You are on page 1of 8

HIWALAH (PEMINDAHAN HUTANG)

Disusun guna memenuhi tugas. Mata kuliah Dosen Pengampu : : Fiqh II Agus Khumaedi, M.Ag.

Kelas RE3 C

Disusun oleh: Nama NIM : Musyafa : 2021210111

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN TAHUN AJARAN 2011

PENDAHULUAN

Agama yang sempurna membawa aturan berinteraksi (muamalah) antara sang khaliq dan mahkluk melalui ritual ibadah yang dapat menyejukkan jiwa dan menjernihkan hati hanyalah satu-satunya agama Islam. Islam juga mengatur berbagai interaksi antarsesama manusia, seperti jual beli, hiwalah, gadai, utang piutang, salam, dan jenis muamalah lainnya. Sehingga kita dapat hidup dalam ikatan tali persaudaraan, suasana aman, adil dalam naungan kasih sayang Allah SWT. Hiwalah merupakan pemindahan pertanggungan utang dari pihak yang berhutang kepada pihak yang menanggung utang. Allah SWT mensyariatkan hiwalah untuk menyelamatkan harta dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Terkadang seseorang membutuhkan untuk membebaskan tanggungan utangnya dengan dialihkan kepada orang lain. Dalam makalah ini, pemakalah akan menjelaskan hiwalah mengenai selanjutnya. tentang definisi, rukun dan syarat, beban muhil setelah hiwalah. Yang akan di paparkan dalam bab

PEMBAHASAN

A. Definisi hiwalah Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan. Maka Abdurrahman al-jaziri yang dikutip dalam buku fiqh muamalah karangan Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:

pemindahan dari satu tempat ketempat yang lain Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikanya, antara lain sebagai berikut: Menurut hanafiyah, yang di maksud hiwalah ialah

memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula. Menurut Al-jaziri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah

perpindahan utang dari tanggung jawab seorang menjadi tanggung jawab orang lain. Menurut syihab Al-din Al-qolyubi berpendapat bahwa yang di maksud dengan hiwalah ialah

akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seorang kepada orang lain. Menurut muhammad syatha Al-dimyati berpendapat yang dimaksud hiwalah ialah

akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seorang menjadi beban orang lain. Menurut Ibrahim al-bajuri berpendapa bahwa hiwalah ialah

pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan. Menurut Taqiyudin yang dimaksud dengan hiwalah ialah

pemindahan beban dari seorang menjadi beban orang lain. Menurut sayid sabiq, yang dimaksud hiwalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal alaih. Menurut Idris ahmad hiwalah ialahsemacam ikatan (ijab kabul) pemindahan hutang dari tanggungan seseorang yang berhutang kepada orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkanya.1 Dalam karangan Moh.Rifai, hiwalah ialah aqad mengalihkan tanggung jawab membayar hutang dari seseorang kepada orang lain. Misalnya Murtaji mempunyai hutang, semestinya dialah yang wajib membayar hutang tersebut, tetapi kewajiban membayar hutang itu dialihkan kepada Rika dengan aqad.2 B. Dasar Hukum Hiwalah Pelaksanaan Al Hiwalah dibenarkan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

(artinya) : Orang yang mampu membayar haram atas melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar. (HR. Ahmad dan Baihaqi).3 C. Rukun Hiwalah Menurut syafiiyah rukun hiwalah itu ada empat yaitu; 1. muhil yaitu: orang yang menghiwalahkan yaitu memindahkan hutngnya.

Suhendi. Hendi, Haji, Fiqh Muamalah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 99-100. Rifai. Moh, Haji. Drs, Mutiara Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 1998, hal. 741. 3 Rasjid. Sulaiman, Haji, Fiqh Islam (hukum Fiqh Lengkap), cet.27, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1994, hal. 312.
2

2. muhal yaitu:orang yang di hiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang kepada muhil. 3. muhalalaih yaitu:orang yang menerima hiwalah. 4. sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya; Aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada si fulandan kabul dari muhal dengan kata-katanyaaku terima hiwalah engkau.4

D. Syarat-syarat Hiwalah Memindahkan suatu tanggungan (hutang) kepada orang lain boleh, dengan syarat sebagai berikut; 1. kerelaan orang yang menanggung dan penerima orang yang di beri pertanggungan . 2. kepastian hutang. 3. persesuain hutang. 4. lepasnya pertanggungan dari orang yang hutang . Orang yang hutang rela kalau tanggungannya di pindahkan kepada orang lain yang di serahi tanggungan menerima dengan baik. Dengan adanya kerelaan dan penerimaan tersebut orang yang hutang telah melepaskan kewajibanya dan oarang yang telah menerima tanggungan telah siap menanggungnya. kerelaan dan penerimaan tersebut perubahnya seperti dalam jual beli yang harus di lakukan dengan saling merelakan. Kepastian hutang menjadi salah satu syarat hiwalah. Seperti dalam jual beli harus ada kepastian harga, dengan demikian tidak ada perselisihan tentang jumlah yang harus di tanggung jawabkan. Persesuaian hutang artinya antara yang di hutangi dengan orang yang di limpahi pertanggung jawaban telah sepakat dan sefaham tentang jenis-jenis hutang, ukuranya, batas waktu pembayaran dan lain-lain. Lepasnya pertanggung jawaban dari orang yang hutang . Dengan pelimpahan hutang tersebut. Orang yang hutang telah lepas dari tanggung jawabnya, dan orang yang telah di serahi tanggung jawab mempunyai kewajiban penuh untuk memenuhi tanggung jawab itu.5

Ibid. Rifai. Moh, Haji. Drs, Dkk, Terjemahan Khulashah Kifayatul Akhyar, CV. Toha Putra, Semarang, 1978, hal. 204
5

E. Beban Muhil setelah Hiwalah Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andai kata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat Ulama Jumhur. Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhalalaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhalalaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil. Abu Hanifah, Syarih dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhalalaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihkannya. 6

Ibid. 103

PENUTUPAN

A. Simpulan Setelah mengetahui tentang apa yang sudah dijelaskan dalam pembahasan di atas, dapat di simpulkan bahwa hiwalah itu memiliki dasar hukum hadis, dan juga memiliki rukun dan syarat-syarat sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari seandainya kita akan menjumpai masalah hiwalah dalam lingkungan masyarakat. Dengan adanya hiwalah tentu menimbulkan sebab akibat terjadinya beban muhil dalam berhiwalah. B. Penutup Demikianlah makalah yang sangat sederhana ini, penulis berharap semoga bermanfaat bagi kita. Saran dan kritik kami harapkan demi perbaikan selanjutnya, tak lupa di ucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA Suhendi. Hendi, Haji, Fiqh Muamalah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 99-100. Rifai. Moh, Haji. Drs, Mutiara Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 1998, hal. 741. Rasjid. Sulaiman, Haji, Fiqh Islam (hukum Fiqh Lengkap), cet.27, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1994, hal. 312. Rifai. Moh, Haji. Drs, Dkk, Terjemahan Khulashah Kifayatul Akhyar, CV. Toha Putra, Semarang, 1978, hal. 204.

You might also like