You are on page 1of 5

HUKUM ADAT LAOT DI ACEH Dalam masyarakat Aceh, terdapat pengelompokan penting dalam pembagian dan pengaturan kekuasaan

adat yang jelas pada suatu wilayah. Pertama panglima laot. Lembaga hukum adat laot/panglima laot merupakan suatu lembaga yang memimpin adat dan kebiasaan yang berlak dibidang penangkapan ikan dilaut, termasuk dalam hal mengatur tempat (areal) penangkapan, penambatan perahu dan penyelesain sengketa bagi hasil. Pada dasarnya panglima laot merupakan tugas pokok dalam menjaga persatuan dan kesatuan kaum nelayan, dan tugas ini tidaklah mudah mengingat perilaku nelayan kadang kala menyerupai ganasnya laut (dalam penelitian hakim disebutkan nelayan sedikit tempramen. Hakim Nyapha (1980) memberi catatan bahwa panglima laot harus mampu dan arif dalam bertindak Lembaga ini juga bertugas menegakkan aturan adat dan memberi sanksi berupa denda dan melaksanakan kenduri bagi nelayan diwilayahnya yang melanggar aturan berupa seranganserangan karena suatu hal. Disamping itu panglima laut juga mempunyai kewenangan dibidang adat kelautan dalam hal mengurus dan mengatur batas wilayah lautan yang dapat untuk dilayari dan dapat dipunguti hasil. Kedua, keujreun blang. Keujreun blang berkaitan dengan kegiatan bersawah, figur yang menjadi keujreun blang pun biasanya berasal dari petani yang tekun dan disiplin. Biasanya untuk dapat menduduki jabatan fungsionaris lembaga keujreun blang harus memenuhi syarat-syarat, selain hasil pemilihan dan persetujuan pejabat setempat, yakni (1) berpengalam dalam bidang kemasyarakatan, (2) menguasai hukum pertanian, (3) memahami keuneunong. Disamping itu keujreun blang dalam hal lain bersama para pimpinan adat lainnya berwenang mengadili dan memberi sanksi pada pelanggaran hukum adat dibidang pertanian, baik itu pada prosesi pelaksanaan itu sendiri, maupun dalam hal-hal lain yang berkaitan lansung dengan pelaksanaan adat istiadat pertanian. Ketiga lembaga petuah seneubok, yang merupakan salah satu lembaga yang memimpin dan mengatur tentang pembukaan lahan (hutan) untuk pertanian dan perkebunan. Lembaga ini berwenang dalam mengatur dan mengatur proses pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat adat sehingga setiap masyarkat akan memperoleh hak yang sam dalam pembukaan hutan. Lembaga ini menjadi lambaga yang harus dipatuhi oleh setiap masyarakat adat yang ingin membuka ladang untuk pertanian karena lembaga ini dapat memberi sanksi bagi yang melanggarnya. Bidang perburuan pun sebagai bagian dari keberadaan hutan, para pemburu harus mematuhi adat gle yang diatur lembaga seunebok. Dalam adat Aceh, lembaga seunebok mengatur masalah perburuan untuk kelestarian alam dan lingkungan hutan, baik dengan memilih hewan (berdasarkan jenis dan usia) yang boleh diburu, maupun dalam hal perilaku pemburu yang

tidak boleh seenaknya membakar hutan dikala memburu, karena dapat merusak hutan (alam) dan merugikan. Seperti halnya dalam proses turun kesawah, kenduri juga dikenal dalam lembaga seunebok ini, biasanya dilakukan sebelum atau sesudah membuka lahan kawasan seunebok dan sehabis panen. Pada waktu-waktu tertentu juga diadakan pada saat tanaman mulai berbungan dengan makna religius yang sangat dalam. Melihat adat laot Aceh, kita kemudian perlu melihat pasal 7 UU Nomor 44 tahun 1999, yang menyebutkan bahwa daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembagalambaga adat dan mengakui lembaga-lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing diprovinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kemukiman, dan kelurahan/desa atau gampong. Diperjelas lagi dengan pasal 1 ayat (5) perda nomor 7 tahun 200, menegaskan: lembaga adat sesuatu organisasi kemasyarakatan adar yang dibentik oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. Pemimpin hukum adat laut dalam masyarakat Aceh disebut panglima laot atau abu laot. Pengangkatannya dilakukan melalui suatu pemilihan dalam musyawarah. Jabatan ini bersifat profesional. Calon yang dipilih dari kalangan pawang laot, yang tentu sangat berpengalaman dalam bidang kelautan. Utuk menjadi panglima laot harus mengerti masalah-masalah adat laot, cara menangkap ikan, arif dan bijaksana, serta berwibawa. Tugas dan tanggung jawab panglima laot menggambarkan bahwa cukup berat dan penuh resiko. Apalagi dalam melaksanakan tugas tersebut, harus berhadapan dengan para nelayan, para pawang, atau para mereka yang umumnya beremosial tinggi. Semetara, untuk melaksanakan itu, mereka mendapatkan imbalan yang tidak seberapa. Namun, suasana yang berwibawa membuat jabatan ini dihormati. Dalam pengaturan hukum, pasal 1 ayat (14) perda nomor 7 tahun 2000 disebutkan: lembaga panglima laut merupakan suatu lembaga yang berlaku dibidang penangkapan ikan dilaut, termasuk dalam hal mengatur tempat (areal) penangkapan, penambatan perahu dan penyelesain sengketa Sebagai lemabaga hukum adat, panglima laot yang dikenal turun temurun oleh rakyat Aceh, mempunyai peran yang sangat strategis dalam bidang kelautan. Masalah telah pula secara tegas diatur dalam UU nomor 22 tahun 1999, UU nomor 44 tahun 1999, UU nomor 18 Tahun 2001, dan perda nomor 7 tahun 2000. Jadi secara eksplisit tak ada alasan adat laot di Aceh tidak bisa dilaksanakan, karena hal ini telah ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Satu hal lagi yang menjadi
2

keunggulan hukum adat laot, dimana masyarakat patuh pada hukum adat laut, karena hukum tersebut mereka sepakati sendiri. Penyelesainnya pun dilakukan oleh lembaga sendiri secara musyawarah dan kekeluargaan.

TENTANG HUKOM ADAT DAN LEMBAGA ADAT LAOT Keputusan musyawarah panglima laot tentang hukum adta laot merupakan ketetapn dari hukum yang sudah ada sebelumnya dari masing-masing wilayah adat dalam provinsi Aceh dengan demikian seluruh panglima laot se-Aceh dapat mengumumunkan kepada seluruh nelayan yang ada didaerahnya masing-masing. Hukum adat laut di Aceh merupakan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat nelayan diwilayah masing-masing. Nelayan atau pengusaha perikanan laut didaerah melakukan usaha penangkapan ikan pada wilayah hukum adat tersebut harus tunduk pada hukum adat yang berlaku didaerah itu (hak ulayat laut). Panglima laot merupakan lembaga adat yang keduduknanya berfungsi sebagai ketua adat bagi kehiduoan masyarakat nelayan: (a) resolusi konflik; (b) advokasi nelayan; (c) koordinasi dengan berbagai pihak, pemerintahan, dan nonpemerintahan, demi kesejahteran masyarakat nelayan pantai. Di wilayah perairan laot Aceh terdapat sejumlah aturan penankapan ikan dan bagi hasil ikan. Aturan tersebut tetap merupakan hukum aat bag nelayan yang melakukan penangkapan didaerah itu. Diwilayah Aceh juga dikenal beberapa hari pantang melaut, yakni sebagai berikut: 1. Kenduri adat laot dilaksanakan selambat-lambatnya 3 tahun sekali atau tergantung kesepakatan dan kesanggupan nelayan setempat, dinyatakan 3 hari pantang melaut pada acera kenduri tersebut dihitung sejak keluar matahari pada hari kenduri hingga tenggelam matahari pada hari ketiga. 2. Hari jumat dilarang melaut selama satu hari, terhitung dari terbenamnya matahari hari kamis samapai dengan terbenamnya matahari pada hari jumat. 3. Hari raya idul fitri, dilatng melaut selama 4 hari terhitung sejak tebenamnya matahari pada satu hari sebelum hari raya sampai dengan terbenamnya matahari pada hari kedua hari raya. 4. Hari raya idul Adha dilarang melaut selama 4 hari, terhitung mulai terbenamnya matahari pada satu hari sebelum hari raya sampai dengan terbenamnya matahari hari ketiga hari raya.

5. Hari kemerdekaan 17 agustus dilarang melaut selama satu hari terhitung mulai tenggelamnya matahari pada tanggal 16 agustus sampai dengan terbenamnya matahari pada 17 agustus. 6. Terakhir pantang melaot ditambah satu hari lagi pada tanggal 26 desember sebagai usaha untuk selalu mengingat musibah terbesar sepanjang abad, gempa yang disusul gelombang tsunami di Aceh yang terjadi pada Ahad, 26 desember 2004. Pantang laot 26 desember ini, diputuskan setelah musyawarah panglima laot se-Aceh pada 9-12 desember 2005 di Banda Aceh. Ada emapat aspek adat laot yang sekarng berlangsung, yakni pertama, adat sosial. Adat sosial dalam operasional dan kehidupan nelayan diantaranya: (a) pada saat terjadi kerusakan kapal/perahu atau alat alat tangkap lainnya dilaut mereka memberikan suatu tanda yaitu menaikkan bendera tanda meminta bantuan (SOS), bagi perahu yang melihat aba-aba terseburt langsunf datang mendekati dan memberi bantuan. (b) jika terjadi musibah nelayan tenngelam dilaut, seluruh perahu mencari mayat dilaut, perhai tersebut berkewajiban mengambil dan membawa mayat tersebut kedaratan. Kedua, adat pemeliharaan lingkungan yang mencakup: (a) dilarang melakukan pemboman, peracunan, pembiusan, penglistrikan, pengambilan terumbu karang dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup ikan dan biota lainnya, (b) dilarang menebangmerusak poho-pohon kayu dipesisir panatai laut seperti pohon arun/cemara,, pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya yang hidup di pantai, (c) dilarang menangkap ikan/biota laut lainnya yang dilindungi (lumba-lumba, penyu dan lain sebagainya) Ketiga adat kenduri laut. Adat kenduri laut dimasing-masing lhok dan kabupaten/kota dalam provinsi Aceh mempunyai ciri sendiri dan bervariasi satu dengan lainnya, menurut keadaan masing-masing daerah, dan tetap mempertahankan nilai-nilai islami. Keempat adat barang hanyut. Setiap barang (perahu, perahu panglong dll) yang hanyut dilaut dan ditemukan oleh seorang nelayan, harus diserahkan kepada panglima laot setempat untuk pengurusan selanjutnya. Untuk keberlangsugan adat tersebut juga ada sanksi hukumnya. Bagi nelayan yang melanggar ketentuan akan dikenakan tindakan hukum, berupa: (a) seluruh hasil tnagkapannya disita, (b) dilarang melaut minimun selam 3 hari dan selama-lamanya 7 hari. Jika terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap tindakan hukum yang telah ditetapkan, maka lembaga hukom adat laot akan mengambil tindakan administratif melalui pejabat yang berwenang setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan staf lembaga hukum adat laot.

Diseluruh Aceh tercata ada 146 lhok yang masing-masing dipimpin panglima laot lhok. Seiring dengan kebutuhan masing-masing dan makin luasnya jangkauan wilayah, para panglima laot kemudian membentuk organisasi ditingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Pembentukan panglima laot diwilayah provinsi, pernah mendapat kritikan dari beberapa kalangan pemerhati adat. Kritikan bahkan protes ini lahir karena dalam sejarahnya panglima laot ini hanya ada di Lhok. Masalahnya, bagaimana dengan kepentingan yang lintas lhok atau lintas kabupaten dan kota. Ketika masalah ditangkapnya banyak nelayan Aceh diluar negeru, tentu peran ini tak bisa dilaksanakan oleh panglima laot lhok. Yang lebih penting lagi, lembaga ini diputuskan oleh panglima laot dan para pelaku dan pemerhati adat, bukan sebagai top down tapi button up. Dalam satu wilayah lhok, dimana nelayan berpangkalan dan masyarakat nelayan berdomisili, dipimpin oleh seorang panglima laot. Wilayah lhok yang dimaksud adalah suatu wilayah pesisir pantai atau nelayan dimana nelayan berdomisili dan melakukan penangkapan ikan. Wilayah tersebut dapat berorientasi untuk satu gampong pantai, beberapa gampong (satu kemukiman), kecamatan, atau satu kepulauan seperti halnya pulo Aceh.

You might also like