You are on page 1of 3

BUDAYA LOKAL MERAJUT DAMAI DALAM KEBERAGAMAN Oleh: Setio Wawan Adiatma (SMAN Mojoagung, Jombang) Keanekaragaman agama

maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu penyebab konflik. Keragaman telah menjadi bagian sejarah dan realitas kehidupan kemanusiaan, sehingga ia merupakan fenomena alamiah yang eksistensinya selalu muncul. Data menunjukkan bahwa konflik bernuansa agama sering terjadi di Indonesia. Kasus pembakaran rumah ibadah di Situbodo tahun 1997, Tasikmalaya, Halmahera pada tahun 2002, konflik Poso pada Desember 2003, dan kasus terakhir yang masih hangat adalah penyerangan terhadap rumah pengikut Ahmadiyah yang terjadi di desa Cikeusik, Pandeglang, Banten. Kasus-kasus tersebut sebagian besar melibatkan unsur agama di dalamnya. Konflik-konflik yang muncul dimungkinkan terjadi akibat ambiguitas dalam interpretasi menurut tingkat pemahaman, penghayatan, dan moralitasspiritualitas penganutnya. Hal tersebut tampak dalam penggunaan konsep-konsep atau simbol-simbol agama untuk orientasi tertentu ketika melibatkan emosi keagamaan penganutnya. Untuk itu, menghindari konflik atau mewujudkan kerukunan umat beragama merupakan nilai universal. Dengan nilai ini, semua manusia melalui agamanya diharapkan dapat hidup berdampingan secara damai, saling menghormati, saling toleransi, dan bekerjasama dalam menangani persoalan kemanusiaan. Di antara usaha untuk penghindari konflik atau mewujudkan kerukunan umat beragama itu, tentunya ada upaya untuk saling mengenal di antara agama-agama melalui dialog antar umat beragama. Dialog antar ummat beragama sebagai usaha menciptakan suasana kondusif merupakan hal yang efektif. Dialog tersebut bisa dimunculkan secara alami melalui perayaan-perayaan bersama sebagai mekanisme pendingin ketegangan. Sesungguhnya ada banyak mekanisme sosial yang secara tradisional bisa berfungsi sebagai shockbreaker. Kalau kita lihat di desa-desa, ada upacara desa, baik yang informal seperti tradisi panen raya, maupun yang formal seperti

17 Agustusan. Itu semua merupakan kesempatan dan cara masyarakat untuk saling memahami tradisi masing-masing1. Tradisi-tradisi pada masing-masing komunitas merupakan keunggulan budaya bangsa Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dengan proses lahirnya bangsa dan negara Indonesia itu sendiri. Sejak diproklamasikan menjadi negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, sejak saat itu lahir pula kebudayaan bangsa atau kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebudayaan nasional menjadi ciri dan identitas jati diri bangsa Indonesia dan oleh sebab terus dipelihara dan dikembangkan sebagai bentuk pelestarian kebudayaan2. Makna pelestarian kebudayaan tidak dalam arti menjaga keaslian, tetapi bersifat dinamis. Pelestarian dalam arti dinamis meliputi empat unsur, yaitu pembinaan, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan3. Yang dimaksud dengan pembinaan ialah upaya bangsa. peningkatan kemampuan kecerdasan, kepribadian, kreativitas dan keterampilan pemilik dan pendukung kebudayaan Perlindungan kebudayaan ialah menjaga, memelihara, dan merawat kebudayaan agar tidak rusak, punah, atau hilang yang disebabkan oleh alam, hewan atau tangan manusia. Sementara itu, yang dimaksud dengan pengembangan kebudayaan ialah meneliti, menggali, dan mengkaji kebudayaan untuk mengembangkan teori kebudayaan atau untuk memperkaya makna kebudayaan yang sudah ada. Pemanfaatan kebudayaan dilakukan untuk membentuk watak dan jati diri bangsa, perekat persatuan bangsa, dan untuk menjalin persahabatan antarbangsa. Bentuk nyata pemanfaatan kebudayaan ini adalah komunikasi budaya. Komunikasi budaya antar ummat beragama di daerah Jombang, Jawa Timur tampak pada kegiatan budaya lokal setempat. Komuikasi dalam bentuk budaya lokal ini membangun historis positif dalam kehidupan beragamanya. Sebagai daerah yang memiliki salah satu gereja tertua di Jawa dan terkenal dengan kota 1001 pesantren, sampai saat ini belum pernah mengalami konflik
1

Paul Makugoro, Meredam Konflik di Indonesia, (http://reformata.com/news/view/), (diakses tanggal 4 November 2011). 2 Edi Sedyawati, Kebudayaan dan Agama, (Jurnal Depdikbud: Jakarta, 2007), hal.9. 3 _______, Op.Cit. hal. 19.

yang berbau SARA. Budaya lokal yang menjadi komunikasi budaya pada daerah ini adalah tradisi panen raya. Tradisi panen raya di Jombang tepatnya di Mojowarno di sebut dengan unduh-unduh. Tradisi ini sudah terlaksana sejak 129 tahun. Ritual seperti ini dilakukan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur untuk menyambut datangnya musim panen pertama dan merupakan puncak dari rangkaian kegiatan pertanian masyarakat wilayah Kecamatan Mojowarno. Tradisi ini, seperti tahun-tahun sebelumnya dipusatkan di GKJW Mojowarno, yang merupakan salah satu gereja tertua di Jawa. Sejak seminggu sebelum acara ini digelar, juga diadakan pameran atau bazar di lapangan sebelah bangunan gereja, yang pesertanya dari masyarakat umum, bahkan didomiasi dari para pelaku UMKM muslim yang ada di Jombang. Tentu ini sebuah dialog ekonomi dan dialog sosial yang baik di antara pemeluk agama yang berbeda. Hasil bumi tersebut selanjutnya dilelang dan uang hasil pelelangan akan disumbangkan kepada warga miskin. Komunikasi budaya sangat tampak pada tradisi unduh-unduh. Kegiatan yang sangat identik dengan ritual agama tertentu ini menjadi sebuah tradisi budaya lokal yang menarik. Jauh sebelum kegiatan berlangsung dibentuk panitia yang di dalamnya tidak hanya terdiri atas ummat kristiani tetapi banyak juga melibatkan ummat muslim. Bentuk komunikasi budaya alami inilah yang membawa keberagaman menjadi indah, sehingga budaya lokal ini tetap bertahan hingga sekarang, tetap semarak, tetap aman, meskipun berada di Kota Santri, Kota 1001 Pesantren.

You might also like