You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan erotis, seperti misalnya prostitusi, pornografi, saluran-saluran telepon seks, panti pijat, pendamping (escorts), dan penari telanjang. Para wanita di dalam bisnis seks bekerja di berbagai macam lingkungan atau tempat, termasuk rumah bordil, bar, hotel, dan jalan-jalan. Pekerja-pekerja seks seringkali menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang parah. Kenyataannya, bahwa banyak juga pekerja seks yang mempunyai masalah dengan adiksi, yang membuat mereka semakin rawan terhadap penganiayaan, penyakit, dan diskriminasi.

Sebaiknya tidak perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi karena akan ada seseorang dipersalahkan karena aktivitas tersebut. Dan ini menjadi tidak adil dalam konteks di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual. Pandangan itu mungkin dapat menimbulkan kontroversi apabila dilontarkan di Indonesia karena masyarakat kita pasti menolak pandangan seperti itu. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara hukum dan agama dilarang di Indonesia, kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak di kota-kota besar di Indonesia.

Tindak kriminal seksual dibagi ke dalam dua kategori: mereka yang menjadi korban dan mereka yang bukan.

Dari perspektif korban, pemerkosaan orang dewasa, pemerkosaan anak-anak dan remaja, dan penyerangan seksual masuk ke dalam kategori tindak kriminal karena seseorang telah menjadi korban. Sementara itu, aktivitas seksual yang dipersiapkan melalui persetujuan kedua belah pihak, prostitusi dan pornografi, tidak ada korbannya (victim-less). Artinya, pihak yang terlibat di dalamnya menganggap tidak ada yang saling dirugikan.

B. TUJUAN

C. MANFAAT

BAB II PEMBAHASAN MASALAH


A. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah memberi pelayanan sosial seperti ini bukan hanya memproteksi hak perempuan, tetapi mencegah munculnya masalah sosial yang disebabkan prostitusi. Apabila demikian adanya, lalu apakah Indonesia perlu melegalkan prostitusi? Penulis menolak tegas gagasan legalisasi prostitusi di Indonesia, tetapi yang penulis setuju adalah bagaimana gagasan dekriminalisasi prostitusi dapat diwacanakan kepada publik dan diimplementasikan dalam regulasi pemerintah.

Gagasan dekriminalisasi dimaksud adalah memandang prostitusi sebagai suatu isu moral. Jika dua orang dewasa mencapai kesepakatan menyangkut persetujuan mengenai seks, kita

sebaiknya tidak memandang persetujuan mereka sebagai tindak kriminal, apa pun alasannya. Apakah kesepakatan itu melibatkan uang atau tidak. Yang perlu dicermati prostitusi dipandang dari dimensi moral, dan pada dimensi inilah pemerintah seharusnya melakukan kajian dan hasilnya didiseminasikan kepada masyarakat. Dengan ini, masyarakat akan termotivasi untuk memberdayakan norma dan nilai agama dalam mengendalikan atau menghentikan praktik prostitusi secara sistematis melalui sebuah proses jangka panjang.

Lalu bagaimana sebaiknya sikap dan tindakan kita terhadap prostitusi? Hingga sekarang, belum ada seorang pun yang berhasil secara tuntas mendekriminalisasi prostitusi dan mengeliminasi semua masalah yang berkaitan dengan prostitusi. Namun, jika Pemerintah Indonesia hanya sebatas melarang kegiatan prostitusi dengan undang-undang dan regulasi lainnya, hal itu justru akan mendorong prostitusi berlangsung secara bawah tanah.

Pada tahap berikutnya, prostitusi bawah tanah ini akan mendorong munculnya campur tangan organisasi kriminal terorganisasi maupun korupsi di kalangan penegak hukum, dan muncul masalah sosial lainnya. Sekarang sudah saatnya semua pihak, termasuk birokrat, peneliti, akademisi, agamawan, dan praktisi, duduk bersama dan menemukan solusi efektif untuk menyelesaikan masalah prostitusi. Kita tidak perlu menangani isu ini dengan sikap yang terlalu emosional. Wujud dari pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual adalah munculnya kebijakan nasional yang mendorong pemerintah daerah membuat konsep pusat kesenangan seksual dengan cara mendirikan bangunan besar dan bertingkat di pusat bisnis di tengah-tengah kota. Akan lebih bijaksana karena dampak sosialnya paling kecil dibandingkan dengan membangun lokalisasi wanita tunasusila (WTS) di daerah yang bercampur baur dengan penduduk setempat.

B. Faktor-Faktor Penyebab Prostitusi

masa kolonial umumnya dalam keadaan subsisten, karena sebagian tanah mereka disewa untuk Salah satu faktor penyebab maraknya praktek prostitusi dalam tiga lintas kekuasaan adalah kemiskinan. Kondisi ekonomi penduduk pribumi pada ditanami tanaman komoditi eksport. Ketika pengaruh ekonomi uang semakin kuat dan meluas di kalangan penduduk pedesaan yang membawa mereka semakin jauh terlibat dalam ekonomi kapitalistik, kondisi perekonomian penduduk pada umumnya tetap miskin dan bahkan semakin tidak menentu ketika terjadi depresi ekonomi pada tahun 1930-an.

Ketika depresi ekonomi memuncak pada sekitar tahun 1930, kondisi sosial dan perekonomian penduduk terguncang hebat karena banyak buruh dan tenaga kerja kehilangan pekerjaan akibat banyak peusahaan yang bangkrut, adanya pembatalan proyek-proyek pemerintah akibat krisis tersebut, dan sebagainya, sehingga angka pengangguran pun membengkak. Dengan kondisi sosial dan perekonomian seperti itu tidaklah mengherankan jika aktivitas prostitusi d cenderung meningkat karena desakan ekonomi. Kondisi demikian juga di dukung oleh kenyataan bahwa sebagian besar tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan adalah pria, sehingga tidak mengherankan apabila aktivitas prostitusi kemudian cenderung meningkat. Di tempat-tempat yang merupakan pusat kegiatan perdagangan maupun perekonomian seperti perkebunan, industri/pabrik, dan pelabuhan seperti halnya Bataviasering dijumpai praktikpraktik prostitusi yang sulit terkontrol.

Meningkatnya pembangunan dan perluasan jaringan transportasi di Jawa, khususnya jalur kereta api dan jalan raya, sejak masa liberal tahun 1870 dan sesudahnya memacu pula laju urbanisasi orang-orang miskin dari pedesaan ke kota, seperti Jakarta, untuk bekerja di luar sektor

agraria. Hal ini pada akhirnya mendorong perkembangan perkampungan buruh, tempat-tempat penginapan, warung-warung minuman, serta praktek-praktek prostitusi di sekitar stasiun kereta api seperti di sekitar stasiun Kota, Jatinegara, Tanah Abang, juga di sekitar pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu, kemiskinan juga menimbulkan semakin banyak gembel dan pengemis.

Faktor lain yang turut memiliki andil besar bagi pesatnya perkembangan prostitusi di adalah tingginya arus urbanisasi.. Kondisi perekonomian yang masih memprihatinkan dan tingginya arus urbanisasi penduduk pada tahun 1950an, lebih-lebih sejak 1959 perkembangan ibukota menjadi bagian politik mercu suar yang bertujuan membuar RI sebagai inti dari The New Emerging Forces, mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk dengan berbagai eksesnya, seperti kurangnya lapangan kerja, pemukiman, pertanahan, dan masalah sosial dengan tingkat kerawanan tinggi, termasuk perkembangan prostitusi.

C. Bentuk Penanganan

Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan.

Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka.

Di wilayah DKI Jakarta misalnya, landasan kebijakan yang digunakan aparat dalam melakukan penertiban terhadap para perempuan yang dilacurkan adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta. Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal proses pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar suaranya, khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang sebenarnya penting didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas praktik prostitusi dengan segala eksesnya.

Isi Perda No 11/1988 oleh banyak kalangan dipandang cenderung diskriminatif dan bias kelas, karena yang menjadi sasaran penertiban kebanyakan mereka yang beroperasi di jalan dengan alasan melanggar ketertiban umum. Sementara di diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan hotel berbintang yang terselubung, alasan penertiban hanyalah pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu pun bisa diatur. Di pihak lain, dari kelompok yang memakai bendera agama, penggerebekan dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang bulu, bahkan cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia berbuat baik, termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru dibimbing yang benar.

Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat kantung-kantung prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena

HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban.

Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban.

C. Pendekatan Kemanusiaan

Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi. Selama ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan.

Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan

pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah abolisionis yang memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain.

Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita bahumembahu mencari solusi persoalan, memberi bekal para perempuan yang dilacurkan untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca- tulis, keterampilan rias wajah, menyamak kulit, menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung.

Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.

Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan penertiban, diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi pajangan. Karena perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan saksi pelapor juga diperlukan. Kerja sama dan pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal dalam pemulangan juga diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek pemulangan saja.

D. Upaya Penghapusan Prostitusi

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi tetap saja ada dan tidak dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi itu telah sama tuanya dengan kehidupan manusia sendiri. sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci, bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku prostitusi itu dan berupaya untuk menghilangkannya. Upaya seperti itu adalah tidak mungkin, naif dan absurd. Namun bukan berarti dengan begitu kita semua dapat membiarkan prostitusi terus berlangsung di sekitar kita.

pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan pula. Tapi tidak mungkin pula untuk menghapuskan prostitusi adalah juga fakta tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata. Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama. upaya menanggulangi prostitusi hanya dengan pendekatan moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu.

Diibaratkan, seperti memberi makanan kering kepada orang yang sedang kehausan. Pemerintah bersama seluruh masyarakat disarankan untuk menggunakan pendekatan sosial, budaya, ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian serta menjawab persoalan prostitusi secara komprehensif. Setidaknya, upaya itu dapat menekan dan meminimalkan perilaku prostitusi yang berkembang dalam masyarakat luas dengan tidak selalu menyalahkan perempuan sebagai pelaku dan penyebab prostitusi padahal lelaki yang banyak memanfaatkannya.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.

Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk MELACUR.

B. Saran

Apa pun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan.

Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam memakan uang rakyat banyak.

masyarakat bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA
Abeyasekere, Susan, Jakarta A History. Singapore : Oxford University Press, 1989.

Azuma, Yoshifumi, Abang Beca. Sekejam-kejamnya Ibu Tiri Masih Lebih Kejam Ibukota. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Berdoeri, Tjamboek, Indonesia dalan Api dan Bara. Jakarta: ELKASA, 2004. Brown, Louise, Sex Slaves. Sindikat Perdagangan Perempuan di Asia. Kata pengantar Sulistyowati Iranto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Cruetzberg, P. dan J.T.M. van Laanen (eds), Sejarah Statistik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987. Darmarastri, Hayu Adi, Keberadaan Nyai di Batavia, 1870-1928, dalam Lembaran Sejarah, vol.4, No.2, 2002. Hadiz, L. S. Aripurnami, S.Sabaroedin, Perempuan dan Industri Seks dalam INFID (ed.), Pembangunan di Indonesia,Memandang dari Sisi Lain. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1993. Hanna, Willard A., Hikayat Jakarta, penerjemah Mien Josbhar dan Ishak Zahir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988. http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-kepolisian/prostitusi-why/ http://sejarah.fib.ugm.ac.id/artdetail.php?id=22 http://beritapendidikan.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=13&artid=1156

You might also like