You are on page 1of 27

BAB 11

KONSEKUENSI INOVASI
Mengubah kebiasaan orang merupakan suatu hal yang bahkan lebih sulit daripada operasi pembedahan Edward H. Spicer (1952) Human Problems ini Technological Change, p.13 Konsekuensi adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada seseorang atau sistem sosial sebagai hasil pengadopsian atau penolakan suatu inovasi. Suatu inovasi punya efek kecil sampai ia tersebar ke anggota sistem dan menggunakannya. Jadi, invensi dan difusi merupakan jalan/alat untuk mencapai tujuan akhir; konsekuensi pengadopsian suatu inovasi. Walaupun konsekuenasi ini penting, hanya sedikit kajian yang dilakukan oleh peneliti difusi. Lebih jauh, data yang kami punya tentang konsekuensi sifat agak lunak; banyak penelitian tentang hal ini berupa studi kasus, walaupun tahun-tahun terakhir ini para peneliti survai juga mengkaji konsekuensi. Kekurangan perhatian penelitian dan sifat data seperti ini menjadikan sulit membuat generalisasi tentang konsekuensi. Kami dapat memerikan konsekuensi dan membuat kategori untuk pengklasifikasian konsekuensi, tetapi tidak dapat memprediksi kapan dan bagaimana konsekuensi itu akan terjadi. Tidak hanya para peneliti yang kecil perhatiannya terhadap konsekuensi, para agen pembaru begitu juga. Mereka sering menduga bahwa pengadopsian inovasi tertentu hanya akan menghasilkan keuntungan bagi pengadopsinya. Asumsi-asumsi ini condong pro-inovasi, telah dibahas di Bbab 3. agen pembaru harusnya menyadari tanggung-jawab mereka terhadap konsekuensi inovasi yang mereka perkenalkan. Mereka harus dapat memperkirakan keuntungan dan kerugian inovasi bila diperkenalkan ke binaan mereka, tapi ini jarang dilakukan. Pemerkenalan mobilsalju ke pemburu kijang Lapp di Finlandia Utara menggambarkan sulitnya memperkirakan efek suatu teknologi. Setiap inovasi menghasilkan rekasi-reaksi sosial dan ekonomis yang terjadi dikeseluruhan struktur sosial sistem binaan. REVOLUSI MOBILSALJU DI ARTIC1 Di AS kita berpikir bahwa mobil-salju merupakan alat penting untuk rekreasi musim dingin. Sejak penemuan Ski-Doo, suatu kendaraan salju perorangan (seperti sepeda-motor salju) oleh Joseph Armand Bombadier dari Quebec pada 1958, pengadopsian mobil-salju menyebar secara dramatis, dan dalam belasan tahun saja lebih dari sejuta kendaraan jenis ini digunakan di Amerika Utara. Beberapa teriakan menentang ski-doo (nama sebutan kendaraan mobil-salju) disuarakan, berkenaan dengan polusi suara yang dihasilkan motor-salju ini di area terbuka yang tadinya damai di AS dan Kanada. Tetapi di kalangan Skolt Lapps, pemburu rusa di Finlandia Utara yang tinggal di atar Lingkar Artik, pemerkenalan yang begitu cepat mobil-salju menyebabkan konsekuensi yang berjangkau-jauh yang bagi para anthropolog mengistilahkan bencana (Pelto, 1973). Kami berusaha mengungkap kembali adegan-per-adegan peristiwa itu dalam catatan kami ini, dalam upaya
1

Paparan konsekuensi inovasi mobilsalju di kalangan Skolt Lapps ini didasarkan pada kajian Pelto (193), Pelto dan Muller-Wille (1972), dan Pelto dkk (1969).

menggambarkan satu metode penyelidikan konsekuensi suatu inovasi teknologis. Dalam pendekatan ini, sebagaimana kebanyakan penyelidikan konsekuensi, seorang ilmuwan sosial (biasanya antropologis) mengkaji secara intensif suatu komunitas kecil dan terisolasi. Dr. Perrti Pelto dari Universitas Connecticut telah tinggal bersama Skolt Lapps di daerah Sevettijarvi di Finlandia Utara selama beberapa tahun, mulai tahun 1958, sebelum diperkenalkannya mobil-salju pada tahun 1962-1963. pelto kembali ke komunitas ini berulangkali pada dekade berikutnya dalam rangka menilai dampak revolusi mobil-salju melalu observasi partisipan, wawancara personal, dengan Lapps, dan melalui kerjasama dengan seorang asisten riset/informan kunci (yang adalah Skolt Lapp pertama kali membeli mobilsalju). Pelto memilih untuk memusatkan perhatian pada inovasi teknologi tunggal karena konsekuensinya lebih jelas dann relatif lebih mudah dilacak. Kabanyakan dampaknya tak menyenangkan. Pelto beralasan bahwa mobilsalju merupakan representasi kelas inovasi teknologis yang mengalihkan energi lokal ke energi dari luar (misalnya, dalam hal ini kereta luncur rusa salju) dengan suatu ketergantungan pada sumbersumber luar (mobil-salju dan bensin) Sebelum pemerkenalan mobil-salju, Skolt Lapps tergantung pada kawanan rusa kutub yang dijinakkan untuk kehidupan mereka. Seperti halnya ikan, daging rusa-kutub merupakan makanan utama mereka. Kereta luncur rusakutub merupakan alat transportasi utama, dan kulit rusa-kutub digunakan untuk bahan baju dan sepatu. Kelebihan daging dijual ke toko untuk membeli tepung, gula, teh, dan bahan pokok lainnya. Para Lapps memandang dirinya sebagai pemburu rusa-kutub, dan prestise diperoleh lelaki dengan untaian rusa-kutub buruan. Masyarakat Lapps bersistem egaliter di mana setiap keluarga punya jumlah binatang yang hampir sama jumlahnya. Anak-anak Skolt menerima sebuah gigi rusa-kutub pertama, sebuah name-day reindeer dan hadiah pada saat-saat tertentu, termasuk hadiah perkawinan rusa-kutub, sehingga suatu keluarga baru mulai dengan kumpulan kecil binatang kesayangan. Orang-orang Lapps merasakan suatu hubungan khusus dengan rusa-kutub mereka, dan memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang. Dapat dipastikan rusa-kutub merupakan obyek utama dalam budaya Lapp. Pada akhir tahun 1961 sebuah Bombadier Ski-Doo dari Kanada dipertontonkan di Rovaneimi, ibukota kota Finnish Lapland. Seorang guru sekolah membeli mobil-salju ini untuk kendaraan rekreasi, tetapi kemudian diketahui bahwa kendaraan ini bermanfaat untuk mengankut kayu dan barang belanjaan dari toko. Kemudian mobil-salju juga digunakan untuk berburu kawanan rusa-kutub oleh Lapp yang tinggal di utara Sevettigarvi, di mana lahannya terdiri dari padang tundra tanpa pohon. Dalam setahun (1962-1963) dua ski-do dibeli untuk perburuan rusa-kutub di Sevettigarvi, yang lahannya berupa hutan dan bebatuan. Para pemburu rusa-kutub lelaki harus mengemudikan kendaraannya dengan berdiri di atas pijakan kaki atau dengan lutut di tempat duduk, tidak sebagaimana pengemudi lazimnya (seperti naik sepeda-motor). Mobil-salju dirancang untuk kendaraan rekreasi, dan Lapps harus mengemudikannya tegak agar mereka dapat melihat rusakutub dari jarak jauh dan dapat mengemudi di antara bebatuan, pohonpohon, dan rintangan lainnya. Tetapi berkendara gaya tegaknya Lapps sangat berbahaya ketika mereka menabrak halangan, karean pengemudi akan terlempar ke depan. Berantakannya mobil-salju sering terjadi di wilayah Sevettigarvi. Meskipun ada masalah seperti itu, tingkat adopsi mobil-salju sangat cepat di kalangan Lapps. Tiga mobil-salju diadopsi pada tahun kedua difusi (1963 1964), lima lagi pada tahun 1964 -1965, delapan lagi pada 1965 1966, dan

kemudia enambelas pada 1966 1967; pada 1971 hampir semua orang dari 72 keluarga di Sevettigarvi setidaknya punya satu mobil-salju. Tahun 1966 1967 merupakan tahun yang menonjol di mana kecepatan adopsi inovasi melonjak, sebagian karena suatu model yang diperbarui, Motoski, diperkenalkan dari Sweden. Ia punya motor yang lebih kuat dan lebih nyaman dikendarai di lahan yang buruk. Keuntungan utama mobil-salju adalah perjalanan jauh lebih cepat. Perjalanan berputar dari Sevettigarvi untuk membeli barang belanjaan di pertokoan Norwegian berkurang dari 3 hari jika menggunakan kereta rusa-kutub menjadi hanya 5 jam dengan menggunakan mobil-salju. Dalam beberapa tahun saja dari pemerkenalannya, mobil-salju telah menggantikan sepenuhnya perjalanan dengan menggunakan ski dan kereta-luncur rusakutub. Malangnya, dampak mobil-salju terhadap rusa-rusa-kutub Lapp adalah bencana. Kebisingan mesin dan bau knalpot menurunkan rusa-kutub hampir mendekati wilayah liar. Hubungan pertemanan antara Lapps dan binatang-binatang mereka terganggu oleh mesin-mesin berkecepatan tinggi itu. Rusa-rusa-kutub yang lari ketakutan menyusutkan jumlah anak rusakutub yang lahir per-tahunnya. Sebagai akibatnya, rata-rata jumlah rusakutub per-keluarga di Sevettigarvi berkurang dari 52 sbelum hari-hari adanya mobil-salju menjadihanya 12 pada tahun 1971, satu dekade setelahnya. Kenyataannya, rata-rata ini keliru karena sekitar dua-pertiga rumahtangga Lapps berhenti memelihara rusa-kutub karena mobil-salju; kebanyakan tidak dapat menemukan pekerjaan lain dan menganggur. Di pihak lain, satu keluarga di Sevettigarvi, yang relatif awal membeli mobil-salju, membangun peternakan besar rusa-kutub, dan pada tahun 1971 menguasai sepertiga dari semua rusa-kutub di komunitas itu. Tidak hanya ketakutan rusa-rusa-kutub itu yang lebih sedikit punya anak, tetapi cepat merosotnya jumlah rusa-kutub juga terjadi karena banyak binatang itu yang disembelih ntuk dijual dagingnya, agar dapat membeli mobil-salju, BBM, suku cadang dan biaya pemeliharaannya. Sebuah mobilsalju baru harganya sekitar $ 1.000, dan BBM serta reparasi menghabiskan uang sekitar $ 425 pertahun. Mengabaikan relatif tingginya ongkos (bagi Skolt Lapps, yang berdasar kehidupan subsisten), mobil-salju dipandang sebagai kebutuhan rumahtangga, dan naik kendaraan bermotor dianggap jauh lebih berprestise daripada naik kendaraan ski atau kereta-tarik rusakutub. Revolusi mobil-salju mendorong Skolt Lapp terperangkap ketergantungan pada uang tunai, hutang dan pengangguran. Orang boleh heran mengapa Lapps, memberikan kecintaan mereka terhadap rusa-kutub dan dampak bencana antar peternakan rusa-kutub yang disebabkan mobil-salju, tidak menolak inovasi teknologis ini. Alasannya, menurut Dr Pelto (1973) karena tidak ada penjelasan apapun dalam pemerkenalan dan difusi mobil-salju itu yang dapat dikaji dan didiskusikan kemungkinan akibat di masa yang akan datang , dan apakah proses itu perlu diteruskan atau tidak. Penilaian dampak teknologi itu mungkin telah dilakukan pada awal tahun 1960an, namun itu tidak dilakukan, sebagian karena Lapps secara teknis tak mampu mengantisipasi konsekuensikonsekuensi jangka panjang mobil-salju itu. Lagipula komunitas Lapps itu sangat individualistik, dan keuntungan teknologi itu pada para pengadopsi awalnya (yang cenderung lebih kaya dan lebih muda dari kebanyakan penduduk), pengadopsian sama sekali tidak bisa dicegah. Maka sekarang, budaya berpusat rusa-kutub suku Skolt Lapp telah rusak parah. Kebanyakan keluarga menganggur dan tergantung pada subsidi sosial pemerintah. Revolusi mobil-salju di Artic membawa pada konsekuensi yang mencelakakan bagi rusa-kutub dan Lapp yang bergantung pada mereka dalamkehidupannya.

Sejak kajian anthropologis tentang revolusi mobil-salju oleh Pertti Pelto, pengembangan teknologi-teknologi tertentu lainnya terjadi di Lapland. Selama musim panas, beberapa orang Lapp mulai menggunakan sepedamotor untuk menggembalakan rusa-rusa-kutub mereka. Dan mereka yang kaya bahkanmulai menggunakan helikopter. Jumlah rusa-kutub yang disembelih untuk diambil dagingnya ditemukan perutnya bisulan. MODEL PENGKAJIAN KONSEKUENSI Kami kemukakan pada bab ini bahwa konsekuensi inovasi umumnya kurang dikaji pada riset difusi masa lalu. Banyak riset masa lalu menanyakan: Apakah variabel yang berhubungan dengan keinovativan?. Sementara penelitian seperti itu telah memainkan peran yang bermanfaat di masa lalu, penyelidikan dimasa yang akan datang perlu menanyakan: Apakah dampak pengadopsian inovasi?. Gambar 11-1 membandingkan tujuan dua jenis penelitian ini, yang sangat berbeda. Keinovatifan, variabel bergantung utama dikebanyakan riset masa lalu, sekarang hanya menjadi prediktor variabel bergantung yang lebih akhir, yakni konsekuensi inovasi. Model baru ini meminta penjelas konsekuensi, suatu tujuan riset yang lebih dekat pada tujuan kebanyakan lembaga pembaru. Mereka biasanya ingin terjadi konsekuensi yang diinginkan pada binaan mereka, tidak sekedar pengadopsian inovasi. Ilustrasi penggunaan model baru konsekuensi ini diberikan oleh Mason dan Halter (1968), yang pertama kali menentukan variabel-variabel yangberhubungan dengan keinovatifan para petani Oregon. Kemudian mereka memasukkan variabel keinovatifan, sejalan dengan variabel-variabel lain, untuk menjelaskan level produksi petani, salah satu tipe konsekuensi yang diharapkan dari pengadopsian inovasi pertanian. Mereka memperkirakan sekitar 50% varian dalam produksi pertanian, danmenemukan bahwa keinovatifan membuat suatu kontribusi yang unik dalam peningkatan panen. Penyelidikan seperti ini menunjukkan suatu pendekatan yang dapat kemungkinan memberikan generalisasi yang kuantifiabel dan prediktif tentang konsekuensi. Tetapi ada relatif sedikit penyelidikan kuantitatif tentang dampak inovasi seperti itu (kami akan membahas beberapa di antarannya pada akhir bab ini). Kebanyakan riseti difusi berhenti dengan suatu analisis tentang keputusan untuk mengadopsi suatu ide baru, mengabaikan bagaimana pilihan ini diterapkan dalam tindakan, dan apa konsekuensinya. Maka kebanyakan riset difusi menggugurkan satu langkah pendek konsekuensi (Goss, 1979). MENGAPA KONSEKUENSI KURANG DIKAJI? Ketika analisis isi yang cermat dilakukan terhadap semua publikasi difusi yang ada (pada tahun 1968), hanya 38 dari 1.500 laporan (kurang dari 3%) berkait dengan konsekuensi inovasi. Bacaan saya terhadap semua publikasi yang ada menunjukkan bahwa ketidak seimbangan ini belum berubah. Mengapa begitu sedikit kajian tentang konsekuensi? Tiga alasan, yaitu: 1. Lembaga pembaru, sering merupakan sponsor riset difusi, terlalu menekankan pada adopsi semata, secara tersirat beranggapan bahwa konsekuensi keputusan inovasi akan positif. Khususnya, para peneliti difusi mencurahkan banyak perhatiannya pada variabel anteseden adopsi, termasuk ciri-ciri sosial ekonomi dan pribadi responden dan perilaku komunikasi mereka. Lembaga-lembaga pembaru menduga bahwa inovasi itu dibutuhkan oleh klien mereka, bahwa pemerkenalannya diinginkan, dan bahwa pengadopsian inovasi menunjukkan keberhasilan. Tetapi kami tahu bahwa asumsi-asumsi pro-inovasi ini tidak selalu benar.

2. Barangkali metode-metode penelitian suravi yang biasanya digunakan tidak cocok untuk penelitian konsekuensi inovasi. Observasi yang diperluas waktunya dapat bermanfaat, atau pendekatan studi kasus mendalam mungkin bisa menghasilkan pemahaman lebih banyak tentang konsekuensi. Teknik observasi partisipan yang digunakan secara luas oleh para antropologis mungkin bisa berguna, karena ia tidak terlalu bergantung pada persepsi pengguna inovasi tentang konsekuensi pengadopsiannya2. Karena periset difusi telah sangat stereotip menyandarkan sepenuhnya pada metode survei dalam pengumpulan data, mereka telah mengabaikan mengkaji konsekuensi, sutu tipe penelitian yang tidak efektif jika menggunakan metode survei one-shot. Tetapi sayang, pendekatan antropologis yang kebanyakan menghasilkan data lapangan yang aneh-aneh dan data deskriptif sehingga sulit untuk membuat generalisasi untuk inovasi lain atau sistem sosial lain menjadi sulit. Studi konsekuensi itu rumit karena pada kenyataannya mereka biasanya terjadi dalam periode waktu yang panjang. Kajian konsekuensi inovasi tidak dapat diselesaikan hanya dengan menambah pertanyaan tambahan pada instrumen survei, tambahan sekian ratus responden yang dijadikan sampel, atau beberapa hari pengumpulan data di lapangan. Melainkan, harus digunakan pendekatan penelitian jangka panjang di mana konsekuensi dianalisis selama mereka berlangsung. Kalau tidak demikian, konsekuensi suatu inovasi tidak dapat dinilai atau diprediksi dengan tepat. Suatu kajian panel (yang betul-betul survei ganda di mana responden diwawancarai lebih dari sekali) memungkinkan beberapa responden diwawancarai baik sebelum dan setelah inovasi diperkenalkan dan dengan demikian dapat menghasilkan informasi yang diharapkan tentang konsekuensi3. Data yang kuat tentang konsekuensi juga bisa datang dari eksperimen kancah yang dilakukan secara cermat di mana suatu inovasi diperkenalkan ke suatu sistem sosial percontohan dan hasilnya dievaluasi di bawa kondisi realitis sebelum difusi dan adopsinya secara meluas. Kajian-kajian rentang waktu ini, seperti halnya kajian-panel dan eksperimen kancah percontohan, dapat memberikan data keras yang lebih dapat dikuantifikasi tentang konsekuensi, daripada sekedar deskripsi. Dan mereka dapat digunakan untuk prediksi ke masa yang akan datang, daripada sekedar post-mortem konsekuensi sebagaimana yang telah ada selama ini. Kenyataannya, kami mengambil beberapa ksjian-panel dan eksperimen kancah dalam pembahasan kami tentang persamaan hal dalam konsekuensi inovasi. 3. Konsekuensi sulit diukur. Orang yang menggunakan suatu inovasi sering tidak sepenuhnya sadar tentang konsekuensi-konsekuensi pengadopsian mereka. Karena itu setiap usaha untuk mengkaji inovasi hanya bergantung pada laporan responden yang bisa membawa pada kesimpulan yang tidak lengkap atau menyesatkan4. Penilaian mengenai konsekuensi hampir tak terhindarkan pasti subyektif dan bermuatan nilai, tak peduli siapapun yang menilai. Norma-norma budaya, acuanacuan pribadi, dan kecondongan-kecondongan merupakan bagian yang menyatu dari kerangka pikir setiap pengamat peristiwa sosial, walaupun ada upaya untukmembebaskan diri dari sikap-sikap berprasangka seperti itu. Sampai tingkatan tertentu setiap penilaian dampak diingin atau tidak diinginkan dari suatu inovasi dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya, latar belakang pendidikan, pandangan filofofisnya, dan semacamnya. Seorang peneliti dari satu budaya mungkin sulit
Barangkali penting bahwa para antropolog, yang menyelidiki konsekuensi lebih banyak daripada tradisi riset difusi lainnya, jarang menggunakan metode survai dalam penelitian mereka. 3 Contoh kajian panel tentang konsekuensi seperti itu dilakukan oleh Havens dan Flin (1975), Haven (1975), Singh dan Mody (1976), dan Shingi dkk (1981). 4 Inilah salah satu keuntungan metode observasi dalam pengumpulan data, yang tidak bergantung banyak (seperti halnya pada survei) pada persepsi pengguna tentang konsekuensi.
2

untukmembuat penilaian yangbetul-betul obyektif tentang diinginkan (atau tidak)nya suatu inovasi di negara lain (yang beda budayanya). Konsep relativisme budaya adalah pandangan bahwa setiap budaya dinilai sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya sendiri. Tidak ada budaya yang paling baik mutlak; setiap budaya bekerja dalam norma, nilai, kepercayaan, dan sika-sikapnya sendiri yang berfungsi paling efektif bagi dirinya sendiri. Karena itu, kondisi-kondisi pada suatu negara tertentu tampak asing dan tidak cocok bagi seorang pengamat asing, ketika banyak dari kondisi-kondisi ini merupakan hasil dari pengalaman, trial and error, dan evolusi berabad-abad. Kebanyakan sangat rasional, sesuai dengan kondisi-kondisi yang ada. Misalnya, banyak pendatang baru ke India dibingungkan dengan ribuan sapi suci yang kluyuran di seantero negara dengan bebasnya, sementara banyak penduduk yang hidup dalam kondisi kelaparan. Orang-orang asing agaknya tidak paham bahwa ternak sapi India memberikan pupuk bagi bahan bakar, pupuk, dan konstruksi rumah, dan mungkin itu merupakan unsur yang positif di India. Maka kekeramatan sapi dalam agama Hindu mungkin fungsional, daripada sekedar suatu keanehan budaya. Konsep relativisme budaya punya implikasi pada pengukuran konsekuensi. Karenanya, apakah data mengenai hasil suatu inovasi digali dari klien, agen pembaru, atau pengamat khusus, pandangan oleh para pengamat inovasi yang diperkenalkan dari luar ini mungkin sekali sesuai dengan selera subyektif kepercayaan budayanya. Konsekuensi haruslah dinilai sesuai dengan budaya pengguna yang fungsional, tanpa memaksakan kepercayaan normatif pihak luar tentang kebutuhan sistem klien. Relativisme budaya seperti ini betapapun sangat sulit diselesaikan. Masalah pengukuran lainnya tentang konsekuensi inovasi adalah bahwa mereka sering dikacaukan dengan dampak-dampak lain. Misalnya, dalam menilai hasil-hasil suatu inovasi seperti pupuk kimia pada hasil panen, seseorang tidak dapat mengabaikan konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkan oleh peistiwa-peristiwa alam seperti kekeringan atau letusan gunung berapi. Kerancuan ini sulit atau mustahil dihindari sama sekali, walaupun dengan cara eksperimen kancah yang cermat dengan pengukuran sebelum-dan-sesudah dan menggunakan kelompok kontrol. Maka salah satu masalah pengukuran konsekuensi inovasi adalah dengan menguraikan hubungan sebab-akibat. Idealnya, kita harusnya hanya mengukur konsekuensi-konsekuensi yang secara eksklusif hasil suatu inovasi, perubahanperubahan yang tidak akan terjadi bila inovasi belum diperkenalkan. Tetapi seperti akan kami kemukakan singkat nanti, banyak konsekuensi penting yang tidak terduga dan tidak langsung; dampak-dampak inovasi ini sangat sulit mendetksinya dengan cara yang tepat. Misalnya, klasifikasi konsekuensi tak terduga bergantung pada kemampuan peneliti untukmenentukan tujuan asli pemerkenalan suatu inovasi ke suatu sistem; tujuan-tujuan seperti itu sebagian mungkin tersembunyi oleh rasionalisasi pada sebagian anggota sistem (Goss, 1979). KLASIFIKASI KONSEKUENSI Salah satu langkah ke arah pemahaman lebih maju konsekuensi inovasi adalah dengan mengklasifikasikannya ke dalam suatu taksonomi. Konsekuensi itu tidak berdimensi-tunggal; mereka dapat mengambil banyak bentuk dan dinyatakan dengan berbagai cara. Dalam buku ini kami rasa bermanfaat menganalisa konsekuensi sesuai dengan tiga dimensi: (1) diinginkan atau tidak diinginkan, (2) langsung atau tidak langsung, dan (3) terduga atau tidak terduga, walaupun ini hanyalah salah satu cara mengklasifikasi konsekuensi inovasi.

Konsekuensi diinginkan adalah dampak fungsional suatu inovasi pada seseorang atau suatu sistem sosial. Sebaliknya, konsekuensi tak diinginkan adalah dampak suatu inovasi yang tidak fungsional pada seseorang atau sistem sosial. Sejauhmana konsekuensi suatu inovasi diinginkan atau tidak diinginkan tentu saja tergantung pada inovasi itu berdampak pada anggota sistem sosial. Penentuan apakah konsekuensi itu fungsional atau tidak-fungsional tergantung pada bagaimana inovasi itu mempengaruhi para penggunanya. Tentu saja ada kemungkinan suatu inovasi mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi pada seseorang lain selain penggunanya. Misalnya, penolak suatu ide baru bisa terpengaruh karena inovasi memberikan dorongan kepada anggota sistem sosial lainnya yang mengadopsinya, memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi atas penolaknya. Maka konsekuensi terjadi secara eksklusif terhadap orang-orang atau sistem yang memutuskan untuk mengadopsi suatu inovasi. Sering seseorang dalam sistem itu tersentuh oleh konsekuensinya. Inovasi-inovasi tertentu tampaknya punya dampak tak diinginkan bagi hampir semua orang dalam suatu sistem sosial. Contoh kami terdahulu tentang mobil-salju barangkali bisa mernjadi contoh kasus, walaupun sebagian kecil suku Lapp menjadi sangat kaya (pemilik banyak ternak rusa-kutub) sebagai hasil suatu inovasi. Tetapi ski-doo itu merupakan bencana bagi suku Lapps pada umumnya. Setiap sistem sosial kualitas tertentu yang tidak akan rusak jika kesejahteraan sistem terpelihara. Termasuk pula ikatan keluarga, penghormatan terhadap kehidupan kemanusiaan dan hak milik, menjaga kehormatan individu dan martabat, dan menghargai orang lain, termasuk penghargaan terhadap kontribusi para leluhur. Unsur-unsur sosialekonomi lainnya yang lebih sepele dan dapat diubah, dihentikan, atau digantikan dengan sedikit dampak, baik positif maupun negatif. Akhirnya, setiap sistem punya kualitas-kualitas tertentu yang diinginkan seperti memberikan kebutuhan dasar individual, meningkatkan kualitas hidup, dan sebagainya, yang diketahui secara luas sebagai fungsional bagi seseorang dan bagi sistem. Suatu inovasi yang mempertinggi satu atau lebih yang diinginkan ini tentu ia fungsional bagi sistem. Namun demikian, kita harus sadar bahwa sulit untuk menghindari membuat penilaian sebagai konsekuensi yang diinginkan atau tak diinginkan dari suatu inovasi bagi seseorang atau sistem sosial mereka.suatu inovasi bisa fungsional atau tidak fungsional bagi seseorang dalam suatu sistem. Coba lihat contoh pengadopsian jenis padi dan gandum ajaib di India dan negara-negara lain yang membawa pada apa yang disebut revolusi hijau. Inovasi ini memberikan hasil panenan yang lebih banyak dan meningkatkan penghasilan petani yang mengadopsinya. Namun Revolusi Hijau juga menyebabkan beberapa petanimigrasi ke daerah kumuh di perkotaan, tingkat pengangguran lebih tinggi, dan ketidakstabilan politik. Maka, walaupun beberapa orang diuntungkan dari pengadopsian bibit baru itu, mereka meyebabkan kondisi kesenjangan di dalam sistem. Apakah konsekuensi-konsekuensi itu dinginkan atau tak diinginkan? Jawabannya tergantung pada apakah seseorang menggunakan individu-individ tertenu ataukah keseluruhan sistem sebagai acuan. REJEKI NOMPLOK Suatu inovasi mungkin lebih fungsional bagi beberapa orang tertentu daripada yang lain; konsekuensi-konsekuensi positif tertentu mungkin terjadi pada anggotaanggota sistem tertentu atas biaya yang lain. Misalnya, para laggard adalah orang yang paling akhir mengadopsi; pada saat mereka mengadopsi ide- baru itu, mereka sering dipaksa begitu oleh tekanan ekonomi. Dengan menjadi orang yang pertama, inovator sering terjamin oleh perolehan ekonomis yang disebut rejeki nomplok. Dalam arti umum, rejeki nomplok dapat diukur dengan ukuran sosial maupun ekonomik. Misalnya prestise yang didapat inovator suatu produk kosumer (antara lain pmode pakaian) karena dia pengguna pertama ide baru itu. Rejeki nomplok adalah keuntungan khusus yang diperoleh pengguna pertama seuatu ide baru di dalam sistem sosial. Biaya yang keluarkan biasanya lebih rendah

dan penambahannya terhadap keseluruhan produksi punya efek yang kecil atas harga produk. Tetapi ketika semua anggota suatu sistem sosial mengadopsi suatu inovasi, produksi atau efisiensi total meningkat, dan harga produk atau jasa sering menurun. Penutup kerugian ini keuntungan unit cost lebih rendah. Para inovator harus menangung resiko untuk memperoleh rejeki nomplok. Semua ide baru tidak selalu berhasil, dan kadang-kadang jemari si inovator terbakar. Mungkin sekali pengadopsian inovasi yang non-eknomik atau gagal dapat menyebabkan jatuh tertimpa tangga bagi orang-orang yang pertama mengadopsi. Contoh kerugian tak disangka terjadi pada penyebaran kalkulator saku. Model yang pertama dijual (tahun 1971) dengan ukuran 3 kali 5 inci harganya $249; kalkulator ini merupakan empat pukulan seperti mereka disebut di industri, yang dapat menambah, menjumlah, mengalikan dan membagi. Dalam satu tahun, pada akir 1972, harga kalkulator empat fungsi itu merosat hanya $ 100; pada tahun berikutnya harganya hanya $ 50, dan pada 1981 kalkulator empat fungsi harganya kurang dari (dan bentuknya semakin kecil, setipis kartu kredit). Penurunan tajam harga kalkulator saku itu dikarenakan (1) semakin murahnya transistor (komponen kalkulator termahal), dan (2) tingginya volume produksi (pada tahun 1981 total penjualan kalkulator saku sebanyak & 700 ribu pertahun dan merupakan produk terlaris keempat). Maka pengadopsi yang belakangan dalam hal ini memperoleh rejeki nomplok. Rejeki nomplok adalah jenis perolehan yang relatif yang diterima seseorang dalam suatu sistem sosial yang tidak diperoleh orang yang lain. Rejeki nomplok merupakan hadiah bagi keinovatifan dan hukuman bagi kekolotan. Kita tahu bahwa para inovator sejak awalnya lebih kaya daripada si kolot. Biasanya ide-ide baru membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, memperlebar kesenjangan sosial-skonomi antara pengguna inovasi yang lebih awal dan yang belakangan. ASUMSI YANG KELIRU PEMISAHAN Kebanyakan inovasi menyebabkan baik konsekuensi diinginkan maupun tidak diinginkan. Dipahami, individu-individu umumnya ingin memperoleh dampak fungsional suatu inovasi dan menghindari dampak-dampak disfungsi. Tetapi hal ini mengasumsikan bahwa konsekuensi-konsekuensi tertentu yang diinginkan dari suatu inovasi teknologis dapat dipisahkan dari konsekuensi-konsekuensi yang tak diinginkan. Asumsi pemisahan seperti ini biasanya menyangkut keuntungankeuntungan yang diinginkan dari suatu teknologi baru sebagai meningkatnya keefektifan, efisiensi, atau kenyamanan lawan konsekuensi-konsekuensi tak diinginkan seperti perubahan nilai-nilai dan kelembagaan sosial. Suatu ilustrasi diberikan oleh revolusi terhadap Syah Iran tahun 1979, yang diusung Ayatullah Khomaini. Gerakan politik dan keagamaan ini memanfaatkan teknologi komunikasi jarak jauh, panggilan telpon langsung, dengan mana pesanpesan harian Ayatullah disampaikan dari tempat pengasingannya di Perancis, yang terekam dalam pita kaset dan disebar di bawah tanah lembar-lembar stensilan dan fotokopian. Salah seorang Iran mengamati: kami berjuang melawan otokrasi, demi demokrasi, dengan cara xerokrasi (Tehranian, 1979). Dengan bantuan teknologi komunikasi, para revolusioner Iran dapat mengorganisasi demonstrasi masif di Teheranmelawan Shah, dan pada beberapa melibatkan ribuan poster. Setelah kejatuhan Shah, jurnalis Itali terkenal, Oriana Falchi (1979) mewawancarai Ayatullah danmenanya dia mengapa dia menggunakan kata-kata kasar ketika berbicara tentang Barat. Beliau menjawab: Kami mendapatkan barang jelek dari Barat, banyak yang mencelakakan, dansekarang kami punya alasan yang baik untuk menakut-nakuti Barat, untuk menjaga agar anak-anak muda kami tidak terlalu dekat dengan Barat ... di mana mereka menjadi rusak karena alkohol, karena musik yang merusak pikiran, karena obat, dan wanita telanjang. Tetapi Ayatollah

melanjutkan, Kami tidak takut menggunakan (teknologi Barat seperti TV, AC, dan telpon), dan kami melakukan itu. Kami tidak takut ilmu pengetahuan danteknologi kamu (Fallachi, 1979) Para pemimpin Iran di sini secara tidak langsung menyatakan asumsi keterpisahan dampak diinginkan teknologi Barat dari nilai-nilai dan kelembagaan sosial di mana inovasi-inovasi teknologis dilekatkan dengan bangsa-bangsa Barat. Banyak agen pembaru menggunakan asumsi ini, dan biasanya ternyata salah. Pada awal bab ini, kami membahas keuntungan-keuntungan diinginkan dari mobil-salju di kalangan suku Finnish Lapps seperti transportasi lebih cepat, yang malangnya justru menyebabkan merosotnya perumbuhan rusa-kutub dan konsekuensi-konsekuensi lain yang mengikuti seperti meluasnya pengangguran dan masalah-masalah sosial lain. Kami menyimpulkan dengan Generalisasi 11-1: biasanya sulit atau mustahil mengelola dampak suatu inovasi seakan-akan konsekuensi-konsekuensi diinginkan terpisah dengan yang tak diinginkan. The Old Order Amish di AS menunjukkan contoh suatu sistem sosial yang telah berhasil menjaga budaya khususnya selama beberapa ratus tahun. Suku Amish umumnya menghindari pengadopsian inovasi-inovasi teknologis seperti mobil dan traktor, listrik, dan perlengkapan rumahtangga, karena mereka memahami bahwa konsekuensi sosial inovasi-inovasi ini akan memporak-porandakan masyarakat Amish. Maka suku Amish dengan bijaksana menerapkan prinsip ketakterpisahan dalam mengelola konsekuensi teknologi; mereka sudi mengebelakangkan keuntungan-keuntungan diinginkan traktor dan peralatan modern (seperti hasil panen melimpah danpenghasilan lebih besar) dalam rangka menolah konsekuensikonsekuensi tak diinginkan seperti meningkatnya ketergantungan pada bisnis nonAmish (seperti dealer mesin-mesin pertanian), berkuranga kebutuhan tenaga kerja pertanian, dan pemaksaan pertanian berskala besar. (Ericksen dll, 1980). Suku Amish tinggal di komunitas yang punya ikatan kuat di Pennsylvania, Oho, Indiana, dan beberapa negara bagian lainnya. Di lokasi-lokasi ini, suku Amish telah berjuang denga sukses dan sadar-diri memelihara ideologi dan kepercayaan dalam bertani mereka, tingkat kesuburan tinggi, dan suatu gaya hidup sederhana yang tidak mendunia. Misalnya, suku Amish berbicara dalam dialek Jerman, tidak memasukkan anak-anakmereka ke sekolah negeri, percaya pada kerja keras, danmencoba memproduksi segala sesuatu yang mereka konsumsi. Strereotip seperti Suku Amish itu lelakinya berjenggot, pakaiannya lusuh dan buatan sendiri, mengendarai andong ditarik kuda di sepanjang jalan raya modern. Komunitas Amis yang terkenal adalah Lancaster County, Pennsylvania, di mana sekte religius ini telah bertahan selama 200 tahun mengikuti aturan umum tidak mengadopsi inovasi. Tanah yang subur memungkinkan Amish secara finansial berhasil dengan pertanian lahan kecil sekitar limapuluh are, yang mereka kerjakan dengan padat-karya; tingkat kesuburan mereka yang tinggi (rata-rata keluarga punya lebihdari 7 anak) memberi mereka tenaga kerja, sehingga peralatan mekanis tidak diperlukan. Menghadapi meroketnya harga tanah akhir-akhir ini, orangtua Amish sekarang seringkali tidak dapat menyiapkan anak mereka ke pertanian, dan ketika mereka masuk ke lapangan kerja perkotaan anak-anak muda Amish ini sering merupakan keluaran masyarakat Amish. Maka generasi tua Amish, yang telah terkungkung dengan mengikuti kebijakan anti inovasi di masa lalu, sekarang menghadapi masa depan yang tak menentu (Ericksen dll, 1980). Tetapi ketaatan mereka pada prinsip ketak-terpisahan bermanfaat bagi mereka. Pengebalakangan inovasi-inovasi teknologis paling modern dalam bidang pertanian dan kehidupan rumah tangga karena mereka takut konsekuensi-konsekuensi sosial yang mau-tidak-mau akan mengiringinya. KONSEKUENSI LANGSUNG ATAU TIDAK LANGSUNG

Karena ruwetnya, seringkali jaringan antarhubungan di antara unsur-unsur dalam suatu budaya, suatu perubahan pada satu bagian sistem sering memulai suatu rangkaian rekasi konsekuensi-konsekuensi tidak langsung yangberakar dari konsekuensi langsung suatu inovasi. Konsekuensi langsung adalah perubahanperubahan pada seseorang atau suatu sistem sosial yang terjadi sebagai respon segera terhadap suatu inovasi. Konsekuensi tidak langsung adalah perubahanperubahan pada seseorang atau sistem sosial yang terjadi sebagai hasil dari konsekuensi langsung suatu inovasi. Orang bisa beranggapan pengadopsian suatu inovasi sebagai suatu variabel bebas yang membawa pada konsekuensi langsung (ini adalah suatu koleksi variabel bergantung). Kemudian, dalam pengertian yang lebih kompleks, dampak variabel-variabel bebas itu (pengadopsian inovasi) diperartarai melalui variabel-variabel penyela dampak langsung, sehingga menyebabkan konsekuensi tidaklangsung, yang sekarang merupakan variabel bebas (Goss, 1979). Ilustrasi kerangka pemahaman konsekuensi langsung dan tidak-langsung suatu inovasi ini disusun dalam sebuah diagaram pada Gambar 11-2, berdasarkan suatu kajian antropologis tentang pengadopsian pertanian padi basah oleh suatu suku di Madagaskar (Linton dan Kardiner, 1952, hal 222-231). Suku itu tadinya adalah kelompok nomadik yang bercocok tanam padi lahan kering (gogo). Setiap selesai panen mereka pindah ke lokasi lain. Banyak perubahan sosial yang terjadi pada suku ini setelah pengadopsian penanaman padi lahan basah. Pola pemilikan lahan berkembang, perbedaan status sosial muncul, keluarga inti menggantikan klan (keluarga besar), dan pemerintahan kesukuan berubah. Konsekuensi-konsekuensi inovasi teknologis baik langsung maupun jangka panjang, yakni beberapa generasi konsekuensi penanaman padi lahan-basah menyebar dari akibat-akibat yang lebih langsung. Contoh kontemporer konsekuensi langsung dan tidak langsung diberikan oleh penggunaan semikonduktor (yakni komputer dengan chip silikon sangat kecil) pada perlengkapan rumah tangga, otomobil, dan komunikasi teknologi baru seperti komputer rumah (PC). Akibat langsung semikonduktor adalah alih energi, seperti pada perlengkapan pintar pemanas air yanghanya memberikan air hangat ketika diperlukan, dan banyak yang lain. Komputer rumah, yang intinya adalah semikonduktor, memungkinkan seseorang menyadap bank data yangberisi informasi jadwal penerbangan, cuaca, berita-berita finansial, dan melakukan transaksi perbankan atau pembelian di toko5. Setiap dampak semikonduktor ini agaknya diikuti dengan konsekuensikonsekuensi tidak langsung. Misalnya, kenyamanan perbankan dan berbelanja dirumah (tidak perlu keluar rumah) bisa membawa pada pelanggaran rahasia rumahtangga; bagaimana jika overdraft (penarikan cek melebihi simpanan di bank) diketahui oleh karyawannya? Lebih lanjut, beberapa orang takut bahwa begitu ada data bank berbasis komputer, isi datanya seperti pelanggaran batas kecepatan mobil, nilai kuliah, dan produk-produk makanan yangtelah dibeli, mungkin akan diketahui juga oleh karyawan atau pejabat lainnya. Memang, konsekuensi-konsekuensi tidak langsung inovasi yang menguntungkan seperti komputer kecil, murah, mungkin bisa menjadi hal yangbermasalah, baik merupakan konsekuensi-konsekuensi diinginkan maupun tidak diinginkan bagi berbagai orang dan sistem sosial. Revolusi elektronik yang dimungkinkan oleh penemuan semikonduktor di masyarakat modern bisa membawa pada berbagai generasi konsekuensi, seperti yang terjadi pada pertanian padi lahan basah di Madagaskar.
Penulis mengunjungi sebuah bank di Republik Federasi Jerman yang menyebut dirinya bank elektronik pertama di dunia. Di sana tidak ada bangunan bak, hanya terminal-terminal komputer dan layar-layar, di mana para pelanggan melakukan transaksi finansial. Enampuluh ribu account pelanggan dikelola hanya oleh 40 pegawai, dan satu komputer besar. Karena rendahnya biaya overhead, bank Jerman ini memberikan bunga tabungan 1% lebih tinggi daripada bank-bank lainnya. Tetapi asosiasi bank internasional dan persatuan karyawan bank risau dengan dampak bank elektronik ini terhadap tingkat pengangguran di masa yang akan datang.
5

Konsekuensi tidak langsung suatu inovasi biasanya sering dirancang dan dikelola karena mereka seringkali tak-terduga. KONSEKUENSI TERDUGA ATAU TIDAK TERDUGA Konsekuensi terduga adalah perubahan-perubahan karena suatu inovasi yang diketahui dan dimaksudkan oleh anggota sistem sosial. Contoh konsekuensi yang nyata seperti itu adalah keuntungan mobil-salju bagi suku Lapps berupa transportasi yang cepat. Namun mereka tidak dapat mengatisipasi konsekuensi-konsekuensi tersembunyi (laten) inovasi ini seperti dampak bencana terhadap peternakan rusakutub. Walaupun mereka kurang tampak di mata pengamat, konsekuensikonsekuensi di bawah permukaan suatu inovasi mungkin sama pentingnya dengan konsekuensi-konsekuensi terduga. Konsekuensi tak terduga adalah perubahanperubahan karena suatu inovasi yang tak dimaksudkan atau tak dikenal oleh angoota sistem sosial. Terbelahnya penghormatan terhadap tetua di kalangan suku Yir Yoront, dalam studi kasus berikut ini merupakan contoh suatu konsekuensi tak terduga pengadopsian inovasi kapak baja. Perubahan dalam hubungan kekeluargaan ini sangat dahsyat bagi suku itu, walaupun konsekuensi seperti itu tidak begitu kentara ketika pertama kali kapak baja diperkenalkan oleh para misionaris kemanusiaan. Hampir tidak inovasi yang datang dengan tanpa lampiran. Semakin penting dan secara teknologis semakin canggih suatu inovasi (dan karena itu semkin kuat keinginan agen pembaru agar inovasi itu cepat diadopsi), semakin besar kemungkinan pemerkenalannya ke masyarakat menghasilkan konsekuensikonsekuensi beberapa terduga, tetapi beberapa lainnya tak dimaksudkan dan tersembunyi. Suatu sistem sosial itu seperti semakun kelereng; bergerak salah satu unsur-unsurnya maka posisi yang lainnya akan berubah juga. Ini sering tidak dipahami oleh pengguna suatu inovasi, dan mungkin juga dimengerti oleh agen pembaru yang memperkenalkan ide-ide baru ke sistem sosial. Konsekuensi tak terduga menunjukkan kekurang-pahaman tentang bagaimana inovasi berfungsi dan tentang kekuatan internal dan eksternal yang ada di dalam suatu sistem sosial (Goss, 1979). Di Bab I kami kemukakan bahwa kesadaran akan adanya suatu ide baru menciptakan ketidak-pastian tentang bagaimana inovasi itu sesungguhnya akan berfungsi bagi seseorang atau unit pengguna di dalam suatu sistem sosial. Ketak-pastian ini mendorong pencarian informasi secara aktif tentang inovasi iyu, terutama melalui jaringan antarpribadi teman sebaya. Orang terutama mencari informasi penilaian-inovasi, yakni pengurangan ketak-pastian tentang konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dari suatu inovasi. Ketak-pastian itu dapat menyusut sampai pada titik di mana seseorang merasa cukup tahu untuk mengadopsi ide-ide baru itu. Tetapi ketak-pastian tentang konsekuensi inovasi tidak pernah dapat sama sekali dihilangkan. Pengguna inovasi sering dapat memperoleh informasi yang tepat dari sebayanya tentang konsekuensi-konsekuensi diinginkan, langsung dan terduga dari suatu inovasi. Tetapi konsekuensi tak terduga secara pasti tidak diketahui oleh seseorang pada saat mereka mengadopsi. Dampak tak tampak suatu inovasi menunjukkan suatu tipe informasi penilaian-inovasi yang tak dapat diperoleh oleh seseorang dari anggota sistem sosial lainnya. Sering agen-agen pembaru profesional tidak dapat mengetahui konsekuensi-konsekuensi tak terduga itu sampai setelah pengadopsian yang luas terjadi, (jika demikian) seperti kami tuturkan dalam kasus kapak baja yang diperkenalkan oleh para misionaris kepada suku-suku pribumi di Australia berikut ini. Kami menyimpulkan ada tiga klasifikasi konsekuensi dalam generalisasi 11-2: konsekuensi-konsekuensi tak diinginkan, tak langsung, dan tak terduga dari suatu inovasi biasanya berjalan seiring dengan konsekuensi-konsekuensi diinginkan, langsung, dan terduga

KAPAK BAJA UNTUK ABORIGIN ABAD-BATU Konsekuensi-konsekuensi pengadopsian kapak-baja oleh suatu suku Aborigin Australia merupakan ilustrasi yang gamblang kebutuhan untuk mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi tak diinginkan, tak langsung, dan tak terduga daru suatu inovasi. Suku tersebut adalah suku Yir Yoront yang mengembara dalam kelompok-kelompok nomadik di suatu wilayah yang cukup luas untuk berburu dan mencari makanan. Alat utama dalam budaya mereka adalah kapak batu, yang sangat diperlukan untuk menghasilkan makanan, membangun tempat perlindungan, dan menghangatkan rumah mereka (dengan kayu bakar. Sulit membayangkan revolusi yang lebih lengkap daripada percepatan oleh pengadopsian kapak-baja untuk mengganti kapak batu. Metode penelitian yang digunakan Sharp (1952) untuk meneliti suku Yir Yoront adalah pengamatan partisipan (participant observation), di mana seorang ilmuwan mengkaji suatu budaya dengan ambil bagian dalam kegiatan sehari-hari suku yang dikajinya. Pada tahun 1930an seorang antropologis Amerika dapa hidup bersama Yir Yoront selama tigapuluh bulan tanpa melihat orang asing lain. Karena keterasingan mereka, suku itu relatif tak tersentuh pengaruh budaya barat sampai munculnya pos missionaris di dekat mereka. Para missionaris membagi-bagi banyak kapak-baja di kalangan Yir Yoront sebagai hadiah dan bayaran kerja mereka. Sebelum hari-hari penggunaan kapak-baja, kapak batu merupakan simbol kejantanan dan penghormatan terhadap tetua. Hanya lelaki yang punya kapak batu, tetapi perempuan dan anak-anak merupakan pemakai utama alat itu. Kapak itu dipinjam dari ayah, suami, atau paman sesuatu dengan hubungan sistem sosial yang berlaku. Suku Yir Yoront memperoleh mata kapak batu mereka sebagai pertukaran (barter) dengan tombak dengan sukusuku lain, suatu proses yang terjadi sebagai bagian dari ritual pesta-pesta musiman. Ketika para missionaris membagikan kapak-baja ke suku Yir Yoront, mereka berharap terjadi peningkatan kondisi kehidupan mereka. Tidak ada penolakan yang berarti dalam penggantian kapak batu dengan kapak-baja, karena suku itu terbiasa memperoleh perkakas mereka melalui tukar-tambah. Kapak-baja lebih efisien untuk hampir semua pekerjaan, dan kapak batu dengan cepat menghilang dari kalangan suku Yir Yoront. Tetapi kapak-baja hanya sedikit memberi sumbangan terhadap kemjuan sosial; kecewanya para missionaris, Yir Yoront menggunakan waktu senggang mereka untuk tidur, kebiasaan yang telah berlangsung sejak lama. Para missionaris membagikan kapak-baja baik kepada lelaki, perempuan ataupun anak-anak. Nyatanya, lelaki muda lebih cenderung mengadopsi peralatan baru itu daripada mereka yang lebih tua, yang tetap kurang percaya kepada para missionaris. Hasilnya adalah rusaknya hubungan status di kalangan suku Yir Yoront dan kekacauan yang revolusioner peran sek dan usia. Para tetua, yang tadinya sangat dihormati, sekarang menjadi tergantung pada perempuan dan aanak-anak muda, dan sering terpaksa meminjam kapak-baja kepada orang-orang yang lebih rendah status sosialnya ini. Ritual-ritual perdagangan suku juga menjadi berantakan. Ikatan pertemanan di kalangan para pedagang terputus, dan minat terhadap pesta tahunan menurun, di mana barter kapak batu dengan tombak biasanya terjadi. Sistem keagamaan dan organisasi sosial suku Yir Yoront menjadi kacau sebagai akibat ketidak-mampuan suku ini menyesuaikan dengan inovasi. Orang lakilaki mulai melacurkan anak-anak perempuan dan isteri mereka untuk ditukar dengan kapak-baja.

BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA INOVASI Kami melihat bahwa banyak konsekuensi inovasi di kalangan Yir Yoront yang tak diinginkan, taklangsung, dan tak terduga; ketiga tipe konsekuensi ini sering berjalan seiring, sebagaimana berkaitannya konsekuensi-konsekuensi yang diinginkan, langsung dan terduga. Kasus kapak-baja juga menggambarkan kesalahan umum yag dibuat agen pembaru sehubungan dengan konsekuensi-konsekuensi inovasi. Mereka dapat mengantisipasi bentuk dan fungsi suatu inovasi, tetapi tidak dapat mengantisipasi maknanya bagi calon pengadopsinya. Apa yang kami maksud dengan bentuk, fungsi, dan makna suatu inovasi? 1. bentuk adalah tampilan fisik dan substansi inovasi yang dapat dilihat secara langsung. Baik missionaris maupun Yir Yoront mengenal bentuk alat baru itu, barangkal sebagian kesamaan penampilannya dengan kapak batu. 2. fungsi adalah kontribusi yang diberikan oleh inovasi terhadap cara hidup anggota suatu sistem sosial. Suku itu segera tahu kapak-baja itu alat pemotong, bayak kesamaan dengan kegunaan kapak batu yang sebelumnya digunakan. 3. makna adalah pandangan subyektif , dan sering kali tak disadari, anggota sistem sosialtentang inovasi . Karena sifatnya yang subyektif, makna kurang rentan pada difusi daripada baik bentuk atau yang lain (fungsi) ..... budaya penerima melekatkan makna baru pada unsur-unsur yang komplek, dan ini mungkin hanya ada kaitan sedikit dengan unsur-unsur yang sama yang dibawa dalam settingnya yang asli (Linton, 1936). 6 Kesalahan apa yang dilakukan para missionaris dengan memperkenalkan kapakbaja? Agen pembaru agaknya sudah memahami bentuk dan fungsi kapak-baja itu. Mereka percaya Yir Yoront akan menggunakan alat baru itu sama seperti ketika menggunakan kapak batu, misalnya memotong batang pohon. Tetapi para missionaris membuat kesalahan besar karena tidak memprediksi makna perkakas baru itu bagi Yir Yoront. Mereka tidak mengantisipasi bahwa kapak-baja menyebabkan lebih banyak tidur, pelacuran, dan kehancuran hubungan sosial dan tradisi. Agen pembaru sering tidak tahu dan tidak mengerti makna sosial inovasiinovasi yang mereka perkenalkan, terutama konsekuensi-konsekuensi negatif yang muncul ketika suatu inovasi yang jelas-jelas diinginkan digunakan dalam kondisi yang berbeda. Agen pembaru cenderung melakukan kesalahan ini jika mereka tidak sepenuhnya berempati dengan para pengguna inovasi, terutama ketika agen pembaru heterofilus dengan klien mereka. Maka kami menyimpulkan dengan Generalisasi 11-2: agen pembaru dapat lebih mudah mengantisipasi bentuk dan fungsi suatu inovasi bagi klien mereka daripada maknanya. MENCAPAI KESEIMBANGAN YANG DINAMIS Barangkali para missionaris itu terlalu banyak dan terlalu cepat memperkenalkan kapak-baja. Seberapa cepatkah perubahan yang memungkinkan suatu sistem memperoleh keuntungan suatu inovasi, dan dan tidak menghasilkan ketidakseimbangan dalam suatu sistem sosial? Agen pembaru perlu mengetahui tiga jenis keseimbangan dalam suatu sistem. 1. Keseimbangan yang stabil, ketika hampir tidak ada perubahan dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Barangkali sistem yang sama sekali terisolasi dan tradisional di mana kecepatan perubahan hampir nol, merupakan contoh keseimbangan yang stabil. 2. keseimbangan dinamis terjadi ketika kecepatan perubahan dalam suatu sistem sosial sepadan dengan kemampuan sistem itu untuk mengatasinya. Perubahan terjadi dalam suatu sistem sosial dengan keseimbangan yang dinamis, tetapi
6

Catatan inipada dasarnya mirip dengan konsep reinterpretasi yang didefinisikan sebagai proses yang terjadi ketika penerima menggunakan suatu inovasi untuk maksud yang berbeda dari maksud pembuatnya . reinterpretasi adalah sejenis reinvensi.

perubahan itu terjadi dalam kecepatan yang memungkinkan sistem untukmenyesuaikan diri. 3. ketidak-seimbangan terjadi ketika kecepatan perubahan terlalu cepat untuk memungkinkan sistem sosial menyesuaikan diri. Suatu analogi yang dapat dikemukakan ialah lampu trafik yang terlalu banyak mobil; semua gerakan berhenti. Kekacauan sosial yang menyertai ketidak-seimbangan ditandai dengan cara yang menyakitkan dan tidak efisien karena perubahan terjadi dalam sistem sosial. Tujuan jangka panjang kebanyakan agen pembaru adalah menghasilkan kondisi keseimbangan dinamik pada sistem sosial klien. Inovasi-inovasi diperkenalkan ke dalam sistem sosial dalam kecepatan sedang yang memungkinkan kemampuan sistem sosial itu untuk menyesuaikan dengan perubahan. Ukuran yang peka tentang kecepatan perubahan yang optimum dalam suatu sistem sosial sangat sulit. Agaknya, itulah yang menyebabkan para missionaris di kalangan Yir Yoront salah menilai suku Aborigin dalam menyerap kecepatan konsekuensi-konsekuensi penyebaran kapakbaja. KEPADA SIAPA INOVASI DIPERKENALKAN Salah satu kesalahan khusus yang dilakukan para missionaris adalah kepada siapa mereka memperkenalkan inovasi. Karena kurang memperhatikan pentingnya penghormatan kepada lelaki yang lebih tua di kalangan Yir Yoront, agen pembaru memberikan kapak-baja kepada wanita, anak-anak dan lelaki muda tanpa membedabedakan. Secara umum, salah satu cara di mana agen pembaru membentuk konsekuensi inovasi adalah dengan siapa mereka berhubungan erat. Jika agen pembaru lebih banyak menghubungi orang-orang miskin dan kurang berpendidikan di dalam sistem sosial, daripada para elit sosial-ekonominya (yang biasanya dilakukankebanyakan agen pembaru), keuntungan dari inovasi yang diperkenalkan akan lebih merata. Namun, biasanya agen pembaru lebih banyak berhubungan dengan penduduk yang lebih berpendidikan, status sosialnya lebih tinggi, dan karena itu cenderung memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi sebagai dampak pemerkenalan inovasi itu. Masalah kepada siapa inovasi itu diperkenalkan membawa kita pada issu persamaan hak. PERSAMAAN HAK DALAM KONSEKUENSI INOVASI Di samping aspek-aspek diinginkan-takdiinginkan, langsung-tidak langsung, dan terduga-takterduga dari konsekuensi inovasi, kita juga menggolongkan konsekuensi apakah mereka (inovasi itu) meningkatkan atau menurunkan persamaan hak di kalangan anggota sistem sosial. Ingat bahwa kita di sini terutama membicarakan konsekuensi suatu inovasi pada level sistem sosial (yakni, apakah sumber-sumber seperti penghasilan atau status tersebar lebih atau kurang merata), daripada pada level individu. Seperti telah kami tunjukkan sebelumnya (khususnya di bab 7 dan 9), difusi umumnya menyebabkan kesenjangan sosial-skonomi lebih lebar pada khalayaknya (yakni kurang merata) karena: 1. Pengguna yang lebih awal, terutama para inovator dan pemuka, punya sikap lebih baik terhadap ide-ide baru dan cenderung aktif mencari inovasi. Mereka juga memiliki suber-sumber yang diperlukan untuk mengadopsi inovasi-inovasi biaya tinggi, sedangkan pengguna yang lebih lambat tidak memiliki itu. 2. agen pembaru profesonal cenderung memusatkan kontak mereka dengan para inovator dan pengguna awal dengan harapan agar para pemuka pendapat di kalangan pengguna awal akan meneruskan ide-ide bari itu kepada para pengikutnya dalam suatu proses tetesan ke bawah (trickle down). Tetapi pada

bab 8 kami kemukakan bahwa kebanyakan jejaringan antar pribadi menghubungkan orangorang yang mirip atau setara dalam kategori pengadopsian dan status sosial ekonominya. Maka inovasi-inovasi umumnya lebih banyak merembes ke samping daripada menetes ke bawah dalam stuktur komunikasi antar pribadi suatu sistem sosial. 3. dengan pengadopsian inovasi lebih awal daripada orang lain dalam sistem sosialnya, Inovator dan Pemuka memperoleh rejeki nomplok, dan dengan demikian cenderung memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi antara kelompok pengguna awal ini dengan kelompok yang lebih akhir, terutama Laggard. Jadi, pengguna awal memperoleh untung sangat besar sedangkan pengguna yang lebih akhir memperoleh keuntungan ekonomis lebih sedikit. Karena umumnya proses sperti ini yang terjadi, maka difusi inovasi cenderung menurunkan tingkat kemerataan di dalam suatu sistem sosial. Tetapi kecenderungan terhadap pelebaran kesenjangan ini tidak perlu terjadi, jika strategi-strategi tertentu diterapkan untuk mempersempit kesenjangan, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa riset belakangan ini (diulas secara ringkas). ISU PEMERATAAN DALAM PEMBANGUNAN Penting isu pemerataan dalam penyebaran konsekuensi inovasi mulai muncul pada tahun 1970an. Sampai saat itu, kebanyak program difusi mengabaikan isu pemerataan, umumnya karena percaya terhadap teori menetes-ke-bawah untuk mengatasi kecenderungan melebarnya kesenjangan karena difusi inovasi dalam jangka panjang. Kenyataannya, kebanyakan lembaga pembaru, dan kebanyakan penelitian difusi, seikit menaruh perhatian terhadap isu pemerataan di masa lalu. Misalnya, buku saya tahun 1971 tentang difusi (Rogers dan Shoemaker, 1971) jaran mengemukakan masalah ketidak-merataan konsekuensi inovasi. Kebanyakan peneliti menyadari masalah ini pada tahun 1950 1960an, tetapi kami tidak engetahui apa yang harus dilakukan tentang ini. Kami tidak puya pendekatan riset yang memungkinkan kami untukmenganalisis kemerataan/ketidak-merataan konsekuensi inovasi, juga tidak ada sumber-sumber dana yang menggairahka riset tentang isu ini. Barangkali salah satu alasan penjelas lamanya pengabaian kemerataan adalah bias pro-inovasi para peneliti difusi dan agen pembaru. Tetapi pada awal 1970an, program-program pembangunan di negara-negara sedang berkebang mulai lebih banyak menyadari isu pemerataan. Perubahan pemikiran terjadi sebagai salah satu bagian berlalunya paradigma pembangunan yang dominan (Rogers, 1976); sampai tahun 1970an, indeks kemajuan pembangunan utama adalah kecepatan peningkatan pendapatan kasar nasional tahunan (GNP, pendapatan total tahunan suatu negara). Peningkatan 5% atau 10% pertahun, seperti yang terjadi di beberapa negara a.l. Meksiko, Korea Selatan, dan Taiwan, disebut sebagai pembangunan yang sangat berhasil; kebanyakan bangsa mencapai tingkat kenaikan GNP lebih rendah dari itu. Tetapi pertanyaan mulai dikemukakan pada awal 1970an, apakah pembangunan betul-betul terjadi menyeluruh, atau sebagian besar, hanya kecepatan pertumbuhan ekonomi. Misalnya, jika rerata pendapatan dalam suatu negara lebih tinggi dibelanjakan terutama untuk lebih banyak beli alkohol, apakah itu pembangunan? Dan bagaimana jika suatu negara naik GNPnya 8% pertahun, tetapi semua kenaikan ini ada di tangan para konglomerat, sedangkan mayoritas penduduk negeri itu tetap miskin? Pertanyaan yang menganggu ini membawa pada penekanan atas pemerataan dalam munculnya alternatif-alternatif pradigma pembangunan yang dominan setelah tahun 1970an. Di samping mengikuti jalur industrialisasi dan urbanisasi, pelibatan importasi teknologi padat-modalseperti pabrik baja dan pabrik hidroelektri, negara mulai menjadikan penduduk miskin pedesaan dan perkotaan sebagai prioritas khalayak program pembangunan. Pemerintah umumnya berusaha menutup

kesenjangan sosial-skonomi dengan menjembatani sektor-sektor yang tertinggal dan membantu segmen-segmen yang lebih lemah dari penduduk mereka. Di samping mengukur peroleh pembangunan dengan GNP, para perencana nasional mulai memikirkan pemerataan sosial-skonomi yang lebih besar sebagai tujuan pembangunan, dan mencoba mengukur indikator pembangunan sosal-ekonomi dengan peningkatan kualitas kehidupan. Kenyataannya, pembangunan mulai didefinisikan sebagai proses partisipasi yang luas dalam perubahan sosial di masyarakat, yang dimasudkan untuk membawa kemajuan sosial maupun material (termasuk lebih pemerataan, kebebasan, dan nilai-nilai kualitas lainnya) atas mayoritas penduduk melalui kontrol mereka yang lebih besar terhadap lingkungan (Rogers, 1976). Tetapi perubahan pemikiran tentang pembangunan yang pasti, mulai tahun 1970an, merupakan suatu penekanan terhadap pemerataan dalam penyebaran konsekuensi inovasi. Perhatian baru terhadap pemerataan tidak terkait dengan program-program difusi yang merupakan bagian dari aktifitas pembangunan di negara-negara sedang berkembang; realisasi yang sama bahwa pemerataan merupakan dimensi kedua yang penting sekali dalam dampak-dampak yang diharapkan dari suatu program difusi juga terjadi pada negara-negara berkembang seperti AS sepanjang 1970an. Pemerataan, agaknya, merupakan suatu isu yang baru datang. Dalam contoh kami terdahulu tentang dampak mobil-salju di kalangan Skolt Lapps, kamimenemukan dua dimensi konsekuensi: (1) dimensi pertama membantu perjalanan semua orang menjadi lebih cepat (ini mencapai suatu rerata lebih tinggi kebaikan, beberapa tujuan yang secara luas diinginkan atau desiratum), dan (2) dimensi kedua berupa distrusi yang tidak merata dari suatu kebaikan (kecenderungan pemilikan rusa-kutub yang menjadi terpusat ke tangat sedikit warga Lapps). Gambar 11-3 melukiskan dua dimensi konsekuensi ini; pada situasi pertama, rata-rata tingkat Kebaikan di dalam sistem sosial meningkat sebagai akibat inovasi, tetapi distribusinya tetap tidak merata. Pada situasi kedua, rata-rata Kabaikan lagilagi naik, tetapi Kebaikan itu juga menyebabkan kepemilikan terkonsentrasi pada beberapa gelintir elite sosial-ekonomi sebagai konsekuensi suatu inovasi; maka tingkat kemerataan dalam sistem itu telah menurun karena inovasi. Ketika pada pakar dan age pembaru mulai membedakan antara (1) tingkat Kebaikan dan (2) pemerataan distrubusi Kebaikan, sebagai konsekuensi kegiatan difusi, langkah logis lainnya adalah mulai menyelidiki dampak-dampak difusi yang memperlebar-kesenjangan dan yang mempersempit-kesenjangan. Kesenjangan Dampak Komunikasi dan Konsekuensi Difusi Kebanyakan riset komunikasi masa lalu, termasuk kajian-kajian difusi, berusaha menentukan apakah dampak sumber, saluran, pesan atau kombinasi unsur-unsur komunikasi terhadap khalayak. Penelitian ini tentang dimensi pertama dampak komunikasi ini terutama menjawab pertanyaan: Apakah dampak suatu aktifitas komunikasi?. dampak diindeks terutama sebagai rerata perubahan pada pengetahuan, sikap dan perilaku nyata sekelompok orang. Sifat penelitian dimensi kedua dampak komunikasi sangat berbeda. Di sini seorang bertanya: apakah kegiatan komunikasi punya dampak yang lebih besar, atau berbeda, pada orang-orang tertentu daripada yang lain?. Di sini pakar komunikasi berusaha memastikan pemerataan dampak komunikasi, tidak sekedar berapa banyak dampak terjadi dalam rerata (atau dalam jumlah). Berkenaan dengan waktu, para peneliti difusi mulai menengok ke dimensi kedua ini, berkaitan dengan isu pemerataan, Tichenor dkk (1970) mengusulkan suatu paradigma penelitian yang bermanfaat untuk mengkaji kesenjangan, di mana data harus digali pada dua atau lebih titik waktu, sebelum atau sesudah kegiatan komunikasi. Ukuran dampak harus tidak sekedar hitungan rerata perubahan perilaku khalayak (dimensi pertama), tetapi juga apakah kesenjangan status sosial-

ekonomi meningkat atau menurun (inilah dimensi kedua dampak). Intinya, tichenor dkk (1970) menyarankan bahwa kita harus melihat siapakah khalayak manakah yang paling banyak terkena dampak, dan mana yang paling sedikit. Gambar 11-4a dan 114b melukiskan pendekatan penelitian ini dalammenyeldiki dimensi pemerataan dampak komunikasi, suatu paradigma riset yang ditemukan bermanfaat oleh para pakar difusi yang mengkaj pemerataan konsekuensi inovasi. Salah satu implikasi utama paradigma kesenjangan dampak komunikasi, terinspirasi Tichenor dkk (1970) dan Cook dkk (1974) dan dilanjutkan kajian McNelly dan Molina (1972), Katzman (1974), dan Cook dkk (1975), adalah melihat ke dalam suatu khalayak apakah segmen-segmen tertentu lebih terkena dampak dari segmen yang lain oleh intervensi komunikasi. Pendekatan analitik ini juga mencari dampakdampak pembeda, daripada sekedar dampak rerata atau dampak jumlah pada keseluruhan audiens, menempatkan para paker komunikasi agar memfokuskan isuisu pemerataan dampak komunikasi. Pemerataan dampak menjadi dimensi kedua penelitian dampak komunikasi (Gambar 11-4b) Para pakar difusi dengan demikian mulai menganalisis data mereka dalam upaya menyelidiki sejauh mana program difusi memperlebar atau mempersempit kesenjangan di kalangan anggota sistem sosial. Pengkategorian keseluruhan khalayak menjadi dua atau lebih segmen (atas dan bawah) bisa didasarkan pda status sosial ekonomi (misalnya, petani besar dan petani kecil di suatu desa), atau tingkat pemilikan informasi (kaya informasi dan miskin informasi). Hampir tidak ada masalah bagaimana atas dan bawah itu diklasifikasikan7, aturan-aturan tertentu tentang kemerataan konsekuensi-konsekuensi difusi diketemukan. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Waktu Gambar 11-1a. Dimensi pertama dampak komunikasi (terhadap semua anggota sistem) adalah rerata 4 unit, diukur dengan perbedaan dari w1 ke w2
7

Program Difusi

Semua anggota sistem sosial

Semua anggota sistem sosial

W1

W2

Dan tentunya tidak perlu mendikotomi anggota khalayak menjadi atas dan bawah; seseorang juga dapat membaginya menjadi tiga kategori atau lebih, diklasifikasi berdasar beberapa variabel.

atas
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

Program Difusi

Kesenjang an = 6

atas
3

bawah

bawah

Kesenjang an = 2

W1 Waktu

W2

Gambar 11-4b. Dimensi kedua dampak komunikasi (yang menganalisis dampak secara terpisah untuk atas dan bawah) menunjukkan bahwa kesenjangan dampak diperlebar oleh program difusi. Pelebaran-kesenjangan Adopsi Inovasi Di luar beberapa penelitian yang secara implisit atau eksplisit diikuti paradigma kesenjangan dampak, kami mengemukakan Generalisasi 11-4: Konsekuensi pengadopsian inovasi biasanya cenderung memperlebar kesenjangan sosialekonomi antara kelompok pengadopsi yang lebih awal dan yang lebih akhir dalam suatu sistem sosial. Kedua, berkait dengan Generalisasi 11-5, juga disarankan oleh enelitian ini: Konsekuensi-konsekuensi pengadopsian inovasi biasanya cenderung memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi antara segmen khalayak yang tadinya status sosialnya tinggi dan yang rendah. Sekarang kami menggunakan beberapa dari penelitian ini untuk melukiskan dua generalisasi tersebut di atas. Dalam salah satu penelitian, Havens dan Flinn (1975) menguji konsekuensi dua jenis kopi baru di kalangan petani Colombia selama kurang lebih 8 tahun antara tahun 1963 sampai 1970. Dari 56 sampel asli penanam kopi, 17 orang mengadopsi jenis baru itu, dengan cepat meningkatkan panenan mereka; bersamaan dengan itu si petani harus mengadopsi pupuk kimia dan pembunuhrumput seiring dengan jenis kopi baru itu untuk memperoleh panen yang tinggi itu. Sebagai akibat pengadopsian paket inovasi ini, ketujuh-belas petani tersebut meningkat pendapatannya dari 6700 peso pada 1963 menjadi 21000 pada 1970, suatu peningkatan 14.300 peso (213%). Ketigapuluh sembilan petani yang tidak mengadopsi (yang tidak menggunakan jenis kopi baru) meningkat penhasilan bersih mereka dari 4500 peso menjadi 7500 peso (166%). Jadi, salah satu dampak inovasi jenis kopi baru itu memperlebar kesenjangan antara pengguna dan bukan-pengguna dari 2.200 peso pada tahun 1963 menjadi 9.000 peso pada 1970. Kopi yang

diperbaiki menyebabkan kesenjangan pendapatan jauh lebih besar di kalangan petani Columbia, seperti trlukis pada Gambar 11-4b. Berapa banyak peningkatan ketidak-merataan di kalangan petan kopi adalah karena pengadopsian jenis kopi baru, dan berapa banyak karena faktor-faktor yang lain, seperti lebih luas lahan, lebih tinggi pendidikan, dan ciri-ciri lain pengguna? Havens dan Flinn (1975) menunjukkan bahwa penyebab utama meningkatnya ketidak-merataan penghasilan adalah pemerkenalan kopi baru itu. Misalnya, mereka menghitung penghasilan bersih per-are kopi yang ditanam, sehingga menyisihkan dampak faktor luasnya lahan. Pengguna dan bukan-pengguna keduanya mulai pada ingkat pendapatan yang sama per-are pada tahun 1963: 290 peso per-are dan tahun berikutnya 222 peso per-are. Tetapi pada 1970, ketika para pengguna memperoleh panen yang lebih banyak yang dihasilkan dari tumbuhnya jenis baru itu, pendapatan mereka per-are melonjak menjadi 1.642 peso (meningkat 1.352 peso), sementara pengdapatan para petani bukan-pengguna pe-are naik hanya 632 peso (meningkat hanya 415 peso). Besarnya ketidak-merataan peningkatan pendapatan antara pengguna dan bekan-pengguna adalah karena inovasi jenis kopi. Apakah yang dilakukan para petani dengan endapatan mereka yang lebih tinggi? Beberapa di antara mereka memperluas lahan pertaniannya, dengan membeli dari para petani bukan-pengguna. Pada 1963, para pengguna memiliki rata-rata luas ladang 18,9 are dan para petani bukan pengguna rata-rata 8,0 are; pada tahun 1970, para petani pengguna telah meningkat luas lahannya menjadi 33 are, sementara petani bukan-pengguna menyusut luas lahannya menjadi 6,4 are8. Tambahan, sebelas petani bukan pengguna tidak lagi menjadi petani, mereka menjadi buruh atau pekerja lain di kota; barangkali lahan mereka dijual ke para pengguna. Jika pengadopsian jenis kopi baru punya konsekuensi-konsekuensi penting seperti itu, mengapa ketigapuluh-tiga petani bukan pengguna tidak juga menanam kopi jenis baru itu? Havens dan Finn (1975) mengkorelasikan berbagai variabel bebas (seperti usia, pendidikan, perjalanan ke kota, luas lahan, dan sebagainya) dengan pengadopsian. Variabel ekonomis seperti pendapatan dan luas lahan merupakan prediktor adopsi terbaik, seiring dengan penggunaan kredit. Pengadopsian jenis kopi bar merupakan keputusn besar di Colombia karena diperlukan tiga tahun agar tanaman baru itu bisa berproduksi; banyak petani memerlukan kredit untuk mengatasi periode puasa ini sebelum investasi mereka mulai bisa dipanen. Para campesinos kecil, yang tidak punya lahan luas yang bisa dijadikan jaminan, umumnya tidak bisa meminjam dana untuk menanam bibit baru itu, dan karena itu mereka kehilangan peluang keuntungan berupa panenan dan penghasilan yang lebih besar yang dapat mereka peroleh melalui menanam kopi jenis baru. Jadi, ketakterjangkauan kredit oleh petani kecil merupakan faktor kunci yang mencegah mereka dari pengadopsian inovasi. Lingkaran setan ini menjelaskan, sebagian besar bagaimana pengadopsian inovasi varitas kopi memperlebar kesenjangan sosial-skonomi (1) antara pengguna dan bukan-pengguna, dan (2) antara orang-orang yang semula status sosialnya tinggi dan yang rendah. Dampak inovasi itu seperti tuas (pengungkit) raksasa, menguak lebih lebar kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin9
8

Salah satu indeks kemerataan distribusi Kebaikan dalam sistem sosial adalah Ginratio, yang menunjukkan tingkat relatif konsenrasi suatu sumber pada sedikit atau banyak tangan (Allison, 1978). Bila Gini-ratio nol, masing-masing anggota sistem punya bagian Harta-benda yang sama. Jika rationya 1.0, seorang anggota masyarakat menguasai semua Hartabenda yang ada di dalamnya. Havens dan Flinn (1975) menemukan bahwa Gini-ratio pemusatan lahan adalah0,859 pada tahun 1963 dan 0,706 pada tahun 1971; dengan kata lain, pemilikan lahan menjadi semakin tidak tersebar rata dan lebih terpusat pada sedikit pemilik. 9 Seperti kami bahas di Bab 2, Hightower (1972) telah menuduh layanan penyuluhan pertanian di AS dengan konsekuensi-konsekuensi pelebaran kesenjangan sosial-ekonomi di kalangan petani Amerika melalui pemerkenalan inovasi-inovasi pertanian, di mana petani kecil digusur keluar dari pertanian dan dipaksa untuk migrasi ke kota-kota.

Beberapa penelitian lain mengikuti rancangan yang mirip dengan yang digunakan Havens dan Flinn (1975), dengan mengukur kemerataan konsekuensi inovasi dalam suatu sistem pada dua atau lebih titik waktu (jadi, mengikuti pendkatan penelitian seperti terlukis pada Gambar 11-4). Hasil penelitian lain ini memberikan bukti yang kurang jelas dalammendukung Generalisasi 11-4 dan 11-5. Shingi dkk (1981) mewawancarai 228 petani India pada tahun 1967 dan lagi pada 1973. mereka menemukan adanya peningkatan ketidak-merataan pada produksi pertanian antara (1) laggard (yang didefinisikan sebagai delapan puluh petani yang tidak mengadopsi satupun dari 10 macam inovasi pertanian pada tahun 1967), dan (2) nonlaggard. Tetapi alasan utama memasukkan produksi pertanian ke dalam agaknya buka laggard bukan-pengguna; kenyataannya, para laggard itu mengadopsi beberapa inovasi pertanian antara 1967 dan 1973, terutama pupuk kimia. Singi dkk (1981) mengemukakan bahwa responden mereka di India Barat telah menderita bencana kekeringan dari 1970 sampai 1973, dalam gangguan musim ini telah mempengaruhi distribusi konsekuensi sosial-ekonomi inovasi. Lagi pula, kesepuluh inovasi yang dikaji bukanlah padat modal, sehingga laggar tidak terhalang untuk mengadopsi mereka karena faktor ekonomi seperti tersedianya kredit. Pada kajian lain yang dilakukan di India, Galloway (1974) menganalisis ulang data yang semula dihimpun oleh Roy dkk (1968a) dari beberapa ratus petani India pada tahun 1964, 1966, dan 1967. Pada awal periode ini, forum radio (kelompok kecil yang mendiskusikan program-program siaran tentang inovasi) dan kelompok-kelompok pembaca diorganisir di kalangan responden. Galloway (1974) menemukan bahwa kesenjangan antara petani yangberstatus tinggi dan yang berstatus rendah meningkat dalam pengadopsian inovasi-inovasi pertanian, kesehatan, dankeluarga berencana, namun kesenjangan tersebut dalam hal pengetahuan tentang inovasiinovasi ini betul-betulmenyempit (barangkali karena upaya-upaya khusus dilakukan untuk mengajak penduduk desa berstatus sosial rendah untuk berpartisipasi dalam forum-radio dan kelompok pembaca). Maka, pelebaran kesenjangan barangkali sesuatu yang tak terhindarkan. Struktur Sosial dan Pemerataan Konekuensi Gambaran umum yang munkin muncul dari berbagai penelitian tenang kemerataan dan ketidak-merataan konsekuensi inovasi yakni bagaimana inovasi itu diperkenalkan, apakah ia biaya-tinggi atau biaya-rendah, dan sebagainya, menentukan seberapa banyak ia menyebabkan konsekuensi-konsekuensi ketakmerataan. Beberapa bukti terbaik kemungkinan ini datang dari penelitian dampak pengadopsian sumur irigasi oleh penduduk desa di Bangladesh dan di Pakistan (Gotsch, 1972), di masing-masing negara tersebut, suatu sumur irigasi biayanya kirakira sama dan mungkin dapat memberikan air untuk limapuluh sampai delapan puluh are lahan pertanian. Pemerkenalan Revolusi Hijau padi dan gandum jenis unggul di kedua negeri itu memerlukan irigasi. Tetapi ketidak-merataan konsekuensi atas inovasi yang pada intinya sama itu jauh berbeda antara yang terjadi di Pakistan dan yang di Banglades, terutama karena perbedaan organisasi sosial yang menangani teknologi baru tersebut. Di Pakistan 70% sumur irigasi dibeli petani dengan luas lahan 25 are atau lebih (mungkin lahan pertanian yang sangat luas); hanya 4% petani dengan luas lahan kurang dari 13 are yang mengadopsi. Ketika air irigasi digabung dengan penggunaan pupuk dan bahan-bahan kimia pertanian lainnya, seorang petani biasanya dapat mengharapkan meningkatkan penghasilan bersih pertaniannya sekitar 45%. Dengan demikian eumur irigasi di Pakistan membuat yang kaya semakin kaya. Dan para petani iskin menjadi relatif semakin miskin. Tetapi di Banglades, rerata luas lahan pertanian hanya satu atau dua are, dan hanya sedikit pemilik lahan luas (tuan tanah). Kirang dari 1% penduduk desa yang punya lahan cukup luas yang memperkuat pemilikan secara pribadi sumur irigasi.

Maka di Banlades umumnya koperasi desa membeli sebuh sumur, danmemberikan air irigasi ke setiap orang yang menjadi anggotanya. Penghasilan pertanian hampir naik duakali lipat karena para petani dapat melakukan penanam padi di musim dingin ketika hujan jarang turun. Di Banglades tingkat adopsi sumur lebih lambat daripada di Pakistan karena keputusan inovasi lebih bersifat kolektif daripada individual. Namun konsekuensi inovasi terdistribusi jauh lebih merata daripada yang terjadi di Pakistan., di mana sejak semula ada stratifikasi sosial tingkat tinggi yang memungkinkan pemusatan dampak sumur itu di kalangan para petani kaya. Gotsch (1972) menyimpulkan analisisnya tentang konsekuensi sumur irigasi dengan mengemukakan bahwa struktur sosial di mana inovasi diperkenalkan di Banglades dan Pakistan, tidak sekedar inovasinya itu sendiri, yang menentukan distrubusi dampak sosial-ekonominya. Penelitian ini, sejalan dengan penelitianpenelitian konsekuensi tertentu lainnya yang telah dikutip terdahulu, seperti yang dilakuka Havens dan Finn (1975), menyarankan Generalisasi 11-6: Struktur sosial sebagian menentukan kemerataan-dan ketakmerataan konsekuensi inovasi. Ketika struktur suatu sistem sosial sudah tidak erata, ada kemungkinan bahwa ketika suatu inovasi diperkenalkan (khususnya jika itu inovasi biaya tinggi), konsekuensinya akan menyebabkan ketakmerataan semakin besar dalam bentuk semakin lebarnya kesenjangan sosial-ekonomi. Konsekuensi irigasi yang dikaji d i Banglades dan Pakistan menggambarkan, seperti halnya pada kajian petani di Colombia, bahwa pengadopsian suatu inovasi dan dampaknya berkait erat dengan karakteristik sistem sosial, seperti halnya pada variabel-variabel pada level analisis individual. Kenyataan bahwa kooperasi desa telah ada di Banglades ketika sumur irigasi diperkenalkan, dan bahwa petani kecil kopi di Colombia tidak dapat memperoleh kredit untukmengadopsi jenis kopi baru, sebagian besar ditentukan oleh siapa yang dapat mengadopsi dan yang tidak dapat. Ingat bahwa faktor-faktor penentu ada di level sistem (walaupun dampaknya terjadi melalui tindakan individual). Mengapa para petani kecil di Pakistan dan di Colombia tidak mengadopsi inovasi? Jawaban terhadap kasus ini barangkali inilah salah satu kesalahan sistem, bukan kesalahan individual (Bab 3). Lebih lanjut, faktor-faktor struktur sosial tidak selalui merupakan perintang atau pemfasilitasi statis pengadopsian inovasi dan konsekuensi-konsekuensinya. Secara signifikan, lembaga pembangunan pedesaan di Banglades telah mengorganisir koperasi pedesaan sejak tahun 1960an, jauh sebelum pemerkenalan sumur irigasi, yang sesungguhnya tujuannya adalah untuk: memungkinkan para petani kecil, dengan bersama-sama, mengadopsi inovasi-inovasi biaya tinggi seperti traktor tangan dan sumur irigasi. Suatu contoh yang sejenis, lembaga pembaruan pemerintah di Kores Selatan mengorganisasi para perempuan desa ke dalam kelompok-kelompok ibu (seperti PKK di Indonesia), sehingga membentuk jaringan komunikasi untuk difusi inovasi-inovasi keluarga berencana dan membentuk suatu organisasi sosial untuk mengadopsi dan menerapkan proyek-proyek pembangunan desa (Rogers dan Kincaid, 1981). Tetapi pada kedua ilustrasi itu, struktur sosial menaruh kendala-kendala tertentu tentang seberapa jauh agen-agen pembaru dapat mengubah struktur sosial desa. Namun demikian, variabel struktur sosial bukanlah perintang yang sangat kokoh terhadap pemerataan konsekuensi-konsekuensi inovasi. Agen pembaru sering dapat mengubah struktur sosial dengan cara-cara tertentu, setidak-tidaknya berkait dengan masalah ini (pemerataan konsekuensi inovasi). Strategi Mempersempit Kesenjangan Seperti disarankan oleh penelitian sumur irigasi di Banglades dan Pakistan, tak terhindarkan bahwa inovasi akan memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi di dalam suatu sistem sosial. Tetapi meluasnya ketak-merataan seperti itu biasanya terjadi jika agen pembaru tidak melakukan upaya-upaya khusus untukmencegahnya. Dalam

ilustrasi Banglades, lembaga pembaru telah mengorganisir koperasi sehingga organisasi sosial ini (di mana teknologi sumur irigasi dilekatkan) dapat membantu mencegah pelebaran kesenjangan sosial-ekonomi. Strategi lain apakah yang dapat digunakan oleh agen pembaru? Kami mendaftar beberapa strategi di sini, disusun berdasar beberapa alasanmengapa kesenjangan sosial-ekonomi biasanya melebar sebagai konsekuensi inovasi. 1. Strata Atas punya akses informasi lebih banyak menyebabkan mengetahui inovasi dari pada Strata Bawah. a. pesan-pesan yang berulang-ulang atau yang kurang menarik dan/atau kurang menguntungkan bagi khalayak sosial-ekonomi lebih tinggi, tetapi yang tepat dan menarik bagi khalayak sosial-ekonomi lebih rendah, dapat diberikan. Strategi ni memungkinkan kelompok sosial-ekonomi rendah dapat menangkapnya. Strategi efek langit-langit ini digunakan dengan berhasil dalam mempersempit kesenjangan sosial-ekonomi di India melalui program Televisi Pedesaan (Singi dan Mody, 1976), seperti akan kami uraikan nanti. b. seseorang dapat menyusun pesan-pesan komunikasi khususnya untuk kelompok sosial-ekonomi rendah sesuai dengan karakteristik tertentu mereka, seperti pendidikan, kepercayaan, kebiasaan komunikasi, dan semacamnya. Bahan-bahan siaran seringkali tidak dirancang khusus untuk segmen audien ini, karena itu sering tidak efektif. Walaupun isi pokok pesan-pesan yang disampaikan untuk kelompok Atas sama, agar efektif menjangkau audien kelompok bawah, maka rancangan pesan, perlakuan, dan penyajiannya mungkin harus berbeda; misalnya, lebih banyak menggunakan gambar, foto-foto dan alat bantu lain karena umumnya orang-orang Bawah itu lebih rendah pendidikan formalnya. Sumber dan produser pesan-pesan inovasi biasanya lebih homofilus dengan kelompoj Atas daripada kalangan Bawah, sehingga pesan-pesan mereka lebih cocok dengan kelangan atas. Agar komunikasi lebih efektif bagi kalangan bawah, agen pembaru harus dapat berempati dengan mereka. Evaluasi formatif10 sangat membantu dalam menghasilkan pesan-pesan yang efektif bagi kalangan "Bawah" , misalnya dengan melakukan ujicoba prototip pesan sebelum diproduksi dalam jumlah besar. c. Oran harus menggunakan saluran-saluran komunikasi yang betul-betul dapat menjangkau kalangan bawah sehingga akses tersebut tidak menghalangi pemerolehan mereka terhadap pengetahuan-keberadaan inovasi. Di AS, misalnya, audien dari sosial-ekonomi rendah merupakan penonton berat televisi tetapi kurang bergantung kepada media cetak dibanding dengan audien sosialekonomi tinggi. Di negara-negara sedang berkembang, persentase "kalangan bawah" cukup tinggi, dan mungkin mereka kurang menguasai keterampilan keaksaraan, sehingga media cetak tidak laku; "kalangan bawah" cenderung lebih banyak mendengar radio daripada nonton telvisi. "Kalangan bawah" di negaranegara sedang berkembang juga dapat dijangkau oleh saluran komunikasi tradisional seperti wayang, pembaca cerita, sandiwara rakyat, dukun beranak, dan di tempat-tempat berkumpul tradisional seperti pasar, masjid, pura, warung kopi atau poskamling. Media-media komunikasi yang secara kultural diterima dan dipercaya ini sangat tepat untuk audian "kalangan bawah" di kebanyakan negara (Rogers, 1973)
10 Evaluasi formatif adalah sejenis penelitian yang dilakukan sementara kegiatan atau proses sedang berjalan, dalam upaya meningkatkan keefektifannya. Sebaliknya, evaluasi sumatif adalah tipe penelitian yang dilakukan dalam upaya memperoleh keputusan tentang keefktifan suatu kegiatan atau proses setelah dilaksanakan. Dengan melaksanakan penilaian formatif ketika pesan komunikasi sedang dalam proses, ia dapat meningkatkan keefektifan rancangan pesan; ini sangat penting ketika sumber dan audien komunikasi heterofilus.

d. "Kalangan bawah" dapat diorganisisr dalamkelompok-kelompok kecil di mana mereka dapat belajar tentang inovasi dan mendiskusikan ide-ide baru ini. Ilustrasi pendekatan kelompok-kelompok seperti itu untuk berkomunikasi dengan khalayak "kalangan bawah" antara lain forum-forum radio di banyak negara Asia dan Afrika (Kelompencapir di Indonesia pada dekade 1980an), sekolah radiofonik di Amerika Latin, Kelompok Ibu di Korea Selatan, Kooperasi Desa di Banglades, dan lain-lainnya. Kelompok-kelompok kecil ini merupakan jalan masuknya paparan media massa bagi penduduk miskin, atau untuk kontak langsung dengan agen pembaru. Dan suasana kelompok-kelompok dalam mendengarkan, mendiskusikan dan menerapkan itu memberi dasari bagi "kalangan bawah" untuk memperoleh kemanjuran, suatu perasaan bahwa mereka mengendalikan lingkungan mereka11. e. Konsentrasi kontak agen pembaru dapat dialihkan dari para inovator dan pengguna awal (pemuka), yang sering terjadi di masa lalu (Bab 9), ke mayoritas akhir dan laggard. Kelompok pengguna terlambat ini cenderung kurang percaya kepada agen pembaru profesional, dan mereka jarang aktif mencari informasi dari para agen pembaru itu, karena mereka lebih percaya kepada jaringan antarpribadi dengan sebayanya. Tetapi ketika agen pembaru telah berhubungan langsung dengan mayoritas akhir dan laggard (sesuatu yang sangat jarang di masa lalu), dan ketika inovasi itu tepat untuk kebutuhan mereka, respon pengguna telat ini sering mengejutkan (Roling dkk, 1976). Di masa lalu, agen pembaru sering mengikuti strategi bertaruh pada yang kuat. Mereka perlu mencari strategi alternatif untuk bisa memusatkan hubungan dengan pihak yang lemah, jika ingin mencapai distribusi keuntungan inovasi yang lebih merata di masyarakat. Namun ada biaya yang harus dikeluarkan agen pembaru dalam aktifitas mempersempit kesenjangan; mereka tidak dapat meningkatkan Kesejahteraan menyeluruh di dalam suatu sistem sosial ketika mereka berusaha menjaga distribusi Kesejahteraan itu lebih merata (Gambar 11-3). Untuk menggambarkan konflik antara dimensi pertama dan dimensi kedua konsekuensi inovasi, lihatlah kasus yang relatif sederhana seorang agen pembaru yang bekerja di suatu desa. Seorang petani memiliki lahan yang luasnya 100 are, sedangkan 100 petani lainnya rata-rata hanya menggarap 1 are. Jika agen pembaru itu menghubungi seratus petani kecil, dia mungkin dapat mengajak mereka mengadopsi jenis-jenis tanaman baru, pupuk kimia, dan bahan-bahan pertanian lainnya, sehingga panenan mereka meningkat rata-rata 10 gantang per-are dalam beberapa tahun. Tetapi dengan upaya yang jauh lebih ringan, agen pembaru dapat menghubungi satu petani besar, yang telah inovatif dan reseptif (bersifat menerima, terbuka ) pada hal-hal yang baru; peningkatan 10 gantang per-are pada pertanian individual elite sama konsekuensinya dengan usaha susah payah yang dilakukan agen pembaru terhadap ke-seratus petani kecil. Maka, ada biaya yang jauh lebih besar untuk strategi mempersempit-kesenjangan yang harus dikeluarkan oleh lembaga pembaruan. Satu hal, diperlukan lebihbanyak agen pembaru yang melayani sistem klien yang sama. Di Amerika Latin, setiap penyuluh pertanian diharapkan melayani rata-rata 10.000 petani (Rogers dkk, 1982a). Bagaimana Anda bisa menghubungi 10.000 klien? Jels ini kerja yang mustahil. Dankarena para petanikecil di Amerika Latin tidak punya kekuatan politik, akan sulit bagi lembaga-lembaga pembaruan pertanian untuk memperoleh dana yang mereka perlukan untuk menjangkau jutaan petani di negara mereka. Tetapi beberapa lembaga internasional tertentu, seperti Bank Dunia, sekarang mendanai program-program difusi ke petani kecil di banyak negara sedang berkembang.
Begitu "kalangan bawah" itu diorganisasi dalam kelompok-kelompok kecil dan memperoleh kepercayaan diri, mereka tidak selalu bertindak sebagai penurut, klien yang pasif dari agen pembaru. Mereka bisa membelokkan kelompok-kelompok kecil itu pada tujuan-tujuan politik atau terlibat dalam berbagai aksi anti-kemapanan. Salah satu ilustrasinya adalah Kelompok Ibu di Korea, yang diorganisasi untuk penyebaran keluarga berencana, yang merusak warung mabuk lelaki di desa mereka (Rogers dan Kincaid, 1981)
11

II. Kalangan Atas punya akses lebih besar tentang informasi evaluasi-inovasi dari sebayanya daripada "Kalangan Bawah" Jika teori menetes ke bawah berjalan sempurna, "Kalangan Bawah" akan dengan cepat belajar dari pengalaman pribadi "Kalangan Atas" yangtelahmengadopsi inovasi, dan dengan cepat mengikutinya (setidaknya inovasi yang sesuai). Tetapikenyataannya jaringan komunikasi di banyak sistem adalah "Kalangan Atas" berbicara dengan "Kalangan Atas" dan "Kalangan Bawah" dengan "Kalangan Bawah" (Roling dkk, 1976). Maka "Kalangan Bawah" sering tidak tersambung dalam jaringan antarpribadi tentang inovasi. Bagaimana masalah ini dapat diatasi? a. Para pemuka pendapat (tokoh masyarakat) di kalangan segmen tak-beruntung di sistem sosial itu dapat diidentifikasi dan kontak-kontak agen pembaru dapat difokuskankepada mereka, agar dapat mengaktifkan jaringan sebaya tentang inovasi. Roling dkk (1976) melaporkan keberhasilan pendekatan ini di Kenya. Mayoritas Akhir dan Laggard punya pemuka pendapat sendiri, walaupun mereka tidak mudah diidentifikasi dalam sistem sosial sebagai pemuka pendapat di kalangan Pengguna Awal dan Mayoritas Awal (Bab 8). b. Para Pembantu Agen Pembaru yang dipilih dari "Kalangan Bawah" dapat digunakan untuk menghubungi sebaya mereka yang homofilus tentang inovasi. c. Kelompok-kelompok formal di "Kalangan Bawah" dapat diorganisir untuk memberi mereka kepemimpinan dan penguatan sosial terhadap keputusan inovasi mereka. Kelompok-kelompok kecil seperti tiu memberi "Kalangan Bawah" kekuatan ekonomi, politik dan sosial lebih besar (seperti kita lihat dalam contoh Koperasi Desa di Banglades). Pendekatan kelompok meberi jalan bagi agen pembaru untuk mengubah danmembentuk struktur komunikasi antarpribadi suatu sistem sosial. III. "Kalangan Atas" memiliki kelenturan sumber-sumber untuk mengadopsi inovasi daripada "Kalangan Bawah" Barangkali sebagai perangkat untuk memperoleh status superior mereka, "Kalangan Atas" biasanya lebih mampu mengadopsi inovasi-inovasi, terutama jika ide-ide baruitu mahal, berteknologi canggih, dan memberi keuntungan berskala ekonomi. Strategi apa yang dapat mebantu mengatasi kecenderungan pelebaran kesenjangan ini? 1. Prioritas dapat diberikan untuk mengembangkandan merekomendasikan inovasi yang tepat untuk "Kalangan Bawah". Untuk memperoleh teknologi-tepat dimaksud, kegiatan Penelitian dan Pengembangan sejak awal harus sudah diarahkan pada masalah dan kebutuhan aggota sistem sosial berstatus sosialekonomi rendah (Bab 4). Ada kecenderungan umum Litbang di banyak bidang dilakukan berlandaskan permasalahan "Kalangan Atas". Misalnya, Pusat Penelitian Pertanian Nasional di salah satu negara Amerika Latin sebagian besar mengkaji kebutuhan dan masalah para petani komersial besar yang menanam kapas dan tebu untuk ekspor sampai awal tahun 1970an; sejak itu, mereka juga mulai menekuni penelitian kentang dan yucca, tanaman subsisten pokok yang ditanam oleh ribuan petani kecil. Akibatnya, lembaga-lembaga pengembangan pedesaan sekarang mulai punya beberapa inovasi bermanfaat yang dapat diadopsi petani kecil. 2. Organisasi sosial dapat didirikan di tingkat lokal sehingga "kalangan bawah" dapat memperoleh kesamaan dengan "Kalangan Atas" dalam kemampuan mereka untuk mengendalikan sumber-sumber yang lentur yang diperlukan untuk mengadopsi inovasi-inovasi yang berbiaya tinggi. Kita bisa lihat ilustrasi strategi organisasi sosial ini pada koperasi desa di Banglades (Gotsch, 1972). 3. suatu cara harus diberikan kepada "kalangan bawah" sehingga mereka bisa berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program difusi, termasuk

penentuan prioritas program. Strtegi partisipasi ini biasanya berarti bahwa beberapa macam struktur organisasi harus dibentuk sehingga "kalangan bawah" dapat menunjukkan kebutuhan dan permasalahan mereka kepada para pejabat di lembaga pembaruan. Gagasan partisipasi ini mengandung arti bahwa klien harus dipandang oleh agen pembaru sebagai partisipan aktif dalam proses komunikasi, tidak skedar sebagai penerima pasif dalam arus komunikasi searah dan linear. 4. Dibentuk lembaga difusi khusus yang hanya bekerja dengan "kalangan bawah", sehingga memungkinkan agen pembaru menemukan kebutuhan khusus khalayak sosial-ekonomi rendah itu. Strategi ini telah dijalankan di berbagai negara, termasuk AS, dalam bentuk lembaga pembangunan petani kecil, lembaga asistensi pengusaha kecil, dan program-program khusus untuk membantu sekolah-sekolah kurang beruntung. Jika lembaga-lembaga semacam itu telah ada di kalangan penanam kopi Columbia yang dikaji Havens dan Flinn (1975), misalnya, barangkali lembaga tersebut dapat memberikan kredit kepada petani kecil sehingga mereka dapat mengadopsi jenis kopi baru itu. 5. harus ada pengalihan dari penyebarluasan inovasi-inovasi yang datang dari Litbang formal kepada penyebarluasan informasi tentang ide-ide berbasis pengalaman melalui sistem difusi yang lebih terdesentralisasi (Bab 9). Prnrlitian yang dilakukan OSullivan (1978) di kalangan petani Guatemala-India menemukan bahwa mereka dapat mengadopsi kebanyakan inovasi pertanian yang dipromosikan oleh lembaga pembaruan; misalnya, para petani subsisten ini tidak dapat membeli pupuk kimia. Tetapi banyak inovasi murah yang dapat disebarkan oleh agen pembaru, seperti penanam jagung dengan cara lebih rapat (jagung merupakan tanaman utama di India). Gagasan pokoknya di sini adalah bahwa Litbang bukanlah sumber satu-satunya inovasi berguna; inovasi itu juga bisa datang dari pengalaman sehari-hari petani. Kenyataan ini biasanya terabaikan oleh agen pembaru di masa lalu. Melebarnya Kesenjangan itu Tak Terhindarkan Eksperimen kancah yang baru-baru ini dilakukan oleh Singi dan Mody (1976) dan Roling dkk (1976) menyarankan Generalisasi 11-7: ketika upaya khusus dilakukan oleh suatu lembaga difusi, hal itu memungkinkan mempersempit atau setidaknya tidak memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi di dalam suatu sistem sosial. Dengan kata lain, pelebaran kesenjangan itu tak terhindari. Kedua kajian difusi yang direview di sini adalah dirancang, setidaknya mencakup, untuk menguji strategistrategi mempersempit kesenjangan sesuai dengan kondisi lapangan. Eksperimen Shingi dan Mody (1976) di India itu dirancang untukmengevaluasi strategi efek langi-langit (Strategi 1a): memberi pesan yang berlebihan atau kurang menarik atau kurang bermanfaat bagi "Kalangan Atas" tetapi yang tepat dan menarik audian "kalangan bawah". Dalam kajian yang cerdik ini, dua pakar komunikasi India, Dr. Prakash M. Shingi dan Dr. Bella Mody, pertama kali melakukan analisis-isi suatu acara seri (bersambung) siaran pertanian di televisi (sebelum disiarkan) untuk menentukan duapuluh satu item informasi tentang inovasi-inovasi tanaman gandum dan kentang. Program-program televisi itu dirancang untuk memberi informasi yang berguna bagi mayoritas petani kecil di India, tetapi merupakan redundansi dengan banyak informasi yang telah dimiliki oleh petani besar. Nyatanya, inilah yang seunggunya ditemukan Shingi dan Mody; para petani besar hanya menyaksikan sedikit program-siaran televisi karena segera mematikan Tvnya ketika melihat informasi-informasi pertanian yang telah mereka ketahui. Tetapi para petani kecil dengan semangat mengikuti siaran tersebut karena informasi pertanian yang dimuat dalam siaran itu masih baru bagi mereka. Perlu dicatat di sini bahwa semua petani punya akses tak terbatas untuk melihat siaran itu di pesawat televisi umum yang telah diberikan kepada setiap desa oleh pemerintah India

(Strategi 1c, berkait dengan akses). Shingi dan Mody mengukur tingkat pengetahuan pertanian baik sebelum dan sesudah siaran televisi, dengan cara wawancara langsung. Mereka menemukan bahwa kesenjangan antara "Kalangan Atas" dan "kalangan bawah" menyempit oleh program tersebut karena efek langit-langit: dengan memilih isi siaran yang sudah dipahami oleh petani besar, produser siaran TV dapat mempersempit kesenjangan efek komuniasi Shingi dan Mody menyarankan bahwa televisi secara inheren cocok untuk semua khalayak massa, jika media itu dikelola dengan tepat. Para peneliti India menyimpulkan bahwa Kesenjangan efek komunikasi bagaimanapun tak terhindari. Ia dapat dicegah jika dicari strategi komunikasi yang tepat. Bukti lain efek ini diberikan oleh Roling dkk (1976) melalui eksperimen kancahnya di Kenya. Pakar difusi ini memilih 308 petani Kenya yang belum mengadopsi jagung bibit unggul, walaupun inovasi ini telah diperkenalkan ke masyarakat sembilan tahun sebelum penelitian ini dilakukan. Para Inovator dan Pengguna Awal telah menggunakan bibit unggul pada saat kajian dilakukan, tetapi inovasi itu tidak menetes ke bawah kepada pengguna terlambat karena jaringan orang-ke-orang di masyarakat Kenya sangat horisontal (yakni, para engguna lebih awal berbisaca dengan pengguna awal). Ketigaratus delapan Laggard yang diajak mengikuti serangkaian pelatihan lokal di mana kelompok-kelompok kecil Laggard diajar tentang bibit jagung unggul dan inovasi-inovasi yang berkaitan seperti pupuk kimia (Strategi 2b). Dan mereka diberi kredit pertanian, yang kebanyakan Laggard memerlukannya untuk mengadopsi inovasi itu (Strategi 2d). Hasilnya, 90% dari 308 Laggard mengadopsi inovasi. Dan dalam dua tahun, survey lanjutannya menunjukkan bahwa rata-rata petani peserta latihan telah menyebarkan inovasi itu kepada tiga petani sebayanya. Maka jaringan antarpribadi telah diaktifkan oleh pelatihan itu dan pengadopsian oleh petani peserta latihan itu (Strategi 2a) Roling dkk menyimpulkan bahwa Generalisasi difusi sukupmemadai menarik kesimpulan tentang praktek ini, tetapi ini mungkin sangat berbeda dari penyajian rekomendasi untuk praktik yang optimal. Eksperimen Kenya membantu kita menunjukkan bagaimana program difusi dapat memutus batas praktek sekarang, dan menemukan cara untuk mempersempit kesenjangan sosial-ekonomi. Seringkali cara-cara untuk memutus batasan intelektual konvensional, seperti contoh di Kenya, dapat dilakukan melali eksperimen (Rogers, 1973). Maka kita melihat kekuatan khusus eksperimen kancah oleh peneliti difusi dalam mempengaruhi kebijakan dan strategi agen pembaru. RINGKASAN DAN KESIMPULAN Konsekuensi adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada seseorang atau suatu sistem sosial sebagai hasil pengadopsian atau penolakan suatu inovasi. Walaupun jelas penting, konsekuensi inovasi jarang mendapat perhatian agen pembaru atau peneliti difusi, yang terutama memusatkan perhatian pada penelitian korelat-korelat keinovatifan. Di sini kami mengusulkan suatu model baru untuk pedoman penelitian di masamendatang di mana variabel bergantungnya adalah konsekuensi. Konsekuensi belum dikaji secara memadai karena (1) lembaga-lembaga pembaruan terlalu memberi tekanan pada pengadopsian semata, karena berasumsi bahwa konsekuensinya akan positif; (2) metode penelitian survey yang biasa digunakan tidak cocok untuk meneliti konsekuensi, dan (3) konsekuensi itu sulit diukur. Konsekuensi dikelompokkan menjadi (1) diinginkan atau tak diinginan, (2) langsung atau tidaklangsung, dan (3) terduga atau tak terduga. Konsekuensi diinginkan adalah dampak-dampak fungsional suatu inovasi kepada seseorang atau suatu sistem sosial. Konsekuensi tak diinginkan adalah dampak-dampak disfungsional suatu inovasi pada seseorang atau suatu sistem sosial. Sering sulit

menghindari pertimbangan nilai ketika mengevaluasi konsekuensi itu diinginkan atau tak diinginkan. Kenyatannya, banyak inovasi yangmenyebabkan baik konsekuensi positif maupun negatif, dan justru ini keliru kalau berasumsi bahwa dampak diinginkan dapat dicapai tanpa mengalami juga dampak-dampak takdiinginkan. Tetapi asumsi pemisahan ini sering terjadi. Kami menyimpulkan, bahwa biasanya sulit atau mustahil mengelola dampak suatu inovasi sedemikian rupa sehingga terpisah antara konsekuensi diinginkan dan yang tak diinginkan (Generalisasi 11-1). Konsekuensi langsung adalah perubahan-perubahan pada seseorang atau suatu sistem sosial yang terjadi segera setelah merespon inovasi. Konsekuensi tak-langsung adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada seseorang atau suatu sistem sosial yang terjadi sebagai hasil konsekuensi langsung suatu inovasi. Konsekuensi terduga adalah perubahan-perubahan karena suatu inovasi yang diketahui dan diharapkan oleh anggota suatu sistem sosial. Konsekuensi tak-terduga adalah perubahan-perubahan karena suatu inovasi baik yang diharapkan ataupun tidak diketahui oleh anggota suatu sistem sosial. Konsekuensi-konsekuensi inovasi yang tak diharapkan, tak-langsung dan takterduga biasanya berjalan seiring, seperti halnya konsekuensi-konsekuensi yang dinginkan, langsung dan terduga (Generalisasi 11-2). Kita melihat ilustrasi Generalisasi ini dalam kasus pemerkenalan kapak-baja di kalangan suku Aborigin Ustrali, yang membawa banyak konsekuensi tak diinginkan, tak-langsung dan tak terduga, termasuk berantakannya struktur keluarga, merebaknya pelacuran, dan penyalah-gunaan inovasi itu sendiri. Cerita kapak-baja menggambarkan tiga unsur intrinsik suatu inovasi: (1) bentuk, yaitu tampilan dan substansi fisik yang tampak dari suatu inovasi, (2) fungsi, yaitu sumbangan inovasi itu terhadap cara hidup anggota sistem sosial, dan (3) makna, yaitu persepsi subyektif dan sering tak disadari dari suatu inovasi oleh anggota sistem sosial. Agen pembaru dapat lebih mudah mengantisipasi bentuk dan fungsi suatu inovasi bagi klien mereka dari unsur makna (Generalisasi 11-3). Dalam mementukan kecepatan perubahan suatu sistem sosial, konsep keseimbangan harus dipertimbangkan. Keseimbangan mantab (stabil) terjadi ketika hampir tidak ada perubahan pada struktur dan fungsi yang terjadi dalam suatu sistem sosial. Keseimbangan dinamik terjadi bila kecepatab perubahan dalam suatu sistem sosial sepadan dengan kemampuan sistem sosial untukmengatasinya. Ketidak-seimbangan Terjadi bila kecepatan perubahan terlalu cepat untuk memungkinkan sistem sosial menyesuaikan diri. Agen pembaru u mumnya ingin mencapai suatu kecepatan perubahan yang membawa keseimbangan dinamis, dan menghindari keadaan tidak seimbang. Ketika paradigma pembangunan yang dominan mulai dipertanyakan, pada awal tahun 1970an, dan berbagai alternatif digali, pentingnya pemerataan sebagai penting kegiatan difusi mulai muncul. Salah satu tujuan program difusi adalh untuk meningkatkan Kesejahteraan di dalam sistem sosial; namun dimensikedua adalah apakah distribusi Kesejahteraan di kalangan anggota masyarakat menjadi lebih atau kurang merata. Pengadopsian inovasi biasanya cenderung memperlebar kesenjangan sosial ekonomi antara pengguna yang lebih awal dengan pengguna yang lebih akhir dalam suatu sistem sosial (Generalisasi 11-4). Lebih jauh, adopsi inovasi biasanya cenderung memperlebar kesenjangan sosial ekonomi antara

You might also like