You are on page 1of 28

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Perekonomian dunia mengalami proses liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan mulai terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 yang kini peranannya telah digantikan oleh World Trade Organization (WTO). Perdagangan yang lebih liberal tampaknya menjadi tujuan hampir sebagian besar negara di dunia, dengan harapan liberalisasi dapat meningkatkan volume dan nilai perdagangan yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Liberalisasi perdagangan salah satunya ditandai dengan penurunan atau bahkan penghapusan hambatan perdagangan, baik berupa tarif maupun non tarif. Hambatan perdagangan penting untuk dihapuskan karena tanpa hambatan dapat mendorong arus pergerakan barang dan jasa (flow of goods and services). Gencarnya proses liberalisasi perdagangan yang dilakukan tentunya berkaitan dengan tujuan Indonesia untuk mendapatkan keuntungan (gains from trade) sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui surplus neraca perdagangan. Namun perlu diingat bahwa proses liberalisasi perdagangan itu sendiri berhubungan erat dengan pembukaan akses pasar produk ekspor Indonesia ke dunia. Begitu juga sebaliknya, terbukanya akses pasar dunia, dalam arti bahwa pasar domestik Indonesia juga akan semakin terbuka bagi produk impor negara lain. Dalam perkembangan terakhir ini, banyak negara-negara di dunia termasuk Indonesia, mencoba alternatif ke arah liberalisasi melalui kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area). Kawasan perdagangan bebas yang

diikuti oleh Indonesia salah satunya adalah AFTA. Perdagangan bebas dalam wadah AFTA yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 januari 2003 bagi enam negara anggota lama ASEAN, yaitu Indonesia, Brunai Darussalam, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand. Cepat atau lambat liberalisasi perdagangan akan menyebabkan pasar disemua negara anggota ASEAN akan semakin terbuka, termasuk Indonesia.

Terkait dengan perdagangan bebas, kesepakatan ASEAN China FTA juga dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif dari perjanjian ACFTA tersebut akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya diekspor ke China, sementara dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam negeri yang produknya sejenis dengan produk impor China, yang dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya saing yang relatif kurang kompetitif. Dengan berlakunya AC-FTA berbagai pengamat memprediksi bahwa produk-produk yang ekspornya akan meningkat adalah kelompok produk pertanian, antara lain kelapa sawit, karet dan kopi. Kemudian produk yang diprediksi akan terkena dampak negatif adalah produk yang pasarnya di dalam negeri, antara lain garmen, elektronik, sektor makanan, industri baja/besi, dan produk hortikultura. Kekhawatiran terhadap membanjirnya produk dari China pasca

implementasi AC-FTA timbul karena produk China selain dikenal murah harganya juga sudah banyak beredar di Indonesia sebelum implementasi ACFTA. Pendapat tentang dampak negatif dari AC-FTA juga telah banyak

dilontarkan oleh berbagai pihak dan arus menentang kesepakatan AC-FTA juga telah dilakukan oleh kalangan pelaku usaha. Penulis merasa tertarik untuk meneliti dampak perdagangan bebas ACFTA terhadap produk pertanian Indonesia, yang meliputi padi, jagung, kedelai, gula dan ketela. Hal itu disebabkan oleh adanya kecenderungan bahwa negaranegara anggota ASEAN memproduksi jenis produk pertanian yang hampir sama, yang disebabkan oleh kondisi iklim dan kebudayaan yang hampir sama, sehingga apakah dengan memberlakukan kebijakan perdagangan bebas

dapat menguntungkan atau justru akan mendatangkan kerugian. Oleh karenanya penulis melakukan penelitian ini dengan judul Dampak Asean China Free Trade Area (AC-FTA) Terhadap komoditas Pertanian Indonesia.

1.2 Identifikasi Masalah

Menurut teori perdagangan internasional, perdagangan antar negara tanpa hambatan akan memberikan keuntungan bagi negara tersebut melalui spesialisasi produksi komoditas yang diunggulkan, dalam kasus ini adalah komoditi pertanian. Namun dalam kenyataan paling tidak dari penelitian empiris, dengan

memberlakukan kebijakan perdagangan bebas tidak serta merta menciptakan keuntungan bagi negara-negara tersebut. Banyak hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan bebas dapat menguntungkan tetapi juga dapat merugikan. Secara spesifik masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah apakah perdagangan bebas dalam AC-FTA dapat meningkatkan ekspor komoditi pertanian, sehingga dapat menciptakan keuntungan bagi Indonesia yang digambarkan dengan surplus pada neraca perdagangan.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini, antara lain:

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi internasional, sebagai tugas individu. 2. Untuk mengetahui apakah perdagangan bebas AC-FTA dapat meningkatkan ekspor komoditi pertanian, sehingga dapat menciptakan keuntungan bagi indonesia.

1.4 Manfaat penulisan Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini, antara lain: 1. Dapat memenuhi persyaratan dalam tugas kuliah Ekonomi Internasional yaitu tugas individu. 2. untuk menjadi bahan pertimbangan bagi para pejabat terkait untuk menerapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi pertanian Indonesia saat ini, sehingga pertanian Indonesia menjadi lebih baik dan dapat meningkatkan kesejahteraan para petani di pedesaan.

Bab II Tinjauan Pustaka

2.1 Perdagangan Internasional

2.1.1 Definisi Perdagangan Internasional

Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Pendudukan yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Menurut Amir, M.S. seorang pengamat ekonomi, bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan Internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan internasional, misalnya dengan adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum perdagangan.

2.1.2 Kebijakan-Kebijakan Perdagangan Internasional

Tindakan-tindakan ini meliputi : 1. Tarif Tarif adalah sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor. Tarif spesifik (Specific Tariffs) dikenakan sebagai beban tetap atas unit barang yang diimpor. Misalnya $6 untuk setiap barel minyak). Tarifold Valorem (od Valorem Tariffs) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor (Misalnya, tariff 25 persen atas mobil yang diimpor). Dalam kedua kasus dampak tarif akan meningkatkan biaya pengiriman barang ke suatu negara.

2. Subsidi Ekspor Subsidi ekspor adalah pembayaran sejumlah tertentu kepada perusahaan atau perseorangan yang menjual barang ke luar negeri, seperti tarif, subsidi ekspor dapat berbentuk spesifik (nilai tertentu per unit barang) atau Od Valorem (presentase dari nilai yang diekspor). Jika pemerintah memberikan subsidi ekspor, pengirim akan mengekspor, pengirim akan mengekspor barang sampai batas dimana selisih harga domestic dan harga luar negeri sama dengan nilai subsidi. Dampak dari subsidi ekspor adalah meningkatkan harga dinegara pengekspor sedangkan di negara pengimpor harganya turun.

3. Pembatasan Impor Pembatasan impor (Import Quota) merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan. Misalnya, Amerika Serikat membatasi impor keju. Hanya perusahaan-perusahaan dagang tertentu yang diizinkan mengimpor keju, masing-masing yang diberikan jatah untuk mengimpor sejumlah tertentu setiap tahun, tak boleh melebihi jumlah maksimal yang telah ditetapkan. Besarnya kuota untuk setiap perusahaan didasarkan pada jumlah keju yang diimpor tahun-tahun sebelumnya.

4. Pengekangan Ekspor Sukarela Bentuk lain dari pembatasan impor adalah pengekangan sukarela (Voluntary Export Restraint), yang juga dikenal dengan kesepakatan pengendalian sukarela (Voluntary Restraint Agreement = ERA). VER adalah suatu pembatasan (Kuota atas perdagangan yang dikenakan oleh pihak negara pengekspor dan bukan pengimpor). Contoh yang paling dikenal adalah pembatasan atas ekspor mobil ke Amerika Serikat yang dilaksanakan oleh Jepang sejak 1981. VER pada umumnya dilaksanakan atas permintaan negara pengimpor dan disepakati oleh negara pengekspor untuk mencegah pembatasanpembatasan perdagangan lainnya. VER mempunyai keuntungan-keuntungan politis dan legal yang membuatnya menjadi perangkat kebijakan perdagangan yang lebih disukai dalam beberapa tahun belakangan. Namun dari sudut
6

pandang ekonomi, pengendalian ekspor sukarela persis sama dengan kuota impor dimana lisensi diberikan kepada pemerintah asing dan karena itu sangat mahal bagi negara pengimpor. VER selalu lebih mahal bagi negara pengimpor dibandingan dengan tarif yang membatasi impor dengan jumlah yang sama. Bedanya apa yang menjadi pendapatan pemerintah dalam tarif menjadi (rent) yang diperoleh pihak asing dalam VER, sehingga VER nyata-nyata mengakibatkan kerugian.

5. Persyaratan Kandungan Lokal Persyaratan kandungan local (local content requirement) merupakan pengaturan yang mensyaratkan bahwa bagian-bagian tertentu dari unit-unit fisik, seperti kuota impor minyak AS ditahun 1960-an. Dalam kasus lain, persyaratan ditetapkan dalam nilai, yang mensyaratkan pangsa minimum tertentu dalam harga barang berawal dari nilali tambah domestic. Ketentuan kandungan local telah digunakan secara luas oleh negara berkembang yang beriktiar mengalihkan basis manufakturanya dari perakitan kepada

pengolahan bahan-bahan antara (intermediate goods). Di amerika serikat rancangan undang-undang kandungan local untuk kendaraan bermotor diajukan tahun 1982 tetapi hingga kini berlum diberlakukan.

6. Subsidi Kredit Ekspor Subsidi kredit ekspor ini semacam subsidi ekspor, hanya saja wujudnya dalam pinjaman yang di subsidi kepada pembeli. Amerika Serikat seperti juga kebanyakan negara, memilki suatu lembaga pemerintah, export-import bank (bank Ekspor-impor) yang diarahkan untuk paling tidak memberikan pinjaman-pinjaman yang disubsidi untuk membantu ekspor.

7. Pengendalian Pemerintah (National Procurement) Pembelian-pembelian oleh pemerintah atau perusahaan-perusahaan yang diatur secara ketat dapat diarahkan pada barang-barang yang diproduksi di dalam negeri meskipun barang-barang tersebut lebih mahal daripada yang diimpor. Contoh yang klasik adalah industry telekomunikasi Eropa. Negaranegara mensyaratkan eropa pada dasarnya bebas berdagang satu sama lain. Namun pembeli-pembeli utama dari peralatan telekonumikasi adalah
7

perusahaan-perusahaan telepon dan di Eropa perusahaan-perusahaan ini hingga kini dimiliki pemerintah, pemasok domestic meskipun jika para pemasok tersebut mengenakan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemasok-pemasok lain. Akibatnya adalah hanya sedikit perdagangan peralatan komunikasi di Eropa.

8. Hambatan-Hambatan Birokrasi (Red Tape Barriers) Terkadang pemerintah ingin membatasi impor tanpa melakukannya secara formal. Untungnya atau sayangnya, begitu mudah untuk membelitkan standar kesehatan, keamanan, dan prosedur pabean sedemikian rupa sehingga merupakan perintang dalam perdagangan. Contoh klasiknya adalah Surat Keputusan Pemerintah Perancis 1982 yang mengharuskan seluruh alat perekam kaset video melalui jawatan pabean yang kecil di Poltiers yang secara efektif membatasi realiasi sampai jumlah yang relative amat sedikit.

2.1.2 Manfaat Perdagangan Internasional

Globalisasi ekonomi adalah kehidupan ekonomi global yang bersifat terbuka dan tidak mengenal batas-batas territorial, atau kewilayahan antara daerah yang satu dengan daerah yanglain. Disini dunia dianggap sebagai suatu kesatuan yang semua daerah dapat terjangkau dengan cepat dan mudah. Sisi perdagangan dan investaris menuju kea rah liberalisasi kapitalisme sehingga semua orang bebas untuk berusaha dimana saja dan kapan saja didunia ini. Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara diseluruh dunia menjadi suatu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas territorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal barang dan jasa. Berdasarkan untuk teori perdagangan internasional, motivasi utama

melakukan perdagangan internasional adalah mendapatkan keuntungan

(gains from trade), meningkatkan pendapatan dan menurunkan biaya (cost). Perdagangan internasional memberikan akses terhadap barang yang lebih murah bagi para konsumen dan pemilik sumber daya (resources) memperoleh peningkatan pendapatan karena menurunnya biaya produksi (Appleyard et.
8

all, 2006). Adanya perdagangan internasional akan memberikan dampak positif pada suatu negara berupa: Sebagai sarana meningkatkan kemakmuran masyarakat melalui proses pertukaran. Dengan adanya spesialisasi dan pembagian kerja, suatu negara dapat mengekspor komoditi yang diproduksi lebih murah untuk dipertukarkan dengan barang yang dihasilkan negara lain, yang jika diproduksi sendiri biayanya mahal. Akibat adanya perluasan pasar produk dan pergeseran kegiatan, suatu negara mendapat keuntungan berupa naiknya tingkat

pendapatan nasional, yang pada gilirannya dapat meningkatkan output dan laju pertumbuhan ekonomi.

Manfaat-manfaat tidak langsung lainnya seperti keinginan memproduksi barang dengan kualitas yang lebih baik, terciptanya iklim persaingan yang sehat, sarana pemasukan modal asing, meningkatkan teknologi dan sebagainya (Jhingan, 1994 dalam Mulyanto, 1999).

2.1.3 Faktor Pendorong Perdagangan Internasional Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut : Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu

pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut. Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya

perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi.

Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang. Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain. Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.

2.1.4 Konsep Liberalisasi

Literatur yang membahas mengenai liberalisasi sering menyamakan liberalisasi dengan semakin terbukanya perekonomian suatu negara atau suatu negara sedang menjalankan kebijakan liberalisasi bila kebijakan yang diterapkan tersebut menyebabkan perekonomian semakin

berorientasi ke luar (outward-oriented) dan juga openness. Maksud dari kebijakan liberalisasi adalah kebijakan perdagangan yang diambil suatu negara yang mencerminkan pergerakan ke arah yang lebih liberal atau cara atau

terbuka. Kebijakan liberalisasi dapat tercapai melalui beberapa seperti pengurangan hambatan-hambatan dalam perdagangan

pemberlakuan subsidi ekspor (Santos-Paulino, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Krueger (1978) dan Bhagwati (1978) merupakan studi terorganisir pertama untuk menformalkan

klasifikasi dari kebijakan. Mereka mengartikan kebijakan liberalisasi perdagangan sebagai kebijakan yang mengurangi tingkat anti-export yang bisa menitikberatkan terhadap pengurangan import licences premium (PR). Orientasi kebijakan perdagangan suatu negara diukur berdasarkan tingkat struktur proteksi dan sistem insentif yang diberlakukan. Berkaitan dengan kebijakan yang diambil oleh negara maka dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kebijakan substitusi impor atau ekspansi ekspor. Substitusi impor sering dikaitkan dengan kebijakan proteksi dan ekspansi ekspor berhubungan dengan kebijakan liberalisasi. Pada prakteknya, kebijakan proteksi dengan meningkatkan tarif misalnya sulit dilakukan. Suatu negara yang berencana untuk memberlakukan hambatan perdagangan seperti tarif misalnya harus mempertimbangkan efek timbal balik jika negara lain melakukan hal yang sama (Nenci dan Pietrobelli, 2007). Kebijakan dalam rangka liberalisasi dapat dikelompokkan
10

menjadi dua yaitu yang dilakukan secara global dan unilateral, dan yang dilakukan secara bilateral atau regional. Kebijakan yang berlaku global berkaitan dengan kesepakatan yang diputuskan di WTO dan yang unilateral adalah kebijakan yang secara sepihak dilaksanakan oleh negara tersebut. Kebijakan regional atau bilateral adalah kebijakan yang

dilaksanakan berdasarkan pada kesepakatan secara bilateral atau regional yang biasanya berada dalam suatu perjanjian perdagangan baik bilateral maupun regional. Landasan teori perdagangan internasional yang melatar belakangi terjadinya liberalisasi salah satunya adalah teori factor endowments.

Heckser-Ohlin mengemukakan bahwa suatu negara melakukan perdagangan internasional karena adanya perbedaan endowment. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) masing-masing negara. Perbedaan tersebut

menimbulkan terjadinya perdagangan internasional. Negara-negara banyak dan murah yang memiliki faktor produksi relatif lebih

dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi

produksi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka dan mahal dalam memproduksinya (Salvatore, 2004).

2.2 Konsep dan Definisi AFTA (ASEAN Free Trade Area)

Dalam perkembangannya banyak negara-negara melaksanakan kebijakan liberalisasi, yang salah satunya digambarkan dengan kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area) dan Indonesia salah satunya, dimana Indonesia telah 18 tahun menjadi anggota kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA). AFTA merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia, serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. AFTA dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara
11

ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN, dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia yang akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003. Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-

hambatan non tarif lainnya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand, sedangkan untuk Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.

2.3 Kesepakatan Perjanjian ASEAN China FTA (AC-FTA)

ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China. Para kepala negara anggota ASEAN dan China pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja telah menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The Peoples Republic of China (ACFTA). Tujuan dari Framework Agreement dan meningkatkan AC-FTA tersebut adalah (a)

memperkuat

kerjasama ekonomi, perdagangan dan

investasi kedua pihak; (b) meliberalisasikan perdagangan barang, jasa dan investasi (c) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak; (d) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak.

12

Selain itu, kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui (a) penghapusan tarif dan

hambatan non tarif dalam perdagangan barang; (b) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa; (c) membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ASEAN-China FTA.

2.3.1

Landasan Hukum Dalam membentuk ACFTA, para Kepala Negara Anggota

ASEAN dan China telah menandatangani ASEAN - China Comprehensive Economic Cooperation pada tanggal 6 Nopember 2001 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam. Sebagai titik awal proses pembentukan ACFTA para Kepala Negara kedua pihak menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and Peoples Republic of China di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002. Protokol perubahan Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 6 Oktober 2003, di Bali, Indonesia. Protokol perubahan kedua Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 8 Desember 2006. Indonesia telah meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004.

Setelah negosiasi tuntas, secara formal ACFTA pertama kali diluncurkan sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane, Laos. Persetujuan Jasa ACFTA ditandatangani pada pertemuan ke-12 KTT ASEAN di Cebu, Filipina, pada bulan Januari 2007. Sedangkan

Persetujuan Investasi ASEAN China ditandatangani pada saat pertemuan ke-41 Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN tanggal 15 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand.

13

2.3.2

Peraturan Nasional Terkait ACFTA Keputusan presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 juli 2004 tentang pengesahan Framework Agreement On Comprehensive Economic Cooperation between The Association of Southeast Asean Nations And The Peoples Republic of China. Keputusan Menteri Keuangan Republi Indonesia Nomor

355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area. Peraturan Menteri Keuangan Republik Maret Indonesia Nomor

21/PMK.010/2006 tanggal 15

2006 tentang Penetapan

Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

04/PMK.011/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEANChina Free Trade Area. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.

14

2.3.3

Tujuan ASEAN-CHINA Free Trade Area Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.

2.3.4

Peluang

Meningkatnya akses pasar ekspor ke China dengan tingkat tarif yang lebih rendah bagi produk-produk nasional. Meningkatkanya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua negara melalui pembentukan Aliansi Strategis. Meningkatnya akses pasar jasa di China bagi penyedia jasa nasional Meningkatnya arus investasi asing asal China ke Indonesia Terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara.

2.3.5

Manfaat

Terbukanya akses pasar produk pertanian Indonesia ke China pada tahun 2004. Terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China pada tahun 2005 yang mendapatkan tambahan 40% dari Normal

Track (1880 pos tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 05%.

15

Terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China pada tahun 2007 yang mendapatkan tambahan 20% dari Normal

Track ( 940 pos tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 05%. Pada tahun 2010, Indonesia akan memperoleh tambahan akses pasar ekspor ke China sebagai akibat penghapusan seluruh pos tarif dalam Normal Track China. Sampai dengan tahun 2010 Indonesia akan menghapuskan 93,39% pos tarif (6.683 pos tarif dari total 7.156 pos tarif yang berada di Normal Track), dan 100% pada tahun 2012.

2.3.6

Tantangan

Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk China. Menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing. Menerapkan ketentuan dan peraturan investasi yang transpara, efisien dan ramah dunia usaha. Meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi

informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby.

2.3.7

Persetujuan Perdagangan Barang

Dalam ACFTA disepakati akan dilaksanakan liberalisasi penuh pada tahun 2010 bagi ASEAN 6 dan China, serta tahun 2015 untuk serta Kamboja, Laos, Vietnam, dan Myanmar. Penurunan Tarif dalam kerangka kerjasama ACFTA dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu:

16

1) Early harvest program (EHP) Produk-produk dalam EHP antara lain: Chapter 01 s.d 08 : Binatang hidup, ikan, dairy products, tumbuhan, sayuran, dan buah-buahan (SK 21 Juli Menkeu No

355/KMK.01/2004 tanggal

2004 Tentang

Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam kerangka EHP ACFTA). Kesepakatan Bilateral (Produk Spesifik) antara lain kopi, minyak kelapa/CPO, Coklat, Barang dari karet, dan perabotan (SK Menkeu No 356/KMK.01/2004 tanggal 21 juli 2004 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP Bilateral Indonesia-China FTA. Penurunan tarif dimulai 1 Januari 2004 secara bertahap dan akan menjadi 0% pada 1 Januari 2006.

2) Normal Track Threshold : 40% at 0-5% in 2005 100% at 0% in 2010 (Tariff on some products, no more than 150 tariff lines eliminated by 2012). Jumlah NT II Indonesia adalah sebesar 263 pos tarif (6 digit) Legal enactment NT untuk tahun 2009 s.d will be

2012 telah ditetapkan melalui SK. MEN-KEU No. 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008

Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ACFTA.

3) Sensitive Track Sensitive List (SL): a) Tahun 2012 = 20% b) Pengurangan menjadi 0-5% pada tahun 2018. c) Produk sebesar 304 Produk (HS 6 digit) antara lain Barang Jadi Kulit : tas, dompet; Alas kaki : Sepatu
17

sport, Casual, Kulit; Kacamata; Alat Musik; Tiup, petik, gesek; Mainan: Boneka; Alat Olah Raga; Alat Tulis; Besi dan Baja; Spare part; Alat angkut; Glokasida dan Alkaloid Nabati; Senyawa Organik;

Antibiotik; Kaca; Barang-barang Plastik Highly Sensitive List (HSL): a) Tahun 2015 = 50% b) Produk HSL adalah sebesar 47 Produk (HS 6 digit), yang antara lain terdiri dari Produk Pertanian, seperti Beras, Gula, Jagung dan Kedelai; Produk Industri Tekstil dan produk Tekstil (ITPT); Produk Otomotif; Produk Ceramic Tableware.

2.4 Sektor Pertanian di Indonesia

2.4.1 Definisi Pertanian

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Tidak perlu di ragukan lagi bahwa Indonesia adalah negara dengan potensi agraris yang sempurna, memberikan ruang seluas-luasnya untuk memanfaatkan potensi pertanian tersebut. Ketergantungan kita pada pertanian sangat tinggi sebab hampir seluruh kegiatan perekonomian kita berpusat di sektor terbesar itu. Pengentasan kemiskinan dan juga pencapaian ketahanan pangan merupakan sasaran tujuan pembangunan maka tak pelak lagi bila pembangunan sektor pertanian merupakan satu cara pencapaian tujuan tersebut.

18

2.4.2 Permasalahan Seputar Pertanian Pembangunan sektor pertanian bukan suatu hal mudah. Ada banyak hal sesungguhnya yang menjadi permasalahan misalnya masih rendahnya pengetahuan petani atas akses informasi dan teknologi, permasalahan lemahnya akses modal, juga dapat berupa investasi yang dimiliki oleh petani yang kurang. Hal ini menjadi sangat kontras sementara pertanian mendominasi hampir setiap segi perekonomian, misalnya dalam penyerapan tenaga kerja. Sebenarnya permasalahan tersebut diatas bukan temuan baru, masalah ini sudah sejak lama ada sejalan dengan keberadaan pertanian itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut sesungguhnya pemerintah telah meluncurkan berbagai program yang mendukung petani, misalnya dalam hal peningkatan produksi pangan dikembangkan lewat balai pengkajian dan penelitian pertanian tentang teknologi tepat guna dan pengembangan benihbenih unggulan berpotensi. Keberhasilan pencapaian sasaran peningkatan pembangunan sektor pertanian tidak dapat di raih dengan kemauan di satu pihak saja misalnya dari pemerintah saja. Perlu kiranya ada kerjasama dengan berbagai kalangan yang berkecimpung langsung di bidang pertanian baik itu dari lembaga peneliti, ilmuan, inovator, kalangan akademik, maupun pihak swasta sebagai kalangan industri. Kerjasama yang harmonis, kolaborasi yang solid seluas-luasnya dapat memecahkan kebuntuan masalah pertanian yang dihadapi. Kita masih ingat di era orde lama kita pernah berjaya dengan swasembada beras yang mendapat apresiasi luar biasa dari negara luar. Kita mampu keluar dari krisis pangan saat itu. Sayangnya kondisi itu tidak berlanjut. Kita tidak mampu mempertahankan kebanggaan dan prestasi tersebut. Padahal bukankah bangsa yang jaya bermula dari kemandirian negara itu sendiri, kemandirian pangan dan kreatifitas rakyatnya, serta kolaborasi yang apik dari berbagai sektor. Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi

perekonomian nasional. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan alasan.

19

Pertama, Indonesia merupakan negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam penguasaan Iptek muktahir serta masih menghadapi kendala keterbatasan modal, jelas belum memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) pada sektor ekonomi yang berbasis Iptek dan padat modal. Oleh karena itu pembangunan ekonomi Indonesia sudah selayaknya dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada sumberdaya alam, padat tenaga kerja, dan berorientasi pada pasar domestik. Dalam hal ini, sektor pertanianlah yang paling memenuhi persyaratan. Kedua, menurut proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 228-248 juta jiwa pada tahun 2008-2015. Kondisi ini merupakan tantangan berat sekaligus potensi yang sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran produk (produksi) maupun dari sisi permintaan produk (pasar) khususnya yang terkait dengan kebutuhan pangan. Selain itu ketersedian sumber daya alam berupa lahan dengan kondisi agroklimat yang cukup potensial untuk dieksplorasi dan dikembangkan sebagai usaha pertanian produktif merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Ketiga, walaupun kontribusi sektor pertanian bagi output nasional masih relatif kecil dibandingkan sektor lainnya yakni hanya sekitar 12,9 persen pada tahun 2006 namun sektor pertanian tetap merupakan salah satu sumber pertumbuhan output nasional yang penting. Berdasarkan data BPS, pada Bulan Februari 2007 tercatat sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, yakni sekitar 44 persen. Keempat, sektor pertanian memiliki karakteristik yang unik khususnya dalam hal ketahanan sektor ini terhadap guncangan struktural dari perekonomian makro. Hal ini ditunjukkan oleh fenomena dimana sektor ini tetap mampu tumbuh positif pada saat puncak krisis ekonomi sementara sektor ekonomi lainnya mengalami kontraksi. Saat kondisi parah dimana terjadi resesi dengan pertumbuhan PDB negatif sepanjang triwulan pertama 1998 sampai triwulan pertama 1999, nampak bahwa sektor pertanian tetap bisa tumbuh dimana pada triwulan 1 dan triwulan 3 tahun 1998 pertumbuhan sektor pertanian masing-masing 11,2 persen, sedangkan pada triwulan 1 tahun 1999 tumbuh 17,5 persen. Adapun umumnya sektor
20

nonpertanian

pada

periode

krisis

ekonomi

yang

parah

tersebut

pertumbuhannya adalah negatif.

2.5 Indonesia vs China

China merupakan negara yang sedang berjaya. Produknya merambah hampir ke seluruh dunia. Produk yang murah menjadi poin plus bagi Negara Tirai Bambu tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang pesat pun membuat China menjadi Aktor paling penting di kawasan Asia. China memang mempunyai dukungan yang besar terhadap industri dalam negerinya sehingga dapat menguasai pasar dunia. Kemudahan dalam memberikan pinjaman bank dengan bunga yang rendah mendorong lahirnya produk-produk yang merambah negara-negara lain dengan harga relatif murah. Dukungan infrastruktur juga sangat diperhatikan bagi perluasan perdagangan. Selain itu kemudahan izin usaha juga diterapkan. Kemudahan-kemudahan seperti di China tersebut sampai saat ini belum ditemui di Indonesia. Inilah yang memberikan kekhawatiran tersendiri atas dampak ACFTA di dalam negeri. Produk dalam negeri dinilai belum dapat bersaing dengan produk-produk dari China karena biaya produksi di dalam negeri masih tinggi dan menyebabkan harga jualnya jauh di atas produk-produk China. Penerapan ACFTA tentu akan menyebabkan berubahnya peta perdagangan antara Indonesia, negara-negara ASEAN, dan China. Pada tabel 1 berikut disajikan ekspor-impor Indonesia dengan negara-negara tersebut:

21

Dari data di atas jelaslah bahwa impor China ke Indonesia lebih besar dari ekspornya, sehingga terjadi defisit perdagangan. Jadi, kekhawatiran tersebut sangat beralasan. Tanpa pemberlakuan ACFTA pun impor China ke Indonesia sudah cukup tinggi, apalagi dengan dihapuskannya tarif bea masuk barang China ke Indonesia. Terkait dengan perdagangan bebas, kesepakatan ASEAN China FTA juga dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif dari perjanjian ACFTA tersebut akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya diekspor ke China, sementara dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam negeri yang produknya sejenis dengan produk impor China, yang dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya saing yang relatif kurang kompetitif. Dengan berlakunya AC-FTA berbagai pengamat memprediksi bahwa produk-produk yang ekspornya akan meningkat adalah kelompok produk pertanian, antara lain kelapa sawit, karet dan kopi. Kemudian produk yang diprediksi akan terkena dampak negatif adalah produk yang pasarnya di dalam negeri, antara lain garmen, elektronik, sektor makanan, industri baja/besi, dan produk hortikultura.

2.5.1 Pertanian Indonesia dalam AC-FTA

Dampak ACFTA juga akan merambah ke sektor pertanian. Mengingat begitu lancarnya hubungan ekspor-impor pertanian antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN dan China. Data

menunjukkan trade balance (neraca perdagangan) produk pertanian dengan ASEAN-Cina pada Januari 2010, Indonesia masih meraih surplus US$ 2,2 miliar. Nilai surplus terbesar diperoleh dari sektor perkebunan, seperti minyak kelapa sawit dan turunannya, karet SIR 20, minyak dan lemak dari sayuran, karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat (pecah, setengah pecah, dan mentah), serta gaplek iris dan kering sebesar US$ 2.756 miliar.

22

Secara lebih rinci, nilai ekspor Indonesia ke China adalah: 1. Sektor komoditas primer sektor perkebunan, kontribusi terbesar disumbang karet US$ 6,152 miliar, kakao US$ 1,269 miliar, kopi US$ 991 juta, dan kelapa US$ 901 juta. 2. Sektor perkebunan olahan, sumbangan terbesar adalah minyak sawit (US$ 14,11 miliar) dan karet (US$ 1,485 miliar). 3. Subsektor tanaman pangan, kontribusi terbesar disumbang gandum (US$ 252 juta) dan ubi kayu (US$ 36 juta). 4. Subsektor hortikultura disumbang buah, kacang-kacangan, dan tumbuhan awetan (US$ 170 juta). 5. Subsektor peternakan disumbang susu (US$ 187 juta) dan lemak (US$ 377 juta).

Sementara nilai impor Indonesia dari China sebagai berikut : 1. Impor terbesar terjadi pada subsektor hortikultura, seperti bawang putih segar, buah apel, pir, serta kwini Mandarin segar, dan komoditas buah lainnya sebesar US$ 434,4 juta. 2. Subsektor pangan berupa benih gandum dan gandum lainnya, gula kasar, kacang kupas, dan komoditas pangan lain sebesar US$ 109,53 juta. 3. Subsektor peternakan yang umumnya berupa impor binatang hidup US$ 17,947 juta (Tempo, 19 Januari 2010). Pemerintah Indonesia lewat pernyataan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi menyatakan bahwa produk perkebunan Indonesia dengan China mengalami kenaikan yaitu dari US$ 800 juta hingga US$ 2,3 miliar. Namun untuk sektor holtikultura termasuk produk-produk buahbuahan, penetrasi pasar produk China jauh lebih tinggi dari Indonesia. Artinya Indonesia lebih banyak mengimpor buah-buahan dari China dari pada mengekspornya. Rendahnya harga produk dari China telah menghantam petani hortikultura dalam negeri. Salah satu yang terkena imbas paling besar ialah petani bawang putih. Situasi ini jelas memperlihatkan bahwa ACFTA hanya menguntungkan perkebunanperkebunan besar dan menghancurkan nasib para petani kecil.
23

Tragedi yang dialami petani bawang putih ini terjadi sejak tahun 2005, ketika ACFTA pada saat itu telah menghapuskan tarif impor bawang putih dari Cina, setelah sebelumnya pada tahun 1996 tarif impor bawang putih diturunkan menjadi 5 persen. Impor bawang putih ini pun dapat dilakukan secara bebas oleh para importir tanpa menggunakan acuan standar mutu, akibatnya pasar bawang putih domestik dibanjiri produk Cina. Kebijakan penurunan tarif impor, menyebabkan harganya jauh lebih murah dibanding bawang putih lokal, akibatnya gairah petani untuk menanam bawang putih semakin menurun karena tidak menguntungkan dan banyak petani dan pengusaha yang terpaksa gulung tikar.

Tabel Perbandingan Volume dan Nilai Ekspor Impor Bawang Putih


2004 Vol (ton) Ekspor Impor Neraca 39,3 244.446,1 -244.406,8 Nilai (USD) 43.166 53.474.300 -53.431.134 2005 Vol (ton) 18,1 283.403,3 -283.385,2 Nilai (USD) 7.308 66.700.100 -66.692.792 Vol (ton) 20,4 295.057,1 -295.036,7 2006 Nilai (USD) 12.090 103.066.900 - 103.054.810

Sumber: Dirjen Hortikultura

Di samping bawang putih barang-barang impor dari Cina terbesar yang masuk ke Indonesia adalah adalah buah-buahan, dengan nilai impor Januari-september 2006 mencapai US$ 134,6 juta atau meningkat US$ 73,8 juta dibanding periode sama tahun sebelumnya. Pemerintah menyatakan hal ini diimbangi dengan sektor perkebunan dimana terjadi peningkatan trade balance Indonesia dengan China dari US$ 800 juta hingga US$ 2,3 miliar. Namur berkaca pada komoditi kelapa sawit dan Crude Palm Oil (CPO), ketergantungan pada pasar dan harga internasional untuk ekspor menyebabkan banyak kerugian pada petani sawit dan produsen CPO. Pada saat harga jatuh dimana petani serta produsen tidak memiliki kontrol sama sekali untuk itu, kita harus rela merugi. Lebih buruknya lagi, kita terus didorong sebagai eksportir bahan mentah, sehingga industri hulu-hilir kita terbengkalai, tidak terbangun dan terintegrasi. Hal ini tentunya mengingatkan kita dengan apa yang terjadi pada era kolonial, ketika Indonesia hanya menjadi daerah pengerukan bahan mentah kondisi yang terus dibiarkan hingga hari ini.
24

Jika beberapa produk non-migas seperti minyak sawit, karet, pulp and paper, dan kelapa (kopra) didorong sebagai produk unggulan, logika orientasi ekspor akan menggenjot produksi. Terkait ini, akan banyak ekspansi usaha perkebunan yang konsekuensi sosial-ekonomi dan lingkungannya masih menyimpan banyak masalah. Deforestasi atas nama perkebunan, serta penggusuran masyarakat adat dan petani kecil adalah masalah umum yang terus terjadi untuk mendorong ekspansi komoditas ekspor. Usaha perkebunan juga kurang bermanfaat untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, karena rakyat di pedesaan tidak memiliki sendiri perkebunannya atau hanya menjadi buruh perkebunan atau bahkan dalam banyak kasus harus tergusur dari tanahnya. Sebaiknya pemerintah benar-benar mengevaluasi proses ACFTA ini, menimbang bola salju resistensi terhadapnya sudah bergulir. Dalam sektor pertanian, terlalu banyak kerugian yang ditimbulkan, sehingga opsi renegosiasi bukanlah pilihan. Untuk memajukan pertanian Indonesia, selain dibutuhkan cetak biru pertanian dari hulu hingga hilir, insentif untuk petani pun mutlak dibutuhkan. Terkait dengan perdagangan bebas, melindungi petani dan rakyat Indonesia serta menggairahkan pasar dan harga domestik sudah lama diusulkan namun miskin implementasi.

2.5.2 Kebijakan Indonesia Menghadapi AC-FTA

Dalam sektor pertanian diperlukan fokus dalam pengembangan komoditas berbasis keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan di sektor perkebunan perlu mendapat perhatian khusus. Diperlukan

pengembangan produk-produk perkebunan bernilai tambah berupa olahan. Sehingga ekspor komoditas perkebunan tidak lagi berupa bahan mentah, namun mempunyai nilai tambah yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi. Diharapkan dengan kebijakan-kebijakan yang sistematis dan terarah, momen ACFTA dapat memberikan efek laju pertumbuhan ekonomi yang cepat dan memunculkan daya saing produk lokal yang unggul, murah, dan memiliki pasar yang luas.

25

BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan Perekonomian China yang berkembang pesat membangkitkan dampak bagi negara-negara ASEAN dan mengisyaratkan ASEAN sebagai suatu kekuatan perdagangan di wilayah timur Asia. Kesepakatan regional menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh negara-negara bahwa anggota termasuk

Indonesia. Hasil kebijakan pertumbuhan

penelitian

membuktikan

dengan

memberlakukan

perdagangan ekspor dan

bebas AC-FTA, maka akan berdampak terhadap impor komoditas pertanian Indonesia. Data

menunjukkan produk pertanian dengan ASEAN-Cina pada Januari 2010, Indonesia masih meraih surplus US$ 2,2 miliar sehingga dapat menciptakan neraca

perdagangan yang berdampak terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia secara makro. Temuan ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya bahwa perdagangan antar negara yang tanpa disertai dengan hambatan perdagangan akan menciptakan keuntungan bagi negara tersebut. Nilai surplus terbesar diperoleh dari sektor perkebunan, seperti minyak kelapa sawit dan turunannya, karet SIR 20, minyak dan lemak dari sayuran, karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat (pecah, setengah pecah, dan mentah), serta gaplek iris dan kering sebesar US$ 2.756 miliar. Hal ini disebabkan kelompok produk tersebut nilai ekspornya paling besar dibandingkan kelompok produk lainnya serta memiliki

kecenderungan peningkatan ekspor cukup signifikan untuk neraca perdagangan Indonesia. Produk pertanian utama impor Indonesia adalah dari kelompok subsektorhortikultura, seperti bawang putih dengan pangsa tertinggi (25,46 persen), disusul buah-buahan terutama buah apel, pir, dan jeruk yang tentu saja termasuk penyumbang devisa bagi pemerintah China. Komoditas lain yang diimpor Indonesia adalah bahan olahan dari karet, gula dan lain-lain. Namun, komoditas impor yang dominan adalah produk primer dan sebenarnya adalah juga komoditas yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia, kecuali barangkali bawang putih dan pir, di mana bawang putih hanya tumbuh sangat baik di daerah dengan elevasi tinggi dan kering.

26

3.2 Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa azaz kehati-hatian dalam memberikan rekomendasi komoditas yang akan diusulkan untuk

mendapatkan skema penurunan atau penghapusan tarif. Penentuan komoditas tanpa menganalisis secara terperinci kinerja ekspor negara pesaing baik lingkup ASEAN maupun kawasan komoditas lainnya tersebut diprakirakan baik dari akan sisi membatasi ruang ekspor maupun

pengembangan

pengembangan agroindustri komoditas terkait di dalam negeri. Oleh karena itu penelitian yang berkelanjutan tentang keragaan perdagangan bebas bilateral antara Indonesia dengan mitranya sangat diperlukan sehingga informasi yang telah diperoleh dan saran kebijakan, keputusan kebijakan atau posisi

perundingan dapat berjalan secara konsisten. Pemerintah Indonesia harus mengatur dan melindungi pasar dan produksi pangan dalam negeri dari serbuan barang impor akibat AC-FTA. Kebutuhan dalam negeri khususnya pangan seharusnya diproduksi petani kecil dan bukan menggantungkannya dari impor. Selain itu Poduksi pangan harus ditujukan untuk pemenuhan pasar dalam negeri dan bukan untuk eskpor, karena ekspor hanya akan menguntungkan perusahaan multinasional.

27

Daftar Pustaka

www.freeskripsi.com www.google.com www.scribd.com

28

You might also like