You are on page 1of 49

DEPARTEMEN KEHUTANAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN


BALAI TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

BANJIR, PENYEBAB &


SOLUSINYA

Oleh :
Tim Peneliti BTP DAS Surakarta

dibahas oleh :

1. Prof. Drs. Indro Wuryatno, M.Si.


Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan - UNS.
2. Prof. DR. Sutikno
Kepala Pusat Studi Bencana Alam - UGM.
3. Prof. DR. Sunyoto Usman, MA.
Sosiolog - Dekan Fisipol - UGM.

DIPRESENTASIKAN DALAM RANGKA


HARI BAKTI DEPARTEMEN KEHUTANAN KE -19
di BTP DAS Surakarta, 20 Maret 2002
TIM PENELITI

Ir. C. Nugroho Sulistyo Priyono, MSc.


Ir. Syahrul Donie
Drs. Irfan Budi Pramono, MSc.
Evi Irawan, SP
Ir. Sukresno, MSc.
Ir. Tyas Mutiara Basuki, MSc.
Ir. Purwanto
Ir. Triwilaida, MSc.
Ir. Beny Harjadi, MSc.
Drs. Agus Wuryanta, MSc.
Ir. Wardoyo
Ir. Dewi Retna

PEMBAHAS

Prof. DR. Indro Wuryatno, MSi.


Ketua Program Pasca Sarjana
Ilmu Lingkungan – UNS

Prof. DR. Sutikno


Kepala Pusat Studi Bencana Alam – UGM

Prof. DR. Sunyoto Usman, MA


Sosiolog – Dekan Fisipol - UGM
RINGKASAN EKSEKUTIF

Banjir yang terjadi pada awal tahun 2002 hampir merata terjadi di daerah pantai
utara pulau Jawa. Didasari oleh keinginan untuk memberikan sumbangsih solusi banjir,
maka BTP DAS Surakarta melakukan investigasi di tiga lokasi sampel yaitu DAS
Ciliwung (Bogor - Jakarta), DAS Lampir (Batang – Jawa Tengah) dan DAS Sampean
(Bondowoso – Jawa Timur). Berdasarkan investigasi yang dilengkapi dengan hasil-hasil
kajian yang berkaitan dengan banjir maka disusunlah suatu paper tentang Banjir,
Penyebab dan Solusinya.
Berdasarkan fakta di lokasi sampel dan hasil kajian maka dapat diidentifikasi
beberapa penyebab banjir secara biofisik mencakup :
1. Curah hujan tinggi
2. Karakteristik DAS yang responsive terhadap banjir
3. Penyempitan saluran drainase
4. Perubahan penutupan lahan
Sedangkan secara sosial ekonomi dan budaya, banjir disebabkan :
1. Tidak tegasnya penegakan hukum
2. Perilaku masyarakat yang kurang sadar akan lingkungan
3. Timpangnya pembangunan
Curah hujan saat terjadinya banjir merata di semua tempat dan dengan intensitas
yang tinggi. Curah hujan harian berkisar dari 100 sampai 200 mm. Dengan curah hujan
yang begitu tinggi, vegetasi penutup yang ada tidak lagi bisa mengendalikan aliran
permukaan. Kondisi ini didukung oleh karakteristik DAS yang sangat terjal di daerah
hulu dan tiba-tiba menjadi datar di daerah hilir. DAS menjadi sangat responsive dalam
mengalirkan aliran permukaan. Di daerah hilir dengan perkembangannya yang sangat
pesat menyebabkan saluran drainase yang ada sudah tidak dapat lagi menampung aliran
permukaan yang dihasilkan di daerah hulu maupun daerah hilir sendiri. Akibatnya aliran
meluap menggenangi daerah di sekitarnya. Dengan semakin pesatnya pertumbuhan
penduduk maka perubahan penggunaan lahan hampir tidak dapat dihindari. Perubahan
penggunaan lahan tersebut dapat berupa perubahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan
pemukiman ataupun dari tanaman keras menjadi tanaman semusim. Jika kondisinya tidak
berubah maka banjir akan terus terjadi dan makin besar, baik intensitasnya maupun luas
genangannya. Dari empat faktor fisik yang menyebabkan banjir, dua yang pertama sangat
sulit dirubah, sedangkan kesempatan merubah tinggal dua yang terakhir yaitu perbaikan
saluran drainase dan penanganan perubahan penggunaan lahan. Dari faktor sosial,
ekonomi dan budaya sebetulnya dapat dirubah semuanya tetapi membutuhkan kemauan
yang kuat dari semua elemen masyarakat dan durasi yang relatif lama.
Untuk penanganan bajir direkomendasikan menggunakan dua tahapan yaitu
jangka pendek dan jangka panjang

i
A. Jangka Pendek

1. Peningkatan kapasitas saluran drainase, dengan cara :


- Melarang bangunan di bantaran sungai
- Melebarkan dan memperlancar saluran drainase
2. Pembuatan dam penahan atau embung di daerah hulu yang disesuaikan dengan
kondisi geologisnya.
3. Mempertahankan situ-situ yang ada dan membangun kembali situ yang berubah
fungsi bila memungkinkan.
4. Pembuatan sumur resapan pada daerah-daerah hulu yang berstruktur geologi
bukan kapur.
5. Melakukan rehabilitasi daerah tangkapan air dengan lebih meningkatkan
aktivitas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).
6. Meningkatkan upaya penegakan hukum dan peraturan yang berkaitan dengan
lingkungan khususnya banjir.
Misal :
- Pelarangan bangunan di bantaran sungai
- Peraturan pembuangan sampah di sungai
- Kewajiban membuat resapan di perumahan
- Penerapan tata ruang yang ditetapkan secara lebih ketat
- Pembatasan secara ketat perubahan penggunaan lahan

B. Jangka Panjang

1. Penataan sistem kelembagaan pengelolaan DAS sehingga dapat diciptakan


kontrol sosial tentang perencanaan dan implementasi yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS.
2. Pengembangan hutan rakyat di DAS bagian hulu untuk meningkatkan fungsi
hutan dalam hal pengendalian banjir.
3. Mengupayakan pemerataan pembangunan untuk mengurangi konsentrasi
penduduk di perkotaan.
4. Menyusun strategi penyuluhan lingkungan bagi masyarakat terdidik.

Beberapa catatan tentang upaya penanganan banjir yang perlu diperhatikan :


a. Banjir harus diakui terlebih dahulu sebagai fenomena yang dapat terjadi dan bukan
hanya gejala alam. Untuk itu banjir tidak perlu ditakuti tetapi harus disikapi dan
diupayakan penanganannya.
b. Diperlukan pengembangan kesadaran pada seluruh pihak terkait (institusi birokrasi,
institusi politik dan sektor swasta) untuk memberikan perhatian khusus terhadap
fenomena banjir dan mengupayakan penanganannya sesuai bidangnya.

ii
KATA PENGANTAR

Bencana banjir terutama di Pulau Jawa yang terjadi pada awal tahun 2002
mengingatkan kita bersama akan kepedulian terhadap turunnya kualitas lingkungan
dalam DAS. Menanggapi hal tersebut maka BTP DAS Surakarta yang mempunyai
Tupoksi berkaitan dengan pengelolaan DAS merasa sangat perlu untuk memberikan
kontribusi bagi solusi persoalan banjir. Untuk itulah maka disusun paper yang berjudul
Banjir, Penyebab dan Solusinya.
Paper ini disusun berdasarkan ekstraksi hasil kajian yang pernah dilakukan BTP
DAS Surakarta dan dilengkapi dengan hasil investigasi Tim Peneliti BTP DAS Surakarta
pada tiga lokasi sampel yaitu DAS Ciliwung (Jakarta dan Bogor), DAS Lampir (Batang –
Jawa Tengah) dan DAS Sampean (Bondowoso – Jawa Timur). Ringkasan paper ini kami
susun untuk dapat dijadikan Policy paper tentang masalah tersebut.
Kami sadar bahwa pokok bahasan yang ada pada paper ini belum dapat mencakup
seluruh perspektif yang ada. Oleh karena itu kami meminta kepada tiga pakar untuk
memberikan bahasannya dari perspektif yang berbeda yaitu dari Aspek Lingkungan,
Aspek Bencana Alam dan Aspek Sosiologi. Presentasi paper ini telah dilakukan dalam
format Diskusi Panel dan dihadiri instansi terkait dengan kehutanan, LSM Lingkungan
dan para pemerhati lingkungan. Agar informasi ini dapat efektif sampai ke masyarakat
luas maka kegiatan ini juga diliput pers dan hasil liputannya telah dimuat pada Harian
Kompas, Jawa Pos, Solo Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat serta RRI Surakarta.
Pemaparan paper ini juga dikaitkan dengan peringatan Hari Bakti Departemen Kehutanan
yang ke 19.
Semoga paper ini dapat bermanfaat untuk mengatasi masalah banjir dan sesuai
yang dimaksudkan yaitu sebagai bahan masukan kebijakan lebih lanjut.

Surakarta, Maret 2002


KEPALA BALAI,

Ir. C. NUGROHO S. PRIYONO, M.Sc.

iii
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN EKSEKUTIF…………………….………...………….……. i
KATA PENGANTAR …………………………………...…………………. iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… iv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… v
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vi

I. PENDAHULUAN ……………………………………………….… 1

II. PENYEBAB BANJIR…...…………………………………………. 3


2.1. Curah Hujan……………………………………………………. 3
2.2. Karakteristik DAS……………………………………………… 6
2.3. Saluran Drainase……………………………………………….. 11
2.4. Perubahan Penggunaan Lahan………………………….………. 15
2.5. Masalah Kependudukan dan Kelembagaan Pengelolaan DAS…. 22

III. SOLUSI BANJIR…………………………………………………….. 24


3.1. Jangka Pendek……..………….………………………………… 24
3.2. Jangka Panjang….. ……………………………………………... 25

IV. PENUTUP………. ……………………………………………….…. 26


DAFTAR PUSTAKA.……………………………………………………… 27

Pokok -Pokok bahasan dari Prof.Drs Indro Wuryatno, MSi............................ 28


Pokok -Pokok bahasan dari Prof.Dr. Sunyoto Usman..................................... 30
Pokok -Pokok bahasan dari Drs Suiyono, MSi ( Mewakili Prof. Dr 33
Sutikno)............................................................................................................

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Curah hujan harian di daerah Bogor, Batang, dan
Situbondo pada Bulan Januari – Februari 2002……... 4

Gambar 2 Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di Bogor 5

Gambar 3 Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di


Batang……………………………………………………. 5

Gambar 4 Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di


Situbondo………………………………………………… 6

Gambar 5 Klas Kemiringan Lereng Masing-masing DAS Kajian 7

Gambar 6 DAS Ciliwung dan Sekitarnya…………………………... 8

Gambar 7 DAS Lampir dan Sekitarnya…………………………….. 9

Gambar 8 DAS Sampean…………………………………………… 10

Gambar 9 Perbandingan antara Saluran Drainase yang Dibutuhkan


dan yang Ada di Lapangan………………………………. 11

Gambar 10 Profil Melintang Sungai Ciliwung………………………. 12

Gambar 11 Pemukiman di Bantaran Sungai Ciliwung………………. 12

Gambar 12 Saringan Sampah Teluk Gong…………………………… 13

Gambar 13 Tanggul Jebol Akibat Kelebihan Debit…………………. 14

Gambar 14 Penggunaan Lahan pada DAS Ciliwung, Lampir, dan


Sampean………………………………………………….. 15

Gambar 15 Lokasi Penebangan Hutan PT Perhutani di DAS


Sampean………………………………………………….. 18

Gambar 16 Areal Persawahan di Lereng Terjal……………………… 19

Gambar 17 Hutan Rakyat dan Tunggul Bekas Tebangan……………. 21

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto kegiatan diskusi.......................................................... 35


Lampiran 2. Kliping dari harian Solo Pos.............................................. 37
Lampiran 3. Kliping dari harian Kedaulatan Rakyat.............................. 38
Lampiran 4. Kliping dari harian Suara Merdeka.................................... 39
Lampiran 5. Kliping dari harian kompas dan Jawa Pos ........................ 40
Lampiran 6. Kliping dari harian Solo Pos.............................................. 41
Lampiran 7. Topik-Topik Penelitian Pasca Banjir …………………… 42

vi
DEPARTEMEN KEHUTANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
BALAI TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN
SUNGAI
Jl. A.Yani – Pabelan P.O.BOX 295 Surakarta 57102
Telp/Fax: 0271 – 716709/716959 email: btpdassl@solo.wasantara.net.id

BANJIR, PENYEBAB DAN SOLUSINYA


Oleh:

Tim BTPDAS Surakarta

Ekspose Hasil Kajian Dalam Rangka


Memperingati Hari Bakti Kehutanan Tahun 2002

20 MARET 2002
Banjir, Penyebab dan Solusinya

I. PENDAHULUAN

Banjir besar yang terjadi hampir bersamaan di beberapa wilayah di


Indonesia telah menelan korban jiwa dan harta benda. Kerugian mencapai
trilyunan rupiah berupa rumah, harta benda, ternak, lahan pekarangan, lahan
pertanian dan sarana umum termasuk jalan, jembatan, dll.
Menyoroti masalah banjir yang terjadi tahun 2002, khususnya di P. Jawa,
terlihat lokasi-lokasi yang tertimpa banjir merupakan wilayah bagian Utara
dengan bentuk lahan yang khas, yaitu lereng pegunungan yang terus
bersambungan dengan areal landai di wilayah pantai. Kondisi bentuk lahan yang
demikian memiliki kecenderungan aliran permukaan berkecepatan tinggi pada
daerah pegunungan dan dengan cepat menggenangi daerah yang landai.
Curah hujan yang tinggi di wilayah dengan topografi demikian
menyebabkan potensi banjir sangat besar, sebagaimana yang terjadi pada akhir
Januari 2002 yang menggenangi seluruh Jakarta tidak terkecuali daerah yang
selama ini disebut daerah bebas banjir. Pada saat itu, ketinggian air di berbagai
pintu air melebihi batas normal, terutama aliran yang berasal dari sungai
Ciliwung, Cisadane maupun Pesanggrahan yang merupakan 3 dari 13 sungai
besar yang mengalir ke Jakarta.
Derasnya urbanisasi ke wilayah Jakarta telah memacu perkembangan
pemukiman yang cenderung menyimpang dari RUTRK dan konsep pembangunan
yang berkelanjutan. Banyaknya kawasan-kawasan rendah (rawa, danau) yang
semula berfungsi sebagai tempat penampung air serta bantaran sungai yang
berubah menjadi pemukiman, ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang
membuang sampah ke sungai makin memperburuk kondisi ini.
Di Jawa Tengah, daerah langganan banjir meliputi Kendal, Demak,
Batang, Pekalongan dan Pemalang. Walaupun daerah-daerah tersebut merupakan
daerah yang rutin banjir pada waktu musim hujan, namun pada tahun ini banjir
yang terjadi di Batang (DAS Lampir) cukup besar. Pada saat terjadinya banjir 17
Pebruari 2002 di Batang, curah hujan yang tercatat pada stasiun hujan Subah
mencapai 390 mm. Suatu kondisi hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

1
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Pada tanggal 4 Februari 2002 di Situbondo dan seluruh wilayah


Bondowoso terjadi hujan deras disertai angin kencang hingga malam hari yang
kemudian menyebabkan longsor dan banjir. Pada malam hari tanggal 5 Februari
2002, dam kali Sampean jebol. Keadaan ini diperparah dengan ambrolnya jalan
yang menghubungkan Situbondo dan Bondowoso.
Jika dilihat dari akar permasalahan, banjir yang terjadi di tiga tempat
tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor biofisik yang meliputi curah hujan
tinggi dan bentuk lahannya, tetapi juga sangat terkait dengan masalah sosial,
ekonomi dan politik. Secara teknis masalah tersebut menyebabkan perubahan
penggunaan dan penutupan lahan sehingga mengakibatkan fungsi resapan pada
daerah hulu dan fungsi atusan pada daerah tengah dan hilir tidak berfungsi
optimal.
Sebetulnya upaya pemerintah untuk menanggulangi permasalahan
tersebut telah banyak dilakukan. Sebagai contoh telah diterbitkannya PP No. 13
tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan di Kawasan sepanjang jalan antara
Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur dalam bentuk hukum khusus yang kemudian
disempurnakan dengan Keppres No. 48 tahun 1983 yang diperbaharui dengan
Keppres No. No. 79 tahun 1985 tentang Penetapan RUTR Kawasan Puncak.
Demikian pula penggunaan lahan masing-masing DAS telah dibuatkan
pokok penggunaan lahannya, mulai dari zone pelindung, zone penyangga sampai
zone budidaya. Pasal 50 UU No. 41 tahun 1999 melarang setiap orang melakukan
penebangan kiri-kanan sungai, waduk atau danau atau mata air. Akan tetapi
tampaknya belum ditaati sepenuhnya oleh masyarakat.
Berbagai investigasi, seminar, dan diskusi sudah dan sedang dilakukan
untuk mengetahui penyebab banjir dan solusinya. Untuk melengkapi informasi
yang ada, sesuai dengan Tupoksinya BTPDAS Surakarta mencoba menggali akar
permasalahan penyebab banjir serta solusinya. Makalah ini merupakan hasil studi
di tiga lokasi banjir, yaitu Jakarta, Batang dan Situbondo-Bondowoso yang
diharapkan mewakili kondisi banjir di Pulau Jawa.

2
Banjir, Penyebab dan Solusinya

II. PENYEBAB BANJIR

Banjir pada hakekatnya hanyalah salah satu output dari pengelolaan DAS
yang tidak tepat. Bencana banjir menjadi populer setelah dalam waktu yang
hampir bersamaan (akhir bulan Januari 2002) beberapa kota dan kabupaten di
Indonesia terpaksa harus mengalami bencana ini. Bahkan, DKI Jakarta yang
notabene merupakan ibukota negara tercinta Republik Indonesia, terpaksa harus
terendam air. Sudah tentu kerugian yang harus diderita oleh masyarakat sangatlah
besar. Parahnya, setelah air menyurut muncul berbagai macam penyakit yang
mengancam kehidupan manusia, misalnya leptosirosis yang saat ini menjadi
momok perkampungan kumuh di Jakarta.
Dari hasil investigasi Tim Peneliti BTP DAS di tiga DAS di Pulau Jawa,
yaitu DAS Ciliwung, Lampir, Sampean, disimpulkan bahwa bencana banjir secara
fisik disebabkan oleh (1) curah hujan yang tinggi, (2) karakteristik DAS itu
sendiri, (3) penyempitan saluran drainase, (4) perubahan penutupan lahan. Dari
keempat tersebut 2 (dua) penyebab pertama berada diluar kemampuan manusia
untuk dapat melakukan intervensi. Artinya, dua penyebab pertama merupakan
keadaan ‘given’ dari suatu DAS. Manusia dalam hal ini hanya mampu atau
mungkin untuk melakukan intervensi pada dua penyebab yang terakhir. Namun
demikian, untuk dapat melakukan intervensi yang tepat perlu terlebih dahulu
diketahui akar permasalahannya yang melatarbelakangi penyebab tersebut.
Dengan demikian , ‘resep’ yang diberikan tidak sekedar ‘penyembuh’ sementara,
tetapi bersifat berkelanjutan.

2.1. Curah hujan


Bulan Januari adalah bulan dimana biasanya terjadi curah hujan yang
cukup tinggi dan terjadi sejak awal bulan. Kondisi ini menyebabkan tanah
menjadi jenuh dengan air sehingga pada saat hujan deras terjadi pada akhir bulan
maka sebagian besar hujan tersebut langsung menjadi aliran permukaan yang
kemudian menyebabkan banjir di daerah hilir. Curah hujan masing-masing daerah
banjir dapat dilihat pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa banjir yang terjadi sesuai dengan hujan
maksimum. Sebagai contoh, banjir pertama di darah Jakarta terjadi pada tanggal

3
Banjir, Penyebab dan Solusinya

18 Januari 2002 disebabkan oleh hujan sebesar 105 mm/hari, kemudian banjir
kedua terjadi pada tanggal 30 Januari 2002 disebabkan oleh hujan sebesar 143
mm/hari.

200
Jumlah Hujan (mm) 180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
13

17

21

25

29

10

14

18

22

26
1

6
Tanggal

Situbondo Batang Bogor

Gambar 1. Curah hujan harian di daerah Bogor, Batang, dan Situbondo


Pada Bulan Januari – Februari 2002

Di daerah Situbondo, banjir pertama terjadi pada tanggal 30 Januari 2002


disebabkan oleh hujan sebesar 120 mm/hari, kemudian banjir kedua terjadi pada
tanggal 5 Februari yang disebabkan oleh hujan sebesar 150 mm/hari.
Banjir di daerah Batang terjadinya agak belakangan. Banjir disini mulai
tanggal 4 Februari 2002 dengan curah hujan sebesar 180 mm/hari, kemudian
disusul banjir kedua tanggal 6 Februari 2002 dengan curah hujan sebesar 130 mm,
dan terakhir banjir ketiga pada tanggal 16 Februari 2002 dengan curah hujan 190
mm/hari.
Curah hujan yang terjadi pada bulan Januari dan Februari 2002 sudah jauh
melebihi dari curah hujan rata-rata yang terjadi. Gambar 2, 3, dan 4 menunjukkan
curah hujan rata-rata dan saat kejadian banjir.

4
Banjir, Penyebab dan Solusinya

900
800 Rata-rata

Curah Hujan (mm)


700 2002
600
500
400
300
200
100
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan

Gambar 2. Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di Bogor.

1600
1400 Rata-rata
Curah Hujan (mm)

1200 2002
1000

800
600
400
200
0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan

Gambar 3. Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di Batang.

5
Banjir, Penyebab dan Solusinya

2500

Rata-rata
2000
2002
Curah Hujan
1500

1000

500

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Bulan

Gambar 4. Curah Hujan Bulanan Rata-rata dan Saat Banjir di Situbondo.

Jika dilihat dari rata-rata bulanannya maka banjir yang terjadi di Jakarta
disebabkan oleh peningkatan hujan sebesar 56 persen, sedangkan di Batang terjadi
peningkatan hujan sebesar 189 persen, dan di Situbondo terjadi peningkatan hujan
sebesar 62 persen.

2.2. Karakteristik DAS


Karakteristik DAS meliputi bentuk dan kemiringan lereng. Berdasarkan
hasil tinjauan di lapangan, karakteristik DAS di tiga lokasi kajian menunjukkan
adanya persamaan yaitu daerah hulu sampai daerah tengah dengan kelerengan
yang terjal sedangkan daerah tengah sampai hilir sangat datar dan luas.
Berdasarkan karakteristik demikian, begitu hujan jatuh maka air hujan dari
daerah hulu langsung mengalir ke bawah dengan waktu konsentrasi yang singkat.
Jika drainase daerah hilir kurang memadai maka aliran permukaan tersebut akan
menyebar kemana-mana menggenangi daerah pemukiman dan jalan. Kelas
kemiringan lereng masing-masing DAS kajian dapat dilihat pada Gambar 5.
Masing-masing DAS mempunyai bentuk yang berbeda sehingga respon terhadap
hujan juga berbeda-beda. Untuk bentuk DAS yang memanjang respon hujan

6
Banjir, Penyebab dan Solusinya

menjadi banjir lebih lambat daripada bentuk DAS yang membulat. Bentuk
masing-masing DAS kajian dapat dilihat pada gambar 6, 7 ,dan 8.

100
90 Ciliwung
80 Lampir
70 Sampean
60
50
Persen

40
30
20
10
0
0-8 8-15 15-25 25-40 >40
Kelas

Gambar 5. Klas Kemiringan lereng masing-masing DAS Kajian

7
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Gambar 6. DAS Ciliwung dan sekitarnya.

8
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Gambar 7. DAS Lampir dan sekitarnya.

9
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Gambar 8. DAS Sampean.

10
Banjir, Penyebab dan Solusinya

2.3. Saluran Drainase


Saluran drainase memiliki peran sangat penting sebagai jalan bagi air
untuk sampai ke laut yang merupakan tujuan akhir dari air yang mengalir. Seperti
halnya jalan, kapasitas saluran drainase haruslah sesuai dengan volume air yang
akan disalurkannya. Banjir yang terjadi di ketiga daerah kajian juga dipicu oleh
kurang memadainya saluran drainase. Di beberapa tempat volume saluran
drainase mengalami penyusutan karena beberapa hal, yaitu semakin banyaknya
masyarakat yang terpaksa bermukim di bantaran sungai, masih berkembangnya
perilaku membuang sampah di sungai, pembuatan saluran drainase yang di bawah
volume air limpasan, pengusahaan bantaran sungai sebagai areal pertanian, dan
kondisi fisik palung sungai. Gambar 9 menunjukkan perbandingan antara
kapasitas saluran drainase yang dibutuhkan dan yang ada di lapangan.

800
700 Dibutuhkan
600
Debit (m3/dt)

Yang Ada
500
400
300
200
100
0
A rt

ur
g
in

C rat

an
Bu r

g
na kut
na ke

g
e
aa

un

un
an
ra

im

nt
K a ng

ar
a

Ka ru
v

iliw
D

lB

ak
in
Su
lT
er

ip
g

C
ka
en

C
oo
ar
M
gk

ir

ir
nj

nj
en

Ba

Ba
C

Gambar 9. Perbandingan antara saluran drainase yang dibutuhkan dan yang ada
di Lapangan

11
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Kotak 1

Kasus di Jakarta:

Pemukiman di Bantaran Sungai

Semakin membengkaknya penduduk Jakarta akhirnya berimbas pada semakin meningkatnya


kebutuhaan akan tempat tinggal. Sayangnya luas lahan yang tersedia untuk pemukiman di Jakarta tidak
mampu memenuhi besarnya kebutuhan masyarakat. Akibatnya, hukum ekonomi lah yang berjalan.
Harga tanah semakin mahal. Terlebih harga ruumah. Bagi kaum pendatang yang sebagian besar bekerja
di sektor informal, untuk memiliki rumah yang layak huni sangatlah jauh dari jangkauan kantong
mereka. Akhirnya, pilihan mereka hanyalah bantaran sungai yang tidak berpenghuni. Masuk akal juga
sebenarnya pilihan ini. Membangun rumah di bantaran sungai tidak memerlukan pembangunan sarana
MCK yang mahal. Cukup dengan memanfaatkan air sungai sebagai sarana MCK.
Ketidaktegasan Pemda DKI dan semakin besarnya penduduk Jakarta, permukiman di bantaran
sungai semakin padat pula. Akibatnya, seperti sudah diduga oleh banyak pakar sungai, semakin
memperkecil volume saluran drainase. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta,
Sungai Ciliwung yang memliki lebar 65 meter, saat ini menyempit menjadi 15 s/d 20 meter akibat
permukiman liar di bantaran sungai tersebut.

Gambar 10. Profil Melintang Sungai Ciliwung

Sementara itu laporan yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, lokasi bantaran
sungai yang penuh dengan bangunan adalah sebagai berikut :

1 Waduk Pluit, Jakut


2 Banjir Kanal, Jakut
3 Kali Angke, Kapuk Muara, Jakut
4 Kali Ciliwung-Manggarai, Jaktim-Jaksel
5 Kali Pesanggrahan, Jakbar
6 Kali Cipinang, Besar dan Muara, Jaktim
7 Kali Sunter, Jakut-Jaktim
8 Kali Mampang, Pondok Karya, Jaksel
9 Kali Krukut, Blok P, Jaksel Gambar 11. Pemukiman di Bantaran
10 Kali Cideng, MBAU Pancoran, Jaksel Sungai Ciliwung
11 Anak Kali Ciliwung Kota (belakang RS Husada), Jakbar

Pada Kotak 1 tampak jelas bahwa permukiman di bantaran sungai di


Jakarta memiliki peran yang sangat besar dalam penyempitan saluran drainase.
Namun demikian, masalah permukiman di bantaran sungai juga bernuansa sosial.
Artinya, untuk memahami perlu penelusuran faktor-faktor yang melatarbelakangi
semakin berkembangnya pemukiman di kawasan tersebut.

12
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Sebenarnya secara tegas di dalam peraturan perundangan (UU Pengairan


dan UU Kehutanan) disebutkan bahwa di kawasan kanan-kiri sungai sejauh 50
meter adalah kawasan lindung yang tidak boleh diganggu gugat. Sayangnya
peraturan ini hanya ‘garang’ di atas kertas. Pemerintah seringkali tidak bertindak
tegas ketika mulai terlihat adanya gelagat pembangunan di bantaran sungai.
Pemerintah baru bertindak setelah setelah kawasan tersebut telah menjadi
permukiman yang padat. Akibatnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat
setempat tidak dapat dihindari.
Pada sisi lain, dalam hal ini dari sudut pandang masyarakat penghuni
permukiman liar di bantaran sungai, membangun rumah di kawasan tersebut
karena tidak adanya pilihan. Mereka datang ke kota karena memang sampai saat
ini baru kota, misal Jakarta, yang memungkinkan mereka dapat mencari nafkah.
Pendatang yang sebagian besar berasal dari berbagai daerah pedesaan di
Indonesia, tidak lagi dapat menggantungkan hidupnya di desa tempatnya berasal.
Lapangan kerja di desa semakin langka. Lahan pertanian yang sebelumnya
mereka miliki semakin menyempit. Bahkan, tidak sedikit yang memang tuna
lahan. Dengan demikian, sebenarnya fenomena pemukiman di bantaran sungai di
Jakarta adalah hasil dari masalah struktural yang melingkupi pembangunan di
Indonesia.

Gambar 12. Saringan sampah Teluk Gong

Hal lainnya yang turut serta dalam penyempitan saluran drainase adalah
kebiasan masyarakat yang suka membuang sampah ataupun limbah domestik ke
sungai. Sudah merupakan pemandangan yang biasa, apabila pintu-pintu air di
berbagai daerah di Indonesia tertutup penuh oleh sampah.

13
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Menurut Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, setiap harinya sampah yang
masuk ke saluran drainase mencapai 800 meter kubik. Banyaknya sampah di
saluran drainase tidak hanya menambah pekerjaan bagi petugas pengairan untuk
mengangkut sampah, tetapi juga memerlukan biaya yang besar untuk
mengangkutnya ke tempat pembuangan sampah. Perilaku membuang sampah di
sungai tidak dimonopoli oleh warga Jakarta saja. Pada DAS lainnya yang menjadi
lokasi investigasi Tim BTPDAS juga menemukan hal yang serupa.
Kecenderungan masyarakat membuang sampah di sungai pada dasarnya
merupakan perwujudan dari persepsi yang selama ini dianut oleh masyarakat
awam tentang sungai. Sebagian masyarakat masih memandang sungai sebagai
tempat pembuangan sampah. Alasannya sederhana. Masyarakat sebagian besar
masih belum mau untuk bersusah payah membuat lubang atau bak sampah atau
bahkan lebih jauh lagi memanfaatkan sampah untuk keperluan lain yang lebih
bermanfaat. Membuang sampah di sungai adalah cara paling cepat melenyapkan
sampah sebatas padangan mata si pelaku tanpa pernah peduli akibatnya bagi
masyarakat yang lain.
Kotak 2
Kasus di DAS Sampean

Sempitnya saluran drainase di Sungai Sampean khususnya di sekitar lokasi banjir (Kota
Situbondo) lebih disebabkan oleh faktor fisik sungai. Dari pengamatan daya tampung saluran di alur
Sungai Sampean di Kota Situbondo bagian Barat, dengan lebar ± 50 meter dan kedalaman 8 meter,
banjir pada tanggal 4 – 8 Februari 2002 telah menyebabkan muka air Sungai Sampean mencapai badan
jalan pada jembatan. Hal tampak dari adanya sisa serasah/sampah yang ada di jembatan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa muka air sungai pada saat terjadi banjir telah melebihi 8 meter
dalamnya. Menurut informasi yang berhasil diperoleh, muka air Sungai Sampean paling tinggi
mencapai 6.8 meter (18-1-1976) dan 5.7 meter (6-2-2000). Dengan muka air setinggi itu tidak sampai
menimbulkan banjir besar di hilir (Kota Situbondo). Kejadian banjir pada awal 2002 ini merupakan
banjir yang ekstrim terjadi di DAS Sampean, yang telah melebihi daya tampung saluran (palung
sungainya).

Gambar 13. Tanggul Jebol Akibat Kelebihan Debit

14
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Pada pihak lain, perilaku masyarakat untuk terus membuang sampah di


sungai sama sekali tidak mendapat teguran ataupun sanksi baik dari masyarakat
lainnya atau bahkan pemerintah daerah sebagai penguasa wilayah. Sejauh ini
belum ada peraturan pemerintah yang secara khusus mengatur tentang sanksi
membuang sampah di sungai. Kekosongan aturan ini memberikan kebebasan
kepada masyarakat untuk terus melanjutkan perilakunya tanpa harus menakutkan
akan adanya sanksi yang akan diterima.

2.4. Perubahan penggunaan lahan


Dilihat dari segi curah hujan wilayah DAS dapat dibedakan menjadi 2
yaitu wilayah yang berfungsi sebagai wilayah peresapan dan wilayah yang
berfungsi sebagai wilayah pengatusan (drainase). Berfungsi atau tidaknya wilayah
tersebut akan sangat terkait dengan penggunaan lahan. Penggunaan lahan di 3
DAS yang diinvestigasi disajikan pada Gambar 7.

40
35 Ciliwung
Lampir
30
Sampean
25
Persen

20
15
10
5
0
Hutan Sawah Tegal Perkebunan Pemukiman

Gambar 14. Penggunaan Lahan pada DAS Ciliwung, Lampir, dan Sampean

Dari Gambar 14 terlihat bahwa prosentase hutan di DAS Ciliwung cukup


kecil, hanya 10 % dari luas DAS sedangkan prosentase pemukiman paling tinggi.
Berbeda dengan 2 DAS berikutnya DAS Sampean lebih banyak (36 %) hutan dan
lahan pertanian (sawah, tegal dan kebun), sedang DAS Lampir lebih banyak
sawah dan tegalan.

15
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Padahal dalam UU No.41 Tahun 1999 minimal hutan dalam satu DAS
adalah 30 persen. Berdasarkan Gambar 14 tersebut yang memenuhi syarat hanya
DAS Sampean yang mempunyai hutan sekitar 36 persen dari luas DAS.
Walaupun DAS Sampean mempunyai hutan sebesar 36 persen namun banjir besar
juga masih terjadi. Dari kondisi tersebut terlihat bahwa keberadaan hutan tidak
mampu mencegah banjir. Hutan dapat mengurangi banjir hanya pada curah hujan
sedang (Dunne & Leopold. 1978). Pada curah hujan yang besar, hutan sudah tidak
mampu menguranginya. Namun demikian hutan dapat mengurangi erosi yang
menyebabkan pendangkalan di sungai atau saluran sehingga fungsi hutan ini lebih
menjaga saluran sungai agar lancar mengalirkan air (Dunne & Leopold. 1978).
Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Asdak (1995) yang menyebutkan bahwa
keberadaan hutan dapat dipandang sebagai kegiatan pendukung dari usaha lain
dalam menurunkan terjadinya banjir. Selain itu hutan berfungsi menjaga
kontinuitas aliran, karena hutan dapat mengatur tata air yaitu menampung air pada
musim penghujan dan mengalirkannya pada musim kemarau.
Selain perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke pemukiman dan dari
tanaman keras ke tanaman semusim, ada lagi perubahan penggunaan lahan yang
cukup signifikan menyebakan banjir yaitu penggunaan situ dan rawa untuk
pemukiman. Perubahan ini menyebabkan aliran permukaan dari bagian hulunya
tidak mempunyai tempat lagi untuk transit . Aliran permukaan akan langsung
mengalir dan menambah aliran dari sekitarnya sehingga menyebakan banjir atau
menggenangi pemukiman di daerah bekas situ atau rawa. Kawasan pemukiman
Pantai Indah Kapuk (PIK) dahulunya merupakan daerah berawa hutan manggrove
yang berfungsi untuk menampung air, kemudian diuruk dan dijadikan kawasan
pemukiman. Berdasarkan citra satelit 2002 retarding pond di kawasan PIK tinggal
sepertiganya (Kompas 7-2-2002). Contoh perubahan rawa menjadi pemukiman
yang sudah berlangsung lama adalah Rawa mangun, Rawa buaya, Rawa lembu,
Rawa sari dan sebagainya.
Kawasan resapan air di hulu DAS memiliki peran yang sangat penting
dalam siklus hidrologi di suatu DAS. Sayangnya, kebanyakan masyarakat awam
memahami DAS hanya sebatas pada air sungai yang mengalir. Padahal sistem
sungai adalah suatu hal yang sangat komplek dan terkait erat serta dipengaruhi

16
Banjir, Penyebab dan Solusinya

oleh berbagai faktor dari suatu DAS. Karenanya tidak mengherankan bila pada
saat ini banyak kawasan resapan air di hulu DAS telah mengalami perubahan
fungsi, misalnya menjadi pemukiman. Parahnya lagi, saat ini tercatat 58 DAS di
Indonesia dalam kondisi kritis1 (Pusat Data dan Informasi Publik, 2002).

Kotak 3
Kasus di Kawasan Puncak
Penegakan Hukum

Tidak dapat dipungkiri bahwa sub DAS Ciliwung hulu, khususnya kawasan puncak adalah
kawasan yang eksotis. Hamparan perkebunan teh dan hawanya yang sejuk serta infrastruktur yang
mendukung di kawasan ini, mampu menawarkan daya tarik tersendiri. Sejak jaman kolonial Belanda,
Puncak telah menjadi tempat peristirahatan tuan-tuan Belanda. Saat sekarang pun, Puncak masih
merupakan tempat yang populer untuk beristirahat bagi warga ibukota. Karenanya, tidak mengherankan
jika di kawasan ini tumbuh menjamur vila-vila mewah, hotel, dan sarana prasarana pariwisata lainnya.
Bencana banjir yang terjadi akhir bulan Januari hingga awal Pebruari 2002 di Jakarta, telah
mendorong berbagai pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS untuk kembali menengok ke sub DAS
ciliwung hulu. Seperti kejadian di masa lalu, berkali-kali Puncak menjadi tertuduh penyebab banjir di
Jakarta. Sayangnya, tuduhan ini tidak berlanjut pada tindak lanjut yang berupa perbaikan tata guna
lahan di kawasan Puncak. Bahkan, sejalan dengan perkembangan derap pembangunan carut marut tata
guna lahan semakin menjadi.
Sebenarnya dasar hukum penataan kawasan puncak, menurut Silalahi (2002), telah cukup
memadai, ketat, dan jelas, karena telah diatur secara khusus selama 40 tahun lebih, berturut-turut
dengan peraturan Presiden tahun 1963, yang diubah dan diperbaiki masing-masing dengan Keppres
No.48/1983 dan Keppres No.79 /1985. Peraturan ini juga diperkuat dengan peraturan perundang-
undangan lainnya secara nasional maupun daerah. Namun, lagi-lagi dasar hukum ini sama sekali tidak
mampu menunjukkan kekuatannya setelah di lapangan. Hukum hanya kelihatan ‘garangnya’ di atas
kertas. Vila dan bangunan lainnya tetap dibangun tanpa peduli adanya peraturan yang membatasinya.
Persoalan Puncak memang rumit dan sangat kompleks. Di satu sisi, kawasan ini merupakan
kawasan wisata yang merupakan salah satu pemasok pendapat daerah terbesar. Pada sisi lain kawasan
ini juga merupakan kawasan lindung. Mempertemukan dua kepentingan ini memang tidak mudah.
Parahnya, euforia reformasi ternyata ikut pula berimbas pada kawasan ini. Lahan perkebunan teh PTP
Nusantara VIII/Gunung Mas yang masih dalam proses perpanjangan HGU, telah dimanfaatkan
masyarakat dengan menjarahnya. Menurut catatan terakhir, diperkirakan penjarahan lahan mencapai
600 hektar dan sekitar 200 diantaranya telah berubah menjadi arena permukiman dan vila (Kompas
12/03/2002).

Menurut hasil penelitian yang telah banyak dilakukan oleh para pakar
hidrologi menyimpulkan bahwa hutan merupakan regulator air yang baik.
Berdasarkan penelitian selama 5 tahun di daerah dengan ketinggian 1.110 –
1,1838 m dpl di hulu DAS Ciwulan – Tasikmalaya, yang mewakili daerah hulu
sungai, dengan kondisi topografi curam sampai sangat curam dan bantuan induk
vulkanik, menunjukkan bahwa evapotranspirasi tegakan hutan tercatat 1.300 mm

1
Sesuai hasil survai Dep.PU dan Dep.Kehutanan pada 1992 tercatat sekitar 22 DAS yang kritis
dan super kritis, sedangkan survai 1998 membengkak menjadi 58 DAS.

17
Banjir, Penyebab dan Solusinya

per tahun sehingga dengan curah hujan 3.500 mm per tahun, maka hutan mampu
menyimpan air tanah 420 mm per tahun lebih banyak dibandingkan DAS
pertanian yang hanya mempunyai laju evapotranspirasi 600 mm per tahun
(Arifjaya, 2002). Meskipun demikian, akhir-akhir ini luasan hutan di DAS hulu
semakin menyusut. Ada beberapa hal yang disinyalir sebagai penyebabnya,
diantaranya penjarahan dan perambahan hutan serta ketidaktaatan baik aparat
pemerintah maupun masyarakat terhadap tataguna lahan yang telah disepakati dan
diatur dengan keppres. Kasus Puncak merupakan contoh yang sangat baik untuk
menggambarkan hal tersebut (lihat Kotak 3).
Problematika perubahan penutupan lahan yang tidak mengikuti kaidah
pengelolaan DAS yang benar ternyata sangat dipengaruhi pula oleh pemahaman
yang keliru atas teknologi konservasi tanah. Akibatnya, teknologi konservasi
tanah diterapkan tidak pada tempatnya. Misalnya, pada lahan-lahan yang terjal
yang hanya diperbolehkan untuk hutan oleh masyarakat tetap diusahakan untuk
usahatani tanaman semusim yang membutuhkan pengolahan lahan sangat intensif.
Meskipun masyarakat dalam berusahataninya telah menggunakan teknologi
konservasi tanah, namun erosi masih akan tetap tinggi. Apalagi bila teknik
pengolahan tanah diupayakan untuk mengurangi peresapan air ke dalam tanah,
misalnya sawah, maka yang akan terjadi adalah tidak adanya air yang meresap ke
dalam tanah ketika hujan turun, tetapi air langsung menjadi limpasan. Hal inilah
yang akhirnya menyebabkan banjir.

Lokasi Penebangan
Hutan PT Perhutani

Gambar 15. Lokasi Penebangan Hutan PT Perhutani di DAS Sampean

18
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Pemahaman yang keliru ternyata tidak hanya dimonopoli oleh petani. PT


Perhutani yang merupakan satu-satunya perusahaan negara yang mendapat
mandat untuk mengelola hutan di Jawa, ternyata juga melakukan hal yang serupa.
Hutan yang berada di dalam suatu DAS, misal DAS Sampean, dalam
pemanenannya tidak memperhatikan karakteristik DAS yang menjadi tempat
tumbuhnya tegakan hutan. Memang sistem penebangannya mengikuti rotasi petak
sesuai dengan umur tegakan. Namun, sistem tebang habis yang dilakukan pada
satu petak tetap saja akan menyebabkan lahan pada petak tersebut menjadi gundul
dan memperbesar volume limpasan.
Kotak 4

Kasus di DAS Lampir dan DAS Sampean

Bertanam Padi di Lereng Terjal

Bagi masyarakat Batang dan Sampean berusahatani padi adalah hal biasa. Kebiasaan ini
diperolehnya dari nenek moyang dulu. Yang membedakan masyarakat Batang dan Sampean saat ini
dengan nenek moyangnya dulu adalah lokasi sawahnya. Saat ini, sangat mudah ditemui areal
persawahan di lereng-lereng terjal (25 - >45%). Memang mereka telah menggunakan teras dengan baik.
Bahkan saluran pembuangan airnya pun telah tertata dengan baik. Namun, sawah bukanlah peresap air
yang baik. Lahan sawah justru diolah menjadi kedap air untuk mempertahankan kondisinya semirip
mungkin dengan rawa yang merupakan habitat asli padi. Akibatnya, ketika hujan turun air hujan
langsung menjadi limpasan yang besar karena tidak dapat meresap ke dalam tanah. Limpasan air yang
besar ini selanjutnya tidak dapat ditampung oleh saluran drainase yang memang kapasitasnya kecil.
Akhirnya banjirlah yang terjadi.

Gambar 16. Areal Persawahan di Lereng Terjal

Secara ilmiah dan menurut tata guna lahan pada lereng yang terjal hanya boleh dimanfaatkan
untuk hutan yang berfungsi sebagai kawasan resapan. Dengan demikian perubahan penggunaan lahan
yang seharus hutan menjadi areal persawahan adalah kesalahan. Namun apabila kenyataan ini
konfrontasikan dengan perilaku masyarakat yang mencoba menerapkan teknolgi konservasi tanah, maka
hal tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya masyarakat telah memahami akan bahaya yang akan
terjadi setelah mereka melakukan perubahan lahan hutan menjadi sawah. Namun pemahaman yang
keliru tentang teknologi konservasi membuat masyarakat tetap membuka sawah di lereng yang terjal
dengan mengaplikasikan teknologi teras.

19
Banjir, Penyebab dan Solusinya

Masalah perubahan penutupan lahan menjadi rumit lagi apabila


dimasukkan pula unsur sumber pertumbuhan ekonomi suatu daerah dalam suatu
DAS. Seringkali ditemui dibeberapa daerah terjadi konflik kepentingan antara
ekonomi daerah dengan kelestarian lingkungan. Apalagi saat ini era otonomi
daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur
daerahnya. Hal tersebut ternyata telah diartikan secara kurang bijaksana oleh
pemerintah daerah. Fokus perhatian lebih tertuju pada peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Akibatnya, perhatian terhadap kelestarian lingkungan
menjadi terabaikan. Walaupun sebenarnya sebelum era otonomi daerah pun
pemerintah juga kurang perhatian terhadap lingkungan.
Konflik kepentingan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian
lingkungan semakin diperparah dengan adanya paradigma bahwa kepentingan
ekonomi dan kelestarian lingkungan adalah suatu hal yang tidak mungkin
dipertemukan. Keduanya merupakan trade-off yang harus diambil oleh
pemerintah. Padahal baik ekonomi maupun kelestarian lingkungan, keduanya
memiliki hubungan imbal balik yang sangat erat. Yang satu tidak dapat
mengabaikan yang lain. Bahkan, keduanya haruslah dilakukan seiring sejalan.
Pembangunan yang hanya ditopang dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tanpa memperdulikan kelestarian lingkungan hasilnya akan sia-sia. Pasalnya,
kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan akan memerlukan biaya
yang mahal untuk penanganannya. Demikian juga halnya, kelestarian lingkungan
akan sangat sulit dicapai apabila masih banyak warga masyarakat yang miskin
dan bodoh.
Faktor lain yang tidak kalah hebatnya dalam mempengaruhi perubahan
penutupan lahan adalah pasar. Dalam masyarakat yang terbuka dan masuknya
ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat, faktor pasar sangat mempengaruhi
perilaku masyarakat dalam mengusahakan lahannya. Masyarakat, khususnya
petani, akan mengusahakan lahannya untuk komoditas-komoditas yang
menguntungkan. Hutan rakyat yang merupakan salah satu strategi pemerintah
dalam rangka memperluas areal berhutan ternyata ikut terimbas oleh adanya
pasar. Ketika harga kayu tinggi, masyarakat berbondong-bondong merubah
lahannya menjadi hutan rakyat. Bahkan, yang saking antusiasnya lahan sawah pun

20
Banjir, Penyebab dan Solusinya

di ubah menjadi hutan sengon, pada saat harga sengon sedang melambung tinggi.
Sampai-sampai bibit sengon atau tanaman hutan lainnya sangat sulit dicari.
Namun, pada saat harga kayu jatuh petani beramai-ramai pula menebang tanaman
kayunya walaupun belum masak tebang.
Kotak 5

Kasus di DAS Sampean

Hutan Rakyat

Hutan rakyat di DAS Sampean sebenarnya telah berkembang dengan baik. Masyarakat telah
banyak mengusahakan lahannya untuk hutan rakyat. Tanaman sengon adalah salah satu tanaman hutan
yang populer di masyarakat. Menurut data BRLKT luas hutan rakyat di DAS Sampean mencapai 4.500
hektar.

Gambar 17. Hutan Rakyat dan Tunggul Bekas Tebangan

Saat ini luas hutan rakyat menyusut drastis. Sebagian besar petani menebang tegakan hutannya
karena harga kayu yang tidak menguntungkan menurut ukuran petani. Mereka telah merubah hutan
rakyat dengan tanaman perkebunan dan semusim. Menurut keterangan pihak dinas di daerah yang
menangani sektor kehutanan (dulu Dinas PKT) perbandingan antara tegakan hutan rakyat yang ditebang
dengan penanaman adalah 3:1, akan tetapi dinas tersebut sama sekali tidak berbuat apa-apa.

Seperti halnya dengan komoditas lainnya, dalam pasar kayu petani pun
tidak memiliki posisi tawar yang kuat karena tidak memiliki informasi pasar dan
tidak bersatu dalam suatu kelompok. Akibatnya, pengepul atau pedagang dapat
mempermainkan petani pada saat transaksi. Kelemahan posisi tawar petani ini
telah lama diketahui oleh pemerintah, tetapi sejauh ini pemerintah belum
melakukan tindakan yang bisa diterima oleh petani. Tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah baru sebatas pembentukan kelompok tani hutan rakyat yang
dipaksakan dan tidak mengakar. Potensi kelembagaan lokal yang telah dibangun

21
Banjir, Penyebab dan Solusinya

oleh masyarakat belum disentuh untuk dikembangkan lebih lanjut untuk


membantu posisi tawar petani.

2.5. Masalah Kependudukan dan Kelembagaan Pengelolaan DAS


Seperti telah diduga oleh banyak ahli lingkungan dan kependudukan.
Jumlah penduduk yang besar memiliki implikasi yang sangat serius terhadap
kualitas lingkungan khususnya DAS, apabila tidak dikelola dengan baik. Semakin
membengkaknya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan semakin
ekstensif dan intensifnya pegunaan lahan di hulu DAS adalah indikasi yang sangat
nyata bahwa tekanan penduduk terhadap DAS telah sangat tinggi. Data yang
diperoleh selama investigasi di 3 DAS, yaitu DAS Ciliwung, Batang, dan
Sampean, mendukung hal tersebut2. Keadaan ini masih diperparah dengan
rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan.
Bahkan, sebagian masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan yang
relatif ‘cukup’ tinggi untuk dapat memahami sistem ekologi, ternyata justru
menjadi aktor utama kerusakan lingkungan. Pembangunan vila-vila mewah di
kawasan Puncak yang tidak menggunakan ijin IMB adalah contoh yang baik
untuk menerangkan fenomena ini. Demikian juga pembangunan perumahan di
beberapa situ di Jakarta dengan cara menimbunnya dengan tanah. Ini pun
didalangi oleh pihak-pihak yang semestinya sudah sangat paham dengan
kelestarian lingkungan.
Keruwetan masalah kependudukan yang berdampak pada kelestarian
lingkungan pada dasarnya merupakan wujud dari carut marutnya kelembagaan
pengelolaan DAS. Sampai dengan saat ini telah banyak instansi yang ikut terlibat
dalam pengelolaan DAS. Setidaknya Departemen Permukiman dan
Pengembangan Wilayah yang bertanggung jawab untuk kawasan DAS hilir dan
Departemen Kehutanan untuk kawasas DAS hulu. Selain itu pemerintah daerah
melalui dinas-dinas terkait juga terlibat aktif dalam pengelolaan DAS, misal Dinas
PKT. Ada juga pihak-pihak lain yang tidak ikut terlibat secara langsung dalam
pengelolaan DAS, tetapi aktivitasnya sangat mempengaruhi kondisi DAS,

2
Tekanan penduduk terhadap lahan di sub DAS Ciliwung hulu mencapai 2.80, dan DAS Sampean
mencapai 1.20

22
Banjir, Penyebab dan Solusinya

misalnya Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan, dan lain-lain. Semua


stakeholder ini memiliki agendanya sendiri. Belum ada sistem kelembagaan
pengelolaan DAS yang dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan. Sistem
kelembagan pengelolaan DAS yang terpadu baru sebatas wacana. Pada tingkat
implementasi, para stakeholder tersebut tetap berpegang teguh dengan rencananya
masing-masing. Contoh yang sangat nyata dan terkait langsung dengan
Departemen Kehutanan adalah Pola dan Rencana Teknik Lapang Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah (RTL-RLKT). Alat perencanaan ini baru diadopsi
oleh Departemen Kehutanan sendiri sebagai pemrakarsanya. Instansi atau pihak-
pihak lain tetap menggunakan alat perencanaannya tanpa mengacu atau
setidaknya mempertimbangkan Pola dan RTL RLKT. Akhirnya, pada tingkat
implementasi sangat sering ditemui aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para
stakeholder tersebut saling tumpang tindih dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu
bertolak belakang dengan tujuan pengelolaan DAS.

23
Banjir, Penyebab dan Solusinya

III. SOLUSI BANJIR

3.1. Jangka Pendek

a. Peningkatan kapasitas saluran drainase


Kapasitas saluran drainase yang tidak memadai menyebabkan aliran sungai
meluap dan mengenangi daerah-daerah di sekitarnya. Salah satu cara untuk
mengurangi terjadinya luapan banjir adalah dengan meningkatkan kapasitas
saluran yang ada. Khusus untuk daerah Jakarta, misalnya, ukuran atau
kapasitas saluran drainase direncanakan sesuai dengan perkembangan
perubahan penggunaan lahan khususnya perkembangan pemukiman.
Meninggikan tanggul sungai di daerah hilir sehingga kapasitas saluran
menjadi bertambah dan aliran air tidak meluap merupakan contoh upaya
penyempurnaan drainase untuk kasus Situbondo. Sedangkan kasus Batang
memerlukan upaya pelurusan dan pelebaran.
b. Pembuatan dam penahan air dan mempertahankan situ-situ yang masih
ada
Salah satu cara untuk menghambat larinya air permukaan adalah dengan
membuat dam penahan air terutama di daerah hulu. Khusus untuk Jakarta
ditambah dengan mempertahakan situ-situ yang masih ada. Karena dengan
memfungsikan situ-situ yang ada berarti kita mengembalikan keseimbangan
air seperti sebelumnya.
c. Pembuatan sumur resapan
Khusus untuk daerah dengan pemukiman di daerah hulu dan tengah perlu
diterapkan peraturan yang ketat tentang kewajiban pembuatan sumur resapan.
Pembuatan sumur resapan pada prinsipnya adalah mempercepat aliran
permukaan menjadi aliran bawah permukaan (sub surface flow). Tindakan ini
walaupun yang diresapkan hanya sedikit tetapi kalau dilaksanakan oleh
seluruh pemilik rumah maka hasil air yang bisa di dirubah menjadi aliran
bawah permukaan akan sangat besar. Akibatnya banjir akan jauh berkurang
dan persediaan air tanah akan meningkat.

24
Banjir, Penyebab dan Solusinya

d. Rehabilitasi Daerah Tangkapan Air


Merehabilitasi daerah tangkapan air yang saat ini kondisinya kritis dengan
melakukan kegiatan reboisasi dan pengembangan hutan rakyat di lahan milik.

3.2. Jangka Panjang

a. Sistem kelembagaan pengelolaan DAS yang terpadu dan terintegrasi serta


berbasis pada masyarakat dengan memanfaatkan potensi-potensi yang telah
berkembang di masyarakat perlu dibangun, termasuk didalamnya komitmen
penegakan hukum.
b. Perlu adanya kebijakan perlindungan harga dan akses terhadap pasar bagi
usaha tani konservasi dan hutan rakyat sehingga masyarakat khususnya
petani agar lebih bergairah dalam melakukan usaha tani konservasi dan
hutan rakyat
c. Untuk mengurangi sentra penduduk, umumnya di pulau jawa, perlu adanya
pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia sehingga
pertumbuhan ekonomi tidak berpusat di pulau Jawa dan kota-kota besar.
Pembangunan yang merata akan mengurangi arus urbanisasi penduduk
yang dimotivasi oleh pencarian nafkah.
d. Perlu diupayakan rencana strategi penyuluhan lingkungan yang ditujukan
untuk masyarakat terdidik yang justru merupakan aktor utama perusak
lingkungan. Selain itu, bersamaan dengan hal tersebut perlu adanya
perubahan paradigma baik pada tingkat masyarakat maupun pemerintah
tentang pengelolaan DAS.

25
Banjir, Penyebab dan Solusinya

IV. PENUTUP

Dengan adanya kejadian banjir pada tahun 2002 ini mengingatkan kita
kembali bahwa pentingnya untuk melakukan pembangunan yang berwawasan
lingkungan. Keterlanjuran yang terjadi di Pulau Jawa jangan sampai terulang di
Pulau-pulau yang lain di Indonesia. Sedangkan untuk Pulau Jawa sendiri dengan
kondisi yang sudah parah jangan sampai diperparah lagi, kalau bisa ditingkatkan
diantaranya dengan solusi di atas.
Dengan melihat kondisi fisik dan sosial ekonomi yang ada, maka banjir
kemungkinan masih akan terjadi pada tahun-tahun mendatang dan diperkirakan
akan terjadi dengan intensitas yang lebih besar. Hal ini harus dijadikan bahan
pemikiran oleh semua pihak bahwa untuk mengatasi banjir tidak bisa dilakukan
oleh Pemerintah saja tetapi juga oleh masyarakat. Banjir di DKI tidak bisa diatasi
oleh propinsi DKI sendiri, melainkan juga propinsi Jawa Barat dan Banten, tidak
bisa dilakukan hanya dengan perbaikan fisik tetapi juga perbaikan sosial ekonomi
masyarakat, tidak juga bisa dilakukan sepotong-sepotong tetapi harus terpadu
dalam satu kesatuan DAS.
Berdasarkan hasil investigasi di tiga DAS menunjukkan bahwa hutan
dalam DAS mempunyai batas maksimum tertentu dalam kaitannya dengan upaya
mengendalikan banjir. Pada intensitas hujan yang sangat tinggi fungsi hutan
menjadi tidak efektif dalam hal menahan laju limpasan. Dengan demikian
keberadaan hutan dalam DAS seharusnya dipandang sebagai salah satu bagian
dari keseluruhan usaha terpadu menurunkan terjadinya banjir .

26
Banjir, Penyebab dan Solusinya

DAFTAR PUSTAKA

Arifjaya, N.M. 2002. Hutan dan Pencegahan Banjir. Makalah Seminar


Disampaikan dalam Diskusi Panel Upaya Penanggulangan Banjir di
Jabotabek pada Tanggal 7 Maret 2002 di IPB Bogor.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Citarum-Ciliwung.


2002. Identifikasi Banjir dan Genangan di Wilayah Jabotabek. Bogor.

Dunne, T. and L.B. Leopold. 1978. Water in Environmental Planning. W.H.


Freeman & Comapny. New York.

Kompas. 7 Februari 2002. Banjir, Akibat dari Keserakahan Ekonomi.

Pusat Data dan Informasi Publik. 2002. Dirjen Sumber Daya Air:Dua Macam
Penyebab Banjir di Indonesia. Artikel di http://www.kbw.go.id pada
tanggal 22/02/2002.

Republika. 4 Februari 2002. Sungai-sungai yang Mengepung Jakarta.

Silalahi, M.D. 2002. Kasus Puncak: Pelanggaran Hukum Tata Ruang dan
Lingkungan, Siapa yang Bertanggung Jawab? Harian Kompas edisi 20
Februari 2002 hal 28

27
I. Pokok-pokok bahasan dari : Prof. Drs. Indro Wuryatno, MSi.

Dalam makalah sudah disampaikan beberapa faktor fisik dan sosek sebagai
penyebab banjir, namun ada beberapa hal yang belum dibahas yaitu :

A. Fisik

1. Dari segi curah hujan hanya dilihat dari intensitas hujannya, namun belum
dikaji mengapa pada tahun 2002 curah hujan begitu tinggi. Informasi dari
geofisika mengemukakan adanya :

a. Pengaruh badai tropis yang walaupun tidak masuk ke Indonesia namun


menyebabkan terbentuknya awan putih yang ada di Jakarta dan
Sumatera terutama Sumatera Barat dan Medan.
b. Di Jawa pengaruh datang dari badai Fransisca yang ada di Samudera
Indonesia dan Badai yang terdapat di Australia. Walaupun tidak
sampai ke Indonesia tetapi mempengaruhi cuaca di Indonesia.

2. Dalam hal saluran drainase perlu ditinjau :

a. Sedimentasi di muara sungai yang akan mengakibatkan pendangkalan


bahkan membentuk delta sehingga dapat menghambat air masuk ke
laut.
b. Sedimentasi pada saluran-saluran di daerah hilir perlu dilihat
ketebalannya sehingga dapat diketahui limpasan dari saluran tersebut.

3. Dari faktor perubahan penutupan lahan telah disinggung perubahan lahan


menjadi bangunan tetapi belum disinggung adanya semacam cekungan air
atau ruang bebas pada setiap pemukiman yang disarankan serta berapa
persen besarnya.
4. Dari faktor karakteristik DAS belum dilihat pola aliran sungai, karena pola
aliran sungai akan mempengaruhi waktu dan lamanya aliran.
5. Vegetasi dilihat dari tegakan yaitu berapa rata-rata diameter tegakan yang
tentunya akan berpengaruh pada besarnya tajuk. Ini kotradiktif dengan
pernyataan pada penutup yang menyatakan bahwa keberadaan hutan kurang
berperan dalam mengendalikan banjir, sehingga pengendalian banjir harus
simultan dengan aspek teknis dan sosial lainnya.

B. Sosial Ekonomi

1. Dari segi pendanaan, rencana yang telah disusun dalam pelaksanaannya


tidak transparan dan tidak diberitahukan kepada masyarakat.
2. Banjir dan kekeringan itu sudah ada siklusnya yaitu 5 tahunan untuk banjir
dan 8 tahunan untuk kekeringan. Namun maju dan mundurnya tergantung
penyimpangan cuaca.

Untuk solusi jangka panjang diharapkan ada pengetrapan mengenai etika


lingkungan pada masyarakat yang menjurus pada ekologi daerah.

28
Dampak belum banyak dikupas dan untuk BTP DAS dampak dilihat secara
holistik walaupun hanya merupakan bagian-bagian yang kecil. Sedang dampak dari
segi lingkungan yaitu dampak biotik dan abiotik
Misal : untuk dampak abiotik :
- berapa sawah dan kolam yang tergenang
- Sarana dan prasarana umum yang rusak
- Kesehatan masyarakat dengan munculnya penyakit

29
II. Pokok-pokok bahasan dari : Prof. Dr. Sunyoto Usman, MA

Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya Penyebab Banjir


• tegasnya penegakan hukum
• Perilaku masyarakat yang kurang sadar akan lingkungan
• Timpangnya pembangunan

Komentar
• Masih terlalu umum, masih belum rinci
• Aturan yang mana? Bisa berupa: Undang-undang, Kepres, Kepmen, Perda
• Masyarakat yang mana? Bisa kategori pekerjaan, pendidikan, etnis, status
kependudukan dsb.
• Pembangunan apa yang timpang? Bagaimana mengukur ketimpangan itu?

Peta Studi Fenomena Sosial Ekonomi dan Budaya

Community
Setting

Level
Fenomena Analisis

Community Setting
• Batas administratif: desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, negara
• Batas ekologi: daerah DAS, pertanian dsb
• Batas sosial: etnis, agama, profesi, pendidikan, pekerjaan dsb.
• Batas-batas itu tidak selamanya berhimpitan

Level Analisis
• Individu – tetap dalam konteks interaksi
• Keluarga - nucleus family, extended family
• Kelompok/Organisasi - berstruktur, tidak berstruktur
• Komunitas (Community) – terhimpun oleh sebuah kepentingan tertentu
• Masyarakat (Society) – terhimpun dari banyak kepentingan

Fenomena sosial ekonomi dan budaya


• Hukum: aturan, sangsi, aparat hukum, peradilan
• Perilaku: terkait dengan sikap, persepsi, kepentingan, kebutuhan, status, peran
dan nilai
• Ketimpangan: terkait dengan pilihan kebijakan, resources, akses

30
Variabel dan Kategori
• Variabel – able to vary, dirumuskan berdasarkan teori tertentu, penelitian survey
• Kategori – dirumuskan berdasarkan pengamatan lapangan, penelitian grounded
• Hubungan kausal (apabila … , maka …)
• Hubungan menyangatkan (semakin …., semakin ….)
• Penelitian eksploratif dan diskriptif bisa menghasilkan kategori-kategori

Stakeholders

Masyarakat

Sektor Ketiga: LSM, Media Massa


Profesional, Organi- sasi
Keagamaan

Sektor Publik:Institusi Politik, Sektor Swasta: Pelaku Bisnis


Instiitusi Birokrasi Profit oriented
Nonprofit-oriented

Catatan :

- Dalam menunjukan penyebab jangan terlalu umum artinya harus


dikategorikan, karena hal ini berhubungan dengan treatment yang akan
dilakukan. Bila status berbeda maka perlu penanganan yang berbeda.
- Inti dari keempat komentar yang disajikan menunjukkan bahwa sebuah studi
perlu kerangka konsep yang jelas, dalam sebuah studi sebenarnya perspektif
apa yang berkembang.
- Dalam studi harus ada eksplanasi yang jelas untuk menerangkan keterkaitan
antar variabel dan kategori sehingga dapat diterangkan hubungan antara
penyebab dan akibat.
- Untuk mendekati sebuah fenomena tidak bisa sepotong-sepotong tetapi
harus komprehensif dan dilihat dari seluruh struktur sosial yang ada dalam
masyarakat yang merupakan stakeholders.
- Untuk ke depan yang harus dilakukan :
a. Banjir harus diakui sebagai fenomena yang bakal terjadi (bukan hanya
gejala alam), sehingga banjir menjadi suatu kesadaran yaitu bahwa
banjir merupakan fenomena yang tidak perlu ditakuti tetapi bagaimana
menyikapinya, maka perlu dikembangkan upaya untuk mengatasinya.
b. Bagaimana mengembangkan kesadaran tersebut pada :
- Institusi birokrasi (ada pusat untuk mengatasi banjir)
- Institusi politik sehingga punya perhatian pada masalah tersebut.

31
- Sektor swasta : bagaimana keterlibatannya (mis : perlu ada aturan
bila tidak ada perhatian terhadap lingkungan tidak diberi ijin)
- Dalam masalah banjir, variabel ekonomi yang perlu dilihat berapa kerugian
banjir dan bila disantuni siapa yang harus melakukan, untuk itu perlu
dikembangkan perumusan pendugaan kerugian banjir.

32
III. Pokok-pokok bahasan dari : Drs. Suyono, MSi (mewakili Prof. Dr. Sutikno)

Yang dapat dilihat sebagai bencana (dalam suatu DAS) sebenarnya bukan hanya
banjir tetapi :
1. Banjir
2. Erosi
3. Penurunan udara
4. Penurunan air tanah
5. Merosotnya kesuburan

Dalam banjir perlu dilihat :

1. Dari upstream ke downstream dimana untuk daerah Jakarta downstream ini


untuk mencapai pantai cukup panjang dan daerah ini yang merupakan obyek
banjir yang seringkali masyarakat tidak tahu hal itu.
2. Perlu diketahui daerah mana yang rawan banjir dan bencana lainnya dan hal
ini perlu dipetakan dan disosialisasikan ke masyarakat agar masyarakat tahu
dan menyadari sehingga tidak terjadi seperti sekarang ada perubahan
penggunaan lahan tetapi tidak diikuti sestem drainase yang baik.

Faktor yang mempengaruhi hidrograf banjir :

A. Hujan :
1. Jumlah
2. Sebaran
3. Intensitas
4. Durasi
5. Urutan kejadian hujan

B. Biogeofisik (berpengaruh pada jumlah hujan efektif yang menjadi aliran


langsung)
1. Kemiringan lereng (alur, permukaan tanah)
2. Infiltrasi (tekstur, struktur tanah, tebal solum, batuan induk)
3. Penutupan tanah
4. Depresi permukaan

Untuk itu, perlu dideteksi daerah-daerah yang secara biogeofisik berpengaruh


pada banjir.

C. Morfometri DAS, antara lain :


1. Luas
2. Panjang sungai
3. Gradien sungai
4. Pola alur sungai
5. Bentuk DAS

33
Catatan :

1. Keberatan di penutup yang menyatakan bahwa keberadaan hutan kurang


berperan dalam mengendalikan banjir. Hal ini dikhawatirkan
persepsi/penerimaan masyarakat akan salah. Sebenarnya hutan juga berperan
pada hujan
Mis.:
- Intersepsi di hutan tropis 40 % artinya hujan yang besar yang jatuh 40 %
menyangkut di tajuk daun. Sedang untuk Pinus 24 – 32 %
- Peran lantai hutan
(pada gambar disajikan batas alami tegakan hutan untuk merespon hujan)

2. Hal lain yang perlu diketahui yaitu berapa kemampuan masing-masing DAS
untuk merubah hujan agar tidak menjadi banjir.
3. Bagaimana membangun kelembagaan untuk badan pengelola DAS. Untuk
mengatasi perlu :
a. Dilakukan identifikasi masalah dari aspek fisik dan sosekbud, sehingga
diketahui daerah rawan bencana, penutupan lahan dan lain-lain.
b. Dilakukan zonasi wilayah penanganan masalah yang harus disepakati
bersama oleh instansi terkait yang keberadaannya diakui.
c. Dikeluarkan produk yang diperkuat secara hukum
4. Untuk solusi jangka panjang yaitu :
a. Perlu pendidikan lingkungan yang dimulai dari tingkat dasar karena
apa yang sudah membudaya sulit dirubah.
b. Perlu ada tata ruang yang berwawasan lingkungan yang disepakati
bersama dan dilandasi peraturan yang ada

34
Foto 1. Tema Diskusi

Foto 2.
Kepala BTP DAS
Surakarta beserta ketiga
pembahas (Drs. Suyono,
MS ; Prof. Dr. Sunyoto
Usman, MA.; Prof. Drs.
Endro Wuryatno, MSi).

Foto 3.
Pemakalah
Drs. Irfan Budi Pramono, MSc
Foto 4. Pemakalah Ir. Syahrul Donie

Foto 5. Peserta Diskusi

Foto 6. Peserta Diskusi


Topik-Topik Penelitian Pasca Banjir:

I. Ukuran Sumur Resapan dan Penyebarannya


di Jabotabek dalam Rangka Pengendalian Banjir di Jakarta

1. Latar Belakang:
Sumur resapan merupakan salah satu solusi untuk mengendalikan banjir di Jakarta.
Ukuran sumur resapan atau volume tampung erat kaitannya dengan kemampuan
tanah menyerap air (infiltrasi dan perkolasi). Sifat fisik tanah di daerah tangkapan air
yang masuk di Jakarta sangat bervariasi sehingga tiap daerah membutuhkan ukuran
sumur resapan yang berbeda-beda.
Perlu dikaji ukuran sumur resapan untuk tiap-tiap daerah dan kemudian disusun peta
penyebarannya.

2. Tujuan:
Mendapatkan ukuran sumur resapan yang ideal di tiap-tiap daerah sesuai dengan sifat
fisik tanahnya.

3. Metode:
Survey pengumpulan data primer (infiltrasi & perkolasi) dan data sekunder (jenis
tanah, hujan, kemiringan lereng dll)

4. Output:
Peta Penyebaran ukuran sumur resapan di Jabotabek

5. Outcome:
Pemerintah daerah dapat membuat peraturan tentang kewajiban pembuatan sumur
resapan berikut dengan ukurannya untuk tiap-tiap zone pedologi tertentu sehingga
banjir di Jakarta dapat dikurangi.
II. Peran Beberapa Penggunaan Lahan dalam Mengendalikan Runoff
pada Beberapa Kelerengan

1. Latar Belakang:
Salah satu penyebab banjir adalah perubahan penggunaan lahan. Perubahan
penggunaan lahan dapat meningkatkan runoff. Perlu diketahui peran beberapa
penggunaan lahan dalam merespon hujan menjadi runoff.

2. Tujuan:
Mendapatkan data runoff dari beberapa macam penggunaan lahan dan pada beberapa
kemiringan lereng.

3. Metode:
Pengumpulan data sekunder dengan mereview beberapa hasil penelitian yang telah
dihasilkan oleh beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi

4. Output:
Informasi runoff penyebab banjir

5. Outcome:
Pengendalian banjir dengan modifikasi penggunaan lahan

.
III. Identifikasi dan Pengembangan Kearifan Lokal dalam
Pengendalian Banjir dan Longsor

1. Latar Belakang:
Banjir dan longsor adalah kejadian yang sudah lama terjadi di daerah tropis. Curah
hujan yang tinggi, topografi yang terjal, struktur geologi yang lemah menyebabkan
suatu daerah mudah terkena banjir dan longsor. Karena kejadian alam tersebut sudah
lama mulai terjadi maka sebetulnya dalam masyarakat tertentu sudah dikembangkan
kearifan teknologi lokal yang mungkin belum tergali. Untuk itu diperlukan
identifikasi dan pengembangan teknologi tersebut sehingga dapat diterapkan di
daerah lain yang mempunyai karakteristik sama.

2. Tujuan:
Mendapatkan teknologi lokal dalam mengatasi banjir dan longsor

3. Metode:
Survey ke lokasi-lokasi yang terkenan musibah banjir dan longsor dan
mewawancarai masyarakat.

4. Output:
Teknologi pengendalian banjir dan longsor dari masyarakat lokal

5. Outcome:
Banjir dan longsor dapat dikurangi dengan teknologi yang sederhana, mudah, dan
murah
IV. Pemberdayaan Masyarakat Hulu dan Hilir akan Bahaya Banjir

1. Latar Belakang:
Dengan adanya banjir masyarakat hilir menyalahkan masyarakat hulu yang kurang
peduli pada pengendalian banjir.

2. Tujuan:
Mendapatkan cara untuk memberdayakan masyarakat baik hulu maupun hilir dalam
mengendalikan banjir

3. Metode:
Survey untuk mendapatkan klarifikasi masyarakat hulu dan hilir
Pembentukan kelompok masyarakat hulu dan hilir

4. Output:
Sistem informasi banjir
Kontribusi masyarakat hilir kepada masyarakat hulu dan sebaliknya

5. Outcome:
Masyarakat yang mandiri dalam mengendalikan banjir

You might also like