You are on page 1of 28

BAB 8 KEBIJAKSANAAN MONETER

8.0

Tujuan Bab Sangat penting untuk menjaga likuiditas perekonomian. Teori kuantitas, kaitan antara jumlah uang beredar dengan pendapatan nasional dan perputaran uang. Jenis-jenis uang yang beredar di masyarakat, M1, M2, uang kartal, uang giral, uang dekat (kuasi) serta perputarannya (velocity of circulation). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Tujuan kebijaksanaan moneter dengan target inflasi dan alat dari pada kebijaksanaan moneter. Operasi pasar terbuka yang ekspansi dan kontraksi serta alat kebijaksanaan yang dipakai oleh Bank Indonesia. Cara kerja kebijaksanaan moneter giro wajib minimum. Alat kebijaksanaan moneter yang tidak biasa dilakukan oleh Bank Indonesia dewasa ini. Sifat dari kebijaksanaan moneter. Kemelut perbankan setelah keluarnya Pakjan 1988 dan Pakto 88. Jumlah bank dewasa ini serta kemampuannya menyerap dana masyarakat dan menyalurkannya ke masyarakat. Nilai uang rupiah dan cara untuk mengukurnya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri (relatif terhadap uang asing). Pengelompokan indeks harga konsumen dan cara lain untuk mengukur inflasi. Kebijaksanaan devaluasi mata uang dalam negeri dan akibatnya. Uang dan Perekonomian

Setelah membaca bab ini Anda akan memahami: 8.1

Berbeda halnya dengan pada masa pertukaran barter, di mana belum dikenal mata uang, dewasa ini setiap negara mempunyai mata uangnya sendiri seperti misalnya Indonesia dengan rupiahnya, Amerika Serikat dengan uang dolarnya atau bergabung dengan negara lain seperti banyak negara-negara Eropa Barat dengan mata uang Euronya. Dalam perekonomian dengan memakai uang, banyak sedikitnya jumlah uang dalam peredaran menentukan lancar tidaknya aktivitas ekonomi. Kalau jumlah uang beredar terlalu sedikit, misalnya, aktivitas ekonomi akan dirasakan seret oleh masyarakat dan harga barang dan jasa secara umum akan mengalami penurunan (deflasi). Keadaan harga yang 227

terus menerus mengalami penurunan akan berujung pada depresi. Sebaliknya kalau jumlah uang yang beredar terlalu banyak, maka masyarakat merasakan bahwa aktivitas ekonomi berlebihan, dan dalam keadaan jumlah uang yang beredar dianggap terlalu banyak dan tidak diimbangi dengan aktivitas ekonomi riil, maka akan terjadi kenaikan harga-harga secara umum (inflasi). Uang yang beredar adalah likuiditas perekonomian. Menentukan likuiditas ekonomi yang tepat bukanlah hal yang mudah dan tidak ada rumus yang pasti untuk itu. Di dunia dewasa ini semua negara berusaha mengatur likuiditas ekonominya melalui berbagai kebijaksanaan nonmeter. Hal ini menunjukkan bahwa uang memegang peran yang sangat penting dalam satu perekonomian. Pandangan yang demikian ini adalah pandangan moneteris. Pandangan yang berlawanan dengan itu adalah pandangan yang mengatakan bahwa uang itu tidak lain dari pada hanya selubung dalam perekonomian. Yang penting adalah kegiatan ekonomi riil, bukan dalam arti moneternya. 8.1.1 Teori Kuantitas Hubungan antara jumlah uang yang beredar dengan kegiatan ekonomi sudah lama dikenalkan oleh para ahli dan dikenal sebagai teori Kuantitas seperti berikut: MV = Y di mana (1) M = jumlah uang yang ada dalam peredaran, V = jumlah berapa kali satu mata uang berpindah tangan dari seorang ke orang lain dalam setahun, dan Y = pendapatan nasional.

Pada awal perekonomian dengan sistem uang, rumus (1) di atas hanya merujuk pada jumlah uang kartal, yaitu jumlah uang emas dan perak yang ada dalam peredaran. Pada awal perekonomian memakai standar kertas, sebagian besar, kalau tidak boleh dikatakan seluruh uang yang beredar di masyarakat adalah uang kartal, yakni alat pembayaran yang syah di satu sistem perekonomian. Pada waktu itu rumus untuk teori kuantitas hanyalah M = Y. Pada saat itu jumlah uang giral sangat sedikit (dan dapat diabaikan) dibandingkan dengan jumlah uang kartal. Begitu sistem moneter satu negara menjadi lebih modern, uang yang beredar bertambah dengan uang giral (uang yang bisa diterima atau ditolak oleh masyarakat dan bukan sebagai alat pembayaran yang syah) yang dapat ditarik dengan memakai cek. Jumlah uang yang beredar di masyarakat terdiri dari uang kartal dan uang giral dan dikenal dengan istilah M1. Dewasa ini, pada sistem perekonomian modern, uang kuasi, yang sering juga disebut uang dekat (near Money) berkembang dengan pesat. Uang kuasi ini berupa tabungan, deposito, kartu kredit, dan ATM. Pada saat ini jumlah uang yang beredar dikenal dengan M2, yang merupakan M1 ditambah dengan uang kuasi. Jumlah uang beredar M1 dan M2 serta jumlah pendapatan nasional yang didekati dengan jumlah GDP (Gross Domestik Product) untuk tahun 19992007 ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 8.1 berikut menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi yang ditunjukkan oleh GDP total sejak 1999, yakni setelah krisis ekonomi pada tahun 1998, selalu mengalami kenaikan dengan pesat. Dalam kurun waktu sembilan tahun (1999-2007) GDP telah menjadi lebih dari tiga kali lipat. Kenaikan GDP ini dibarengi dengan kenaikan yang relatif sedikit lebih cepat pada jumlah M1 (uang kartal dan uang giral), sehingga hasil 228

bagi antara GDP dengan M1, yang tidak lain dari perpindahan uang M1 dari satu tangan ke tangan lain (V) sedikit mengalami penurunan dari 8,91 pada tahun 1999 menjadi 8,57 pada 2007. Tabel 8.1 GDP dan Jumlah Uang yang Beredar, 1999-2007, (Rp. miliar) Tahun GDP M1 M2 GDP/M1 GDP/M2

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1.109.979,50 1.389.769,90 1.646.322,00 1.821.833,40 2.013.674,60 2.295.826,20 2.774.281,00 3.339.216,80 3.949.321,40

124.633,0 162.186,0 177.731,0 191.939,0 223.799,0 253.818,0 281.905,0 361.073,0 460.842,0

646.205,0 747.028,0 844.053,0 883.908,0 955.692,0 1.033.527,0 1.203.215,0 1.382.074,0 1.643.203,0

8,91 8,57 9,26 9,49 9,00 9,05 9,81 9,25 8,57

1,72 1,86 1,95 2,06 2,10 2,22 2,31 2,42 2,40

Catatan: M1 = Uang Kartal ditambah Uang Giral M2 = M1 ditambah Uang Kuasi Sumber: GDP Badan Pusat Statistik, diolah Departemen Perdagangan, seperti pada www.departemen perdagangan. M1 dan M2 dari Statistik Ekonomi Keuangan, Bank Indonesia, seperti pada LPI BI 2007. Tabel 8.1 juga menunjukkan bahwa jumlah M2 jauh lebih besar dari jumlah M1. Ini berarti bahwa di Indonesia jumlah uang dekat jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah M1 ( uang kartal dan uang giral). Perkembangan M2 selama sembilan tahun (1999-2007) dari sekitar 650 triliun rupiah pada 1999 menjadi lebih dari seribu enam ratus triliun (atau sekitar 2,5 kali lipat dari jumlah pada tahun 1999) pada tahun 2007. Kalau GDP dibandingkan dengan M2 untuk menunjukkan V, maka kelihatan terjadi sedikit kenaikan dari 1,72 pada tahun 1999 dan telah menjadi 2,40 pada tahun 2007. Nilai V dengan menggunakan M1, yakni sekitar 9, sangat berbeda dengan nilai V dengan menggunakan M2, yakni sekitar 2. Oleh karena itu timbul pertanyaan mana di antara keduanya yang benar dan oleh karenanya diperlukan penelaahan yang lebih cermat. 8.1.2 Velocity of Circulation (V) Untuk menghitung V melalui rumus (1) di atas dengan memakai M2 berarti kita mengumpamakan bahwa semua jenis uang (kartal, giral, dan kuasi) mempunyai kecepatan perputaran yang sama. Pertama-tama marilah kita tinjau uang kuasi, di mana di atas telah dikatakan bahwa uang ini adalah uang dekat yang terdiri dari tabungan, deposito, kartu kredit dan ATM (kartu plastik Anjungan Tunai Mandiri). Kalau seorang ingin menggunakan uang tabungannya dalam transaksi ekonomi, maka ia harus menarik tabungannya menjadi uang kartal. Dalam hal ini, uang kuasinya diubah menjadi uang kartal, sehingga uang kartalnyalah yang mempunyai perpindahan tangan, sedangkan uang

229

kuasinya gugur (nilai Vnya satu). Namun uang kuasi dapat juga langsung dipergunakan dalam transaksi ekonomi tanpa mengubahnya menjadi uang kartal terlebih dahulu, yakni dengan memakai kartu kredit atau ATM dalam transaksi jual beli. Dalam hal ini jumlah uang kuasi adalah tetap sebesar jumlah tabungan, deposito berjangka, dan batas kredit yang diperkenankan dalam kartu kredit. Atau, dengan kata lain, nilai V untuk uang kuasi adalah satu (V=1) kali, meskipun seseorang berkali-kali memakai kartu kreditnya atau ATMnya dalam transaksi ekonomi. Seperti halnya pada uang kuasi yang mempunyai V =1, demikian juga keadaannya pada uang giral. Uang giral dipergunakan dalam proses jual beli dengan memakai cek atau bilyet giro. Setelah cek atau bilyet giro ini masuk dalam transaksi jual beli, kemudian cek atau bilyet giro itu di pindah bukukan sebagian atau seluruhnya dan sebagian lagi diubah menjadi uang tunai (uang kartal). Dengan ditariknya rekening nasabah dengan memakai cek atau bilyet giro bukan berarti bahwa jumlah uang yang ada dalam peredaran berubah sesuai dengan berapa kali nasabah menarik cek atau bilyet giro, melainkan jumlah uang giralnya tetap sebesar jumlah rekeningnya atau batas kredit yang diperkenankan oleh bank. Jadi dengan demikian nilai V untuk uang giral sama dengan nilai V untuk uang kuasi, yakni satu. Uang kartal terdiri dari uang logam (pecahan ratusan, lima ratusan, dan seribuan) dan uang kertas (pecahan seribuan, dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan, dua puluh ribuan, lima puluh ribuan, dan ratusan ribuan). Sudah tentu kecepatan perputaran satu mata uang logam dengan pecahan tertentu berbeda dengan uang logam/kertas dengan pecahan lainnya; ada yang hanya satu kali berpindah tangan dalam setahun dan ada, barangkali, sampai dua atau tiga puluh kali. Namun biasanya, jenis uang macam ini (kartal) dianggap mempunyai kecepatan perputaran yang sama. Dalam literatur uang kartal ini sering diberi notasi M0 (M nol), dan disebut sebagai based Money atau high powered Money. Kalau uang kartal ini kita tulis dengan M0 yang mempunyai perputaran sebesar V0, sedangkan uang giral diberi notasi Gr dengan kecepatan perputaran satu, dan uang kuasi ditulis Ku dengan percepatan perputaran sebesar satu, maka persamaan (1) di atas dapat ditulis: M0. V0 + GR. 1 + Ku. 1 = Y Dengan melakukan sedikit manipulasi kita peroleh: M0. V0 = (Y Gr Ku) dan V0 = (Y- Gr Ku)/M0 (4). Kalau pendapatan nasional didekati dengan Produk Domestik Bruto atas harga berlaku, maka persamaan (4) menjadi: V0 = (PDB Gr Ku)/M0 Dan kalau (PDB Gr Ku) ditulis dengan PDB* maka persamaan (5) menjadi: V0 = PDB*/M0 (6). Atau besar percepatan perputaran uang beredar di Indonesia, atau tepatnya uang kartal adalah seperti yang diberikan pada persamaan (6), dan kalau kita menggunakan data yang (5). (3) (2).

230

sesuai untuk keperluan itu untuk tahun 1999 sampai 2007, maka kita peroleh data seperti pada tabel berikut. Tabel 8.2: PDB pada Harga Berlaku, Uang Giral, Uang Kuasi, Uang Kartal serta nilai V di Indonesia, 1999-2007 (Rp. miliar)
Tahun PDB Uang Giral (Gr) Uang Kuasi (Ku) PDB* (PDB-GrKu) Uang Kartal (M0) V= (PDB*)/M0

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Sumber:

1.109.979,50 61.628,0 521.572,0 526.779,0 58.353.0 9,08 584.842,0 715.113,9 9,93 1.389.769,90 89.815,0 72.371.0 1.646.322,00 101.389,0 666.322,0 878.611,0 76.342.0 11,56 1.821.833,40 111.253,0 691.969,0 1.018.611,4 80.686.0 12,62 12,19 2.013.674,60 129.257,0 731.893,0 1.152.524,6 94.542.0 2.295.826,20 144.553,0 779.709,0 1.371564,2 109.265.0 12,55 15,16 2.774.281,00 157.589,0 732.364,0 1.884.308,0 124.316.0 15,18 3.339.216,80 210.064,0 837.068,0 2292084,8 151.009.0 14,75 3.949.321,40 277.423,0 966.454,0 2705444,4 183.419.0 GDP Badan Pusat Statistik, diolah Departemen Perdagangan, seperti pada www.departemen perdagangan. Uang Kartal, Giral, dan Kuasi dari Statistik Ekonomi Keuangan, Bank Indonesia, seperti pada LPI BI 2007.

Dari Tabel 8.2 ternyata bahwa besar percepatan perputaran uang beredar di Indonesia berkisar antara 10 dan 15, dan angka ini selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jadi dengan jumlah uang beredar (kartal, giral, dan kuasi) atau likuiditas perekonomian Indonesia, yang dibarengi dengan kenaikan percepatan perputaran uang yang beredar jumlah PDB pada harga berlaku selalu mengalami kenaikan. 8.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Beredar

Di muka telah dibicarakan mengenai likuiditas perekonomian Indonesia, lantas faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi likuiditas perekonomian tersebut. Atau dengan kata lain, faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi jumlah uang beredar. Dari laporan Bank Indonesia dapat diketahui bahwa faktor-faktor tersebut berasal baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Bertambahnya aktiva luar negeri yang dipegang oleh Bank Indonesia akan menambah jumlah uang beredar, sedangkan sebaliknya berkurangnya aktiva luar negeri yang dipegang oleh Bank Indonesia akan mengurangi jumlah uang beredar. Dari Tabel 8.3 di bawah ini ternyata bahwa aktiva luar negeri selalu mengalami peningkatan dari tahun 2002 sampai 2007, kecuali untuk tahun 2004. Faktor-faktor dalam negeri yang mempengaruhi jumlah uang beredar adalah tagihan kepada pemerintah dan tagihan kepada swasta. Dari kedua tagihan ini, tagihan kepada swasta baik yang kepada lembaga-lembaga pemerintah maupun perusahaan swasta, maka tagihan kepada swasta jauh lebih besar dari pada tagihan kepada pemerintah dan tagihan kepada lembaga pemerintah. Seperti halnya dengan aktiva dari luar negeri, tagihan baik kepada pemerintah maupun kepada swasta yang positif berarti jumlah uang beredar bertambah.

231

Lihat Tabel 8.3 untuk lebih rinci mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar di Indonesia. Tabel 8.3: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Beredar di Indonesia, 2002-2007 Faktor 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Aktiva Luar Negeri 16.721 21.124 -8.173 49.436 100.182 111.438 Tagihan kpd Pemerintah -19.355 -31.338 18.134 882 7.587 -9.010 Tagihan Kepada Swasta 60.143 77.532 148.976 123.039 98.228 203.925 -Lembaga Pemerintah 4.552 1.198 2.832 1.140 10.887 17.206 -Perusahaan swasta 55.591 76.334 146.144 121.899 87.341 186.719 -Perorangan Aktiva Lainnya, bersih -17.655 4.466 -81.974 -3.672 -15.334 -59.027 Sumber: BPS seperti dalam BI LPI 2007, Tabel 25. 8.2 Kebijaksanaan Moneter Yang dimaksud dengan kebijaksanaan moneter adalah setiap kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah atau oleh Bank Indonesia atau bersama-sama di dalam bidang keuangan atau bidang moneter degan harapan mempengaruhi sektor riil, khususnya menunjang pembangunan ekonomi. Oleh karena kebijaksanaan moneter dalam arti luas ini juga menyangkut kebijaksanaan dalam bidang keuangan negara (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan hal yang terakhir ini merupakan subjek pembicaraan tersendiri (yakni dibahas pada Bab 9), maka pembicaraan di sini difokuskan pada kebijaksanaan moneter dalam arti sempit, yakni yang menyangkut sistem perbankan saja. 8.2.1 Tujuan Kebijaksanaan Moneter

Tujuan kebijaksanaan moneter mestinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi. Tujuan akhir ini mungkin dapat dicapai dengan berbagai kebijaksanaan, baik di sektor moneter maupun kebijaksanaan di sektor riil. Kebijaksanaan di sektor moneter itu sendiri mungkin berupa mengendalikan jumlah uang yang beredar (likuiditas perekonomian), atau menjaga stabilitas nilai rupiah, menstabilkan tingkat bunga, melaksanakan kebijaksanaan untuk mengurangi atau menghapus pencucian uang (Money Laundering), laju pertumbuhan pendapatan nasional, stabilitas kurs valuta asing, dan sebagainya, di mana Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk menetapkan sasaran-sasaran moneter tersebut berdasarkan undangundang. Tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah ini tercantum dalam UU tentang Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijaksanaan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utamanya (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijaksanaan nilai tukar untuk mengurangi

232

perubahan nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu. Dalam kerangka inflasi sebagai sasaran utamanya, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijaksanaan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijaksanaan moneter dilakukan secara melihat ke depan (forward looking), artinya perubahan kebijaksanaan moneter dilakukan melalui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijaksanaan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, kebijaksanaan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi. 8.2.2 Alat Kebijaksanaan Moneter Secara operasional, pengendalian sasaran kebijaksanaan moneter dapat menggunakan instrumen-instrumen berikut: a. b. c. d. e. operasi pasar terbuka di pasar uang rupiah maupun valuta asing, penetapan cadangan wajib minimum, penetapan tingkat diskonto, pengaturan kredit atau pembiayaan, kebijaksanaan lain yang dianggap perlu.

Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah (prinsip bagi hasil). a. Operasi Pasar Terbuka (OPT). Alat kebijaksanaan ini juga dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Open Market Operation, di mana Bank Indonesia bertindak sebagai pembeli atau penjual di pasar surat berharga atau di pasar devisa. Instrumen yang digunakan dalam OPT meliputi : Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan SBI Syariah (SBIS), Surat-surat berharga, Penempatan berjangka (term deposit) oleh Bank dan/atau pihak lain di BI, dan Valuta asing. Kalau pada satu ketika Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan terjadi kelebihan likuiditas perekonomian, yang salah satu indikatornya adalah tingkat bunga di pasar uang antar bank (PUAB) turun dengan drastis, maka Bank Indonesia akan melaksanakan operasi pasar terbuka kontraksi, yakni menyerap likuiditas dari bank dan pihak lain (broker di bursa surat berharga) yang mengalami kelebihan likuiditas. Kebijaksanaan yang diambil dalam OPT kontraksi ini adalah: a. Menerbitkan dan kemudian menjual SBI/SBIS kepada peserta bursa (bank umum atau broker) sehingga likuiditas yang berlebihan terserap ke Bank Indonesia. Kegiatan ini secara rutin dilaksanakan Mingguan, di mana jangka waktu SBI bervariasi dari 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan maksimum 12 bulan, sedangkan untuk SBI Syariah hanya dengan jangka waktu 1 bulan. Baik SBI maupun SBIS mempunyai nominal Rp100 juta dengan jumlah nominal minimum yang dikeluarkan oleh BI sebesar Rp1.000 juta (atau 10 lembar SBI/SBIS). Tingkat

233

bunganya sesuai dengan jangka waktunya dan bersifat wajar (fair) sesuai dengan harga pasar yang ditentukan melalui tender yang kompetitif untuk SBI dan non kompetitif untuk SBIS. b. Fine tune kontraksi, yakni kegiatan menarik likuiditas yang berlebihan di bank umum atau masyarakat namun dilaksanakan harian dan tidak reguler dengan jangka waktu bervariasi dari 1 hari sampai 3 bulan sesuai dengan keadaan kelebihan dana yang dirasakan oleh peserta bursa, nilai nominal minimum adalah Rp100 juta dan maksimum yang disimpan di BI Rp1.000 juta. Tingkat bunganya bervariasi sesuai dengan jangka waktunya dan bersifat wajar (fair) sesuai dengan harga pasar yang ditentukan melalui mekanisme tender yang kompetitif. c. Menerbitkan dan menjual Surat Utang Negara (SUN) atau reverse repo SUN. Kegiatan ini dilaksanakan secara reguler mingguan, jangka waktu utang negara adalah bervariasi sampai 12 bulan dengan nominal Rp100 juta dan nominal minimum yang dikeluarkan adalah Rp1.000 juta. Tingkat bunganya sesuai dengan jangka waktunya dan bersifat wajar (fair) sesuai dengan harga pasar yang ditentukan melalui tender yang kompetitif. d. Sterilisasi valuta asing dengan membeli USD dalam rupiah di pasar spot USD dalam rupiah ataupun melakukan swap beli di pasar berjangka valuta asing (USD dengan rupiah). Sebaliknya kalau Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan terjadi kekurangan likuiditas perekonomian, yang salah satu indikatornya adalah tingkat bunga di pasar uang antar bank (PUAB) naik dengan drastis, maka Bank Indonesia akan melaksanakan operasi pasar terbuka ekspansi, yakni memompakan likuiditas kepada bank dan pihak lain (broker di bursa surat berharga) yang mengalami kekurangan likuiditas. b. Penetapan cadangan wajib minimum. Instrumen lain yang dapat digunakan untuk mempengaruhi likuiditas di pasar adalah melalui penetapan cadangan wajib minimum dalam bentuk giro sehingga dikenal juga dengan nama Giro Wajib Minimum (GWM), yang tidak lain dari pada simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia. Cara kerja dari alat kebijaksanaan moneter ini adalah sebagai berikut: apabila Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan terjadi kekurangan likuiditas perekonomian, yang salah satu indikatornya adalah tingkat bunga di pasar uang antar bank (PUAB) naik dengan drastis, maka Bank Indonesia akan menurunkan GWM. Dengan turunnya GWM maka bank umum mampu memberikan kredit lebih besar atau likuiditas perekonomian akan meningkat. Sebaliknya apabila Bank Indonesia atau pemerintah memperkirakan akan terjadi kelebihan likuiditas perekonomian, maka bank Indonesia akan meningkatkan GWM sehingga bank-bank harus menambah gironya dan dengan demikian kelebihan likuiditasnya terserap. GWM diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/15/PBI/2005 yang menggantikan Peraturan Bank Indonesia No. 6/15/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing. Semua bank harus mempunyai GWM dalam rupiah sedangkan bank devisa selain harus mempunyai GWM dalam rupiah juga harus mempunyai GWM dalam valuta asing. Besar GWM dalam rupiah ditetapkan 5 persen dari DPK (dana pihak ketiga) dalam rupiah dan hanya 3 persen dari DPK dalam 234

valuta asing untuk GWM valuta asing.

Di samping itu bank wajib memelihara

tambahan GWM dalam rupiah yang ditetapkan berdasarkan besarnya DPK dalam rupiah dan LDR (loan to deposit ratio). Kalau satu bank memiliki DPK sampai satu
triliun rupiah maka tambahan GWM adalah 0 persen dari DPK. Sedangkan kalau satu bank memiliki DPK dari 1 sampai 10 triliun rupiah, dari 10 sampai 50 triliun rupiah, atau di atas 50 triliun rupiah, maka tambahan GWM berturut-turut sebesar satu, dua, atau tiga persen dari DPK.

Di samping itu bank juga mempunyai kewajiban memelihara tambahan GWM dalam rupiah berdasarkan besarnya LDR. Yang dimaksud dengan LDR adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada Bank lain, terhadap dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk antar Bank. Jika LDR satu bank adalah: di atas 90 persen (tambahan GWM adalah 0 persen dari DPK), dan selanjutnya berturut-turut untuk LDR 75 90 % (tambahannya 1%), untuk LDR 60 75% (tambahannya 2 %), untuk LDR 50-60 % (tambahannya 3 %), untuk LDR 40-50% (tambahannya 4 %), dan untuk LDR di bawah 40 % (tambahannya 5 % dari dana pihak ke tiga). Persentase GWM dan tambahannya dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia.
c. Politik Diskonto. Di samping kebijaksanaan pasar terbuka dan GWM, dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, Bank Indonesia juga menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian suku bunga (target suku bunga). Suku bunga, yang dikenal dengan istilah BI Rate, ditetapkan melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia setiap bulan. Dalam tataran operasional, BI rate tercermin dari pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) overnight (O/N). Pergerakan ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. PUAB atau Pasar Uang Antar Bank adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu bank dengan bank lainnya. Suku bunga PUAB merupakan harga yang terbentuk dari kesepakatan pihak yang meminjam dan meminjamkan dana. Kegiatan di PUAB dilakukan melalui mekanisme kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana yang dilakukan tidak melalui lantai bursa dan dikenal dengan istilah over the counter (OTC). Jangka waktu PUAB yaitu antara satu hari kerja (overnight) sampai dengan satu tahun. Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan. Agar pergerakan suku bunga PUAB O/N tidak terlalu melebar/jauh dari BI Rate, Bank Indonesia selalu berusaha untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan likuiditas perbankan secara seimbang sehingga terbentuk suku bunga yang wajar dan stabil. d. Pengaturan kredit atau pembiayaan. Alat kebijaksanaan yang juga dapat dilaksanakan oleh Bank Indonesia adalah pengaturan kredit. Kredit adalah aktivitas utama dari lembaga keuangan bank, sehingga manajemen kredit merupakan hal yang 235

sangat penting. Tujuan dari pengaturan kredit adalah untuk tindakan berhati-hati (prudent banking), menghindari penyalahgunaan kredit dengan tujuan akhir meminimumkan kredit macet. Misalnya, kredit atau bantuan likuiditas Bank Indonesia yang dikenal dengan BLBI dengan bunga yang rendah (karena bersubsidi) diatur sedemikian rupa sehingga hanya sebagian tertentu saja yang boleh disalurkan kepada anak perusahaan dari bank penerima. Kesulitan yang bagaimana yang dihadapi oleh bank sehingga dia berhak mendapat bantuan kredit dari Bank Indonesia. Hal-hal yang demikian ini dan masalah manajemen kredit sehari-hari harus diatur dengan baik sehingga sistem moneter dapat berjalan dengan baik dan tujuan untuk menstabilkan nilai uang dapat dicapai. e. Kebijaksanaan lain. Di samping alat kebijaksanaan di atas masih ada lagi alat kebijaksanaan yang dapat dan pernah dilaksanakan oleh Indonesia. Alat kebijaksanaan tersebut antara lain: Bujukan moral (moral suasion). Alat kebijaksanaan ini sangat biasa ditemui di literatur ekonomi uang dan bank atau ekonomi moneter di dunia Barat, dan malah S. Grenville, dalam tulisannya yang berjudul Kebijaksanaan moneter dan sektor keuangan formal dalam buku Ekonomi Orde Baru oleh A. Booth dan P.McCawley (eds) mengatakan bahwa, karena adanya hubungan pribadi dan saling kenal antar para manajer bank (terutama antara Bank Indonesia dengan bank-bank pemerintah lainnya) dan dengan para nasabah besar, bujukan moral dari Bank Indonesia merupakan alat kebijaksanaan moneter yang efektif pada waktu itu. Dewasa ini pun masih terdapat hubungan informal yang baik antara Bank Indonesia dengan manajer bank dan pelanggan besar, sehingga alat kebijaksanaan moneter bujukan moral masih bisa efektif dan dilaksanakan di samping saluran-saluran formal. Sanering. Ini adalah kebijaksanaan moneter yang dilakukan pada zaman pemerintahan Sukarno, sekitar tahun 1950. Caranya adalah dengan menggunting uang kertas yang beredar menjadi dua bagian. Satu bagian atau setengah dari nilai nominal uang itu diganti dengan uang kertas baru, sedangkan setengah yang lainnya diganti dengan obligasi negara (pinjaman pemerintah jangka panjang dengan bunga tetap). Pada masa itu bursa surat-surat berharga (efek) belum maju seperti sekarang. Kalau tindakan tersebut di ambil sekarang ini, barangkali pemerintah tinggal mengeluarkan obligasi negara, kemudian menjualnya di bursa, sehingga kebijaksanaan tersebut merupakan kebijaksanaan yang biasa saja. Pergantian uang. Kebijaksanaan ini adalah mengganti uang lama dengan uang baru dengan perbandingan uang lama dengan nilai Rp1.000,- diganti dengan uang baru dengan nominal satu rupiah. Ini dilaksanakan pada akhir pemerintahan Sukarno atau awal pemerintahan Suharto. Pada waktu itu, masyarakat yang mempunyai uang kertas pecahan sepuluh ribuan merasa bingung, dan bersedia melepasnya seberapa pun mendapat barang atau jasa sebagai tukarannya. Akibat dari kebijaksanaan ini bukannya inflasi berkurang, malah bertambah cepat.

236

Devaluasi. Istilah devaluasi berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah untuk menurunkan nilai uang dalam negeri (rupiah) terhadap nilai uang luar negeri. Indonesia telah melaksanakan kebijaksanaan devaluasi berkali-kali, khususnya pada zaman pemerintahan Sukarno dan Suharto, di mana kurs devisa dipertahankan tetap (harga resmi), sedangkan di pasar kurs tersebut telah berubah. Misalnya, sampai pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah telah mempertahankan harga dolar AS sebesar Rp11,40 dari sejak Februari 1952. Namun di pasar, harga dolar Amerika Serikat telah mengalami kenaikan. Akhirnya, baru pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan bahwa harga resmi dolar AS sejak itu menjadi Rp45,- Kebijaksanaan pemerintah menaikkan harga dolar AS pada 25 Agustus 1959 menjadi Rp45,-- itu dikatakan kebijaksanaan devaluasi. Contoh lain, misalnya pada masa pemerintahan Suharto, kurs dolar AS telah dipertahankan sejak 23 Agustus 1971 sebesar Rp415. Kemudian pada tanggal 15 November 1978 pemerintah mengambil kebijaksanaan devaluasi dengan menjadikan kurs dolar AS = Rp625. Devaluasi tidak perlu lagi dilaksanakan sejak Oktober 1997, karena rupiah dibiarkan mengambang bebas (free floating) sesuai pasar. 8.2.3 Sifat Kebijaksanaan Moneter dan Hasilnya Bekerjanya transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Tenggang waktu masing-masing jalur berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kebijaksanaan moneter yang kurang kuat memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kebijaksanaan yang kuat. Misalnya penurunan tingkat bunga yang tidak banyak akan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan penurunan tingkat bunga yang besar. Demikian juga misalnya kenaikan bunga yang hanya 1 persen setahun, akan memakan waktu yang jauh lebih lama dibandingkan kenaikan tingkat bunga sebesar 80 persen setahun seperti pada akhir pemerintahan Sukarno, atau sebesar 60 persen setahun pada akhir pemerintahan Suharto. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan transmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respons perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspons oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter. Kesimpulannya adalah bahwa kebijaksanaan moneter yang kurang kuat mungkin kurang atau tidak efektif sedangkan kebijaksanaan moneter yang kuat sering bersifat mala petaka bagi perekonomian. Oleh karena itu kebijaksanaan moneter harus bersifat sedang dan sesuai dengan kondisi perekonomian. Dari berbagai kebijaksanaan moneter yang disebutkan di atas, ada yang dilaksanakan reguler mingguan, harian, dan ada juga yang tidak reguler, hasil yang diperoleh mengenai pengumpulan dana masyarakat berupa giro (rupiah dan valuta asing), deposito (rupiah dan valuta asing) dan tabungan adalah seperti pada Tabel 8.4 berikut.

237

Tabel 8.4: Penghimpunan Dana oleh Bank Umum1) (miliar rupiah) Giro Deposito Tahun Dalam Dalam Sub Dalam Dalam Sub Rupiah Valas Total Rupiah2) Valas Total 2002 130.877 73.189 204.067 365.771 81.710 447.480 2003 155.898 68.861 224.759 356.287 76.840 433.127 2004 171.661 75.482 247.143 352.723 68.567 421.290 2005 194.533 88.122 282.655 456.739 112.935 569.674 2006 251.219 88.568 339.787 511.356 113.234 624.590 2007 311.037 96.247 407.284 543.285 138.245 681.530 1) Termasuk dana milik pemerintah dan bukan penduduk 2) Termasuk sertifikat deposito. Sumber: BI LPI, 2007 Tabel 32 (diolah).

Tabu Jumlah Ngan 193.468 845.015 244.440 902.326 296.647 965.080 281.757 1.134.086 334.380 1.298.757 439.371 1.528.185

Tabel 8.4 menunjukkan bahwa dana masyarakat yang masuk perbankan selalu mengalami kenaikan dari sekitar 850 triliun rupiah pada tahun 2002 menjadi lebih dari 1500 triliun rupiah pada tahun 2007, atau hampir dua kali lipat dalam periode enam tahun. Perkembangan giro dalam valuta asing jauh lebih lamban dibandingkan dengan perkembangan deposito dalam valuta

Tabel 8.5: Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 1) miliar rupiah Kegunaan + sektor 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Modal Kerja 282.486 343.626 436.684 557.207 638.264 811.347 Pertanian 10.336 11.703 18.889 21.014 25.804 31.924 Pertambangan 2.497 2.951 3.575 4.239 8.503 14.693 Perindustrian 89.555 92.045 106.948 130.374 141.670 159.118 Perdagangan 55.804 70.147 91.548 112.072 137.103 185.623 Jasa-jasa 35.307 54.718 64.777 83.120 99.414 138.041 Lain-lain 88.98 112.062 150.947 206.388 225.770 281.948 Kredit Investasi 82.924 94.316 116.864 132.463 148.872 183.764 Pertanian 11.996 12.604 13.487 15.664 19.199 23.982 Pertambangan 3.598 2.110 4.155 3.635 5.393 10.647 Perindustrian 31.480 31.080 36.655 39.304 40.763 44.690 Perdagangan 10.174 14.110 19.486 22.036 25.293 30.046 Jasa-jasa 25.676 34.412 43.081 51.824 58.224 74.399 Lain-lain M.Kerja+Investasi 365.410 437.942 553.548 689.670 787.136 995.111 Pertanian 22.332 24.307 32.376 36.678 45.003 55.906 Pertambangan 6.095 5.061 7.730 7.874 13.896 25.340 Perindustrian 121.035 123.125 143.603 169.678 182.433 203.808 Perdagangan 65.978 84.257 111.035 134.108 162.396 215.669 Jasa-jasa 60.983 89.130 107.858 134.944 157.638 212.440 Lain-lain 88.987 112.062 150.947 206.388 225.770 281.948 1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek Sumber: BI LPI 207 Tabel 40. 238

asing, sedangkan tidak ada tabungan dalam valuta asing. Di antara ketiga komponen dana yang masuk ke perbankan tersebut tabungan dan giro hampir sama dalam jumlah dan perkembangannya, sedangkan deposito adalah yang terbesar dan namun berkembang dengan kecepatan yang lebih lamban. Dana yang masuk ke sistem perbankan bukanlah untuk diendapkan, melainkan untuk disalurkan ke berbagai sektor ekonomi baik berupa kredit modal kerja maupun berupa kredit investasi atau keduanya seperti terlihat pada Tabel 8.5.

Tabel 8.5 menunjukkan bahwa baik kredit untuk investasi maupun untuk modal kerja keduanya mengalami kenaikan, di mana kredit untuk modal kerja meningkat dari sekitar 280 triliun rupiah (2002) menjadi lebih dari 800 triliun rupiah (2007) atau telah meningkat hampir tiga kali lipat dalam enam tahun, sedangkan kredit untuk investasi meningkat dari sedikit di tas 82 triliun rupiah (2002) menjadi sekitar 180 triliun rupiah (2007), atau hanya meningkat 2,2 kali dalam enam tahun. Secara keseluruhan kredit modal kerja meliputi sekitar 80 persen dari jumlah kredit, sedangkan sisanya hanya 20 persen untuk investasi. Sektor perindustrian merupakan sektor yang paling besar menyerap kredit, yakni sekitar 23 persen dari kredit modal kerja dan sekitar 30 persen untuk kredit investasi. Kalau kita membandingkan Tabel 8.5 dengan 8.4, maka tampak bahwa tidak semua dana pihak ketiga yang masuk bank umum (giro, deposito, dan tabungan) diserap kembali oleh masyarakat untuk pembiayaan berbagai sektor ekonomi berupa kredit modal kerja dan kredit investasi. Selama periode enam tahun dana masyarakat yang masuk ke bank-bank umum adalah sejumlah 6.673 triliun rupiah dan yang diserap kembali oleh masyarakat hanyalah sebesar 3.829 triliun rupiah, atau dengan kata lain LDR perbankan umum dalam periode tersebut hanyalah sekitar 57 persen. Dari kalkulasi yang bersifat makro ini dengan periode waktu cukup lama dapat kiranya disimpulkan bahwa LDR seluruh bank umum sebesar 57 persen ini tidaklah begitu menggembirakan. Kiranya terlalu banyak dana masyarakat yang mengendap di bank-bank umum, perlu lebih digiatkan perekonomian, misalnya dengan menurunkan tingkat bunga sehingga perekonomian secara keseluruhan lebih bergairah menyerap dana masyarakat yang masuk ke sistem perbankan. 8.3 Kelembagaan Kebijaksanaan Moneter

Sektor perbankan atau sektor keuangan formal di Indonesia dalam tahun-tahun pertama kemerdekaan terdiri dari sebuah bank sentral (yang juga beroperasi sebagai bank umum), 5 bank umum yang besar (4 di antaranya bank-bank dagang warisan jaman penjajahan, dan yang kemudian dinasionalisasi dalam tahun 1950an), sebuah bank pembangunan (investment bank ) milik negara, sekitar 100 bank-bank swasta domestik kecil dan 4 buah bank asing. Orientasi perbankan pada waktu itu terutama tertuju pada pembiayaan dan kelancaran perdagangan internasional, di samping terbuka kesempatan untuk memperluas ruang lingkup kegiatan perbankan. Misalnya pada tahun 1952, telah ada perdagangan saham-saham luar negeri, meskipun dalam jumlah yang kecil, dan selama tahun 1950an pemerintah mengeluarkan obligasi-obligasi. Namun, lembaga-lembaga keuangan hanya dapat berkembang dengan baik dalam keadaan harga-harga yang relatif stabil. Dengan terjerembabnya Indonesia ke dalam keadaan hiperinflasi, lembaga-lembaga keuangan

239

yang ada mengalami masa surut. Menjelang tahun 1965, bank-bank umum tidak dapat lagi menjalankan fungsi-fungsinya yang normal: inflasi telah merongrong kemampuan bank umum menarik dana dari masyarakat, dan akibatnya kegiatan perbankan di bidang peminjaman menjadi tidak berarti. Seluruh sektor perbankan hanya berperan sebagai saluran pembiayaan defisit APBN. Banyak bank-bank umum swasta tutup, dan hanya bank-bank milik pemerintah yang masih dapat bertahan karena telah berubah fungsinya menjadi salah satu saluran penciptaan uang; mereka sesungguhnya hanya menjadi semacam cabang dari bank sentral dan diawasi langsung oleh penguasa moneter. Pada tahun 1964 semua bank asing ditutup. Struktur perbankan yang demikian inilah yang diwarisi oleh Pemerintah Orde Baru pada tahun 1965. Menyadari adanya kegagalan kebijaksanaan yang mengandalkan campur tangan langsung pemerintah di masa lalu, Pemerintah Orde Baru berusaha untuk mengurangi peran negara di dalam kehidupan ekonomi, dengan lebih mengandalkan kekuatan-kekuatan pasar dan memberi kesempatan kepada sektor swasta untuk mengambil peranan lebih besar di dalam perekonomian. Pada jaman itu konglomerasi bank milik negara yang merupakan peleburan bank-bank pemerintah ke dalam satu unit administrasi dihapuskan, dan satu tingkat kebebasan bertindak tertentu dikembangkan kepada masing-masing bank pemerintah. Pemberian izin usaha bank baru diberhentikan sejak tahun 1971. Bank-bank pemerintah ini merupakan unsur pokok dari sistem perbankan di Indonesia pada saat itu. Dengan sekitar 600 cabangnya di seluruh Indonesia, bank-bank ini merupakan satu jaringan luas yang diharapkan dapat menjadi wadah perkembangan sistem keuangan selanjutnya. Bank-bank ini mempunyai hubungan khusus dengan bank sentral sehingga simpanan-simpanan yang ada pada mereka terjamin, dan kadang-kadang dengan hubungan ini mereka dapat menawarkan bunga deposito yang cukup tinggi karena memperoleh subsidi. Selain itu, mereka dapat memperoleh dana murah untuk disalurkan ke bidang-bidang lain yang menguntungkan mereka. Sebagai imbalan dari fasilitas-fasilitas khusus ini bank-bank pemerintah diwajibkan memberi pinjaman kepada proyek-proyek khusus dan sektor-sektor yang diprioritaskan oleh pemerintah, menyediakan fasilitas-fasilitas perbankan sampai ke tingkat desa, dan menyerahkan kepada pemerintah hak untuk menentukan tingkat bunga, baik untuk simpanan/deposito yang mereka terima maupun untuk pinjaman-pinjaman yang mereka berikan. Dengan makin berkembangnya bank-bank umum, Bank Indonesia (yang sebelumnya bertindak sebagai bank sentral dan sekaligus sebagai bank umum) menghentikan fungsi bank umumnya. Perubahan ini secara resmi dicantumkan dalam Undang-undang Bank Sentral tahun 1968. Di samping kebijaksanaan baru diberlakukan terhadap bank-bank pemerintah tersebut, bank-bank umum milik swasta dan cabang-cabang bank asing juga menikmati iklim usaha yang lebih baik setelah 1968. Banyak bank swasta tidak berfungsi sebagai bank dalam arti yang sesungguhnya dan hanya merupakan alat perusahaan swasta untuk memperlancar kegiatan keuangannya. Namun sejak awal 1970an, bank-bank ini muncul sebagai bank dalam arti sesungguhnya, dan menerima simpanan dari perusahaanperusahaan nasabah mereka dan juga memberikan kredit kepada mereka. Setelah 1972 bank-bank asing telah membuka kantor perwakilan dan kantor-kantor bank asing ini juga membawa pengaruh-pengaruh positif terhadap perkembangan sektor keuangan di Indonesia, dengan makin eratnya hubungan Indonesia pusat-pusat keuangan 240

internasional, para peminjam kredit yang bonafide (misalnya perusahaan negara dan perusahaan patungan) mulai menyadari bahwa mereka dapat memperoleh dana yang lebih murah di luar negeri. Perkembangan kelembagaan ini telah memperlancar aliran modal dalam jumlah yang besar ke dalam negeri. Mengingat derasnya aliran modal dalam jumlah yang besar ke dalam negeri di satu pihak, dan di lain pihak kemampuan sistem perbankan yang dianggap kurang memadai dalam menyerap dana masyarakat, maka baru pada tahun 1983 pemerintah mengeluarkan deregulasi perbankan untuk pertama kalinya, yang dikenal dengan Paket Juni (Pakjun) 1983. Paket ini memberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Dalam paket ini juga diperkenalkan adanya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Pakjun tersebut berhasil "menarik" dana masyarakat ke bank secara drastis, dan diharapkan bisa merangsang pertumbuhan perbankan. Lima tahun setelah Pakjun itu, pemerintah mengeluarkan Paket 27 Oktober 1988 yang dikenal dengan Pakto 88. Paket ini adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 miliar, siapa saja bisa mendirikan bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diizinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diizinkan. Reserve requirement bank lokal diturunkan dari 15% menjadi 2%. Pakto 88 dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional. Jumlah bank tumbuh dari 111 bank pada Maret 1989 menjadi 176 bank pada Maret 1991. Pada tahun 1992 tercatat jumlah bank 17 ribu buah, 8400 di antaranya adalah BPR (bank perkreditan rakyat). Kelihatannya, banyak dana-dana luar negeri yang masuk lewat pasar modal, yang dipakai untuk mendirikan bank di Indonesia. Akibat sampingannya adalah menjamurnya bank-bank gelap. Agaknya gairah memanfaatkan pertumbuhan bank itu membuka "mata nakal" para spekulan yang tahu benar keinginan nasabah untuk mendapat bunga tabungan atau deposito setinggi-tingginya. Pemerintah juga telah mengizinkan dibukanya lembaga-lembaga keuangan non bank. Lembaga-lembaga ini dimaksudkan sebagai alat untuk memobilisasi dana-dana jangka panjang (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri) untuk membiayai investasi dari perusahaan-perusahaan. Lembaga-lembaga ini biasanya didirikan dalam bentuk kongsi antara mereka yang mempunyai kepentingan perbankan di dalam negeri dan di luar negeri. Dalam praktek, lembaga-lembaga ini berfungsi seperti bank meskipun mereka tidak menerima giro dan cenderung untuk mempunyai nasabah perusahaan-perusahaan besar. Bursa efek dihidupkan kembali dan disempurnakan. Pertumbuhan lembaga sektor moneter, khususnya bank baru, terus berlanjut dan tampaknya tidak terkendali. Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan juga semakin kompetitif. Kebijaksanaan yang terlalu bebas tersebut menyebabkan banyak pihak yang dirugikan karena tidak profesionalnya bank (terutama dalam memberikan pinjaman kredit). Pertimbangan pemerintah adalah tahun 1988 dijadikan tahun untuk ekspansi dan tahun 1991 1994 untuk menguatkan perbankan Indonesia.

241

Pada tahun 1991 pemerintah meluncurkan paket kebijaksanaan yang mengatur syarat bahwa modal sendiri dari sebuah bank seharusnya sebesar 8 % dari seluruh aset, karena diyakini bahwa pada saat itu banyak bank yang mempunyai kecukupan modal (dikenal dengan istilah capital adequacy ratio atau CAR, perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sangat rendah, di bawah 5 persen malah ada yang negatif. Aturan ini membuat bank-bank memperkuat modalnya sendiri. Kemudian Maret 1992 pemerintah mengeluarkan undang-undang perbankan No. 7 yang mengatur berbagai syarat untuk mendirikan bank baru, seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja dan lain-lainnya. Dan pada tahun itu juga pemerintah menaikkan modal minimum pendirian bank, dari Rp 10 miliar menjadi Rp 50 miliar. Meskipun syarat permodalan dan lainnya dalam mendirikan bank diperketat, pertumbuhan bank baru masih berlanjut hingga tahun 1994. Banyak bank dikuasai para konglomerat, yang ternyata menyuburkan praktek pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena syaratnya yang dianggap masih terlalu lunak. Meledaknya jumlah bank itu diikuti dengan kompetisi sengit dalam perekrutan tenaga kerja, terjadi heboh pembajakan karyawan bank. Kompetisi sengit juga terjadi dalam hal mobilisasi dana masyarakat (giro, deposito dan tabungan) dan usaha untuk mengucurkan kredit dan pinjaman. Yang terjadi adalah tindakan hati hati dan keamanan dalam menyalurkan kredit menjadi terabaikan, tingkat bunga membubung tinggi, yang akhirnya diikuti oleh kredit macet yang menggunung. Banyak bank mengalami kesulitan likuiditas dan para konglomerat pemilik bank terjun ke dunia politik untuk memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber daya ekonomi, yang berujung pada skandal Likuiditas Bank Indonesia (LBI), maksudnya tidak sedikit bantuan likuiditas yang disalahgunakan dan diselewengkan. Pembenahan dan penguatan sistem perbankan masih terus dijalankan, misalnya melonggarkan aturan soal CAR (yang membolehkan seluruh laba tahun sebelumnya dimasukkan ke dalam komponen modal sendiri), pemberian kredit bagi grup usahanya (diturunkan dari 50 persen menjadi 20 persen dari total kredit yang disalurkan), pengaturan kredit usaha kecil, cadangan wajib minimum bagi perbankan (diubah dari 3 persen menjadi 5 persen) dan lain-lain. Pada bulan Juli 1997 ditentukan pembatasan pemberian kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembang properti dan kebijaksanaan penundaan terhadap mega proyek, karena banyaknya kredit macet di bidang tersebut. Kemelut perbankan ini akhirnya berujung pada pengumuman pemerintah pada 1 November 1997 untuk melikuidasi 16 bank secara serentak dan 22 April 1998 mengumumkan 54 bank dimasukkan ke dalam program penyehatan di bawah BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Sejumlah bank lain akan melakukan merger, termasuk bank milik pemerintah. Krisis perbankan yang terjadi di Indonesia tergolong yang paling parah dibandingkan yang terjadi di negara lain, Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand. Kemelut perbankan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin pun tidak separah yang di Indonesia. Babak berikutnya secara alamiah adalah bahwa jumlah bank kian menyusut. Lalu muncul sosok bank-bank besar yang jumlahnya relatif sedikit, jumlah bank swasta nasional terpangkas dari 160 buah sebelum krisis menjadi hanya 81 buah per Juni 2000. Penguatan dan pembenahan perbankan tidak berhenti di sini, melainkan baru membuka lembaran

242

baru menuju sistem perbankan (keuangan) yang sehat. Banyak peraturan Bank Indonesia yang telah dikeluarkan, misalnya saja tahun 2005 dikeluarkan peraturan Bank Indonesia mengenai perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing. Perkembangan jumlah bank dari 2002 sampai 2007 disajikan pada Tabel 8.6. Dari tabel tersebut ternyata bahwa dalam kurun waktu enam tahun (2002-2007) jumlah bank mengalami penurunan dari 302 buah (2002) menjadi hanya 260 buah (2007), yang berarti ada penurunan sekitar 14 persen. Bank yang mengalami penurunan dalam jumlah adalah bank umum (-21 buah), bank umum swasta nasional (BUSN) devisa (-3 buah) dan non devisa (- 7 buah), dan bank campuran (- 12 buah), sedangkan jumlah bank persero tetap (5 buah) dan BPD tetap 26 buah. Satu-satunya bank yang mengalami peningkatan jumlah adalah bank asing, dari 10 buah (2002) menjadi 11 buah (2007). Sedangkan kalau yang dilihat dari jumlah kantor bank, tampaknya semua jenis bank melakukan penambahan jumlah kantornya, sehingga secara keseluruhan jumlah kantor bank meningkat dari sekitar 13 ribu (2002) menjadi lebih dari 19 ribu (2007) atau sekitar 50 persen dalam kurun waktu enam tahun. Melihat angkaangka ini, mungkin secara umum dapat dikatakan bahwa sistem perbankan di Indonesia belum begitu sehat, masih terdapat terlalu banyak bank sebagai akibat dari Pakto 88, masih akan terjadi pengurangan jumlah bank. Hal ini juga ditunjukkan oleh dana masyarakat yang masuk ke sistem perbankan yang terlalu banyak dibandingkan dengan kemampuan menyalurkannya, sehingga LDR bank secara keseluruhan hanya mencapai 57 persen, seperti ditunjukkan pada seksi sebelumnya. Tabel 8.6: Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank*, 2000-2007 2004 2005 Rincian 2000 2001 2002 2003 Bank Umum Jumlah Bank 151 145 141 138 133 131 Jumlah kantor 6510 6765 7001 7730 7939 8238 Bank Persero Jumlah Bank 5 5 5 5 5 5 Jumlah Kantor 1736 1807 1885 2072 2112 2171 BPD Jumlah bank 26 26 26 26 26 26 Jumlah Kantor 826 857 909 1003 1064 1107 BUSN Devisa Jumlah bank 38 38 36 36 34 34 Jumlah Kantor 3302 3432 3565 3829 3947 4113 BUSN Non Devisa Jumlah Bank 43 42 40 40 38 37 Jumlah Kantor 535 556 528 700 688 709 Bank Campuran Jumlah Bank 29 24 24 20 19 18 Jumlah Kantor 58 53 53 57 59 64 Bank Asing Jumlah Bank 10 10 10 11 11 11 Jumlah Kantor 53 60 61 69 69 72 *tidak termasuk BRI Unit desa. Sumber: BPS seperti pada BI LPI 2007, Tabel 9.1 2006 130 9110 5 2548 26 1257 35 4395 36 759 17 77 11 114 2007 130 9680 5 2765 26 1205 35 4694 36 778 17 96 11 142

243

8.4

Nilai Mata Uang Rupiah

Salah satu fungsi dari uang (uang rupiah) adalah sebagai satuan hitung. Untuk mengukur hal yang sama, satu satuan hitung yang baik harus memberikan nilai yang sama, tidak tergantung dari waktu dan tempat. Seperti halnya dengan kilogram (Kg) atau meter masing-masing sebagai satuan hitung untuk berat dan panjang. Namun tidak demikian halnya dengan mata uang (rupiah). Yang diukur, misalnya, satu sepatu. Sepatu yang persis sama, mestinya mempunyai satuan hitung yang sama untuk tahun depan atau di tempat lain. Namun dalam banyak hal tidak demikian halnya. Malah pemerintah atau Bank Indonesia secara tegas-tegas merancang bahwa nilai uang rupiah untuk satu periode di masa datang (tahun depan) mengalami penurunan tidak sampai dua digit. Atau dengan kata lain, pemerintah merencanakan penurunan nilai rupiah (inflasi) tidak mencapai dua digit. Di samping nilai uang (rupiah) diukur dalam negeri, ia juga dapat dibandingkan dengan uang luar negeri, dan pengalaman menunjukkan, seperti halnya untuk dalam negeri, nilai rupiah terus menerus mengalami penurunan relatif terhadap mata uang asing (dolar AS). Oleh karena itu pembicaraan selanjutnya dibagi menjadi dua, yakni nilai uang di dalam negeri (inflasi) dan nilai rupiah dalam valuta asing (devaluasi). 8.4.1 Nilai Dalam Negeri (Inflasi)

Di dalam negeri nilai uang rupiah ditentukan berdasarkan daya belinya, yakni kemampuan dari uang itu untuk mendapatkan barang dan jasa. Barang dan jasa yang mana? Jawabannya adalah semua barang dan jasa yang dapat ditukar dengan uang itu, bukan hanya satu atau beberapa barang dan jasa. Misalnya, kalau jumlah barang dan jasa yang dapat ditukarkan dengan satu unit uang rupiah (katakanlah Rp10.000,00) adalah sebanyak x unit, dan tahun depannya mendapat sebanyak y unit, dan kalau x < y maka dikatakan nilai rupiah naik. Sebaliknya jika x > y maka dikatakan nilai rupiah turun. Dalam keadaan sehari-hari, nilai rupiah yang turun terhadap barang dan jasa pada umumnya (bukan hanya satu barang) dikatakan bahwa harga barang dan jasa mengalami kenaikan. Keadaan yang demikian ini disebut inflasi. Keadaan sebaliknya disebut deflasi. Jadi nilai uang rupiah di dalam negeri ditunjukkan oleh ada tidaknya gejala umum penurunan harga (deflasi) atau adanya gejala umum kenaikan harga (inflasi). Tetapi kenyataan di dunia ini menunjukkan bahwa kejadian deflasi sangat jarang terjadi, meskipun sering ada tuntutan demonstrasi dari mahasiswa atau ibu rumah tangga agar harga-harga turun, misalnya saja pada Tritura (tiga tuntutan rakyat) pada akhir pemerintahan Sukarno. Namun dari hari ke hari, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun pemerintah selalu memikirkan dan menghitung berapa turun nilai rupiah, dan bahkan seperti dikatakan pada seksi sebelumnya Bank Indonesia sejak 2005 menentukan tingkat inflasi sebagai target kebijaksanaan moneternya. Oleh karena itu yang dibahas di sini hanyalah inflasi. Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan

244

harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota. BPS menghitung IHK berdasarkan tujuh kelompok pengeluaran, dan untuk 2002-2007 ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 8.7: Indeks Harga Konsumen Indonesia, 2002-2007
Akhir Bahan Makanan Peruperiode makanan jadi1) mahan Sandang 317,29 304,35 235,08 285,38 2002 311,84 323,35 256,74 305,60 2003 111,10 115,70 124,19 113,36 2004 126,55 131,56 141,50 121,21 2005 142,92 139,93 148,34 129,50 2006 159,01 148,90 155,58 140,41 2007 1) Makanan Jadi, minuman, rokok dan tembakau. 2) Pendidikan, rekreasi dan olah raga. 3) Transportasi dan komunikasi. 4) Indeks Harga Konsumen, indikator inflasi. Kesehatan 277,79 293,54 113,06 119,99 127,03 132,51 Pendidikan2) 248,43 277,52 126,20 136,60 147,70 160,74 Transportasi3) 255,85 266,34 114,25 165,38 167,06 169,15 Umum 274,13 287,99 116,86 136,86 145,89 155,50 IHK4) 10,03 5,06 6,40 17,11 6,60 6,59

Sumber: Badan Pusat Statistik, Seperti pada BI LPI 2007, Tabel 4 (diolah) Pengelompokan inflasi ke dalam 7 jenis pengeluaran didasarkan pada apa yang dikenal sebagai the Classification of individual consumption by purpose atau COICOP. Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain: 1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari satu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas satu komoditas. 2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam satu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga pasar berlaku (nominal) dengan PDB atas dasar harga konstan untuk tahun bersangkutan. Indeks deflator ini juga dikenal sebagai indeks harga implisit. Perlu dicatat bahwa perhitungan inflasi dengan menggunakan berbagai indikator akan memberikan hasil yang berbeda. Sebagai contoh, tingkat inflasi dunia 2002-2007 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 8.8 memberikan angka yang berbeda untuk Indonesia dibandingkan dengan angka inflasi pada Tabel 8.7. Dari Tabel 8.8 ternyata bahwa tingkat inflasi untuk Indonesia adalah tertinggi di antara negara-negara di Asia. Meskipun tingkat inflasi merupakan target dari kebijaksanaan moneter Bank Indonesia dari tahun 2005, tetapi tingkat inflasi Indonesia untuk tahun 2005 dan 2007 masih bisa menembus dua digit; yang berarti untuk tahun-tahun tersebut nilai rupiah mengalami penurunan dalam dua digit persen. Tabel 8.8 menunjukkan bahwa semua negara di dunia mengalami penurunan nilai mata uangnya, kecuali untuk Cina, yang pada tahun 2002 mengalami deflasi sebesar 0,8 persen. Ini semuanya berarti bahwa menurunnya nilai mata uang satu negara adalah keadaan biasa dan barangkali lebih dikehendaki dari pada nilai uang yang naik.

245

Tabel 8.8: Inflasi Dunia 2002-2007 (persen) Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Dunia 3,3 3,5 3,6 3,7 3,6 3,9 Negara Industri Maju 1,6 1,7 2,0 2,0 2,1 1,9 Amerika Serikat 1,7 2,1 2,9 3,2 3,2 2,6 Kawasan Euro 2,6 2,2 2,0 1,9 1,9 2,0 Negara Berkembang 5,7 5,7 5,4 5,2 5,1 5,9 Afrika 8,0 7,8 5,5 6,6 6,3 6,6 Amerika Latin 8,9 10,6 6,5 6,3 5,4 5,3 Asia 2,0 2,5 4,1 3,6 4,0 5,3 China -0,8 1,2 3,9 1,8 1,5 4,5 Indonesia 6,8 6,1 10,5 13,1 6,3 13,0 Malaysia 1,8 1,1 1,4 3,0 3,6 2,1 Thailand 0,6 1,8 2,8 4,5 4,6 2,0 Filipina 2,9 3,5 6,0 7,6 6,7 3,0 Vietnam 4,0 3,2 7,7 8,3 7,5 7,3 Sumber: IMF, World Economic Outlook Oktober 2007, seperti pada BI LPI 2007 Tabel 45 (dipilih). Inflasi sesungguhnya hanyalah merupakan satu kejadian ekonomi, tidak mempunyai pengaruh apa-apa, positif atau negatif, tidak ada yang diuntungkan atau dirugikan kalau, katakanlah untuk kasus Indonesia tahun 2007 di mana terjadi inflasi 13,0 persen, semua harga barang dan jasa mengalami kenaikan juga sebesar 13 persen. Namun keadaan demikian ini tidak terjadi dalam kenyataan. Harga beras, misalnya, naik hanya 10 persen, sedangkan radio naik 20 persen dan sepatu 15 persen, dan begitu seterusnya. Maksudnya adalah bahwa kenaikan harga yang terjadi tidak adil, menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, dan demikianlah halnya pada umumnya. Dalam keadaan demikian ini, pihak yang dirugikan adalah mereka yang menerima penghasilan tetap (tidak mengikuti kenaikan). Mereka ini adalah pegawai negeri dan swasta, kaum buruh dan rakyat miskin yang kenaikan penghasilannya lebih kecil dari tingkat inflasi. Golongan masyarakat lain yang dirugikan oleh inflasi adalah kaum kreditur, karena tagihannya selalu mengecil sebesar tingkat inflasi dan para eksportir. Kalau ada golongan masyarakat yang dirugikan dengan adanya inflasi, mestinya ada kelompok masyarakat yang diuntungkannya. Mereka yang diuntungkan adalah para pengusaha yang kenaikan keuntungannya lebih besar dari tingkat inflasi, para importir, para debitur karena nilai hutangnya mengecil sesuai dengan tingkat inflasi. Jumlah keuntungan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat mestinya sama dengan jumlah kerugian yang dirasakan oleh kelompok masyarakat lainnya. Sumber dari penyebab inflasi juga penting untuk diperhatikan. Katakanlah bahwa sumber utama inflasi adalah karena adanya penambahan uang beredar seperti pada masa pemerintahan Sukarno (deficit spending). Dalam keadaan demikian ini, masyarakat mengalami daya belinya berkurang tiap kali sebesar tingkat inflasi. Berkurangnya nilai daya beli masyarakat ini seolah-olah karena dipungut pajak oleh pemerintah, dan oleh karenanya dikenal sebagai pajak inflasi. Pemerintah mencuri sebagian daripada daya beli masyarakat atau masyarakat dipaksa menabung oleh pemerintah, sehingga inflasi itu

246

sering juga disebut tabungan paksa (forced savings). Dalam hal ini tidak dipermasalahkan apakah pemerintah diuntungkan atau dirugikan oleh inflasi, karena naiknya penerimaan pemerintah dari tabungan paksa itu akan diimbangi oleh naiknya pengeluaran pemerintah karena adanya inflasi. 8.4.2 Nilai rupiah dalam valuta asing (devaluasi)

Tabel 7.8 menunjukkan bahwa inflasi di Amerika Serikat pada tahun 2007 adalah 2,6 persen. Dengan kata lain, nilai dolar Amerika Serikat menurun sebesar 2,6 persen. Pada tahun yang sama nilai rupiah menurun sebesar 13 persen. Sebagaimana kita mengetahui bahwa baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia kurs valuta asing diserahkan kepada pemintaan dan penawaran. Oleh karena itu pasar valuta asing di masing-masing negara mengadakan penyesuaian seperlunya. Katakanlah, (angka hipotetis), di Amerika Serikat nilai dolar Amerika Serikat naik terhadap rupiah menjadi sebagai berikut: Dari US$ 1 = Rp9500 menjadi US$ 1 = Rp9600. Kebetulan di Jakarta juga cara penulisannya sama seperti di atas. Katakanlah bahwa pasar valuta asing di Jakarta juga menunjukkan harga yang sama seperti di atas. Untuk di maklumi, mestinya menunjukkan nilai satu unit mata uang rupiah untuk ditukarkan dengan dolar Amerika Serikat. Untuk menyederhanakan angka, katakanlah satu unit rupiah Indonesia itu adalah Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Maka catatan kurs di Jakarta yang ekuivalen dengan di atas mestinya: Dari Rp1 unit = US$1,0526 menjadi Rp1 unit = US$ 1,0417. Catatan kurs valuta asing (dalam hal ini US$) menunjukkan bahwa nilai rupiah yang semula mampu mendapatkan US$1,0526 turun menjadi hanya mendapatkan US$1,0416 untuk setiap unitnya. Beginilah mestinya catatan kurs tersebut dibuat agar supaya konsisten dengan definisi nilai uang dalam negeri relatif terhadap mata uang asing. Namun yang dikerjakan di Indonesia adalah seperti pada catatan kurs di Amerika Serikat di atas. Namun karena kebiasaan bertahun-tahun, hal tersebut tidak perlu diganti. Dalam kedua cara penulisan kurs valuta asing di atas semuanya menunjukkan bahwa dolar Amerika Serikat mengalami apresiasi (nilainya meningkat) dan rupiah Indonesia mengalami depresiasi (nilainya menurun). Naik/turunnya nilai satu mata uang relatif terhadap mata uang lainnya yang ditentukan berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran disebut mata uang tersebut mengalami apresiasi/depresiasi. Berbeda halnya kalau perubahan nilai satu mata uang itu didasarkan atas kebijaksanaan pemerintah, dalam hal mana dikatakan terjadi devaluasi (nilai mata uang dalam negeri menurun relatif terhadap mata uang asing) atau revaluasi (nilai mata uang dalam negeri menurun relatif terhadap mata uang asing). Namun dari Tabel 8.8 terlihat bahwa keadaan devaluasi adalah lebih umum terjadi dibandingkan dengan revaluasi, oleh karena itu hanya devaluasi yang dibicarakan di bawah ini. Ada dua cara dalam menentukan kurs valuta asing, yakni pariti kandungan jaminan (mint parity) dan pariti daya beli (purchasing power parity). Setiap mata uang mempunyai jaminan di bank sentralnya, yang berupa emas dan logam mulia lainnya ditambah dengan surat-surat berharga dan mata uang asing yang komfortabel (yang mudah ditukarkan dengan uang). Semua jaminan yang terkandung di dalam satu mata uang sama artinya 247

dengan kandungan logam mulia (mint) pada uang yang bersangkutan. Kandungan jaminan pada mata uang menunjukkan nilainya masing-masing, dan kalau keduanya dibandingkan maka akan diperoleh nilai mata uang tertentu relatif terhadap mata uang lainnya. Sedangkan cara kedua adalah dengan membandingkan daya beli mata uang di dalam negerinya masing-masing, yang ditunjukkan oleh indeks harga konsumen. Jadi membandingkan indeks harga konsumen dua negara (dengan tahun dasar yang sama) akan memperoleh kurs mata uang satu negara relatif terhadap mata uang lainnya. Cara yang demikian ini disebut pariti daya beli. Cara mana pun yang dipakai dalam menentukan kurs valuta asing, satu negara pasti mempunyai nilai mata uangnya terhadap mata uang negara lain dan perubahannya ditentukan setiap hari oleh pasar atau pada waktu tertentu oleh pemerintah. Pemerintah hanya menentukan kurs mata uangnya kalau sistem devisa yang dipakainya memperkenankan campur tangan pemerintah. Misalnya, pada akhir masa pemerintahan Sukarno, pemerintah menerapkan sistem devisa yang disebut Exchange Control dan sepanjang pemerintahan Suharto pemerintah menerapkan sistem devisa mengambang terkendali (managed floating exchange rate). Pada Agustus 1959 pemerintah menetapkan harga US$1 = Rp45. Kemudian pemerintah mempertahankan kurs US$ itu tetap sebesar Rp45 meskipun pada waktu itu terus terjadi kenaikan harga di dalam negeri. Harga resmi US$ tetap, tetapi karena inflasi harga di pasar gelap sudah meningkat. Dalam keadaan demikian ini, rupiah dinilai terlalu tinggi oleh pemerintah yang mempunyai akibat menguntungkan importir tetapi tidak mendorong ekspor. Karena alasan ini, yaitu ingin mendorong ekspor dan mengekang impor maka kemudian pemerintah menyesuaikan kurs US$ menjadi Rp250 pada tahun 1964. Kebijaksanaan pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri disebut kebijaksanaan devaluasi. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan devaluasi beberapa kali, dan sejak Oktober 1997 rupiah dibiarkan mengambang bebas (free floating) sesuai kekuatan pasar dan oleh karenanya tidak ada lagi peluang untuk mengadakan devaluasi. 8.5 Kesimpulan

Dalam kurun waktu sembilan tahun (1999-2007) GDP telah menjadi lebih dari tiga kali lipat, dibarengi dengan kenaikan yang relatif sedikit lebih cepat (3,7 kali) pada jumlah M1 (uang kartal dan uang giral), dan sedikit lebih lambat (2,5 kali) pada M2. Dengan menganggap nilai V (perputaran) uang giral dan uang kuasi sama dengan satu, perputaran uang dasar (Based Money) selalu mengalami kenaikan dari sekitar 10 kali menjadi sekitar 15 kali. Faktor tagihan kepada perusahaan swasta jauh lebih besar pengaruhnya terhadap jumlah uang beredar dibandingkan dengan tagihan kepada pemerintah, tagihan kepada lembaga pemerintah serta perubahan aset luar negeri dalam mempengaruhi jumlah uang beredar dari 2002-2007. Sejak tahun 2005 Bank Indonesia secara tegas menentukan tujuan kebijaksanaan moneternya sebagai usaha untuk menjaga tingkat inflasi dengan alat kebijaksanaan berupa operasi pasar terbuka, kebijaksanaan giro wajib minimum untuk semua bank, kebijaksanaan tingkat bunga melalui BI rate, pengaturan kredit, dan kebijaksanaan lain yang dianggap perlu. Pengalaman menunjukkan bahwa kalau kebijaksanaan moneter ringan atau sedang-sedang saja, maka ia bersifat tidak/kurang efektif, sedang yang keras bisa bersifat mala petaka bagi sektor riil.

248

Paket Juni 1983 dan Pakto 88 merupakan tonggak sejarah liberalisasi perbankan yang berakibat perkembangan jumlah bank yang terlalu pesat dan persaingan di antara mereka telah mengantarkan Indonesia untuk membekukan 16 buah bank dan menempatkan 54 buah bank lainnya di bawah pengawasan BPPN pada tahun 1997/98. Berbagai kebijaksanaan untuk menguatkan sistem perbankan telah dilakukan, utamanya syaratsyarat pendirian bank baru, persyaratan modal dan giro wajib minimum, sehingga jumlah lembaga bank mengalami penurunan menjadi 260 buah pada tahun 2007 dari sekitar 300 buah pada 2002, namun jumlah kantor bank meningkat menjadi sekitar 19 ribu buah (2007) dari hanya sekitar 13 ribu buah (2002). Jumlah lembaga bank yang ada ini telah mampu menyerap dana masyarakat sekitar 85 triliun rupiah (2002) dan mengalami peningkatan tiap tahun sampai melebihi 1500 triliun rupiah pada tahun 2007. Jumlah kredit yang disalurkan perbankan dalam kurun waktu yang sama lebih kecil dibandingkan dengan dana yang diserap, yakni hanya sekitar 57 persennya. Tingkat LDR sebesar ini mungkin dapat dikatakan relatif kecil dan usaha untuk meningkatkannya akan menguatkan sistem perbankan. Sektor industri merupakan sektor terbesar dalam menyerap kredit perbankan, yakni sekitar 23 persen dari kredit modal kerja dan sekitar 30 persen untuk kredit investasi, sisanya diserap oleh sektor lain. Data menunjukkan bahwa nilai uang di dunia ini, baik di dalam negeri yang ditunjukkan oleh indeks harga konsumen maupun terhadap mata uang asing yang ditunjukkan oleh kurs mata uang asing, selalu mengalami penurunan. Tingkat inflasi di Indonesia rupanya tertinggi di negara-negara Asia, Amerika Latin, dan Afrika meskipun Bank Indonesia secara tegas menyatakan bahwa tingkat inflasi adalah target dari kebijaksanaannya sejak 2005. Pada masa pemerintahan Sukarno, inflasi lebih banyak disebabkan oleh anggaran belanja negara defisit sehingga tepat kalau dikatakan sebagai pajak inflasi atau tabungan yang dipaksa oleh pemerintah (forced savings). Sama seperti halnya nilai mata uang di dalam negeri, terhadap valuta asing pun depresiasi dan devaluasi lebih biasa dibandingkan dengan apresiasi dan revaluasi mata uang. Indonesia telah berkali-kali melaksanakan devaluasi pada masa pemerintahan Sukarno dan Suharto, dan tidak setelah itu. Devaluasi ini berakibat mendorong ekspor dan mengekang impor. 8.6 Ringkasan Jumlah uang dalam peredaran menentukan lancar tidaknya aktivitas ekonomi. Kalau jumlah uang beredar terlalu sedikit/banyak, aktivitas ekonomi akan dirasakan seret/lancar oleh masyarakat. Menentukan jumlah uang dalam peredaran (likuiditas ekonomi) yang tepat bukanlah hal yang mudah dan tidak ada rumus yang pasti untuk itu. Pandangan moneteris adalah bahwa uang memegang peran yang sangat penting dalam satu perekonomian. Teori kuantitas menunjukkan hubungan antara jumlah uang yang beredar dengan kegiatan ekonomi dalam bentuk MV = Y, di mana M = jumlah uang dalam peredaran, V = tingkat perputaran uang (velocity of circulation) dan Y = pendapatan nasional.

249

Uang yang beredar di masyarakat terdiri dari uang kartal dan uang giral (M1) dan uang kuasi. M2 adalah M1 ditambah uang kuasi. Perkembangan M2 selama sembilan tahun (1999-2007) dari sekitar 650 triliun (1999) menjadi lebih dari seribu enam ratus triliun (2007) atau telah menjadi sekitar 2,5 kali lipat. Dengan mengumpamakan bahwa nilai V untuk uang giral dan uang kuasi masingmasing satu, maka nilai V untuk uang kartal di Indonesia berkisar antara 10 dan 15 . Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang dalam peredaran bisa berasal dari dalam negeri (perubahan dalam tagihan kepada pemerintah dan kepada swasta yang mungkin berupa lembaga pemerintah, perusahaan swasta, dan perorangan) dan dari luar negeri ( perubahan dalam aktiva luar negeri). Kebijaksanaan moneter mungkin berupa mengendalikan jumlah uang yang beredar (likuiditas perekonomian), atau menjaga stabilitas nilai rupiah, menstabilkan tingkat bunga dan sebagainya, namun Bank Indonesia sejak 2005 menentukan bahwa tujuan kebijaksanaan moneter adalah stabilitas nilai rupiah (khususnya tingkat inflasi). Alat kebijaksanaan moneter yang dapat dilakukan oleh Bank Indonesia (pemerintah) adalah operasi pasar terbuka di pasar uang rupiah maupun valuta asing, penetapan cadangan wajib minimum, penetapan tingkat diskonto, pengaturan kredit atau pembiayaan, bujukan moral dan kebijaksanaan lain yang dianggap perlu). OPT kontraksi ini dilakukan dengan lelang SBI, Fine tune kontraksi, menjual SUN, reverse repo SUN, dan sterilisasi valas dengan menjual USD/IDR ataupun melakukan swap jual USD/IDR. BI Rate ditetapkan melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia setiap bulan. BI rate tercermin dari pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) overnight (O/N), pergerakan mana diharapkan diikuti oleh perkembangan suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. Bank Indonesia (pemerintah) pernah melaksanakan kebijaksanaan yang tidak biasa dalam bidang moneter yakni sanering, pergantian uang dan devaluasi. Kebijaksanaan moneter mempunyai sifat kurang efektif kalau ringan dan mematikan kalau berat (keras). Paket Juni (Pakjun) 1983 memberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Paket 27 Oktober 1988 (Pakto 88) adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Isinya antara lain: modal untuk mendirikan bank adalah Rp 10 miliar, siapa saja bisa mendirikan bank baru, bank-bank asing lama dan yang baru diizinkan membuka cabangnya di enam kota, Reserve requirement bank

250

lokal diturunkan dari 15% menjadi 2%. Pakto 88 dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional. Meledaknya jumlah bank diikuti dengan kompetisi sengit dalam perekrutan tenaga kerja, dalam mobilisasi dana masyarakat (giro, deposito dan tabungan) dan usaha untuk mengucurkan kredit dan pinjaman, yang akibat akhirnya diikuti oleh kredit macet yang menggunung (krisis perbankan) 1 November 1997 dilikuidasi 16 bank secara serentak dan 22 April 1998 54 bank dimasukkan ke dalam program penyehatan di bawah BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), sejumlah bank lain melakukan merger, termasuk bank milik pemerintah. 1991-1994 merupakan periode penguatan dan penyehatan perbankan. Jumlah bank mengalami penurunan dari 302 buah (2002) menjadi hanya 260 buah (2007), yang berarti ada penurunan sekitar 14 persen, sedangkan jumlah kantor bank meningkat dari sekitar 13 ribu (2002) menjadi lebih dari 19 ribu (2007) atau sekitar 50 persen dalam kurun waktu enam tahun.
Dana masyarakat yang masuk perbankan selalu mengalami kenaikan dari sekitar 850 triliun rupiah pada tahun 2002 menjadi lebih dari 1500 triliun rupiah pada tahun 2007, atau hampir dua kali lipat dalam periode enam tahun.

Kredit untuk modal kerja meningkat dari sekitar 280 triliun rupiah (2002) menjadi lebih dari 800 triliun rupiah (2007) atau telah meningkat hampir tiga kali lipat dalam enam tahun, sedangkan kredit untuk investasi meningkat dari sedikit di tas 82 triliun rupiah (2002) menjadi sekitar 180 triliun rupiah (2007), atau hanya meningkat 2,2 kali dalam enam tahun. LDR perbankan dalam periode 2002-2007 adalah sekitar 57 persen. Nilai rupiah di dalam negeri diukur dengan indeks harga konsumen sedangkan dibandingkan dengan uang negara lain dengan kurs valuta asing, yang keduaduanya selalu mengalami penurunan. Kejadian nilai uang yang mengalami kenaikan jarang terjadi di dunia. Inflasi lebih umum dari deflasi dan depresiasi/devaluasi lebih umum dari apresiasi/revaluasi. Inflasi juga dikenal sebagai tabungan paksa (forced savings) atau inflasi itu adalah pajak yang dibayar oleh masyarakat kepada pemerintah sebesar penurunan daya beli uang yang dimilikinya. Inflasi bisa juga diukur dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) atau deflator Produk Domestik Bruto (PDB) yang juga dikenal sebagai indeks harga implisit, namun alat ukur inflasi yang berbeda akan menghasilkan nilai inflasi yang berbeda. Tingkat inflasi di Indonesia tertinggi dibandingkan dengan inflasi yang terjadi di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Inflasi pada umumnya merugikan mereka yang mempunyai pendapatan tetap seperti pegawai negeri.

251

Nilai rupiah dalam valuta asing adalah jumlah valuta asing yang diperoleh dari penukaran satu unit rupiah. Pencatatan kurs yang dilakukan di Indonesia tidak konsisten dengan definisi ini. Penentuan kurs valuta asing bisa dikerjakan melalui perbandingan jaminan (mint) atau daya beli (purchasing power) dari masing-masing mata uang. Indonesia telah melakukan devaluasi beberapa kali, yakni pada masa pemerintahan Sukarno dan Suharto, dan tidak lagi melaksanakannya karena kurs valuta asing diserahkan pada kekuatan pasar sejak krisis 1997. Devaluasi mempunyai akibat mendorong ekspor dan mengekang impor.

8.7 Konsep Penting Barter Jumlah uang dalam peredaran Deflasi Depresi Inflasi Likuiditas perekonomian Pandangan moneteris Teori kuantitas Uang kartal Uang giral Uang kuasi Krisis ekonomi Velocity of circulation (V) Uang logam Based Money (High powered money) Kebijaksanaan moneter dalam arti luas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tujuan kebijaksanaan moneter Stabilitas nilai rupiah Inflation Targeting Framework Sistem nilai tukar yang mengambang BI Rate Alat kebijaksanaan moneter Operasi pasar terbuka Kebijaksanaan tingkat diskonto Cadangan wajib minimum Sertifikat Bank Indonesia (SBI) SBI Syariah (SBIS) Pasar uang antar bank (PUAB) Operasi pasar terbuka kontraksi Fine tune kontraksi Surat Utang Negara (SUN) Pasar berjangka valuta asing Swap beli Operasi pasar terbuka ekspansi Giro Wajib Minimum (GWM) LDR (loan to deposit ratio) Over the counter (OTC) PUAB O/N BLBI Bujukan moral (moral suasion) Sanering Pergantian uang Kredit investasi Kredit modal kerja Bank sentral Bank pembangunan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Reserve requirement Lembaga keuangan non bank Capital adequacy ratio atau CAR Bank devisa Nilai uang rupiah Inflasi Devaluasi Deflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Indeks Harga Perdagangan Besar Deflator Produk Domestik Bruto Indeks harga implisit Tabungan paksa (forced savings) Pajak inflasi Pariti kandungan jaminan (mint parity) Pariti daya beli (purchasing power parity)

252

Reverse repo SUN Sterilisasi valuta asing Pasar spot USD 8.8 Pertanyaan untuk Diskusi

Managed floating exchange rate Free floating

1. Dari buku-buku teks mengenai ekonomi uang dan bank kita dapat mengetahui rumus teori kuantitas dari uang. a. Tulis dan jelaskan dengan kata-kata Anda sendiri rumus tersebut! b. Terdiri dari apa saja jumlah uang yang beredar? Jelaskanlah! c. Dalam keadaan perekonomian Indonesia sekarang ini, bagaimanakah kira-kira perbandingan dari masing-masing jenis uang dalam peredaran? 2. Apakah tujuan dari kebijaksanaan moneter dan apa saja alat kebijaksanaan moneter yang dapat dipakai oleh Bank Indonesia? Jelaskanlah! 3. a. Sebelum melaksanakan satu kebijaksanaan moneter, Bank Indonesia mestinya melihat adanya tanda-tanda untuk perlu menjalankan satu kebijaksanaan moneter yang bersifat ekspansi. Jelaskan bagaimana Bank Indonesia memperkirakan hal tersebut! b. Seandainya dari indikasi yang diperoleh pada a di atas diputuskan untuk menggunakan operasi pasar terbuka ekspansi. Apa saja alat-alat kebijaksanaan moneter yang dapat digunakan oleh Bank Indonesia untuk tujuan itu? Jelaskan! 4. Jelaskan apa yang Anda ketahui mengenai Giro Wajib Minimum (GWM)? Jelaskan jawaban Anda mengenai GWM pokok dan tambahannya! 5. Jelaskan hal-hal berikut ini: a. Sifat dari kebijaksanaan moneter b. Dana pihak ketiga (DPK) c. Loan deposit ratio d. Capital adequacy ratio e. Bujukan moral (moral suasion). f. PUAB O/N 6. Jelaskan dengan kata-kata Anda sendiri asal mula krisis perbankan di Indonesia berikut usaha untuk menyehatkannya! 7. Bagaimanakah cara menentukan nilai rupiah: a. Di dalam negeri b. Relatif terhadap valuta asing Jelaskan pendapat Anda!

8. Sebut dan jelaskan komponen yang membentuk indeks harga konsumen (IHK)! 9. Sebut dan jelaskan akibat dari (a). Inflasi, dan (b). Devaluasi. 10. Cari di internet dan kemudian buatlah karangan mengenai kebijaksanaan perbankan pada tahun 1983 dan 1988. (Petunjuk: alasan dan tujuan dari peraturan tersebut dan apakah sudah dicapai).

253

8.9

Daftar Bacaan

1. Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2. Booth,A. dan P. McCawley (editor). 1990. Ekonomi Orde Baru (Terjemahan oleh Boediono). Jakarta : LP3ES. 3. Hall Hill. 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966. Yogyakarta: PAU Ekonomi UGM., bab 3 dan 6. 4. Hg. Soeseno Triyanto Widodo. 1997. Ekonomi Indonesia, Fakta dan Tantangan dalam Era Globalisasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Bab 3 5. Soetrisno, P.H. 1992. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia (Suatu Studi), Edisi Kedua. Yogyakarta: Penerbit Andi., Bab 1. 6. Fabozzi, F.J., Franco Modigliani, dan M. G. Ferri (terjemahan Chaerul Djakman) . 1999. Pasar dan Lembaga Keuangan. Salemba Empat: Simon & Schuster, Pte., Ltd. 7. Kasmir. 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi ke 6. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 8. Prasetiantono, A.T. 1990. Antologi Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: BPFE UGM. 9. Pakto 88: http://businessknowledgeblogspot.com.

254

You might also like