You are on page 1of 15

KONFLIK PALESTINA DAN ISRAEL

I. Latar Belakang Masalah


Keberadaan negara Israel yang diproklamirkan oleh David Ben Gourion pada tanggal
14 Mei 1948 tentu tak terlepas dari cita-cita awal pergerakan zionis yang didirikan
Theodore Herzl pada tahun 1896 itu. Konggres pertama gerakan zionis di Basle-Swiss
tahun 1897 merekomendasikan, berdirinya sebuah negara khusus bagi kaum Yahudi yang
tercerai berai di seluruh dunia. Pada konggres kedua tahun 1906, gerakan zionis pimpinan
Herzl itu baru merekomendasikan secara tegas, mendirikan sebuah negara bagi rakyat
Yahudi di tanah Palestina.
Situasi politik di Eropa akibat Perang Dunia I, memberi awal peluang bagi gerakan
zionisme itu untuk menggapai cita-citanya tersebut. Inggris yang terlibat dalam Perang
Dunia I melawan Jerman, ternyata bekerja sama dengan gerakan zionis pimpinan Herzl
dan bangsa-bangsa Arab yang berada di bawah otoritas dinasti Ottoman (Khalifah
Usmaniyah).
Inggris di satu pihak mendorong bagi bangkitnya nasionalisme Arab untuk melawan
kekuasaan dinasti Ottoman yang memihak Jerman saat itu. Di pihak lain, Inggris
memberi janji pula sebuah negara di Palestina pada gerakan zionisme saat itu, hingga
terjadi semacam konspirasi internasional yang membentangkan jalan berdirinya negara
Yahudi di tanah Palestina.
Ada dua peristiwa sejarah penting yang menjadi fondasi bagi berdirinya negara
Yahudi di tanah Palestina. Pertama, Perjanjian Skyes-Picot tahun 1916 antara Inggris dan
Perancis, yang membagi peninggalan dinasti Ottoman di wilayah Arab. Pada perjanjian
tersebut ditegaskan, Perancis mendapat wilayah jajahan Suriah dan Lebanon, sedang
Inggris memperoleh wilayah jajahan Irak dan Jordania. Sementara Palestina dijadikan
status wilayah internasional.
Kedua, Deklarasi Balfour tahun 1917, yang menjanjikan sebuah negara Yahudi di
tanah Palestina pada gerakan zionis. Di bawah payung legitimasi Perjanjian Skyes-Picot
dan Deklarasi Balfour tersebut, warga Yahudi di Eropa mulai melakukan imigrasi ke
tanah Palestina pada tahun 1918.

1
Namun proses imigrasi Yahudi besar-besaran dari Eropa ke tanah Palestina dimulai
pada tahun 1930-an. Impian gerakan Zionis itu baru terwujud ketika Majelis Umum
(MU) PBB mengeluarkan resolusi No. 181 pada 19 November tahun 1947 yang
menegaskan membagi tanah Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab. Resolusi PBB
No. 181 tersebut, mengantarkan David Ben Gourion memproklamirkan negara Yahudi
pada 14 Mei tahun 1948.
Ideologi Zionisme secara singkat dapat didefinisikan sebagai kepercayaan tentang
kembalinya orang-orang dan bangsa Yahudi dari diaspora mereka selama berabad-abad,
sehingga dapat menyelamatkan mereka dari kekuasaan orang-orang non-Yahudi
(gentiles), bahaya asimilasi dengan orang-orang gentiles, ancaman anti Semitisme (baca :
Anti Yahudi) dari masyarakat lain. Karena itu Zionisme bertujuan untuk mewujudkan
sebuah negara bangsa yang sepenuhnya Yahudi dalam etos dan karakter setelah berada di
diaspora selama lebih dari 2000 tahun dan, dengan demikian, mereka mampu bertahan di
muka bumi.
Pencarian sebuah wilayah negara-bangsa Yahudi, yang biasa mereka sebut sebagai
‘promised land’, tanah air yang dijanjikan, karena itu, merupakan program pokok
Zionisme sejak ideologi ini pertama kali dirumuskan mantan wartawan Theodore Herzl
pada 1979. Pencarian dan penetapan “tanah air yang dijanjikan” itu pun melalui proses
yang rumit; mulai dari kawasan tertentu di Amerika Selatan, dan Afrika, sampai akhirnya
kemudian bangsa Yahudi dan gerakan Zionis Internasional menetapkan Palestina sebagai
“promised land”.
Theodore Herzl (1860-1904), pendiri gerakan Zionisme mengatakan pada tahun
1895, “ Kami akan berusaha sekuat tenaga mengusir orang-orang Arab ke negeri tetangga
dan akan menutup pintu masuk dan pekerjaan bagi mereka di negeri kami ini.” Ia lalu
berseru kepada warga Yahudi, “Kamu sekalian tidak akan menemukan kebahagian bila
masih ada penduduk selain Yahudi di tanah Palestina.
Aksi pengusiran massal warga Palestina terjadi lagi seusai tiga perang besar Timur
tengah (1948, 1956, 1967). Pemerintah negara baru Israel, setelah perang 1948, berhasil
mengusir jumlah besar penduduk Palestina ke Mesir, Suriah, Yordania, dan Lebanon.
Tahun 1967, pengusiran warga Palestina lebih bersifat individul dan ditujukan pada
tokoh-tokoh berpengaruh. Hal ini berkaitan dengan berdirinya Organisasi Pembebasan

2
Palestina (PLO) tahun 1969. Pemerintah pendudukan Israel bertindak keras terhadap
tokoh-tokoh Palestina yang diketahui sebagai simpatisan PLO.

II. Konflik Antara Bangsa Arab dan Israel


Perang Arab-Israel pertama pun meletus pada tahun 1948, kemudian disusul Perang
Suez tahun 1956, Perang Arab-Israel tahun 1967 dan tahun 1973 serta perang Lebanon
tahun 1982.
Perang Arab Israel 1948 atau disebut juga sebagai "Perang Kemerdekaan" atau
"Perang Pembebasan" oleh orang Israel, adalah konflik bersenjata pertama dari
serangkaian konflik yang terjadi antara Israel dan tetangga-tetangga Arabnya dalam
konflik Arab-Israel. Bagi orang-orang Palestina, perang ini menandai awal dari rangkaian
kejadian yang disebut sebagai "Bencana" (Bahasa Inggris: "The Catastrophe").
Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan untuk membagi daerah
mandat PBB Britania Raya, Palestina. Tetapi hal ini ditentang keras oleh negara-negara
Timur Tengah lainnya dan juga banyak negeri-negeri Muslim. Kaum Yahudi mendapat
55% dari seluruh wilayah tanah meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk
di daerah ini. Sedangkan kota Yerusalem yang dianggap suci, tidak hanya oleh orang
Yahudi tetapi juga orang Muslim dan Kristen, akan dijadikan kota internasional.1
Kelahiran Israel pada 14 Mei 1948 telah menginisiasi konflik berkepanjangan antara
Arab dengan Israel. Konflik bersenjata pertama antara Arab dengan Israel terjadi
beberapa hari sesudah diproklamasikannya kemerdekaan Israel. Pada saat itu, Israel
belum memiliki angkatan bersenjata yang resmi, dan hanya mengandalkan organisasi
paramiliter seperti Haganah, Irgun, Palmach yang berjuang tanpa komando. Sementara
bangsa Arab di Palestina juga mengandalkan organisasi paramiliter Futuwa dan Najjada.
Namun setelah itu, bangsa Arab didukung oleh negara-negara Arab disekitar Israel seperti
Irak, Yordania dan Mesir untuk mendukung perlawanan Arab terhadap Israel. Di tengah-
tengah peperangan, organisasi paramiliter Israel dilebur menjadi sebuah angkatan
bersenjata yang disebut dengan Israeli Defense Forces, sehingga mereka memiliki
kekuatan militer yang lebih terkomando dan rapi. Peperangan 1948 atau yang dikenal

1
Artikel diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Arab-Israel_1948, pada tanggal 22 September
2008

3
dengan nama Al Nakba dimenangkan oleh Israel, setelah selama lebih dari satu tahun
bertempur.
Perang Enam Hari juga dikenali sebagai Perang Arab-Israel 1967, merupakan
peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania,
dan Suriah, dan ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi,
Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari
enam hari), hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.
Pada bulan Mei tahun 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force
(UNEF) dari Semenanjung Sinai; ketika itu UNEF telah berpatroli disana sejak tahun
1957 (yang disebabkan oleh invasi atas Semenanjung Sinai oleh Israel tahun 1956).
Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade
Selat Tiran (pintu masuk menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil
negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967,
Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan
terjadinya invasi oleh Mesir. Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya.
Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi
Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari perang ini mempengaruhi geopolitik
kawasan Timur Tengah sampai hari ini.2
Pada tanggal 6 Oktober 1973, pada hari Yom Kippur, hari raya Yahudi yang paling
besar, ketika orang-orang Israel sedang khusyuk merayakannya, yang juga bertepatan
dengan bulan Ramadhan bagi ummat Islam sehingga dinamakan "Perang Ramadhan
1973", Suriah dan Mesir menyerbu Israel secara tiba-tiba. Jumlah tentara invasi sungguh
besar. Di dataran tinggi Golan, garis pertahanan Israel yang hanya berjumlah 180 tank
harus berhadapan dengan 1400 tank Suriah. Sedangkan di terusan Suez, kurang dari 500
prajurit Israel berhadapan dengan 80.000 prajurit Mesir.3
Mesir mengambil pelajaran pada Perang Enam Hari pada tahun 1967 tentang
lemahnya pertahanan udara sehingga saat itu 3/4 kekuatan udara mesir hancur total
sementara Suriah masih dapat memberikan perlawanan. Sadar bahwa armada pesawat
tempur Mesir masih banyak menggunakan teknologi lama dibandingkan Israel, Mesir
akhirnya menerapkan strategi payung udara dengan menggunakan rudal dan meriam anti
2
Artikel diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Enam_Hari pada tanggal 22 September 2008.
3
Artikel diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Yom_Kippur pada tanggal 23 September 2008.

4
serangan udara bergerak yang jarak tembaknya dipadukan. Walhasil strategi ini ampuh
karena angkatan udara Israel akhirnya kewalahan bahkan banyak yang menjadi korban
karena berusaha menembus "jaring-jaring" pertahanan udara itu.
Pada permulaan perang, Israel terpaksa menarik mundur pasukannya. Tetapi setelah
memobilisasi tentara cadangan, mereka bisa memukul tentara invasi sampai jauh di Mesir
dan Suriah. Israel berhasil "menjinakkan" payung udara Mesir yang ternyata lambat
dalam mengiringi gerak maju pasukkannya, dengan langsung mengisi celah (gap) antara
payung udara dengan pasukan yang sudah berada lebih jauh di depan. Akibatnya
beberapa divisi Mesir terjebak bahkan kehabisan perbekalan. Sementara di front timur,
Israel berhasil menahan serangan lapis baja Syria.
Melihat situasi berbahaya bagi Mesir, Uni Soviet tidak tinggal diam, melihat tindakan
Uni Soviet, Amerika Serikat segera mempersiapkan kekuatannya. Dunia kembali
diancam perang besar pasca perang Dunia II. Kemudian, Raja Faisal bin Abdul Aziz dari
Arab Saudi mengumumkan pembatasan peroduksi minyak. Krisis energi muncul dan
negara negara Industri kewalahan lantaran harga minyak dunia membumbung tinggi. Dua
minggu setelah perang dimulai, Dewan Keamanan PBB mengadakan rapat dan
mengeluarkan resolusi 339 serta gencatan senjata dan dengan ini mencegah kekalahan
total Mesir.
Demikian ringkasan konflik yang terjadi antara Israel dan bangsa Arab yang saya
temukan di berbagai artikel di Internet ;
Perang kemerdekaan Israel / “al-Nakba” (1948-1949)—Diatas kemerdekaan,
Israel di invasi oleh enam tentara bangsa Arab: Mesir, Syria, Transjordan (kini Jordania),
Lebanon, Irak, dan Saudi Arabia. Sebagi tambahan, tentara lokal Palestina juga melawan
Yahudi Israel.
Serangan Qibya (Oktober, 1951)— Pasukan Israel, dipimpin oleh Mayor Ariel
Sharon (Perdana Menteri Israel 2001-2006) menghancurkan lusinan bangunan di West
Bank (Jordania) kota Qibya. Korban meninggal orang sipil mencapal 69 orang.
Perampasan Mesir Terhadap kapal Israel Bat Galim (Musim panas, 1954)—
Mesir merampas kapal Israel Bat Galim sebagai percobaan memasuki Kanal Suez.
Menurut berbagai macam perjanjian internasional, Kanal Suez dimaksudkan untuk dapat

5
dimasuki kapal laut dari semua bangsa. Provokasi ini memperparah hubungan antara
Mesir dan Israel.
Serangan Gaza (Feb. 28, 1955)—Pasukan Israel memimpin suatu serangan, suatu
respon untuk mengulangi penyerangan gerilya dan merampas sebuah kapal Israel oleh
Mesir, hasilnya kematian untuk 51 prajurit Mesir dan 8 pasukan Israel. Serangan ini
merupakan yang terbesar dari jenis perlawanan melawan pasukan Arab sejak akhir
peperangan dari Awal Perang Arab – Israel pada 1949.
Perang Sinai (1956) [Juga dikenal sebagai Perang Suez]–Invasi dan penaklukan
sementara semenanjung Sinai Mesir oleh Israel, sementara Perancis dan Inggris Raya
merampas Kanal Suez.
Konflik Palestina-Israel (1960-sekarang)—Israel menghadapi gerilya dan
peperangan teroris dari beberapa pasukan Palestina, paling banyak yang bersatu di bawah
PLO, dipimpin oleh Yassir Arafat. Perkelahian terkini melibatkan Israel melawan grup-
grup militan religius seperti Hamas and Jihad Islam, dan juga Otoritas Arafat Palestina.
(Ini meliputi peperangan gerilya Palestina melawan Israel dari 1960-an, Intifada asli
(1988-1992) dan yang terkini Intifada “Al-Aqsa” (2000-sekarang), dan West Bank (2004)
dan Invasi Gaza (2006) oleh Israel dan serangan bunuh diri orang Palestina dan roket-
roket yang dengan cepat menginvasi.
Serangan Al-Fatah Pertama (PLO) (Dec. 31, 1964)—Yassir Arafat’s faksi Al-Fatah
dari PLO memimpin serangan pertamanya kedalam Israel dari Lebanon.
Pertempuran Perbatasan Israel-Syria dan Pertempuran Udara (Nov. 13, 1964)—
Israel dan Syria keduanya mengklaim kedaulatan melalui beberapa zona Demiliterisasi
sepanjang perbatasan mereka. Zona ini diatur sebagai bagian dari isyarat untuk
menghentikan tembakan mengakhiri Awal Perang Arab-Israel. Israel mencoba menanam
lahan dalam Zona ini, sementara Syria mengembangkan suatu proyek untuk mengalihkan
air dari sungai Jordan, yang mana Israel membagi dengan Syria dan Jordan. Pasukan
Syria seringkali menembak traktor Israel karena mencoba menanam di Zona tersebut,
sementara itu Israel mencari cara untuk menginterupsi proyek pengalihan Syria. Pada 13
November 1964, pangkalan pasukan Syria diatas puncak Golan, sebuah dataran tinggi
memandang dari atas kawasan Israel dalam bukit Sungai Jordan, menembak traktor
Israel. Artileri Syria lalu menargetkan penduduk desa Israel. Israel merespon dengan

6
serangan udara pada tentara Syria. Peperangan ini berakhir dengan kematian 4 orang
Israel dan 9 orang cedera. Syria banyak kehilangan termasuk dua tank dan mesin-mesin
melibatkan proyek pengalihan.
Serangan West Bank (Mei 1965)—Setelah serangan gerilya Palestina menghasilkan
kematian 6 orang Israel, militer Israel memimpin penyerangan di West Bank kota
Qalqilya, Shuna dan Jenin.
1966—Israel melaporkan 93 insiden sepanjang perbatasan.
Serangan West Bank (30 April 1966)—Pasukan Israel menghancurkan diatas dua
lusin rumah di West Bank kota Rafat, membunuh 11 orang sipil. Penyerangan ini
merupakan respon dari serangan Palestina terhadap Israel.
Serangan West Bank (1966)—Pasukan Israel menyerang wilayah Hebron dari West
Bank. Serangan ini menghasilkan kematian 8 orang sipil dan pemadam kebakaran dengan
tentara Jordan.
Pertempuran perbatasan Israel-Syria (Musim panas, 1966)—Lanjutan artileri dan
duel-duel tank sepanjang Puncak Golan didepan dipimpin oleh :
Petempuran Udara Israel-Syria (7 Juli 1966)—Merespon pada kelanjutan
pertempuran sepanjang perbatasan, pesawat Israel menyerang pasukan Syria,
menghasilkan hilangnya salah satu pesawat pejuang Syrian MiG.
Petempuran Udara/ Laut Israel-Syria (15 Agustus 1966)—Setelah sebuah kapal
pengawas kandas di pantai timur Laut Galilee (menurut perjanjian isyarat untuk
menghentikan tembakan pada 1949, pasukan Israel tidak bermaksud untuk mendekati
250 meters dari sebelah timur pantai, yaitu Zona Demilitarized), pesawat Syria
menyerangnya. Israel meresponnya,menembak jatuh dua peswat MiG.
Serangan Samu (West Bank) (November 13, 1966)—Lanjutan sebuah ledakan
tambang yang membunuh tiga polisi Israel dan satu cedera, Israel memutuskan untuk
meluncurkan serangan balas (disebut Operasi Shredder) kedalam West Bank, untuk
mengambil sikap pada basis gerilya Palestina (al-Fatah) didekat Hebron. Didesain untuk
menunjukan kekuatan militer Israel, serangan pasukan terdiri dari 10 tank, empat puluh
setengah track (suatu pasukan kendaraan pasukan) dan sekitar 400 prajurit. Pasukan
menikmati liputan udara dari perang pesawat Israel. Pasukan ini menghancurkan kantor
polisi di kota Rujm al-Madfa’ dan lalu pindah ke kota Samu’. Sebagaimana pasukan

7
Israel memusnahkan rumah-rumah di Samu, suatu pasukan kecil Jordania mendekati dan
penyergapan oleh Israel. Pertempuran ini menghasilkan kematian 15 orang Jordania dan
54 cedera. Pemimpin penyergapan Israel terbunuh dan 10 orang bawahannya cedera.
Pesawat Israeli mengejar Angkatan Udara Jordania, menembak jatuh sebuah pesawat
pejuang Jordania. Penyerangan ini juga menghasilkan 3 orang sipil Arab meninggal dan
96 cedera.
Selain sejumlah besar kerugian (pada kedua belah pihak) dari apa yang dimaksud
menjadi suatu secara relatif cepat dan mudah diserang, Israel menderita penundaan
diplomatik. Amerika Serikat (AS) cukup marah atas serangan besar ini pada salah satu
dari beberapa teman Washington (Raja Jordan Hussein) dan kurangnya respon dari Syria,
yang merupakan sponsor sejati dari serangan yang paling banyak di Israel. Kekacauan
dilanggar di Jordania pada seolah-olah respon tidak berhasil pada militer Jordania dan
jelas ketidak mampuan untuk melindungi sipil Palestina di West Bank. Serangan Samu
menggelorakan opini masyarakat Arab di Timur Tengah dan berubah menjadi salah satu
faktor yang memperkenalkan Perang Enam Hari pada 1967.
Perang Enam Hari (1967)—Dalam suatu serangan cepat pra-kekosongan, Israel
menembakan kekuatan militer pada Mesir, Jordania dan Syria serta merampas sejumlah
besar tanah dari tiap-tiapnya. Irak juga berpartisipasi dalam pertarungan pihak Arab.
Perang Erosi (1968-1970)—Perang Erosi (Attrition War) adalah perang perbatasan
yang terbatas antara Mesir dan Israel dalam konsekuensi dari Perang Enam Hari. Perang
tersebut merupakan prakarsa dari Mesir sebagai suatu cara untuk mengambil kembali
Semenanjung Sinai setelah direbut oleh Israel pada 1967. Suatu isyarat untuk
menghentikan tembakan pada 1970 yang diakhiri dengan perlawanan, tetapi
meninggalkan perbatasan tanpa perubahan.
Perang Yom Kippur (Ramadan) (1973)—Dalam suatu serangan kejutan yang di
luncurkan pada hari raya Yahudi Yom Kippur (pada masa itu juga jatuh pada hari raya
Muslim Ramadhan), Mesir dan Syria menyerang Israel. Meskipun mendapat bantuan dari
Irak, pasukan Arab gagal untuk mengalahkan Israel.
Invasi Israeli atas Lebanon (1978)–Operasi Litani adalah nama resmi dari Invasi
Israel atas Lebanon hingga ke sungai Litani pada 1978. Invasi yang dilakukan oleh
militer ini sukses, demikian juga halnya dengan militer Israel yang menyingkirkan PLO

8
dari Lebanon Selatan, dimana mereka hendak membuat suatu de facto negara dalam
negara. Sebuah tentangan keras internasional atas kekuatan invasi memundurkan
sebagian pasukan Israel dan pembentukan daerah dia antara dua wilayah yang saling
bermusuhan (buffer zone) patroli Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) antara pihak gerilya
Arab dan Militer Israel.
Serangan Osirak (1981)–Sebuah serangan udara Israel pada reaktor nuklir Irak,
Osirak.
Invasi Israeli atas Lebanon (1982-1984)–Dalam merespon kepada serangan ulang
gerilya oleh PLO, yang diluncurkan dari Selatan Lebanon, Israel menginvasi dengan
maksud menghancurkan pasukan Arafat. Syria, yang mengelola sebuah pasukan besar
tentara di Lebanon, bertempur dengan Israel dan mengalami kekalahan yang memalukan.
Pendudukan Israel di Selatan Lebanon (1984-2000)—Sebagaimana mereka
menarik diri hampir sebagian rampasan atas invasi Lebanon pada 1982, Israel
mengadakan pendudukan tersebut sebagian besar dibantu dengan bantuan ”Southern
Lebanon Army/ SLA” (Tentara Selatan Lebanon), suatu milisi disusun dan didukung oleh
Israel. Pendudukan ini ditentang oleh PLO dan grup-grup Palestina lainnya sebagai suatu
perpanjangan konflik yang berjalan panjang dengan Israel. Juga, milisi lainnya
(kebanyakan kelompok Muslim Lebanon), seperti Hizbullah (didukung oleh Iran and
Syria), melangkah maju dalam serangan wilayah pendudukan Israel pada penempatan
dan target militer di Utara Israel. Pada tahun, Israel menarik diri dari Lebanon dan SLA
dibubarkan.
Intifada Pertama (1987-1993)– Dalam konflik Israel-Palestina, Intifadah mencakup
seluruh gerakan perlawanan untuk merebut kemerdekaan Palestina mulai dari aksi lempar
batu anak-anak Palestina, peluncuran rudal dari organisasi rakyat Palestina, hingga aksi
bom syahid yang dilakukan para pemuda Palestina dalam melawan tentara Israel dan
kaum Yahudi.
Intifadah Palestina pertama dimulai pada 1987 dan berakhir pada 1993 dengan
ditandatanganinya Persetujuan Oslo dan pembentukan Otoritas Nasional Palestina.
Perang Teluk Persia Kedua (1991)—Sementara Israel mengambil tindakan yang
tidak ofensif pada perang ini, Irak meluncurkan misil Scud yang membuat kagum Israel
dan hampir mengakibatkan Israel mengintervensi dalam Perang Teluk ini.

9
Intifada “Al-Aqsa”— Intifadah Al-Aqsa (juga disebut Intifadah Palestina kedua)
adalah konflik berdarah Israel-Palestina yang dimulai pada 29 September 2000 ketika
Perdana Menteri Israel Ariel Sharon dan rombongan sekitar 1.000 pihak bersenjata
memasuki lingkungan Mesjid Al-Aqsa. Intifadah ini berakhir pada 8 Februari 2005
setelah kedua pihak setuju berdamai.
Serangan Israel Udara Atas Syria (Oktober, 2003)—Pesawat udara Israel
menembak Desa Syria Ain al-Saheb, dekat Damaskus.
Perang Israel Hizbullah (Juga dikenal sebagai “Perang Lebanon Kedua”) (2006)
— adalah serangkaian tindakan militer dan bentrokan terus-menerus di Israel utara dan
Lebanon yang melibatkan sayap bersenjata Hizbullah dan Angkatan Pertahanan Israel
(Israeli Defence Force atau IDF).
Konflik ini berawal pada tanggal 12 Juli 2006, ketika Hizbullah menyerang kota
Shlomi di Israel utara dengan rudal Katyusha, kemudian pasukan Hizbullah menyusup ke
wilayah Israel. Dalam serangan tersebut, tiga pasukan Israel dibunuh, dua luka-luka, dan
dua diculik. Peristiwa ini kemudian berlanjut dengan serangan Hizbullah ke wilayah
Israel yang menghasilkan delapan orang tentara Israel tewas dan melukai lebih dari 20
orang. Israel kemudian membalas dengan Operasi Just Reward ("Balasan yang Adil"),
yang lalu namanya diubah menjadi Operasi Change of Direction ("Perubahan Arah").
Serangan balasan ini meliputi tembakan roket yang ditujukan ke arah Libanon dan
pengeboman oleh Angkatan Udara Israel (IAF), blokade Udara dan Laut serta beberapa
serangan kecil ke dalam wilayah Lebanon selatan oleh tentara darat IDF.
Serangan Udara Israel atas Syria (Sept. 6, 2007)—Pesawat perang udara Israel
terbang melewati Utara Syria, mengantar perbekalan perang (terang-terangan) pada
sasaran yang tidak dikenal. Menurut pada dua surat kabar the New York Times dan ABC
News, sasarannya merupakan fasilitas nuklir yang sedang dibuat dengan bantuan dan
pertolongan Korea Utara.

III. Proses Penyelesaian Konflik Kedua Bangsa


Berakhirnya perang Al Nakba ini ditandai dengan dibuatnya perjanjian perdamaian
antara Israel dengan negara-negara Arab disekitarnya pada bulan Juli 1949. Dan pada
tahun itu pula, eksistensi Israel sebagai negara ditegaskan dengan diterimanya Israel

10
sebagai anggota PBB. Perang 1948 telah memunculkan persoalan pengungsi Palestina
yang terusir dari kediamannya di Palestina. Sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa
menjadi pengungsi dan mencari perlindungan di negara-negara Arab.
Perang Arab-Israel “Six Days War” tahun 1967 itu, telah mengantarakan lahirnya
resolusi DK PBB No. 242 yang berhasil diturunkan pada tanggal 22 November 1967
melalui pemungutan suara untuk mencari penyelesaian jalan tengah konflik Arab-Israel.
Inti dari isi resolusi DK PBB No. 242 tersebut, adalah tidak dibenarkan menduduki
daerah melalui peperangan serta meminta Israel menarik pasukannya dari tanah-tanah
yang diduduki.
Resolusi 242 PBB juga menekankan terjaminnya kebebasan lalu lintas di perairan
internasional kawasan Timur Tengah, penyelesaian yang adil terhadap pengungsi serta
DK memberi kuasa pada Sekjen PBB guna menunjuk utusan khusus ke Timur Tengah.
Pemerintah Israel saat itu menyambut baik atas turunnya resolusi 242 PBB, meskipun
resolusi itu merugikan Israel secara politis namun melindungi kepentingan dasar dari
Israel. Resolusi itu secara eksplisit memang tidak memberio legitimasi keberadaan
pasukannya di tanah Arab. Dan tidak menuntut pihak Arab mengadakan perundingan
langsung dengan Israel atau hubungan diplomasi atau kerja sama ekonomi. Namun
Resolusi itu memberi keuntungan karena menuntut pihak Arab mengakhiri perang dan
mengakui eksistensi Israel. Serta memberikan kebebasan lalu lintas di perairan
internasional di kawasan Timur Tengah.
Sementara di pihak Arab sendiri tidak memberikan tanggapan yang seragam atas
resolusi itu. Palestina memprotes turunnya resolusi karena tidak menyinggung
kepentingan dasarnya, bahkan rakyat Palestina Cuma dilihat sebagai pengungsi. Suriah
menolak sama sekali. Yordania tidak mengambil sikap tegas. Sedangakan Mesir
menyatakan menerima resolusi. Menurut Menlu Mesir saat itu, Mahmoud Riyad,
beragamnya sikap Arab karena sudah menduga bahwa yang dapat memberi penafsiran
kelak terhadap resolusi itu adalah pihak yang lebih kuat secara militer.
Akan tetapi kini baik Israel maupun negara-negara Arab, sama-sama menerima
resolusi DK PBB No. 242 sebagai rujukan proses perdamaian yang secara resmi dimulai
sejak konferensi damai di Madrid tahun 1991.

11
Kekalahan negara-negara Arab dalam Six-Days War tidak membuat konflik antara
Arab dengan Israel berakhir. Pada tahun 1973, tepat sebelum peringatan hari Yom Kippur
oleh Yahudi, kembali terjadi konflik bersenjata antara Arab dengan Israel. Yom Kippur
War menjadi puncak konflik bersenjata antara Arab dan Israel. Dalam perang ini, Bangsa
Arab berhasil membalas kekalahannya dari Israel. Serbuan negara-negara Arab berhasil
melumpuhkan Israel, meski Israel tidak dikalahkan secara telak. Perang ini berhasil
memaksa Israel untuk mengembalikan Semenanjung Sinai dan Gaza kepada Mesir
melalui sebuah perjanjian perdamaian pada tahun 1979. Sampai pada titik ini, belum ada
entitas Palestina yang menjadi representasi perlawanan bangsa Arab yang berada di
Palestina. Palestine Liberation Organization (PLO) memang telah dibentuk pada tahun
1964 oleh Liga Arab, tetapi statusnya sebagai representasi masyarakat Palestina baru
ditegaskan pada tahun 1974.
Proses perdamaian di Timur Tengah ketika dicapainya Kesepakatan Oslo tahun 1993
dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Kesepakatan Oslo itu merupakan
kesepakatan damai terpenting di Timur Tengah setelah perjanjian damai Israel-Mesir di
Camp David tahun 1979.
Namun Kesepakatan Oslo tersebut sekaligus menguak adanya segmen-segmen
masyarakat Yahudi yang belum siap menerima proses perdamaian Timur Tengah. PM
Israel Yitzhak Rabin yang menggagas kesepakatan Oslo itu, akhirnya tewa di tangan
ekstremis Yahudi Yigal Amir pada November tahun1995.
Peristiwa tersebut disusul oleh kekalahan Partai Buruh yang moderat dari partai
Likud yang radikal pada pemilu Israel bulan Mei tahun 1996. Kemenangan partai Likud
pimpinan PM Benjamin Netanyahu saat itu menyebabkan tersendatnya pelaksanaan
kesepaktan Oslo yang merupakan hasil kesepakatan antara PLO dengan Partai Buruh
Israel.
Kesepakatan Hebron bulan Januari 1997, adalah bukti alotnya perundingan Israel-
Palestina pada era PM Benjamin Netanyahu. Kesepakatan Hebron bahkan hampir gagal,
seandainya tidak ada campur tangan langsung utusan khusus Amerika Serikat saat itu,
Dennis Ross.

12
Palestina pun akhirnya harus menerima kota Hebron dibagi menjadi dua bagian,
yakni 10 persen tetap dikuasai Israel dengan kedok menjaga keamanan pemukim Yahudi
di tengah kota tesebut, dan 80 persen di bawah kontrol Palestina.
Pemilu Israel bulan Mei 1999 yang dimenangkan pimpinan Partai Buruh Ehud Barak,
semula memberi harapan lagi atas masa depan perdamaian. PM Israel Ehud Barak dan
Pemimpin Palestina Yasser Arafat menandatangani Kesepakatan Sharm el-Sheikh di
Mesir pada bulan September 1999. PM barak lebih memilih kesepakatan final langsung
daripada kesepakatan bertahap.
Faktor itulah yang mendorong pemerintah AS Bill Clinton dengan persetujuan PM
Ehud Barak menggelar Perundingan Camp Dvid II pada bulan Juli 2000 yang akhirnya
mengalami kegagalan. Perundingan Camp David itu telah membawa krisis politik di
Israel, lantaran sebagian besar partai politik yang tergabung dalam pemerintahan koalisi
pimpinan PM Barak, menentang konsesi terlalu besar yang diberikan Ehud Barak pada
Palestina dalam perundingan tersebut.
Kegagalan perundingan Camp David tersebut, merupakan awal menuju kejatuhan
pemerintah PM Ehud Barak. Pasca-perundingan Camp David itu, Israel dililit krisis
politik luar biasa yang memaksa PM Barak mengundurkan diri dan menggelar pemilu
lebih cepat. Bersamaan dengan itu, Palestina menggerakkan Intifadah Al Aqsa sebagai
reaksi kekecewaan mereka atas gagalnya perundingan Camp David itu.
Kegagalan perundingan Camp David tersebut, juga menjadi bukti bahwa rakyat Israel
belum siap menciptakan perdamaian yang adil di Timur Tengah. Mereka masih menolak
resolusi PBB No. 194 tentang hak kembali bagi pengungsi Palestina dan mengakui
kedaulatan Palestina atas Masjid Al Aqsa. Isu resolusi PBB no. 194 dan kedaulatan
Masjid Al Aqsa tersebut, merupakan penyebab utama gagalnya perundingan Camp
David.
Situasi keamanan yang memburuk di Israel akibat meletusnya Intifadah Al Aqsa serta
krisis politik dalam negeri pasca-perundingan Camp David tersebut, merupakan faktor
yang mengantarkan Pemimpin Partai Likud Ariel Sharon memenangkan cukup telak atas
Ehud Barak pada pemilu Israel bulan Februari 2001.

13
Kebijakan garis keras yang dianut PM Ariel Sharon sejak menjabat secara resmi
perdana menteri Israel pada bulan Maret 2001, membuat proses perdamaian belum juga
bergerak pada era PM Ariel Sharon.
Pada tahun 2007, di masa-masa akhir pemerintahan George W. Bush, Quartet on
Middle East ditambah dengan partisipasi dari Mesir, mengadakan konferensi untuk
kembali membicarakan perdamaian antara Palestina dan Israel di Annapolis. Untuk
pertama kalinya dalam kronik sejarah proses perdamaian Palestina dan Israel, solusi dua
negara disebutkan secara eksplisit dalam proses konferensi. Dengan diterimanya solusi
dua negara dalam Annapolis Conference, maka telah terjadi perubahan dalam platform
politik yang telah lama dianut oleh Palestina dan Israel. Meski demikian, hasil dari
Annapolis Conference masih belum bisa diimplementasikan karena semakin rumitnya
konflik yang terjadi di wilayah Palestina-Israel.4

DAFTAR PUSTAKA
4
Artikel diakses pada http://pirhot-nababan.blogspot.com/2008/04/sejarah-konflik-palestina-israel.html
pada tanggal 24 September 2008.

14
Referensi Literatur :
Abd. Rahman, Musthafa dan Pengantar : Arzyumardi Azra. Dilema Israel Antara Krisis
Politik dan Perdamaian. Penerbit Buku Kompas, Jakarta : Juli 2002.

Referensi Internet :
• http://id.wikipedia.org/
• http://pirhot-nababan.blogspot.com/

15

You might also like