You are on page 1of 15

BAB I : PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Alam merupakan bagian dari bumi yang menjadi sumber kehidupan semua makhluk hidup, termasuk manusia. Manusia mengolah alam dengan alat kerjanya sehingga dapat berproduksi untuk bertahan hidup. Dengan bertambahnya kemampuan produksi, bertambah pula kemampuan manusia menaklukkan alam. Begitu besar pengaruh manusia terhadap alam sehingga kehidupan manusia tak bisa dipisahkan dari alam. Untuk itulah dibutuhkan keseimbangan agar alam dapat terus bereproduksi demi kelestarian dirinya, sekaligus memenuhi kebutuhan makhluk hidup lainnya. Bagaimana agar alam terus lestari, sementara pada dasarnya, lambat laun alam sendiri pasti akan mengalami perubahan kualitas yang menurun? Alam, pada satu titik, akan tidak sanggup lagi menahan kohesifitas bumi karena alam merupakan bagian dari bumi yang bergerak sehingga segala sesuatu yang ada di bumi, termasuk alam, juga ikut bergerak. Gerak hukum alam ini berjalan lambat, bisa jutaan tahun lamanya, mengikuti umur bumi. Namun, akibat ulah manusia, bumi menjadi cepat mengalami perubahan, karena alam telah dieksploitasi dan dijadikan komoditas demi tujuan pertumbuhan ekonomi. Di dalam masyarakat dunia yang hubungan sosialnya ditentukan oleh kepemilikan terhadap alat produksi, produksi barang (dan jasa) tak akan ada kontrol sosialnya. Kelimpahan produksi hasil kerja manusia mengelola alam tak diabdikan untuk kemakmuran dan kemajuan mayoritas manusia serta melestarikan daya topang alam, melainkan untuk keberlangsungan akumulasi keuntungan belaka. Sehingga tak heran, di dalam sistem semacam itu, seberapapun majunya pengetahuan dan alat kerja manusia tidak ada sangkut pautnya dengan pemerataan kesejahteraan dan keberlanjutan hidup bumi. Itulah bencana besar kemanusiaan di dalam sebuah sistem masyarakat kapitalisme saat ini. Segelintir manusia yang bermodal besar, pemilik pabrik-pabrik dan perusahaan raksasa, memiliki kepentingan lebih hebat dalam mengeksploitasi sumber daya alam, sekadar demi akumulasi keuntungan dan perluasan modalnya. Mereka tidak memperdulikan syarat keseimbangan lingkungan, karena yang paling penting bagi mereka adalah sebanyak-banyaknya produksi, tak perduli sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan daya jangkau mayoritas rakyat, atau merusak masa depan

lingkungan alam. Itulah konsekuensi fundamental sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, penyebab utama kerusakan alam. Proses dialektika penaklukan manusia terhadap alam tergantung pada tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif (manusia dan alat kerjanya), karakter sistem sosial, dan tingkat perkembangan masyarakat dan manusia itu sendiri. Semakin maju alat kerja manusia, semakin besar kemungkinan penaklukan alam, semakin besar pula potensi pengrusakannya. Pengrusakan atau pelestarian alam adalah pilihan yang hanya dapat terjadi pada karakter sistem ekonomi dan hubungan sosial tertentu. Dan kapitalisme adalah hubungan ekonomi dan sosial yang memungkinkan pengrusakan lingkungan terjadi secara massal dan cepat. Namun, perkembangan pengetahuan dan teknologi dalam kapitalisme tersebut, sekaligus, memberikan kemungkinan manusia mengembangkan segala kreativitasnya untuk memperbaiki kerusakan alam.

B. BATASAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka makalah ini khusus membahas masalah bagaimana sebuah kebijakan atau perundang-undangan mempengaruhi keadaan alam di Indonesia.

C. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, hal-hal yang dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apa kebijakan ekonomi dan politik yang berdampak langsung terhadap alam? 2. Mengapa kebijakan tersebut bisa mempengaruhi kondisi alam dan bagaimana cara kerjanya?

BAB II : ISI KEBIJAKAN EKONOMI DAN POLITIK YANG BERDAMPAK LANGSUNG TERHADAP ALAM

Menurut penelitian, kerusakan dan pencemaran lingkungan 30 tahun terakhir jauh melampaui kerusakan lingkungan yang disebabkan aktivitas manusia selama ribuan tahun lalu. Apalagi dengan berkembang pesatnya pasar akibat kebijakan neoliberal yang digalakkan oleh seluruh perangkat ekonomi kapitalisme, khususnya WTO, IMF, ADB dan Bank Dunia, serta berbagai perjanjian perdagangan bebas selama lebih dari satu dekade ini, yang dilegitimasi oleh rezim pendukung investasi tanpa berpikir panjang. Logika akumulasi keuntungan dan modal, dengan memperdalam eksploitasi manusia dan alam (anarkisme produksi atau produksi tanpa kontrol sosial), menyebabkan overproduksi kapitalisme. Pertumbuhan ekonomi bermakna peningkatan konsumsi dan produksi komoditas industri tanpa pertimbangan masa depan. Akibat logika semacam inilah alam tak lagi mampu menopang kehidupan manusia di masa yang akan datang. Bahkan para aktivis lingkungan menyatakan, bahwa, demi mengembalikan kondisi alam seperti semula, mereka menghendaki pertumbuhan ekonomi nol persen, atau dikenal sebagai zero growth. Krisis ditandai oleh fakta bahwa sekitar 29% lahan bumi telah mengalami penggurunan, 6% lainnya dikategorikan mengalami penggurunan yang parah. Hutan tropis yang mencakup 6% luas permukaan bumi (sebagian besar terletak di Brazil dan Indonesia), namun memiliki keanekaragaman hayati hingga sekitar 50% dari seluruh jumlah spesies yang ada, kini 7,6 sampai 10 juta hektar pertahunnya menjadi musnah (Todaro, 1995: 275-277). Kehancuran hutan (deforestasi) semakin hari semakin besar jumlahnya, dan dilegalisasi oleh kebijakan negara. Kebijakan tersebut antara lain dalam bentuk penjualan hutan yang melegitimasi jutaan hektar hutan dibabat habis oleh para pemilik modal. Di Indonesia tercermin dalam peraturan Hak Pengelolaan Hutan (Hak Penggusuran Hutan).

Akibat selanjutnya dari perubahan iklim hingga tahun 2050, diperkirakan, ketersediaan pangan tak mencukupi sehingga penderita kelaparan dapat mencapai 600 juta orang; perluasan areal banjir mengorbankan 100-250 juta orang; kekeringan berkepanjangan membuat kekurangan air diderita 3,5 milyar orang lebih; dan meningkatnya penderita malaria hingga mencapai 300 jiwa. Krisis pangan yang sekarang melanda dunia disebabkan diantaranya oleh perubahan iklim yang drastis sehingga mengakibatkan gagal panen. Demikian halnya dengan perluasan areal banjir dan kekeringan. Indonesia adalah salah satu diantara negara-negara yang mengalami dampak terparah dari rangkaian krisis lingkungan ini. Penggundulan hutan yang terus meningkat demi perluasan industri pertambangan dan kelapa sawit, pencemaran udara di kota-kota besar akibat membludaknya pemakaian kendaraan bermotor, gedunggedung raksasa yang membabat areal hijau, dan seterusnya, menambah deretan kejahatan terhadap lingkungan yang dampaknya kembali kepada manusia. Pemberlakuan Undang-undang (UU No. 22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 tentang Daerah (lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda) pada tahun 2001, yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan diberlakukannya UU tersebut menandakan dimulainya era otonomi daerah yang memberikan wewenang seluasluasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara sendiri, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran

yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal. Pada tahap awal UU Pemda itu diberlakukan, telah mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya, dengan sumber daya yang sudah tidak sabar ingin rancangan UU tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah miskin, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah miskin pada umumnya belum siap ketika RUU Otda itu diberlakukan. Namun pemerintah tetap berpegang pada kornitmennya, bahwa sesuai rencana, tahun 2001 otonomi daerah tetap diberlakukan sekalipun disadari bahwa dalam beberapa hal baik yang menyangkut peraturan perundang-undangan, prasarana maupun sarana dan sumber daya lainnya belum siap. Pemberlakuan Otonomi daerah dalam kondisi kesiapan yang minimal, bersamaan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi, di tengah-tengah suasana euphoria kebebasan (dari rezim orba), menyebabkan dinamika penyelenggaraan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Pengelolaan Sumber Daya Alam di era Otda banyak menimbulkan dampak negatif keinginan Pemda untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), telah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Era Otda tidak disikapi baik oleh aparat Pemda, DPRD maupun warga masyarakat dengan kematangan berfikir, bersikap dan bertindak. Masing-masing elemen masyarakat lebih menonjolkan hak dari pada kewajiban dalam mengatur dan

mengurus sesuatu yang menjadi kepentingan umum. Dengan kata lain, masing-masing lebih mengedepankan egonya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemahaman terhadap Otda yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan Otda menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera. Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumberdaya alam yang tersedia, dll. Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri. Di pihak lain, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otda tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, bahkan seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang salah . Semua itu terjadi karena Otda lebih banyak menampilakn nuansa kepentingan pembangunan fisik dan ekonomi. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air, bahkan untuk Pulau Jawa dan Bali sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air karena kebutuhan air jauh di atas ketersediaan air (Sumber: Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan, 2001).Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam. Sementara pembangunan sumber daya manusia / SDM (moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan, (karena SDM berkualitas ini merupakan prasyarat), sangat kurang mendapat perhatian sebagaimana dikemukakan oleh Riwu Kaho (1988:60), bahwa penerapan otonomi daerah yang efektif memiliki beberapa syarat, sekaligus sebagai faktor yang sangat berpengaruh, yaitu : Manusia selaku pelaksana harus berkualitas Keuangan sebagai biaya harus cukup dan baik Prasarana, sarana dan peralatan harus cukup dan baik Organisasi dan manajemen harus baik

Dari semua faktor tersebut di atas, faktor manusia yang baik adalah faktor yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain bergantung pada faktor manusia ini. SDM yang tidak/belum berkualitas inilah yang menyebabkan penyelenggaraan Otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh dengan intrik, konflik dan carut-marut serta diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok. Kerusakan SDA dan lingkungan paling parah juga terjadi di daerah miskin sumber daya SDA dimana lahan dan sumber daya yang ada di atasnya merupakan pilihan utama mata pencaharian penduduk. Sementara itu, kebodohan penduduk menyebabkan mereka umumnya menggantungkan sumber mata pencahariannya pada sektor pertanian dan hasil hutan. Kondisi seperti ini dialami oleh sebagian besar daerah kabupaten di Jawa dan Madura, sehingga dari hari ke hari luas hutan di Jawa dan Madura semakin menyempit. Diperkirakan luasnya kurang dari 15 % dari seluruh luas tanah. Padahal sebenarnya luas hutan dan areal di Jawa paling sedikit 30 % dari seluruh luas tanah. Sebagian besar penduduk yang berpengetahuan rendah, menyikapi pemberlakuan otonomi daerah yang bersamaan dengan krisis ekonomi dalam hal eksplolitasi SDA dengan cara-cara yang tidak/kurang bertanggungjawab, pertama; tidak taat hukum/peraturan, beberapa contoh dalam hal ini; penjarahan hutan (termasuk hutan reboisasi), penjarahan areal pertambangan yang sudah dikonsesikan kepada perusahaan (BUMN, BUMD & Swasta) dan mengolah tanah dengan serampangan (tidak sesuai dengan kaidah/metoda pertanian). Dampak negatif dari penjarahan hutan dan cara bertani yang salah dan ilegal telah menyebabkan kerugian ganda, yakni kehilangan lapisan tanah subur karena erosi, banjir setiap hujan besar, sumber air semakin menyusut dan kepunahan dari sebagian flora serta fauna langka. Kedua; rendahnya tingkat kepedulian dan rasa tanggung jawab, baik kepedulian/tanggung jawab sosial maupun lingkungan alam; bahkan terhadap masa depan diri dan anak cucunya. Ketiga; malas bekerja, gejala ini tampak dari banyaknya tenaga muda potensial yang putus sekolah atau tamat sekolah malas bekerja, mereka banyak yang meninggalkan kampung/desa tempat tinggalnya berbondong-bondong pergi ke kota. Di kota mereka lebih banyak menjadi beban karena sebagian hanya bekerja secara sambilan di sektor informal (seperti pedagang kaki lima, pengamen, buruh bangunan, pengemis, dll). Gejala perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi), baik yang permanen maupun yang musiman, merupakan penyebab utama terjadinya

kesemrawutan wajah kota, kriminalitas dan kepadatan penduduk kota yang sulit diperhitungkan serta dikendalikan. Sementara itu, aktivitas pertanian dan nelayan di

desa-desa telah mengalami stagnasi,bahkan penurunan yang signifikan karena kekurangan tenaga kerja muda. Dua gejala yang kontradiktif (pertumbuhan kota yang sangat cepat, tak teratur di satu pihak dan pedesaan yang stagnan serta banyaknya kerusakan lingkungan di pihak lain), tampaknya di era otonomi daerah ini tidak dipandang sebagai suatu masalah yang patut mendapat perhatian dan upaya solusi yang sungguh-sungguh. Bilamana hal ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan masalah besar dan kompleks sehingga makin sulit diatasi. Di samping itu perusakan atau pelanggaran terhadap lingkungan yang dibiarkan berkepanjangan dapat menyebabkan para pelakunya menjadi bebal (tidak merasa apa yang diperbuatnya sebagai suatu kejahatan). Padahal penjahat lingkungan itu merupakan teroris laten karena akibat perbuatannya dapat menyengsarakan banyak orang di masa yang akan datang yang tidak dapat diperkirakan berapa lama. Kebijakan otonomi daerah muncul karena dirasakannya kebutuhan mencegah terjadinya disintegrasi nasional setelah lengsernya presiden Soeharto, serta memberikan kesempatan yang lebih luas bagi daerah untuk menguasai dan memperoleh pendapatan dari sumberdaya mereka. Papua Barat dan Aceh, yang paling berkeinginan untuk merdeka, ditawarkan paket otonomi khusus yang disetujui menjadi undang-undang pada akhir 2001. Selama ini, hutan sebagai salah satu sumber daya alam terpenting di Indonesia, telah menjadi sumber pertikaian kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah telah mengambil alih kewenangan atas sumber-sumber tersebut, sementara pemerintah pusat tetap berusaha untuk mempertahankan penguasaan atas sumber daya yang ada. Salah satu kementerian yang sangat menentang digerogotinya kekuasaannya oleh adanya otonomi daerah adalah Kementerian Kehutanan. Perebutan kekuasaaan antara pusat dan daerah terfokus pada hal-hal dibawah ini : Pendapatan dari penebangan Dengan undang-undang tahun 1999 tentang desentralisasi keuangan, pendapatan dari kehutanan harus dibagi 80% untuk daerah dan 15% untuk pemerintahan pusat. Pada

tahun 2000 menteri kehutanan Nur Mahmudi mengusulkan pembagian 70% dan 30% yang memicu kemarahan para kepala daerah. Pendapatan dana reboisasi Pemerintah pusat pada awalnya mengusulkan pembagian dana reboisasi sebesar 40% untuk daerah dan 60% bagi pemerintah pusat. Pembagian ini kemudian dirubah menjadi 90:10 dimana daerah mendapatkan porsi terbesar. Pengambilan keputusan mengenai HPH SK 05.1 tahun 2000 yang diterbitkan bulan November 2000, memperbolehkan pemerintah daerah menetapkan izin HPH. Menteri kehutanan mencoba untuk merevisi keputusan tersebut pada tahun berikutnya, karena beberapa bupati mengeluarkan ratusan izin penebangan di daerah mereka, namun tidak dihiraukan. Kemudian ada sebuah ancaman baru bagi hutan Indonesia dan masyarakat hutan yaitu sesuatu yang disebut HPH kecil yang diberikan oleh pejabat lokal. Yang dimaksud disini adalah HPH seluas 100 hektar (HPHH), yang didasarkan pada keputusan menteri (KepMen HutBun 310/1999) untuk mengurangi penebangan ilegal dan konflik atas sumberdaya alam. Dasar pemikirannya adalah untuk meningkatkan pendapatan daerah dengan memberi masyarakat kesempatan mengeksploitasi hutan. Desa dapat membentuk koperasi atau perusahaan kemudian melakukan penebangan di areal hutan konversi selama 1 tahun. Izin untuk kegiatan ini adalah wewenang pemerintah daerah. Di beberapa propinsi, ratusan HPH 100 hektar telah dikeluarkan dan masih ada ratusan lainnya yang telah mengajukan permohonan. Wilayah propinsi Kalimantan Timur dan Barat yang paling banyak tercatat mengeluarkan izin tersebut. Di Kutai Barat, bupati Rama Asia hingga pertengahan 2001 telah mengeluarkan lebih dari 600 HPH kecil. Bupati Bulungan dan Kutai Tengah juga mengeluarkan ratusan izin, tetapi pejabat kehutanan propinsi Kalimantan Timur tidak mengetahui secara pasti berapa banyak yang telah dikeluarkan. Dinas Kehutanan Kalimantan Barat mengeluh terlalu banyaknya HPH kecil yang diterbitkan di daerah-daerah seperti Sintang.

Banyak bukti menunjukkan bahwa efek dari banyaknya penebangan berskala kecil sama merusak dengan HPH besar. Tidak ada pemantauan di mana penebangan itu dilakukan hanya, sehingga mungkin melebihi 100 hektar. Terlebih lagi banyak izin ini diberikan juga untuk daerah hutan produksi dimana masih terdapat banyak kayu komersial. Setidak-tidaknya ada satu kabupaten dimana sebuah kontraktor perusahaanperusahaan dari Malaysia mengambil alih izin tahunan semacam ini dan berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lain apabila izinnya sudah selesai. Masih ada banyak masalah lain. HPH kecil bukannya meredam konflik, bahkan sebaliknya menimbulkan persengketaan antar masyarakat desa dan antar desa dengan perusahaan penebangan. Di Kutai Barat, 250 kasus konflik di 15 kecamatan disebabkan persengketaan karena daerah HPH kecil tumpang tindih dengan HPH yang telah ada sebelummnya, konflik dengan keluarga setempat atau desa karena batas HPH-100 hektar tidak jelas dan konflik mengenai siapa yang berwenang memberi izin. Yang membingungkan adalah karena istilah HPH kecil juga dipakai untuk merujuk konsesi yang lebih besar. Surat keputusan menteri no 5.1 tahun 2000 mengizinkan kabupaten untuk memberikan izin penebangan hingga 50.000 hektar dan propinsi hingga 100.000 hektar kepada perusahaan lokal. Sebenarnya izin penebangan ini dimaksudkan untuk daerah hutan produksi yang telah habis masa berlakunya atau yang dicabut izinnya oleh pemerintah pusat. Sejak adanya otonomi daerah, beberapa pejabat lokal memanfaatkan peluang ini untuk mengeluarkan peraturan atau keputusan daerah yang memungkinkan mereka memberi izin untuk HPH di daerahnya. Izin semacam ini diberi nama berbedabeda di masing-masing daerah seperti IPH (di kabupaten Batanghari); IUPHHK (Kutai Barat) dan IPKHPA (Merangin). HPH yang diterbitkan oleh daerah setempat mengandung banyak hal negatif, diantaranya : Semua izin hanya dapat diperoleh oleh usaha berbadan hukum: yaitu koperasi atau perusahaan. Dengan demikian masyarakat tidak dapat mengajukan permohonan melalui lembaga adat; Perusahaan dan koperasi sering dikuasai oleh pengusaha dari kota, pejabat pemerintah dan anggota asosiasi setempat dan bukan masyarakat hutan; Korupsi. Izin diberikan oleh bupati sebagai hadiah kepada pendukungnya dan kemungkinan dijual kembali kepada perusahaan-perusahaan lain;

Perencanaan hutan pada tataran propinsi dan nasional hampir-hampir tidak mungkin; Meningkatnya penggundulan hutan yang diakibatkan oleh penebangan illegal karena tidak adanya pengawasan. Pada bulan Februari tahun 2001 para bupati mendesak presiden Megawati untuk

menyerahkan wewenang penuh atas hutan kepada mereka. Kemudian pada bulan yang sama menteri kehutanan yang baru, Muhammad Prakosa me-resentralisasi manajemen hutan dengan membatalkan SK Mahmudi pada tahun 2000. Dengan demikian para bupati dan gubernur tidak diperbolehkan lagi mengeluarkan izin penebangan. Prakosa menyatakan dalam sebuah wawancara pada bulan April 2002 bahwa desentralisasi akan dilakukan secara selektif dan perlahan-lahan. Maka semakin tidak jelas wewenang bupati dalam membuat keputusan tentang hutan. Hal ini diperparah karena peraturan pelaksanaan undang-undang kehutanan tahun 1999 khususnya yang menekankan tentang pembagian otoritas administratif hingga saat ini belum juga selesai. Hierarki Kewenangan Para bupati menganggap bahwa mereka dapat mengabaikan arahan dari pemerintah pusat karena tidak adanya hirarki kewenangan antara pusat, propinsi dan kabupaten. Mereka berpendapat bahwa peraturan daerah (perda) memiliki bobot yang sama dengan peraturan pemerintah pusat sehingga mereka dapat tetap memakai perda meskipun hal itu bertentangan dari peraturan pemerintah pusat. Salah satu kelemahan otonomi daerah ialah kecenderungan penguatan posisi elit politik dan bisnis setempat. Wirausahawan, pejabat pemerintah dan aparat militer bersama-sama menggali sebanyak mungkin keuntungan dari hutan dalam waktu yang sesingkat mungkin, melalui perizinan HPH setempat. Di Kalimantan Tengah contohnya, sebuah investigasi yang dilakukan oleh ORNOP Telapak dibantu oleh EIA dari Inggris menemukan adanya penebangan ilegal dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting. Perusahaan kayu tersebut dikendalikan oleh Abdul Rasyid, seorang anggota MPR. Perusahaannya Tanjung Lingga diidentifikasikan sebagai sarana transit semua hasil kayu curian di Kalimantan Tengah serta diketahui memiliki jaringan untuk mengekspor kayu ilegal ke Cina. Meskipun Rasyid sudah disidik oleh kantor kejaksaan agung namun hingga saat ini dia tidak ditahan.

Di beberapa daerah, Perhutani dan Inhutani dituduh berkolusi dengan pejabat setempat dan pengusaha perkayuan dalam melakukan penebangan secara ilegal. Kelompok masyarakat sipil telah mendesak pemerintah daerah untuk mencegah perusahaan-perusahaan yang korup ini beroperasi. Sangat disayangkan, Undang-Undang No.22 dan No.25 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah yang semula dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat justu pada akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan dan menimbulkan polemik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

BAB III : PENUTUP

A. KESIMPULAN Pemberlakuan Otonomi Daerah membawa dampak buruk terhadap pengelolaan SDA di semua daerah. Penduduk dan atau warga masyarakat mengeksploitasi SDA dengan semena-mena tanpa dilandasi pertimbangan kearifan dan kemaslahatan demi kepentingan jangka panjang dan keseimbangan lingkungan. Pendayagunaan SDA yang semena-mena memberikan dampak negatif ganda (multiple impact) terhadap semua aspek kehidupan dan sumber penghidupan masyarakat yang pada gilirannya merugikan generasi yang akan datang.

B. SARAN Menanggapi persoalan yang dibahas dalam makalah ini, penulis memliki beberapa saran yang mungkin bisa diterapkan, yaitu : Pemerintah atau pihak yang berwajib harus menerapkan kebijakan yang ketat terhadap pengelolaan kawasan konservasi SDA seperti: hutan lindung, hulu sungai, sumber mata air, DAS dan hutan pantai tirai gelombang. Pemerintah atau pihak yang berwajib harus konsisten menerapkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta memberikan sanksi hukum yang berat kepada perusak lingkungan. Pemerintah atau pihak yang berwajib harus membuka akses kepada masyarakat tentang informasi kebijakan pendayagunaan SDA. Pemerintah atau pihak yang berwajib harus membuka ruang partisipasi masyarakat dalam memperoleh dan menyalurkan informasi, serta mencari solusi kerusakan SDA sebagai akibat pengelolaan yang salah/illegal. Pemerintah atau pihak yang berwajib harus menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian pengelolaan SDA yang intensif dan ekstensif. Masyarakat harus memberikan masukan kepada pemerintah tentang pendayagunaan dan penyelamatan SDA yang benar.

Masyarakat harus memberikan informasi secara dini tentang kejadian/peristiwa bencana alam, kerusakan lingkungan dan pelaku kejahatan lingkungan/SDA. Masyarakat memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan lingkungan dan SDA.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat,

Firman.

Menggali

Potensi,

Mengubah

Paradigma.

http://green(Diakses

pnpm.com/pnpmlmp/baru/BeritaNew/DetailBerita.php?kodeberita=B0037. tanggal 21 Desember 2011).

Majid, Abdul. Dampak Positif dan Negatif Otonomi Daerah Terhadap Kemajuan Bangsa Indonesia. http://majidbsz.wordpress.com/2008/06/30/dampak-positif-dan-

negatif-otonomi-daerah-terhadap-kemajuan-bangsa-indonesia-dilihat/. (Diakses tanggal 21 Desember 2011). Nababan, Abdon. Konflik Penguasaan & Pengelolaan Sumberdaya Alam : Implikasinya Terhadap Masyarakat Adat.

http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/makalah_ttg_konflik_sda.html. (Diakses tanggal 21 Desember 2011). Purbawati , Christina Yulita. Kapitalisme Merusak Alam!.

http://koranpembebasan.wordpress.com/2011/10/13/kapitalisme-merusak-alam/. (Diakses tanggal 21 Desember 2011). Tarmansyah, Umar S. Dampak Negatif Otonomi Daerah dan Peran Dephan Dalam Pendayagunaan Sumber Daya Nasional untuk Kepentingan Pertahanan Negara. http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=4&vnomor=14. (Diakses tanggal 21 Desember 2011) -. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999. http://www.djmbp.esdm.go.id/sijh/uu-25-1999.pdf. (Diakses tanggal 21 Desember 2011). -. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999. http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-22-1999.pdf. (Diakses tanggal 21 Desember 2011).

You might also like