You are on page 1of 9

Salahuddin Al Ayyubi

Salahuddin Ayyubi atau Saladin atau Salah ad-Din


(Bahasa Arab: -,,` ,-' `-, Kurdi: -' `-, ,,) (Sho-lah-huud-din al-ay-yu-bi)
(c. 1138 - 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit (daerah
utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasti Ayyubid di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak,
Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena
kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang ksatria dan pengampun pada saat ia
berperang melawan tentara salib. Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama.
Beliau memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud
Latar belakang
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi<ref>Ibn Khallikan says that Saladin's father
and his family originated from Dvin, and "they were Kurds." See Vladimir Minorsky, The
Prehistory of Saladin, Studies in Caucasian History, Cambridge University Press, 1957, pp. 124-
132.</ref> . Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi)
meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak).
Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa
Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky,
gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek,
Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi
gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek
inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun
politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari
teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169,
Shalahudin diangkat menjadi seorang Vizier (konselor).
There, he inherited a difficult role defending Egypt against the incursions of the Latin Kingdom
of Jerusalem, under Amalric I. His position was tenuous at first; no one expected him to last long
in Egypt where there had been many changes of government in previous years due to a long line
of child caliphs fought over by competing viziers. As the leader of a foreign army from Syria, he
also had no control over the Shi'ite Egyptian army, which was led in the name of the now
otherwise powerless caliph Al-Adid. When the caliph died, in September 1171, Saladin had the
imams pronounce the name of Al-Mustadi, the Sunni and, more importantly, Abbassid caliph in
Baghdad, at sermon before Friday prayers, and the weight of authority simply deposed the old
line. Now Saladin ruled Egypt, but officially as the representative of Nur ad-Din, who himself
conventionally recognised the Abbassid caliph. Saladin revitalized the economy of Egypt,
reorganized the military forces and, following his father's advice, stayed away from any conflicts
with Nur ad-Din, his formal lord, after he had become the real ruler of Egypt. He waited until
Nur ad-Din's death before starting serious military actions: at first against smaller Muslim states,
then directing them against the Crusaders.
With Nur ad-Din's death (1174), he assumed the title of sultan in Egypt. There he declared
independence from the Seljuks, and he proved to be the founder of the Ayyubid dynasty and
restored Sunnism in Egypt. He extended his territory westwards in the maghreb, and when his
uncle was sent up the Nile to pacify some resistance of the former Fatimid supporters, he
continued on down the Red Sea to conquer Yemen. He is also regarded as a Waliullah which
means the friend of God to the Sunni Muslims.

Dari usia belasan tahun Shalahuddin selalu bersama ayahnya di medan pertempuran melawan
Tentara Perang Salib atau menumpas para pemberontakan terhadap pemimpinnya Sultan
Nuruddin Mahmud. Ketika Nuruddin berhasil merebut kota Damaskus tahun pada tahun 549
H/1154 M maka keduanya ayah dan anak telah menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada
pemimpinnya.
Dalam tiga pertempuran di Mesir bersama-sama pamannya Asaduddin melawan Tentara Perang
Salib dan berhasil mengusirnya dari Mesir pada tahun 559-564 H/ 1164-1168 M. Sejak itu
Asaduddin, pamannya diangkat menjadi Perdana Menteri Khilafah Fathimiyah. Setelah pamnnya
meninggal, jabatan Perdana Menteri dipercayakan Khalifah kepada Shalahuddin Al-Ayyubi.
Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi
Bizantium yang melancarkan Perang Salib kedua terhadap Mesir. Sultan Nuruddin
memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan
mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad mulai tahun 567 H/1171 M
(September). Setelah Khalifah Al-'Adid, khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka
kekuasaan sepenuhnya di tangan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M, Damaskus diserahkan kepada puteranya yang
masih kecil Sultan Salih Ismail didampingi seorang wali. Dibawah seorang wali terjadi
perebutan kekuasaan diantara putera-putera Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi
terpecah-pecah. Shalahuddin Al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi
ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya
Shalahuddin Al-Ayyubi melawannya dan menyatakan diri sebagai raja untuk wilayah Mesir dan
Syam pada tahun 571 H/1176 M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga Mousul, Irak
bagian utara.
Naik ke kekuasaan
Di kemudian hari Saladin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan
Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric I. Kedudukannya cukup sulit
pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir mengingat
sebelumnya telah banyak terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam beberapa tahun terakhir
disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin
dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang
masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-Adid.



Shalahuddin Al-Ayyubi
Shalahuddin Al-Ayyubi adalah panglima pasukan Muslim pada Perang Salib.

Shalahuddin Al Ayyubi, Pahlawan Islam dari Seratus Medan
Pertempuran (1137 - 1193 M)
Hudzaifah.org - SULTAN SALAHUDDIN AL-AYYUBI, namanya telah terpateri di hati sanubari
pejuang Muslim yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah
perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang
merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.

Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur
nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka
Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media
peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan melalui
"Siratun Nabawiyah". Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.

Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat
perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama
(Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama
dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul
mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari Inggris.

Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat penuh
kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu jiwa, di mana topan
kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke daerah Asia Barat
yang Islam.

Seorang penulis Barat berkata, "Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang paling gila dalam
riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama
hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami kegagalan,
berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta
mengalami kebangkrutan sosial, bila bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam
medan perang, sedangkan bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat
dibayangkan berkecamuk sebagai noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat
itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit dan para
pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin".

"Setiap cara dan jalan ditempuh", kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan itu. Selagi seorang
tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan gereja serta
dibebaskan dari segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa.

Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh ribu orang.
Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang serbuan pertama
dengan menghancurkan kota itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya yang tak bersalah, dan
melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman yang tak terkendali. Gerombolan
manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib itu mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria
menjadi daerah-daerah yang tandus.

"Bilamana mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan-kejahatan dan kebuasan-
kebuasan yang membuat alam semesta menggeletar" demikian tulis pengarang Perancis Michaud.

Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, menurut pengarang
Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah dan paling dungu. Bercampur dengan
kefanatikan dan kedunguan mereka itu izin diberikan guna melakukan perampokan, perzinaan dan
bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin dan Darussalam dalam kemeriahan pesta cara gila-
gilaan dan perampokan, pengrusakan dan pembunuhan yang merupakan peninggalan jelek dari mereka
atas setiap daerah yang mereka lalui" kata Marbaid.

Gelombang serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut keterangan penulis
Mill "terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas. Massa yang membabi buta itu menyerbu dengan
segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok dan membunuh. Tetapi akhirnya mereka
dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib
sebelumnya.

Tentara Salib telah mendapat sukses sementara dengan menguasai sebagian besar daerah Syria dan
Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan mereka ini telah disusul
dengan keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak bersalah yang melebihi kekejaman
Jengis Khan dan Hulagu Khan.

John Stuart Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal penduduk
Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill menulis: "Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan
anak-anak dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu.
Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan pandangan sebuah masjid merupakan
pembangkit nafsu angkara untuk melakukan kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota
Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan
ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk "Kutub Khanah" (Perpustakaan) Tripolis yang
termasyhur itu. "Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga," kata Stuart
Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi yang tua dan
yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan.

Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak kemenangannya dan Kaisar
Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja Inggris telah turun ke medan pertempuran untuk turut
merebut tanah suci Baitul Maqdis, gabungan tentara Salib ini disambut oleh Sultan Shalahuddin al
Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar Muslim yang menghalau kembali gelombang
serbuan umat Nasrani yang datang untuk maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk
menghalau serbuan tentara Salib itu, akan tetapi yang dihadapi mereka sekarang ialah seorang yang
berkemauan baja serta keberanian yang luar biasa yang sanggup menerima tantangan dari Nasrani Eropa.

Siapakah Shalahuddin? Bagaimana latar belakang kehidupannya?

Shalahuddin dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari ayahnya sendiri
yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi. Di samping itu pamannya yang terkenal
gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin, yakni
Asaduddin Sherkoh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat Raja Syria Nuruddin Mahmud.

Asaduddin Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani, adalah komandan Angkatan Perang Syria yang
telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir. Sherkoh memasuki Mesir dalam
bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan Shawer seorang menteri khalifah Fathimiyah
yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis. Serbuan Sherkoh yang gagah berani itu serta
kemenangan akhir yang direbutnya dari Babain atas gabungan tentara Perancis dan Mesir itu menurut
Michaud memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai ringgi.

Ibnu Aziz AI Athir menulis tentang serbuan panglima Sherkoh ini sebagai berikut: "Belum pernah sejarah
mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari
pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda".

Pada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo dan diangkat oleh Khalifah Fathimiyah sebagai
Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh tidak ditakdirkan untuk lama
menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah.

Sepeninggal Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Perdana Menteri Mesir. Tak
seberapa lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana
itu. Pada saat khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin telah menjadi penguasa yang sesungguhnya
di Mesir.

Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi dan
digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda ini diperalat oleh
pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin. Shalahuddin mengirimkan
utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan
melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya.
Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap
pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi itu. Suasana yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi
angin kepada tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang
gagah berani, Jenderal Sherkoh.

Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan
Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu,
dan hanya bersedia untuk menghancurkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar.
Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu
pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.

Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud,
melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku
Malikus Saleh. dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi
Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh
meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di
Asia Barat.

Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di Palestina, tetapi menurut
ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan
Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan." Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan
senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang
lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.

Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan
Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M serta
menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan kesempatan lagi kepada
tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan melanjutkan serangannya setelah kemenangan di
bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang
diduduki kaum Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut.
Demikian juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang
diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.

Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem yang diduduki
tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak sanggup
menahan serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193. Sikap penuh perikemanusiaan Sultan
Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti
langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin
ketika dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.

Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib pada tahun
1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah
kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita kekalahan itu.
Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang
tinggi, ada yang lari masuk istana, menara-menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi
mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana
kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu yang singkat. mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh
kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang langgang. Di
tengah-tengah kekacaubalauan kaum peenyerbu itu yang terdengar hanyalah erangan dan teriakan maut.
Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka
yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri. Raymond d' Angiles yang menyaksikan peristiwa itu
mengatakan bahwa di serambi masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang
kuda prajurit.

Penyembelihan manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk melakukan
misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh. Tetapi setelah beribadah itu, mereka
melanjutkan kebiadaban dengan keganasan. Semua tawanan kata Michaud, yang tertolong nasibnya
karena kelelahan tentara Salib yang semula tertolong karena mengharapkan diganti dengan uang tebusan
yang besar, semua dibunuh dengan tanpa ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari
menara dan rumah kediaman; mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya
di bawah tanah; mereka dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas
timbunan mayat.

Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat
di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu angkara tentara yang
menang itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu. Dan sejumlah kecil yang dapat
melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina dina.

Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula: Telah diputuskan, bahwa kaum Muslimin tidak
boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh karena itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk
dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada buah dadanya, anak-anak laki-laki dan
perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-Iapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok
Jerusalem yang sepi telah dipenuhi oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota
tubuh anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat kebajikan.

Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem sekira satu abad
sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam
yang tewas.

Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M, dia memberi
pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang
diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering terjadi
bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya
pula kemudian alat pengangkutan. Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka
datang menjumpai Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: Tuan saksikan kami berjalan kaki, para
istri serta anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin meninggalkan
negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami. Bila kami kehilangan
mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan mereka kepada kami mereka akan
dapat meringankan penderitaan kami dan kami akan mempunyai sandaran hidup.

Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan dibebaskannya para
suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa
seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa
yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum
Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu abad sebe1umnya. Para komandan pasukan
tentara Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah
dikalahkan itu.

Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan oleh kota-kota yang
dikuasai kaum Nasrani. Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem, kata Mill, pergi menuju
Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan kepada
mcreka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke tanah kaum Muslimin
dan diterima di sana dengan baik. Michaud mcmberikan keterangan yang panjang lebar tentang sikap
kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan ini terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli
menutup pintu kotanya dari pengungsi ini, kata Michaud. Seorang wanita karena putus asa
melemparkan anak bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk
memberikan pertolongan kepadanya, kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin bersikap penuh
timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan
mereka, dia tidak memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.

Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara Salib yang
tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem,
menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota
yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan
Debersak. Sultan telah melepas hulu balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa
dia harus segera pulang ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima
kasih ini mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan yang
cukup besar dan mengepung kota Ptolemais.

Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani.
Sehingga mereka segera mengirimkan bala bantuan dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman dan
Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar untuk
merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung kota Akkra yang tidak dapat direbut
selama berapa bulan. Dalam sejumlah pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan
meninggalkan korban yang cukup besar.

Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan dari Eropa. Bala
bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan sungguh pun kekalahan
dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini jumlah semakin besar juga. Kota
Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya
karena kehabisan bahan makanan terpaksa menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama
secara khidmat, bahwa tidak akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan
membayar uang tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan
dalam suatu penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum
Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan pandangan mata saudara sesama
kaum Muslimin.

Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia bernadzar
untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam pertempuran yang
berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan pukulan-pukulan yang berat
terhadap tentara Salib.

Akhirnya Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan permintaan damai yang diterima oleh Sultan.
Raja itu merasakan bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang berkemauan baja dan tenaga yang tak
terbatas serta menyadari betapa sia-sianya melanjutkan perjuangan terhadap orang yang demikian itu.
Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan
tanah suci dengan ransel dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.

"Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib itu" tulis Michaud "di mana gabungan pasukan
pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota Akkra dan kehancuran kota
Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya yang besar beserta kehancuran
tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan Salib mendarat di depan kota Akkra dan
yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa
dengan penuh kesedihan menerima hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh karena yang turut dalam
pertempuran terakhir adalah tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah
turut dalam pertempuran ini.

Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan
masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi serta masjid-
masjid di seluruh daerah yang diperintahnya.

Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa bulan
kemudian dia pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193. "Hari itu merupakan hari musibah
besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum Muslimin, semenjak mereka kehilangan
Khulafa Ar-Rasyidin" demikian tulis seorang penulis Islam. Kalangan Istana seluruh daerah kerajaan
berikut seluruh umat Islam tenggelam dalam lautan duka nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan
jenazahnya ke kuburan dengan penuh kesedihan dan tangisan.

Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam
perikemanusiaannya dan tak ada tolok bandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya dalam sejarah
kemanusiaan. Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim yang penuh kasih sayang
terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis dengan keperkasaan seorang genius dalam
medan pertempuran. Utusan yang menyampaikan berita kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta
baju perangnya, kudanya, uang sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih
ketinggalan. Orang yang hidup satu zaman dengannya, serta segenap ahli sejarah sama sependapat bahwa
Sultan Shalahuddin adalah seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang
sahabat yang baik dari kaum cendekiawan dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan rasa hormat
yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. "Di Eropa" tulis Philip K Hitti, dia telah menyentuh alam
khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri
teladan kaum kesatria.

Semoga Allah melapangkan kuburnya.

You might also like