). Hubungan PPTPA dengan stakeholders lain pada dasarnya bersifat konsultatif dan koordinatif. Penetapan kebijakan tetap dilakukan pihak regulator. Keanggotaan PPTPA juga harus terwakili oleh semua pihak. Tugas pokok dari PPTPA adalah menyusun kebijakan rencana,koordinasi pelaksanaan dan memonitor serta mengevaluasi kegiatan pengelolaan DAS. Hasil kerja PPTPA diserahkan kepada pihak regulator (Presiden,Gubernur, Bupati/Walikota) sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS. Kata kunci: Kelembagaan, Pengelolaan DAS, DAS Cicatih Ekawati, Sulistya PEMBAGIAN PERAN (ROLE SHARING) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI: STUDI KASUS DI DAS SOLO DAN DAS PROGO / Sulistya Ekawati, Paimin, dan Purwanto. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 37-48 , 2005 Prinsip dasar pengelolaan DAS terpadu adalah one river, one plan and multi management, tetapi aplikasi di lapangan hal tersebut sulit dilakukan, khususnya untuk DAS-DAS lintas kabupaten dan lintas propinsi. Di masa otonomi daerah ada kecenderungan egoisme daerah dan egoisme sektoral, sehingga pengelolaan DAS dilakukan secara terfragmentasi. Koordinasi antar daerah dan antar sektor belum berjalan dengan baik, oleh karena itu perlu dirumuskan pembagian peran (role sharing) pada semua stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Penelitian ini dilakukan di DAS Solo dan DAS Progo. Keduanya merupakan DAS nasional (lintas propinsi). Pembagian peran (role

sharing) dalam pengelolaan DAS adalah sebagai berikut: leading sector perencanaan jangka panjang DAS nasional dilakukan oleh Bappenas, perencanaan jangka panjang DAS regional oleh Bappeda propinsi. Leading sector perencanaan jangka pendek oleh Bappeda kabupaten. Perencanaan disusun dengan melibatkan semua stakeholders sesuai dengan kewenangannya. Pelaksana pengelolaan DAS adalah semua stakeholders. Leading sector monev pengelolaan DAS nasional oleh Bappenas, Bappeda propinsi dan LSM. Leading sector monev pengelolaan DAS regional oleh Bappeda propinsi, Bappeda kabupaten dan LSM. Semua stakeholders di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten melakukan monev untuk sektornya masingmasing. Kata kunci: Daerah Aliran Sungai, DAS, Role Sharing, DAS Solo, DAS Progo Effendi, Rachman KONSEPSI REHABILITASI LAHAN KRITIS DI JAWA BARAT / Rachman Effendi; Sylviani. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 Suplemen No.1 ; Halaman 23-30 , 2006 Issue lahan kritis dan lahan tidur di Jawa Barat telah muncul ke permukaan dan menjadi masalah ketika terjadi bencana alam berupa banjir dan kekeringan di tengah-tengah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sedang terpuruk. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji aspek teknis dan sosial ekonomi rehabilitasi lahan kritis secara tidak terkendali. Untuk itu kajian ini diharapkan dapat membantu dalam menemukan metode yang tepat melalui pemberdayaan masyarakat penerima manfaat (beneficiary) yang didasarkan pada budaya dan kearifan lokal, dalam rangka pelaksanaan program rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan dengan menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) atau pengkajian desa secara cepat. Lokasi pengkajian didasarkan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki tingkat erosi terbesar antara lain DAS Cisadane dan DAS Ciujung yang ada di Jawa Barat. Jenis lahan kritis dibedakan ke dalam 4 (empat) tingkat ke kritisan lahan yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis dimana jumlah luas lahan kritis di Jawa Barat pada kawasan hutan mencapai 474.006 ha yang terdiri dari kawasan hutan lindung (101.690 ha), kawasan hutan konservasi (34.664 ha) dan kawasan hutan produksi (337.652 ha, Puslittanak, 1997). Konsepsi dasar rehabilitasi lahan kritis di Jawa Barat yang tepat di laksanakan dengan mengacu

145

pada prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan model pendekatan kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Teknik rehabilitasi lahan di kawasan lindung yang terdiri dari kawasan hutan dan kawasan non hutan dilakukan melalui penghijauan untuk memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal, sedangkan aspek sosek dilakukan melalui kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat dan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan dilakukan melalui pengembangan wanafarma, ekowisata, agroforestry di kawasan hutan. Kawasan budidaya terdiri dari hutan produksi, hutan rakyat dan pertanian lahan basah, dimana rehabilitasi pada hutan produksi yang dibebani hak merupakan tanggungjawab pemegang hak atas tanah dan pada hutan produksi yang tidak dibebani hak merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Rehabilitasi hutan dan lahan kritis pada hutan rakyat dapat dilakukan dengan pola insentif untuk memberikan rangsangan terhadap kegiatan pengelolaan kawasan budidaya dan pola disinsentif membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan pengelolaan kawasan budidaya. Pemilihan teknik budidaya dan jenis tanaman diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sesuai dengan lokasi dan jenis yang benilai ekonomi tinggi. Kata kunci : Rehabilitasi Lahan Kritis, Sosial Ekonomi, Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya, Kerifan Lokal, Rapid Rural Appraisal (RRA), Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan.

ekonomi masyarakat. Tulisan ini mengkaji nilai ekonomi manfaat lokal hutan lindung dan kawasan konservasi di Jawa Barat. Kajian lebih difokuskan pada landasan teori nilai ekonomi manfaat lokal dari kawasan, terutama air yang paling banyak dimanfaatkan masyarakat. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengetahui seberapa besar jasa lingkungan yang dikorbankan dan tidak pernah diketahui besarnya. Besaran nilai ekonomi manfaat lokal sumber daya hutan (SDH) menunjukkan sejauh mana manfaat SDH, disamping itu bagi masyarakat dan kemungkinan peranannya terhadap sumber pendanaan bagi pengelolan SDH dan nilai tersebut dapat dijadikan dasar penetapan besaran pajak lingkungan yang dapat dikenakan. Pemerintah pusat atau daerah dapat memberlakukan pajak lingkungan (green tax) sebagai salah satu sumber pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi hutan lindung dan konservasi. Hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya peningkatan harga hasil hutan sehingga mengurangi dampak negatif terhadap eksploitasi besarbesaran terhadap hutan Kata kunci : Degradasi hutan, sosial ekonomi masyarakat, perlindungan hutan, nilai ekonomi, hutan lindung Effendi, Rachman KAJIAN EFEKTIVITAS POLA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN PRODUKSI DALAM MENCEGAH ILLEGAL LOGGING / Rachman Effendi dan Indah Bangsawan. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 21-36 , 2005 Pola Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan sudah banyak dilakukan, namun apakah efektif untuk mencegah illegal logging belum banyak diungkapkan. Selaras dengan persoalan tersebut, penelitian bertujuan untuk mengkaji pola pemberdayaan masyarakat melalui Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan kemitraan serta efektifitasnya dalam mencegah illegal logging di kawasan hutan alam produksi. Penelitian dilakukan di Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat, dimana di kabupaten tersebut kegiatan illegal logging marak dilakukan di hutan produksi alam terutama pada areal pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Dari kabupaten tersebut ditentukan desa-desa yang berbatasan ataupun berada dalam kawasan hutan yang ada pola pemberdayaan dan tidak ada pola pemberdayaan. Adapun

Effendi, Rachman KAJIAN NILAI EKONOMI MANFAAT LOKAL HUTAN LINDUNG DI JAWA BARAT (LANDASAN TEORI) / Rachman effendi ; Sylviani. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 Suplemen No.3 ; Halaman 197-204 , 2006 Degradasi hutan di propinsi Jawa Barat cukup tinggi akibat penebangan pohon legal maupun illegal secara berlebihan serta konversi menjadi lahan non-hutan. Hal ini telah dirasakan dampak negatifnya bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat, baik masyarakat di sekitar hutan maupun di hilirnya antara lain kekeringan, banjir dan tanah longsor terutama di Kabupaten Garut, Kuningan, dan Sumedang. Diperkirakan tinggal 10% dari luas wilayah Jawa Barat yang masih berupa hutan tutupan, sedangkan selebihnya berupa tanah kosong yang tidak berfungsi lagi sebagai hutan. Untuk itu perlu adanya upaya perlindungan hutan dan lahan untuk memberikan peran optimal bagi lingkungan dan sosial

146

data yang dikumpulkan berupa (1) Pendapatan masyarakat, (2) Distribusi pendapatan, (3) Penyerapan tenaga kerja, dan (4) substitusi usaha illegal logging. Analisis efektifitas dilakukan untuk masing-masing pola pemberdayaan (PMDH dan Kemitraan) dalam mencegah illegal logging dengan mengukur peubah-peubah yang berpengaruh terhadap pola pemberdayaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan masyarakat tidak memberikan perbedaan yang berarti antara pemberdayaan masyarakat pola PMDH dengan Kemitraan, tetapi distribusi pendapatan pada pola kemitraan lebih merata dibanding dengan pola PMDH. Penyerapan tenaga kerja pola kemitraan lebih besar dari pada pola PMDH, demikian juga halnya pendapatan masyarakat dari illegal logging di desa yang berpola kemitraan lebih kecil dari pada di desa yang berpola PMDH baik bagi industri sawmill, penebang kayu maupun pedagang/pengumpul kayu illegal.Penyerapan tenaga kerja illegal logging dengan pola kemitraan lebih kecil dari pada penyerapan tenaga kerja illegal logging dengan pola PMDH. Pola pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dengan pola kemitraan lebih efektif dalam upaya pencegahan illegal logging dibanding dengan pola PMDH. Untuk itu pemberdayaan masyarakat dengan pola kemitraan dapat terus dilaksanakan dalam upaya pemcegahan illegal logging, hanya permasalahan selanjutnya bentuk pola kemitraan yang bagaimana dapat efektif untuk untuk mencegah illegal logging. Kata kunci: Illegal Logging, Hutan Produksi, Pola Pemberdayaan Masyarakat Fauziyah, Eva KONDISI DAN POTENSI TEGAKAN PADA BEBERAPA POLA PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT: KASUS DI KABUPATEN CIAMIS / Eva Fauziayah ; Dian diniyati. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.1 ; Halaman 59-74 , 2006 Pola pengembangan hutan rakyat hingga saat ini terdiri dari pola subsidi (inpres, padat karya), pola swadaya dan pola kemitraan. Tujuan dari kegiatan penelitian untuk mengetahui kondisi dan potensi hutan rakyat. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuisioner terhadap responden sebanyak 20% petani hutan rakyat yang ikut dalam kegiatan kemitraan dan dipilih secara sengaja. Kondisi tegakan hutan rakyat pada pola pengembangan swadaya tipe pemilik dekat dengan lokasi hutan rakyat kurang bagus, namun jenis dan jumlah pohonnya sangat bervariasi. Petani menjadikan hutan rakyat sebagai sumber mata pencaharian utama tetapi

bibit yang ditanam berasal dari anakan alamiah yang tidak selalu tersedia sepanjang tahun sehingga penanaman tidak bisa dilakukan secara serentak. Sedangkan pada pola pengembangan hutan rakyat swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi hutan rakyat, pola kemitraan dengan pemerintah maupun perhutani jenis tanamannya cenderung monokuler tetapi kondisi tegakannya bagus, karena pada pola ini sudah diterapkan sistem silvikultur yang baik, memperhatikan waktu penanaman dan dilakukan pemeliharaan. Sebaran kelas diameter dan sebaran kelas tinggi tegakan pada pola hutan rakyat adalah sengon. Dari beberapa pola pengembangan yang ada, potensi sengon terbesar pada pola pengembangan hutan rakyat swadaya tipe pemilik jauh dari lokasi. Sedangkan pada pola kemitraan potensi kayu sengon belum dapat dihitung mengingat umur tanaman masih muda Kata kunci: Hutan rakyat, Sengon, Pola Swadaya, Pola kemitraan, Potensi Kayu Ginoga, Kirsfianti Linda NILAI EKONOMI AIR DI SUB DAS KONTO DAN SUB DAS CIRASEA (The Economic Value of Water in Sub DAS Konto and Sub DAS Cirasea) / Kirsfianti Linda Ginoga ... [et.al.]. -- Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan : Volume 3 No.1 ; Halaman 41-60 , 2006 Nilai ekonomi manfaat hidrologis yang dihasilkan hutan lindung belum diketahui secara luas, sehingga apresiasi terhadap hutan lindung masih rendah dan tekanan terhadap hutan lindung masih terus berlangsung. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai-ekonomi manfaat hidrologis air dari hutan lindung. Metode yang digunakan adalah pendekatan biaya pengadaan, yang mencerminkan nilai minimal manfaat ekonomi air yang dirasakan rumah tangga di hulu DAS yang langsung memanfaatkan air dari sumber mata air hutan lindung. Analisis ini menggunakan software Minitab versi 13.0. Penelitian dilakukan di bagian hulu-tengah DAS Brantas, yaitu di Sub DAS Konto, yang mengalirkan air ke waduk Selorejo, dan di Sub DAS Cirasea, hulu DAS Citarum. Lokasi ini dipilih karena merupakan DAS yang paling banyak memiliki permasalahan, terutama polusi air permukaan, konflik air, dan penurunan muka air tanah, serta merupakan sumber air utama untuk Perum Jasa Tirta (PJT) I dan PJT II yang merupakan BUMN pensuplai air terbesar di pulau Jawa. Hasil penelitian menunjukkan nilai ekonomi air untuk manfaat hidrologis Sub DAS Konto, dan Sub DAS Cirasea, masing-masing sebesar Rp. 37.873.740.832/tahun dan Rp. 76.769.512.989/tahun, nilai ini adalah nilai yang diberikan oleh

147

keberadaan hutan lindung di Sub DAS Konto dan Sub DAS Cirasea yang menghasilkan manfaat hidrologis terhadap rumah tangga. Hasil perhitungan nilai ekonomi air dari manfaat hidrologis yang dihasilkan sebagai fungsi dari keberadaan kawasan hutan lindung di Sub DAS Brantas dan Sub DAS Cirasea ini, hanya sebagian kecil dari nilai ekonomi air total yang dikandung oleh kawasan hutan lindung di Sub DAS Konto dan Sub DAS Cirasea karena masih banyak pengguna-pengguna air lain yang lebih besar seiring dengan mengalirnya air. Kata kunci : Nilai ekonomi, Hidrologis, Hutan Lindung, Daerah Aliran Sungai (DAS), pendekatan biaya pengadaan. Ginoga,Kirsfianti BIAYA TRANSAKSI PENGELOLAAN DAS PERSPEKTIF UNTUK SUB DAS CICATIH / Kirsfianti Ginoga, Sulistya Ekawati dan Deden Djaenudin. -Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 43-53 , 2006 Penguatan kelembagaan air dalam konteks DAS mensyaratkan apa yang disebut sebagai biaya transaksi (transaction cost) .Kesepakatan dalam kelembagaan DAS akan tercapai apabila biaya transaksi yang ditimbulkan dari aransemen kelembagaan lebih rendah dari manfaat yang dirasakan bagi setiap stakeholder dalam pengelolaan DAS. Penguatan kelembagaan seperti PPTPA diperlukan untuk mengurangi biaya transaksi dan mencapai kesepakatan multi stakeholders. Secara konseptual, kinerja PPTPA dapat ditingkatkan apabila tidak mengandalkan pengelolaan air saja. Pembangunan hutan rakyat dalam bentuk agroforestry diyakini mampu lebih luas menjangkau kantung-kantung konservasi dan preservasi sumberdaya air, sekaligus mengurangi kemungkinan tingginya biaya transaksi. Hambatan kelembagaan sumberdaya air dapat diatasi apabila komitmen terhadap kesepakatan dapat ditingkatkan melalui penyebaran biaya dan manfaat yang lebih merata. Kata kunci: DAS, Biaya Pengelolaan, DAS Cicatih

Ginoga, Kirsfianti KONTROVERSI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG / Kirsfianti Ginoga...(et.al) . -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 77-96 , 2005 Permasalahan hutan lindung Indonesia sudah sangat kritis, laju penurunan luas dan alih fungsi hutan lindung terus meningkat, tetapi kebijakan hutan lindung belum memberikan kepastian arah yang berati. Kajian ini ingin menjawab bagaimana kebijakan dan peraturan perundangan menjawab permasalahan pengelolaan hutan lindung? Secara lebih khusus, kajian bertujuan untuk mengkaji konsistensi dan sikronisasi kebijakan tersebut, mengetahui kondisi hutan lindung saat ini, dan merekomendasikan kebijakan pengelolaan hutan lindung yang diperlukan untuk mencapai pembangunan hutan lindung yang berkelanjutan. Paling tidak terdapat 84 peraturan yang berkaitan dengan hutan lindung, akan tetapi arah kebijakan pengelolaan hutan lindung masih belum jelas. Keberadaan hutan lindung menurut peraturan peraturan perundangan masih dilematis, disatu sisi perlu dikonservasi tetapi di sisi lain masih dapat dibudidayakan. Karena itu kajian ini menyarankan perlunya kebijakan yang jelas dan terarah antara yang dilarang dan dibolehkan, kesamaan persepsi tentang istilah yang berkaitan dengan kawasan hutan lindung, tidak adanya overlapping antara kebijakan, tidak adanya dualisme antara kebijakan, dan tidak adanya ego sektoral antara pembuat kebijakan sehingga fungsi kawasan hutan lindung dan manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak yang terkait baik di pusat dan daerah secara berkeadilan dan berkelanjutan. Secara khusus diperlukan peraturan perundangan yang mengatur aspek kelembagaan hutan lindung, termasuk kelembagaan pusat dan daerah, penekanan kewenangan pengelolaan hutan lindung tetap pada pemda/BUMN/D, dengan pengembangan koordinasi antar departemen, pusat-daerah, dan antara satu daerah dengan daerah lainnya, dan diperlukannya peraturan (PP atau Keppres) yang memuat perintah kebijakan pengembangan hutan lindung, yang harus ditindaklanjuti oleh departemen sektoral, dimana peraturan tersebut mampu menunjukan adanya Sense of Crisis dalam pengelolaan hutan lindung, termasuk yang mengancam kelestarian kawasannya. Kata kunci: Hutan Lindung, Pengelolaan

148

Gintings, A. Ngaloken HUTAN, TATA AIR, DAN KELESTARIAN DAS CICATIH / A. Ngaloken Gintings. -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 55-61 , 2006 Peran hutan dalam menjaga kesuburan tanah dan mengatur tata air dalam suatu DAS sudah banyak dibuktikan. Pada akhir-akhir ini peran hutan tersebut sering menjadi perdebatan yang kontraversial karena dilakukan pada luasan yang relatif kecil. Bukti-bukti bahwa di areal yang hutannya lebat juga pernah terjadi banjir dapat dimengerti tapi frekuensi banjir di daerah yang tidak berhutan akan lebih banyak dibanding dengan daerah yang berhutan. Kelemahan yang juga sering terjadi adalah pengertian hutan yang tidak sama bagi masyarakat. Tanaman hutan yang berada di daerah yang miring dan dibawahnya ditanami ubi kayu akan mendatangkan erosi yang cukup besar di musim penghujan. Demikian juga peran tanaman sejenis dalam mengatur kesuburan tanah dan tata air akan lebih kecil dibanding dengan kawasan yang hutannya merupakan tanaman campuran dengan tajuk berlapis. Bagaimana peran hutan dalam mengatur tata air dan bagaimana kelestarian DAS Cicatih dapat dicapai akan dibahas dalam tulisan ini. Kata kunci: DAS, Tata Air, DAS Cicatih Hakim, Ismatul KAJIAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN DENGAN PENDEKATAN SOCIAL FORESTRY: STUDI KASUS POLA PHBM DI KHDTK CARITA DAN POLA MHBM DAN MHR DI AREAL HTI PT. MHP MUARA ENIM / Ismatul Hakim. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 115-138 , 2005 Pendekatan pembangunan kehutanan selama ini yang bersifat strukturalkuantitatif, orientasi, target, proyek, monolog, kaku dan statis telah menjadi penyebab kegagalan kita dalam mencapai cita-cita Hutan Lestari Rakyat Sejahtera. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat kultural-kuantitatif merupakan sebuah konsekwensi logis yang harus dterapkan di masa mendatang. Model pengelolaan kawasan hutan ke depan harus merupakan model adaptif dalam bentuk pendekatan yang konprehensif. Pendekatan adaptif

seperti ini yang diharapkan mampu mencapai cita-cita ideal dari konsep Social Forestry dalam pengelolaan hutan. Sejak awal kita harus berani memulai menerapkan berbagai alternatif model Social Forestry yang merupakan hasil optimal kombinasi berbagai pertimbangan aspek teknologi, aspek manajemen dan aspek sosial budaya (kelembagaan) masyarakat setempat yang bersifat lokal spesifik dan dinamis dari sudut ruang dan waktu. Pola pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani di sekitar Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita dan pola mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dan pola mengelola hutan rakyat (MHR) di kawasan produksi HTI Muara Enim oleh PT. Musi Hutan Persada (MHP) masih bernuansa pendekatan struktural-kuantitatif dari atas ke bawah, berorientasi target, proyek, monolog, kaku,statis, dan orientasi jangka pendek, meskipun masyarakat sudah lebih banyak berperan dan memperoleh manfaat. Akan tetapi kedua pola ini sudah menunjukan kemajuan besar dalam pembangunan dan pengelolaan hutan dimana pihak pengelola utamanya sudah banyak melibatkan banyak pihak terkait (stakeholders) dan memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan masyarakat dan pedesaan. Beberapa pendekatan yang melibatkan para pihak seperti Rapid Rural Appraisal (RRA), Konsultasi Multipihak, Participatory Rural Appraisal (PRA) dan workshops yang melibatkan semua pihak terkait dapat memberikan masukan kebijakan dan langkah yang tepat dalam membangun model-model Social Foestry dan menerapkannya di lapangan. Hanya dengan menerapkan berbagai model Social Forestry dalam pengelolaan lahan dan hutan dengan variasi aspek teknologi, aspek manajemen dan aspek sosial budaya kelembagaan pada tingkat mikro, kita dapat membangun kelembagaan yang kuat di masyarakat dimana masyarakat menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat dalam membangun hutan lestari yang masih ada dan merehabilitasi hutan dan lahan yang sudah rusak. Kita tidak memerlukan pendekatan arogansi birokrasi dan kekuasaan yang tersembunyi di balik istilah negara, dengan memisahkan negara dari rakyatnya sendiri karena justru rakyat lebih banyak berhasil mengelola lahan miliknya menjadi Hutan Rakyat. Kata kunci: Social Forestry, PHBM, KHDTK Carita, PHBM, MHR, HTI, PT.Musi Hutan Persada

149

Hakim, Ismatul PENGUATAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT: SEBUAH SOCIAL CAPITAL BAGI MASA DEPAN KEHUTANAN INDONESIA / Ismatul Hakim. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 22-42 , 2006 Hutan rakyat yang tumbuh di Indonesia khususnya di Pulau Jawa merupakan hasil perpaduan antara budaya lokal/tradisional masyarakat/petani dalam menanam pohon dengan budaya baru yang mengandung muatan teknologi dan manajemen pohon yang lebih berorientasi pasar dan industri, sehingga merupakan social capital penting bagi penguatan kelembagaan sektor kehutanan ke depan. Hutan Rakyat di beberapa daerah di Pulau Jawa seperti di Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten, Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa Tengah telah mampu mendorong pertumbuhan kesempatan kerja, kesempatan usaha, meningkatkan pendapatan masyarakat dan bahkan telah memberikan kontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat dan bahkan telah memberikan kontribusi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk memperkuat pola dan kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat secara lestari, perlu adanya dukungan kebijakan, pengaturan kelembagaan usaha di tingkat petani dalam bentuk Kelompk Tani, Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE dan Koperasi Tani) yang benar-benar tumbuh dan diciptakan dari masyarakat sendiri secara alami agar bisa lebih berdaya.Adanya pertumbuhan budaya menanam yang demikian tinggi seperti Hutan Rakyat di masyarakat ini harus terus ditumbuhkembangkan oleh pemerintah dengan memberikan dorongan insentif dan kemudahan bagi pengembangan Hutan Rakyat di masa mendatang. Istilah Hutan Rakyat masih erupakan rekayasa dari atas yang tidak dikenal masyarakat, yang jelas masyarakat/petani sudah dapat meghasilkan kayu yang berasal dari lahan miliknya sendiri dan dikelola dengan modal sendiri. Pengaturan yang berbelit belit terhadap peredaran dan pemasaran hasil kayu dari masyarakat akan menjadi disincentive bahkan distorsi dalam menumbuhkan budaya menanam pohon di masyarakat. Kata kunci: Hutan Rakyat, Social Capital

Hakim, Ismatul KAJIAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN SEKTOR KEHUTANAN DALAM KONTEKS DESENTRALISASI : STUDI KASUS DI KABUPATEN PANDEGLANG, PROPINSI BANTEN / Ismatul Hakim. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 109-118 , 2006 Peranan hutan sebagai kawasan maupun sebagai tutupan vegetasi masyarakat pepohonan pada sebuah hamparan lahan sangat penting dalam mendukung kelestarian ekositem suatu daerah baik dari segi penataan air (hidro-orologis), segi pengaturan tata iklim dan cuaca (udara) atau Clean Development Mechanisms (CDM), segi pegaturan sosial ekonomi dan segi pertahanan sosial budaya masyarakat setempat. Peran dan fungsi hutan dalam bentuk kawasan tetap dan tutupan vegetasi hutan di kabupaten Pandeglang propinsi Banten seharusnya dapat dipahami secara tepat dan benar oleh semua pihak baik pemerintah (PEMDA,DPRD, dan pihak terkait lainnya), dunia usaha (BUMN, BUMD, Swasta), Perguruan Tinggi, Lembaga atau Organisasi Kemasyarakatan maupun kelompok-kelompok yang hidup di masyarakat terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam hutan dan lahan dalam membuat peraturan perundangan dan kebijakan seperti PERDA, Peraturan Bupati, Surat Keputusan Bupati, Surat Keputusan Kepala Dinas lainnya. Dalam konteks desentralisasi sektor kehutanan di daerah, maka para pihak di daerah harus dapat memahami berbagai peraturan perundangan terkait seperti Undang-undang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya No: 5 tahun 1990 dan Undang-undang Pokok Kehutanan No. 41 tahun 1999, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan berbagai peraturan operasional di bawahnya. Isi dan kandungan daripada PERDA bidang kehutanan harus menampung dan menyerap berbagai permasalahan dan potensi aktual yang terjadi di tingkat kebijakan dan tingkat operasional lapangan baik horizontal maupun vertikal. Disamping itu, RAPERDA/PERDA yang diajukan harus sejalan dengan isi dan substansi yang ada dalam peraturan perundangan tersebut termasuk 5 (lima) prioritas program yang sudah dicanangkan oleh Departemen Kehutanan yaitu prioritas program pembangunan kehutanan terdiri dari : (1) pemberatasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal, (2) revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan, (3) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, (4) pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, dan (5) pemantapan kawasan hutan. Pandangan dan pemahaman yang sama dari pihak Pemerintah Daerah atau Pemerintah Propinsi dengan

150

pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan akan mampu mendorong kemantapan sektor kehutanan di daerah secara sinergis antara para pihak di daerah. Dengan pemahaman yang sama dan dukungan yang kuat antara semua pihak terkait dalam proses penyusunan sebuah perangkat peraturan dan perundangan seperti PERDA bidang/sektor kehutanan akan melahirkan komitmen dan tanggung jawab yang kuat semua dalam pencapaian misi dan visi serta penerapan substansi penguatan sektor kehutanan di daerah. Kata kunci: Kebijakan Kehutanan, Desentralisasi, kab. Pandeglang, Banten Handayani, Wuri PENDEKATAN SIMULASI HIDROLOGI DALAM PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS / Wuri Handayani dan Gunardjo Tjakrawarsa. -Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 123-143 , 2006 Ketertarikan komponen biofisik DAS dan kepentingan ekonomi wilayah, menjadikan pengelolaan DAS merupakan pendekatan yang penting dalam perencanaan pembangunan wilayah. Namun pendekatan pengelolaan DAS dalam perencanaan pembangunan wilayah masih belum populer/jarang digunakan dibanding pendekatan lainnya. Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai input pembangunan wilayah pada masa kini masih lebih banyak menekankan pada batas-batas yang bersifat politis atau administratif, padahal dampak yang ditimbulkan mengikuti batas alam/ekosistemnya yang tidak mengenal batas administrasi. Pengelolaan DAS adalah pengelolaan berbagai sumberdaya alam yang terdapat di dalam satuan DAS dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi budaya yang berkembang di dalam DAS, sehingga dapat dicapai pengelolaan yang rasional untuk mencapai keuntungan optimal yaitu dalam waktu tak terbatas dan resiko kerusakan minimal. Dengan demikian pengelolaan DAS dapat ditinjau dari sudut pandang fisik maupun institusi sehingga kegiatan dan kebijakan pengelolaan DAS yang perlu ditempuh tidak hanya mendasarkan pada indikator fisik, tetapi keberhasilannya sangat didukung oleh adanya kelembagaan untu mewujudkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan Sinergi. Daerah Aliran Sungai merupakan megasistem kompleks yang terbangun atas sistem fisik, sistem biologis dan sistem manusia, dan setiap sub sistem saling berinteraksi (Kartodihardjo, 2005). Unsur penyusun sistem di dalam DAS tersebut antara lain berupa sumberdaya

alam seperti tanah, vegetasi, dan air, umumnya menjadi obyek atau sasaran fisik alamiah, sedangkan manusia menjadi subyek atau pelaku pendayagunaan unsur-unsur tersebut (Murtilaksono, 1987). Pendayagunaan salah satu atau beberapa unsur/komponen akan mempengaruhi komponen lainnya di dalam DAS dan dapat menimbulkan perubahan dari keadaan alaminya sehingga terjadi gangguan keseimbangan atau gangguan ekologis yang menunjukan terjadinya degradasi DAS. Hidrolologi adalah indikator yang sangat signifikan untuk mengetahui adanya degradasi DAS seperti terjadinya erosi, longsor dan sedimentasi serta distribusi aliran yang tidak seimbang/merata (timbulnya banjir dan kekeringan). Tulisan ini akan memberikan gambaran penggunaan simulasi hidrologi dalam perencanaan pengelolaan DAS, beberapa tujuan penggunaannya dan manfaat yang diperoleh. Dalam tulisan ini juga diberikan contoh aplikasi simulasi (model) hidrologi dikaitkan dengan penutupan/penggunaan lahan sehingga dapat diketahui pengaruh perubahan penutupan/penggunaan lahan terhadap perubahan hasil air DAS. Kata kunci: DAS, Hidrologi, Perencanaan pengelolaan DAS Hayati, Nur POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi

Nur Hayati. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.1 ; Halaman 13-21 , 2006 Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani Hutan Bulu Dua yang mengelola hutan rakyat di Desa Lasiwala, Kecamatan Pitu Riawa Provinsi Sulawesi Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pengelolaan lahan kritis bersama masyarakat pada areal hutan rakyat. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner. Data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi, dianalisis dan dibahas dengan metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pengelolaan hutan rakyat dilakukan dalam bentuk monokultur tanpa tanaman pendamping. Anggota kelompok tani pada umumnya mempunyai kebun di luar kawasan hutan Gmelina yang dikelola secara terpisah berupa kebun coklat, jambu mete dan kelapa. Untuk menambah sumber pendapatan selain dari sektor kehutanan, rata-rata petani memiliki lahan pertanian atau empang ikan yang dikelola secara terpisah di luar kawasan hutan rakyat atau bekerja di luar sektor kehutanan dan

Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) /

151

pertanian. Struktur organisasi kelompok tani termasuk dalam kategori organisasi modern. Adanya wadah kelompok tani ini semakin mempermudah pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten Sidrap, BP DAS Jeneberang Walanae dan LSM Yagrobitama, untuk melakukan koordinasi dengan para petani khususnya dalam melakukan pembinaan. Dampak lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya program hutan rakyat adalah lingkungan (iklim mikro) yang lebih baik, tidak ada tanah gersang dan lahan kering yang berupa alang-alang, erosi dan tanah longsor. Kata kunci : pengelolaan, hutan rakyat, lahan kritis Hendarto, Kresno Agus MENINGKATKAN KEMITRAAN PENGELOLAAN DALAM HUTAN TANAMAN INDUSTRI: BEBERAPA KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN/ Kresno Agus Hendarto dan Krisdianto. -- Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 161169 , 2006 Ada tiga pilar pelaku ekonomi yang diamanatkan di UUD 1945, yaitu Pemerintah swasta, dan usaha kecil/koperasi. Hasil sensus ekonomi tahap III menunjukan bahwa pengusaha besar jumlahnya di bawah 1 persen, tetapi menguasai 70 persen Produk Domestik Bruto. Salah satu upaya yang dianggap tepat dalam memecahkan masalah ini adalah dengan melalui kemitraan. Kemitraan dilakukan antara pengusaha besar dan kecil, antara yang kuat dan yang lemah. Mengambil contoh pengelolaan Hutan Tanaman Industri, tulisan ini mencoba untuk menggambarkan tentang bagaimana pola kemitraan yang telah dilakukan dan apa saja kebijakan yang dapat ditelurkan agar proses kemitraan ini dapat terus berlanjut. Kata kunci: Hutan Tanaman Industri, Kemitraan Pengelolaan

Hendarto, Kresno Agus KAJIAN KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN / Kresno Agus. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 63-77 , 2005 Kebijakan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) bertujuan untuk menanggulangi dan mengurangi laju penambahan lahan kritis. Namun demikian ada beberapa kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang masih belum sinkron dan terintegrasi dengan kebijakan GERHAN. Oleh karena itu kajian kebijakan pemerintah tentang rehabilitasi hutan dan lahan sangat diperlukan. Hasil penelitian di Propinsi Kalimantan Tengah menunjukan bahwa untuk daerah-daerah (Kabupaten dan Kota) yang tidak membuat Peraturan Turunan dari Peraturan yang dibuat Pemerintah Pusat, maka turunnya dana sebaiknya pada awal tahun anggaran. Pendanaan untuk inventarisasi dan identifikasi sosekbud masyarakat dan perencanaan teknis dapat disalurkan minimal pada tahun T-1. Kepastian jumlah dan waktu penyerahan bibit dari BPDAS agar pasti sehingga dapat memudahkan merencanakan kegiatan. Seandainya memungkinkan, untuk tahun-tahun ke depan selain penanaman dilakukan oleh daerah, bibit juga diusahakan oleh daerah. Meminimalisasi pihak-pihak yang terlibat dalam GERHAN, agar rantai birokrasinya lebih pendek. Sedangkan untuk daerah yang telah membuat Peraturan Turunan dari peraturan yang dibuat Pemerintah Pusat, hal ini dapat diteruskan karena masing-masing daerah mempunyai ciri karakteristik yang berbeda. Selain itu secara keseluruhan, perencanaan dan prioritas lokasi perlu diperhatikan, kejelasan setelah kegiatan proyek selesai, waktu yang sesuai, serta standar biaya antara satu daerah dengan daerah lainnyapun menentukan baik tidaknya kegiatan rehabilitasi. Kata kunci: Rehabilitasi hutan, Rehabilitasi lahan, Kebijakan

152

Hendarto, Kresno Agus POTRET ILLEGAL LOGGING DI PROPINSI RIAU: STUDI KASUS PERUBAHAN PERAN LEMBAGA SOSIAL DAN LEMBAGA EKONOMI DESA / Kresno Agus Hendarto dan Aneka Prawesti Suka. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 189-196 , 2005 Dengan kata yang ringkas, Illegal logging adalah logging atau penebangan kayu di Taman Nasional atau kawasan konservasi lain, tanpa ijin dari pemerintah (yang oleh negara diserahi tanggung jawab untuk mengurus). Kayu hasil illegal logging biasanya dilempar keluar untuk menghindari pencekkan dan kontrol. Mengambil lokasi di propinsi Riau, menggunakan metode sample bertujuan, dan dengan analisis studi kasus deskriptif, tulisan ini memcoba memberi gambaran singkat/memotret dampak dari kegiatan illegal logging terhadap perubahan peran kelembagaan yang ada. Hasil analisis menunjukkan bahwa adanya kegiatan illegal logging memberikan dampak perubahan terhadap peran lembaga sosial yang ada di lokasi illegal logging. Kata kunci: Illegal Logging, Propinsi Riau, Kelembagaan Hidayat, Asep ANALISIS PEMUNGUTAN ROTAN PADA DUA KELOMPOK MASYARAKAT PEMUNGUT (analysis of rattan Collection on Two Group Collector)/ Asep Hidayat; Henti Hendalastuti R.; Dodi Frianto. -- Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan : Volume 3 Suplemen No.2 ; Halaman 91-107 , 2006 Penelitian bertujuan untuk mengetahui pola dan aspek-aspek pemungutan rotan pada dua kelompok pemungut yaitu masyarakat biasa dan masyarakat adat/Kubu yang dikenal dengan sebutan Suku Kubu. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara langsung dengan petani/kelompok tani pemungut/pengumpul. Pengujian faktor dominan dilakukan dengan metode one pair comparasion Hasil penelitian menunjukkan terdapatnya perbedaan beberapa aspek penelitian pada dua kelompok pemungut. Pada masyarakat biasa pemungutan rotan dilakukan secara individual, umumnya berstatus sebagai pekerjaan sampingan dan mampu menghasilkan pendapatan Rp 33.000 Rp. 2.200.000,- per bulan. Sedangkan pada Suku Kubu pemungutan

dilakukan secara berkelompok, merupakan pekerjaan utama bersama-sama dengan pengumpulan hasil hutan non kayu lainnya, dan mampu menghasilkan pendapatan Rp. 3.200.000 Rp. 4.000.000,- per bulan. Dari hasil penelitian tersebut, kegiatan pemungutan memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan pemungut dan pemungutan yang dilakukan sangat memperhatikan kelestarian terutama yang dilakukan oleh masyarakat adat (Suku Kubu) Kata kunci : rotan, pemungutan, kelompok pemungut Indartik ILLEGAL LOGGING DI TAMAN NASIONAL BETUNG KERIHUN (TNBK) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI/ Indartik; Nunung Parlinah; Aneka Prawesti Suka. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.2 ; Halaman 75-85 , 2006 Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) sebagai salah satu taman nasional dengan areal yang cukup luas (800.000 Ha) memiliki nilai penting dan fungsi yang sangat strategis dalam mendukung sistem penyangga kehidupan serta mendukung pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, khususnya Provinsi Kalimantan Barat. Kegiatan illegal logging saat ini marak terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu dan mulai mengancam kawasan konservasi Taman Nasional Betung Kerihun. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pola praktek illegal logging di TNBK, 2) Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi terjadinya illegal logging?; dan (3) Upaya-upaya apa yang telah dilakukan untuk mencegah praktek illegal logging?. Hasil pembahasan memperlihatkan pola illegal logging di TNBK dibedakan berdasarkan : (1) Jalur pengangkutan kayu; (2) Pelaku illegal logging; dan (3) Sistem jual beli. Berdasarkan jalur pengangkutan kayu dibedakan dalam 2 jalur, yaitu darat dan air. Rute darat terbagi menjadi jalur utara (Malaysia) dan jalur selatan (Pontianak). Berdasarkan pelaku illegal logging dibagi 2 kelompok, yaitu kelompok selatan dan utara. Kelompok selatan adalah illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat di luar masyarakat adat secara individual atau berkelompok. Sedangkan yang dimaksud kelompok utara adalah kelompok masyarakat dalam bentuk badan usaha (koperasi) yang memiliki ijin HPHH 100 ha. Perkembangan lanjut dari praktek illegal logging ini dalam praktek jual beli dikenal 2 sistem, yaitu sistem penjualan langsung (cash and carry) dan sistem ijon (rentenir). Faktor-faktor yang mendorong terjadinya illegal logging adalah akibat kombinasi faktor sosial ekonomi (kemiskinan mengakibatkan tekanan terhadap sumber daya hutan), faktor hukum dan

153

kebijakan (reformasi dan otonomi daerah), faktor sosial budaya (pergeseran tata nilai di masyarakat yang cenderung materialistis) dan permintaan kayu (Permintaan kayu tinggi). Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam menanggulangi illegal logging diantaranya : Operasi Wanalaga, patroli PolHut dan sarasehan multi pihak dalam mencari solusi penanggulangan illegal logging. Efektivitas penanggulangan illegal logging melalui pendekatan keamanan tersebut sampai saat ini dirasakan masih belum efektif. Hal ini diindikasikan dengan masih maraknya illegal logging. Kata Kunci : TNBK, Illegal logging, Pola Illegal Logging Irawanti, Setiasih KAJIAN SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG-BULUSARAUNG DI SULAWESI SELATAN/ Setiasih Irawanti. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.1 ; Halaman 39-57 , 2006 Tujuan kajian sosial ekonomi dan kelembagaan ini adalah memperoleh data dan informasi mengenai kondisi, potensi dan permasalahan sosial ekonomi dan kelembagaan yang ada di lokasi Taman Nasional (TN) BantimurungBulusaraung sebagai masukan dalam proses penyusunan rencana pengelolaannya. Di kawasan TN masih ditemui pemukiman penduduk dari desadesa sekitarnya sehingga perlu dipertimbangkan dalam proses pengukuhan khususnya penataan batas, serta dalam proses penataan hutan khususnya zonasi kawasan. Pabrik semen Bosowa (konsesi 1.000 Ha) dan 11 industri marmer (konsesi 2,7 Ha s/d 50 Ha) di Kabupaten Maros, serta pabrik Semen Tonasa (konsesi 1.354,7 Ha), 18 industri marmer (konsesi 2,7 Ha s/d 50 Ha), dan penambangan pasir/pasir silika/batu /batu gunung/semen/emas di Kabupaten Pangkep, dapat memberi kontribusi pada Penerimaan Daerah, namun dipandang kurang sejalan dengan kebijakan penunjukan kawasan kars tersebut sebagai kawasan konservasi.Di Kabupaten Maros 6 diantara 10 obyek wisatanya, serta di Kabupaten Pangkep 2 diantara 7 obyek wisatanya, berada di desa-desa yang berbatasan dengan TN. Keberadaan gua-gua di kawasan tersebut merupakan potensi untuk pengembangan obyek wisata alam, sehingga menjadi peluang kerja dan berusaha untuk memberdayakan masyarakat serta sebagai sumber Penerimaan Daerah. Dengan menyediakan sarana prasarana fisik dan kelembagaan, Pemerintah Kabupaten Maros dapat menghimpun Penerimaan Daerah dari Taman Wisata Alam Bantimurung yang makin

meningkat dari tahun ke tahun. Mengelola jasa wisata alam dengan baik dapat menjadikannya sebagai sumber Penerimaan Daerah yang dapat diandalkan. Selain sejalan dengan penunjukkan kawasan kars Bantimurung-Bulusaraung sebagai TN, pemanfaatan jasa wisata alam dapat menjadi alternatif pengganti pemanfaatan tambang yang kurang mendukung upaya konservasi. Pemerintah Daerah (PEMDA) Sulawesi Selatan membuka peluang untuk berinvestasi pada usaha pariwisata alam, bahari serta budaya. Dinas Pariwisata Provinsi telah menjalin kerja sama dengan sejumlah biro perjalanan wisata dan menyediakan paket-paket wisata. Pengembangan wisata alam di Sulawesi Selatan dapat menjadi pengungkit bagi berkembangnya pemanfaatan jasa lingkungan terutama wisata alam yang ada di desa-desa sekitar TN BantimurungBulusaraung. Stakeholder primer yang perlu diperhatikan kepentingan dan partisipasinya dalam menyusun rencana pengelolaan TN BantimurungBulusaraung adalah: 1. Pemerintah Pusat melalui Balai Konservasi Sumberdaya Alam dan Balai Perpetaan Kawasan Hutan Sulawesi Selatan. 2. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Dinas Pariwisata, Biro Perjalanan Wisata 3. Pemerintah Kabupaten Maros dan jajarannya, Pabrik Semen Bosowa, Industri Marmer, Kantor Pengelola Kawasan Bantimurung, Dinas Pariwisata Kabupaten, dan penduduk desa setempat. 4. Pemerintah Kabupaten Pangkep dan jajarannya, Pabrik Semen Tonasa, Industri Marmer, Penambang pasir/pasir silika/batu gunung /emas, pelaku usaha tambang lainnya, dan penduduk desa setempat. Bila pengelolaan TN Bantimurung-Bulusaraung dilakukan secara kolaboratif /kemitraan, stakeholder yang akan berkolaborasi memiliki kepentingan yang beragam sehingga perlu dibangun kesepahaman, saling percaya, adil, partisipatif, saling menguntungkan, ada peluang bagi masyarakat dan perlu pendampingan Kata kunci: Bantimurung-Bulusaraung, konservasi, kelembagaan

154

Irawanti, Setiasih HUTAN MANGROVE CIAMIS YANG TERABAIKAN / Setiasih Irawanti ; Prasmadji Sulistyanto ; Kuncoro Ariawan. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.3 ; Halaman 205-217 , 2006 Ekosistem mangrove dengan berbagai jenis vegetasi penyusunnya memiliki karakteristik khas, berbagai fungsi ekologi, sosial, ekonomi, dan politis, sehingga keberadaannya sangat berarti bagi lingkungan dalam arti luas. Karakteristik laut dan pesisir sangat terbuka, aksesibilitas sangat baik, strategis dan kaya sumberdaya alam, karenanya ekosistem mangrove menghadapi ancaman sangat berat dari berbagai sektor atau stakeholder. Beragamnya data dan informasi tentang keberadaan hutan mangrove di Ciamis menarik perhatian untuk dikaji. Penelitian dilakukan pada awal tahun 2006 di Kabupaten Ciamis, pengumpulan data menggunakan metoda pencatatan, konsultasi dan pengamatan lapangan, serta metoda analisis tabulasi, evaluatif, dan deskriptif, dengan hasil sebagai berikut. Data keberadaan dan luas hutan mangrove di Kabupaten Ciamis sangat bervariasi namun dilaporkan sebagian besar berada di Desa Pamotan, dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Hutan mangrove di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ciamis termasuk hutan produksi (HP) kelas hutan alam kayu lain tak baik untuk jati (HAKLTB), namun selama hampir 30 tahun belum dilakukan pengelolaan atau pengusahaan sebagaimana mestinya sebuah kawasan hutan sehingga terkesan sebagai lahan tidur. Konversi hutan mangrove tersebut oleh penduduk setempat menjadi lahan persawahan padi dan pemukiman dilakukan karena hasil tangkapan ikan nelayan Pamotan kian hari kian menurun akibat pendangkalan dan penyempitan Segara Anakan, sehingga mereka beralih profesi menjadi petani padi. Masih 40% hutan mangrove di KPH Ciamis berupa rawa atau semak belukar, namun di dalamnya telah dipenuhi patok-patok klaim hak atas lahan dari masyarakat setempat. Seluruh hutan mangrove di KPH Ciamis kini tengah menghadapi bencana kepunahannya. KPH Ciamis memberi perhatian atas hutan mangrovenya setelah sebagian dikonversi oleh masyarakat setempat menjadi persawahan dan pemukiman penduduk. Usaha mengembangkan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) untuk hutan mangrove oleh KPH Ciamis baru dalam tahap wacana. Perlu pula dirintis kerjasama antara Perum Perhutani khususnya KPH Ciamis, Proyek Rehabilitasi dan Konservasi Segara Anakan, serta Pemerintah Kabupaten Ciamis untuk mengkonservasi Segara Anakan dan hutan mangrove desa Pamotan di wilayah hilir DAS Citanduy, dengan cara melakukan rehabilitasi dan konservasi wilayah hulu DAS Citanduy.

Kata kunci : Mangrove, Ciamis, Perhutani Karyono DAMPAK PEMANFAATAN SUMBERDAYA AIR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN SUKABUMI / Karyono dan Kirsfianti Ginoga. -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 209-217 , 2006 Setelah diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999, banyak kebijakan daerah yang diluncurkan dalam upaya menggali sumber pendapatan asli daerah (PAD), salah satunya adalah pajak air bawah tanah (PABT) dan pajak air permukaan (PAP). Untuk kabupaten Sukabumi, selama empat tahun terakhir, tahun 2002 sampai 2005, penerimaan pajak air bawah tanah mencapai Rp. 34.214.000 dan pajak air permukaan mencapai Rp. 1.152.241.450. Pemanfaatan sumberdaya air melalui industri air minum dalam kemasan (AMDK) membuka kesempatan berusaha terhadap 28 perusahaan dan membuka kesempatan kerja sebanyak 2.370 orang dengan kemampuan investasi AMDK antara Rp. 220.000.000 s/d Rp. 27.000.000.000,-. Besarnya PAD dari pajak air ini masih belum sepenuhnya kembali kepada pengelolaan konservasi air. Karena itu bagaimana agar dampak pemanfaatan air ini kembali kepada konservasi air perlu mendapat perhatian lembaga yang berwenang, terutama pengelola hutan lindung dan kawasan konservasi, Pemda Sukabumi dan ASPARDIN. Kata kunci: Sumberdaya Air, Pendapatan Asli Daerah, Kabupaten Sukabumi Karyono, OK PELUANG PENGUSAHA BERINVESTASI DI SEKTOR PARIWISATA ALAM DI KAWASAN KONSERVASI / O.K. Karyono. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 197-203 , 2005 Kawasan Pelestarian Alam yang boleh dimanfaatkan untuk pariwisata alam sebanyak 41 lokasi di kawasan Taman Nasional, 17 lokasi di kawasan Taman Hutan Raya dan 102 lokasi di kawasan Taman Wisata Alam (Dephut, 2003). Pola investasi yang diterapkan pada pengembangan pariwisata alam

155

memberikan kesempatan berusaha di bidang pariwisata alam yang bersifat komersial terutama BUMN,BUMD, dan Koperasi serta kepada pihak-pihak tertentu (PMDN dan PMA) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jumlah pengusaha/investor yang menanamkan modalnya di sektor Pariwisata Alam s.d. Juni 2004 adalah 43 perusahaan.Dari jumlah ini, 15 buah pada kawasan Taman Nasional, 28 buah pada kawasan Taman Wisata Alam (TWA),.Jumlah modal yang diinvestasikan oleh pemegang Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) dalam kegiatan pariwisata alam tercatat Rp. 1,3 milyar. Dilihat dari jumlah kawasan konservasi yang bisa dimanfaatkan sebagai obyek wisata alam dengan jumlah taman nasional yang sudah ada pengusahanya, masih terbuka peluang bagi investor/pengusaha untuk menanamkan modalnya di sektor pariwisata alam. Kata kunci: Pariwisata Alam, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Kawasan konservasi

sebab itu dalam tulisan ini dikaji sejauhmana kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan asli daerah. Kata kunci: Hutan Rakyat, Pendapatan Asli Daerah, Ciamis, Jawa Barat Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT DAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA / Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tasikmalaya. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 1-7 , 2006 Hutan dan lahan sebagai sumberdaya alam merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Pengasih. Pemanfaatannya harus dilaksanakan secara hati-hati dan bijaksana, sehingga dapat terus lestari dan mendukung terwujudnya masyarakat sejahtera. Dewasa ini, terjadi degradasi kawasan hutan dan lahan sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, sementara tingkat kesejahteraan dan pendidikan masih rendah. Ditambah lagi dengan adanya krisis multidimensi yang berkepanjangan yang menyebabkan berbagai konflik kepentingan dalam pemanfaatan hutan dan lahan serta masih rendahnya peran aktif masyarakat umum terhadap pentingnya menjaga kelestarian hutan dan lahan. Tekanan-tekanan ini masih sering dijumpai dalam pengelolaan sumberdaya alam terutama hutan dan lahan akibat belum mempertimbangkan kelas kemampuan lahan dan penerapan teknik konservasi yang baik dan benar. Terhadap kondisi tersebut di atas, diperlukan upayaupaya untuk memulihkan dan mempertahankan fungsinya kembali, yang biasa dikenal dengan upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Kegiatan RHL baik melalui kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), kegiatan yang dibiayai oleh APBD II dan swadaya masyarakat dilaksanakan melalui kegiatan pembibitan/pembuatan persemaian, pembangunan Hutan Rakyat/Kebun Rakyat,pengkayaan tanaman, Unit Percontohan Upaya Pelestarian Sumberdaya Alam (UP UPSA), sumur resapan, embung, dan lain-lain adalah upaya memulihkan atau memperbaiki kembali lahan kritis di luar kawasan hutan agar dapat berfungsi sebagai media produksi dan pengatur tata air yang baik serta mempertahankan dan meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukkannya.

Karyono KONTRIBUSI HUTAN RAKYAT DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD): STUDI KASUS KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT / Karyono dan Dian Diniyati. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 134-141 , 2006 Luas hutan rakyat di Kabupaten Ciamis lebih kurang 24.301,44 ha (9,49 persen) dari luas Kab. Ciamis yang tersebar di 37 kecamatan dan didominasi oleh jenis kayu Albazia, Mahoni, dan Jati. Produksi dan peredaran kayu rakyat selama 5 tahun terakhir (2002 s/d 2005) mencapai 504.356,57 m kubik dengan rata-rata per tahun 126.089,14 m kubik. Dari produksi dan peredaran kayu di kabupaten Ciamis pada tahun 2005 memberi kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) melalui pungutan-pungutan atau retribusi (Leges, Perda No. 19/2004) sebesar 0,35 persen. Dalam peredaran kayu di kabupaten Ciamis selama 3 tahun terakhir dokumen angkutan kayu rakyat (SKSHH) mencapai 52.534 dokumen. Di era otonomi daerah, pengembangan hutan rakyat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal maupun regional melalui kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dari hulu sampai hilir. Melalui pengembangan hutan rakyat, maka petani dapat merasa diringankan beban ekonominya dari hasil penjualan kayunya dan pemerintah daerah dibantu untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya melalui retribusi dan pungutan sah lainnya. Oleh

156

Kata

kunci:

Pembangunan Hutan, Kebijakan, Kemasyarakatan, Kab.Tasikmalaya

Hutan

Rakyat,

Hutan

mengganggu fungsi hutan untuk meningkatkan kesejahteraan. Tulisan ini disajikan untuk memberikan gambaran tentang kebijakan pembangunan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan di kabupaten Ciamis. Kata kunci: Pembangunan hutan, kebijakan, Kemasyarakatan, Kab. Tasikmalaya Hutan Rakyat, Hutan

Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT DAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI KABUPATEN CIAMIS / Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 8-13 , 2006 Paradigma pembangunan kehutanan nasional dewasa ini telah mengalami perubahan yang cukup mendasar dari yang semula dititikberatkan pada pengelolaan kayu dan komoditi, serta bersifat sentralistik menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya hutan, berorientasi lingkungan, berbasis masyarakat, bersifat desentralistik dan berkeadilan. Pada intinya dicapai dalam pembangunan kehutanan adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang mempertimbangkan aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara berimbang. Sebagai salah satu sektor pembangunan yang sangat strategis selama dekade terakhir sektor kehutanan telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan ekonomi nasional. Namun demikian model pembangunan kehutanan saat ini juga telah memberikan dampak yang banyak merugikan yang kita rasakan dewasa ini. Laju kerusakan hutan dan lahan sebagai akibat pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan meningkat dengan cepat, yang berakibat merosotnya kualitas lingkungan (banjir, erosi, kekeringan). Disisi lain tingkat kesejahteraan masyarakat disekitar hutan sangat rendah yang semakin menambah laju kerusakan hutan akibat pencurian kayu, penjarahan dan perambahan hutan. Permasalahan ini semakin lama semakin komplek yang saat ini pada umumnya belum dapat diselesaikan secara tuntas. Pembangunan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan menjadi sangat penting dan strategis dalam mewujudkan pembangunan kehutanan sebagaimana tersebut di atas. Hutan rakyat (hutan hak/milik) dapat memberikan kontribusi terhadap penyediaan bahan baku kayu dan non kayu bagi rumah tangga dan industri yang semakin terbatas dihasilkan dari hutan negara, serta mempunyai peran dalam merehabilitasi lahan-lahan kritis di luar kawasan hutan, sedangkan hutan kemasyarakatan yang merupakan hutan negara yang sistem pengelolaan bersama-sama masyarakat memberikan peluang usaha bagi masyarakat di dalam kawasan hutan tanpa

Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT DAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI PROPINSI JAWA BARAT / Kepala Dinas Kehutanan di Propinsi Jawa Barat. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 14-21 , 2006 Pembangunan Hutan Rakyat yang sejalan dengan landasan utama penyelenggaraan kehutanan dapat berfungsi sebagai penanggulangan lahan kritis.Selain dapat menekan illegan loging hutan rakyat yang sudah berkembang sejak lama di kalangan masyarakat Jawa barat juga dapat memenuhi kebutuhan produksi kayu yang belum terpenuhi dari hasil hutan. Kata kunci: Pembangunan hutan, kebijakan, Hutan Kemasyarakatan, Propinsi Jawa Barat Rakyat, Hutan

Krisdianto PEMANFAATAN KAYU MANGIUM (Acacia mangium Willd.) SEBAGAI BAHAN BAKU MEBEL/ Krisdianto dan Kresno Agus Hendarto. -Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 151-159 , 2006 Kondisi Industri Kehutanan saat ini dan di masa yang akan datang sangat bergantung dari pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri). Salah satu jenis yang telah dikembangkan dalam areal HTI adalah kayu mangium (Acacia mangium Willd.). Tujuan pembangunan HTI adalah memenuhi kebutuhan kayu sebagai pulp dan kertas juga telah digunakan sebagai bahan baku mebel dan kayu pertukangan. Hal ini tampak dari penggunaan kayu mangium dalam industri pengolahan mebel dan pertukangan di sentra industri mebel Jawa

157

Tengah dan Jawa Barat. Kayu mangium merupakan kayu dengan kelas kuat IIIII dan kelas awet III. Berat jenis kayu ini bervariasi dari 0,53 - 0,66. Salah satu kelebihan kayu mangium adalah warnanya mirip dengan kayu jati. Saat ini kayu mangium telah digunakan sebagai substitusi kayu jati. Penggunaan kayu mangium sebagai pengganti kayu jati dilakukan secara parsial maupun secara total. Penggunaan kayu mangium saat ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mebel dan pertukangan dalam skala lokal. Kata kunci: Kayu mangium, Acacia mangium Willd., bahan baku Mebel Kurniadi, Rahman BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTAN (STUDI KASUS DI DESA BOENTUKA KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR) / Rahman Kurniadi ; I Made Widnyana. -Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.3 ; Halaman 235-241 , 2006 Kebakaran hutan merupakan masalah tahunan di Indonesia (Media Indonesia, 25 Agustus 2005). Kebakaran hutan terjadi di Kalimantan, Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur. Departemen kehutanan sebagai institusi yang berkompeten dalam masalah tersebut tidak dapat mengendalikan kebakaran hutan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi budaya masyarakat yang tinggal di Desa Mio dan Boentuka yang berpotensi sebagai penyebab kebakaran hutan dan sebagai pengendali kebakaran hutan. Penelitian menunjukan bahwa budaya masyarakat yang tinggal di Desa Mio dan Desa Boentuka berpotensi menyebabkan kebakaran hutan. Budaya tersebut adalah budaya tebas bakar, fire maniac, perladangan berpindah, dan budaya berburu. Budaya masyarakat yang berpotensi untuk mengendalikan kebakaran hutan adalah membuat sako dan naik bano. Sako adalah sekat bakar yang dibuat pada saat aktivitas tebas bakar berlangsung. Sedangkan naik bano adalah kesepakatan adat untuk tidak menggunakan api untuk pembersihan lahan pada periode tertentu. Kata kunci : Budaya, kebakaran hutan

Kurniadi, Rahman BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTAN (STUDI KASUS DI DESA MIO DAN DESA BOENTUKA KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR)/ Rahman Kurniadi ; I Made Widnyana. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.3 ; Halaman 209-315 , 2006 Kebakaran hutan merupakan masalah tahunan di Indonesia (Media Indonesia, 25 Agustus 2005). Kebakaran hutan terjadi di Kalimantan, Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur. Departemen kehutanan sebagai institusi yang berkompeten dalam masalah tersebut tidak dapat mengendalikan kebakaran hutan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi budaya masyarakat yang tinggal di Desa Mio dan Boentuka yang berpotensi sebagai penyebab kebakaran hutan dan sebagai pengendali kebakaran hutan. Penelitian menunjukan bahwa budaya masyarakat yang tinggal di Desa Mio dan Desa Boentuka berpotensi menyebabkan kebakaran hutan. Budaya tersebut adalah budaya tebas bakar, fire maniac, perladangan berpindah, dan budaya berburu. Budaya masyarakat yang berpotensi untuk mengendalikan kebakaran hutan adalah membuat sako dan naik bano. Sako adalah sekat bakar yang dibuat pada saat aktivitas tebas bakar berlangsung. Sedangkan naik bano adalah kesepakatan adat untuk tidak menggunakan api untuk pembersihan lahan pada periode tertentu. Kata kunci : Budaya, kebakaran hutan Kusumedi, Priyo KELEMBAGAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DI KHDTK BORISALLO, SULAWESI SELATAN / Priyo Kusumedi. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.2 ; Halaman 115-130 , 2006 Kelembagaan dalam pengembangan hutan kemasyarakatan pada umumnya merupakan suatu perkumpulan petani yang anggotanya mempunyai kesamaan kepentingan dan kondisi lingkungan baik sosial, ekonomi, budaya maupun sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, disamping adanya keakraban, keserasian, serta memiliki kehendak yang sama untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya alam. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang model kelembagaan berbasiskan masyarakat dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Metode penelitian yang dipakai adalah PDC (Pemahaman Pedesaan Cepat) dan PDP (Pemahaman Pedesaan

158

Partisipatif). Data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan model kelembagaan berbasiskan masyarakat membutuhkan proses yang cukup panjang dengan membangun tata nilai bersama agar bisa diakui dan didukung oleh semua pihak. Adanya kedekatan lahan garapan, permasalahan pemagaran lahan dengan kawat berduri dan pengembalaan liar oleh sebagian anggota sehingga membangun tata nilai bersama menjadi suatu kesepakatan dibentuknya lembaga (4 kelompok tani hutan) dan beberapa aturan interen/kesepakatan bersama. Kata kunci : kelembagaan, hutan kemasyarakatan, kelompok tani hutan Lazuardi, Dian OPTIMALISASI HASIL MELALUI PENGATURAN JARAK TANAM HTI ACACIA MANGIUM UNTUK PRODUKSI KAYU PULP / Dian Lazuardi. -Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 39-47 , 2006 Acacia mangium merupakan salah satu jenis tumbuh cepat (fast growing species) dari famili Leguminosae, mulai dikembangkan di Kalimantan Selatan pada tahun 1985, dan secara luas pada tahun 1992 dalam bentuk HTI. Pada awalnya tujuan produksi adalah kayu pulp. Saat ini sebagian besar tanaman ditujukan untuk kayu pertukangan (furniture), sehingga secara langsung lebih meningkatkan nilai ekonomi jenis ini dibandingkan ketika awal pengembangannya. Di Kalimantan Selatan saat ini hanya HTI Hutan Rindang Banua (dulu PT Menara Hutan Buana) yang masih tetap sebagai HTI pulp. Pembangunan HTI A.mangium untuk tujuan kayu pulp, target produksi umumnya didasarkan pada riap 25m kubik/ha/th pada daur 8 tahun. Realitasnya, khususnya di Kalimantan Selatan, riap ini merupakan riap dari tegakan berkualitas baik. Kondisi pertumbuhan di lapangan sangat beragam walau berada dalam hamparan yang relatif berdekatan, dan tidak sedikit tegakan dengan riap jauh di bawah target tersebut, hal ini diduga sebagai akibat dari variasi faktor edafis (Simpson, 1992; Gessel and Harrison, 1992). Kejadian ini sudah tentu akan mengakibatkan tidak tercapainya target produksi yang telah ditetapkan. Selain dihadapkan pada rendahnya produktivitas tegakan, pihak pengelola HTI dihadapkan pula pada problem tataguna lahan seperti klaim area tanam oleh masyarakat sekitar, tumpang tindih dengan penggunaan lahan lain seperti pertambangan dan perkebunan. Sebagai akibat

meningkatnya nilai ekonomi kayu A.mangium, maka gangguan pencurian pohon berukuran 20 cm ke atas menjadi problem tambahan. Permasalahan ini dapat diatasi melalui upaya perbaikan tegakan (stand improvement) yang menyangkut peningkatan produktivitas dan secara bersamaan menghasilkan struktur tegakan sedemikian rupa yang mengurangi proporsi kelas diameter +20 cm. Upaya peningkatan produktivitas tegakan A.mangium tersebut salah satunya adalah peningkatan kerapatan tegakan dan penurunan daur. Peningkatan kerapatan tegakan memang akan meningkatkan produksi dan menurunkan diameter rata-ratanya, tetapi juga akan menghadapi peningkatan biaya dan problem teknis pembuatan pola tanamnya. Oleh karena itu, upayaupaya tersebut sangat memerlukan suatu kajian serius melalui hasil penelitian dan ujicoba-ujicoba lapangan sebelum mengaplikasikannya. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, makalah ini mencoba untuk menyampaikan kajian awal terhadap perlakuan-perlakuan jarak tanam dalam hubungannya dengan peningkatan produksi, biaya dan daur serta struktur tegakannya. Kata kunci: Acacia mangium, HTI, Jarak Tanam, Kayu Pulp Mairi, Kristian STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM UPAYA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN / Kristian Mairi. -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 189-208 , 2006 Bertitik tolak dari UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dimana masyarakat diberi kesempatan untuk ikut mengelola kawasan hutan sebagai alternatif bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat adalah merupakan inti dari konsep Social Forestry yang sekarang ini menjadi paradigma baru dalam pembangunan sektor kehutanan. Menindaklanjuti hal itu oleh pemerintah c.q Departemen Kehutanan pada bulan Juli 2003 dicanangkanlah program Social Forestry sebagai upaya perbaikan kondisi hutan di Indonesia sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Inti dari program Social Forestry adalah masyarakat terlibatkan aktif secara langsung dalam pengelolaan hutan dengan tujuan masyarakat bisa sejahtera dan kondisi hutan bisa lebih baik. Berdasarkan paradigma Social Forestry tersebut maka keberhasilan pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat dalam berkontribusi terhadap upaya pengelolaan

159

hutan dan kualitas sumberdaya manusia yang mendukungnya.Dalam upaya pengembangan kualitas masyarakat khususnya yang bermukim di dalam dan sekitar hutan agar maju dan mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan, maka strategi pemberdayaan masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan mutlak dilaksanakan. Pada kenyataannya di lapangan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kehutanan masih lemah karena belum didukung oleh kelembagaan masyarakat yang kuat antara lain pengetahuan dan ketrampilan yang rendah, sistem pengorganisasian yang belum sempurna, kesulitan memperoleh modal dan akses pemasaran yang belum memadai. Padahal aspek kelembagaan mempunyai peranan sangat besar bagi kesuksesan pembangunan hingga dapat dikatakan bahwa kegagalan pembangunan umumnya dikarenakan lemahnya kelembagaan yang ada termasuk sektor kehutanan. Dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan dimasa yang akan datang sebagaimana semangat dalam program Social Forestry maka hal yang sangat urgen dilakukan adalah membangun, memperkuat dan mengembangkan kelembagaan masyarakat yang terkait dengan pembangunan kehutanan. Proses pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan upaya bagaimana masyarakat itu dapat mengenal dan merefleksikan permasalahannya sendiri, potensi diri dan lingkungannya serta memotivasi dalam mengembangkan potensi tersebut secara proporsional dengan cara/metode partisipatip. Kata kunci: Rehabilitasi Hutan, Rehabilitasi lahan, Pemberdayaan masyarakat Martin, Edwin PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN ACACIA MANGIUM BERBASIS SOCIAL FORESTRY / Edwin Martin. -- Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 2338 , 2006 Setelah hampir seperempat abad tumbuh di Sumatera Selatan, dengan berbagai kemajuan teknologi silvikultur dan pemuliaan pohon akhirnya Acacia mangium membuktikan bahwa meskipun eksotik ia mampu menjadi komoditas utama hutan tanaman. Saat ini, yang perlu dibuktikan oleh Acacia mangium adalah kemampuannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak lagi sekedar sebagai jenis utama dalam rehabilitasi tetapi harus mampu menjadi tanaman industri masyarakat. Penanaman jenis pohon pada lahan milik untuk kepentingan industri dapat disebut sebagai social forestry. Studi kasus

yang dilakukan di PT. Musi Hutan Persada menunjukan bahwa usaha hutan tanaman Acacia mangium berbasis social forestry menguntungkan dari sisi finansial dan menghasilkan manfaat sosial ekonomi ganda. Program penanaman Acacia mangium pada lahan milik memiliki banyak keunggulan dibanding program hutan tanaman konvensional/pada areal konsesi. Pelajaran dari perkembangan hutan tanaman Acacia mangium telah mengisyaratkan bahwa integrasi antara industri, hutan tanaman dan masyarakat saat ini bersifat layak dan perlu dilaksanakan. Diperlukan langkah-langkah strategis yang dapat mengawal proses sebuah kemajuan teknologi pengembangan hutan tanaman berbasis social forestry ini. Kata kunci: Acacia mangium, Hutan tanaman, Social Forestry Mile, M. Yamin UJI COBA TEKNIK PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DENGAN MODEL AGROFORESTRY POLA WANAFARMA SENGON+JAHE / M. Yamin Mile dan M. Siarudin. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 46-61 , 2006 Serangkaian penelitian dan pengembangan mengenai model wanafarma telah dilaksanakan di lokasi penelitian Loka Litbang Hutan Monsoon di Kecamatan Cilacap Jawa Tengah. Ujicoba model diterapkan melalui plot-plot percobaan yang didesain di lokasi penelitian. Penelitian ini dilaksanakan untuk jangka 5 tahun yang dimulai pada tahun 2004. Perlakuan yang diberikan meliputi komponen-komponen teknologi yang mendukung pengembangan model,antara lain: Seleksi benih, persemaian,penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemanenan, dan penanganan pasca panen. Salah satu pola tanam yang diujicobakan adalah kombinasi antara tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) (L) Nielsen) dan Jahe (Zingiber afficinale). Percobaan ini bertujuan untuk mengembangkan teknologi yang sesuai untuk meningkatkan produktifitas lahan dan pendapatan petani melalui model wanafarma sengon+Jahe. Hasil sementara penelitian ini menunjukan bahwa beberapa input teknologi yang diterapkan berperan penting pada penyempurnaan model dalam bentuk pertumbuhan yang lebih baik pada tanaman pohon dan peningkatan hasil tanaman pertanian.

160

Kata kunci: Agroforestry, Wanafarma, Sengon, Jahe, Hutan Rakyat Mile, M. Yamin KONSEPSI PENGELOLAAN LAHAN DAN LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS HUTAN RAKYAT / M. Yamin Mile. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 123-131 , 2005 Hutan rakyat saat ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi salah satu titik tumpuan ekonomi penduduk yang tinggal di Pulau Jawa (FKKM, 1999). Perkembangan hutan rakyat khususnya tanaman sengon menjadi dominan karena tersedianya pasar yang menampung hasil hutan rakyat tersebut. Adanya jaminan pasar ini menyebabkan petani tidak ragu untuk menanam jenis pohon komersial di lahan milik mereka yang sempit karena dirasakan menguntungkan apalagi dilakukan dengan jalan tumpangsari (Agroforestry).Berbagai study mengenai peranan hutan rakyat terhadap tingkat pendapatan masyarakat telah banyak dilakukan. Beragam pola hutan rakyat ditemukan di masyarakat sesuai dengan keinginan masing-masing petani. Dari hampir semua pola yang dijumpai di lapangan, sebagian besar dikelola seadanya sesuai dengan tingkat pengetahuan dan permodalan yang dimiliki petani. Pengelolaan hutan rakyat secara intensif belum banyak dilakukan oleh petani. Hal ini disebabkan antara lain karena tingkat penguasaan technologi petani yang masih sederhana, kurangnya permodalan, serta sempitnya lahan usaha yang dimiliki. Dengan terbukanya peluang pasar akan hasil hutan rakyat berupa kayu dan non kayu, baik pasar domestik maupun pasar internasional, maka produktifitas hutan rakyat perlu ditingkatkan menjadi unit usaha yang dikelola secara intensif mulai dari pemilihan jenis sampai pada sistim produksi (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan penanganan pasca panen). Apabila hutan rakyat ini diarahkan pada pengembangan suatu unit agribisnis, pendekatan kelola usaha yang menyeluruh dan konprehensif hanya perlu dilakukan dengan jalan penerapan teknologi tepat guna dan managemen pengelolaan yang sesuai. Untuk itu perlu adanya konsepsi yang jelas mengenai pengelolaan lahan serta langkah-langkah strategis dalam upaya meningkatkan produktifitas hutan rakyat. Kata kunci: Pengelolaan lahan, Hutan Rakyat, Langkah strategis

Mile, M. Yamin PENGEMBANGAN SOSIAL FORESTRY DENGAN POLA WANATANI RAMI DI KABUPATEN GARUT: MENDUKUNG KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN / Ismatul Hakim. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 139-151 , 2005 Selama lebih dari tiga dasawarsa sumber daya hutan telah memberikan kontribusi yang nyata sebagai penggerak roda perekonomian nasional melalui pengelolaan hutan berbasis kayu yang menekankan exploitasi hutan oleh industri berskala besar. Konsekwensi dari orientasi industri berskala besar tersebut berdampak pada beberapa aspek antara lain: a) belum diperhitungkannya variable sosial ekonomi dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan; b) tidak terdistribusinya manfaat sumberdaya hutan secara adil kepada masyarakat sekitar hutan, c) meningkatnya konflik pengelolaan sumberdaya hutan. Dengan kondisi seperti di atas pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari mengalami ketidakpastian sampai saat ini, sementara laju deforestation mencapai 1,6 juta ha/tahun (Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan Dep. Hut, 2003). Di Kabupaten Garut ketidakpastian pengelolaan hutan secara lestari sangat dirasakan. Kawasan hutan dirambah untuk dijadikan usaha tani tanaman sayur-sayuran tanpa tindakan konservasi tanah sehingga terjadi aliran permukaan dan erosi yang besar. Kondisi ini menyebabkan lahan hutan semakin kritis sehingga tidak berfungsi lagi sebagai pengatur tata air. Pada musim hujan bencana tanah longsor merupakan fenomena yang umum terjadi di berbagai tempat yang mendatangkan kerugian yang tidak sedikit. Dalam rangka implementasi kegiatan Social forestry tersebut Pemerintah Kabupaten mengintrodusir suatu pola baru yang belum banyak dikenal sebelumnya oleh masyarakat yakni Tumpangsari antara tanaman pokok Kehutanan dengan tanaman rami yang dikenal dengan istilah Agroforestry Haramai. Tanaman rami (Haramai) adalah sejenis tanaman serat berbentuk perdu yang sesuai baik di dataran rendah maupun di daerah ketinggian seperti Garut. Tanaman ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi sebagai bahan baku industri tekstil serta memberikan pendapatan yang relatif cepat bagi masyarakat. Mengingat model ini belum banyak dikenal oleh masyarakat, dalam tulisan ini dikemukakan kajian pengembangannya ditinjau dari aspek teknis, Sosial ekonomi, dan Lingkungan. Kata kunci: Social Forestry, Wanatani, Rami, Kabupaten Garut

161

Mile, M. Yamin PENGEMBANGAN MODEL DAN DESAIN JALUR HIJAU DALAM RANGKA REHABILITASI, PENATAAN RUANG DAN SOSIAL FORESTRY DAN PANTAI SELATAN CIAMIS PASCA TSUNAMI / M. Yamin Mile dan M. Siarudin. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 7284 , 2006 Bencana tsunami yang terjadi pada bulan Juli 2006 di Pantai Selatan Pulau Jawa telah menimbulkan kerusakan yang serius, khususnya di Pantai Selatan Kabupaten Ciamis. Untuk menanggulangi kerusakan tersebut dari aspek kehutanan, pemerintah merencanakan untuk mengadakan upaya rehabilitasi kawasan pantai melalui pembangunan jalur hijau di sempadan pantai. Untuk maksud tersebut dalam tulisan ini dikemukakan empat rancangan model jalur hijau yang dapat dikembangkan, yakni: 1). Model jalur hijau untuk daerah pemukiman; 2). Model jalur hijau untuk kawasan wisata; 3). Model jalur hijau untuk kawasan konservasi; 4). Model jalur hijau untuk kawasan mangrove. masing-masing model terdiri dari blok inti dan blok pemanfaat. Blok inti dirancang dengan fungsi utama sebagai jalur perlindungan (sheler belt). Sedangkan blok pemanfaat dirancang untuk pengembangan social forestry di wilayah pantai. Kata kunci: Jalur Hijau, Rehabilitasi, Sosial Forestry, kab. Ciamis Natawijaya, Dedi PROSPEK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) DI KABUPATEN TASIKMALAYA / Dedi Natawijaya. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 97108 , 2006 Salah satu permasalahan utama dalam pola investasi hutan rakyat adalah masa menunggu hasil dari proses investasi yang dilakukan. Para pelaku perlu mencari suatu pola investasi yang cepat menghasilkan yang dirancang khusus untuk merespon kebutuhan sumber pendapatan, terutama bagi masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini perlu mendapat perhatian serius, terutama dari pihak swasta (melalui kemitraan bisnis) dan pemerintah (dengan kebijakan subsidi dan bantuan modal usaha), sehingga mampu mengurangi

resiko dari masalah menunggu hasil investasi tersebut.Untuk mewujudkan tujuan tersebut, paling tidak ada tiga pendekatan yang harus dirancang secara tepat sehingga mampu menjawab tantangan tersebut. ketiga pendekatan itu adalah (1) analisis manfaat- biaya ekonomi finansial, (2).Analisis ekonomi lingkungan dan (3). Analisis ekonomi partisipasi. Pada umumnya penjualan kayu sengon terbatas hanya olahan sederhana yang berupa kayu palet atau kayu persegian. Belum ada variasi produk olahan kayu yang lain yang dapat memberikan tambahan nilai jual bagi petani. Petani lebih suka menjual kayu dalam bentuk gelondongan dengan system borong kebun. Bahkan masih ditemukan adanya system penjualan dengan system ijon yang sesungguhnya sangat merugikan pihak petani. Penentuan volume produksi dilakukan oleh pembeli, akibatnya harga yang diterima petani jauh lebih murah.Belum adanya kelembagaan seperti koperasi dalam melakukan penjualan, mengakibatkan posisi tawar petani cukup rendah karena volume produk yang dijual sangat terbatas. Kata kunci: Kayu Sengon, Agribisnis, Kab. Tasikmalaya Nurfatriani, Fitri PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DI BAGIAN HULU DAS BRANTAS HULU: SEBAGAI PENGATUR TATA AIR / Fitri Nurfatriani. -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 227-244 , 2006 Berbagai teori telah dikemukakan oleh para ahli yang menyatakan berbagai fungsi hutan sebagai salah satu unsur dalam system penyangga kehidupan. Hutan mempunyai fungsi menyerap air melalui proses fotosintesa dan menyimpannya dalam perakaran dalam tanah. Beberapa hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang lurus dan nyata antara keberadaan hutan dengan berkurangnya jumlah titik mata air (Zaini, 2005). Menurut Asdak (1995) vegetasi hutan sangat berperan dalam daur hidrologi sebagai penahan air sebelum mencapai permukaan tanah untuk kemudian diserap dalam proses infliltrasi. Dengan demikian keberadaan hutan sangat krusial dalam satu siklus hidrologi yang tergambar dalam kondisi tata air di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Masalah banjir dan kekeringan diyakini sebagai dampak dari system tata air di wilayah DAS yang buruk. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi hutan di bagian hulu DAS tersebut. Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting

162

karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS yaitu dari segi fungsi tata air, sehingga aktivitas perubahan tata guna lahan yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak hanya akan berpengaruh dimana kegiatan tersebut berlangsung (hulu DAS) tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan lainnya (Asdak, 1995). Untuk itu tulisan ini dibuat sebagai gambaran mengenai kondisi hutan di bagian hulu DAS Brantas Hulu khususnya dalam kaitannya sebagai daerah resapan air. Kata kunci: Kawasan Hutan, Hulu DAS, DAS Brantas Hulu Nurfatriani, Fitri KONSEP NILAI EKONOMI TOTAL DAN METODE PENILAIAN SUMBERDAYA HUTAN (Total Economic Value concept and Forest Resource Valuation Method) / Fitri Nurfatriani. -- Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan : Volume 3 No.1 ; Halaman 1-16 , 2006 Sumberdaya hutan (SDH) menghasilkan manfaat yang menyeluruh baik manfaat tangible maupun manfaat intangible. Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan tersebut masih dinilai rendah, atau belum diketahui, sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi manfaat-manfaat yang telah dikenal dari SDH secara berlebihan. Hal tersebut disebabkan karena masih banyak pihak yang belum memahami konsep nilai dari berbagai manfaat SDH secara komperehensif, khususnya untuk manfaat intangible yang tidak memiliki harga pasar. Untuk memahami manfaat dari SDH tersebut perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan SDH ini. Berbagai teknik dan metode penilaian ekonomi sumberdaya alam (SDA) telah dikembangkan untuk menghitung nilai ekonomi SDA yang memiliki harga pasar ataupun tidak. Dengan diketahuinya manfaat dari SDH ini maka hal tersebut dapat dijadikan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk mengalokasikan sumberdaya alam (SDA) yang semakin langka dan melakukan distribusi manfaat SDA yang adil, untuk mendapatkan total kesejahteraan masyarakat yang maksimal. Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan konsep nilai ekonomi total dan berbagai metode yang digunakan untuk menilai manfaat SDH dan lingkungan. Kata kunci : Hutan, nilai, ekonomi, manfaat

Parlinah, Nunung PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU (STUDI KASUS DI SUMATERA SELATAN)/ Nunung Parlinah ; Indartik. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.2 ; Halaman 151-159 , 2006 Informasi tentang produksi dan peredaran kayu penting untuk diketahui dalam rangka memahami mekanisme pasar dalam memenuhi permintaan kayu. Empat poin yang perlu dianalisis : 1)Luas hutan; 2) Produksi kayu; 3) Pasar Kayu; dan 4) Peredaran kayu. Lokasi yang dipilih sebagai studi kasus adalah Sumatra Selatan. Dari hasil studi, sebagian besar (66.58%) dari total luas hutan Sumatra Selatan adalah hutan produksi. Terdapat kecenderungan produksi kayu semakin menurun karena berkurangnya potensi hutan alam dan maraknya illegal logging, sedangkan pasar kayu Sumatra Selatan relatif tinggi, diindikasikan dengan tingginya kapasitas industri terpasang. Akibatnya untuk memenuhi bahan baku maka industri mandatangkan bahan baku dari luar Sumatra Selatan. Sementara itu produksi kayu dari Sumatra Selatan tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga untuk propinsi lain. Kata Kunci: Produksi kayu, pasar kayu, industri, peredaran kayu Pawitan,Hidayat INDIKATOR BIOFISIK DAN SOSIAL EKONOMI JASA LINGKUNGAN DAS: STUDI KASUS DAS CICATIH-CIMANDIRI/ S. Hidayat Pawitan ... [et.al.]. -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 1-16 , 2006 Perkembangan beberapa dekade terakhir di Kecamatan Cidahu dicirikan oleh tumbuhnya industri air minum dalam kemasan (AMDK) yang memanfaatkan sumber mata air dan sumur air bumi, dan sampai saat ini masih dapat berlangsung bersamaan dengan pemanfaatan air untuk PDAM dan oleh penduduk setempat yang telah lebih dulu memanfaatkan sumber-sumber air yang ada. Makalah ini mencoba menyajikan secara ringkas hasil yang telah dicapai dalam kegiatan penelitian untuk DAS Cicatih yang bertujuan untuk menggali informasi mengenai kondisi biofisik DAS yang meliputi fungsi dan jasa lingkungan DAS, serta mempelajari aspek sosio-ekonomi dan persepsi masyarakat terkait dengan kompensasi konservasinya atas dasar rasa keadilan yang saling menguntungkan. DAS cicatih dengan luas 53 ribu haktar memiliki

163

curah hujan tahunan sebesar 2970 mm dengan geologinya yang spesifik telah menghasilkan banyak sumber mata air dengan kapasitas yang cukup besar, seperti pada mata air Cibuntu (695 liter/s) dan Cipanas (2584 liter/s atau < 1000 liter/s). Penutupan lahan didominasi oleh perkebunan (45 persen), hutan (21 persen) dan sebagian besar sisanya berupa lahan pertanian. Debit terukur pada stasiun Ubrug selama 1999-2005 terendah tercatat sebesar 5,25 m kubik/s (24/08/2002) dan terbesar 209,05 m kubik/s (8/02/2001). Hasil sementara menunjukan nilai koefisien limpasan tahunan yang relatif tinggi. Pengelolaan sumberdaya air perlu lebih mendapat perhatian dengan pertimbangan adanya pola musiman dan meningkatnya kebutuhan air untuk penggunaan air non-tradisional, khususnya dari mata air dan airbumi. Terdapat indikasi kuat bahwa penduduk lokal cenderung menghemat sumber daya air DAS Cicatih dan bersedia menanggung biaya konservasi untuk menjamin keberlanjutan jasa lingkungan DAS hulu. Hal yang sama perlu dilakukan oleh perusahaan AMDK di Cidahu untuk turut berperan dalam program konservasi DAS hulu, dalam kerangka kebijakan otonomi daerah dan sistem perpajakan yang lebih transparan, adil dan memberdayakan daerah. Kata kunci: DAS, Jasa Lingkungan, Biofisik, Sosial Ekonomi Purwanto KAJIAN NILAI EKONOMI HASIL AIR DARI HUTAN LINDUNG BATURADEN / Purwanto...(et.al). -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 85-97 , 2006 Hutan lindung di Indonesia seluas 29,04 juta ha atau 27,69 persen dari total luas hutan. Hutan lindung sesuai fungsinya ditujukan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Nilai ekonomi hutan lindung yang bersifat intangible belum banyak dilakukan perhitungan sehingga nilai jasa hutan lindung sering dihargai kecil. Akibatnya penghargaan atau pengelolaan hutan lindung kurang optimal. Salah satu produk hutan lindung adalah air yang pada saat ini sebagian besar masih merupakan barang publik walaupun di beberapa tempat telah menjadi barang ekonomi seperti yang dimanfaatkan untuk air mineral. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi nilai provisi pemanfaatan sumberdaya air. Sasaran penelitian adalah diketahuinya nilai ekonomi hasil air dari hutan lindung.

Sasaran kajian (1) Diketahuinya hasil air dari hutan lindung Baturaden, (2) Diketahuinya nilai ekonomi air hutan lindung Baturaden. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Data curah hujan dan debit air diperoleh dengan pemasangan plot dan pengukuran curah hujan dan debit air,2) Data nilai ekonomi air dikumpulkan melalui survey, indept interview dan diskusi dengan para pengguna. Data curah hujan dan debit air sungai dihitung berdasarkan rata-rata bulanan dan data nilai ekonomi air dihitung berdasarkan fungsi produksi untuk air irigasi dan rente ekonomi untuk air yang digunakan PDAM Kabupaten Banyumas. Rata-rata hasil air dari hutan lindung dalam tiga tahun (2003 s/d 2005): hulu Sub DAS Pelus 191.063.647.50 m kubik/tahun. Kualitas air dari seluruh lokasi penelitian dapat digunakan untuk air baku minum. Nilai ekonomi air baku untuk PDAM dari : 1).Hutan lindung Baturaden Rp. 310,00,-/m kubik, 2).Nilai ekonomi air dari hutan lindung di hulu Sub DAS Pelus (Baturadden) Rp. 23.963.500,-/ha/tahun Kata kunci: DAS, Air, Nilai Ekonomi, Hutan Lindung, Hutan Lindung Baturaden Purwanto ANALISIS KARAKTERISTIK PARAMETER SOSIAL EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) JANGKA PANJANG: STUDI KASUS DAS SERAYU / Purwanto, Paimin, dan Dewi Retna Indrawati. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 163-175 , 2005 Setiap DAS memiliki sifat atau karakteristik berbeda-beda dalam memberikan tanggapan atau respon masukan air hujan menjadi hasil air, baik sifat alami maupun sifat yang terbangun sebagai hasil intervensi manusia. Manusia sendiri dalam sistem komunitasnya sebagai pengelola sumberdaya alam DAS juga memiliki karakteristik yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap karakteristik bio-fisik DAS; sebaliknya karakteristik komunitas manusia juga dipengaruhi oleh karakteristik alam sekelilingnya. Dengan demikian karakteristik DAS terbangun sebagai hasil menyeluruh dari interaksi atau hubungan timbal balik antar unsur-unsur sumberdaya alam sendiri dan antara unsur alam dengan manusia. Dengan diberlakukannya otonomi daerah maka kewenangan pengelolaan DAS pada setiap jenjang hierarki perlu diselaraskan dengan kewenangan pemerintah otonomi. Demikian juga sistem kakarkteristik DAS sebagai dasar dalam perencanaan pengelolaan DAS yang sekarang ada

164

perlu ditelaah ulang agar memiliki kompatibilitas dengan institusi terkait pada setiap jenjang kewenangannya.Data dan Informasi pengelolaan DAS yang sampai saat ini terkumpul belum dikelola secara mapan dalam sistem informasi pengelolaan, sehingga setiap kali diperlukan secara cepat masih sulit diperoleh secara memadai. Padahal kondisi lapangan berkembang secara dinamis yang harus selalu diikuti agar data dan informasi tersaji selalu sesuai dengan kondisi terkini. Seperti dalam program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang dicanangkan mulai tahun 2003, keperluan data yang segera dan akurat akan segera terlayani apabila sistem data dan informasi DAS telah terbangun dalam suatu sistem pengelolaan yang mapan dan selalu dilakukan pemutakhiran. Hal tersebut menunjukan masih lemahnya sistem karakteristik DAS yang selaras dengan kewenangan otonomi daerah, terutama konsistensi sistem karakteristik yang sesuai dengan hierarki sistem perencanaan/pengelolaan DAS, serta masih lemahnya sistem informasi pengelolaan DAS. Dengan disempurnakannya sistem karakterisasi DAS yang disertai dengan sistem informasi akan membantu pengelola dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS secara efektif dan efisien disamping memberikan pengingatan dini kemungkinan terjadinya bencana alam pada setiap tingkatan pengelolaannya. Untuk membangun formula sistem tersebut diperlukan serangkaian data dan informasi yang diperoleh melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan. Namun melihat laju perkembangan lahan kritis dalam wilayah DAS yang cukup besar, maka pengembangan sistem karakterisasi tingkat sub DAS harus dilakukan secepat mungkin. Mengingat terbatasnya waktu, sumber dana, dan sumberdaya manusia, seyogyanya sistem karakterisasi DAS lebih mengedepankan pendekatan yang praktis dan ekonomis dari pada pendekatan teoritis dan akademis seperti disarankan Sheng (1986,1990) Cara pendekatan ini bisa diistilahkan dengan 'sidik cepat degradasi DAS'. Diharapkan hasil penelitian yang diperoleh juga bisa membantu penyelenggaraan otonomi daerah di bidang pengelolaan DAS sesuai dengan jenjang kewenangannya. Tulisan ini merupakan eksplorasi peran parameter sosial ekonomi dalam karakterisasi daerah aliran sungai sebagai landasan dasar penyusunan sistem perencanaan jangka panjang pengelolaan DAS (perencanaan 15 tahunan). Kata kunci: Daerah Aliran Sungai, DAS, Sosial Ekonomi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman TEKNOLOGI PEMULIAAN ACACIA MANGIUM / Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. -- Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 1-6 , 2006 Acacia mangium merupakan salah satu fast growing yang banyak dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman di Indonesia, baik untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri maupun rehabilitasi lahan. Sampai dengan tahun 1999, lebih dari 800.000 hektar hutan tanaman A. Mangium telah dibangun dengan tujuan utama sebagai pemasok kebutuhan bahan baku bagi industri pulp dan kertas. Pembangunan hutan tanaman A. Mangium ini diperkirakan akan semakin luas sejalan dengan kebijakan Departemen Kehutanan yang menetapkan sasaran fasilitas pembangunan hutan tanaman seluas 5 juta hektar. Dalam era kompetisi global yang semakin intensif saat ini, industri kehutanan menghadapi tantangan yang mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri dengan kualitas tinggi dan dalam jumlah yang memadai yang dihasilkan dari tegakan-tegakan yang dikelola secara lestari, tingkat biaya yang rendah serta ramah lingkungan. Pembangunan hutan tanaman A. Mangium di Indonesia sebagai pemasok kebutuhan bahan baku industri kehutanan diharapkan akan mampu bersaing dalam kompetisi tersebut. Saat ini beberapa perusahaan telah mengelola hutan tanaman A. Mangium pada rotasi kedua. Memasuki pembangunan hutan tanaman A. Mangium rotasi kedua, beberapa tantangan baru mulai muncul, khususnya dalam menjaga peningkatan kualitas dan produktivitas tegakan dalam jangka panjang. Beberapa upaya yang perlu ditempuh dalam menghadapi tantangan tersebut antara lain konsistensi pemakaian benih unggul hasil dari serangkaian kegiatan pemuliaan, manajemen tapak dan nutrisi, manajemen penyiapan lahan, manajemen tegakan, dan pemanenan, manajemen hama dan penyakit. Dalam resume makalah ini maka disampaikan beberapa kegiatan penelitian beberapa input teknologi penunjangnya dalam penelitian pemuliaan A. Mangium yang telah dilaksanakan oleh Puslitbang Hutan Tanaman, meliputi kegiatan: teknologi pembangunan kebun benih generasi pertama dan kedua, pembangunan gain trial, penelitian hibridisasi dan penyerbukan buatan, penelitian penyakit serta penelitian biologi molekuler. Kata kunci: Acacia mangium, Teknologi Pemuliaan

165

Rachman, Encep PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT DENGAN POLA AGROFORESTRY NILAM / Encep Rachman dan M. Yamin Mile. -Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 62-78 , 2005 Tujuan penelitian adalah merakit paket teknologi agroforestry Nilam untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi maksimun dalam rangka meningkatkan pendapatan petani.Sedangkan sasaran penelitian yang ingin dicapai adalah terjadinya peningkatan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan pada areal hutan rakyat/lahan petani yang sempit. Penelitian ini dilaksanakan pada areal hutan rakyat milik petani di Desa Sukamulih, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 700 m dpl dengan curah hujan sebanyak 1.200 mm/tahun dan suhu rata-rata 25 derajat C. Plot ujicoba dirancang dengan pola rotasi pembentukan struktur tegakan normal tanaman sengon dan nilam . Penanaman sengon dibagi dalam 6 rotasi tahunan, sedangkan untuk penanaman nilam dilakukan serentak pada seluruh petak dalam bentuk jalur diantara tanaman sengon. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada umur 3 bulan tanaman sengon pada petak penanaman tahun pertama, masing-masing anak petak dengan tiga ulangan menghasilkan rata-rata diameter masing-masing 0,68 cm, 0,67 cm dan 0,66 cm. Sedangkan pada umur 6 bulan setiap anak petak menghasilkan diameter rata-rata masing-masing 2,72 cm,2,67 cm, dan 2,80 cm. Data tinggi tanaman sengon berumur 3 bulan dari 3 anak petak dengan 3 ulangan masing-masing menghasilkan 87,73 cm, 86,76 cm dan 83,16 cm. Pada umur 6 bulan masingmasing ulangan tersebut meningkat menjadi 187 cm, 185 cm, dan 193 cm. Produksi daun basah nilam dari ujicoba ini diperoleh 5,1 ton/ha. Hasil penimbangan dari 100 kg daun basah diperoleh sebanyak 55 daun kering. Sehingga dari 5,1 ton daun basah/ha diperoleh daun kering kurang lebih 2,8 ton. Kata kunci: Agroforestry, Nilam, Hutan Rakyat

Rachman, Encep PERTUMBUHAN TUJUH PROVENAN SENGON (Paraserianthes Falcataria) DAN IDENTIFIKASI HAMA DAN PENYAKIT DI PERSEMAIAN / Encep Rachman, Endah Suhendah, dan Rusdi. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 114-122 , 2005 Salah satu masalah penting yang perlu diatasi dalam pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat adalah pengendalian terhadap serangan hama dan penyakit, baik pada umur tanaman yang masih muda (semai) maupun pada tegakan di areal hutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan tingkat semai sengon dari tujuh asal benih dan jenis-jenis hama dan penyakit yang menyerang pada tanaman sengon tersebut di persemaian. Penelitian dilakukan di persemaian Loka Litbang Hutan Monsoon dengan menggunakan benih sengon dari 7 asal benih (provenans). Hasil pengamatan diketahui bahwa pada umur semai 4 bulan dengan tiga kali pengukuran, pertumbuhan tinggi terbaik berasal dari Candiroto dengan pertambahan tinggi rata-rata 35,1 cm dan persen hidup 90,5 persen dan yang terendah adalah benih sengon yang berasal dari Wonogiri dengan pertambahan tinggi rata-rata 16,6 cm dan persentase hidup 52 persen. Jenis hama yang menyerang semai sengon adalah Ulat kantong (pteroma plagiophelps), kupu-kuning (Eurema spp) dan Belalang (Valanga sp). Intensitas serangan Eurema spp. cukup tinggi yaitu sebesar 30 persen dan lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas serangan Pteroma plagiophelps dan Valanga spp. Semai provenan Wamena rentan terhadap serangan hama Eurema spp. dan Pteroma plagiophelps dibandingkan semai provenan Kediri, Wonogiri, Biak, Candiroto, Subang dan Ciamis. Jenis Penyakit yang ditemukan di persemaian adalah Oidium sp (Embun tepung) Kata kunci: Sengon, Paraserianthes falcataria, Hama, Penyakit, Persemaian

166

Retna I, Dewi KERJASAMA HULU HILIR DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)/ Dewi Retna I. -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 177-187 , 2006 Air yang merupakan sumberdaya yang mengalir (flowing resource) dari hulu ke hilir dan wilayah DAS yang tidak mempunyai batas yang bertepatan dengan batas wilayah administrasi, sering menimbulkan konflik kepentingan antara daerah hulu dan hilir. Oleh karena itu, dalam pengelolaan DAS perlu keterpaduan dan kerjasama antara wilayah hulu dan hilir. Upaya keterpaduan dan kerjasama hulu dan hilir ini dapat dilakukan antara lain dengan masingmasing wilayah menjalankan fungsi dan tugas pengelolaan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang ada di wilayahnya, dimana masyarakat hulu menjaga kuantitas air dengan jalan konservasi tanah di daerah tangkapan air, sedang masyarakat hilir dengan membuat bangunan resapan. Hal ini berarti bahwa harus ada komitmen yang kuat upaya dari setiap daerah untuk melakukan kegiatan pengelolaan DAS. Di samping itu, perlu ada azas keadilan dalam kerjasama ini, artinya pihak yang lebih diuntungkan diharapkan dapat memberikan kontribusinya dalam upaya pengelolaan DAS. Masyarakat yang memperoleh manfaat atas pengelolaan DAS wajib menanggung biaya pengelolaan berdasar prinsip kecukupan dana (cost recovery). Ini mengandung arti ada penanggungan biaya bersama (cost sharing) dalam pengelolaan DAS. Dengan demikian pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu DAS dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan adanya biaya dari stakehorders yang mendapat manfaat sebagai akibat adanya kegiatan tersebut. Dalam konsep kerjasama hulu hilir pengelolaan DAS ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:1) harmonisasi dan sinkronisasi visi, misi dan kebijakan pengelolaan DAS antar pemerintah kabupaten/propinsi; 2) perumusan mekanisme kerjasama; 3) perlibatan berbagai aktor seperti LSM, pakar sektor bisnis serta pemerintah dari pusat sampai daerah; 4) peningkatan partisipasi masyarakat lokal pada berbagai tingkat melalui penyuluhan; dan 5) diberlakukan reward dan punishment untuk memacu tanggung jawab tiap wilayah untuk melaksanakan pengelolaan DAS. Kata kunci: Pengelolaan DAS, Tata Air

Riyanto, Heru Dwi MAI DAN CAI ACACIA MANGIUM GUNA PENGATURAN TEGAKAN / Haru Dwi Riyanto. -- Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 121-124 , 2006 Pegelolaan tegakan hutan adalah bagaimana mengelola hutan dalam rangka mendapatkan hasil yang tinggi dalam pemanenan, hasil yang tinggi tergantung pada daur/rotasi tebang. Waktu periode dari daur/rotasi tebang tergantung pada karakteristik pertumbuhan jenis, tujuan-tujuan pengelolaan dan pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Satu daur rotasi adalah daur/rotasi volume maksimum, dimana pertumbuhan tegakan memberikan hasil tahunan tertinggi. Panjang dari daur dengan volume tertinggi adalah titik pertemuan umur tanaman ketika rata-rata riap tahunan (MAI) mencapai maksimum. Umur ini juga berarti antara grafik MAI dengan grafik CAI. Paper ini adalah untuk menentukan umur daur/rotasi tebang berdasar daur rotasi volume maksimum di lokasi Benakat. Kata kunci: Acacia mangium, MAI, CAI, Pengaturan Tegakan Riyanto, Heru Dwi PROFIL HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN WONOSOBO: DITINJAU DARI STRUKTUR TEGAKAN DAN VEGETASI PENYUSUNANNYA / Heru Dwi Riyanto dan Wardojo -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 205-215 , 2005 Keberadaan hutan rakyat atau hutan milik sebagai salah satu alternatif penyedia kayu, bagi industri perkayuan sangatlah penting, bersamaan dengan makin menurunnya produktivitas hutan alam dari tahun ke tahun. Disayangkan hutan rakyat tersebut memiliki produktivitas yang rendah, dan hal ini merupakan permasalahan utama yang harus dipecahkan. Untu meningkatkan produktivitasnya melalui optimalisasi pengelolaan adalah dengan mengetahui dimensi strukturnya. Penelitian ini adalah penelitian observasi melalui survey pada areal pengembangan hutan rakyat. Lokasi survey adalah di Desa Jonggolsari, Sedayu dan Pecekelan, Kabupaten Wonosobo. Pengukuran diameter, tinggi pohon, jumlah batang, dan jumlah serta jenis tanaman lainnya adalah kegiatan utama dalam penelitian ini. Data dianalisa secara desktiftif serta disajikan secara gambar grafik untuk struktur tegakan, struktur volume,

167

serta menggunakan indeks nilai penting untuk komposisi vegetasi. Hasil menunjukkan bahwa diameter kecil (sampling/pancang) memiliki jumlah yang lebih besar (74 persen) dibanding diameter yang lebih besar (pole/tiang) (23 persen) dan trees/pohon (3 persen). Kondisi ini tidak akan memberikan kontribusi yang baik bagi volume tegakan berdiri. Volume tegakan berdiri di Desa Jonggolsari lebih kurang 90 m kubik/ha, Desa Sedayu lebih kurang 70 meter kubik/ha dan Desa Pacekelan lebih kurang 70 m kubik/ha. Sehingga riap tahunan periodik rata-rata dari ketiga desa tersebut adalah lebih kurang 19m kubik/ha/tahun, riap ini berarti produktivitas pertumbuhan pohon/tegakannya. Kerapatan tanaman di Desa Jonggolsari lebih kurang 24188 tanaman/ha, Desa Sedayu lebih kurang 10885 tanaman/ha dan Desa Pacekelan lebih kurang 4251 tanaman/ha. Kata kunci: Hutan Rakyat, Struktur Tegakan, Kabupaten Wonosobo Rumboko W, Lukas DAMPAK DESENTRALISASI DI SEKTOR KEHUTANAN / Lukas Rumboko W. ; Ismatul Hakim. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.1 ; Halaman 1-12 , 2006 Desentralisasi pada dasarnya merupakan konsekwensi dari semakin tingginya tuntutan perubahan (reformasi) di birokrasi dan keadilan yang merata di masyarakat. Di sektor kehutanan, desentralisasi menjadi ajang rebutan hak dan wewenang terhadap hasil hutan kayu dari hutan alam, belum terlihat dalam bentuk rebutan tanggung jawab menjaga kelestarian hutan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Dalam perkembangannya, desentralisasi sudah menjadi salah kaprah bagi masing-masing pihak yang menonjolkan arogansi kekuasaan. Hasil kajian oleh Centre For International Forestry Research (CIFOR) tahun 2003 menunjukkan bahwa desentralisasi sektor kehutanan di wilayah potensial seperti Propinsi Riau dan Kalimantan Timur seperti : Kutai Barat, Malinau, Kotawaringin Timur, Kapuas dan Barito telah semakin meningkatkan kegiatan illegal logging (pencurian kayu), munculnya aktor-aktor baru yang saling membekingi satu sama lain dan meningkatnya nafsu Pemda untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bahkan di Kota Waringin terjadi penetapan pungutan atas pengangkutan kayu illegal, dengan istilah lain disebut pelegalan kayu-kayu illegal. Melihat kecenderungan diatas, perlu dilakukan reorientasi terhadap penerapan sistem desentralisasi sektor kehutanan baik pusat maupun daerah. Dalam hal ini dalam menerapkan

desentralisasi secara benar perlu kembali ke khittah (landasan berpijak)-nya yaitu mewujudkan hutan lestari dan rakyat sejahtera. Kata Kunci : Desentralisasi, Demokratisasi, Keadilan, Hutan Lestari, Illegal logging, Kesejahteraan Rakyat Rochmayanto, Yanto PERSPEKTIF HUTAN ULAYAT DALAM BUDAYA MINANGKABAU (STUDI KASUS DI JORONG KOTO MALINTANG, KABUPATEN AGAM) / Yanto Rochmayanto ; Tateng Sasmita ; Syasri Jannetta. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No. 4 ; Halaman 281-296 , 2006 Hambatan utama pengembangan hutan ulayat terletak pada dimensi hukum dan ekonomi. Meski secara hukum keberadaannya diakui, tapi mekanismenya kurang berjalan karena dualisme pengertian dan tumpang tindihnya peraturan. Selain itu, manfaat ekonomi hasil hutan bukan kayu belum dirasakan secara optimal oleh masyarakat, karena yang ditekankan selama ini adalah manfaat lindung dan koservasi. Namun demikian, hutan ulayat sangat potensial secara sosial budaya sebagai asset bangsa dalam menyediakan alternatif model pengelolaan sumber daya hutan. Oleh karena itu, penelitian mengenai hutan ulayat dalam pandangan sosial budaya diperlukan untuk menjawab kendala pengembangan di atas. Hasil penelitian di Nagari Duo Koto Kabupaten Agam, menunjukkan bahwa hutan ulayat dalam pandangan Minangkabau telah diatur secara lengkap, yang meliputi : stasus tanah, fungsi ulayat, sifat hak, mekanisme pengelolaan, manajemen produksi, sanksi dan kelembagaan. Komposisi dan struktur hutan ulayat tidak homogen, dan merupakan hasil kriteria sejarah dan ekonomi. Kayu manis adalah komoditi yang tercatat di BPS Propinsi Sumatera Barat yang memiliki kapasitas ekspor cukup tinggi dengan volume ekspor 12.755 ton, dan nilai ekspor 6.408.000 US $ pada tahun 2003, sehingga dapat menjadi unggulan bagi pengembangan HHBK di hutan ulayat. Kata kunci : Hutan ulayat, sosial budaya, hasil hutan bukan kayu.

168

Rochmayanto, Yanto PENGEMBANGAN POLA KEARIFAN LOKAL MENJADI INDUSTRI RUMAH TANGGA HASIL HUTAN BUKAN KAYU / Yanto Rochmayanto. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No. 4 ; Halaman 297-308 , 2006 Perpaduan industri rumah tangga dan kearifan masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumber daya hutan memiliki prospek yang baik jika mendapat sentuhan manajemen dan investasi. Industri rumah tangga ini telah terbukti dengan limbah dan kerusakan sumber daya minimal, mampu memberikan produk yang cukup diperhitungkan di pasaran. Industri rumah tangga lebih banyak bergerak dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), Hal ini telah seiring dengan pergeseran paradigma Timber Management ke Social Forestry yang tidak menekankan kayu sebagai satu-satunya produk yang bernilai ekonomis dari hutan. Kerja sama internasional dapat menumbuh kembangkan industri rumah tangga HHBK menjadi arena usaha yang memberdayakan ekonomi kerakyatan melalui pendekatan permodalan, sistem pemasaran dan perluasan pasar. Otonomi daerah dapat diarahkan untuk memberikan jaminan birokrasi yang lebih pendek. Kemungkinan kerja sama dengan luar negeri bisa langsung menyentuh ke masyarakat di daerah dengan bantuan teknis pemerintah pusat. Sasaran utamanya adalah melalui kerja sama internasional industri rumah tangga hasil hutan bukan kayu dapat menjadi sektor ekonomi di bidang kehutanan yang kuat, berwawasan lingkungan, berskala internasional dan berbasis masyarakat. Kata kunci : Industri rumah tangga, hasil hutan bukan kayu, kerja sama internasional, kearifan tradisional.

persemaian dan lapangan. Sejumlah jenis mikroba telah diidentifikasi, diperbanyak, dan dipelihara pada media tumbuh mikroba. Teknologi produksi massal telah dikembangkan untuk setiap jenis mikroba dan aplikasinya dapat digunakan untuk skala massal. Beberapa jenis komoditi tanaman hutan yang penting telah memberikan pertumbuhan yang lebih baik setelah diinokulasi oleh beberapa jenis mikroba, diantaranya jenis-jenis akasia, ekaliptus, jelutung, pulai, meranti, jati, gaharu, bintangur dan pinus. Dari hasil-hasil penelitian tersebut diharapkan aplikasi teknologi mikroba dapat membantu peningkatan produksi bibit tanaman hutan dalam skala massal dan komersial. Kata kunci: Rehabilitasi Hutan, Mikroba Simbiotik Santoso, Adi TEKNOLOGI PEMANFAATAN KAYU ACACIA MANGIUM / Adi Santoso...(et.al) . -- Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 87-102 , 2006 Keterpurukan industri pengolahan kayu di indonesia dewasa ini sudah mencapai titik kulminasi yang memerlukan penanganan menyeruluh dari berbagai aspek. Salah satunya adaah menyeimbangkan dengan segera pasokan bahan baku kayu guna memenuhi kapasitas industri pengolahan kayu, khususnya yang menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan melalui pemanfaatan kayu dari hutan tanaman, salah satunya adalah mangium (Acacia mangium Willd) yang sampai saat ini telah mengalami spektrum lebih luas, baik untuk kayu serat, kayu pertukangan maupun energi )bahan bakar & arang), selain itu kulit kayu mangium mengandung tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan perekat kayu. Tulisan ini mengemukakan rangkuman hasil-hasil penelitian mengenai teknologi pemanfaatan kayu mangium sebagai bahan industri olahan dan ekstrak kulitnya sebagai bahan perekat kayu. Kata kunci: Acacia mangium, Pemanfaatan Kayu, Teknologi

Santoso, Erdy PROSPEK APLIKASI TEKNOLOGI MIKROBA SIMBIOTIK DALAM MEMPERCEPAT REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TERDEGRADASI / Erdy Santoso, Ragil SB Irianto, Maman Turjaman. -- Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 73-85 , 2006 Makalah ini mendiskusikan hasil-hasil penelitian tentang prospek aplikasi teknologi mikroba simbiotik dalam mempercepat rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Dalam tulisan ini diuraikan hasil penelitian dasar dan aplikatif mulai dari eksplorasi mikroba, screening dan ujicoba dalam skala laboratorium,

169

Subarudi MEGAPOLITAN, KONSEP KONPENSASI HULU HILIR/ Subarudi. -Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 219-225 , 2006 Konsep Megapolitan yang diusung oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) mendapat tanggapan yang luas dari beberapa pakar hukum, lingkungan, bisnis, dan birokrat di wilayah lingkungan yang terkait dengan konsep tersebut. Sebenarnya konsep Megapolitan bukanlah konsep baru dalam upaya menggabungkan perencanaan di wilayah yang termasuk dalam 3 provinsi, yaitu DKI, jawa Barat, dan Banten. Konsep ini sebenarnya sudah lama diterapkan oleh Pemerintah DKI dalam perencanaan internalnya yang sudah umum dikenal sebagai kawasan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi). Kemungkinan setelah sukses dengan konsep "internal" Jabotabeknya, pemerintah DKI berusaha dan berupaya agar konsep seperti itu dapat menggapai lebih luas bagi wilayah perencanaannya dengan mengikutsertakan 2 provinsi tetangganya yang dikenal dengan konsep megapolitan. Konsep megapolitan ini banyak menimbulkan pro dan kontra dari para pihak sehingga kajian yang menyeluruh dan netral tentang hal ini sangat diperlukan sehingga konsep ini dapat diterapkan sesuai dengan tujuan dan sasarannya. Tulisan ini akan membahas dan menguak secara detail tentang konsep megapolitan yang meliputi: (i) gambaran umum tentang megapolitan, (ii) resistensi di era otonomi daerah, (iii) kelemahan dan kelebihan konsep megapolitan, dan (iv) strategi penerapan megapolitan di masa depan. Kata kunci: Megapolitan, Otonomi daerah Subarudi KAJIAN KEBIJAKAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN: STUDI KASUS DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)/ Subarudi dan Iis Alviya. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 177-188 , 2005 Pembangunan kehutanan di Indonesia pada saat ini dan masa yang akan datang menghadapi tantangan dan hambatan yang semakin kompleks. Hal ini diindikasikan dengan meningkatnya laju kerusakan hutan yang mencapai 2,5

juta ha/tahun. Disamping itu, kebijakan nasional khususnya kebijakan yang menyangkut otonomi daerah dirasakan masih belum sepenuhnya dapat mendukung kemantapan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, masih terjadi kesimpangsiuran dalam menjabarkan kebijakan dimaksud sehingga dalam masa transisi ini masih diperlukan adanya upaya-upaya untuk menyelaraskan persepsi dan visi dalam merumuskan kebijakan strategis di bidang pembangunan kehutanan baik nasional dan regional maupun tingkat lokal (NTT, 2004). Laju kerusakan hutan khususnya di wilayah propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) disebabkan oleh kebakaran hutan, penggembalaan liar, perambahan kawasan hutan dan illegal logging (NTT, 2004). Luasnya kerusakan sumberdaya hutan telah menyebabkan mundurnya kualitas lingkungan hidup yang diindikasikan dengan rendahnya produktivitas lahan, tingginya laju erosi dan besarnya peluang terjadinya banjir dan kekeringan yang berdampak kepada menurunnya kualitas kehidupan. Oleh karena itu upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis (RHL) merupakan salah satu prioritas pembangunan sektor kehutanan. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, pemerintah NTT telah mengesahkan "Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2004-2008" melalui SK Gubernur NTT No: Tahun 2004, tanggal 20 pebruari 2004. Adapun tujuan dari kajian ini adalah: (1) mengetahui tentang kebijakan RHL di NTT, (2) mengevaluasi pelaksanaan RHL, (3) menganalisis pembiayaan RHL, dan (4) merumuskan penyempurnaan kebijakan RHL di NTT. Kata kunci: Kebijakan, Rehabilitasi hutan, Rehabiitasi lahan, Nusa Tenggara Timur Sudrajat, Dede J. TEKNOLOGI PERBENIHAN DAN PERBIBITAN ACACIA MANGIUM/ Dede R. Sudrajat dan Nurhasybi. -- Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 7-22 , 2006 Acacia mangium merupakan jenis pioner yang mampu tumbuh pada lahan yang marjinal. Jenis ini merupakan salah satu prioritas dalam pengembangan hutan tanaman. Kegagalan penyediaan bibit siap tanam di lapangan seringkali disebabkan oleh minimnya penguasaan teknologi perbenihan dan pembibitan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas tegakan dan target penanaman yang harus dicapai. Selain itu, dengan menerapkan teknologi perbenihan dan pembibitan, tingkat efisiensi di persemaianpun dapat ditingkatkan

170

(meningkatnya keberhasilan penyediaan bibit akan menyebabkan biaya per satuan bibit siap tanam menurun) yang akhirnya akan berpengaruh terhadap mutu tegakan yang dihasilkan. Untuk mendukung keberhasilan pengembangan jenis ini, perlu dukungan teknologi perbenihan dan pembibitan yang tepat. Informasi pengembangan teknologi perbenihan dan pembibitan yang dihasilkan dari beberapa penelitian seyogyanya dapat menjadi acuan bagi praktisi di lapangan guna meningkatkan keberhasilan penanaman jenis ini. Kata kunci: Acacia mangium, Perbenihan, Pembibitan, Teknologi perbenihan Sufyadi, Dedi TINJAUAN EMPIRIK TENTANG EKONOMI DAN MANAJEMEN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT / Dedi Sufyadi. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 129-133 , 2006 Hutan pegang peranan penting, terutama bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Berbagai kegiatan telah diikhtiarkan oleh pemerintah melalui beberapa kegiatan, seperti Proyek MA-LU; kegiatan penghijauan; dan kegiatan agribisnis perhutanan.Studi ini merupakan tinjauan empirik terhadap beberapa kegiatan tersebut di atas, yang mana penulis pernah terlibat didalamnya. Proyek MA-LU dapat menggerakkan pusat kekuasaan di desa sekitar hutan dalam menyelamatkan hutan. Kegiatan penghijauan dapat menggerakkan aparatur pemerintah, LSM dan masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan. Kegiatan agribisnis perhutanan dapat menggerakkan. Berbagai komponen masyarakat dalam pengelolaan hasil hutan. Disimpulkan bahwa diperlukan adanya keseimbangan antara usaha ekonomi dan usaha ekologi dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan memerlukan adanya peran serta aktif dari berbagai komponen masyarakat mulai dari satuan rumah tangga, pemerintah hingga perusahaan baik usaha besar maupun usaha koperasi dan UKM. Disarankan bahwa seluruh komponen masyarakat apapun statusnya perlu memiliki kesadaran dan pemahaman yang sama bahwa hutan lestari dapat menyelamatkan kehidupan kita. Kata kunci: Hutan Rakyat, Ekonomi, Manajemen

Sukrianto, Tiwa PENGELOLAAN SUPPLY-DEMAND KAYU RAKYAT DI KABUPATEN CIAMIS / Tiwa Sukrianto, Subarudi, dan Sudarmanto. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 65-71 , 2006 Sejalan dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk, dan meningkatnya pembangunan ekonomi, kebutuhan terhadap bahan baku kayu juga akan terus meningkat. Kebutuhan kayu secara Nasional diperkirakan mencapai 60 juta M kubik/tahun, sementara itu pasokan kayu dari hutan alam dan hutan tanaman hanya mampu mencapai sekitar 25 juta M kubik/tahun (RLPS, 2002). Di pulau jawa yang mempunyai penduduk paling besar, kebutuhan kayu mencapai 9 juta M kubik/tahun, sedangkan produksi kayu Perhutani hanya mencapai 1,5 juta M kubik/tahun (Suryohadi Kusumo dalam Suyarno dan Dian Diniyati, 2003). Kondisi tersebut di atas menunjukan bahwa betapa besarnya kesenjangan antara pasokan (suply) dan kebutuhan (demand) kayu yang berasal dari hutan negara. Dalam beberapa tahun kedepan kesenjangan ini akan semakin besar karena pemerintah telah menerapkan pembatasan penerbangan dari hutan alam dan juga dari hutan tanaman. Kayu rakyat yang berasal dari hutan rakyat menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku yang terus meningkat seperti diutarakan di atas. Fakta menunjukan bahwa 70-90 persen kebutuhan kayu di Pulau Jawa (kayu pertukangan, kayu bakar) dipenuhi dari kayu rakyat yang berasal dari hutan rakyat (Djaja Percunda, 2003). Di kabupaten Ciamis produksi kayu dari Perum Perhutani hanya mencapai rata-rata sekitar 35.000 M kubik/tahun, dan diperkirakan hanya kurang dari 5 persen yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Sementara itu produksi kayu rakyat mencapai sekitar 326.000 M kubik/tahun yang tercatat melalui pelayanan SKAUK dan SKSHH (Dishut Ciamis, 2005). Pertumbuhan Industri yang mengolah bahan baku kayu di tingkat lokal maupun regional (Jawa Barat dan Jawa Tengah) saat ini telah meningkatkan kebutuhan bahan baku kayu rakyat secara signifikan. Ditingkat lokal untuk memenuhi seluruh industri penggergajian kayu sekitar 400 unit diperlukan pasokan bahan baku antara 688.285 - 1.375.571 M kubik/tahun (Subarudi, 2006). Sementara itu pasokan kayu rakyat dari kabupaten Ciamis hanya mampu mencapai 326.000 M kubik/tahun seperti diutarakan di atas. Kata kunci: Kayu Rakyat, Kelompok Tani, Supply-Demand, kab. Ciamis

171

Supangat, Agung B. PERAN HUTAN TANAMAN JATI SEBAGAI PENGATUR TATA AIR: STUDI KASUS DI SUB DAS KAWASAN HUTAN JATI DI KPH CEPU / Agung B. Supangat dan Paimin. -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai CicatihCimandiri, 2006 : Halaman 161-174 , 2006 Keberadaan Hutan dalam DAS diketahui selain befungsi produksi (kayu), juga berperan sebagai pengatur kondisi hidrologis DAS. Segala tindakan pengelolaan hutan maupun gangguan yang terjadi akan menpengaruhi kondisi tata air DAS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran hutan jati dalam menjaga tata air, melalui pengamatan papameter tata air pada DAS. Model DAS berpasangan antara DAS di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, dimanfaatkan untuk menilai kondisi hidrologi yang dihasilkan. Penelitian dilaksanakan di Sub DAS Modang di areal hutan Jati di wilayah RPH Ngawenan, BKPH Pasarsore, KPH Cepu, dan Sub DAS Soko (di luar kawasan) di kecamatan Bogorejo, kabupaten Blora. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa selama periode 1998-2004, dapat disimpulkan bahwa secara umum berdasarkan nilai parameter hidrologi tahunan sub DAS kawasan hutan jati lebih baik dalam mengendalikan hujan untuk menjadi aliran permukaan,ditunjukan nilai rata-rata koefisien limpasan yang lebih kecil dengan fluktuasi yang stabil. Cadangan air tanah yang dikeluarkan pada musim kering sebagai aliran dasar lebih banyak (stabil) terjadi pada erosi dan laju sedimentasi, pada sub DAS kawasan hutan lebih baik dalam mengendalikan kedua parameter tersebut. Hasil penelitian di atas dapat menjadi masukan bagi pengelola kawasan, baik kawasan hutan maupun non hutan tentang pentingnya mempertahankan kawasan hutan dalam suatu wilayah DAS. Oleh karenanya disarankan dalam perencanaan pengelolaan suatu wilayah DAS untuk menambah dan mempertahankan kawasan hutan terutama pada kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan konservasi dan rawan bencana. Kata kunci: DAS, Tata Air, Hutan Tanaman Jati, KPH Cepu

Supangat, Agung B. INFORMASI NILAI KALOR BIOMASA HUTAN PADA LAHAN TEGAKAN AKASIA MANGIUM (A. MANGIUM): STUDI KASUS DI HTI PT. MUSI HUTAN PERSADA, SUMATERA SELATAN / Agung B. Supangat, R. Sudrajat, dan Ragil Bambang WMP. -- Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 125135 , 2006 Salah satu fungsi hutan adalah penyimpan kalor dalam bentuk karbon (Kayu) yang berpotensi untuk mengurangi terjadinya emisi karbon yang dapat menyebabkan kenaikan gas rumah kaca (GRK). Melalui upaya mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism, CDM) serta international Emmision Trading (Carbon Trading), maka peningkatan panas bumi akibat kenaikan GRK yang dapat menyebabkan kebakaran hutan dapat ditekan. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan informasi karakteristik nilai kalor dan potensi energi yang tersimpan pada biomasa tegakan hutan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui potensi biomasa, nilai kalor dan total energi dari masing-masing biomasa hutan pada lahan tegakan Akasia (A. mangium), dengan studi kasus di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Hasil penelitian penunjukan bahwa nilai kalor tanaman A.mangium cenderung semakin besar dengan semakin tuanya umur tanaman, baik pada batang, ranting, maupun daun. Total nilai kalor tumbuhan bawah pada tegakan A.mangium tidak memperlihatkan kecenderungan meningkat. Potensi energi biomasa hutan A. mangium dipengaruhi total nilai kalor dan potensi biomasa per hektar. Total potensi energi tanaman A. mangium semakin besar dengan semakin tuanya umur tanaman. Pengaruh umur tanaman A. mangium sangat nyata terhadap parameter nilai kalor dan potensi energi, baik terhadap tanaman A.mangium, tumbuhan bawah, serta antara daun dan serasah tanaman A. mangium. Total potensi energi tiap-tiap umur tanaman A.mangium mempunyai nilai rata-rata sebesar 4,52 Giga Joule/Ha, dengan nilai terkecil 0,97 Giga Joule/Ha pada tanaman umur 1 tahun, dan terbesar 8,67 Giga Joule/Ha pada tanaman umur 7 tahun. Kata kunci: Acacia mangium, Nilai Kalor, Biomasa Hutan, HTI, Musi Hutan Persada

172

Suprapto, Teguh PENGALAMAN DALAM PENGAWALAN MENUJU SERTIFIKASI ECOLABEL HUTAN RAKYAT: CERITA DARI WONOGIRI / Teguh Suprapto. -Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 43-50 , 2006 Tingginya laju penebangan hutan di Indonesia semenjak tahun 1998, telah menjadi persoalan serius. Laju tersebut diperkirakan mencapai 28 ha/menit, sehingga mempersempit sisa hutan dunia yang tinggal 40 persen. Dengan luasan areal hutan sebesar 1,3 juta ha di seluruh Indonesia, potensi produksi kayu dari hutan rakyat mencapai 43.000.000 m kubik, dari jumlah tersebut, 23.000.000 m kubik jati diproduksi oleh hutan rakyat di Jawa (Dephut, 2003). Besarnya angka-angka di atas menunjukan betapa pentingnya nilai strategis hutan rakyat sebagai penopang ekonomi dan sekaligus penyangga secara ekologis. Meskipun demikian, diakui bahwa terdapat sejumlah permasalahan mendasar dalam hal pengelolaan hutan rakyat secara umum. Permasalahan tersebut diantaranya rendahnya harga kayu yang diterima oleh petani hutan, lemahnya posisi tawar petani dalam proses tawar menawar, terbatasnya pengetahuan petani dalam hal pasar dan pemasaran produk kayu jati. Keterbatasan dari aspek silvikultur pada umumnya disebabkan oleh tidak adanya perawatan seperti perempelan, penjarangan dan pemupukan yang berdampak pada rendahnya produktivitas dan kualitas hasil kayu. Akibatnya pertambahan dan kecepatan nilai ekonomi dari hasil kayu tidak bisa memberi sumbangan secara cepat kepada petani. Di kabupaten Wonogiri, hutan rakyat yang biasa oleh masyarakat disebut dengan wono atau alas makin tahun menunjukan jumlah luasan secara berarti. Dalam rentang 5 tahun terakhir, penambahan luasan hutan rakyat rerata 250 ha setiap tahunnya. Semakin luasnya hutan rakyat tersebut merupakan peralihan fungsi dari lahan tegal atau pekarangan. Sekalipun begitu, berbicara pengembangan hutan rakyat masih dijumpai beberapa permasalahan. Pertama, masih lemahnya organisasi petani dalam satuan unit manajemen;kedua, rendahnya harga kayu yang diterima; ketiga lemahnya posisi tawar dalam penentuan harga kayu; keempat, tiadanya jaringan informasi harga kayu dan jaringan pemasaran yang memihak mereka; Kelima, masih kurangnya pemahaman pada aspek-aspek silvikultur, serta keenam kurang berkembangnya pengembangan usaha-usaha produktif dari hasil non kayu maupun produk dari hasil olahan kayu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dapat dilakukan pendekatan dalam pengembangan hutan rakyat yang mengarah pada perbaikan nilai secara ekonomi maupun ekologi. Dengan demikian sekurangnya dapat dilakukan dua hal, pertama

penguatan institusi petani dan peningkatan kapasitas petani dalam hal pengelolaan produksinya dalam 2 unit manajemen, dan kedua, pengembangan perdagangannya (pemasarannya), baik dalam pasar domestik maupun global. Untuk itu perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI) bekerja sama dengan yayasan WWF Indonesia dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) melakukan kerjasama dalam pelaksanaan program "Menuju Sertifikasi Hutan Rakyat dan Pengembangan Akses Pasar Global". Kata kunci: Hutan Rakyat, Ekolabel, Wonogiri Supriadi PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SOSIAL FORESTRY DI STASION PENELITIAN DAN UJI COBA BORISALLO, SULAWESI SELATAN / R. SupriadiProsiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 217-225 , 2005 Kebijakan sosial forestry merupakan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan. Dalam praktiknya, diperlukan instrumen manajemen untuk mengakomodasi proses adaptasi dan partisipasinya tersebut. Tulisan ini merupakan hasil sintesa mengenai proses manajemen multipihak yang cocok diterapkan dalam pengembangan sosial forestry di SPUC Borisallo, Sulawesi Selatan menggunakan metodologi penelitian aksi partisipatif atau partisipatory Action Research (PAR) untuk mengakomodasi proses adaptasi dan partisipasi masyarakat dalam proses manajemen. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa proses manajemen multipihak akan terdiri dari proses kajian dan analisa, formulasi aturan main manajemen/implementasi dan monitoring-evaluasi. Sementara itu,tahapan kegiatannya terdiri dari (1) identifikasi dan karakterisasi lokasi baik secara sosial ekonomi, sosial kelembagaan maupun biofisik, (2) identifikasi masalah dan kebutuhan lokal spesifik, (3) fasilitas proses manajemen, dan (4) monitoring-evaluasi dampak manajemen. Keseluruhan tahapan kegiatan tersebut dilakukan secara partisipatif oleh seluruh pihak terkait. Kata kunci: Kelembagaan, Sosial Forestry, SPUC Borisallo, Sulawesi Selatan

173

Suyarno KONTRIBUSI SWASTA DALAM MENYUKSESKAN PROGRAM PHBM DI KPH TASIKMALAYA / Suyarno. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 185-193 , 2005 Seiring dengan masih meningkatnya laju kerusakan dan perambahan hutan maka program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan terus dikembangkan, yang pada dasarnya sudah dimulai sejak dulu. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan sejak tahun 2000 telah dicanangkan melalui program pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), dimana program ini membuka ruang yang luas bagi berbagai pihak untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan. Terlibatnya berbagai stakeholder dalam pengelolaan hutan salah satunya diwujudkan dalam pengelolaan hutan yang berbasis PHBM di KPH Tasikmalaya. Program PHBM ini melibatkan masyarakat sekitar hutan, Perum Pehutani dan pihak swasta mulai dari perencanaan, Pelaksanaan, dan pembagian hasil usaha serta pembangunan kelembagaan kelompok.Adapun distribusi yang diberikan oleh semua pihak yang terlibat dalam pembangunan PHBM merupakan hasil kesepakatan bersama yang didasarkan atas konsep sharing baik dalam penyertaan modal maupun pembagian hasil usaha. Kata kunci: Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, PHBM, KPH Tasikmalaya Suprianto PANDUAN ANALISIS KELAYAKAN USAHA KOMODITAS YANG DIKEMBANGKAN PADA HUTAN RAKYAT DAN HUTAN KEMASYARAKATAN / Suprianto. -- Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan : Tasikmalaya, 6 Desember 2005 ; Halaman 22-33 , 2005 Permasalahan klasik yang sering kita temui dalam pengembangan usaha di bidang pertanian khususnya pada tatanan sub sistem usahatani (on farm) yang melibatkan masyarakat banyak, diantaranya adalah: Produk hasil usaha petani sulit menjangkau akses pasar, sehingga susah dijual, kalaupun mendapatkan pasar, harga yang diterima petani tidak sebanding dengan biaya produksi yang telah dikeluarkan, volume hasil produksi usahatani terlalu kecil untuk dijual,

namun juga terlalu besar volumenya apabila hanya untuk dikonsumsi oleh keluarga petani, produk yang dipasarkan masih dalam bentuk primer, sehingga nilai tambah buat petani masih sangat kecil. keterampilan petani belum mencapai standar yang dibutuhkan untuk mengelola aktivitas program yang dikembangkan. Permasalahan-permasalahan tersebut juga sangat mungkin kita temui dalam rangka pengembangan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Akar permasalahan biasanya erat kaitannya dengan aspek-aspek usahatani yaitu ukuran (size) usahatani yang dikelola tidak mencapai skala ekonomi (economic scale), program kurang berbasis pada sumberdaya lokal, sumberdaya manusia yang tersedia belum memenuhi standar yang dibutuhhkan program,prasarana dan sarana penunjang masih sangat minim dan lain sebagainya. Pada akhirnya, sangat mungkin social benefit income atau keuntungan normatif dari suatu program, lebih besar dibandingkan dengan profit income untuk petani peserta program.Manfaat ekologis dan sosial suatu program mungkin lebih besar dibandingkan dengan manfaat ekonomis, sehingga insentif untuk menggairahkan petani pekerja bersungguh-sungguh dan mencurahkan seluruh kapasitasnya tidak tercapai.Pada gilirannya pencapaian target program kurang maksimal. Berkaca pada fenomena tersebut pemilihan komoditas atau aktivitas program yang tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan. Namun demikian memilih komoditas atau aktivitas yang tepat bukan perkara yang terlalu mudah, memerlukan pemikiran dan perhitungan yang akurat. Berkaitan dengan hal itulah penulis mencoba menyajikan suatu panduan sederhana untuk memilih komoditas atau aktivitas yang diharapkan hasilnya mendekati target yang diharapkan. Kata kunci: Hutan Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, Kelayakan usaha Syahadat, Epi FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN WISATAWAN DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO (The Factors with are

Kehutanan : Volume 3 No.1 ; Halaman 17-40 , 2006

Influences to a Tourism Visitor in Gede Pangrango National Park (GPNP)) / Epi Syahadat. -- Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi

Taman Nasional Gede Pangrango memiliki berbagai obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA), seperti keanekaragaman hayati yang cukup tinggi baik flora, fauna, maupun ekosistemnya termasuk keindahan panorama alamnya. Jumlah kunjungan ke Taman Nasional Gede Pangrango dapat dipengaruhi oleh faktor

174

pelayanan, faktor sarana prasarana, faktor obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA), dan faktor keamanan. Karena itu untuk mengetahui besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut secara bersama-sama (simultan) terhadap jumlah pengunjung, maka dilakukan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2005 dengan penentuan sampel secara accidental sampling yang dilakukan secara acak sederhana, dengan jumlah responden sebanyak 142 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara orientasi lapangan, wawancara, maupun duplikasi data sekunder. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis regresi linier berganda, pengolahan data dilakukan menggunakan program SPSS for windows versi 12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pelayanan, faktor sarana prasarana, faktor obyek dan daya tarik wisata alam, dan faktor keamanan secara bersama-sama (simultan) mempunyai pengaruh terhadap jumlah pengunjung akan tetapi tidak secara nyata (tidak signifikan) di Taman Nasional Gede Pangrango. Akan tetapi secara parsial, dari keempat faktor tersebut faktor keamanan yang mempunyai pengaruh yang signifikan (nyata) dan dominan terhadap jumlah pengunjung di Taman Nasional Gede Pangrango. Kata kunci : Taman Nasional Gede Pangrango, pelayanan, sarana prasarana, obyek dan daya tarik wisata alam, keamanan. Syahadat, Epi KAJIAN PEDOMAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DI HUTAN RAKYAT SEBAGAI DASAR ACUAN PEMANFAATAN HUTAN RAKYAT

Hasil kajian menunjukkan bahwa masih banyak hal yang perlu disempurnakan dalam aturan penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat agar ketertiban, kelancaran, dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan rakyat dapat tercipta dengan baik. Penyempurnaan mulai dari pembuatan Surat Izin Penebangan (SIP) serta perlu adanya berita acara pemeriksaan penebangan sebelum pengesahan LHP, sampai kepada pengangkutan hasil hutan perlu disederhanakan tanpa mengurangi fungsi penatausahaan hasil hutan yang efektif dalam melestarikan hutan dan mejamin hak-hak negara atas hasil hutan. Kata kunci : Hutan rakyat, penatausahaan hasil hutan, pemanfaatan, peredaran, pengangkutan.

(GPNP) Management Strategy For Tourism Development In Forest Area) / Epi Syahadat. -- Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan : Volume 3 No.2 ; Halaman 117-132 , 2006

Syahadat, Epi ANALISA STRATEGI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO (TNGP) UNTUK PENGEMBANGAN PARIWISATA ALAM DI KAWASAN HUTAN (An Analysis of Gede Pangrango National Park

Syahadat. -- Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan : Volume 3 Suplemen No.1 ; Halaman 75-90 , 2006 Penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat belum tertata dengan baik dan pelaksanaannya oleh petugas atau oleh instansi di daerah asal dan tujuan peredaran kayu masih belum mampu menjamin kelestarian hutan dan penerimaan negara atas hasil hutan secara optimal. Kajian penatausahaan hasil hutan pada hutan rakyat dilakukan untuk mengetahui kelemahan kebijakan dan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan yang menyebabkan tidak efektif mengendalikan peredaran kayu. Kajian dilakukan dengan melakukan review kebijakan penatausahaan hasil hutan yang ada, khususnya kebijakan penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat.

(Study on Forest Product Administration Orientation in Community Forest as a Basic Reference in Community Forest Usage) / Epi

Pengembangan pengelolaan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) merupakan bagian integral dari pembangunan kepariwisataan nasional, selain daripada itu pengembangan pengelolaan Taman Nasional Gede Pangrango ini memiliki arti yang sangat penting dan strategis bagi bangsa Indonesia dalam mendukung kelangsungan dan keberhasilan pembangunan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka pelaksanaan pengembangan pengelolaan kepariwisataan di Taman Nasional Gede Pangrango harus mampu menjadi sarana untuk meraih cita-cita dan tujuan nasional dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keberhasilan penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan nasional di Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) dapat dicapai atau di raih berkat keterpaduan dan kesinergian antara kekuatan masyarakat, pemerintah, media masa, dan pengusaha pariwisata. Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan pariwisata alam, yaitu : pariwisata nasional, perencanaan kawasan, pengelolaan lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, penataan ruang serta peraturan perundangan. Analisa SWOT dilaksanakan untuk menyusun strategi peluang usaha di Taman Nasional Gede Pangrango. Adapun strategi pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam meliputi pengembangan :

175

aspek perencanaan pembangunan, aspek kelembagaan, aspek sarana dan prasarana, aspek pengelolaan, aspek pengusahaan, aspek pemasaran, aspek peran serta masyarakat dan penelitian dan pengembangan. Kata kunci : taman nasional gede pangrango, pengembangan pariwisata, kawasan hutan , wisata alam, kelestarian alam, kesejahteraan masyarakat, Syahadat, Epi KAJIAN PENYEMPUNAAN PEDOMAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DI HUTAN HAK RAKYAT (KASUS DI PROVINSI JAWA BARAT) / Epi Syahadat ; Apul Sianturi. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.4 ; Halaman 317-331 , 2006 Penatausahaan hasil hutan dan pelaksanaannya oleh petugas/instansi di daerah asal dan tujuan peredaran kayu masih belum mampu menjamin kelestarian hutan dan meningkatkan penerimaan negara atas hasil hutan secara optimal. Kajian penyempurnaan penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat (kasus di Provinsi Jawa Barat) dilakukan untuk mengetahui kelemahan kebijakan dan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat yang menyebabkan tidak efektif dalam mengendalikan peredaran hasil hutan. Kajian dilakukan dengan melakukan review kebijakan penatausahaan hasil hutan, mengkaji tugas dan wewenang pejabat/instansi di daerah asal dan tujuan peredaran hasil hutan serta mengkaji kemampuan petugas dalam memantau produksi dan peredaran hasil hutan. Hasil kajian menunjukan bahwa SK Dinas Kehutanan Provinsi Nomor 51/Kpts/Dishut-PH/2001, sudah seharusnya di revisi karena tidak sesuai dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 126/2003, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005, Nomor P.26/2005, dan Nomor P.51/2006. Dokumen angkutan kayu rakyat yang berlaku pada saat ini adalah SKSHH yang di cap Kayu Rakyat (KR), sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No 126/2003. Dimasa yang akan datang dalam pengangkutan kayu rakyat akan diberlakukan dokumen angkutan lain selain SKSHH yang di cap KR, yaitu Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) sebagai dokumen resmi angkutan kayu rakyat yang diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat yang setara, sesuai dengan Peraturam Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006, akan tetapi SKAU ini hanya terbatas kepada 3 (tiga) jenis kayu, yaitu kayu sengon, kayu karet dan kayu kelapa, sedangkan jenis kayu lainnya akan diatur

kemudian oleh Menteri Kehutanan atas dasar usulan dari masing-masing Dinas Provinsi. Kata kunci: Penatausahaan, peredaran, pengangkutan, kayu rakyat. perijinan, penebangan,

Subarudi KAJIAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL: STUDI KASUS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DI PULAU JAWA / Subarudi. -- Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 97113 , 2005 Saat ini luas kawasan konservasi di Indonesia mencapai 26,25 juta hektar yang meliputi 486 unit kawasan (447 unit atau 82 persen konservasi daratan dan 39 unit konservasi laut) dengan lokasi yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Pengelolaan taman nasional (TN) saat ini dirasakan masih jauh dari kesan profesionalisme dan menguntungkan (profitable) karena selama ini pengelolaan TN diidentikan dengan pusat pengeluaran biaya (cost centre). Oleh karena itu kajian kelembagaan pengelolan TN sangat diperlukan untuk mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan yang muncul dibidang peraturan dan kebijakan, organisasi, kondisi SDM, dan struktur pembiayaan dalam pengelolaannya. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis kualitatif deskriptif. hasil kajian menunjukan bahwa kebijakan pengelolaan TN yang menggunakan pendekatan keamanan (security approach) harus sudah ditinggalkan dan menggantinya dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan berbasis masyarakat. Penyeragaman struktur organisasi TN hendaknya dihindari karena karakteristik pengelolaan dan permasalahan yang dihadapi berbeda-beda untuk setiap TN. Kualitas SDM yang bekerja di TN yang disurvey didominasi oleh lulusan SLTA dan SLTP dan hanya sedikit pegawai yang berpendidikan sarjana (S1) dan pasca sarjana (S2) sehingga hal ini akan menjadi hambatan besar dalam rencana perubahan (agent of changes) pengelolaan TN yang lebih profesional, bertanggung jawab, dan menguntungkan. rata-rata pembiayaan tahunan untuk operasional TN yang disurvey berkisar antara Rp. 1-4 milyar dan sumber dananya berasal dari angaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebanyak 20 persen dan sisanya (80 persen) berasal dari dana Reboisasi (DR) dan dana provisi sumber daya hutan (PSDH). Oleh karena itu pengelolaan dan pengembangan taman

176

nasional ke depan hendaknya para pengelola TN diberikan kewenangan yang besar (desentralisasi pengelolaan TN) untuk berimprovisasi dalam pengelolaannya sehingga pengelolaan taman nasionalnya dapat lebih professional dan menguntungkan. Kata kunci: Taman Nasional, Pengelolaan, Pulau Jawa Subarudi KONSEP RENCANA MAKRO SOCIAL FORESTRY: KUNCI SUKSES MENUJU SISTEM PENGELOLAAN HUTAN LESTARI (SPHL)/ Subarudi. -Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.1 ; Halaman 31-38 , 2006 Departemen Kehutanan (Dephut) saat ini sedang menyusun konsep makro social forestry (SF) sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan prioritas ketiga, yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Namun demikian pengertian SF tersebut masih belum dipahami oleh berbagai pihak terkait sehingga keberhasilan dari program tersebut sangat diragukan. Oleh karena tulisan itu mencoba mengkaji konsep makro SF yang terdiri dari: (i) pencarian istilah SF dalam bahasa Indonesia, (ii) konsep makro SF dan faktor-faktor penentunya, dan (iii) strategi penyusunan konsep makro SF. Hasil kajian menunjukkan bahwa Perhutanan Sosial (PS) menjadi istilah yang tepat pengganti kata SF. Konsep makro PS harus seiring dan seirama dengan program kehutanan nasional dan sesuai dengan sistem pengelolan hutan lestari. Strategi penyusunan konsep makro hendaknya tidak diberikan kepada pihak ketiga tetapi dikerjakan secara bersama dengan menggunakan pendekatan manajemen fungsi bagi setiap unit eselon I lingkup Dephut. Peranan dan fungsi PS diyakini saat ini sebagai indikator penentu keberhasilan pengurusan hutan dan jaminan bagi keberadaan Dephut di masa depan. Kata Kunci : Rencana Makro, Social Forestry, dan Pengelolaan Hutan Lestari

Suherman KEBIJAKAN PROPINSI JAWA BARAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT / Suherman dan Yeyep Sudrajat. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 14-21 , 2006 Tekanan terhadap hutan semakin meningkat baik terhadap lahan kawasan hutan maupun hasil hutan dengan semakin merebaknya tingkat gangguan keamanan hutan berupa pencurian hasil hutan dan perambahan hutan. Keadaan ini disebabkan masih rendahnya perekonomian masyarakat sekitar hutan, semakin terbatasnya areal pertanian serta belum tergalinya potensi ekonomi masyarakat sekitar hutan secara optimal. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui pengembangan perekonomian desa merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka penggalian potensi sumberdaya perekonomian masyarakat sekitar hutan dengan untuk memberi peluang berusaha kepada masyarakat, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan sehingga ketergantungan terhadap hutan dan hasil hutan semakin berkurang.Pelestarian hutan dan lahan adalah merupakan langkah strategis dan agenda utama pembangunan bidang kehutanan Jawa Barat. Karena kondisi kawasan hutan dan lahan di Jawa Barat saat ini dalam keadaan kritis dan memprihatinkan, yakni diindikasikan dengan luas lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 455.303, 12 ha, dan di luar kawasan hutan seluas 514.749,56 ha yang telah berdampak terhadap keadaan lingkungan, tingkat sosial dan ekonomi masyarakat maupun terhadap sektor pembangunan di Jawa Barat. Dan hal lain juga berdampak terhadap penyediaan bahan baku kayu industri pertukangan, pulp/kertas, mebelair, dan lain-lain.Dalam rangka pelestarian hutan dan lahan tersebut, selain merehabilitasi kawasan hutan yang telah rusak, maka perlu ditunjang pula dengan merehabilitasi lahan-lahan diluar kawasan hutan, yakni dengan metoda vegetatif maupun secara sivil teknis. Guna menunjang program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis, khususnya diwilayah yang berfungsi lindung, maka langkah yang efektif dan efisien adalah melalui metoda vegetatif dengan pembangunan hutan rakyat. Yakni kegiatan tanam menanam pohon kayu-kayuan dengan atau tanpa jenis tanaman Multiple Plan Trees Species (MPTS) yang ditunjang dengan atau tanpa tanaman semusim yang tergantung terhadap kondisi fisik wilayah dan sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Dengan pembangunan hutan rakyat tersebut diharapkan dapat menunjang perbaikan kondisi lingkungan Jawa Barat yang saat ini mengkhawatirkan, serta dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, juga mendukung penyediaan bahan baku kayu Jawa barat.

177

Disamping itu juga meningkatkan partisipasi aktif pengembangan budidaya usahatani hutan rakyat dan meningkatkan tingkat kesadaran pengelolaan lahan yang berwawasan pelestarian alam. Kata kunci: Hutan Rakyat, Propinsi Jawa Barat Sylviani PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DIKAWASAN DAS BRANTAS (STUDI KASUS KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR)/ Sylviani. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.2 ; Halaman 87-95 , 2006 Pemanfaatan sumber air dikawasan DAS Brantas mulai dari hulu sampai hilir (termasuk di kawasan hutan lindung dan sekitarnya) cukup tinggi. Wilayah DAS Brantas merupakan sumber air bagi kebutuhan Propinsi Jawa Timur baik untuk air minum, rumah tangga maupun untuk kebutuhan sektor lainnya. Di dalam Kawasan Hutan lindung sumber-sumber mata air dimanfaatkan langsung oleh penduduk dengan menyalurkan melalui pipa yang dibangun secara swadaya dan dimanfaatkan oleh pengusaha peternakan dan perkebunan. Sebagai pengelola sumberdaya air Perum Jasa Tirta I ( PJT I ) dengan beberapa bangunan waduknya tersebar hingga ke Kali Bengawan Solo. Stakeholder yang berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya air Kali Brantas antara lain Dinas PU dan Pengairan Propinsi, Balai Pengelola Sumber Daya Air Wilayah Sungai ( BPSDAWS ) dan Perum Jasa Tirta I. Ijin pemanfaatan dan pengambilan air permukaan dikeluarkan oleh Dinas PU dan Pengairan Propinsi setelah mendapat rekomendasi teknis dari BPSDAWS untuk sumber air yang berada dalam kewenangan Propinsi dan rekomtek PJT bila sumber air berada dalam wilayah kerja PJT I. Berdasarkan data BPSDAWS saat ini tercatat ada 34 pengguna ( baik sebagai pengguna langsung maupun sebagai pengelola ) yang terdiri dari berbagai industri besar dan kecil, usaha peternakan, perkebunan, PDAM dan PLTA yang meliputi beberapa kabupaten antara lain Kabupaten Malang, Blitar, Tulung Agung dan Trenggalek. Kata kunci : Sumber air, stakeholder, kawasan hutan lindung

Syahadat, Epi KAJIAN MEKANISME PERMOHONAN PENERTIBAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH), (KASUS DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR)/ Epi Syahadat. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.2 ; Halaman 131-149 , 2006 Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejauhmana mekanisme atau alur pelaksanaan permohonan penerbitan SKSHH di tingkat Propinsi, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Dinas Kehutanan Kabupaten, dan permohonan penerbitan menurut versi pemegang IUPHHK di Propinsi Kalimantan Timur. Apakah mekanisme atau alur pelaksanaan permohonan penerbitan SKSHH tersebut, telah sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2005, Pasal 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme atau alur pelaksanaan permohonan penerbitan SKSHH di Propinsi Kalimantan Timur, pada dasarnya sudah berjalan sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005, Pasal 20. Walaupun masih terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya, seperti siapa yang dituju dalam surat permohonan penerbitan SKSHH, dan pemeriksaan administrasi. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan permasalahan yang serius, karena pada dasarnya, unit kerja yang berwenang dalam menerbiktan SKSHH untuk melindungi hak-hak negara seperti PSDH & DR, dan meminimalkan perdagangan kayu atau peredaran SKSHH yang ilegal. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.18/2005, SKSHH diterbitkan oleh P2SKSHH, atas SKSHH yang telah diterbitkan, kemudian diketahui dan disahkan oleh pejabat struktural (eselon III) pada Dinas Kabupaten/Kota yang menangani masalah kehutanan setempat. Pengesahan SKSHH oleh pejabat eselon III ini dinilai kurang efektif, karena hanya akan memperpanjang rantai birokrasi dalam pengurusan penerbitan SKSHH, akan tetapi hal tersebut harus dilakukan, karena ini merupakan suatu alat kontrol yang dilakukan pemerintah pusat/daerah terhadap pejabat P2SKSHH, yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab pejabat P2SKSHH, mengingat pejabat P2SKSHH berada jauh dari ibukota Kabupaten/Kota. SKSHH bukan merupakan ukuran, bahwa kayu atau hasil hutan yang diangkut tersebut legal atau tidak, karena banyak faktor yang mengindikasikan bahwa kayu yang diangkut dari satu daerah ke daerah lain itu kayu legal, diantaranya adalah tanda bukti pembayaran PSDH dan DR, daftar hasil hutan (DHH), laporan hasil cruising (LHC), laporan hasil produksi (LHP), laporan mutasi kayu bulat (LMKB) dan masih banyak lagi persyaratan untuk menentukan bahwa kayu itu legal

178

atau tidak, yang terpenting dan perlu diketahui dalam pengangkutan kayu, adalah mengenai kronologis kayu. Kata kunci : Penatausahaan hasil hutan, pengesahan, mekanisme, kronologis kayu Sylviani POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA AIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI JENEBERANG DAN KAWASAN HUTAN LINDUNG (STUDI KASUS DI KABUPATEN GOWA, PROPINSI SULAWESI SELATAN) / Sylviani ; Elvida Yosefi S.. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.3 ; Halaman 219-234 , 2006 Pembangunan bidang kehutanan Kabupaten Gowa dititikberatkan pada program optimalisasi fungsi hutan melalui kegiatan rehabilitasi hutan baik segi ekonomi ekologi maupun sosial budaya masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelembagaan, potensi dan pemanfaatan sumberdaya air. Potensi sumberdaya air di Kab Gowa ada yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat dari sumbermata air di dalam kawasan HL dan dari sungai Jeberang melalui penampungan waduk/Dam Bili-bili yang dimanfaatkan untuk saluran irigasi, industri gula dan rumah tangga dibagian hilir melalui PDAM. Pengelolaan sumberdaya air melibatkan beberapa stakeholder antara lain Dinas PU dan Pengairan Kabupaten, BPDAS, UPTD BPSDA dan PDAM dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Terdapat kelembagaan pada masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian hutan sebagai sumber air melalui tata tanam tahunan yang dilakukan oleh kelompok tani sebelum mengajukan permohonan perijinan penggunaan air terutama untuk irigasi Kata kunci : Kelembagaan, Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Air Sylviani KAJIAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR / Sylviani. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.3 ; Halaman 243-262 , 2006 Peranan air bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya serta lingkungan sangatlah penting dan merupakan kebutuhan pokok, karenanya dalam pengelolaan sumberdaya air perlu adanya penanganan yang teratur, sistimatik

dan berkesinambungan. Berdasarkan UU No 7/2004 tentang SDA dijelaskan bahwa wewenang dan tanggung jawab dalam menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota adalah pemerintah propinsi c/q Dinas Pengelolan Sumber Daya Air setempat. Kelembagaan pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) dapat berjalan dengan baik apabila adanya koordinasi diantara para pengelola SDA dan akan berdampak terhadap terjaganya kelestarian lingkungan. Kajian kelembagaan pengelolaan SDA bertujuan untuk menganalisa peran para pihak/instansi yang terkait dalam pemanfaatan jasa air, serta tugas dan fungsi masing-masing instansi, mekanisme/prosedur pemanfaatan air, mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan SDA di tingkat propinsi/kabupaten (Peraturan, organisasi, SDM) dan peran aktif dari masyarakat sekitar dalam pemanfaatan jasa air di kawasan hutan lindung. Kata kunci : Kelembagaan, pengelolaan SDA, pemanfaatan air Syahadat, Epi KAJIAN PEREDARAN DAN TATA USAHA KAYU RAKYAT DI CIAMIS JAWA BARAT / Epi Syahadat. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.3 ; Halaman 263-279 , 2006 Penatausahaan hasil hutan dan pelaksanaannya oleh petugas/instansi di daerah masih belum mampu menjamin kelestarian hutan dan meningkatkan penerimaan negara secara optimal. Kajian penata-usahaan hasil hutan pada hutan hak/rakyat dilakukan untuk mengetahui efektifitas kebijakan dan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat. Kajian dilakukan dengan melakukan review kebijakan penatausahaan hasil hutan, mengkaji tugas dan wewenang pejabat/instansi di daerah asal dan tujuan peredaran hasil hutan, mengkaji kemampuan petugas serta memantau produksi dan peredaran hasil hutan. Hasil kajian menunjukan bahwa SK Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Nomor 51/Kpts/Dishut-PH/2001 sudah seharusnya di revisi karena tidak sesuai lagi dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 126/2003 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005 dan Nomor P.26/2005. Demikian juga dengan Perda Kabupaten Ciamis No. 19 Tahun 2004, seharusnya memberi iklim yang baik kepada petani untuk berpartisipasi dalam pembangunan hutan rakyat. Kata kunci: penatausahaan, produksi, peredaran, distribusi, kayu rakyat.

179

Ulya, Nur Arifatul ANALISIS DAMPAK KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN MASYARAKAT (Analysis of the Impact of Forest Fire in Indonesia on Community Income Distribution) / Nur Arifatul Ulya; Syafrul Yunardy. -- Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan : Volume 3 No.2 ; Halaman 133-146 , 2006 Sejak kebakaran hutan besar tahun 1982/1983 yang membakar 3,5 juta hektar hutan alam di Kalimantan Timur, kebakaran hutan di Indonesia kian menyebar dan selalu berulang setiap tahun. Kejadian ini jelas akan berpengaruh terhadap pendapatan baik bagi masyarakat, perusahaan, maupun pemerintah. Studi ini bertujuan untuk mengetahui besarnya dampak kebakaran hutan di Indonesia terhadap masyarakat. Selain itu juga untuk mengidentifikasi jalur-jalur keterkaitan antar sector kegiatan perekonomian. Metode analisis yang digunakan untuk mengukur besarnya nilai penurunan tingkat pendapatan (economic loss) adalah Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM). Sedangkan untuk menjelaskan jalur keterkaitan antar sektor digunakan Analisis Jalur Struktural (Structural Path Analysis). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk setiap hektar kejadian kebakaran hutan di Indonesia, berdampak menurunkan tingkat pendapatan masyarakat sebesar Rp. 77,44 juta. Rumah tangga mengalami penurunan tingkat pendapatan yang paling besar dibandingkan dengan pemerintah maupun perusahaan. Secara struktural, ditemukan fakta bahwa ada jalur keterkaitan yang erat antara sektor kehutanan dengan sektor-sektor yang berbasiskan pertanian di pedesaan. Kata kunci: Kebakaran hutan,pendapatan masyarakat Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), Structural Path Analysis (SPA)

Ulya, Nur Arifatul ANALISIS PERANAN SEKTOR KEHUTANAN DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA: SEBUAH PENDEKATAN MODEL INPUT-OUTPUT (Analysis

of Forestry sector Role in Indonesia Economy: An Input-Output Model Approach) / Nur Arifatul Ulya; Syafrul Yunardy. -- Jurnal Penelitian
Sosial dan Ekonomi Kehutanan : Volume 3 No.1 ; Halaman 61-74 , 2006

Pembangunan kehutanan selama ini telah ikut berperan dalam perekonomian Indonesia. Namun informasi dan data yang ada selama ini baru bersifat sektoral dan belum memberikan gambaran yang jelas tentang peran sektor kehutanan dalam keterkaitannya dengan sektor-sektor ekonomi lain. Penelitian ini ditujukan untuk melihat tingkat keterkaitan sektor kehutanan dengan sektorsektor ekonomi lainnya dan peranan sektor kehutanan dalam penciptaan output, penggandaan pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja didalam proses produksi antar sektor. Melalui pendekatan model transaksi input-output, yang merupakan suatu kerangka analisis ekonomi yang terpadu, peranan sektor kehutanan dalam perekonomian Indonesia dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi (share) sektor kehutanan terhadap output keseluruhan sebesar 0,74 persen. Sedangkan nilai tambah yang diberikan oleh sektor kehutanan sebesar 82,60 persen. Berdasarkan hasil analisis pengganda neraca (accounting multiplier) diketahui bahwa untuk setiap kenaikan permintaan akhir (konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor) sektor kehutanan sebesar Rp. 1 milyar akan menyebabkan penciptaan output total sebesar Rp. 1,2666 milyar, kenaikan pendapatan total sebesar Rp. 0,1979 milyar, dan penyerapan tenaga kerja total sebesar 41 orang. Kata kunci : Pengganda neraca, sektor kehutanan, model Input-output, keterkaitan, sumbangan

180

Wardojo APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KESESUAIAN LAHAN PADA TANAMAN KEHUTANAN / Wardojo dan Ragil Bambang WMP. -- Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium : Bogor, 6 Desember 2006 ; Halaman 137-149 , 2006 Dengan sistem informasi geografis data dapat dikelola, ditata, analisa dan ditampilkan sesuai dengan tujuan analisa. Dalam analisa kesesuaian jenis tanaman kehutanan untuk pengembangannya data-data yang diperoleh dapat dimanipulasi sesuai dengan tujuan analisanya. Dalam makalah ini hanya dianalisa empat jenis tanaman (akasia, Mahoni, Jati dan Sono), untuk keperluan yang sama dapat dianalisa untuk jenis-jenis tanaman yang lain dengan menggunakan data dasar yang sudah tersedia. Dalam memilih jenis tanaman yang akan dikembangkan selain dipertimbangkan aspek fisiknya (kesesuaiannya), perlu dipertimbangakan juga tentang aspek non fisik (ekonomi). Suatu lokasi yang sesuai untuk suatu jenis tanaman (layak dari aspek fisik ), tidak selalu dapat berhasil untuk dikembangkan menjadi hutan yang bagus, karena adanya banyak kendala. Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan Arc View bisa digunakan untuk mengolah data-data atribut yang diperoleh dari kegiatan ISDL maupun data lain dari penafsiran potret udara, peta dasar dan peta tematik yang ada. Program Arc View ini memberikan kemudahan untuk menampilkan banyak tampilan data dengan peta secara cepat dan mudah sesuai dengan keinginan. Kata kunci: Sistem Informasi Geografis, SIG, Kesesuaian lahan, Tanaman kehutanan

dimana masyarakat tetap dipertimbangkan memegang peranan penting dalam mengelola sumberdaya hutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), pemerintah lokal telah mengeksploitasi sumberdaya alam dengan tanpa mempertimbangkan aspek ekologinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi dari pola pengelolaan sumberdaya hutan secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung setelah era otonomi daerah dan desentralisasi. Penelitian ini berlokasi di Kampung Dempar dan Kampung Sakak Lotoq, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meski perkebunan berskala besar (karet, kelapa sawit, jati super dll) dan perusahaan kayu pemegang Hak Ijin Pemungutan Hasil Hutan (HIPHH) telah beroperasi, masyarakat Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai Barat tampak tidak terganggu dan tetap mempertahankan pola pengelolaan sumberdaya hutan secara tradisional yang terbagi atas budidaya: (a) Tanaman pangan; (b) Tanaman perkebunan; (c) Tanaman tradisional (kebun tradisional) dan (d) Hasil hutan kayu dan non kayu. Kata kunci : Sumberdaya hutan, masyarakat dayak, otonomi, desentralisasi Wiati, Catur Budi IMPLIKASI OTONOMI DAERAH TERHADAP PRAKTEK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT LOKAL DI KALIMANTAN TIMUR (SUATU STUDI KASUS DI KAMPUNAG DEMPAR DAN SAKAK LOTOQ DI KABUPATEN KUTAI BARAT) / Catur Budi Wiati. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.4 ; Halaman 333-345 , 2006 Di era desentralisasi, sangat mudah ditemui adanya ketidakcocokan dan ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan kebijakan daerah yang berdampak negatif pada pengelolaan hutan khususnya yang dilakukan oleh masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kembali implikasi otonomi daerah terhadap pola dan keberadadaan sumberdaya potensial yang dilakukan oleh masyarakat tradisional di Kalimantan Timur. Penelitian ini berlokasi di Kampung Dempar dan Kampung Sakak Lotoq, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Hasil penelitian ini menununjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dayak di Kabupaten Kutai Barat telah dipengaruhi oleh kebijakan pusat dan daerah, khususnya oleh adanya kebijakan Hak Ijin Pemungutan Hasil Hutan (HIPHH) yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Kutai

Wiati, Catur Budi KAJIAN POLA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN SECARA TRADISIONAL OLEH MASYARAKAT DAYAK BENUAQ DAN TANJUNG DI KALIMANTAN TIMUR (STUDI KASUS DI KAMPUNG DEMPAR DAN SAKAK LOTOQ KABUPATEN KUTAI BARAT) / Catur Budi Wiati. -- Info Sosial Ekonomi : Volume 6 No.2 ; Halaman 97-113 , 2006 Sejalan dengan adanya program pengembangan pengelolaan hutan bersama masyarakat, data dan informasi tentang model dan tipe pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan masyarakat menjadi sangat penting. Posisi masyarakat penting, terutama pada era otonomi daerah dan desentralisasi,

181

Barat. Dampak dari kebijakan tersebut adalah: (a) Adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Konflik ini melibatkan masyarakat lokal dengan masyarakat lokal atau masyarakat lokal dengan para pihak (konflik vertikal dan horizontal ) dan (b) Munculnya sistem kapital baru dalam masyarakat kampung terkait kemudahan dalam mengakses sumberdaya hutan. Kata kunci : otonomi, desentralisasi, masyarakat dayak, Hak Ijin Pemungutan Hasil Hutan (HIPHH)

masih melekat terutama dalam masyarakat Jawa, bahwa laki-laki lebih berperan dalam sektor publik (pekerjaan di luar rumah) dan menjadi penentu kebijakan, sedangkan perempuan lebih banyak berperan disektor domestik (pekerjaan rumah tangga). Kata kunci: Hutan Rakyat, Etos kerja, Petani, Cilacap, Majenang Wijayanto, Nurheni STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI / Nurheni Wijayanto. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 1-13 , 2006 Pembangunan kehutanan di Indonesia masih mempunyai daya tarik bagi para investor, hal ini terlihat dengan masuknya investasi bidang kehutanan yang mencapai US$27,8 milyar dengan rincian, investasi industri pulp dan kertas sebesar US$ 16 milyar, plywood US$33,3 milyar, logging US$ 3,2 milyar, kayu olahan (wood working) US$ 1,03 milyar, furniture US$ 0,80 milyar, kerajinan (handicraft) US$ 0,17 milyar, dan adhesive US$ 0,19 milyar. Hal ini menunjukan bahwa industri kehutanan masih prospektif (Antara News, 2005). Saat ini kebutuhan bahan baku kayu industri kehutanan telah melampaui kemampuan sumberdaya hutan dalam menghasilkan pasokan secara lestari. Kondisi tersebut perlu segera ditangani dengan mengefisienkan penggunaan bahan baku kayu oleh industri (zero waste), dan percepatan realisasi pembangunan hutan tanaman industri dan hutan rakyat (Antara News, 2005). Sebagai gambaran, jumlah industri pengolahan berdasarkan ijin yang ada sejumlah 1,881 unit, sebagian besar berupa sawmill, yaitu sebanyak 1.618 unit dengan kebutuhan bahan baku 22,09 juta m kubik per tahun. Sedangkan plymill 107 unit, kebutuhan bahan baku 18,87 juta m kubik per tahun, pulpmill 6 unit, kebutuhan bahan baku 17,91 juta m kubik per tahun, dan lain-lain sebanyak 150 unit dengan kebutuhan bahan baku 4,61 juta m kubik per tahun. Berdasarkan ijin usaha yang telah diterbitkan tersebut kebutuhan bahan baku yang dibutuhkan per tahun mencapai 63,48 juta m kubik, sedangkan kemampuan produksi kayu bulat rata-rata per tahun sebesar 22,8 juta m kubik, yang bersumber dari hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat, dan sumber lain. Hal ini mengakibatkan terjadinya kesenjangan kebutuhan bahan baku sebesar 40,60 juta m kubik per tahun (Antara News, 2005). Dalam pasal 1 Ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, hutan dinyatakan sebagai

Widyaningsih, Tri Sulistyati ETOS KERJA PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN MAJENANG KABUPATEN CILACAP / Tri Sulistyati Widyaningsih; Dian Diniyati. -- Prosiding Pekan Hutan Rakyat Nasional I : Aktualisasi Peran Litbang Mendukung Hutan Rakyat Lestari,2006 ; Halaman 142-152 , 2006 Keberhasilan pengelolaan hutan rakyat (HR) selain ditunjang oleh sarana prasarana dan modal berupa lahan, bibit, penyuluhan, juga ditentukan oleh etos kerja petani selaku pelaku utamanya, yang mana etos kerja tersebut akan dipengaruhi oleh persepsi atau sudut pandang petani tentang hutan rakyat, keterlibatannya dalam mengelola HR, dan interaksinya dengan sumber daya alam yang ada disekitarnya. Akan terdapat perbedaan etos kerja antara petani laki-laki dan perempuan dalam mengelola HR, yang terjadi karena adanya konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Hal tersebut terlihat dari hasil kajian yang dilakukan di desa Bener dan desa Sepatnungal kecamatan Majenang kabupaten Cilacap propinsi Jawa Tengah pada bulan Juni-Agustus 2006 terhadap 34 orang petani hutan rakyat yang diambil secara sengaja (metode purposive sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, Focus Group Discussion (FGD), dan dokumentasi yang kemudian diolah dan disajikan secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa kaum laki-laki memiliki etos kerja yang lebih tinggi dalam mengelola hutan rakyat dibandingkan kaum perempuan, karena laki-laki lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk kegiatan yang bersifat produktif termasuk dalam mengelola hutan rakyat (rata-rata 45 jam seminggu) dibandingkan kaum perempuan (rata-rata 27 jam seminggu). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dalam pengelolaan hutan rakyat juga dipengaruhi oleh budaya patriarkhi yang

182

suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan statusnya hutan terdiri dari hutan hak dan hutan negara, dimana hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan hak tersebut sering disebut dengan hutan rakyat. Awang (2003) menyatakan ciri dari hutan rakyat adalah bahwa kegiatan penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat. Walaupun demikian , kegiatan ini dapat juga dilaksanakan di atas lahan negara diperuntukkan untuk kegiatan penanaman pohon, dan manfaatnya untuk masyarakat. Hutan rakyat ini ada yang bersifat subsistem dan ada yang dengan tujuan komersial. Berdasarkan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, pengembangan hutan rakyat diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan di luar kawasan hutan negara, penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan oleh masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan kayu sebagai bahan baku bangunan, bahan baku industri, penyediaan kayu bakar, usaha perbaikan tata air dan lingkungan, serta sebagai kawasan penyangga bagi kawasan hutan negara. Usaha hutan rakyat merupakan suatu penerapan model usahatani yang tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas fisik per satuan luas lahan, mengoptimalkan lahan garapan, memperbaiki kualitas lingkungan dan sumberdaya hutan, dan memaksimumkan pendapatan usaha. Kegiatan usaha hutan rakyat diharapkan memberikan dampak positif bagi rumah tangga pedesaan, tenaga kerja, industri, lembaga keuangan, sektor angkutan, pemeliharaan lingkungan hidup serta bagi pemerintah daerah. Usaha hutan rakyat telah dilakukan sejak beberapa puluh tahun yang lalu, dan sampai saat ini usaha tersebut semakin berkembang, hal ini antara lain disebabkan oleh semakin besar permintaan pasar akibat tumbuhnya berbagai jenis dan skala industri pengolahan kayu di setiap kabupaten dan propinsi. Namun demikian, usaha tersebut belum mampu meningkatkan kinerja usaha, sehingga usaha hutan rakyat tersebut perlu ditingkatkan kinerjanya agar lestari, melalui strategi dan program pengembangan yang tepat. Kata kunci: Hutan Rakyat, Pengelolaan hutan

Yudono SHN,Hunggul KELEMBAGAAN DAN NILAI AIR DAS MULAI DARI YANG KECIL, MULAI DARI DIRI SENDIRI DAN MULAI SAAT INI: PENGALAMAN DARI SUB DAS MARARIN, DAS SADDANG, TANA TORAJA / Hunggul Yudono SHN dan Iwanuddin. -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 101-121 , 2006 Sumberdaya alam yang secara spasial terbagi habis ke dalam DAS/Sub DAS, dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, termasuk di dalamnya penggunaan sumberdaya hutan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Demikian kalimat sakral yang tertuang dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Makna yang tersurat dan tersirat adalah adanya kewajiban kepada kita semua untuk mengatur, mengelola dan memelihara sumberdaya hutan yang ada agar mampu dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akhirakhir ini ketika bencana banjir, dan longsor dimana-mana seiring dengan datangnya curah hujan, kondisi DAS kembali mendapat perhatian. Ketika korban manusia berjatuhan, sarana-prasarana rusak, lahan pertanian hancur, DAS menjadi istilah yang paling sering muncul baik dalam diskusi-diskusi ilmiah maupun dalam berita-berita di koran. Buruknya pengelolaan DAS menjadi satusatunya tertuduh. Pada tulisan ini, disampaikan pengalaman mengelola DAS dalam skala mikro dengan menciptakan hubungan timbal balik potitif antara hutan dan masyarakat yang didukung oleh kelembagaan mikro sesuai yang diminta oleh masyarakat, diterima masyarakat dan bermanfaat bagi masyarakat. Kata kunci: Kelembagaan, Nilai air, Das, Das Mararin, Das Saddang, Tana Toraja

183

Yudono, Hunggul MIKRO HYDRO ELECTRIK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA AIR SKALA KECIL: MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT DAN MENJAGA HUTAN DENGAN HASIL AIR / Hunggul Yudono SHN dan Gunardjo TJ. -Prosiding Seminar Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembangunan Kehutanan : Bogor, 13 September 2005 ; Halaman 4961 , 2005 Kondisi di Indonesia dari data yang ada menunjukan adanya: 1) peningkatan jumlah DAS kritis satu dari tahun ke tahun; 2) Ada kecenderungan mulai terjadi defisit sumber daya air di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, akibat peningkatan jumlah penduduk dan kondisi DAS yang kritis; 3) terjadinya peningkatan frekuensi banjir besar dan kekeringan di berbagai tempat, berbagai DAS menjadi sensitif terhadap bencana banjir, kekeringan, longsor, serta 4) sistem pertanian di Indonesia yang boros air sehingga air kurang termanfaatkan dengan baik.Secara langsung maupun tidak langsung ditengarai salah satu penyebabnya adalah eksploitasi kawasan hutan lindung di daerah hulu yang mempunyai fungsi sebagai pengatur tata air. Sorotan juga diarahkan kepada masyarakat yang berada di wilayah hulu, karena alasan kemiskinan dan merupakan sumber permasalahan, melakukan perambahan hutan dan menggunakan lahan di kawasan lindung bertopografi berat untuk lahan budidaya tanpa memperhatikan daya dukung lahan. Hulu DAS mengalami okupasi oleh masyarakat yang strategi bertahan hidupnya justru membuat mereka terpuruk dalam kemiskinan dan sekaligus juga membahayakan kelestarian fungsi DAS dan wilayah di bawahnya.Salah satu kegiatan yang dapat menjawab permasalahan hubungan antara hutan dan masyarakat adalah dengan pemanfaatan air sungai yang berasal dari hutan untuk menghasilkan sumber tenaga listrik alternatif bagi masyarakat yang ada di sekitar hutan. Disamping untuk kepentingan pembangunan kehutanan, energi listrik alternatif ini juga dapat digunakan untuk mengatasi krisis listrik yang saat ini banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Untuk dapat lebih mengoptimalkan hasil, dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga air skala kecil ini juga dilakukan pengumpulan data dan survey agar dapat dihasilkan informasi yang akurat hubungan sebab akibat antara kondisi hutan- hasil air - energi listrik kesejahteraan masyarakat. Serta dilengkapi juga dengan pengembangan kelembagaan kelompok masyarakat pengguna listrik dan pendampingannya. Kata kunci: Mikro Hydro Electrik, Pembangkit Listrik, Air

Yudilastiantoro, C KONSEP LEMBAGA PENGELOLAAN DAS TINGKAT LOKAL DAN REGIONAL DI DAS SADDANG-BILAWALANAE, SULAWESI SELATAN / C. Yudilastiantoro dan Tony Widianto. -- Prosiding Seminar Peran Serta Para Pihak Dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan daerah Aliran Sungai Cicatih-Cimandiri, 2006 : Halaman 245-264 , 2006 Decentralize era result the change of local government competency in the form of institutional reinforcement of watershed management. Govermental administration problems have to be managed according to administration boundary and on the other side watershed need to be managed with the boundary of watershed itself. locally and regionally. The aim of this research is to studying about watershed management in local and regional level, seen from human resources, organization and law. This research located in South Sulawesi Province, especially at saddang and Bilawalanae Watershed. The research was done in DAS Jeneberang and Bilawalanae from August untul December 2005; with studying fundamental duty and institution function which related in watershed management. To gain data of the aim above, this research used survey method, through direct interview and filling questionair to the respondent. Primary and secondary data analyzed with Stakeholders Analysis Method and SWOT Analysis Method. With this research can be know institution that take part in watershed management. Can be recommended that institute of local watershed management formed in every regency, not in the form of independent institution but under an appropriation to Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten this time. This is because the human resources, organization and legislation supporting enough. For regional watershed management, some regency wish the form of selfsupporting Otorita that still under conducting Governor as province leader. Kata kunci: DAS, Pengelolaan DAS, Lembaga Pengelola, DAS SaddangBilawalanae, Sulawesi Selatan

184

INDEKS PENULIS

A Abdurachman, 1 Abdurrohim, Sasa, 73 Achmad, Budiman, 138, 139 Ade, 1 Adinugraha, Hamdan Adma, 98, 99 Adinugroho, Wahyu Catur, 1 Adman, Burhanuddin, 1 Agustini, Luciasih, 1 Alrasjid, Harun, 2 Alrasyid, Harun, 2, 3, 4 Alviya, Iis, 139 Andianto, 73 Anggraeni, Illa, 6, 99 Antoko, Bambang S, 4 Anwar, Chairil, 4, 5 Arisman, Hardjono, 100 Asaad, A. Indra Jaya, 100 Asmaliyah, 7, 100, 101 Astana, Satria, 140 B Bakri, 101 Basri, Efrida, 74 Bastoni, 8, 102 Bau, Yanuarius Koli, 8 Beadle, Chris, 103 Bustomi, Sofwan, 9 Bustomi, Sofyan, 103 Butar-Butar, Tigor, 9 Cahyono, S. Andy, 140, 141

D D. Martono, 74 Danu, 12 Darmawan, Saptadi, 9, 10, 74 Darwati, Wida, 11 Darwiati, Wida, 104 Darwo, 11 Daryono, Herman, 9, 103 Dharyati, Emmy, 105 Diniyati, Dian, 142, 143, 144 Djaenudin, Deden, 142 Dulsalam, 75 Durahim, 12 E Effendi, Rachman, 145, 146 Ekawati, Sulistya, 144, 145 Endom, Wesman, 76, 77 F Falah, Faiqotul, 12 Farid A, Mohd, 105 Fatima, Imaculata, 13 Fauziyah, Eva, 147 Fiani, Ari, 105

185

G Gaffar, A. Karim, 106 Garsetiasih, R., 13 Ginoga, Kirsfianti Linda, 147, 148 Gintings, A. Ngaloken, 149 Glen, Morag, 106 Golani, G.D, 107 Gunaja, I Made, 13 H Hairudin, Hendi, 107 Hajib, Nurwati, 77 Hakim, Ismatul, 149, 150 Halidah, 15 Handayani, Wuri, 151 Harahap, Rusli M.S, 16 Hardi TW, Teguh, 107 Hardiyanto, Eko B, 108 Harisetijono, 14 Harun, Marinus Kristiadi, 14 Hayati, Nur, 151 Hendalastuti R, Henti, 16, 17 Hendalastuti, Henti, 16 Hendarto, Kresno Agus, 152, 153 Hendra, Djeni, 78 Herdiana, Nanang, 17, 108 Heriyanto, N.M., 18, 19 Hermanto, R, 109 Hidayat, Asep, 153 Hood, Ian A, 109 Husna, 109 I Indartik, 153 Irawanti, Setiasih, 154, 155 Iriansyah, Maming, 19

Iskandar, M.I, 78,79 J Jasni, 79 Jayusman, 110, 111 Judhiharto, Heru, 112 Junaidi, Edy, 19 K Kaho, L Michael Riwu, 20 Karyono, OK, 155, 156 Kayat, 20, 21 Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis, 157 Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, 157 Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya, 156 Koeslulat, Ermi E, 21 Komala, 22 Kosasih, A.Syafari, 22 Krisdianto, 79, 80, 157 Kunarso, Adi, 112, 113 Kuntadi, 22 Kurniadi, Rahman, 23, 158 Kurniawan, Agus, 113 Kurniawan, Hery, 24 Kusumedi, Priyo, 158 Kuswanda, Wanda, 24, 25 Kuswandi, Relawan, 25 Kwatrina, Rozza Tri, 26 L Lasminingsih, Mudji, 114 Lazuardi, Dian, 159 Lelana, Neo Endra, 81 Lempang, Mody, 81, 82 Lestari, Setyani B, 82 Lestari,Sri, 27

186

Lubis, Irwansyah Reza, 113 Lukman, Abdul Hakim, 113 Omon, R. Mulyana, 36, 37, 119, 120 M M Hidayatullah, 27, 28 M. Bismark, 27 Mahfudz, 115 Mairi, Kristian, 159 Malik, Jamaludin, 82, 83 Mandang, Y.I, 83 Marbawa, I Ketut Catur, 28 Martin, Edwin, 28, 116, 160 Ma'ruf, Amir, 29 Mile, M Yamin, 26, 29, 30 Mile, M. Yamin, 160, 161, 162 Mindawati, Nina, 30, 117 Misdarti, 83 Mohammed, Caroline L, 117 Muchtar, Abdullah Syarief, 30 Munandar, Aris, 118 Muslich, Mohammad, 84 N Narendra, Budi Hadi, 31, 32 Natawijaya, Dedi, 162 Ngatiman, 32, 118 Njurumana, Gerson ND, 32, 33, 34 Noorhidayah, 34 Novrianto, Eka, 84 Nugroho, Agung Wahyu, 35 Nurdawati, Syarifah, 119 Nurfatriani, Fitri, 162, 163 Nurhaedah M, 35 Nurhaedah M., 36 Nurhayati, Tjutju, 84

P Panjaitan, Sudin, 37, 38 Pari, Gustan, 85, 86, 87 Parlinah, Nunung, 163 Parthama, I.B Putera, 38 Pasaribu, Gunawan, 87 Pasaribu, Ridwan A., 87 Pramono, Joko, 39 Prasetyawati, C Andriyani, 120 Pratiwi, 39 Prayudyaningsih, Retno, 40 Premono, B. Tejo, 121 Premono, Tejo B, 120 Prihatini, Istiana, 121 Priyono, Suryanto, 121 Pudja M.U, 38 Purwanto, 164 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, 165 Putri, Indra A.S.L.P., 41 R Rachman, Encep, 166 Rachman, Osly, 88 Rachmawati, Ida, 41 Rahmat, Mamat, 41, 122 Rahmayanti, Syofia, 42 Rayan, 42, 43 Renden, Ruben, 43 Retna I, Dewi, 167 Retnowati, Eulis, 44 Rimbawanto, Anto, 122, 123, 122 Riyanto, Heru Dwi, 167 Rochmayanto, Yanto, 168, 169

187

Roliadi, Han, 88, 89 Ruby, Kamindar, 44 Rumboko W, Lukas, 168 S Salim, Andi Gustiani, 44, 45 Samsoedin, Ismayadi, 45, 46, 47 Santoso, Adi, 89, 169 Santoso, Budi, 47, 48, 125 Santoso, Erdy, 169 Satyawardana, 89 Sawitri, Reny, 49 Setiadi, Dedi, 126 Setiawan, Ogi, 50, 51 Setijono, Djoko, 126 Setyowati, Retno, 51 Siahaan, Hengki, 51 Siran, Sulistyo A., 52 Siregar, Mustaid, 52 Siringoringo, Harris Herman, 53 Siswoyo, Hadi, 127 Sofyan, Agus, 54, 127, 128 Subarudi, 170, 176, 177 Subiakto, Atok, 54 Sudradjat, R., 90 Sudrajat, Dede J., 170 Sufyadi, Dedi, 171 Sugiana, Agis Nursyam, 55 Sugiarto, Bambang, 128 Suhaendi Hendi, 55 Suhaendi, Hendi, 57, 58 Suhartana, Sona, 90, 91 Suhartati, 55, 129 Suharti, Sri, 57 Suherman, 177 Sujatmoko, Sujarwo, 58 Sukadaryati, 91 Sukresno, 56, 60

Sukrianto, Tiwa, 171 Sulastiningsih, I.M., 92 Sumadi, Agus, 129 Sumadiwangsa, E. Suwardi, 92 Sumantoro, Pujo, 129 Sumardi, 58, 59, 60 Sumarhani, 56 Supangat, Agung B., 172 Suprapti, Sihati, 93 Suprapto, Teguh, 173 Supriadi, 173 Supriadi, Achmad, 93, 94 Suprianto, 174 Surata, I Komang, 61, 62, 63 Suryanto, 63, 64 Suryanto, Priyono, 130 Susanty, Farida Herry, 64, 65 Susila, I Wayan Widhana, 65 Suwandi, 65 Suyarno, 174 Syahadat, Epi, 174, 175, 176, 178, 179 Sylviani, 178, 179 T Takandjandji, Mariana, 66 Taufikurahman, 130 Tira, La Ode Asir, 66 Tjahjono, Budi, 131 U Ulfa, Maliyana, 67, 131, 132 Ulya, Nur Arifatul, 133, 180 Utomo, Agus Djoko, 133 W Waluyo, Totok K, 95

188

Waluyo, Totok K., 94, 95 Wardani, Marfu'ah, 67 Wardi, I Nyoman, 67 Wardojo, 181 Wargadalam, Arian, 95 Wasrin, Upik Rosalina, 133 Wiati, Catur Budi, 68, 181 Wibowo, Ari, 69 Wibowo, Santiyo, 96 Widiarti, Asmanah, 69, 70 Widyaningsih, Tri Sulistyati, 182 Widyastuti, SM, 134 Wijaya, Danu, 135 Wijayanto, Nurheni, 182 Winarni, Ina, 96 Winarno, Bondan, 135 Windyarini, Eritrina, 70, 71

Y Yafid, Bugris, 71 Yassir, Ishak, 136 Yeny, Irma, 72 Yudilastiantoro, C, 184 Yudono SHN,Hunggul, 183 Yudono, Hunggul, 184 Yuliansyah, 72 Yuniawati, 97 Z Zulfikhar, 136

189

INDEK KATA KUNCI

A Acacia Mangium, 85, 100, 108, 113, 117, 138, 140, 142, 159, 160, 165, 167, 169, 170 Aceh, 57 Adsorben, 86 Aglaia Sp. See Kayu Palaso Agribisnis, 26, 29, 109, 162 Agroforestry, 12, 14, 26, 29, 30, 41, 160, 166 Agrosilvofishery, 102 Alang-Alang, 36, 69, 71, 119 Alat Expo-2000, 77 Alstonia Angustiloba. See Pulai Darat Alstonia Scholaris (L) R.Br. See Pulai Ampupu, 61, 63, 71 Anakan Jabon, 42 Analisis Model Pendugaan Volume Jenis, 64 Analisis Sosial Ekonomi, 14 Anatomi, 73, 79, 80, 82 Anatomi Kayu, 73 Andosol, 117 Anggrek, 17 Antagonistik, 134 Anthocephalus Chinensis (Lamk.. See Jabon Aplikasi Endomikoriza, 11 Aplikasi Mikoriza, 132 Aplikasi Sistem Informasi Geografis, 181 Aquilaria Microcarpa. See Gaharu Arang Aktif, 74, 78, 85, 86, 87 Arang Bambu, 138 Araucaria Cunninghamii Sw., 2 Areal Bekas Penambangan Batu Apung, 31 Areal Tegakan Sisa Hutan Alam, 4 Avifauna, 27

B Bahan Bakar Alternatif, 72 Bali, 5, 13, 23, 28, 33, 38, 52, 59, 62, 66, 67 Bambang Lanang, 108 Bambu, 92, 138 Bambu Lamina, 92 Bambu Laminasi, 83 Bambu Lapis, 92 Bambu Rakyat, 138 Basidiomycetes, 109 Basis Data, 83 Benih Tanaman Hutan, 17 Bentonit, 74 Biaya Dan Pendapatan, 144 Biodiversitas, 27 Biofisik, 21, 45, 48, 51, 55, 163 Bioinsektisida, 7 Biomasa, 172 Bitti, 40, 55 Briket Arang, 90 Budaya Masyarakat, 158 Budidaya Kepuh, 108 Budidaya Klicung, 61 Budidaya Rotan, 24 Budidaya Vanili, 57 Burung, 28, 41 Burung Bayan Sumba, 13 Burung Merandai, 49 Busuk Akar, 105, 106, 117 Busuk Hati, 106, 117, 124 C Cabutan Anakan, 37, 43 1

Cendana, 27, 62 Cervus Unicolor. See Rusa Sambar Citra Satelit, 9 Core Research, 128 Cuka Kayu, 84 D Daerah Aliran Sungai, 50, 179 Daerah Penyangga, 25, 41, 59 Desentralisasi, 150, 168 Diospyros Celebica Bakh. See Eboni Diospyros Malabarica Der Kostel. See Klicung Dipterocarpaceae, 37, 84 Dyera Lowii. See Jelutung E Eboni, 12 Eceng Gondok, 44 Efikasi, 100

Ex-Situ, 27 F Fenologi, 4 Flora, 4 Forest Health Monitoring, 134 Formaldehida, 87 Frekwensi Pemeliharaan, 117 Fungi Patogen, 134 Fungi Trichoderma, 134 G Gaharu, 10, 42, 43, 52, 95 Genetik, 57, 59, 111, 122, 123 Gerhan, 12, 39, 111 Getah Pinus, 57, 140, 141 Getah Pinus Merkusii Strain, 57 Gmelina Arborea Roxb, 60 Gossampinus Malabarica Alst.. See Kayu Randu Alas H Hama, 7, 11, 32, 40, 71, 99, 100, 101, 104, 107, 112, 123, 127, 129, 130, 166 Hama Penyakit, 131 Hasil Hutan Bukan Kayu, 92, 169 Hasil Hutan Non Kayu, 121 Herbisida, 36 Hhbk. See Hasil Hutan Bukan Kayu Hidrologi, 151 Hormon Iaa, 98 Hormon Pertumbuhan, 110 Hukum Adat, 68, 140 Hutan Bekas Tebangan, 45 Hutan Hujan Tropik, 46 Hutan Kemasyarakatan, 14, 69, 156, 157, 158, 174 Hutan Kota, 34 Hutan Lindung, 12, 50, 68, 140, 146, 148, 164, 179 191

Eichhorniae Crassipes Solms. See Eceng Gondok Ekaliptus, 98, 118 Ekologi, 16, 65, 133 Ekologi Hutan, 16 Ekonomi Rakyat, 57 Ekosistem, 119, 133, 135 Ekowisata, 20, 21, 23, 100 Eksploitasi Hutan, 13 Ekspor, 140 Electus Roratus Cornelia Bonaparte. See Burung Bayan Sumba Elignification, 88 Endemik, 27, 38 Erosi, 19, 20, 44, 52 Etnobotani, 7 Etos Kerja, 182 Eucalyptus Urophylla S.T Blake. See Ampupu Eusideroxylon Zwageri, 1, 34, 35, 51, 123 Eusideroxylon Zwageri Teijsm. Binn. See Ulin

Hutan Mangrove, 62 Hutan Penelitian, 30, 112 Hutan Produksi, 16, 46, 47, 60, 146 Hutan Rakyat, 32, 68, 116, 121, 142, 143, 144, 147, 150, 156, 157, 160, 161, 166, 167, 171, 173, 174, 175, 177, 182 Hutan Rawa, 119 Hutan Rawa Air Tawar, 135 Hutan Rawa Gambut, 3, 5, 55, 104, 122, 132, 133, 136 Hutan Rawa Sungai, 106 Hutan Tanaman Cendana, 62 Hutan Tanaman Industri, 112, 116, 152 Hutan Tanaman Jelutung, 8 Hutan Tanaman Rakyat, 112 Hutan Ulayat, 168 I Identifikasi Jamur, 106 Identifikasi Jenis, 67 Illegal Logging, 27, 68, 139, 140, 146, 153 Imbal Jasa, 141 Imperata Cylindrica L. Beauv.. See Alang-Alang Inang Gaharu, 10 Industri Cinderamata, 81 Industri Kehutanan, 89, 95 Industri Perkayuan, 94 Inokulasi Cendawan, 131 Invitro, 48 Irigasi, 33 Isi Pohon, 103 Isolat, 81 J Jambi, 25, 28 Jamur, 74, 81, 93, 106 Jamur Biru, 74 Jamur Patogen Serangga, 81 Jamur Perusak Kayu, 93

Jarak Pagar, 41, 72, 90 Jarak Tanam, 115, 159 Jati, 36, 54, 65, 77, 80, 109, 115, 121, 125, 127, 128, 129, 130, 135, 172 Jatropha Curcas Linn. See Jarak Pagar Jawa Barat, 86, 103, 145, 146, 156, 157, 176, 177, 179 Jawa Timur, 6, 18, 19, 82, 178 Jelutung, 8 Jenis Andalan Setempat, 51 Jenis Burung, 28 Jenis Flora, 4 Jenis Introduksi, 24, 65 Jenis Pohon Tepat Guna, 10 K Kalimantan Barat, 4 Kalimantan Selatan, 14, 127 Kalimantan Timur, 1, 29, 45, 46, 47, 52, 65, 80, 90, 123, 178, 181 Karbon, 53, 58 Karbon Tanah, 53 Karet, 114 Karton, 89 Kawasan Konservasi, 59, 155 Kawasan Penyangga, 12 Kawasan Wisata Alam, 4 Kayu Bulat, 97, 140 Kayu Kamper, 119 Kayu Keras, 73 Kayu Kurang Dikenal, 79 Kayu Lapis, 79, 84, 87 Kayu Palaso, 82 Kayu Pertukangan, 108 Kayu Putih, 59, 99 Kayu Randu Alas, 83 Kayu Tusam, 78 Kearifan Lokal, 33, 34, 68 Kearifan Lokal, 169 Keawetan 25 Jenis Kayu, 84 Keawetan Kayu, 73

192

Kebakaran, 69 Kebakaran Hutan, 20, 112, 126, 158, 180 Kebijakan, 30, 64, 118, 136, 140, 148, 150, 152, 156, 157, 161, 170, 177 Kebun Konservasi, 27 Kelapa Sawit, 78, 89, 107 Kelayakan Usaha, 174 Kelembagaan, 45 Kelembagaan, 23, 24, 25, 45, 67, 144, 149, 150, 154, 158, 173, 176, 179, 183 Kelompok Tani, 144 Kemampuan Bertunas, 98 Kembang Susut, 74 Kemenyan, 94, 110, 111 Kemiri, 9, 74, 96 Kemiskinan, 122, 140 Kemitraan, 56, 60, 143, 152 Kepuh, 108 Keragaman Jenis Anggrek, 17 Kerajinan, 87, 138 Kesesuaian Jenis, 48 Kesuburan Tanah, 46, 117 Klicung, 6, 61 Klon, 115 Kohobasi, 95 Kokon, 35, 36 Komponen Kimia, 86 Kontrak, 69 Konyal, 18 Kriteria Dan Indikator, 26 Kualitas Aliran, 50 Kualitas Semai, 125 Kualitas Serat, 79 Kulit Kayu, 85 Kulit Kayu Medang Landit, 96 Kulit Mangium, 89 Kultur Jaringan, 2, 55, 110, 111, 121, 130 Kutu Lak, 58

L Lahan Basah, 49 Lahan Bekas Tambang Batu Kapur, 66 Lahan Gambut, 14, 101, 114 Lahan Kritis, 15, 32, 65, 136, 151 Lahan Kurang Produktif, 43 Lahan Pasca Penambangan Batu Gamping, 11 Lahan Rawa, 8, 10, 67, 102, 105, 107, 109, 114, 118, 126, 132 Lahan Rawa Gambut, 10, 67, 114, 126, 132 Lahan Tegakan, 172 Lebah Hutan, 21, 22 Lebah Madu, 22 Lembaga Pengelolaan, 184 Lignin, 79, 85 Limbah, 87, 138 M Mahoni, 2, 102 Mangrove, 4, 5, 15, 62, 155 Manokwari, 38, 72 Masyarakat Sekitar Hutan, 27, 122, 143, 146 Mati Pucuk, 113 Media Kecambah, 42 Media Kultur, 2, 48, 55 Media Sapih, 102 Media Tabur, 108 Megapolitan, 170 Melaleuca Cajuputi Subsp Cajuputi. See Kayu Putih Meranti Merah, 32, 120 Mesin Pengering, 74 Mesin Serpih, 93 Metode Ekstraksi, 111 Mikologi, 109 Mikoriza, 15, 36, 65, 67, 109, 120, 131, 132, 136 Mikro Hydro Electrik, 184 Mikroba Simbiotik, 169 193

Maduca Aspera. See Bambang Lanang

Mikrosatelit, 121 Mimba, 1 Model Input-Output, 180 Model Pemanfaatan Partisipatif, 12 Model Pendugaan Biomassa, 2 Morfologi, 57, 67 Morphoedafik, 15 Morus Spp.. See Murbei Muat Bongkar, 97 Murbei, 35, 47, 48, 107 Murbey Eksot, 40 Mutu Benih, 39, 124 Mutu Bibit, 12, 39 N Nata Pinnata, 81 Nilai Ekonomi, 44, 146, 147, 163, 164 Nipah, 113 Nira Aren, 81, 96 Nusa Tenggara Barat, 3, 5, 6, 57, 61, 98 Nusa Tenggara Timur, 9, 39, 58, 60, 61, 158, 170 Nypa Fruticans. See Nipah O Okulasi, 125 Otonomi Bidang Kehutanan, 64 P Pakan, 13, 22, 41 Pakan Buatan, 22 Pakan Burung, 13 Papan Partikel, 92 Papua, 9, 25, 38, 44

Paraserianthes Falcataria. See Sengon Partisipasi Masyarakat, 28 Passiflora Edulis Sims.. See Konyal

Pelapukan, 4, 15 Pelengkungan, 80, 94 Peluang Dan Tantangan, 34, 140 Pemanenan, 75, 76, 91 Pemanenan Hutan, 76 Pemanfaatan Huta, 23 Pemanfaatan Kayu, 79, 157 Pemanfaatan Lahan, 10, 25 Pemanfaatan Limbah, 87 Pemangkasan, 103 Pembalakan, 19, 77 Pembalakan Liar, 44 Pembangunan Hutan, 67, 69, 107, 114, 120, 132, 133, 157 Pembangunan Hutan Tanaman, 107, 142 Pembangunan Kehutanan, 13, 67 Pembentukan Gaharu, 2 Pembiakan Vegetatif, 37 Pemetaan, 19 Pemungutan Rotan, 153 Pemupukan, 47 Penangkaran, 13, 29, 41, 66 Penatausahaan Hasil Hutan, 175, 176 Pencegah Serangan Rayap, 79 Pendapatan Asli Daerah, 155, 156 Pendapatan Masyarakat, 23, 126, 180 Penduga Volume Pohon, 129 Penertiban Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan, 178 Pengawet Nabati, 96 Pengawetan, 73 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 33, 141, 145, 164, 167 Pengelolaan Hutan, 104, 112, 149, 161, 171, 177, 182 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, 155, 174 Pengelolaan Hutan Rakyat, 151 Pengelolaan Kawasan Hutan, 28, 100, 136, 162 Pengelolaan Lahan, 19, 20, 25, 33, 39, 107, 149, 151, 161, 178 Pengelolaan Lahan, 107, 118, 161 Pengolahan Kayu, 82, 88 Pengolahan Rotan, 80 Pengupasan Kulit, 99

194

Peningkatan Kualitas Kayu, 82 Penjarangan, 103 Penotipa, 22 Penotipe, 61 Penyakit, 6, 40, 71, 99, 112, 123, 127, 129, 130, 131, 166 Penyakit Bercak Daun, 118 Penyakit Embun Jelaga, 6 Penyakit Embun Tepung, 6 Penyaradan Kayu, 97 Penyelundupan Kayu, 44 Penyu, 23, 66 Peran Hutan, 172 Peran Jender, 69 Peredaran Kayu, 163 Perekat, 89, 92 Perencanaan Pengelolaan, 151 Perhutanan Sosial, 116 Perikanan, 105, 106, 133 Perlindungan Hutan, 13, 100, 136, 146 Perlindungan Hutan, 20 Perlindungan Hutan, 20 Pestisida, 7, 104, 130 Pestisida Nabati, 7, 104 Peta Potensi, 89 Petani Penyadap, 140 Pohon Lokal, 52 Pohon Tahan Api, 71 Potensi Tegakan Hutan Alam, 9 Pranata Sosial, 38 Produksi Daun, 47, 48 Produksi Kelompok Hutan Alam, 3 Produktivitas Dan Biaya, 75, 93, 97 Provenansi, 58 Pulai, 7, 38, 100, 101, 129, 131 Pulai Darat, 7, 100, 129 Pupuk Daun, 42 Pupuk Kandang, 16 Pupuk Nitrogen, 105 Puspa, 103

R Ramin, 16, 110 Rayap Kayu Kering, 79 Rayap Pekerja, 81 Rehabilitasi, 1, 31, 32, 33, 36, 38, 39, 51, 69, 70, 120, 132, 133, 145, 152, 159, 162, 169, 170 Rehabilitasi Hutan, 69, 70, 120, 132, 152, 159, 169, 170 Rehabilitasi Lahan, 31 Rehabilitasi Lahan, 1, 31, 32, 33, 38, 39, 51, 145 Rejuvenasi, 99 Rekayasa Sosial, 8 Rencana Makro, 177 Riau, 4, 44, 153 Rotan, 17, 24, 80, 153 Rumah Kaca, 36 Rusa Sambar, 29 S

Santalum Album, 52, 62, 65, 122, 123 Scion, 115 Sengon, 78, 160, 162, 166 Serangga Hama, 7 Serasah, 4, 15, 35 Serat Batang Kelapa, 80 Serbuk Gergaji, 84, 86 Sertifikasi, 39, 111, 124, 173 Shorea Leprosula Miq. See Meranti Merah Sifat Fisiko-Kimia, 94 Sifat Fisis Dan Mekanis, 77 Sifat Tanah, 9, 136 Sistem Kabel Layang, 75, 76, 91 Sistem Kaliwu, 32 Sistem Kerek, 21 Sistem Pertanaman Lorong, 31 Sistem Tebang Pilih, 3 Social Capital, 150
195

Salinitas, 15

Social Forestry, 28, 30, 63, 149, 160, 177 Sosial Ekonomi, 27, 51, 141, 154, 163, 164 Sosial Forestry, 23, 68, 116, 161, 162, 173 Standarisasi Benih, 12 Stek, 36, 37, 54, 57, 98, 105, 115, 120, 121, 126, 130 Stek Akar, 126 Sterculia Foetida Linn.. See Kepuh Strata Tajuk, 46 Strategi Pengelolaan, 175 Subak, 33 Sukabumi, 69, 70, 79, 91, 103 Sukun, 98, 126 Sulawesi Selatan, 43, 44, 66, 83, 154, 158, 173, 179, 184 Sulawesi Tenggara, 109 Sumatera Selatan, 41, 54, 75, 102, 105, 113, 114, 118, 127, 128, 132, 136, 142, 163, 172 Sumatera Utara, 16, 22, 87, 94, 96 Sumber Benih, 5, 39, 61, 63, 113 Sumber Daya Air, 178, 179 Sumberdaya Air, 155, 179 Sumberdaya Hutan, 19, 25, 163, 181 Supply-Demand, 171 Surian, 111 Swietenia Macrophylla King. See Mahoni T Tajuk Pohon, 121, 130 Taman Nasional Bali Barat, 5, 28, 59, 70 Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, 154 Taman Nasional Betung Kerihun, 153 Taman Nasional Bromo Tengger, 17 Taman Nasional Bukit Tigapuluh, 4, 24, 25, 26 Taman Nasional Gede Pangrango, 174, 175 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 18 Taman Nasional Gunung Rinjani, 20 Taman Nasional Kelimutu, 28, 30, 55 Taman Nasional Kerinci Seblat, 41 Taman Nasional Komodo, 21, 30

Taman Nasional Laiwangi - Wanggameti, 58 Taman Nasional Meru Betiri, 18, 19 Tanaman Mimba, 1 Tanaman Penutup, 32 Tandan Kosong, 89 Tanin, 89 Tapak, 19, 60, 138 Tapak Hutan, 19 Tata Air, 13, 149, 167, 172 Tata Usaha Kayu, 179 Tataniaga, 139 Tectona Grandis L.F.. See Jati Teknik Budidaya Kutu Lak, 58 Teknik Budidaya Padi Gogo, 56 Teknik Pembibitan, 55, 127 Teknik Pemeliharaan Tegakan, 55 Teknik Penangkaran Penyu, 66 Teknik Pengelolaan, 160 Teknik Pengepakan, 17 Teknik Penyiangan, 128 Teknik Silvikultur, 51, 114 Teknologi Mikroba Simbiotik, 169 Teknologi Pemadatan, 82 Teknologi Pemanfaatan Kayu, 169 Teknologi Pemuliaan, 165 Teknologi Perbenihan, 170 Tingkat Kerontokan, 48 Tipe Vegetasi, 102 Traktor Caterpillar, 97 Tumbuhan Berkayu, 72 Tumbuhan Obat, 18, 19 Tumbuhan Obat, 34 Tumpangsari, 56 U Uji Efikasi, 11, 107 Ukiran Kayu, 87 Ulat Sutera, 35, 36

196

Ulin, 1, 34, 51 Urea, 47 V Vanili, 57 Wallaceae, 27 Wawasan Lingkungan, 76, 91 Wisatawan, 174

Vanilla Planifolia Andrews. See Vanili


Vegetasi, 102 Venir, 78, 84 Venir Silang, 78 Vitex Cofasus Reinw.. See Bitti Volume Teras Kayu, 80 Xylarium, 83

Z Zat Pengatur Tumbuh, 42, 57, 98, 115

197

You might also like