You are on page 1of 9

makalah jual beli Fasid

Bai Fasid Ulama Hanafiyah membedakan jual beli fasid dan jual beli batal. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang yang dijual belikan, maka hukumnya batal. Seperti memperjual belikanbenda-benda haram. Tetapi, apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh di perbaiki, maka jual beli itu dinamakan fasid . Akan tetapi Jumhur Ulama tidak membedakan antara jual beli yang fasid denagn jual beli yang batal. Menurut mereka jual beli itu terbagi dua, yaitu jual beli yang shahih dan jual beli yang batal. Apabila rukun dan syarat jual beli terpenuhi, maka jual beli itu sah. Sebaliknya, apabila salh satu rukun atau syarat jual beli itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal . Diantara jual beli yang fasid, menurut Ulama Hanafiyah adalah; A. Bai Majhul. Secara bahasa, majhul berarti yang tidak di ketahui . Sedangkan menurut istilah Syara adalah jual beli dimana barang yang dijual tidak diketahui secara menyeluruh dan tidak dinyatakan secara jelas sehingga menimbulkan sengketa . Jual beli Majhul ini harus dengan syarat kemajhulannya bersifat menyeluruh. Akan tetapi apabila kemajhulannya (ketidakjelasan) itu sedikit, jual belinya sah. Karena hal itu tidak membawa perselisihan, artinya pembeli sama sekali tidak mengetahui barang, baik itu bentuk maupun sifatnya, hukum juasl beli ini adalah fasid menurut pandangan Ulama Hanafiyah. Misalnya, seorang menjual buah melon, sedangkan konsumen itu tidak tahu buah melon itu seperti apa? Jual beli seperti ini di sebut bai Majhul. Atau misalnya, seorang dalam akadnya dengan konsumen menjual buah melon, tapi ketika penjual itu menunjukkan kepada konsumen, bukan buah melon melainkan buah semangka. Jual beli ini termasuk bai Majhul. Atau bai fasid. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebagai tolok ukur untuk unsur majhul itu diserahkan sepenuhnya kepada Urf (kebiasaan yang berlaku bagi pedagang dan komoditi itu). Kemajhulan itu, disamping berkaitan dengan barang yang dibeli , boleh juga berkaitan dengan harga atau nilai tukar. Misalnya, nilai tukar itu palsu dan penjual tidak mengetahui unsur-unsur palsu dalam nilai tukar itu . B. Bai Muallaq ala Syarthin. Yaitu akad jual beli yang di gantungkan pada syarat tertentu, atau di gantungkan pada masa yang akan datang . Misalnya, aku jual lemari ini, jika kamu menjual kepadaku motor milikmu, atau jika kamu membayar tunai harganya Rp 10.000, tetapi jika berhutang harganya Rp 15.000. pada prinsipnya, seluruh Ulama Madzhab sepakat bahwa akad jual beli seperti ini tidak sah. Fuqoha Hanafiyah menyebut akadnya Fasid, didasarkan kepada hadits Rasulullah Saw. Dari abu Hurairah dan dari Amr ibn Syuaib bahwasannya:

rasulullah Saw melarang dua jual beli dalam satu akad dan dua syarat dalam satu bentuk jual beli. Menurut Ulama Syafiiyah dan Hanabilah menyatakan jual beli bersyarat adalah batal. Sedangkan Imam Malik menyatakan jual beli bersyarat adalah sah, apabila pembeli diberi hak khiyar . C. Bai al Ain al Ghaibah.

Bai al Ghaibah adalah jual beli barang yang wujud (ada) namun tidak dihadirkan ketika berlangsung akad, sehingga tidak dapat dilihat pembeli . Ulama Malikiyah membolehkan jual beli seperti ini, apabila sifat-sifatnya disebutkan dengan syarat sifat-sifat itu tidak akan berubah sampai barang itu diserahkan konsumen. Menurut Syafiiyah, jual beli seperti ini tidak sah secara mutlak karena mengundang unsur Gharar, yakni unsur ketidakpastian jenis dan sifatnya. Sedangkan menurut Ulama Hanabilah mengatakan bahwa jual beli seperti ini sah. Namun, akadnya bersifat fasid dan pembeli mempunyai hak khiyar yaitu khiyar ruyat . Dalam madzhab Hanabilah terdapat dua pandangan, jika barang tersebut tidak pernah dilihat oleh pihak pembeli dan tidak dijelaskan sifat-sifatnya hukumnya tidak sah. Tapi, jika pihak pembeli pernah melihatnya atau pihak penjual menyatakan secara jelas sifat dan kriterianya hukumnya sah , sebagaimana yang berlaku dalam akad jual beli saham. Jual beli ghaibah sama halnya dengan jual beli yang dilakukan oleh orang buta karena orang buta tidak melihat barang yang diperjual belikan. Menurut Fuqoha Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, jual beli orang buta hukumnya sah dan memiliki hak khiyar sepanjang ia dapat mengenali, seperti melalui perabaan atau penciuman . Menurut Syafiiyah, jual beli orang buta tidak sah, kecuali ia sebelumnya pernah mengetahui barang yang hendak dibelinya dalam batas waktu yang tidak memungkinkanterjadinya perubahan atasnya. Hal ini dikarenakan bagi orang buta, barang yang diperjual belikan bersifat majhul .
http://penalangit.blogspot.com/2009/05/makalah-jual-beli-fasid.html

. MACAM-MACAM JUAL BELI FASID -Menurut Ulama Hanafiah Terdapat Banyak Sekali Bentuk-Bentuk Jual Beli Fasiq, Namun Yang Terpenting Ada Tiga Belas Macam. Sebagaimana Berikut Ini : 1. Jual Beli Yang Tidak Jelas/Tidak Diketahui Barangnya (Bai Majhul) Jual beli majhul jahalah fahisyah adalah jual beli yang tidak ada perselisihan, pertentangan atau perseteruan, hukumnya fasid, karena jual beli ini menghalangi serah terima barang, maksud jual belinya tidak tercapai. Jual beli majhul jahalah yasiroh adalah jual beli yang tidak menunjukan kepada perselisihan, pertentangan atau pertengkaran hukum jual belinya shahih, tidak fasid, karena tidak menghalangi serah terima barang, dan maksud jual belinya tercapai -Bentuk jahalah fahisyah secara global ada empat keadaan : 1. Jahalatul mabi (tidak diketahuinya barang dagangan) baik jenis, macam dan ukuranya 2. Jahalatu tsaman (tidak diketahuinya nilai tukar) seperti : jual beli kain berdasarkan qimahnya, dan membeli sesuatu dengan aturan fulan atau dengan aturan salah satu orang yang berakad, maka jual belinya dihukumi fasid, karena qimahnya tidak jelas dan akan terjadi perselisihan antara kedua belah pihak yang berakad. 3. Jahalatul ajal (tidak diketahui masa tempo penundaannya) seperti jual beli yang ditunda sampai masa tempo begini dan begini, maka jual belinya dihukumi fasid, karena masa temponya tidak jelas. 4. Jahalah fi wasailit tausiq, seperti penjual yang mensyaratkan untuk mendahulukan kafalah (jaminan) atau rohn (gadai) tanpa menentukan tsaman yang ditunda, maka jual belinya fasid, karena tidak diketahui keberadaannya. Malikiyah membolehkannya dengan alasan urf yang berlaku, termasuk jahalah yasir. -Kesimpulan. Bahwa gharar lebih umum dari jahalah. Maka seluruh majhul (yang tidak jelas) itu adalah grarar, dan tidak sebaliknya, terkadang didapati gharar yang tidak majhul, seperti

jual beli pohon rami yang diketahui sifatnya. 2. Jual Beli Yang Tergantung Atas Suatu Syarat Dan Jual Beli Al Mudhof (Menambahi Ijab) Jual beli mualaq ala syartin adalah jual beli yang wujudnya tergantung pada sesuatu yang lain, memungkinkan sekali saat ijabnya menggunakan kata-kata taliq (menggantung) misalnya: akan, jika, apabila, kapan dan lainya. Seperti ungkapan: akan kujual rumah ini apabila fulan sudah pulang dari bepergiannya atau apabila fulan menjual rumahnya kepadaku. Jual beli mudhof adalah jual beli yang ijabnya ditambah-tanbahi sampai masa yang akan datang, missal : aku jual rumah ini pada awal tahun baru segini. Inilah kedua jual beli yang fasid menurut Hanafiyah, keduanya batal menurut yang lain, karena jual beli itu akad kepemilikannya ditentukan pada waktu itu juga, tidak menambah temponya hingga masa yang akan datang. Ilat yang terkandung dalam kedua jual beli ini adalah terdapat unsur ghoror, karena tidak diketahui sampai kapan pembeli akan menerima barangnya, sehingga tidak bisa dipastikan barang itu akan benar-benar diterima atau tidak. maka apabila yang terjadi demikian, bagaimana akan tercipta keridhoan dalam akad tersebut diantara keduanya. 3. Jual Beli Harta Yang Tidak Ada/Tidak Terlihat Barangnya (Bai Ainul Ghoibah Au Ghoiru Mariah) Ainul ghoibah adalah harta pilihan yang dimiliki oleh penjual, yang wujudnya nyata, namun tidak terlihat. Hanafiyah membolehkan walau tanpa diketahui sifatnya sekalipun dengan syarat khiyar seperti jual beli barang yang ada di dalam kotak atau tertutup dan lainya. Apabila ketika melihat berang tersebut kemudian membatalkan transaksi maka dibolehkan, sebagai konsekwensi khiyar. Karena dengan adanya khiyar bisa mengantisipasi terjadinya ghoror atau jahalah dalam akad. Dalilnya hadist yang berbunya : apabila membeli sesuatu yang belum dilihat pembeli, maka berhak atasnya khiyar apabila sudah melihatnya. (HR. Daruqutni) Malikiyah juga membolehkannya dengan diketahuinya sifat barang tersebut, apabila pembeli percaya atas sifat yang telah disebutkan, maka jual beli lazim dilakukan, karena ini termasuk ghoror yasir. Maka apabila sifatnya berbeda dari keterangan sebelumnya, maka pembeli berhak melakukan khiyar. Syafiiyah dan Hanabilah tidak memperbolehkannya, karena ini tetap mengandung unsure ghoror seperti yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW. Perlu diperhatikan, ternyata hadist apabila membeli sesuatu yang belum dilihat itu dhoif sebagaimana yang dinyatakan oleh Baihaqi dan lainya, dan batil tidak dishahihkan sebagaimana yang dinyatakan oleh Daruqutni. Akan tetapi dishahihkan jual beli ini untuk suatu keperluan. Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan jual beli yang tidak kelihatan di dalam bumi seperti jual beli ubi lobak, liftu (jenis sayuran) dan kentang atau segala yang mengandung kesusahan atau bahaya bila melihatnya. Ini termasuk ghoror yasir. Syafiiyah dan Hanabilah tetap membatalkannya, karena terdapat ghoror dan jahalah yang keduanya dilarang. 4. Jual Beli Bagi Orang Yang Buta (Bai Al Ama Wa Syirouhu) Jumhur membolehkanya dalam berakad jual beli, ijaroh (sewa), rohn (gadai) dan hibah (pemberian). Dia berhak melakukan khiyar apabila mengetahui jenis, bau atau melalui daya rasanya. Atau mungkin barangnya disifati seperti sifat buah-buahan yang masih berada di pohon, karena sifat harus menjelaskan hakikat barang yang akan diperjual belikan, maka terjadilah kesamaran dalam jual beli bagi orang yang dapat melihat. Namun tidak ditetapkan oleh Hanafiyah dan Malikiyah khiyar melihat bagi penjual secara mutlaq. Dalam keadaan buta atau melihat.

Syafiiyah tidak memperbolehkannya (orang buta), kecuali ia pernah melihat sesuatu sebelum kebutaanya, barang yang tidak berubah seperti besi dan selainya, sehingga ia dihukumi kurang dalam mengidentifikasi dengan baik, maka barang yang akan dijual belikan baginya dianggap sebagai barang yang majhul. 5. Jual Beli Barang Haram (Bai Bi Tsaman Al Muharom) Khamer dan babi. Fasid karean tidak mangandung manfaat secara syarI. jumhur mnghukuminya bathil. Termasuk dalam hal ini adalah segala jenis narkoba, ganja, ophium,kokain, heroin dan sebagainya bahkan ini semua lebih parah lagi. Demikian pula jual beli rokok, mengingat keberadaannya yang membahayakan, mengganggu orang lain, juga menyia-nyiakan harta. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam telah melarang menjual bangkai, khamr, babi, patung. Barangsiapa yang menjual bangkai, maksudnya daging hewan yang tidak disembelih dengan cara yang syari, inii berarti ia telah menjual bangkai dan memakan hasil yang haram. 6. Jual Beli Tunai Dan Tunda (Bai Al Ajal Wa Bai Inah) Malikiyah membedakan antara jual beli ajal dan inah, jual beli ajal adalah jual beli yang diadakan oleh pembeli dari apa yang telah dia beli kepada penjual atau wakilnya dengan pembayaran bertempo. Sedangkan jual beli inah adalah seseorang mengatakan kepada yang lain : belilah barang daganganku ini dengan sepuluh ribu tunai, nanti aku beli lagi barang itu dari kamu dengan dua belas ribu dengan pembayaran bertempo. Malikiyah dan Hanabilah menghukumi keduanya bathil. Bahkan selain Malikiyah dan Hanabilah tidak membedakan keduanya. Abu hanifah, Syafiiyah dan Dhohiriyah menshohihkan jual beli inah secara dhohirnya, karena terpenuhi rukunya yaitu ijab dan qobul menurut abu hanifah, dan rukun-rukunnya terpenuhi menurut yang lainya, tentunya dengan meninggalkan urusan niat dan menyerahkanya kepada Allah taala untuk menghukumi pelakunya. Perlu diketahui bahwa ternyata jual beli inah ini, menurut selain madzhab Malikiyah disebutsebut dengan jual beli ajal, yaitu yang mengandung siasat menjurus kepada riba, yaitu seseorang menjual barang dengan pembayaran bertempo. Kemudian membelinya lagi pada saat itu juga, Jual beli ini disebutinah karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki ain (benda) yang dia jual pada waktu itu juga. Begitupula sebaliknya, Yaitu si pemilik barang menjual sesuatu barang kepada orang lain dengan sistim tempo, kemudian setelah itu barang tersebut dibeli lagi oleh pemilik barang tadi dengan cash namun dengan harga yang lebih murah dari pada harga pertama waktu ia jual. Ini termasuk katagori riba, sedang barang dagangan disini hanya sebagai wasilah/perantara. Hendaknya orang tersebut menjual barang itu kepada orang lain,bukan kepada kita. Contohnya seseorang menjual barang kepad aorang lain dengan harga 12 ribu dibayar bulan depan misalnya, kemudian dibeli lagi oleh yang menjual tadi dengan harga 10 ribu, disini terjadi perbedaan harga antara keduanya dengan kata lain si pemilik barang terjerumus kepada riba. Dan praktek seperti ini merupakan jembatan menuju riba. Jual beli ini dianggap bathil oleh Malikiyah dan Hanbilah, untuk mencegah kerusakan, berdasarkan hadist yang Diriwayatkan oleh Imam ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari Abu Ishaq, dari istrinya Aliyyah bahwa ia pernah menemui Aisyah radhiyallah anha bersama dengan Ummu Walad Zaid bin Arqam serta seorang wanita lain. Ummu Walad Zaid berkata, Aku pernah menjual budak kepada Zaid seharga delapan ratus dirham dengan pembayaran tertunda. Dan aku membelinya kembali seharga enam ratus dirham kontan. Aisyah berkata, Sungguh tidak bagus cara engkau berjualan dan cara engkau membeli. Katakan kepada Zaid, bahwa ia telah membatalkan pahala jihad dan hajinya bersama Rasulullah, kecuali kalau ia bertaubat!

Hadist lainya Riwayat Atha dari Ibnu Umar -rodhiyallahu anhu- bahwa ia menceritakan, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:Kalau manusia sudah menjadi kikir gara-gara uang (dinar dan dirham), sudah mulai melakukan jual beli inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, pasti Allah akan menurunkan bencana kepada mereka, dan bencana itu tidak akan dihilangkan sebelum mereka kembali kepada agama mereka. (HR. Ahmad dalam Musnadnya). Abu hanifah berpendapat : bahwa jual beli ini adalah fasid, karena si pembeli belum memiliki barang itu sepenuhnya, sehingga jual beli belum bisa dikatakan sempurna, maka akad yang kedua (dibeli lagi oleh si pemilik barang awal) dihukumi fasid. Imam SyafiI dan Dawud Ad dzahiri berpendapat : bahwa akad jual beli ini shahih namun mengandung karohah (dibenci) di dalamnya, karena terpenuhi rukunnya yaitu ijab dan qobul yang dilakukan secara benar. Dan akadnya tidak batal dengan niat yang kita tidak mengetahuinya, dan dikembalikan kepada Allah taala. Kesimpulan : jumhur ulama selain Syafiiyah menghukumi jual beli inah fasid, karena menjurus pada riba, dan seakan-akan membolehkan apa yang Allah taala larang, maka tidak dishahihkan, dengan kata lain suaatu alasan yang mendorong kepada kejelekan itulah yang merusak akad. 7. Jual Beli Anggur Untuk Di Jadikan Khomer (Bai Inab Liashiril Khamer) Malikiyah dan Hanabilah memandang sebagaiman yang telah ditetapkan pada jual beli ajal dan inah, bahwa jual beli ini bathil. Dan yang semisalnya seperti jual beli senjata bagi Ahli Habi (orang yang berperang) atau untuk Ahli Fitnah (orang yang sedang berada dalam kondisi fitnah) atau untuk Qutho Thoriq (perampok), alasan sama, untuk mencegah kerusakan, karena sesuatu yang dapat menjerumuskan kepada keharaman adalah haram pula, walau dengan suatu niat, sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Maidah : 2 saling tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam kejelekan dan permusuhan. Dari ayat ini dapat disimpulkan kalau jual belinya bathil. Abu Hanifah dan Imam SyafiI memandang bahwa keduanya tidak dalam rangka mencegah kerusakan (saddu dhariah) : dan jual belinya tetap shohih secara dhohirnya. Maka jual beli kurma basah, anggur yang digunakan untuk khomer atau arak. Apabila penjual merasa ragu menjualnya, karena takut digunakan untuk maksiat atau kejahatan, maka hukum menjual belikanya makruh. 8. Dua Akad Dalam Satu Jual Beli Atau Dua Syarat Pada Satu Jual Beli (Baiatani Fi Baiatin Aw Syarthani Fi Baiin Wahid) Keduanya bermakna satu, penjual berkata kepada pembeli : aku jual barang ini 2 ribu secara nasiah (berhutang terlebih dahulu-pembayaran secara tempo) atau seribu secara tunai, pembeli menjawab : qubiltu (pertanda setuju). Tanpa memilih yang tunai atau nasiah. Maka apabila is menentukan salah saatunya, jual belinya shahih. Atau penjual berkata kepada yang lainya : aku jual rumah ini asalkan kamu menjual kapadaku tanah si fulan. Kedua tasharuf ini dilarang oleh syari. berdasarkan hadist Abu Hurairah : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari membuat dua belian (akad) dalam satu aqad. Contoh pertama mengandung unsure gharar, sebab ketidak jelasan nilainya, dan contooh kedua dilarang karena menyibukan kebutuhan orang lain. Pengertian dua syarat dalam satu jual beli adalah perkataan : aku jual barang ini dengan seribu tunai, atau 2 ribu secara nasiah, ini mengandung dua syarat dalam satu jual beli. Terjadi perbedaan maksud antara keduanya, dan tidak dibedakan antara dua syarat atau lebih, pernyataan ini adalah tafsiran dari Zaid bin Ali dan Abu Hanifah. Dan di tafsirkan lagi dengan perkataan : aku jual kainku segini, tapi ukuran dan jahitanya terserah aku, ini adalah jual beli fasid menurut para ulama, maka tidak ada bedanya bagi

mereka entah itu satu syarat atau dua. Imam Ahmad berkata : bahwa itu shahih, maka dibolehkan satu syarat dan tidak dibolehkan dua syarat atau lebih, maka jual beli ini shahih jika ungkapanya :aku jual kainku ini dan akan aku jahitkan, dan tidak dibenarkan jika ungkapanya :ukuran dan jahitanya terserah aku. Menurut Fuqoha. Hanafiah berkata:jual beli ini fasid, karena harganya tidak jelas, sebagaimana di dalamnya mengandung kesamaran akad, apakah tunai atau tempo? Apabila kesamaran itu diangkat atas salah satu antara keduanya, maka akadnya sah. Imam Malik berkata :jual beli ini tetap sah, dan menjadi jual beli khiyar, akadnya berubah kepada salah satu dari kedua keadaan diatas. Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat : akad ini bathil, karena termasuk jual beli gharar, dengan sebab jahalah (ketidak jelasan), karena penjual belum menentukan jual belinya berpusat pada satu akad, dan dikarenakan harganya majhul (tidak diketahui), maka belum bisa Dishahihkan Akadnya. 9. Jual Beli Yang Barang Dan Sifatnya Bagian Dari Yang Dimaksud (Baiul Atba Wal Aushof Binahwi Maqsud) Yaitu menjual sesuatu yang melekat pada sesuatu yang lain, dengan kata lain barang yang akan diperjual belikan termasuk bagian darinya. Seperti jula beli daging kambing yang masih hidup, sesobek dari kain dan kepala dari hewan. Jual beli seperti ini selain sesobek dari kain, maka hukumnya bathil karena barang jual belinya tidak ada (madum). Sedangkan juall beli sesobek dari kain, jika membahayakan sebagiannya maka akadnya fasid, karena ia bagian dari selembar kain tersebut. Hukumnya akan kembali pada shahih apabila pembeli memesan dulu sebelumnya, sehingga bisa dicarikan sesuai pesanan, tanpa harus mengurangi kain yang ukuranya sudah ditetapkan sebelumnya dan tidak bisa di kurangi/disobek sedikitpun. Apabila jual beli ini tidak membahayakan bagi sebagian yang lain maka boleh-boleh saja, seperti mud (jenis takaran yang kurang lebih 6 ons) dan ritl (kurang lebih 2564 gram) dari subroh (seonggok takaran yang tidak ditimbang). Karena tidak membahayakan bagi sebagian lainya dan tidak termasuk barang yang melekat pada sesuatu. 10. Jual Beli Yang Belum Diserah Terimakan (Bai Syai Qobla Qobdihi) Syafiiyah berpendapat : tidak memperbolehkan jual beli barang yang statusnya belum dimiliki seutuhnya oleh penjual (yang yang membeli dari seorang dan belum di serah terimakan seutuhnya), seperti seseorang yang membeli barang dari orang lain, sebelum penyerahan dilakukan, pembeli tadi kemudian menjualnya kepada orang lain (pihak ketiga). Bila demikian maka jual belinya bathil, dan untungnya tidak berhak baginya, karena sebenarnya barang itu masih dalam tanggungan penjual pertama, adapun stasusnya seakanakan hanya perantara saja, karena barang tersebut belum resmi miliknya. Begitupula dengan madzhab Hanafiah, Malikiyah dan Hanabilah. Meraka sama-sama menyatakana, bahwa jual beli seperti ini dilarang, tidak diperbolehkan dan tidak shahih. Karena terdapat unsur gharar di dalamnya, di sinilah ilat pelarangannya. 11. Jual Beli Mengakhirkan Barang Dan Uang Yang Telah Ditentukan (Tajilu Mabi Al Muayan wa Tsaman Al Muayan) Apabila ada syarat yang mengharuskan untuk memngadakan serah terima barang atau harga yang telah ditentukan, maka jual belinya fasid, karena kewajiban penyerahan yang sebenarnya adalah pada waktu berakad, dan penundaanlah yang menghilangkan penyerahan barang pada waktu akad tersebut, maka hal inilah yang dapat merubah keadaan akad, maka wajib baginya untuk mmebatalkan akad. Namun diperbolehkan mengakhirkan barang dalam jual beli pesanan, dan penundaan pembayaran dianggap sebagai suatu hutang, dengan syarat tempo penundaannya harus diketahui dengan jelas.

12. Rusak Atau Yang Menimbulkan Kerusakan (Bai Bi Syartin Fasid Aw Mufsid) Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafiyah serta Hanabilah sama-sama tidak memperbolehkanya dan menghukuminya sebagai bentuk jual beli yang fasid, karena ada penambahan syarat di dalam akad, maka terjadi riba. Syarat yang bathil adalah syarat yang mengandung bahaya bagi salah satu pihak yang berakad, seperti jual beli sesuatu dengan syarat pembeli untuk tidak menjualnya lagi atau tidak boleh dihibahkan, pada dasarnya jual belinya boleh-boleh saja, namun syaratnya sia-sia dan bathil, karena tidak mengandung manfaat bagi siapapun. Maka tidak diwajibkan untuk merusak akadnya. 13. Jual Beli Buah-Buahan Atau Pertanian Yang Belum Berbuah (BaI At Tsamar Aw Az Zuru Qobla Wujudiha Aw Sholahiha) Para Ulama telah bersepakat melarang jual beli macam ini berdasarkan hadist nabawiyah, karena termasuk dalam kategori jual beli gharar. Ulama juga bersepakat akan bolehnya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian yang sudah di potong dari pohonnya. Maka dalam pembahasan ini ada dua kelompok mendasar dalam menentukan hukumnya, antara yang belum dan yang setelah dipetik/dipotong dari pohonya 1. Sebelum dipanen/berbuah a. Bila syarat jual belinya secara muthlaq, maka diperbolehkan juga. b. Bila disyaratkan sampai memotong/memtiknya, maka diperbolehkan c. Bila syaratnya untuk meninggalkannya, maka jual belinya fasid. 2. Setelah dipotong/dipetik a. Bila syarat jual belinya secara muthlaq, maka diperbolehkan juga. b. Bila disyaratkan sampai memotong/memtiknya, maka diperbolehkan c. Bila syaratnya untuk meninggalkannya, maka jual belinya fasid. Maraji : al Wajiz fi fiqhi islamy, Wahbah Az Zuhaily http://sevensweet.wordpress.com/2011/12/01/jual-beli-shahih-dan-bathil/

jual beli fasid


BAB I PENDAHULUAN

Pada dasarnya jual beli merupakan kebutuhan atau keharusan yang di lakukan setiap makhluk sosial. Karena manusia tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Sehingga adanya interaksi timbal baik yang diwujudkan dalam pertukaran barang dan harta, atau sebagainya dan didasari dengan sikap meridhoi (dalam hadist rosul).

Artinya: jual beli harus dipastikan saling meridhoi. Hukum jual beli terbagi menjadi 3 yaitu: Shahih

Bathil {ghoiru shahih} Fasid {ghairu shahih} Syarat dalam jual beli : Syarat terjadinya akad Syarat sahnya akad Syarat terlaksananya akad Syarat lujun (kepastian) Terjadinya jual beli fasid yaitu apabila dalam transaksi tidak terpenuhinya syarat sahnya akad. Dimana syarat sah akad secara umum berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang di tetapkan syara (terhindar dari kekacauan dalam jual beli) BAB II PEMBAHASAN 1. Jual Beli fasid a. Pengertian Jual beli fasid menurut fuqaha adalah jual beli yang secara prisip tidak bertentangan dengan syara namun terdapat sifat-sifat tertentu yang mengahalangi keabsahannya. Menurut Prof. Dr H. Rahmat syafei, MA. Jual beli fasid adalah yang memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak. Adapun perbedaan tentang jual beli fasid yaitu: a. Menurut pendapat zumhur ulama. Bahwa akad jual beli yang keluar dari ketentuan syara maka tidak dianggap baik dalam muamalah dan ibadah. b. Menurut pendapat hanafiah bahwa akad jual beli fasid adalah yang sesuai dengan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti halnya jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan. b. Permasalahan dalam jual beli fasid. Hal-hal yang dipermasalahkan dalam jual beli fasid antara lain: a. Jual beli anak kecil. Menurut ulama sepakat jual beli anak kecil tidak sah. Sama seperti ulama syafiiyas berpendapat tidak sah sebab tidak ada ahliah (ahli akad). Menurut ulama makkiyah, hanafiyah jual beli dipandang sah jika di izinkan wahinya (QS.annisa : 6). b. Jual beli malja merupakan jual beli orang yang sedang dalam bahaya. c. Jual beli munjiz yang dilihat sebab siqhatnya yang dikaitkan dengan suatu syarat atau di tangguhkan pada waktu yang akan datang. d. Jual beli dilihat dari sebab maqudailaih (barang jualan), jual beli barang yang tidak jelas (majhul) , jual beli buah-bauahan atau tumbuhan. e. Dilihat dari syara adalah jual beli barang dari hasil pencegatan barang. Syafiiyah dan hanafiyah berpendapat pembeli boleh khiyar. Fasid untuk malikiyah. c. Akibat Hukum jual beli fasid Konsep dari hanafiyah jual beli fasid berlangsung dengan qimah (narga standar) tidak tsamati (harga yang di sepakati dalam akad). Misal jual beli dengan tsaman berupa khamar atau di gantungkan dengan dengan persyaratan fasid atau tsamannya tidak jelas. Menunjukan kesepakatan terhadap mabi (barang yang diperjual belikan), kefasidan akad sesungguhnya berada dipihak pembeli karena pihak pembeli harus membayar dengan harta yang sepadan. Fuqaha hanafiyah berpendapat jual beli fasid tidak menimbulkan peralihan hak milik sebelum terjadi serah terima.

http://kurniawan-lintasilmu.blogspot.com/2009/05/jual-beli-fasid.html

You might also like