You are on page 1of 24

http://gado-gadosangjurnalis.blogspot.com/2011/09/kekuasaan-media.

html

kekuasaan MEDIA

Dalam teori konflik, Ralf Dahrendorf (1958) yang non-Marxian menjelaskan bahwa konflik sosial erat dengan peran kewenangan seoseorang dalam jabatan dan kepentingan (beda dengan pemikiran Marx tentang konflik kelas), sehingga membentuk polarisasi antara kelas penguasa dan kelas yang ditundukkan. Perbedaan nyata antara pemikiran Marx dan Dahrendorf dalam melihat situasi media Teori konflik Marx atau Dahrendorf didasarkan pada pemahaman Max Weber dalam melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memilki makna subjektif. Karena itu, perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku sosial itu menjadi sosial, kalau yang dimaksud subjektif atas perilaku sosial itu membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang lain dan mengarahkan kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat. Menurut Karl Marx, kehidupan sosial-budaya ditentukan dari pertentangan antara dua kelas yang terlibat dalam proses produksi, yaitu kaum industriawan yang mengontrol alat-alat produksi dan kaum proletariat yang diandaikan hanya berhak melahirkan keturunan. Sedangkan pandangan Ralf Dahrendorf terhadap pendekatan fungsionalisme bahwa setiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap. Tiap-tiap unsur itu berintegrasi satu sama lain dengan baik. Yasraf Amir Piliang memandang teori konflik Karl Marx itu sebagai konsep kekuasaan dalam kerangka hubungan yang mutlak antara kelas-kelas yang mendominasi dan yang didominasi dalam masyarakat antara yang menekan (oppressor) dan yang tertekan (oppressed), antara yang menyisihkan (alienating) dan yang tersisihkan (alienated). Kekuasaan, menurut versi Marxisme adalah kekuasaan yang dibutuhkan oleh kelas sosial (kelas penguasa) untuk mereproduksi model produksinya yang dominan kekuasaan untuk mengeksploitir kelas yang dikuasai. Batasan di atas memilah hubungan dua kelas di tengah masyarakat, yakni kelas penguasa yang menguasai kelas yang dikuasai dalam mereproduksi model produksi yang dominan. Dalam teks lain, kekuasaan itu disebut juga sebagai ideologi: Karl Marx (1818-1883) dan dan Fredrich Engels ((18201895) melihat ideologi sebagai fabrikasi atau pemalsuan yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk membenarkan diri mereka sendiri. Karena itu, konsep ideologi tersebut jelas sangat subjektif dan keberadaannya hanya untuk melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat. Teori kekuasaan ala Karl Marx itu identik dengan ideologi yang melegitimasi kelas penguasa di tengah

masyarakat. Dalam batasan-batasan lain, hubungan itu dibingkai dalam konteks sistem ekonomi dan dibaca sebagai kapitalisme. Selain itu, politik berada di balik kekuasaan ekonomi itu, seperti diuraikan Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss di bawah ini: Marx meyakini bahwa masyarakat adalah sarana produksi yang menentukan struktur dari masyarakat itu. Disebut hubungan superstruktur dasar (basesuperstructure), gagasan ini adalah ide bahwa ekonomi adalah dasar dari semua struktur sosial. Marx paling prihatin dengan akibat kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi, memercayai bahwa keuntungan berasal dari produksi Ekonomi berasal dari politik, yang oleh Marxisme klasik sering disebut kritik ekonomi politik (the critique of political economy). Dengan demikian teori konflik Karl Marx yang identik dengan kekuasaan atau ideologi memuat poinpoin: (1) kelas penguasa yang menguasai kelas yang dikuasai dalam mereproduksi model produksi yang dominan. (2) ideologi yang melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat. (3) hubungan itu dibingkai dalam konteks sistem ekonomi dan dibaca sebagai kapitalisme. (4) politik berada di balik kekuasaan ekonomi itu. Sebaliknya dengan teori konflik Ralf Dahrendorf yang melihat masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap. Tiap-tiap unsur itu berintegrasi satu sama lain dengan baik. Kata kunci atas gagasan Dahrendorf adalah liberalisme atau pertarungan sebebasbebasnya seluruh komponen masyarakat tanpa ada campur tangan pemerintah. Kekuasaan diserahkan kepada masyarakat sebagai subjek sekaligus objek. Teori dioperasionalisasikan, menurut Penulis, bisa dilihat pada dimensi kedua model peristiwa komunikatif, yakni discourse practice yang meleburkan pertarungan produksi teks dan konsumsi teks. Pemerintah sebagai regulator bertindak sebagai wasit yang baik, tanpa ikut campur tangan dalam wilayah operasional. Contoh kasus ini adalah kekuasaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menjadi representasi masyarakat untuk menangani dan mengawasi penyelengaraan dunia penyiaran di Tanah Air. Dsan tugas penanganan dan pengawasan itu bukan lagi wewenang Kementerian Komunikasi dan Informasibandingkan dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Depertemen Penerangan pada era orde baru dulu. Lebih jauh tentang jabaran gagasan Dahrendorf bini dipaparkan pada poin di bawah ini. Teori konflik Dahrendorf menjelaskan pemanfaatan media oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik dan bisnis Sejak bergulirnya era reformasi, tidak bisa dipungkiri lagi, media menikmai euphoria yang teramat sangat. Lebih dari 30 tahun dikerangkeng dalam penjara Pers Pancasila (baca: otoritarian ala Orde Baru) membuat media hiruk-pikuk merayakan alam bebas berpolitik, berpendapat, dan berdemokrasi, juga berekonomi. Pemberlakukan Undang-undang Pers membuat media merasa memiliki alasan untuk menikmati kebebasan itu dalam alam liberalism. Khalayak juga dihadapkan banyak pilihan terhadap hegemoni-hegemoni baru di era reformasi. Para pemilik modal di belakang media merupakan kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Euforia itu juga ditandai perayaan-perayaan memainkan objek wacana. Wacana-wacana yang didesain dengan makna khusus (baca: memburu jumlah tiras di media cetak (rating dan share di media

elektronik) seakan menjadi pembuktian kebenaran model komunikasi televisual ilmuwan dari Mazhab Birmingham Stuart Hall melalui publikasi dalam Encoding and Decoding the Televisual Discourse. Bahwa jauh sebelum teks budaya popular itu disuntikkan kepada khalayak, sesungguhnya media telah menyiapkan wacana yang bermakna. Dan wacana bermakna itu adalah pencapaian tiras serta rating dan share. Singkatnya, awal orde reformasi merupakan perayaan hegemoni media paling akbar yang pernah terjadi di Tanah Air. Media, apa pun jenisnya, berkesempatan mengumbar kekuasaan-kekuasaan kelas minoritasnya yang diyakini bakal mengusai kelas mayoritas yang disinggung Jean Boudrillard sebagai mayoritas yang diammassa yang tidak membutuhkan kekuasaan untuk mendominasi, memperjuangan ideologi leluhur, menguasai territorial, akan tetapi kekuasaan untuk mengekspresikan diferensi (perbedaan seks, produk, kesenangan, gaya, dan sebagainya). Belakangan hegemoni itu, terutama media televisi, makin disemarakkan perayaan hedonism dan upaya memuaskan mayoritas yang diam tadi. Teks budaya yang dihidangkan media merupakan teks yang jauh dari pemenuhan nilai estetis. Program berita menjadi tidak percaya diri dan ikut berlomba laksana program infotainment demi memburu rating dan share. Pemunculan kasus video porno mirip artis di seluruh program berita di televisi menjadi pembuktian matinya nilai estetis dan objektivitas yang selama beratus-ratus menjadi nilai sakral para jurnalis. Dan kalau melirik program hiburan, maka teks budaya popular itu makin memperlihatkan keberadaan hegemoni yang berkiblat pada ekonomi politik media. Misalnya saja, program Bukan Empat Mata di Trans7 yang menempatkan pelawak jebolan Srimulat Tukul Arwana sebagai host dari kalangan modern: dengan wardrobe yang berganti-ganti dan bermerk, gaya bertutur yang mencoba cerdas dengan sesekali menyelipkan kosa kata bahasa Inggris, etika pergaulan seperti kalangan modern lengkap dengan cipikacipikinya, tamu-tamu dialog dari kalangan selebritas yang juga tak kalah modis dan glamor, keakraban dengan teknologi komputer, dan tepuk-tangan penonton yang diminta mengamini pencitraan modernnya. Simbol-simbol itu sudah cukup menjelaskan premis program bahwa fashion, gaya bertutur, etika pergaulan, kedekatan dengan teknologi, teman-teman sekaum, dan gempita perhatian orang lain, akan mencitrakan kaum modernitas. Bahkan, tanpa menimbang latar belakang atau tampilan sejatinya. Atau, nikmati juga perayaan penciptaan efek mitologisasi itu dalam panggung megah Indonesia Mencari Bakat (IMB) di layar TransTV. Di bawah gemerlap lampu berkekuatan ribuan Watt, properti yang disulap mengikuti tema-tema tertentu, busana dan kostum para peserta yang tidak main-main, tata rias dan model rambut peserta yang mengubahnya menjadi orang lain, iringan grup musik yang luar biasa, jurijuri yang merupakan ikon-ikon budaya populer dengan pencitraan modernnya, juga riuh penonton sebagai penyaksi langsung penobatan ikon-ikon budaya popular baru itu. Dalam tempo delapan bulan, nama-nama Klantink, Putri Ayu, Brandon, Hudson, Rumingkang, dan sejumlah nama atau kelompok lain, bermetamorfosis tanpa bisa diduga dan dibendung. Khalayak tidak pernah mempertanyakan latar belakang atau kondisi nyata mereka, meski sesekali stasiun itu memutar video tape (VT) kondisi nyata mereka. Tiba-tiba, panggung megah itu menyulapnya menjadi selebritas atau mitos-mitos baru panggung hiburan, dengan framing standar: fashion, gaya bertutur, etika pergaulan, kedekatan dengan teknologi, teman-teman sekaum, dan gempita perhatian orang lain. Kedua program itu juga menjadi pembuktian keberhasilan penerapan komodifikasi yang oleh Vincent Mosco dilukiskan sebagai cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mentransformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Sehingga program televisi, dalam bingkai ekonomi politik media, mesti

dikomodifikasi sebagai komoditas yang benar-benar disukai khalayak (content comodification), meski hal itu sesungguhnya bukan kebutuhan khalayak. Bahkan, khalayak pun dijadikan komoditas yang bukan sebatas dipaksa menimati pencitraan produk-produk yang diiklankan dalam dalam commercial break, tapi juga dipancing untuk mengirimkan short message service (SMS) dengan ongkos yang tak murah. Menurut Penulis, itulah gambaran kekuasaan hegemoni di dunia pertelevisian saat ini. Media cetak sudah lebih berpengalaman bermain-main dengan kekuasaan politik atau ekonomi. Analisis wacana atau analisis wacana kritisdengan varian apa punakan membongkar rupa-rupa hegemoni di balik teks budaya popular yang diproduksi media di Tanah Air. Harapan terbaik teori konflik dari Dahrendorf apabila melihat situasi media kita sekarang Gagasan utama atas teori konflik Dahrendorf dalam kondisi media di Tanah Air saat ini sejalan dengan gagasan Yasraf Amir Piliang: kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest) yang membentuk isi media (media content), informasi yang disajikan, dan makna yang dtawarkannya. Media yang seharusnya menjadi ruang publik (public sphere) berubah menjadi ranah pribadi. Publik dan masyarakat pada umumnya, berada di antara dua kepentingan utama media, yang menjadikan mereka sebagai mayoritas yang diam, yang tidak mempunyai kekuasaan dalam membangun dan menentukan informasi di ranah publik (public sphere) milik mereka sendiri. Pada akhirnya, kepentingan-kepentingan itu menjelmakan hiper-realitas mediaistilah yang digagas Jean Baudrillard, yang di dalamnya objektivitas, kebenaran, keadilan, dan makna sebagai kepentingan publik dikalahkan oleh subjektivitas, kesemuan, dan pemainan bahasa (language game); politisasi media; dan kekerasan simbolik. Dampak atas ketiga penjelamaan itu adalah disinformasi (informasi tak layak dipercaya), depolitisasi (pembentukan mayoritas diam), banalitas informasi (informasi tak bermanfaat), fatalitas informasi (pembiakan informasi ke titik ektrem ke arah bencana), skizoprenia (keterputusan antar pertandaan), dan hiper-moralitas (lenyapnya batas-batas moral). Untuk mencehah berkembangnya hiper-realitas, politisasi media, dan kekerasan simbolik, menurut Piliang: menciptakan kondisi dehiper-realitas (de-hyper-reality), yaitu pengendalian ekstremitas komunikasi dan informasi melalui regulasi, sampai pada sebuah batas, yang di dalamnya informasi yang dapat diinterpretasikan dan dicerna oleh masyarakat secara logis dan bermakna; memperkuat jaringan civic education untuk menciptakan masyarakat warga sebagai mayoritas yang kritis (the critical majorities), yaitu warga yang mempunyai daya kritis, daya tangkal, dan daya resistensi yang kuat terhadap informasi, bukan massa sebagai mayoritas yang diam (the silet majorities); dan menciptakan countermedia, yaitu media-media publik (televisi publik, radio publik, koran publik), yang tumbuh dari publik, diawasi oleh publik, dan mampu memperjuangkan kepentingan-kepentingan publik yang sangat beraneka ragam keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, dan kebebasan). Menarik mencermati ketiga gagasan itu. Namun, dalam konteks Indonesia, Penulis pesimistis atas pelaksanaan ketiga gagasan secara bersamaan. Sebagai langkah permulaan, Penulis masih sangat menaruh harapan kepada pemerintah dan para anggota legislatif untuk lebih memahami dampakdampak hiperrealitas, polisatisasi media, dan kekerasan simbolik. Gagasan dehiperrealitas itu harus diawali dari niat baik pemerintah dan anggota legislatif untuk menghidupkan kembali gagasan reformasi dalam cetak biru penyelengaraan kegiatan media dan penyiaran dalam bentuk regulasi. Pemerintah dan anggota dewan harus mencabut peraturan-peraturan pemerintah yang mengkerdilkan kekuasaan Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengkerdilan peran KPI. Dengan KPI yang lebih bernyali diharapkan niat mengembalikan ranah pribadi yang selama ini

digenggam pemilik modal (atas nama pasar) bisa diberikan kembali kepada masyarakat selaku pemilik ranah publik. Dengan begitu, para pengelola media bisa lebih berhati-hati dan mulai mempertimbangkan wacana-wacana yang lebih bermakna (tanpa tanda kutip) khalayak. Inilah langkah awal dehiperrealitas itu. Di saat bersamaan, kalangan khalayak kritis sudah harus memulai mengampanyekan gagasan mayoritas yang kritis untuk menstimuli mayoritas yang diam. Ruang publik yang disediakan media untuk khalayak harus dimanfaatkan seluas-luasnya untuk memulai langkah pengkritikan dan pengawasan atas media. Proses ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tapi, dengan cara kritis kalangan khalayak kritis ini akan menjadi penjaga public sphere yang bisa diandalkan di tengah kondisi sosial budaya yang tak menentu. Bahkan, gagasan inilah yang akan menjadi pemicu kebaikan dan kelengahan pemerintah dan anggota dewan dalam pembuatan dan penerbitan regulasi. Poin ini sejalan dengan gagasan Jurgen Habermas, pelanjut proyek Max Horkheimer, untuk mengembangkan teori kritis masyarakat berdimensi praksis perubahan sosial. Sedangkan gagasan ketiga masih berbenturan dengan ketersediaan modal dan sumber daya manusia. Bahkan, TVRI yang harusnya mulai membuka diri sebagai televisi publik (yang benar-benar untuk kepentingan publik dan bukan sekadar corong pemerintah). Gagasan tentang countermedia memang masih impian.[]
gado-gado SANG J

http://gado-gadosangjurnalis.blogspot.com/2011/09/homogenitas-programtelevisi.html homogenitas PROGRAM TELEVISI

Konten media televisi Indonesia masih berkutat pada tayang-tayang homogen yang memiliki kualitas buruk, seperti sinetron, infotainment, dan lain sebagainya. Hal ini bisa disebabkan kepemilikan media, rating, agenda setting pihak tertentu, bahkan hegemoni budaya. Bagaimana menguraikan benang kusut itu? Strategi dan taktik apa yang harus dilakukan sebagai solusi? Buat juga uraian keterlibatan seluruh stakeholders, tanpa ada lembaga kontrol publik penyiaran atau para pekerja. Untuk menjawab permasalahan di atas, Penulis akan mengurainya dengan pendekatan cultural studies. Penulis merupakan penonton kritis yang mencoba membongkar seluruh kekusutan itu beranjak dari teks

televisi sebagai artefak budaya popular. Uraian ini mengacu pada analisis wacana kritis ala Norman Fairclough, yang dimulai dari teks televisi (mikro), produksi teks televisi (meso) yang menghadirkan agenda setting dalam mengonstruksi wacana bermakna berupa teks televisi dengan pendekatan komodifikasi, hingga media televisi sebagai situs budaya popular (makro) yang berada di lingkungan ekonomi politik media. Ketika teks televisi diuraikan secara rinci menurut medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse)analisis wacana kritis yang dikembangkan Halliday dan Hassan, akan menjelaskan penanda-penanda yang ada di dalam pesan. Artinya, dari sana akan terjawab juga persoalan bentuk dan rupa artefak yang dihadirkan dan hegemoni di dalamnya. Bahwa pada akhirnya teks itu lebih berisikan selera rendah, ringan, dan mengutamakan unsur hiburan, maka hal itu terkait positioning yang didesain media itu yang mencoba meraup segmen pemirsa sebanyak-banyaknya. Dengan rating dan share sebagai acuan dalam penyusunan agenda. Bahkan, program berita yang mestinya mengedepankan aspek idealisme ikut menuhankan rating dan share, hingga memodifikasi berita-berita agar lebih entertaining. Media memiliki aspek-aspek dan kepentingan untuk menjalankan roda usahanya. Khalayak juga sangat berkepentingan untuk mengawal aspek-aspek dan kepentingan itu agar tetap mendapatkan informasi tentang lingkungannya bahkan meski dalam keadaan bias. Watak kolusif genreproduser dan khalayak punya kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga formula bersama-sama menyeret perhatian kita pada fakta bahwa konservatisme ideologis dalam berita adalah sesuatu yang dipersekongkolan khalayak untuk dipelihara, sama banyaknya dengan sesuatu yang sekadar ditimpakan kepada pemirsa, kata Graeme Burton. Hubungan sinergis itulah yang menjadikan pesan media dibingkai dalam suasana market-based powers atau kekuasaan pasar. Dalam bahasa lain, di bawah kendali pengusaha media. Situasi ini menandakan media baru saja beranjak dari fase pengelolaan media yang secara ketat di bawah kekuasaan Negara (state-based power). Agus Sudibyo menggambarkan secara kritis fenomena state-based power dalam penyelenggaraan kegiatan penyiaran pada masa Orde Baru. Persisnya, ketika pemerintah memegang kendali penuh atas izin frekuensi, izin usaha, dan pengawasan, stasiun-stasiun televisi yang milik segelintir pengusaha. Memasuki era reformasi, ketika semangat mengembalikan kepemilikan ranah publik ke publik melalui Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 membara, sempat mencercahkan sedikit cahaya public-based power. Belakangan, tambah Sudibyo, atas dasar kompromi-kompromi para politisi, pemerintah, dan pengusaha, perlahan-lahan public-based power bermetamorfosis menjadi bauran state-based power dan marketbased powers. Dalam artian, penguasaan kegiatan penyiaran yang dikendalikan Negara dan keinginan pasar (baca: pengusaha media). Dalam kondisi itu, masalah objektivitas dalam penyajian berita di televisi pun mulai dipertanyakan. Ketika rating dan share mendapatkan kesempatan menjadi dewa, mungkinkah media masih memperlihatkan rona idealismenya? Dalam pengertian, tetap objektif, netral, dan independen? Janganjangan kondisi ekonomi dan politik media membentuk format berita menjadi makin tidak objektif? Bahkan, tidak malu-malu memuat kekerasan simbolis, yakni kekerasan yang berlangsung dengan persetujuan dari korbannya sejauh mereka tidak sadar melakukan atau menderitanyaseperti

dikemukakan

Pierre

Bourdie

dalam

Sur

la

Television,

Paris:

Raison

dAgir.

Parahnya, seluruh stasiun televisi ikut bersama-sama merayakan kekonyolan-kekonyolan itu. Lantas, bagaimana mengurai benang kusut itu? Berikut ini paparan sederhananya: a. Sejarah industri penyiaran Indonesia dilahirkan tidak dengan cetak biru sistem penyiaran yang jelas. Munculnya RCTI sebagai stasiun televisi swasta nasional pertama lebih menunjukkan keharmonisan hubungan Negara (state-based power) dan pengusaha dari Cendana (market-based powers). Termasuk juga pemunculan stasiun televisi swasta nasional lainnya. b. Modal besar dan upaya mengembalikan modal, bahkan meraih keuntungan selekas-lekasnya, sangat disokong pemerintah, dengan membiarkan RCTI melepaskan decodernya. Bahkan, peluang itu ramairamai dinikmati stasiun televisi swasta lain, sekaligus mematisurikan TVRI. Persaingan peraihan pemirsa yang bertumpu pada rating dan share pun tak terhindarkan. c. Datangnya era reformasi menjadi momen berharga bagi kalangan reformis untuk mengembalikan private-sphere yang dikuasai sekelompok pengusaha kepada public sphere. Karena sesungguhnya angkasa milik publik, bukan milik Negara apalagi pengusaha. Maka, Undang-undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran pun dilahirkan, dengan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai representasi publik dan menghilangkan peran Kementrian Komunikasi dan Informasi. d. Bulan madu public-sphere seperti digagas Jurgen Habermas ternyata perlahan-lahan menguap seiring dengan kegigihan pengusaha yang ingin usahanya langgeng, pemerintah yang ingin bernostalgia dengan masa keemasannya sebagai penguasa tunggal seluruh bisnis penyiaran, dan kalangan legislatif yang tak kuat iman. Konspirasi itu pun sepakat melahirkan sejumlah Peraturan Pemerintah (49, 50, 51, dan 52) yang semangatnya mengebiri UU No. 32/2002, sekaligus mengerdilkan KPI dan mengherokan kembali peran pemerintah. Maka, bulan madu public-sphere itu pun berakhir dengan tampilnya kolaborasi paling dasyat state-based power (pemerintah) dan market-based powers (pengusaha). e. Untuk mengembalikan kepemilikan sah angkasa kepada khalayak (public-based power), khalayak harus mendesak anggota dewan dan pemerintah untuk menganulir peraturan pemerintah yang mengerdilkan UU No. 32/2002. Dengan begitu peran perizinan frekuensi dan pengawasan mutlak berada di tangan masyarakat (diwakili KPI). f. DPR harus mendesak pemerintah untuk tidak lagi terlibat dalam praktik perizinan dan melepaskan kenangan nostalgianya kepada publik, serta tidak lagi memberi peluang bagi pengusaha dan pemerintah untuk melanjutkan bulan madunya. g. Kalangan pengusaha media harus bersiap-siap menyambut pemberlakukan UU No. 32/2002 yang di antaranya menyelenggarakan siaran berjaringan. Sehingga ketentuan hokum itu bisa segera diberlakukan dan karut-marut pertelevisian ini menjadi lebih panjang. Penuhanan terhadap rating dan share segera dihentikan. Dan saatnya memberikan kesempatan kepada khalayak untuk mendapatkan apa-apa yang sesungguhnya dibutuhkan, bukan justru menjadikan khalayak sebagai audience commodification.[]

gado-gado SANG JURNALIS

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

http://gado-gadosangjurnalis.blogspot.com/2011/09/freedomn-of-press.html

freedomn OF THE PRESS


Media massa perlu dikontrol dan dikendalikan oleh sistem regulasi yang jelas, cerdas, serta transparan, agar tercipta sistem media yang bertanggung jawab dalam kerangka freedom of the press dan demokratisasi. Esensi kebebasan pers seperti yang terkandung dalam Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers: (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (2) Terhadap pers nasional tidak dikenankan penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memeroleh dan menyampaikan gagasan dan informasi (4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Membaca keempat ayat itu sepintas akan memunculkan kebanggaan bahwa pemerintah telah berubah dalam menyikapi kehidupan pers dibandingkan masa Orde Baru. Pemerintah telah mampu bersikap konstruktif dan proporsional terhadap pers. Pemerintah telah sadar bahwa untuk melindungi hak-hak publik atas informasi, pembatasan terhadap fungsi-fungsi media sebagai institusi sosial harus dihapuskan, termasuk praktik penyensoran dan pembredelan seperti yang pernah dialami majalah mingguan berita Tempo, Editor, dan tabloid Detik usai memberitakan kasus pembelian kapal bekas dari Jerman pada tahun 1992-an. Kemerdekaan pers benar-benar diberikan kepada seluruh insan pers sebagai hak asasi warga negara. Artinya, pemerintah memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi kalangan wartawan dan media untuk melakukan kegiatan jurnalistik tanpa dihantui ancaman telepon, surat teguran, dan berbagai tekanan dari pemerintah atau lembaga-lembaga tertentu seperti dialami kalangan pers pada zaman Orde Baru. Bahkan, penyensoran yang biasa menjadi momok serius pada orde itu, juga pembredelan atau pencabutan SIUPP, dijamin tidak akan diberlakukan lagi. Termasuk penghalangan kegiatan penyiaran. Jaminan kemerdekaan itu benar-benar mesti dirayakan bila mencermati isi ayat 3, yang seakan tidak ada lagi tembok penghalang atau firewall yang bakal menghalangi tugas jurnalistik, dari peliputan dan penerbitan atau penyiaran. Dan ayat 4 makin memperjelas keberadaan tameng pers dari ancaman pihak-pihak yang terganggu atas isi pemberitaan melalui pemberian hak tolak. Artinya, wartawan atau media bisa lolos dari kewajiban membocorkan identitas narasumber saat dihadirkan di pengadilan. Kontrol sosial dari UU tersebut mampu mengakomodir tekanan politik terhadap isi media Semangat reformasi yang menjadi inspirasi dalam penerbitan ketentuan hukum itu merupakan angin segar bagi kalangan pers yang selama 30 tahun diikat dalam sistem pers Pancasila yang cenderung otoritarian. Artinya, kini saatnya media menikmati alam kebebasan seperti diterapkan dalam kehidupan pers di lingkungan sistem tanggung jawab sosial. Meski demikian, cobalah perhatikan Pasal 13 UU itu yang mencantumkan pelarangan. Perusahaan pers dilarang memuat iklan: yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau meggangu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

Artinya, atas nama iklan bermasalah, pemerintah bakal berkesempatan menggunakan tangan besinya kepada media. Termasuk, sensor atau pembredelan? Bisa jadi. Dan sejak UU ini masih berupa RUU, pasal tersebut memang menjadi sorotan kalangan pers. Bahkan, sebelumnya, pasal itu dilengkapi kata berita dan dicantumkan sebagai ayat 5 Pasal 4 atau melengkapi empat pasal kebebasan pers di atasnya. Dan tidak ada kejelasan soal bagaimana memutuskan masalah tersebut, apa pertimbangannya, dan siapa yang berwenang untuk mengklaim pelanggaran itu? Kontradiktif pasal-pasal itu bisa menjadi pembuktian soal kecenderungan politik pemerintah terhadap pelembagaan kebebasan pers di Indonesia. Politik kebijakan pemerintah di bidang pers tidak benarbenar didasarkan pada suatu imperatif untuk menciptakan ruang publik media yang demokratisdelibratif, tetapi lebih didasarkan pada rasionalitas strategis untuk mengarahkan praktik bermedia yang kondusif bagi kepentingan dan legitimasi politik pemerintah. Penjelasan di atas juga bisa pembalikan atas kekhawatiran pada awal era reformasi bahwa kelompok massa, ormas, dan satgas adalah ancaman paling serius terhadap kebebasan pers pasca-1998. Ingat kasus penyerangan pasukan Tommy Winata ke kantor majalah Tempo terkait pemberitaan Pasar Tanah Abang. Karena, ketentuan hukum yang disodorkan pemerintah dan disetujui DPR dengan label UU No. 40 Tahun 1999 itu justru masih mencerminkan adanya tekanan politis pemerintah terhadap media. Pemerintah sesungguhnya belum mengikhlaskan reformasi di bidang pers, antiketerbukaan, antidemokratis, sekaligus bertendensi menyubordinasikan kebebasan pers kepada kepentingan establishment kekuasaan. Selain itu perlu juga diwaspadai politik legislasi pemerintah yang bertendensi mengancam institusionalisasi kebebasan pers melalui keberadaan UU KUHP, UU Rahasia Negara, UU Intelejen, UU Pornografi, UU Kebahasaan, juga UU ITE. Dengan penjabaran tersebut, Penulis berpendapat: Masyarakat perlu mencermati cacat UU No. 40/1999 itu untuk dijadikan bahan usulan jucial review ke Mahkamah Konstitusi agar cacad itu dihilangkan. Dengan demikian masyarakat ikut berperan dalam kontrol sosial terhadap ancaman kebebasan pers yang didasarkan UU tersebut. Masyarakat perlu mencermati cacat UU No. 40/1999 itu sebagai bahan kontrol sosial bila di masa mendatang pemerintah terbukti menggunakan tangan besinya dalam penyingkiran hakekat kebebasan pers, misalnya dengan melakukan class action atau tekanan-tekanan langsung yang melibatkan massa. Masyarakat juga perlu mencermati keberadaan seperangkat UU lain yang bertendensi mengancam institusionalisasi kebebasan pers sebagai bahan kontrol sosial bila di masa mendatang pemerintah terbukti menggunakan tangan besinya dalam penyingkiran hakekat kebebasan pers, misalnya dengan melakukan class action atau tekanan-tekanan langsung yang melibatkan massa. UU No. 40/1999 mengakomodir pengaruh ekonomi (bisnis) terhadap isi media

UU No. 40 Tahun 1999 juga mengatur aspek ekonomi, seperti tercantum pada Bab IV. Pasal 9: (1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers (2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia Pasal 9 memberikan peluang seluas-luasnya bagi siapa pun (baca: pengusaha dan negara) untuk beramai-ramai melakoni bisnis media. Artinya, ranah ini tidak lagi murni berisikan kalangan jurnalis yang ingin menorehkan idealismenya melalui bisnis media. Siapa pun Anda, asal memiliki cukup modal dan badan hukum yang sah, maka berhak berbisnis media dan menjadi bagian dari kehidupan jurnalisme,

termasuk merasakan kesakralan freedom of the pressbahkan kebebasan pers yang diartikan sebagai peraihan keuntungan. Kenyataan ini membuat media-media yang tergolong yellow journalism pun berdiri dan bergerak bebas, tanpa ada kekhawatiran diganggu persoalan nilai atau moral. Karena, negara telah menyediakan peluang dan menjamin kelangsungannya. Sanat masuk di akal, bila media sekelas majalah Playboy Indonesia atau surat kabar Lampu Hijau bisa leluasa menyeruak di antara media lain, yang dirintis untuk menyuntikkan informasi dan pendidikan seperti di atur secara rinci dalam UU Pers. Persoalan tuntutan Front Pembela Islam atas majalah Playboy Indonesia adalah masalah lain. Yang penting, ketentuan hukumnya menyediakan ruang itu. Pasal 11: Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pasal ini membuka peluang bagi pengusaha-pengusaha asing, kalangan pers atau bukan, untuk ikut merayakan suka cita reformasi di bidang media di negara ini. Artinya, era modernisasi (kapitalisme) semakin menganga dan mendapat kesempatan besar untuk menekan kehidupan media di negeri melalui sisi ekonomi. Ketika modal besar bicara, ketika untung-rugi diperhitungkan, ketika idealisme sekadar bingkai artefak yang bakal difosilkan, maka media pun harus bersiap-siap merayakan suka cita komodifikasi ala ekonomi politik media, seperti dipaparkan Vincent Molco. Menurut Penulis keberadaan dua pasal dalam UU No. 40/1999 itu sangat mengakomodir pengaruh ekonomi (bisnis) terhadap isi media. Melalui ketentuan hukum itu, perancang UU itu benar-benar sangat mempersiapkan lahan kapitalisme di bidang media di negeri ini dengan begitu luasnya. Gol akhir dari regulasi ekonomi itu adalah kekuasaan yang tertumpu pada persaingan secara terbuka dan sebebasbebasnya (market-based powers). Media terkuat dan terkaya akan memainkan hegemoninya kepada khalayak seraya melindas media-media kecil yang lemah dan bermodal alakadarnya. Pada puncaknya, menurut Penulis, media cetak hanyalah berisi sampah-sampah senilai dua ribu atau tiga ribu perak dan media televisi berisikan dosa-dosa yang bisa dinikmati dengan kesediaan mencumbui iklan-iklan.[]
gado-gado SANG JURNALIS

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda http://gado-gadosangjurnalis.blogspot.com/2011/09/ranah-publik.html

ranah PUBLIK
Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, Jurgen Hambermas (1962-1989) menyebutkan bahwa ruang publik adalah perantara yang mempertemukan kepentingan negara (state) dan masyarakat (civil society) dalam menciptakan proses komunikasi yang adil, bijak, dan dalam menciptakan pertukaran wacana yang membangun. Opini Publik dalam Kerangka Habermas

Menurut Habermasseperti juga pemikiran Jaques Derrida, terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia (baik empiris-analitik, historis heurmeneutik, maupun kritis) dengan kepentingan (teknis, praktis, atau yang bersifat emansipatoris), walau tidak dapat disangkal bahwa yang terjadi juga bisa sebaliknya bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan. Sebagai pemburu teori kritis Mazhab Franbkrut, sesungguhnya Habermas melanjutkan proyek Max Horkheimer untuk mengembangkan teori kritis masyarakat berdimensi praksis perubahan sosial. Pada hakekatnya keberadaan opini publik adalah tempat mediasi pertukaran ide di antara masyarakat melalui institusi-institusi yang berperan dalam mengembangkan dan menyebarluaskan hegemoni ideologi. Antonio Gramsci menyebut institusi dan strukturnya sebagai alat hegemoni (hegemonic apparatuses), seperti sekolah, masjid, gereja, media massa, bahkan arsitektur atau nama jalan. Sesuai dengan namanya, alat hegemoni itu dapat digunakan untuk menyosialisasikan dan mempertahankan ide-ide atau ideologi hegemoni. Gagasan Habermas tentang opini publik ini menunjukkan kebebasan berpendapat dan bertukar gagasan apa pun di ruang-ruang yang disebutkan Gramsci tadi, tapa khawatir atau dihantui ancaman kekuatan negara yang dikondisikan senantiasa mengancam dan menekan masyarakatingat konsep penjagaan stabilitas nasional di era orde baru atau negara-negara komunis. Aparatus negara menjadi penjaga masyarakat yang disiplin memberangus pemunculan gagasan-gagasan tentang kebebasan dan demokrasi. Bagi Habermas, bahasa menjadi medium pertukaran dalam solidaritas simbolik. Bahasa adalah interaksi, intersubjektivitas simbolik yang sifatnya universal. Dan syarat utama interaksi komunikatif ialah ruang publik harus dihormati. Partisipasi dalam debat harus melibatkan sebanyak mungkin peserta yang mempunyai kepentingan langsung. Maka debat tidak boleh dibatasi oleh urgensi untuk segera mengambil keputusan atau bertindak.

Publisitas

dalam

Kerangka

Habermas

Media merupakan ruang yang menyediakan pertukaran ide-ide itu melalui bahasa dan simbol-simbol yang diproduksi dan disebarluaskan. Media membentuk sebuah tempat berlangsungnya perang bahasa dan perang symbol (symbolic battle field), untuk memperebutkan penerimaan publik atas gagasangagasan ideologis yang diperjuangkan. Dan di dalamnya sebuah ide hegemonik mendapatkan tandingan oleh pelbagai hegemoni tandingan lainnya (counter hegemony). Gagasan ini menunjukkan media sebagai ruang publisitas pertukaran ide-ide hegemoni tadisebagai public sphere. Media adalah perjumpaan antara rasionalitas komunikasi dan rasionalitas strategis. Pada satu sisi, media adalah institusi sosial yang memfasilitasi masyarakat menjalankan diskursus sosial. Di sisi lain, media juga institusi ekonomi yang beroperasi berdasarkan rasionalitas bisnis. Dua sisi ini melahirkan konsekuensi bahwa hubungan antara publik dan media penyiaran tidak sekadar hubungan konsumen dan produsen informasi, tetapi juga hubungan antara paemilik dan penyewa kekayaan publik. Media penyiaran mempunyai beban lebih besar dalam mewujudkan praktik, bermedia yang benar-benar mencerminkan keberagaman minat, kebutuhan, dan nilai masyarakat.

Konsep

Ruang

Publik

dalam

Teori

Hegemoni

Gramsci

Seperti juga teori-teori kritis pada era poststructuralism, teori hegemoni yang digagas Gramsci, penerus Marxisme atau Neo-Marxisme, dibangun berdasarkan teori kekuasaan yang dikembangkan Karl Marx (1818-1883). Hegemoni adalah proses dominasi, di mana sebuah ide menumbangkan atau membawahi ide lainnyasebuah proses di mana satu kelompok dalam masyarakat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. Hegemoni dapat terjadi dalam berbagai cara dan berbagai keadaan; intinya, hal ini terjadi ketika peristiwa atau teks diartikan dengan sebuah cara yang mengangkat ketertarikan dari satu kelompok terhadap yang lainnya. Hal ini dapat menjadi proses cerdik dalam memaksakan untuk memilih minat dari sebuah kelompok bawah menjadi kelompok yang mendukung semua ideologi dominan, jelas Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss. Inti batasan yang dikemukan Littlejohn dan Foss adalah dominasi kelompok dominan (baca: minoritas) atas kelompok lain (baca: mayoritas atau khalayak) agar mengikuti ideologi kelompok dominan tersebut. Batasan itu menguraikan keberadaan dua kelompok di tengah masyarakat, dengan kelompok minoritas yang berperan menyuntikkan ideologinya, sedangkan kelompok mayoritas atau khalayak menjadi pengikut atau sasaran penerimaan ideologi itu. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sedangkan wacana lain dianggap salah, jelas Eriyanto. Media secara tidak sengaja menjadi alat untuk menyebarkan nilai-nilai atau wacana dominan yang dianggap benar hingga meresap dalam benak khalayak dan dianggap kebenaran. Sebaliknya, wacana lain diangap salah. Dua kutipan di atas menegaskan tujuan kekuatan hegemoni, yakni menciptakan cara berpikir yang berasal dari wacana dominan, juga media yang berperan dalam penyebaran wacana dominan itu. Di tingkat makro, Gramsci memetakan pertarungan ideologi-ideologi yang bertemu dan saling berkompetisi, sekaligus memperlihatkan rupa penggagasnya. Bagi Gramci, media merupakan arena pergulatan antarideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Antonio Gramci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Pendapat di atas makin memperjelas keberadaan wacana dominan sebagai kata kunci dari ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik, juga peran media sebagai channel yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas. Lebih jauh lagi, Alex Sobur melihat berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Pada akhirnya, pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan. Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, begitu adanya, logis, dan bernalar (common sense), serta semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan, jelas Eriyanto.

Untuk menjawab permasalahan di atas, Penulis akan mengurainya dengan analisis wacana kritis ala Norman Fairclough, yang dimulai dari teks televisi (mikro), produksi teks televisi (meso) yang menghadirkan agenda setting dalam mengonstruksi wacana bermakna berupa teks televisi dengan pendekatan komodifikasi, hingga media televisi sebagai situs budaya popular (makro) yang berada di lingkungan ekonomi politik media. Ketika teks televisi diuraikan secara rinci menurut medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse)analisis wacana kritis yang dikembangkan Halliday dan Hassan, akan menjelaskan penanda-penanda yang ada di dalam pesan. Artinya, dari sana akan terjawab juga persoalan bentuk dan rupa artefak yang dihadirkan dan hegemoni di dalamnya. Bahwa pada akhirnya teks itu lebih berisikan selera rendah, ringan, dan mengutamakan unsur hiburan, maka hal itu terkait positioning yang didesain media itu yang mencoba meraup segmen pemirsa sebanyak-banyaknya. Dengan rating dan share sebagai acuan dalam penyusunan agenda. Bahkan, program berita yang mestinya mengedepankan aspek idealisme ikut menuhankan rating dan share, hingga memodifikasi berita-berita agar lebih entertaining. Media memiliki aspek-aspek dan kepentingan untuk menjalankan roda usahanya. Khalayak juga sangat berkepentingan untuk mengawal aspek-aspek dan kepentingan itu agar tetap mendapatkan informasi tentang lingkungannya bahkan meski dalam keadaan bias. Watak kolusif genreproduser dan khalayak punya kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga formula bersama-sama menyeret perhatian kita pada fakta bahwa konservatisme ideologis dalam berita adalah sesuatu yang dipersekongkolan khalayak untuk dipelihara, sama banyaknya dengan sesuatu yang sekadar ditimpakan kepada pemirsa, kata Graeme Burton. Hubungan sinergis itulah yang menjadikan pesan media dibingkai dalam suasana market-based powers atau kekuasaan pasar. Dalam bahasa lain, di bawah kendali pengusaha media. Situasi ini menandakan media baru saja beranjak dari fase pengelolaan media yang secara ketat di bawah kekuasaan negara (state-based power). Paparan ini berkaitan erat dengan teori konflik Ralf Dahrendorf, yakni berupa pendekatan fungsionalisme bahwa setiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap. Kata kunci atas konsep ruang publik tersebut dalam teori hegemoni dari Gramsci di media massa saat ini adalah perampasan ruang publik atas nama kekuatan pasar atau regulasi yang berpihak kepada pemilik modal.[]
gado-gado SANG JURNALIS

http://gado-gadosangjurnalis.blogspot.com/2011/09/teori-hegemoni.html

teori HEGEMONI
Perry Anderson melakukan kritik pedas tentang teori hegemoni kultural dan intelektual Gramsci, dengan mengatakan bahwa Gramsci terlalu mempermudah pemahaman tentang ruang kebebasan publik (pers) dan kekuatan politik koersif dari negara dan pemerintah terhadap pers.

Apa

gambaran

luas

tentang

teori

hegemoni

Antonio

Gramsci?

Seperti juga teori-teori kritis pada era poststructuralism, teori hegemoni pun dibangun berdasarkan teori kekuasaan yang dikembangkan Karl Marx (1818-1883). Teori ini dirintis dan dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci, yang disebut-sebut sebagai penerus Marxisme atau Neo-Marxisme. Teori ini sangat berperan dalam pembacaan teks budaya popular secara kualitatif, khususnya terkait pembongkaran teks dan produksi teks media menu menurut metodologi semiotika sosial atau analisis wacana kritis. Hegemoni adalah proses dominasi, di mana sebuah ide menumbangkan atau membawahi ide lainnya sebuah proses di mana satu kelompok dalam masyarakat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. Hegemoni dapat terjadi dalam berbagai cara dan berbagai keadaan; intinya, hal ini terjadi ketika peristiwa atau teks diartikan dengan sebuah cara yang mengangkat ketertarikan dari satu kelompok terhadap yang lainnya. Hal ini dapat menjadi proses cerdik dalam memaksakan untuk memilih minat dari sebuah kelompok bawah menjadi kelompok yang mendukung semua ideologi dominan, jelas Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss. Inti batasan yang dikemukan Littlejohn dan Foss adalah dominasi kelompok dominan (baca: minoritas) atas kelompok lain (baca: mayoritas atau khalayak) agar mengikuti ideologi kelompok dominan tersebut. Batasan itu menguraikan keberadaan dua kelompok di tengah masyarakat, dengan kelompok minoritas yang berperan menyuntikkan ideologinya, sedangkan kelompok mayoritas atau khalayak menjadi pengikut atau sasaran penerimaan ideologi itu. Ideologi? Pemaparan Eriyanto soal hegemoni di bawah ini bisa memperjelas batasan yang telah disampaikan di atas. Konsep hegemoni dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan pelestarian kepatuhan aktif (secara suka rela) dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral, dan politik. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan, dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan. Cara penguasaan atau dominasi itu digambarkan Eriyanto melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar hingga ditafsirkan sebagai kenyataan. Karl Marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu atau representasi palsu. Selain itu, uraian itu juga menjabarkan sekilas perbedaan dimensi ekonomi dan produksi (yang dikemukakan Karl Marx) dibandingkan hegemoni ala Gramsci. Bahwa hegemoni menekankan pada perluasan dan pelestarian kepatuhan aktif melalui kepemimpinan intelektual, moral, dan politik. Tujuannya, memengaruhi dan membentuk alam pikiran khalayak atau kelompok yang dipengaruhi. Sebaliknya dengan dimensi material dari segi ekonomi dan relasi produksi, yang menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikutinya.

Hingga di sini, batasan-batasan itu belum menjelaskan rupa hegemoni. Dua batasan itu masih berputar di wilayah hubungan kelompok berkuasa dan tidak berkuasa, serta harapan-harapan yang ingin dicapai. Menurut Douglas Kellner, teori Antonio Gramsci mengenai hegemoni, yang menampilkan kebudayaan, masyarakat, dan politik sebagai medan-medan perebutan di antara berbagai kelompok dan blok kelas. Kini semakin jelas bahwa kebudayaan, masyarakat, dan politik, yang menjadi medan perluasan dan pelestarian kepatuhan aktif bagi kelompok minoritas itu. Namun, hal itu belum menjelaskan tujuan spesifik dan alat atau sarana untuk mendapatkan kepatuhan aktif dan secara suka rela itu. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sedangkan wacana lain dianggap salah, jelas Eriyanto. Media secara tidak sengaja menjadi alat untuk menyebarkan nilai-nilai atau wacana dominan yang dianggap benar hingga meresap dalam benak khalayak dan dianggap kebenaran. Sebaliknya, wacana lain diangap salah. Dua kutipan di atas menegaskan tujuan kekuatan hegemoni, yakni menciptakan cara berpikir yang berasal dari wacana dominan, juga media yang berperan dalam penyebaran wacana dominan itu. Di tingkat makro, Gramsci memetakan pertarungan ideologi-ideologi yang bertemu dan saling berkompetisi, sekaligus memperlihatkan rupa penggagasnya. Bagi Gramci, media merupakan arena pergulatan antarideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Antonio Gramci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Pendapat di atas makin memperjelas keberadaan wacana dominan sebagai kata kunci dari ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik, juga peran media sebagai channel yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas. Lebih jauh lagi, Alex Sobur melihat berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Pada akhirnya, pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan. Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, begitu adanya, logis, dan bernalar (common sense), serta semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan, jelas Eriyanto. Kesimpulannya, poin-poin teori hegemoni meliputi: 1) dominasi kelompok dominan (minoritas) atas kelompok lain (mayoritas) agar mengikuti ideologi kelompok dominan tersebut. 2) melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar hingga ditafsirkan sebagai kenyataan. 3) kebudayaan, masyarakat, dan politik, yang menjadi medan perluasan dan pelestarian kepatuhan aktif bagi kelompok minoritas ideologi kelompok dominan berupa kebudayaan, masyarakat, dan politik.

4) peran media sebagai channel yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas. 5) berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. 6) pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan.

Bagaimana teori hegemoni tersebut dapat menjelaskan kondisi media kita akhir-akhir ini yang mengusung kebebasan pers? Seperti telah disinggung di atas bahwa teori hegemoni sangat berperan dalam pembacaan teks budaya popular secara kualitatif, khususnya terkait pembongkaran teks dan produksi teks media menu menurut metodologi semiotika sosial atau analisis wacana kritis. Artinya, pembacaan hegemoni dalam teks media bisa dimulai dengan menganalisis artefak-artefak yang diperlihatkan situs-situs budaya popular (baca: media). Setelah itu, rupa hegemoni itu akan makin jelas dengan pengamatan langsung pada produksi teks budaya. Berdasarkan pendekatan analisis wacana kritis (terutama yang dikembangkan Halliday dan Hassan), Penulis akan menguraikan sekilas kondisi media di Tanah Air, melalui pembacaan medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse). Sejak bergulirnya era reformasi tidak bisa dipungkiri lagi topik-topik politik menjadi primadona atau pilihan medan wacana media. Lebih dari 30 tahun dikerangkeng dalam penjara Pers Pancasila (baca: otoritarian ala Orde Baru) membuat media hiruk-pikuk merayakan alam bebas berpolitik, berpendapat, dan berdemokrasi. Pemberlakukan Undang-undang Pers membuat media merasa memiliki alasan untuk menikmati kebabasan itu seakan berada di alam liberalism. Seiring dengan itu, aroma modernitas dan hedonism yang dimunculkan media esek-esek atau bernuansa pornografi juga tak tertahan. Intinya, khalayak makin dihadapkan banyak pilihan terhadap hegemoni-hegemoni baru di era reformasi, persis seperti disinggung salah satu poin di atas: berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus intrumen perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Euforia media cetak yang ditandai kemudahan mendapatkan SIUPP itu juga dihadang masalah baru soal makin berpesta-poranya juga media televisi dalam memainkan medan wacana. Wacana-wacana yang didesain dengan makna khusus (baca: memburu jumlah tiras di media cetak atau rating dan share di media elektronik) seakan menjadi pembuktian kebenaran model komunikasi televisual ilmuwan dari Mazhab Birmingham Stuart Hall melalui publikasi dalam Encoding and Decoding the Televisual Discourse. Bahwa jauh sebelum teks budaya popular itu disuntikkan kepada khalayak, sesungguhnya media telah menyiapkan wacana yang bermakna. Dan wacana bermakna itu adalah pencapaian tiras serta rating dan share. Singkatnya, awal orde reformasi merupakan perayaan hegemoni media paling akbar yang pernah terjadi di Tanah Air. Media, apa pun jenisnya, berkesempatan mengumbar kekuasaan-kekuasaan kelas minoritasnya yang diyakini bakal mengusai kelas mayoritas yang disinggung Jean Boudrillard sebagai mayoritas yang diammassa yang tidak membutuhkan kekuasaan untuk mendominasi,

memperjuangan ideologi leluhur, menguasai territorial, akan tetapi kekuasaan untuk mengekspresikan diferensi (perbedaan seks, produk, kesenangan, gaya, dan sebagainya). Belakangan hegemoni itu, terutama media televisi, makin disemarakkan perayaan hedonisme dan upaya memuaskan mayoritas yang diam tadi. Teks budaya yang dihidangkan media merupakan artefak-artefak yang jauh pemenuhan nilai estetis. Program berita menjadi tidak percaya diri dan ikut berlomba bak program infotainment demi memburu rating dan share. Pemunculan kasus video porno mirip artis di seluruh program berita di televisi menjadi pembuktian matinya nilai estetis dan objektivitas yang selama beratus-ratus menjadi nilai sakral para jurnalis. Dan kalau melirik program hiburan, maka teks budaya itu makin memperlihatkan keberadaan hegemoni yang berkiblat pada ekonomi politik media. Misalnya saja, program Bukan Empat Mata di Trans7 yang menempatkan pelawak jebolan Srimulat Tukul Arwana sebagai host dari kalangan modern: dengan wardrobe yang berganti-ganti dan bermerk, gaya bertutur yang mencoba cerdas dengan sesekali menyelipkan kosa kata bahasa Inggris, etika pergaulan seperti kalangan modern lengkap dengan cipikacipikinya, tamu-tamu dialog dari kalangan selebritas yang juga tak kalah modis dan glamor, keakraban dengan teknologi komputer, dan tepuk-tangan penonton yang diminta mengamini pencitraan modernnya. Simbol-simbol itu sudah cukup menjelaskan premis program bahwa fashion, gaya bertutur, etika pergaulan, kedekatan dengan teknologi, teman-teman sekaum, dan gempita perhatian orang lain, akan mencitrakan kaum modernitas. Bahkan, tanpa menimbang latar belakang atau tampilan sejatinya. Atau, nikmati juga perayaan penciptaan efek mitologisasi itu dalam panggung megah Indonesia Mencari Bakat (IMB) di layar TransTV. Di bawah gemerlap lampu berkekuatan ribuan Watt, properti yang disulap mengikuti tema-tema tertentu, busana dan kostum para peserta yang tidak main-main, tata rias dan model rambut peserta yang mengubahnya menjadi orang lain, iringan grup musik yang luar biasa, jurijuri yang merupakan ikon-ikon budaya populer dengan pencitraan modernnya, juga riuh penonton sebagai penyaksi langsung penobatan ikon-ikon budaya popular baru itu. Dalam tempo delapan bulan, nama-nama Klantink, Putri Ayu, Brandon, Hudson, Rumingkang, dan sejumlah nama atau kelompok lain, bermetamorfosis tanpa bisa diduga dan dibendung. Khalayak tidak pernah mempertanyakan latar belakang atau kondisi nyata mereka, meski sesekali stasiun itu memutar video tape (VT) kondisi nyata mereka. Tiba-tiba, panggung megah itu menyulapnya menjadi selebritas atau mitos-mitos baru panggung hiburan, dengan framing standar: fashion, gaya bertutur, etika pergaulan, kedekatan dengan teknologi, teman-teman sekaum, dan gempita perhatian orang lain. Kedua program itu juga menjadi pembuktian keberhasilan penerapan komodifikasi yang oleh Vincent Mosco dilukiskan sebagai cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mentransformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Sehingga program televisi, dalam bingkai ekonomi politik media, mesti dikomodifikasi sebagai komoditas yang benar-benar disukai khalayak (content comodification), meski hal itu sesungguhnya bukan kebutuhan khalayak. Bahkan, khalayak pun dijadikan komoditas yang bukan sebatas dipaksa menimati pencitraan produk-produk yang diiklankan dalam dalam commercial break, tapi juga dipancing untuk mengirimkan short message service (SMS) dengan ongkos yang tak murah. Menurut Penulis, itulah gambaran kekuasaan hegemoni di dunia pertelevisian saat ini. Sedangkan media cetak masih terus berjuang dengan framing politik atau berupaya juga bermain di wilayah ekonomi. Analisis framing, analisis wacana kritis, analisis semiotika, atau pendekatan cultural studies, akan membongkar rupa-rupa hegemoni di balik teks-teks media yang diproduksi media di Tanah Air.

Sebutkan kesamaan dan perbedaan antara teori hegemoni Gramsci dan teori kekuasaan Karl Marx? Teori hegemoni Gransci telah diuraikan secara panjang lebar di poin a. Berikut ini penjelasan teori kekuasaan Karl Marx. Menurut Yasraf Amir Piliang, Karl Marx melihat konsep kekuasaan dalam kerangka hubungan yang mutlak antara kelas-kelas yang mendominasi dan yang didominasi dalam masyarakat antara yang menekan (oppressor) dan yang tertekan (oppressed), antara yang menyisihkan (alienating) dan yang tersisihkan (alienated). Kekuasaan, menurut versi Marxisme adalah kekuasaan yang dibutuhkan oleh kelas sosial (kelas penguasa) untuk mereproduksi model produksinya yang dominan kekuasaan untuk mengeksploitir kelas yang dikuasai. Batasan di atas memilah hubungan dua kelas di tengah masyarakat, yakni kelas penguasa yang menguasai kelas yang dikuasai dalam mereproduksi model produksi yang dominan. Dalam teks lain, kekuasaan itu disebut juga sebagai ideologi: Karl Marx (1818-1883) dan dan Fredrich Engels ((18201895) melihat ideologi sebagai fabrikasi atau pemalsuan yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk membenarkan diri mereka sendiri. Karena itu, konsep ideologi tersebut jelas sangat subjektif dan keberadaannya hanya untuk melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat. Teori kekuasaan ala Karl Marx itu identik dengan ideologi yang melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat. Dalam batasan-batasan lain, hubungan itu dibingkai dalam konteks sistem ekonomi dan dibaca sebagai kapitalisme. Selain itu, politik berada di balik kekuasaan ekonomi itu, seperti diuraikan Stephen Littlejohn dan Karen A. Foss di bawah ini: Marx meyakini bahwa masyarakat adalah sarana produksi yang menentukan struktur dari masyarakat itu. Disebut hubungan superstruktur dasar (basesuperstructure), gagasan ini adalah ide bahwa ekonomi adalah dasar dari semua struktur sosial. Marx paling prihatin dengan akibat kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi, memercayai bahwa keuntungan berasal dari produksi Ekonomi berasal dari politik, yang oleh Marxisme klasik sering disebut kritik ekonomi politik (the critique of political economy). Dengan demikian teori kekuasaan Karl Marx memuat poin-poin: 1) kelas penguasa yang menguasai kelas yang dikuasai dalam mereproduksi model produksi yang dominan. 2) ideologi yang melegitimasi kelas penguasa di tengah masyarakat. 3) hubungan itu dibingkai dalam konteks sistem ekonomi dan dibaca sebagai kapitalisme. 4) politik berada di balik kekuasaan ekonomi itu.
gado-gado SANG JURNALIS

http://gado-gadosangjurnalis.blogspot.com/2011/09/akuisisi-emtk-terhadap-indosiar-babak.html

akuisisi EMTK terhadap indosiar, BABAK LANJUTAN KONGLOMERASI MEDIA?


Tiga perusahaan yang mengelola stasiun televisi, PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) berniat melakukan penggabungan usaha atau merger dengan dua perusahaan sejenis, yaitu PT Elang Mahkota

Teknologi Tbk (EMTK) dan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA). EMTK merupakan induk usaha dari Surya Citra Mediapengelola stasiun televisi Surya Citra Televisi (SCTV)sekaligus pemilik stasiun televisi lokal O Channel, sedangkan Indosiar Karya Media mengelola stasiun televisi Indosiar. Manajemen EMTK menyiapkan dua opsi terkait aksi korporasi yang melibatkan SCMA dengan IDKM. "Pengembangan usaha itu dapat berbentuk akuisisi atau merger yang melibatkan Surya Citra dan Indosiar," kata Direktur Utama Elang Mahkota Teknologi Susanto Suwarto dalam penjelasan tertulis perseroan yang dipublikasikan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Selasa, 22 Februari 2011. Berdasarkan data laporan keuangan tiga emiten itu per September 2010, total aset ketiga perusahaan bila digabungkan akan mencapai Rp 7,64 triliun. Dari total nilai aset itu, aset Indosiar adalah yang terkecil, yakni Rp 1,008 triliun, disusul Surya Citra Rp 2,44 triliun, dan Elang Mahkota Rp 4,2 triliun. Namun, total kewajiban akan membengkak menjadi Rp 3,12 triliun. Kewajiban terbesar dibukukan Elang Mahkota senilai Rp 1,41 triliun, sedangkan Surya Citra Rp 1,03 triliun dan Indosiar Rp 680,84 miliar. Untuk pendapatan bersih, Indosiar juga paling kecil, yakni hanya mencapai Rp 606,73 miliar. Sementara itu, Elang Mahkota mencatat pendapatan terbesar yaitu Rp 2,48 triliun dan Surya Citra Rp 1,42 triliun. Indosiar juga membukukan laba bersih terkecil atau sebesar Rp 26,71 miliar. Surya Citra mencatatkan laba terbesar, yaitu Rp 333,54 miliar dan Elang Mahkota Rp 276,41 miliar. Untuk total nilai kapitalisasi pasar, Surya Citra merupakan yang terbesar dengan pencapaian Rp 7,3 triliun, Elang Mahkota Rp 6,87 triliun, dan Indosiar Rp 2,04 triliun. Berita seputar penggabungan usaha itu ditanggapi pihak Bursa Efek Indonesia (BEI), dengan menghentikan sementara perdagangan saham atau suspensi atas saham IDKM, SCMA, dan EMTK. Suspensi atas tiga saham itu dilakukan mulai sesi pertama perdagangan pada Selasa, 22 Februari 2011. Menurut Kepala Divisi Perdagangan Saham BEI Andre PJ Toelle, suspensi atas ketiga saham tersebut terkait rencana penggabungan usaha (merger) ketiga perusahaan. Saham Indosiar menguat Rp 60 (6,31 persen) menjadi Rp 1.010 dari harga pembukaan Rp 950. Saham Elang Mahkota juga naik Rp 160 atau 13,55 persen menjadi Rp 1.340 dari posisi pembukaan Rp 1.190. Sementara itu, saham Surya Citra dengan kode perdagangan SCMA terangkat Rp 300 (8,57 persen) ke level Rp 3.800 dari posisi pembukaan. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Ito Warsito mengatakan, otoritas bursa akan memanggil ketiga emiten terkait rencana merger tersebut. "Kami juga melihat adanya pergerakan harga yang tidak wajar," katanya. Sementara itu, Komite Advokasi untuk Independen Penyiaran (KAIP) mempertanyakan rencana merger dua stasiun televisi nasional antara SCTV dan Indosiar dan kepemilikan Media Nusantara Citra (MNC) yang mengendalikan 99 persen saham RCTI, 99 persen saham Global TV dan 75 persen saham MNC. Demikian juga dengan Viva Media yang memegang kendali ANTV dan TVOne, serta Trans Corporation yang memiliki TransTV dan Trans7. KAIP menilai, kepemilikan lembaga penyiaran swasta seperti televisi dikhawatirkan memunculkan pemusatan usaha. Selain itu penyebaran informasi yang akan dilakukan dua stasiun televisi yang dipegang satu orang saja ditakutkan terjadi semena-mena. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) lain, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), KPI, dan Bapepam, diminta tidak memberikan izin bagi EMTK untuk mengambil alih IDKM atau penggabungan Emtek, SCMA, dan Indosiar. Pasalnya, akuisisi itu melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

"Merger itu tidak sesuai dengan peraturan undang-undang," kata Koordinator Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran Eko Item Maryadi. Adanya modal asing lebih dari 20 persen yang tidak dengan peraturan perundang-undangan. Komposisinya dapat dilihat pada laporan konsolidasi PT Elang Mahkota Teknologi Tbk," katanya. Merger atau Akuisisi?

Sejak berita penggabungan dihantarkan ke khalayak, ada dua istilah yang mengemuka: merger dan akuisisi. Merger adalah proses difusi dua perseroan dengan salah satu di antaranya tetap berdiri dengan nama perseroannya sementara yang lain lenyap dengan segala nama dan kekayaannya dimasukan dalam perseroan yang tetap berdiri tersebut. Sedangkan akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain atau oleh kelompok investor. Direktur Utama EMTK Susanto Suwarto dalam penjelasan tertulis perseroan yang dipublikasikan PT BEI di Jakarta pada 22 Februari 2011 menyumirkan masalah itu sebagai merger atau akuisisi. Bahkan, pihak Bursa Efek Indonesia menyebutnya sebagai merger. Padahal esensi dari penggabungan itu sesungguhnya EMTK membeli saham IDKM, hingga EMTK memiliki tiga stasiun televisi SCTV dan O Channel, juga Indosiar. Salah satu LSM yang mengkritisi masalah itu juga tak kalah bingungnya, dengan menyebutnya sebagai merger. Kecuali KIDP yang menyebutnya sebagai akuisisi, sekaligus meminta Kemenkominfo, KPI, dan Bapepam, agar tidak memberikan izin bagi EMTK untuk mengambil alih IDKM atau penggabungan EMTK, SCMA, dan IDKM. Pasalnya, akuisisi itu melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Belakangan KPI juga bereaksi lantang dengan menyebut masalah itu sebagai akuisisi. KPI menilai rencana pengambilalihan saham IDKM oleh EMTK berpotensi menciptakan monopoli dan pelanggaran Undang-Undang Penyiaran. Aksi korporasi itu, menurut KPI, memungkinkan terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan bidang penyiaran yaitu Pasal 32 ayat 1 tahun 2002 huruf a Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (PP-LPS) dan Pasal 34 ayat 4 UU Penyiaran. "Peraturan ini mengatur tentang pembatasan pemusatan kepemilikan dan penugasan LPS (Lembaga Penjamin Sosial) oleh satu orang atau satu badan hukum. Pasal 34 menyatakan, pelarangan pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran," ujar Komisioner KPI Pusat Mochamad Riyanto. Apabila terjadi aksi akuisisi, KPI meminta Menteri Kominfo merespons dan melaksanakan kewenangannya berdasarkan UU dan PP tersebut. "Kewenangan Kementerian Kominfo ialah memberikan persetujuan terhadap rencana tersebut. Kementerian Kominfo, Bapepam-LK, dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) ini yang bisa membaca arah bisnis penyiaran itu sendiri. Kewenangan Bapepam-LK ialah memberikan penilaian terhadap posisi bisnis dan investasi," ujar Riyanto. Potensi pelanggaran yang dimaksud, Riyanto melanjutkan, ialah aksi pembelian saham tersebut berarti termasuk dalam memonopoli. "Potensi pelanggaran itu kalau penjual beli saham atau aksi korporasi mencapai di atas 50 persen, berarti memonopoli. Artinya, dia harus mengambil alih kepemilikan. Sesuai PP, tidak boleh diatur pengambil alihan atau tidak boleh ada pemusatan kepemilikan di dalam komposisi saham," tambahnya. Kesimpulannya, pertama, penggabungan itu termasuk dalam akusisi. Kedua, akusisi itu berpotensi

menjadi monopoli sekaligus melanggar Pasal 32 ayat 1 tahun 2002 huruf a Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (PP-LPS) dan Pasal 34 ayat 4 UU Penyiaran. Ketiga, KPI meminta Kemenkominfo merespons dan melaksanakan kewenangannya berdasarkan UU dan PP tersebut. Dan berdasarkan ketiga kesimpulan memunculkan pertanyaan menggoda, apakah realitas itu menjadi pembuktian adanya babak lanjutan atas korporasi di dunia penyiaran kita? Post-Akuisisi Media

Bahwa kritik Komite Advokasi untuk Independen Penyiaran (KAIP) yang mempertanyakan rencana akusisi EMTK bakal menguasai SCTV dan O Channel, juga Indosiar, sesungguhnya didahului dengan keterkejutannya atas keperkasaan Media Nusantara Citra (MNC) yang mengendalikan 99 persen saham RCTI, 99 persen saham Global TV dan 75 persen saham MNC. LSM itu juga menyitir kepemilikan Viva Media atas ANTV dan TVOne, serta Trans Corporation yang memiliki TransTV dan Trans7. Dengan kata lain, sebelum SCTV-O Channel-Indosiar bersatu, tiga pemain kuat di ranah penyiaranHary Tanoesoedibdjo dengan bendera Bhakti Investama-nya, Aburizal Bakrie dengan Bakrie Group-nya, dan Chairul Tanjung dengan Para Group-nyatelah bermain dan suka cita merayakan pelanggarannya terhadap Pasal 32 ayat 1 tahun 2002 huruf a Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (PP-LPS) dan Pasal 34 ayat 4 UU Penyiaran. Jadi, EMTK bukanlah perusahaan pertama yang melakukan pelanggaran dan membuktikan ketidakberdayaan KPI sebagai komisi pengawas dunia penyiaran di Tanah Air. Rekomendasi KPI yang meminta Kemenkominfo merespons dan melaksanakan kewenangannya berdasarkan UU dan PP tersebut menjadi pembuktiaan nyata, betapa KPI bukanlah lembaga kuat dan tangguh untuk memperlihatkan giginya. Keberadaan lembaga itu yang dipayungi semangat UU Penyiaran tidak otomatis menjadi perkasa untuk memperlihatkan tajinya, karena pemerintah dan DPR telah membangun konspirasi untuk menumpulkan taji itu. Keberadaan sejumlah peraturan pemerintah (PP) yang menelikung UU Penyiaran menjadi alasan paling jitu untuk menunjuk kegagalan KPI sebagai penjaga ranah publik. Di balik pengerdilan KPI, Kellner dalam Television and the Crisis of Democracy (1990) mengingatkan kita soal keterpautan sistem pemerintah, komisi komunikasi dan jaringan televisi, yang sedang mencerabut khalayak televisi dari komunikasi demokratis yang sesungguhnya. Ini disebabkan kurangnya tanggung jawab korporat, akses gelombang udara yang sangat tebatas, dan sempitnya perspektif politik yang ditampilkan. Artinya, ketidakberdayaan KPI adalah ancaman yang bukan main-main terkait hubungan khalayak dan ketersediaan informasi, serta kelangsungan komunikasi demokratis, yang sesungguhnya menjadi impian saat reformasi digulirkan. Bersamaan dengan KPI, peran pemerintah, DPR, juga khalayak yang kritis, juga ikut dipertanyakan. Satu sisi positif yang layak dipuji adalah itikad KPI dengan rekomendasi yang memberikan kesan sebagai upaya meminimalisir kesalahan terdahuludengan perayaan para pemodal besar menjalankan praktik konglomerasi media. Meski keputusan akuisisi berada di tangan Kemenkominfo, namun kali ini KPI telah berbuat sesuatu untuk melindungi khalayak dari ancaman homogenitas program, hedonitas program, komodifikasi program, dan keberlimpahan informasi yang sesungguhnya tak lebih merupakan ekstasi komunikasi (meminjam istilah yang dikemukakan filsuf Prancis Jean Baudrillard). Dan jauh ke depan, ketika babak-babak korporasi media merayakan keberhasilannya menguasai ranah

publik, para ilmuwan kritis telah mengingatkan akan bahaya yang mengintai di setiap sudut kamar khalayak melalui kotak tanpa jiwa bernama televisi itu. Robert W. McChesney dalam Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (1990) berargumen bahwa konsentrasi kekuasaan di tengah oligopoli korporat yang terintegrasi secara vertikal telah mengancam arus bebas informasi dan opini yang berbeda yang justru amat vital bagi daya hidup masyarakat demokratis. Bahkan, menurut Usman Ks, ketika media memonopoli pasar, dia tidak punya kompetitor. Ketiadaan kompetitor membuat media tidak berkembang dengan baik. Ketiadaan kompetitor membuat media yang memonopoli akan berbuat sesuka hati sehingga sering kali merugikan publik (2010). Pada akhirnya, khalayak bakal dihantam keterbatasan informasi layaknya media di Negara yang menganut sistem politik otoritarian atau komunis. Perbedaan dibandingkan kedua situasi itu, kali ini Negara bukan sebagai aktor, tapi kelompok minoritas dengan modal besar sebagai pengendali hegemoni. Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam Manufacturing Concent: The Political Economy of the Mass Media (1988) memamaparkan, seperangkat filter telah mengontrol isi informasi media, dimulai dari ukuran media dan orientasi profit serta kepemilikan media, dan berlanjut hingga campur tangan para pengiklan, sumber-sumber media, dan kelompok penekan serta ideologi anti-komunisme dan fundamentalisme Islam. Filter media itulah yang akhirnya menyelubungi bias media. Bias yang tersembunyi dan disengaja (hidden and intended bias) akhirnya sulit dihindarkan karena media juga membawa agenda tersembunyi kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang beroperasi di balik media. Dalam hal ini adalah hidden agenda dari para elite politik, elit bisnis, atau bahkan elit media itu sendiri. Lebih jauh, Idi Subandi Ibrahim (2011) juga mengingatkan soal ancaman kelangsungan idealisme yang digawangi para jurnalis di stasiun televisi. Menurutnya, fenomena komersialisasi membuat kehidupan pers telah menjadikan pers sebagai industri atau pers industri yang dikendalikan para pedagang. Kalau politisi biasanya mengendalikan pers dengan merekayasa hukum dan intimidasi. Maka, pedagang mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan modal atau saham untuk mengontrol isi media atau mengancam wartawan yang nakal. Dalam kondisi itu, budaya media pun berpusat akan pada media itu sendiri. Sebagai entitas bisnis, media cenderung akan makin menekankan pada bisnis semata. Logika komersialisme pers dan komodifikasi berita telah menjadi primadona dalam cara berpikir pengelola pers dan jurnalistik. Pers diarahkan sebagai mesin pencetak uang, pemasok iklan, dan pemburu rating. Dalam logika budaya seperti ini jelas sulit kita menempatkan kepentingan publik di atas atau setara dengan kepentingan modal dan kuasa (Ibrahim, Idi Subandi: 2011). Klimaks dari kekalutan itu, seperti dikemukan Bernard Dagenais dalam eseinya Media in Crises: Observers, Actor or Scapegoats (1992), suatu masyarakat dalam krisis juga menciptakan krisis media. Pertanyaan paling absurd: sudikah babak-babak korporasi media itu dihadirkan para pemodal di ranah publik ini? Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab pada era post-akuisisi media itu?[]

Sekadar Baudrillard, Jean. 2006. Ekstasi Komunikasi. Yogyakarta: Kreasi

Referensi Wacana.

Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. Bandung: Jalasutra.

Eriyanto. 2007. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS. __________. Fairclough, 2008. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: Edward LKiS.

Norman.

1995.

Media

Discourse.

London:

Arnold.

Halim, Syaiful. 2009. Gado-gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-ecek. Jakarta: Gramata Publishing. __________. 2010. Tayangan Video Mirip Artis: Pertaruhan Objektivitas dan Kearifan Media. Jakarta: Gramata Publishing. Hamad, Ibnu. 2010. Komunikasi sebagai Wacana. Jakarta: La Tofi Enterprise.

Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik: Antara Modern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra. Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Noor, Henry Faizal. 2010. Ekonomi Media. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ibrahim, Idi Subandi. 2011. Kritik Budaya Komunikasi; Budaya, Media dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Piliang, Yasraf Amir. 2010. Hipersemiotika:Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. __________. 2010. Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Post-Metafisika. Yogyakarta: Jalasutra. Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Media Politik dan Media Pertarungan 23 28 22 Penyiaran. Wacana. Maret Maret Februari Yogyakarta: Yogyakarta: LKiS. LKiS. 2011. 2011. 2011.

___________. Kompas.com. Tribunnews.com. VIVAnews. Wikipedia.com.

2009.

Politik Rabu,

Senin, Selasa,

gado-gado SANG JURNALIS

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda <a href="http://www4.shoutmix.com/?syaifulhalim">View shoutbox</a>

You might also like