You are on page 1of 7

Akulturasi

Akulturasi merupakan sebuah istilah dalam ilmu Sosiologi yang berarti proses pengambil alihan unsur-unsur (sifat) kebudayaan lain oleh sebuah kelompok atau individu. Adalah suatu hal yang menarik ketika melihat dan mengamati proses akulturasi tersebut sehingga nantinya secara evolusi menjadi Asimilasi (meleburnya dua kebudayaan atau lebih, sehingga menjadi satu kebudayaan). Menariknya dalam melihat dan mengamati proses akulturasi dikarenakan adanya Deviasi Sosiopatik seperti mental disorder yang menyertainya. Hal tersebut dirasa sangat didukung faktor kebutuhan, motivasi dan lingkungan yang menyebabkan seseorang bertingkah laku.

Hal seperti diatas diumpamakan dengan orang Indonesia (Timur, umumnya berasal dari kelas bawah) yang sedang beralkuturasi dengan jalan memakai sepeda motor buatan bangsa Jepang. Jadi disini, Akulturasi ditandai dengan seorang individu yang mengambil alih unsur budaya Jepang seperti mesin kendaraan bermotor dengan merk Yamaha. Saat orang Timur tersebut (ras Malayan) mulai beradaptasi dengan kendaraan bermotor Yamaha buatan Urang Jopang tersebut maka secara fisik Reference Groupnya tentu orang-orang yang menjadi bintang iklan dari produk kendaraan bermotor Yamaha tersebut yang sering ditayangkan di media-media komunikasi seperti koran, majalah dan Televisi. Secara kejiwaan diasumsikan dia akan mempunyai pemikiran bahwa statusnya menjadi lebih tinggi ketika memakai kendaraan bermotor tersebut dan merasa sudah menjadi orang modern serta secara sosial akan mencari individu lain yang sama dengannya, dalam artian sejenis dengan motor yang dimilikinya. Jadi disini, keinginan untuk membentuk sebuah Gemeinschaft dengan patokan motor Yamaha akan timbul. Secara kekutan egonya, id nya yang sudah berkata bahwa dirinya sudah berstatus orang modern dan kelihatan keren sehingga dia cenderung membuat gap dengan orang lain (anti sosial) dan super egonya mungkin menyuruhnya untuk berperilaku meninggalkan ciri-ciri ketimuran (sebagaimana dia orang Indonesia) dan cenderung mengindentifikasikan dirinya sebagai seorang Jepang sehingga egonya akan cenderung berperilaku seperti orang Jepang yang umumnya mempunyai pengetahuan tentang moral orang Indonesia sebagai orang yang lemah karena tidak bertanggung jawab, kurang memiliki loyalitas kepada yang memberi tugas dan tidak disiplin.

Cara adaptasi diatas bila tidak dengan konformitas dengan daerah dan kebudayaan Indonesia sendiri akan menimbulkan konflik, anomi maupun mental disorder tersendiri yang bila tiada nilai keimanan maka akan cendrung menjadi Deviant dengan segala tindakan Deviasinya. Kalaupun dipaksakan dalam hal adaptasinya sehingga menjadi inovasi maka akan menimbulkan mental disorder yang bila dihubungkan dengan mengendarai kendaraan bermotor akan terjadi kecelakaan seperti tabrakan (karena faktor kebutuhan, motivasi dan lingkungan ataupun karena keinginan bunuh diri yang disebabkan sakit jiwa, ras dan imitasi a la Emile Durkheim) yang banyak dijumpai kasusnya di daerah-daerah Indonesia seiring dengan rakyat Indonesia yang sedang berakuturasi dengan kendaraan bermotor buatan luar negeri.

KOMUNIKASI DAN AKULTURASI

Thomas Glick (1997) akulturasi adalah proses pergantian budaya yang di set dalam gerakan dari pertemuan sistem budaya yang autonom. Menghasilkan sebuah peningkatan persamaan antara satu dengan yang lainnya. Robert Redfield, Ralph Linton dan Melville Herskovits dalam american antropologist (1936) akulturasi merupakan sebuah hasil ketika dua kelompok budaya dari individu-individu saling bertukar perbedaan budaya, timbul dari keberlanjutan perjumpaan pertama. Dimana terjadi perubahan dari pola asli kebudayaan dari kedua kelompok tersebut. Dalam proses komunikasi pastinya mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi seorang imigran pun memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang imigran akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain.Dan itu dilakukannya lewat komunikasi.Proses trial and error selama akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antar pribadi, ekspresi wajah, gerak mata,gerak tubuh lainnya,dan persepsi tentang penting tidaknya prilaku nonverbal. Bahkan bila seorang imigran dapat menggunakan pola-pola komunikasi verbal dan nonverbal secara memuaskan, ia mungkin masih akan mengalami sedikit kesulitan dalam mengenal dan merespons aturan-aturan komunikasi bersama dalam budaya yang ia masuki itu. Imigran sering tidak sadar akan dimensi-dimensi budaya pribumi yang tersembunyi yang mempengaruhi apa yang di persepsikan dan bagai mana mempersepsi, bagaimana menafsirkan pesan-pesan yang diamati, dan bagaimana mengekspresikan

pikiran dan prasaan secara tepat dalam konteks relasional dan keadaan yang berlainan. Perbedaan-perbedaan lintas budaya dalam aspek-aspek dasar komunikasi ini sulit diidentifikasi dan jarang dibicarakan secara terbuka. Perbedaan-perbedaan tersebut sering merintangi timbulnya saling pengertian antar para imigran dan anggota-anggota masyarakat pribumi. Bila kita memandang akulturasi sebagai proses pengembangan kecakapan berkomunikasi dalam sistem sosio-budaya pribumi, perlulah ditekankan fakta bahwa kecakapan berkomunikasi sedemikian diperoleh melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi.Orang belajar berkomunikasi dengan berkomunikasi. Melalui

pengalaman-pengalaman berkomunikasi yang teruss menerus dan beraneka ragam, seorang imigran secara bertahap memperoleh mekanisme komunikasi yang ia butuhkan untuk menghadapi lingkungannya. Keccakapan berkomunikasi yang telah diperoleh imigran lebih lanjut menentukan seluruh akulturasinya. Kecakapannya ini terutama terletak pada kemampuan imigran untuk mengontrol perilakunya dan lingkungan pribumi. Kecakapanimigran dalam berkomunikasi akan berfungsi sebagai seperangkat alat penyesuaian diri yang membantu imigran memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelangsungan hidup dan kebutuhan akan rasa memiliki dan harga diri (maslow, 1970:47).Survei tentang imigran-imigran asal korea dan indocina di amerika serikat dalam penyesuaian diri secara psikologis, sosial, dan ekonomis. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Kecakapan komunikasi yang diperolehnya, pada gilirannya menunjukkan derajat akulturasi imigran tersebut. Derajat akulturasi imigran tidak hanya direfleksikan dalam, tapi juga di permudah oleh, derajat kesesuaian antara pola-pola komunikasinya dan pola-pola komunikasi masyarakat pribumi yang disetujui bersama. Ini tidak berarti bahwa setiap rincian prilakukomunikasi seorang imigran dapat diamati untuk memahami akulturasinya, tidak pula berarti bahwa semua aspek akulturasinya dapat dipahami melalui pola-pola komunikasinya. Namun, dengan memusatkan perhatian pada beberapa variabel komunikasi yang penting dalam proses

akulturasi, kita dapat memperkirakan realiitas akulturasi pada suatu saat tertentu dan juga meramalkan tahap akulturasi selanjutnya.

Culture shock
Jika seseorang memasuki alam kebudayaan baru, timbul memacam kegelisahan dalam dirinya. Kecenderungan dalam menghadapi sesuatu yang baru ini bersifat alami dan normal. Tetapi perasaan itu dapat mengarah pada rasa takut, tidak percaya diri, tekanan dan frustasi. Apabila hal demikian terjadi pada seseorang, maka dikatakan ia sedang mengalami culture shock , yakni masa khusus transisi serta perasaanperasaan unik yang timbul dalam diri orang setelah ia memasuki suatu kebudayaan baru. Orang yang mengalami fenomena culture shock ini akan merasakan gejala-gejala fisik seperti pusing, sakit perut, tidak bisa tidur, ketakutan yang berlebihan terhadap hal yang kurang bersih dan kurang sehat, tidak berdaya dan menarik diri, takut ditipu, dirampok, dilukai, melamun, kesepian, disorientasi dll.(Dodd, 1982:97-98). Karena sifatnya yang cenderung disorientasi, culture shock , menghambat KAB yang efektif.

Tahap-Tahap Culture Shock


Tahap-tahap yang dilalui seseorang dalam mengalami proses transisi tersebut telah diteliti oleh beberapa ahli (Dodd, 1982:98) :

a. Harapan besar (eager expectation ) : Dalam tahap ini, orang tersebut merencanakan untuk memasuki kebudayaan kedua atau kebudayaan baru. Rencana tersebut dibuatnya dengan bersemangat, walaupun ada perasaan waswas dalam menyongsong kemungkinan yang bisa terjadi. Sekalipun demikian, ia dengan optimis menghadapi masa depan dan perencanaan dilanjutkan.

b. Semua begitu indah ( everything is beautiful ) : Dalam tahap ini segala sesuatu yang baru terasa menyenangkan. Walaupun mungkin beberapa gejala seperti tidak bisa tidur atau perasaan gelisah dialami, tetapi rasa keingin tahuan dan entusiasme dengan cepat dapat mengatasi perasaan tersebut. Beberapa ahli menyebut tahap ini sebagai bula madu . Dari penelitian-penelitian diketahuui bahwa tahap ini biasanya berlangsung beberapa minggu sampai enam bulan.

c. Semua tidak menyenangkan (everything is awful ) Masa bulan madu telah usai. Sekarang segala sesuatu telah terasa tidak menyenangkan. Setelah beberapa lama, ketidak-puasan, ketidak-sabaran, kegelisahan mulai terasa. Nampaknya semakin sulit untuk berkomunikasi dan segalanya terasa asing. Untuk mengatasi ras ini ada beberapa cara yang ditempuh. Seperti dengan cara melawan yaitu dengan mengejek, memandang rendah dan bertindak secara etnosentrik; kadang-kadang juga melakukan kekerasan dengan merusah bendabenda secara fisik, sehingga dapat menimbulkan kesulitan hukum bagi dirinya sendiri. Tahap selanjutnya melarikan diri dan mengadakan penyaringan serta pelenturan.

d. Semua berjalan lancar (everything is ok) Setelah beberap bulan berselang, orang tersebut menemukan dirinya dalam Keadaan dapat menilai hal yang positif dan negatif secara seimbang. Akhirnya ia telah mempelajari banyak tentang kebudayaan baru di luar kebudayaannya. Dari pembahasan di atas, akulturasi tidak terjadi secara sama dalam kehidupan setiap orang. Demikian pula sebagian orang bermotivasi untuk

You might also like