You are on page 1of 5

BAB III Permasalahan Sejarah Kota Jakarta Berdasarkan penggalian arkeologi, terdapat bukti bahwa pemukiman pertama di Jakarta

terdapat di tepi sungai Ciliwung. Menurut catatan sejarah, sejak awal abad ke-15, Sungai Ciliwung sudah menarik perhatian Belanda yang kala itu menguasai Jakarta (dulu Batavia). Sungai tersebut diberdayakan untuk menjadi jalur pelabuhan perdagangan berskala internasional. Saat itu, pihak penjajah memperluas wilayah Sungai Ciliwung hingga dapat memuat sepuluh buah kapal dagang dengan kapasitas hingga 100 ton. Tidak hanya berperan sebagai urat nadi aktivitas perdagangan, Sungai Ciliwung juga diprakasai untuk menanggulangi banjir di dalam kota. Sungai tersebut dihubungkan dengan parit-parit yang dibuat saling sejajar dan melintang, sehingga dapat mereduksi ketinggian luapan air di kala laut pasang sebab air akan mengalir dengan teratur melalui parit tersebut ke seluruh penjuru.

Saat itu, Sungai Ciliwung pun menjadi salah satu kebanggan kota Jakarta. Seorang tokoh Belanda, Jean-Baptiste Tavernier menuturkan bahwa Sungai Ciliwung memiliki air yang paling bersih dan paling baik di dunia. Tidak heran, jika Sungai Ciliwung menjadi kian populer dan makin dikenal banyak orang hingga penjuru dunia. Sebagai warga Jakarta, kita boleh berbangga jika ternyata dahulu Sungai Ciliwung merupakan tujuan wisata internasional sekaligus jantung perekonomian dunia. Sungai Ciliwung semakin terlihat istimewa sebab sungai tersebut memiliki nilai historis yang tinggi. Ciliwung merupakan sungai purba dan satu-satunya saksi kehidupan manusia yang mendiami kota Jakarta sejak zaman Neozoikum. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan

ditemukannya situs-situs kuno dari berbagai sisa kebudayaan manusia prasejarah, seperti kapak, batu, gurdi, beliung dan sisa-sisa barang gerabah yang telah berusia ribuan tahun di sekitar Sungai Ciliwung. Pemukiman ini di duga berasal dari 2500 SM (Masa Neolothicum). Bukti tertulis pertama yang diketemukan adalah prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh Raja Tarumanegara pada abad ke-5. Prasasti merupakan bukti adanya kegiatan keagamaan pada masa itu. Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. Prasasti Tugu bertuliskan aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh yang teridiri dari lima baris melingkari mengikuti bentuk permukaan batu. Sebagaimana semua prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara umumnya, Prasasti Tugu juga tidak mencantumkan pertanggalan. Kronologinya didasarkan kepada analisis gaya dan bentuk aksara (analisis palaeografis). Berdasarkan analisis tersebut diketahui bahwa prasasti ini berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi. Khusus prasasti Tugu dan prasasti Cidanghiyang memiliki kemiripan aksara, sangat mungkin sang pemahat tulisan (citralaikha > citralekha) kedua prasasti ini adalah orang yang sama. Dibandingkan prasasti-prasasti dari masa Tarumanagara lainnya, Prasasti Tugu merupakan prasasti yang terpanjang yang dikeluarkan Sri Maharaja Purnawarman. Prasasti ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Purnnawarmman pada tahun ke-22 sehubungan dengan peristiwa peresmian (selesai dibangunnya) saluran sungai Gomati dan Candrabhaga.

Prasasti Tugu memiliki keunikan yakni terdapat pahatan hiasan tongkat yag pada ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya. Isi teks prasati tugu adalah : pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau// pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana// prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka// pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina// yang memiliki arti : Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan Pada masa berikutnya sekitar abad ke-12 daerah ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda dengan pelabuhannya yang terkenal pelabuhan Sunda Kelapa. Sejak tahun 1511 orangorang Portugis sudah bercokol didaratan Malaka. Perhatian orang-orang Portugis untuk

berdagangan, mendapat sambutan baik Raja Penjajaran yang menguasai Sunda Kelapa kala itu. Untuk mendapat bantuan dalam menghadapi orang-orang islam yang pada waktu itu pengikutnya sudah banyak di Banten dan di Cirebon. Pada waktu itu secara bersamaan Demak sudah menjadi Pusat kekuasaan islam.

Kemudian di adakan perjanjian kerja sama antara raja penjajaran dengan orang Portugis tahun 1522. Dalam perjanjian itu dinyatakan bahwa orang-orang Portugis di bolehkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Sebuah tugu di bangun di tepi sungai Ciliwung, menandai perjanjian itu. Tetapi perjanjian itu tidak dapat diterima oleh kerajaan islam di Demak. Yang saat itu berada di puncak kejayaannya. Kemudian Sultan Demak mengirimkan bala tentaranya di bawah pimpinan menantunya yang bernama Fatahillah. Pasukan Fatahillah berhasil menduduki Kota Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1527. Ketika armada Portugis datang, pasukan Fatahillah menghancurkannya, sisa-sisa armada Portugis itu melarikan diri ke Malaka. Kemudian kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang artinya Kemanangan Yang Berjaya, menurut perhitungan, hal itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527. Itulah sebabnya hari tersebut ditetapkan sebagai hari jadi Kota Jakarta.

You might also like