You are on page 1of 16

NASKAH AKADEMIK

Pengembangan Pendidikan Informal Dalam Sistem Pendidikan Nasional

Penyusun: Sanapiah Faisal Abdillah Hanafi

Daftar Isi

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 2. Urgensi Pengembangan Pendidikan Informal 3. Konsep Pendidikan Informal

2 2 3 5

B. ALASAN ALASAN YANG MELANDASI 1. Alasan teoritis 2. Alasan filosofis 3. AlasanYuridis dan Empiris

6 6 9 11

C. IMPLIKASI KEBIJAKAN

2 A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Bangsa Indonesia memiliki pohon keluhuran yang menjulang tinggi dan akarnya terhunjam kuat dalam perut bumi nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Pohon keluhuran dimaksud terkristalisasi dalam falsafah hidup atau pandangan hidup (way of life) Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Itulah identitas dan sekaligus karakter yang seharusnya melekat dalam diri bangsa ini, apakah di tingkat individu warga bangsa ataukah di tingkat kolektivitas. Oleh sebab itu, adalah suatu keharusan bagi bangsa ini untuk melestarikan keluhuran tersebut sampai kapan pun sehingga Bangsa Indonesia tetap terjaga keluhurannnya dari generasi ke generasi. Keharusan untuk melestarikan karakter dan iderntitas bangsa yang Pancasilais tersebut tentu saja perlu dilakukan secara sadar, sengaja dan terencana. Hal itulah yang perlu diupayakan dan ditunaikan oleh Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Karenanya, dalam UU RI tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas dinyatakan bahwa Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (2). Konseptualisasi pendidikan nasional sebagaimana disebutkan di atas mengandung implikasi yang sangat jelas, yaitu: Pertama, bersifat keharusan bagi Sistem Pendidikan Nasional untuk melestarikan identitas dan karakter bangsa yang Pancasilais. Kedua, bersifat keharusan bagi Sistem Pendidikan Nasional untuk tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Ketiga,

keharusan yang disebutkan pertama dan keharusan yang disebutkan kedua bukanlah untuk dipertentangkan sehingga satu sama lain, melainkan perubahan untuk dan

dipersandingkan

senatiasa

tercipta

kesinambungan (change and continuity); menjadi bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkembang ke arah yang semakin maju dan sejahtera dengan tetap terpelihara identitas dan karakter ke-Indonesiaannya yang Pancasilais.

3 Ketiga implikasi tersebut perlu diupayakan secara sadar, sengaja dan terencana, tidak hanya pada jalur pendidikan formal dan pendidikan nonformal, melainkan juga pada jalur pendidikan informal. Selama ini, di dalam Sistem Pendidikan Nasional upaya pengembangan secara sadar dan terencana pada jalur pendidikan informal masih belum tampak dilakukan. Dengan kata lain, jalur pendidikan informal masih terbengkalai. Padahal, usaha sadar dan terencana pengembangan pendidikan informal itu sesungguhnya dapat dilakukan oleh Sistem Pendidikan Nasional demi terciptanya suguhan yang mendidik dalam realitas kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga dan lingkungan kehidupan sosial lainnya, termasuk tempat kerja, media massa, dan ruang publik apapun. Dengan begitu, identitas dan cita-cita bangsa yang Pancasilais menjadi sesuatu yang hadir dan tersuguhkan dalam keseharian hidup indivividu, komunitas, dan Bangsa Indonesia. Intervensi ke arah itu merupakan ruang spesifik untuk pengembangan pendidikan informal dalam Sistem Pendidikan Nasional. Ruang yang tersedia untuk pengembangan pendidikan informal tersebut sudah saatnya ditangani sebagai bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional, dan tidak dibiarkan terbengkalai atau tak terurus seperti selama ini. Bila hal tersebut diupayakan secara sadar dan terencana niscaya secara sistematis dapat dieliminir berbagai suguhan yang tak mendidik serta tak sejalan dengan identitas dan cita-cita luhur bangsa, baik dalam keluarga maupun dalam lingkungann kehidupan sosial lainnya. Itulah yang melatarbelakangi diajukannya naskah akademik ini.

2. Urgensi Pengembangan Pendidikan Informal Pengembangan pendidikan informal merupakan suatu amanat bagi Kementrian Pendidikan Nasional, sebab UU RI tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit menyebutkan pendidikan informal sebagai bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Sistem Pendidikan Nasional mencakup tiga jalur, yaitu (1) jalur pendidikan formal, (2) pendidikan informal. jalur pendidikan nonformal dan (3) jalur

4 Dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan pula bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana. Pendefinisian pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana tentunya juga berlaku bagi jalur pendidikan informal yang merupakan bagian intergral Sistem Pendidikan Nasional. Tetapi, dalam kenyataannya, jalur pendidikan informal masih belum diusahakan pengembangannya secara terencana oleh Kementerian Pendidikan Nasional, meskipun secara kelembagaan sudah terdapat suatu direktorat jenderal yang menaungi pendidikan informal yaitu Dirjen PAUDNI (sebelumnya bernama Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal dan Informal). Pengabaian semacam itu jelas menyimpang dari amanat UU yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional, karena sampai saat ini belum dirumuskan landasan kebijakan sehingga belum dapat dikembangkan program-program operasional pada jalur pendidikan informal. Hal tersebut dapat dimaknai mengingkari tugas besar Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diamanatlan oleh konstitusi (UUD 1945) NKRI. Tugas besar

dimaksud tercermin pada ketetapan besaran alokasi anggaran pendidikan dalam UUD 1945, yaitu sebesar 20% APBN maupun APBD, dan itu merupakan satu-satunya bidang yang disebut besaran alokasi anggarannya dalam konstitusi. Itu menunjukkan betapa tinggi harapan bangsa dan negara terhadap pendidikan, dan betapa pentingnya pemenuhan hak-hak

masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan yang sebaik mungkin, melalui jalur mana pun. Atas dasar itu, Pemerintah dan Kementerian Pendidikan Nasional dapat dinyatakan membuat kelalaian besar apabila tidak mengembangkan jalur pendidikan informal sebagai suatu usaha sadar dan terencana, dan dapat dituduh melanggar UU tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lebih jauh dari itu, juga dapat dituduh menciderai hak kosititusional warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang baik di semua jalur pendididikan, apakah di jalur pendidikan formal, nonformal ataukah informal. Di sisi lain, pengembangan pendidikan informal akan memungkinkan tercipta sinergitas ketiga jalur pendidikan dalam upaya membangun kapasitas, identitas dan karakter bangsa yang unggul dan luhur. Sebab,

5 sebaik apapun proses dan hasil pendidikan formal dan nonformal niscaya akan tergradasi tanpa diiringi dengan upaya mengoptimalkan suguhan yang mendidik dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan ruang pendidikan informal. Lebih dari itu, kualitas dan keluhuran Bangsa Indonesia secara keseluruhan dapat merosot jika suguhan tak mendidik dibiarkan

berkembang tak terkendali. Oleh sebab itu intervensi pemerintah melalui pengembangan jalur pendidikan informal sebagai suatu usaha sadar dan terencana tidak lagi dapat diabaikan.

2. Konsep Dasar Pendidikan Informal Konsep pendidikan informal pertama kali dintrodusir oleh Philip H. Coombs (1974). Dalam pandangan Coombs, pendidikan informal merupakan proses sepanjang hayat di mana seseorang memperoleh dan menghimpun pengetahuan, keterampilan, sikap dan pandangan dari pengalaman dan terpaan lingkungan di rumah, tempat kerja, tempat bermain; dari contoh perilaku dan sikap-sikap keluarga dan teman; dari perjalanan, membaca surat kabar dan buku-buku; mendengar radio dan nonton film atau televisi. Pada umumnya, pendidikan informal itu tidak terorganisir dan seringkali tidak sistematik; namun ia merupakan porsi belajar yang paling besar dan penting bagi keseluruhan masa hidup seseorang termasuk yang sudah berpendidikan sekalipun (Coombs & Ahmed, 1974). Definisi ini masih relevan sampai saat ini, karena para ahli yang berikutnya pada umumnya hanya menambahkan penekanan pada aspek-aspek tertentu daripada pengertian pendidikan informal atau menggunakan redaksi yang agak berbeda. Mark K. Smith (1997) mengartikan pendidikan informal sebagai proses atau cara membantu orang belajar, berlangsung dan dikendalikan oleh perbincangan, mencakup penggalian dan perluasan pengalaman, dan dapat terjadi dalam setting apapun. John Mahoney (dalam Linda Deer Richardson and Mary Wolfe, 2001) memahami pendidikan informal sebagai semua aktifitas yang memberikan peluang kepada anak-anak, remaja dan orang dewasatermasuk diri sendiriuntuk belajar, dalam suasana yang informal. Alan Rogers (2003) menyatakan bahwa pendidikan informal (informal learning) adalah semua kegiatan belajar yang kebetulan, tidak terstruktur,

6 tidak diniatkan tetapi merupakan bagian yang paling luas dan penting dari keseluruhan kegiatan belajar dalam kehidupan sehari-hari. Dari pandangan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan informal adalah proses pendidikan yang cakupannya sangat luas, penting dan dominan yang berlangsung sepanjang hayat di mana saja dan kapan saja melalui segala bentuk interaksi sehari-hari yang terjadi antara individu dengan lingkungannya; proses tersebut bisa berlangsung tanpa disadari oleh yang bersangkutan bahwa ia telah belajar atau telah membelajarkan. Artinya, melalui interaksi itu telah terjadi perubahan-

perubahan dalam diri seseorang apakah menyangkut wawasan, pemahaman, sikap, nilai-nilai, dan/atau perilaku, terlepas apakah perubahan tersebut disadari atau tidak, disengaja atau kebetulan. Dengan konsep pendidikan informal yang demikian itu, seharusnya Sistem Pendidikan Nasional dapat menjadi induk kebijakan nasional pendidikan yang dapat menjadi acuan untuk mengimplementasikan konsep tersebut dalam tindakan atau program operasional. Akan tetapi UU Sistem Pendidikan Nasional mengartikan pendidikan informal sebagai jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (Pasal 1; ayat 13) berbentuk kegiatan belajar secara mandiri (pasal 27; ayat 1).

Konseptualisasi ini telah mereduksi makna pendidikan informal yang sesungguhnya, sebab dalam UU tersebut ia telah disub-ordinasikan kepada pendidikan formal, yakni mengartikan pendidikan informal sebagai kegiatan belajar mandiri di keluarga dan lingkungan; itupun didedikasikan untuk memperoleh pengakuan hasil belajar setara dengan standar pendidikan formal dan nonformal (sesuai pasal 27 ayat (2) dan (3)).

B. ALASAN-ALASAN YANG MELANDASI

1. Alasan Teoretis Dewasa ini, oleh berbagai pihak, kerap dipertanyakan ada apa dengan bangsa ini? Kenapa keadaan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedemikian carut marut? Mengapa krisis moral berlangsung

7 sedemikian parahnya? Mengapa rasa persatuan dari bangsa ini seakan-akan sirna? Mengapa upaya pemberatasan korupsi seakan-akan tak berdaya mencegah mengguritanya korupsi dimana-mana? Mengapa kesantunan dan rasa kebersamaan seakan-akan hilang dalam sikap dan perilaku bangsa ini? Pendek kata mengapa pohon keluhuran yang menjulang tinggi dan berakar kuat di sanubari bangsa ini seakan-akan menghilang? Ada apa? Mengapa bisa demikian? Teori strukturasi Anthony Giddens (1984) sangat relevan digunakan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Selaku teoritikus sosiologi paling terkemuka masa kini, Giddens berhasil mensintesiskan dua kutub teori dalam sosiologi yang selama ini berseberangan, yaitu kutub teori

strukturalisme dan kutub teori interaksionisme. Kutub teori strukturalisme pada dasarnya berpandangan bahwa individu dalam suatu masyarakat adalah semacam hamba yang seharihari dituntut tunduk kepada struktur yang menjadi tuannya. Sebab, tatanan masyrakat yang menstruktur dalam kenyataannya telah ada dan terbentuk sebelum seseorang (warga masyarakat) itu lahir sehingga warga pendatang baru tersebut tinggal menyesuaikan diri dengan tuntutan struktur yang berlaku di tempat ia berada. Sebaliknya, kutub teori interaksionisme berpandangan bahwa struktur yang menjadi tatanan masyarakat itu tidak pernah dan tidak dapat berbuat apapun; yang berbuat adalah orang atau individu. Karenanya, suatu struktur sesungguhnya merupakan produk interaksi warga masyarakat itu sendiri. Melalui interkasi warga masyarakat itulah terbangun negosiasi sehingga tercipta tatanan atau struktur yang akhirnya menuntun sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Oleh Giddens, kedua kutub teori tadi disintesiskan atau dikawinkan menjadi satu teori sintesis, yang sekarang dikenal dengan nama Teori Strukturasi. Menurut teori strukturasi ini, struktur itu bukanlah sesuatu yang final dan statis, melainkan selalu dalam proses menjadi yang tiada akhir. Struktur dan individu warga masyarakat bersifat interaktif, yaitu sama-sama saling menentukan dan ditentukan.. Struktur bersifat menentukan, yaitu menentukan perilaku individu warga masyarakat, tetapi pada waktu

8 bersamaan juga ditentukan oleh individu (warga masyarakat). Sebaliknya, individu (warga masyarakat) ditentukan oleh struktur, tetapi pada saat bersamaan juga ikut menentukan struktur. Dalam istilah Giddens, struktur itu medium dan sekaligus outcome. Sementara itu individu (warga masyarakat) adalah reproduser (pelestari struktur) dan sekaligus juga produser (pencipta struktur).

Berdasarkan teori strukturasi Giddens tersebut tampak jelas bahwa pohon keluhuran Bangsa Indonesia (sekalipun berakar kuat dalam budaya bangsa) bukanlah sesuatu yang final dan statis; bukan sesuatu yang tak tergoyahkan, melainkan senantiasa mengalami proses reproduksi dan produksi secara terus menerus tanpa akhir, bahkan bisa tergradasi. Yang melakukan reproduksi dan produksi tidak lain adalah individu warga masyarakat itu sendiri. Itu berarti, keadaan yang mengecewakan dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dewasa ini adalah buah dari proses reproduksi dan produksi dalam kehidupan sehari-hari. Itulah hasil belajar bangsa ini dalam lingkungan intreraksi mereka sehari-hari. Apa yang mereka serap dari media massa, lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan sehari-hari di masyarakat, organisasi, tempat kerja, permukiman, pusat layanan publik dan sebagainya ikut menjadi sumber belajar (sekolah) yang memproduksi realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dewasa ini. Proses reproduksi dan produksi pohon keluhuran yang menjadi identitas Bangsa Indonesia sudah seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab utama Kementrian Pendidikan Nasional. Sesuai dengan teori strukturasi Giddens, Kementrian Pendidikan Nasional tentu saja perlu secara sadar dan terencana menciptakan lingkungan kehidupan yang seedukatif mungkin, yaitu sejalan dengan identitas dan cita-cita luhur bangsa ini, sehingga dapat memelihara dan memupuknya. Dengan demikian,

pengembangan pendidikan informal menjadi suatu keharusan bila bangsa ini tak ingin berkembang menjadi semakin jauh menyimpang dari pohon keluhuran yang dimilikinya.

9 2. Alasan filosofis Nilai-nilai luhur hadiah masa lampau dari bangsa ini patut

disyukuri, dihargai dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Keluhuran tersebut merupakan modal sosial, budaya dan spiritual Bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya asalkan tetap tertanam dalam kesadaran masyarakat dan teraktualisasi ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Modal itulah yang harus dipupuk terus agar tetap tumbuh, berkembang dan membudaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal tersebut tentu saja menjadi tugas utama dunia pendidikan, yaitu oleh Sistem Pendidikan Nasional, yang mencakup jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Mengapa dunia pendidikan harus memupuk modal keluhuran dimaksud secara terus menerus? fungsi Mengapa Sistem tersebut Pendidikan secara Nasional harus

mengemban

pelestarian

berkesinambungan?

Sehubungan dengan pertanyaan tersebut, menurut Fukuyama (1992) setidaknya ada dua alasan teoretis-filosofis yang dapat diajukan, yaitu: Pertama, karena seluhur apa pun suatu nilai, pandangan, gagasan atau keyakinan nasibnya sangat bergantung pada kuat atau lemahnya pemulyaan terhadap keluhuran dimaksud oleh masyarakat. Melemahnya keluhuran suatu nilai-nilai dalam pandangan masyarakat, merupakan gejala bahwa nilai-nilai tersebut akan pudar dan sirna dari peredaran. Hal tersebut juga bisa terjadi pada pohon keluhuran yang dimiliki Bangsa Indonesia. Hanya proses pendidikan yang dapat melestarikan nilai dan cita-cita luhur yang dimiliki Bangsa Indonesia. Kedua, karena suatu keluhuran apa pun hanya mungkin diwariskan atau diturunkan ke generasi berikutnya sepanjang keluhuran tersebut secara nyata masih hidup dalam keseharian masyarakat bersangkutan; yang tak lagi aktual dalam kehidupan sehari-hari maka tidak akan mungkin terwariskan. Hal yang demikian itu tentunya juga berlaku bagi pohon keluhuran yang dimiliki bangsa ini. Karenanya, adalah tugas dunia pendidikan untuk membuatnya tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, di lingkungan apa pun dan dalam situasi bagaimanapun.

10 Sehubungan dengan alasan yang telah disebutkan di atas, pemikiran filsafat idealisme berkeyakinan bahwa selalu ada ide di balik segala sesuatu (things within ideas). Dan, ide ke arah kemajuan dan kehidupan lebih baiklah yang berada di balik perjalanan sejarah umat manusia dari masa ke masa, kapan pun dan di mana pun. Oleh sebab itu, bisa dimengerti bila senantiasa muncul berbagai koreksi atau perbaikan terhadap tatanan kehidupan yang menyimpang atau melenceng dari tatanan ideal yang dicitacitakan oleh suatu masyarakat/bangsa. Itulah yang dikenal dengan hukum sejarah yang sifatnya dialektikal di dalam perjalanan suatu

masyarakat/bangsa menuju puncak kemajuan dan keagungan. Hal tersebut dengan jelas juga termanifestasi dalam perjalanan sejarah Negara dan Bangsa Indonesia selama ini; misalnya kekecewaan terhadap realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di masa Orde Lama

memunculkan koreksi yang melahirkan Orde Baru, dan selanjutnya kekecewaan terhadap Orde Baru dikoreksi oleh Orde Reformasi.

Fenomena sejarah yang demikian itu mengisyaratkan bahwa umat manusia, termasuk Bangsa Indonesia, senantiasa memproduksi ide-ide bagi diri mereka, termasuk tentang cita-cita yang diidealkan untuk dicapai. Arena kehidupan dalam suatu masyarakat/bangsa tak ubahnya pasar bebas ide-ide. Akibatnya, jual beli ide-ide menjadi tak terhindarkan. Dalam

konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demikian itu, fungsi pendidikan menjadi sedemikian sentral dan menentukan untuk dapat melestarikan keluhuran identitas dan karakter bangsa. Lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini yang teknologi informasi dan komunikasinya sedemikian canggih, yang tentu saja sarat dengan dampak positif maupun negatif bagi masyarakat/bangsa ini. Sehubungan dengan itu, peran strategis jalur pendidikan informal sudah sepatutnya mendapat perhatian serius untuk dikembangkan. Sebab, pasar bebas ide-ide yang berkembang pesat dewasa ini dapat menyebarkan virus liar yang tak sejalan dengan identitas dan cita-cita luhur bangsa, dan itulah yang kental menggejala belakangan ini, khususnya bila menyimak paparan suguhan di media massa. Bila hal tersebut dibiarkan tanpa

11 intervensi yang sifatnya edukatif niscaya berakibat buruk bagi upaya pelestarian identitas dan cita-cita luhur Bangsa Indonesia; peran jalur pendidikan formal dan nonformal tak akan memadai untuk

menanggulanginya. Dengan demikian, pengembangan jalur pendidikan informal sebagai suatu usaha sadar dan terencana menjadi suatu kebutuhan dan keharusan di dalan Sistem Pendidikan Nasional.

3. Alasan Yuridis dan Empiris Keharusan bagi Sistem Pendidikan Nasional untuk mengembangkan jalur pendidikan informal sebagai suatu usaha sadar dan terencana sebenarnya sangat jelas tersirat maupun tersurat dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan Umum pasal 1 ayat 1 sampai dengan ayat 4 UU tersebut secara berurutan menarasikan bahwa (1) pendidikan adalah usaha sadar dan tererncana, (2) pendidikan nasional adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman, (3) sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, dan (4) jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Berkenaan dengan yang disebutkan terakhir, yaitu tentang jalur pendidikan, dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasionan, Bab VI pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Sedangkan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional tertera di Bab II pasal 3 yang menyatakan Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

12 sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan ketentuan dan narasi yang disebutkan di atas dapat dinyatakan bahwa: Pertama, jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal merupakan satu kesatuan di dalam Sistem Pendidikan Nasional yang satu sama lain dapat saling melengkapi dan memperkaya. Kedua, ketiga jalur pendidikan yang terintegrasi di dalam Sistem Pendidikan Nasional merupakan usaha sadar dan terencana untuk terwujudnya kualitas manusia Indonesia sebagaimana yang dinyatakan dalam tujuan pendidikan nasional. Dalam kenyataan empiris, yang disebutkan pertama maupun kedua belum terpenuhi sebagaimana mestinya; jalur pendidikan informal masih belum dikembangkan sebagai usaha sadar dan terencana oleh Kementerian Pendidikan Nasional sehingga dengan sendirinya (1) jalur pendidikan informal tidak dapat saling melengkapi dan memperkaya dengan kedua jalur pendidikan lainnya, dan (2) jalur pendidikan informal tidak memiliki kekuatan pembentuk bagi terciptanya kehidupan sehari-hari yang edukatif guna mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Ketentuan UU Sisdiknas Pasal 27 Ayat (1) sampai dengan ayat (3) sebetulnya telah memberi dasar kebijakan operasional bagi pendidikan informal, namun substansi ayat-ayat tersebut memaknai pendidikan informasi sebatas belajar mandiri dalam kerangka sebagai substitusi pendidikan formal. Hal tersebut tentu saja mereduksi makna pendidikan informal sebagai wahana pembelajaran yang sangat luas dan tak terbatas, baik dalam cakupan konten maupun tempat dan waktu. Dalam tataran praktik, sebetulnya telah terdapat program-program atau kegiatan yang dapat diidentifikasi sebagai bentuk intervensi edukatif pada lingkungan sosial sehingga dapat menjadi sumber pemicu belajar bagi siapa pun yang terkena terpaan event tersebut. Misalnya program taman bacaan masyarakat, balai belajar bersama, posyandu, berbagai lomba dan festival, jambore, dan sebagainya pada hakikatnya merupakan intervensi agar tercipta lingkungan yang mendidik. Berbagai praktik semacam itu masih belum dikelola oleh sistem pendidikan nasional dalam kerangka

pengembangan jalur pendidikan informal, karena belum ada payung

13 kebijakan yang dijadikan dasar pengembangan program dan kelembagaan jalur tersebut. Realitas yuridis dan empiris yang demikian itu merupakan tantangan yang dihadapi Sistem Pendidikan Nasional. Oleh sebab itu, Kementerian Pendidikan Nasional perlu menentukan langkah-langkah strategis, sistematis dan terencana untuk mengembangkan jalur pendidikan informal.

14 IMPLIKASI KEBIJAKAN Gagasan untuk pengembangan pendidikan informal sebagai suatu usaha sadar dan terencana di dalam Sistem Pendidikan Nasional

sebagaimana yang diajukan dalam naskah akademik ini menuntut kebijakan penting: Pertama, mengembalikan konsep pendidikan informal sesuai dengan makna yang sesungguhnya sehingga dapat mewujudkan amanat UUD 45. Konsep formal yang ada saat ini, sebagaimana tertuang dalam dalam UU no 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 ayat (1), (2), dan (3), telah mereduksi pendidikan informal menjadi sekedar belajar mandiri di keluarga dan lingkungan, sebagai subordinasi pendidikan formal dan nonformal. Untuk itu perlu ada upaya sinkronisasi di tingkat undangundang. Kedua, perlu adanya ketentuan-ketentuan turunan dari UU no 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berkaitan dengan pendidikan informal, yang dapat dijadikan landasan operasional

pengembangan dan pelembagaannya. Ketiga, perlu adanya lembaga (setidaknya setingkat direktorat) yang secara teknis mengelola program-program pengembangan pendidikan

informal. Keempat, dalam rangka mendukung ketiga implikasi kebijakan di atas perlu adanya kajian-kajian yang mendalam tentang potensi dan aktualisasi pendidikan informal dalam Sistem Pendidikan Nasional

15 KEPUSTAKAAN Coombs, P. with Ahmed, M. (1974) Attacking Rural Poverty, Baltimore: The John Hopkins University Press. Rogers, A. (2003) What is the difference? a new critique of adult learning and teaching, Leicester: NIACE. Mark K. Smith (1997, 2005), Introducing Informal Education, First published May 1997. http://www.infed.org/i-intro.htm Giddens, Anthony (1984), The Constitution of Society Outline of The Theory of Structuation, Berkley, University of California Press Fukuyama, Francis (1992), The End of History and The Last Man, London, Penguin Books. Richardson, Linda Deer and Wolfe, Mary, Ed. (2001), Principle and Practice of Informal Education, Falmer 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon: Routledge

You might also like