You are on page 1of 22

ARTIKEL I:

Pemberantasan Kemiskinan di Indonesia Terburuk di Asia


Sumber: http://ekbis.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/10/30/44073/Pemberantasan-Kemiskinandi-Indonesia-Terburuk-di-AsiaIndonesia dinilai sebagai negara terburuk dalam menanggulangi kemiskinan. Meski kaya akan berbagai sumber alam, tapi Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang jumlah orang miskinnya meningkat tiga tahun terakhir ini. Hasil penghitungan terbaru menunjukkan penduduk miskin Indonesia meningkat 2,7 juta orang tiga tahun terakhir ini. Yang lebih memalukan lagi, jangankan dibanding Thailand atau Malaysia, Indonesia bahkan tertinggal dari Kamboja dan Laos dalam mengurangi kemiskinan, ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Setyo Budiantoro. Setyo juga mempertanyakan kesenjangan di Indonesia yang justru semakin melebar. Dia mencatat, jumlah harta 40 orang terkaya di Indonesia tahun 2010 mencapai 71,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 680 triliun yang setara dengan 10,3 persen Product Domestic Bruto (PDB). Ini aneh, peningkatan kekayaan orang kaya itu melejit rata-rata 80 persen selama lima tahun terakhir. Jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang berkisar hanya enam persen per tahun, jelasnya. Dia berharap pemerintah merombak sistem pembangunan agar lebih adil dan menjadikan pengurangan kesejahteraan sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Selama ini target, tukas dia, strategi dan cara pengurangan kesenjangan tidak pernah ada pada dokumen resmi negara atau dalam perencanaan pembangunan. Menurut dia, melonjaknya angka kemiskinan diakibatkan beberapa faktor. Antara lain sedikitnya lahan produksi milik orang miskin, minimnya penyerapan tenaga kerja dan tidak adanya kebijakan pemerintah pusat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin. Penentuan garis kemiskinan Indonesia sangat politis. Kenaikan kriteria sedikit saja, angka kemiskinan melonjak tinggi. Politik angka kemiskinan untuk pencitraan pemerintah sangat rentan terjadi, katanya. Hal yang sama diungkapkan Research Assosiated Perkumpulan Prakarsa Luhur Fajar Martha. Menurutnya, program kemiskinan yang selama ini dikatakan cukup berhasil hanya dinikmati segelintir orang miskin. Faktanya, masih banyak problem penyalahgunaan dan disorientasi pembangunan yang dilakukan pemerintah. Ia mengimbau pemerintah mengadopsi garis kemiskinan, sekaligus mengukur keadilan ekonomi. Misalnya, mengukur garis kemiskinan 60 persen dari rata-rata pendapatan atau pengeluaran lingkungannya untuk mengukur ketimpangan sosial. Keadilan sosial ekonomi harus dimasukkan dalam target pembangunan untuk mencegah ledakan sosial dan menjaga pembangunan terus berkelanjutan, tandasnya. Anggota Komisi VIII DPR Sayed Fuad Zakaria menyayangkan lambannya penurunan angka kemiskinan oleh pemerintah. Ia menilai, kelembagaan yang menangani kemiskinan menjadi salah satu faktor. Selama ini kemiskinan dikelola oleh 19 kementerian/lembaga.

Itu sangat tidak efektif, ada ego sektoral yang menghambat koordinasi antar lembaga. Bukan itu saja, kalau ingin serius menangani kemiskinan anggarannya juga harus sebanding dan ada skala prioritas, tegas anggota Fraksi Partai Golkar ini. Menanggapi itu, Dirjen Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial (Kemensos) Rusli Wahid membantah stigma bahwa program pemberantasan kemiskinan hanya pencitraan. Dia menegaskan, pemerintah sudah berusaha menangani itu dengan berbagai program pro rakyat. Kita lihat angka penurunan kemiskinan itu ada, ungkapnya kepada Rakyat Merdeka. Rusli menyatakan, seluruh program yang dibuatnya telah disesuaikan dengan kondisi wilayah dan sifatnya berjenjang. Mulai dari pusat sampai daerah. Pemerintah juga terus berupaya menambah alokasi anggaran kemiskinan dan melibatkan seluruh stakeholder, kalangan dunia usaha di tiap provinsi, kabupaten untuk memfasilitas

ARTIKEL II:

Angka Kemiskinan Indonesia Turun


Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/166871

JAKARTA, (PRLM).- Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim, angka kemiskinan di Indonesia per Maret 2011 turun 1 juta orang atau 3,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang, sedangkan Maret 2010 berjumlah 31,02 juta orang. Penduduk miskin menurut BPS adalah masyarakat yang pengeluran per bulannya sebesar atau kurang dari Rp 233.740 per kapita atau sekitar 0,85 dolar AS per kapita per hari. Data BPS menunjukan, sejak 2007 sampai 2011 jumlah penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan. Namun, di sisi lain, tahun ini jumlah penduduk hampir miskin justru bertambah 5 juta orang. Pertambahan ini berasal dari 1 juta penduduk miskin yang naik status menjadi hampir miskin dan 4 juta penduduk tidak miskin yang turun status menjadi hampir miskin. Total, jumlah penduduk hampir miskin tahun ini menurut data BPS mencapai 27,12 juta jiwa atau sekitar 10,28 persen dari total populasi. Jika ditambahkankan dengan penduduk miskin, jumlahnya hampir mencapai 60 juta orang. BPS mencatat, selama tiga tahun terakhir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada 2009 jumlah penduduk hampir miskin berjumlah 20,66 juta jiwa atau sikitar 8,99 persen dari total penduduk Indonesia. Pada 2010, jumlahnya bertambah menjadi 22,9 juta jiwa atau 9,88 persen dari total penduduk Indonesia. Menurut BPS, ukuran hampir miskin adalah 1,2 kali dari garis kemiskinan. Jika garis kemiskinan Maret 2011 adalah pengeluaran Rp 233.740 per kapita per bulan, maka yang masyarakat hampir miskin ini pengeluaran per kapita per bulannya di bawah Rp 280.488 atau masih dibawah Rp 10.000 per hari. Padahal pada 2010 saja, perhitungan garis kemiskinan di Filipina sudah menggunakan ukuran 1,5 dolar AS per kapita per hari. Sementara Malaysia dan Thailand 2,5 dolar AS per kapita per hari. Standar Bank Dunia sendiri berada pada angka 2 dolar AS per kapita per hari. Saat itu ukuran di Indonesia masih 0,75 dolar AS per kapita per hari. Pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi menilai, tingginya kesenjangan ekonomi di Indonesia terjadi karena tidak berjalannya trickle down effect (efek menetes ke bawah). Menurut dia, hal itu terjadi karena adanya persoalan dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan perekonomian yang dilakukan pemerintah.

ARTIKEL III:

Cultuurstelsel & Kemiskinan Struktural di Jawa Abad ke-19


Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2011/05/03/cultuurstelsel-kemiskinan-struktural-di-jawaabad-ke-19/ Jangan pernah meremehkan orang-orang miskin, sebab dari mereka amarah bisa menggelegak menjadi sebuah revolusi sosial, revolusi yang dipelopori oleh orang-orang miskin yang akan membumi-hanguskan kaum-kaum yang selama ini menghina dan menempatkan orang miskin secara kurang ajar - Karl Marx Kemiskinan Sebelum berbicara lebih jauh mengenai kemiskinan, alangkah baiknya apabila kita berusaha memahami hakikat dan pengertian dari kemiskinan. Definisi kemiskinan sendiri memiliki banyak versi dan pandangan, sehingga definisi pasti mengenai kemiskinan masih belum diketahui sampai saat ini. Pengertian yang berbeda ini diperoleh dari perbedaan basic pemikiran dan pandangan masing-masing orang. Tetapi dalam hal pengertian konvensional, kemiskinan dapat dijelaskan dengan pendapatan individu/kelompok yang berada dibawah satu garis tertentu. Satu hal yang bisa disepakati ialah kemiskinan bukan menjadi semacam hak bagi masyarakat, tetapi menjadi kewajiban masyarakat seluruhnya untuk menanggulanginya. Kembali pada definisi, bagi mereka yang memiliki perspektif sosial tentu menyepakati definisi yang dijelaskan oleh Parsudi Suparlan bahwasanya kemiskinan merupakan sebuah standar hidup yang rendah dibawah standar hidup yang berlaku umum di masyarakat. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional juga memberikan definisi berbeda mengenai kemiskinan, dimana kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh seseorang, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Hal yang berbeda pula diberikan oleh Badan Pusat Statistik Nasional, dimana kemiskinan diukur dari tingkat ekonomi. Badan Pusat Statistik Nasional mendefinisikan garis kemiskinan dari besarnya rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang setara dengan 2100 kalori per kapita per hari, ditambah kebutuhan pokok lain seperti sandang, pangan, papan, dan pendidikan. Bahkan ada juga yang memakai indikator bangunan rumah dalam mendefinisikan kemiskinan. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta mendefinisikan kemiskinan dengan rumah yang berlantai tanah, luas rumah dibawah delapan meter persegi, pola makan tidak berganti, dan tidak mampu membeli pakaian baru. Kemiskinan itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga kategori: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan kultural. Mereka yang termasuk golongan miskin absolut adalah mereka yang penghasilannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk kebutuhan minimum (sandang, pangan, papan, pendidikan). Sementara yang termasuk golongan miskin relatif adalah mereka yang sebenarnya sudah berada diatas garis kemiskinan tetapi masih berada dibawah lingkungan sekitarnya. Terakhir, mereka yang disebut sebagai kelompok miskin kultural adalah mereka yang tidak mau berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan-hidupnya.

Mengenai faktor penyebab kemiskinan, ada berbagai faktor yang menjadi penyebab kemiskinan, antara lain: faktor individu, keluarga, sub-kultur, eksternal, dan struktural. Ketika berbicara mengenai permasalahan kemiskinan yang terjadi pada abad ke-19, maka kita akan lebih banyak berdiskusi mengenai kemiskinan struktural. Kemiskinan dimana menurut beberapa pakar adalah sebuah kemiskinan yang hadir bukan karena takdir, kemalasan individu, ataupun minimnya pendidikan. Kemiskinan jenis ini timbul lebih karena upayaupaya pemiskinan yang dilakukan oleh indiviu/kelompok yang lain. Sehingga mereka (orang-orang miskin) yang terlahir dari kemiskinan struktural ini adalah mereka yang dimiskinkan oleh orang lain. Cultuurstelsel Berbicara mengenai kemiskinan, maka Indonesia bisa dikatakan telah lama menghuni jurang kemiskinan. Hal ini karena sejak bernama Hindia Belanda hingga Negara Kesatuan Republik Indonesia, jumlah orang miskin terus merangkak naik dan upaya-upaya untuk menanggulangi kemiskinan masih sangat minim. Ketika melihat jumlah penduduk miskin di Indonesia yang menyentuh kisaran 49.5 juta jiwa, maka bisa diketahui bahwa hampir separuh dari penduduk Indonesia berada dibawah garis kemiskinan. Melihat dari kacamata historis, melambungnya jumlah penduduk miskin di Indonesia tidak lepas dari masa lalu Indonesia sendiri tentunya. Mencari akar kemiskinan di Indonesia jelas susah, karena akar ini bahkan sudah bermula sejak zaman sebelum kolonial Belanda masuk ke Indonesia. Sudah barang tentu faktor penyebab kemiskinan di Indonesia menjadi sebuah hal yang complicated akibat begitu banyaknya masalah dan semrawutnya benang-benang yang merangkai kemiskinan. Dengan pembatasan waktu pada abad ke XIX hingga XX, maka cultuurstelsel menjadi topik diskusi yang menarik untuk diangkat ke permukaan. Hampir semua sejarawan menyepakati bahwa masa cultuurstelsel merupakan masa yang paling eksploitatif dalam periode sejarah Indonesia. Masa eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah kolonial ini adalah imbas dari peperangan-peperangan yang terjadi di Jawa dan luar Jawa, serta kebangkrutan VOC tentunya, sehingga sebagai solusi diberlakukanlah kebijakan cultuurstelsel di Nusantara. Begitu diterapkan, sebagian besar rakyat Nusantara benarbenar berada pada titik nadir ketertindasan. Pemerintah kolonial tampaknya tahu benar bagaimana memanfaatkan sistem feodalisme yang ada di Indonesia. Cultuurstelsel adalah kebijakan pemerintah kolonial yang diterapkan oleh Gubernur Jendral Johannes Van den Bosch. Kebijakan ini dimulai pada tahun 1830, dimana masyarakat diwajibkan menyisihkan 20% tanahnya untuk penanaman komoditas ekspor seperti tebu, nila, dan kopi. Komoditas ekspor ini selanjutnya diserahkan kepada pemerintah kolonial untuk dijual kepada masyarakat internasional, dan pemasukan dari komoditas ekspor ini akan masuk ke kas pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sementara bagi penduduk desa yang tidak memiliki tanah di desa wajib bekerja pada kebun-kebun pemerintah kolonial selama 75 hari dalam setahun (20%). Johannes Van den Bosch yang mencetuskan kebijakan ini dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda dan ditunjuk sebagai gubernur jenderal di Hindia Belanda untuk meng-konkrit-kan kebijakannya. Sementara sebagai perusahaan yang menjalankan kebijakan ini adalah Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), dimana NHM merupakan reinkarnasi dari VOC yang telah bangkrut sebelumnya. Kebijakan ini muncul atas dasar anggapan bahwa rakyat Nusantara memiliki hutang kepada pemerintah kolonial, sehingga untuk melunasi hutang tersebut desa-desa harus mengikuti kebijakan tersebut. Bila pendapatan desa dari lahan 20% tersebut melebihi pajak tanah yang harus dibayar, maka oleh pemerintah kolonial akan dikembalikan. Tetapi jika kurang, maka desa harus membayar kekurangannya. Pada teorinya, kebijakan cultuurstelsel ini muncul sebagai jalan tengah pada masa krisis pemerintah kolonial Hindia Belanda, dimana

harapan yang muncul adalah sebuah kebijakan yang mendatangkan pemasukan bagi pemerintah kolonial tetapi tidak menyengsarakan rakyat Indonesia. Tetapi dalam lingkup praktek, ternyata yang terjadi adalah hal-hal yang bersifat eksploitatif tanpa peri-kemanusiaan. Hal ini adalah akibat dari budaya feodal yang ada di Nusantara pada saat itu. Perpaduan antara kebijakan kapitalisme cultuurstelsel dan kebudayaan feodal Nusantara menghasilkan penindasan kepada rakyat. Ketika hasil lebih dari pajak tanah itu diberikan kepada desa (lebih tepatnya tuan tanah/lurah), maka lurah tersebut berusaha seluas mungkin tanah yang ada dipakai untuk penanaman komoditas ekspor. Dari aturan yang semula menerapkan 20% tanah sebagai lahan untuk penanaman komoditas ekspor, berubah menjadi hampir 100% tanah digunakan untuk komoditas ekspor. Sementara untuk mereka yang tidak memiliki tanah, selama setahun penuh diwajibkan untuk bekerja pada perkebunan pemerintah. Selain itu pajak tanah yang seharusnya dibayarkan dari hasil 20% lahan tadi, menjadi sebuah pajak yang diluar dari lahan 20% lahan komoditas ekspor tersebut, dengan kata lain rakyat masih diharuskan membayar pajak tanah. Dampak dari penerapan kebijakan cultuurstelsel ini adalah bertambahnya angka kemiskinan di Nusantara (khususnya di Jawa). Hal ini sebagai akibat wabah penyakit dan kelaparan yang melanda Jawa sebagai hasil dari tiadanya penanaman komoditas pangan. Peran seorang tuan tanah dalam memerintah rakyat yang ada dibawahnya begitu besar, sehingga rakyat tidak bisa berbuat apa-apa. Kondisi kelaparan ini muncul karena tiadanya persediaan beras, tetapi komoditas ekspor begitu melimpah. Seperti yang terjadi di Cirebon pada tahun 1843 dan Jawa Tengah pada 1850, dimana harga beras melambung tinggi akibat produksi yang berkurang. Perpaduan antara kapitalisme dan feodalisme ini benar-benar membawa rakyat pada titik rendah kemanusiaan. Pada satu sisi, feodalisme membuat rakyat tidak bisa melawan pada penguasa lokal. Rasa sungkan ini meredam suara-suara perlawanan dari masyarkat Jawa. Semetara pada sisi yang lain, kapitalisme menjerumuskan masyarakat pada kemiskinan dan ketidakmakmuran. Sementara pemerintah kolonial sendiri tidak berniat untuk memajukan pemikiran para penguasa lokal melalui jalur pendidikan dan pelatihan. Pemerintah kolonial benar-benar memanfaatkan kondisi feodal Nusantara untuk memperoleh tenaga-tenaga gratis sehingga memberi pemasukan lebih kepada pemerintah. Rakyat yang tidak puas akan kebijakan baru ini pun memilih untuk menyingkir dari kehidupan desa. Urbanisasi menjadi salah satu pilihan untuk mencari kehidupan yang lebih sejahtera. Masyarakat berbondong-bondong pergi ke kota untuk bekerja sebagai buruh atau pegawai daripada menjadi tani. Jalan lain yang ditempuh adalah pencarian sosok Ratu Adil, sehingga kebutuhan pencarian sosok pemimpin baru ini berujung pada pemberontakan-pemberontakan. Begitu banyak pemberontakan yang terjadi pada masa penerapan cultuurstelsel. Tidak jarang mereka memberontak dengan cara merampok, sehingga begal dan bandit menjadi suatu hal yang tumbuh dengan pesat pada era tersebut. Mereka yang tidak bisa melawan pada akhirnya mati dengan ketertindasan dan keterjajahan. Ketika mencoba untuk mengklasifikasi jenis kemiskinan yang melanda di Jawa pada era penerapan kebijakan cultuurstelsel, maka dapat digolongkan kemiskinan tersebut merupakan kemiskinan struktural. Kemiskinan ini dipicu oleh aturan-aturan, kebijakankebijakan, dan regulasi-regulasi yang diciptakan oleh pihak penguasa untuk memiskinkan masyarakat. Kebijakan yang sangat menguntungkan pemerintah kolonial ini menyebabkan pemiskinan rakyat yang luar biasa. Dengan modal sesedikit mungkin, pemerintah kolonial Hindia Belanda menghendaki adanya keuntungan yang berlipat ganda. Sehingga, dengan diterapkannya kebijakan cultuurstelsel ini pemerintah mendapatkan sumber daya manusia beserta sumber daya alam yang gratis.

Kemiskinan yang terstrukur dan telah disistemkan dalam kebijakan cultuurstelsel ini bisa saja gagal apabila masyarakat Jawa saat itu telah mengetahui apa itu arti merdeka, bebas, dan demokrasi. Selain itu, apabila ketika itu para penguasa, bangsawan, dan para pamong praja mendapatkan pendidikan dan pelatihan khusus serta tidak ada pembedaan kelas, maka bisa dipastikan kebijakan ini tidak akan berjalan lancar. Budaya feodal, dimana raja (penguasa) merupakan sosok yang dipuja dan ditaati oleh rakyat menjadi seorang yang sangat dipatuhi oleh masyarakat Jawa saat itu. Seorang bangsawan (gusti) adalah sosok yang tidak mungkin dilawan oleh rakyat kecil (kawula alit) seperti mereka. Apapun yang diinginkan oleh penguasa pastilah harus ditaati oleh rakyat. Hal ini pun sangat mendukung sekali kebijakan cultuurstelsel, dimana pemerintah kolonial membutuhkan pemasukan berlebih untuk mengisi kas yang kosong. Sistem yang dibangun oleh masyarakat feodal Jawa dimanfaatkan sebagai alat untuk melanggengkan kapitalisme yang menguntungkan pemerintah kolonial. Kultur Jawa yang mendasarkan pada kerjasama dan gotongroyong mereka manfaatkan sebagai pengeruk sumber daya manusia dan hewan sebanyak-banyaknya. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri ketika itu ialah orang Jawa memiliki banyak anak untuk membagi kesusahan hidup bersama anak-anaknya, sehingga kesusahan itu apabila dirasakan bersama-sama maka akan semakin ringan. Inilah kemiskinan struktural itu, kemiskinan yang dibangun diatas sistem dan aturan/norma yang berlaku di masyarakat. Dan pemerintah kolonial Hindia Belanda berhasil memanfaatkan hal ini untuk mengeruk keuntungan berlebih dari masyarakat Jawa saat itu. Pasca Cultuurstelsel Kebijakan ini membawa dampak perlawanan yang begitu hebat dari seluruh lapisan masyarakat. Orang-orang liberal mengkritisi kebijakan ini dengan membawa isu eksploitasi yang berlebih terhadap inlander (pribumi). Dari kalangan masyarakat Belanda, muncul sosok Eduard Douwes Dekker (Multatuli) yang menulis novel Max Havelaar, sementara seorang jurnalis E.S.W. Roorda van Eisinga kerap menyuarakan pembebasan bagi rakyat Nusantara, dan di bidang politik Baron van Hoevell menjadi corong utama di parlemen pemerintah Kerajaan Belanda. Kebijakan eksploitasi ini diakhiri pada tahun 1870, walaupun untuk komoditas kopi baru hilang pada tahun 1915. Sebagai solusi, pemerintah kolonial menerapkan sistem sewa tanah (landrente) pada UU Agraria 1870. Selain itu pemerintah kolonial juga memunculkan kebijakan baru yang disebut Kebijakan Etis, yang terinspirasi dari tulisan Conrad Theodore van Deventer dalam jurnal De Gids yang berjudul Een Eerschuld. Kebijakan etis ini yang pada nantinya akan memunculkan semangat-semangat kebangkitan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Daftar Pustaka Zikrullah, Adam Y. Struktur Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan. Suparlan, Parsudi. Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan. 1984. Bappenas. Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Bappenas. 2005 Prasetyo, Eko. Orang Miskin Dilarang Sekolah!. Yogyakarta: Resist Book. 2008.

Wikipedia Indonesia. Kemiskinan. http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan. Waktu akses: 18 Maret 2009, 21:06. Survei Sosial Ekonomi Nasional 1998. Ricklef, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi. 2005. Wikipedia Indonesia. Tanam Paksa. http://id.wikipedia.org/wiki/tanam_paksa. Waktu akses: 18 Maret 2009, 21:56 Kartodirdjo, Sartono. Sejarah Nasional Indonesia: Dari Emporium ke Imperium.

ARTIKEL IV:

Jumlah PHK Meningkat


Sumber: http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=14066:jumlahphk-meningkat&catid=135:banten&Itemid=376 Jumlah tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama 2011 di Kota Cilegon meningkat dibanding tahun sebelumnya. Hingga November saja, jumlah karyawan yang terkena PHK mencapai 40 kasus. Ini lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah karyawan yang terkena PHK di sepanjang 2010 yakni 38 kasus. Bahkan, hingga akhir tahun ini Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Pemkot Cilegon masih menyisakan delapan kasus dari 40 kasus PHK yang ada. Tak terselesaikannya kasus tersebut sebagian besar lantaran kurangnya komunikasi antara buruh, perusahaan, dan Disnaker. Ketika pihak buruh dan perusahaan hendak melakukan pertemuan tripartite, tibatiba tak ada kabar dari pihak-pihak yang bersangkutan. Tapi delapan kasus tersebut masih kita tangani, targetnya dalam waktu dekat semuanya akan terselesaikan, ujar Kepala Bidang Hubungan Industrial pada Disnaker Pemkot Cilegon Suparman, di ruang kerjanya, Senin (19/12). Dikatakan, persoalan yang mendominasi terjadinya PHK adalah tindak indisipliner yang dilakukan karyawan. Ketika pihak perusahaan memiliki peraturan sendiri, namun karyawan melanggarnya karena berbagai alasan.Masing-masing perusahaan pastinya memiliki aturan sendiri, namun ada saja karyawan yang tak bisa mengikuti aturan itu dan akhirnya melakukan tindakan indisipliner. Sebagian besar kasus ini terselesaikan dengan cara musywarah sehingga terjadi kesepakatan yang bisa diterima kedua belah pihak, lanjut Suparman. Selain itu, lanjutnya, ketidakpahaman buruh juga mendominasi kasus PHK. Ketika kontrak kerja para buruh habis, buruh menganggap hal itu sebagai kejadian PHK. Sebagian besar kasus PHK terjadi pada buruh kontrak atau outsourching. Mereka menyangka tak dilanjutkannya kontrak kerja adalah kejadian PHK, namun setelah dijelaskan mereka mengerti dan menerima keputusan pihak perusahaan, jelasnya. Sementara itu, peningkatan jumlah kasus PHK pun seiring dengan meningkatnya jumlah kasus Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). Disnaker mencatat terdapat 63 kasus PHI hingga November lalu, sementara pada 2010 lalu hanya 57 kasus saja. Diterangkan, kasus PHI di Kota Cilegon terdiri atas permasalahan hak sebanyak 18 kasus, kepentingan empat kasus, juga permasalahan antarserikat sebanyak satu kasus. Sementara Disnaker baru menyelesaikan 15 kasus permasalahan hak, dan dua permasalahan kepentingan. Permasalahan hak salah satunya adalah belum dibayarnya pesangon dari perusahaan terhadap buruh. Sementara permasalahan kepentingan yaitu berkaitan tuntutan kesejahteraan seperti transpor, uang makan, dan lainnya. Ini pun didominasi buruh outsourching, ujarnya. Pada bagian lain, Kepala Disnaker Cilegon Taufikurohman mengatakan terjadinya peningkatan PHK tahun ini tidak berkaitan dengan krisis global. Selain itu, PHK yang dilakukan perusahaan terhadap tenaga kerjanya telah melalui prosedur yang ada, sebab sebelum di-PHK terlebih dahulu dilakukan perundingan. Banyak perusahaan melakukan efisiensi tenaga kerja, akhirnya melakukan PHK kepada buruh yang tingkat keterampilannya rendah. Untuk itu, demi mengantisipasi peningkatan PHK tahun depan, Disnaker akan

mendorong setiap perusahaan untuk mengadakan pelatihan guna meningkatkan SDM para buruhnya, ujar Taufikurohman. (jiwa)

ARTIKEL V:

Kemiskinan (Struktural) dan Korupsi


Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/07/07/43691/kemiskinan_struktural_dan_ korupsi/ KEMISKINAN adalah sebuah realita sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang mengakibatkan penderitaan bagi sebagian masyarakat. Penderitaan terjadi disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Kemiskinan yang menyeret negeri ini merupakan kemiskinan struktural. Artinya, kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang terorganisir sehingga memiskinkan rakyat. Tidak salah kemiskinan yang menjerat penduduk Indonesia merupakan akibat dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Kemiskinan sengaja diciptakan untuk kepentingan segelintir orang. Akibatnya rakyat menjadi objek dari perilaku para penjajah hak rakyat. Sedih, ketika melihat negeri kaya akan sumber daya alam namun makmur rakyat miskin. Kekayaan yang melimpah belum menyentuh rakyat bawah, realitanya hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang yang mau mengambil keuntungan dari keringat rakyat serta haus akan kekuasaan. Rakyat hanya bisa menikmati penghisapan yang semakin merajalela di bumi Indonesia. Kekayaan alam hanya bisa dinikmati oleh orang yang mampu berkuasa. Akhirnya berkembang istilah, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Fenomena yang sangat krusial oleh sebab itu penting untuk diperbaiki. Kita layak bersyukur atas kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Tidak selamanya rasa bersyukur itu dapat hidup dalam hati sanubari rakyat Indonesia. Ketika pemerintah gagal melaksanakan amanat agung yang adalah tujuan negara akan menjadi sumber malapetaka bagi rakyat. Pemerintah tidak mampu mengolah SDA, malah yang terjadi penjualan aset negara kepada asing. Akhirnya rakyat Indonesia hanya bisa gigit jari sambil mengamati sisa eksploitasi alam. Pilihan bagi rakyat yang paling mudah adalah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sekilas mengenai banyaknya TKI yang dikirim ke luar negeri merupakan salah satu bukti, tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Tidak adanya lapangan kerja menjadi faktor utama untuk menjadi TKI. Parahnya, keberadaan para TKI tidak mendapat perlindungan negara. Akhirnya menambah permasalahan pelik dinegeri ini. Alangkah sejahteranya rakyat, jika pemerintah mengambil langkah dengan cara mengolah SDA dengan menggunakan tenaga kerja yang tersedia. Tetapi apa boleh buat, lagi-lagi negara ini tidak mampu melakukan tindakan demikian. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak memegang teguh amanat Pancasila dan UUD 1945. Sesuai pasal 33 UUD 1945 kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Seringkali publik lebih mengartikan pasal 33 ini dengan bumi air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dijual kepada asing. Tidak lain bagi kita ketika banyak kekayaan Indonesia menjadi milik asing, sementara kita hanya dapat merasakan dampaknya seperti, pencemaran lingkungan, eksploitasi alam, perdagangan manusia dan peristiwa lain yang menjadi malapetaka bagi rakyat. Semua ini merupakan ulah para pemegang kekuasaan yang tidak bertanggung jawab akan kesejahteraan rakyat. Rakyat hanyalah orang yang setia menjungjung tinggi Pascasila dan UUD 1945 serta menginginkan kesejahteraan hidup. Sementara para

pemangku jabatan bersenang-senang menikmati hasil keringat rakyat. Data Kemiskinan Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), laju penurunan angka kemiskinan selama Maret 2009 sampai Maret 2010 hanya 0,8%. Angka tersebut lebih lambat dari Maret 2008 sampai Maret 2009 sebesar 1,27%. Jumlah angka penduduk miskin Maret 2010 mencapai 31,02 juta orang atau 13,33% berkurang 1,51 juta jika dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang atau 14,15%. Pemerintah berupaya menekan angka kemiskinan hingga 0-10% tahun 2014 melalui tiga program antara lain: Pertama, program bantuan terpadu berbasis keluarga dengan bersinerjikan program keluarga harapan hidup (PKH). Kedua, penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ketiga, pemberian beasiswa bagi penduduk miskin, Jamkesmas dan subsidi beras miskin yang tepat sasaran. Jika benar bahwa angka kemiskinan menurun, tentu suatu kebanggaan bagi kita dan patut disambut dengan gembira. Namun, apa jadinya, jika realita di lapangan masih banyak pengangguran, gizi buruk, tingginya angka putus sekolah dan masalah lain yang berkaitan dengan kasus kemiskinan. Kita perlu meminta penjelasan pemerintah tentang penurunan angka kemiskinan. Artinya, tolok ukur apa yang digunakan pemerintah mengatakan menurunya angka kemiskinan. Sebab, di daerah terpencil dan jauh dari jangkauan pemerintah ternyata masih banyak penduduk yang belum terdata dan hidup dibawah garis kemiskinan. Program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan merupakan salah satu program yang patut diapresiasi. Selama ini pemerintah sudah memiliki segudang program untuk pengentasan kemiskinan yang tertuang hanya di atas kertas. Buktinya angka kemiskinan bukan berkurang malah bertambah yang diikuti dengan tingginya angka pengangguran. Pada tahun 2011 pemerintah melalui Kementerian Sosial memberikan anggaran untuk penanggulangan kemiskinan sebesar Rp 1,4 triliun lebih rendah dari kasus Century yang merugikan negara mencapai Rp 6,7 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk dana dekonsentrasi Rp 540 miliar, anggaran untuk kelompok usaha bersama Rp 430 miliar. Dengan anggaran tersebut diharapkan angka kemiskinan akan berkurang. Anggaran yang disediakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan sudah cukup besar. Namun anggaran tersebut belum menjadi jawaban terhadap pengentasan kemiskinan sebelum diimplementasikan. Setiap tahun tersedia anggaran untuk penanggulangan kemiskinan tapi tak pernah mencapai hasil maksimal. Ternyata, anggaran tersebut tidak tersalurkan sesuai jumlah yang ditetapkan. Artinya, ada setan-setan yang menggerogoti anggaran tersebut hingga tak sampai ke tangan orang miskin. Sebenarnya tidak asing bagi negara kita ada istilah pemotongan anggaran (korupsi). Terjadinya korupsi anggaran ini disebabkan penyaluran anggaran sangat bertele-tele, dari pusat ke propinsi kemudian kabupaten/kota terus ke kecamatan dan desa baru kepada rumah tangga. Siklus tersebut sangat rawan dengan adanya pemotongan anggaran. Diharapkan, pemerintah harus mengawasi proses penyaluran anggaran dari pusat hingga daerah, sehingga tidak terjadi pemotongan anggaran yang berakibat kepada terjadinya korupsi dana kemiskinan. Karena korupsi sangat merusak sendi-sendi kehidupan. Dampak korupsi antara lain: 90 juta warga Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, 60 juta warga Indonesia tidak menikmati listrik, 35% warga negara Indonesia tidak dapat saluran air

bersih, anak yang gantung diri karena tidak punya uang untuk menyelesaikan sekolah dan hutan Indonesia rusak hingga stadium 4. Selain itu, di lapangan sering dijumpai pengalokasian anggaran kemiskinan salah sasaran. Seharusya anggaran kemiskinan disalurkan kepada rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, ternyata ada sebagian daerah yang menyalahgunakannya. Misalnya raskin yang dijual kepada pengusaha. Hal ini akan berdampak buruk kepada upaya pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan. Kemiskinan Adalah Penyakit Kemiskinan yang dialami rakyat sudah menuju tahap kronis. Kalau tidak segera diatasi akan membahayakan kelangsungan pembangunan. Sebab penduduk yang berjumlah kurang lebih 240 juta sangat rentan dengan berbagai masalah. Oleh karena itu pemerintah harus segera mengambil kebijakan untuk menanggulangi tingginya pengangguran dan mewabahnya persoalan baru di masyarakat. Pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap penyaluran anggaran sebagai salah satu komitmen untuk memberantas kemiskinan. Dengan pengentasan kemiskinan yang tepat sasaran dan menangkap pihak-pihak yang berusaha memiskinkan rakyat maka kemiskinan struktral akan hilang. Selama ini pejabat yang terindikasi dengan korupsi masih berkuasa sehingga kemiskinan susah ditanggulangi. Kemiskinan yang terjadi dialami masyarakat bukan kemiskinan karena budaya, (malas, berserah pada nasib), melainkan kemiskinan struktural (kebijakan yang tidak memihak kepada kaum miskin, adanya lingkaran yang melilit rakyat dan korupsi yang semakin merajalela). Intinya, rakyat miskin bukan karena malas bekerja. Salah satu strategi untuk menuntuskan kemiskinan adalah memberdayakan potensi masyarakat. Selain itu, kemiskinan yang dialami rakyat dapat dikatakan ulah para koruptor. Korupsi menjadi biang kehancuran ekonomi, politik, sosial dan budaya masyarakat. Maka korupsilah yang menjadi salah satu penghambat menuju masyarakat sejahtera harus segera diselesaikan dengan cara penegakan hukum bagi koruptor. Selama ini korupsi telah menggerogoti uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Negara ini harus berkata tidak kepada kemiskinan dan korupsi. Kedua hal ini merupakan penyakit yang sudah lama hidup di tengah-tengah masyarakat. Sementara para pemangku kekuasaan belum berhasil mengatasi keduanya tetapi berusaha menemukan jalan keluar dari kebuntuan yang sangat menyesatkan ini.*** (Edward Silaban) Penulis adalah alumnus USU dan Staf Pengajar CPNS BT/BS BIMA Email: edwardsehat@yahoo.co.id

ARTIKEL VI:

Bisnisasi Pendidikan Ciptakan Kemiskinan Struktural


Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/08/bisnisasi-pendidikan-ciptakankemiskinan-struktural-1/ http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/08/bisnisasi-pendidikan-ciptakankemiskinan-struktural-2-habis/

Sebagai salah seorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan relatif lebih memahami berbagai aspek yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia,tetapi tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya coba menghindarinya dengan sekuat tenaga yang ada supaya terhindar dari hal-hal yang memprihatinkan tersebut.Boleh jadi karena sikap seperti itu,maka banyak orang menganggapnya idealis atau sok suci yang bisa saja tidak di ikut sertakan lagi dalam kongkow-kongkow yang berkaitan dengan proses penerimaan peserta didik baru dan semacamnya. Dan apalagi jika sudah mendekati proses persiapan-persiapan dalam menyongsong penyeleggaraan Ujian Nasional, bisa dipastikan individu-indvidu yang masih pro kebaikan tidak akan di ikut sertakan dalam berbagai aktifitas itu. Memang pada zaman sekarang jika seseorang menghendaki supaya segala sesuatu dilakukan sesuai nilai-nilai dan norma-norma sosial yang dianggap baik oleh manusia normal ,maka bisa dipastikan ia akan di jauhi oleh orang lain atau koleganya sendiri.Hal semacam itu sekarang sudah melanda dalam berbagai aspek sosial masyarakat Indonesia,termasuk komunitas pendidikan.Kelihatannya kinipun hal -hal semacam itu sudah merambah dalam berbagai sendi-sendi kehidupan masyarakat secara keseluruhan,sekiranyapun masih ada individu -individu yang masih normal dalam artian pro kebajikan rasanya mulai sangat langka.Dan sekiranyapun dilakukan voting,maka individuindividu semacam itu bisa diperkiarakan akan mengalami kalah telak. Meskipun dalam berbagai aturan di Indonesia ini dikatakan, bahwa semua warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan,pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemauannya,serta bagi warga yang kurang beruntung(miskin) akan dibantu oleh pemerintah.Sedangkan semua sumber daya alam yang ada dalam perut bumi Indonesia akan dikelola oleh pemerintah untuk kemakmuran rakyat,serta fakir miskin akan di pelihara oleh negara.Berbagai perundang -undang tersebut diatas kertasnya sangat bagus,yang berbanding sebaliknya dalam penerapannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Didalam dunia pendidikan di setiap jenjangnya justru terjadi berbagai kontradiksi -kontradiksi terhadap tujuan pendidikan itu sendiri,sebagaimana terjadinyontek massaluntuk mendapatkan nilai dan prestasi tinggi.Hal seperti itu bukan hanya pada jenjang pendidikan dasar saja tetapi sudah relatif merata disemua lini pendidikan, meskipun yang kelihatannya hanya di SD tersebut,itupun karena dibocorkan oleh Ibu Siami .Sementara pada jenjang pendidikan lain tidak bocor,karena sistemnya lebih rapi dan berjamaah. Di permukaan kelihatannya sangat baik dan mulus-rapi,karena tertutup dengan suatu samaran yang relatif rapi sehingga borok-boroknya tidak kelihatan secara fisiknya namun tercium baunya.Bahkan sulit sekali membedakan karena hanya dibatasi membran abuabu ,yang bisa dipastikan akan sulit bagi siapapun untuk membedakannya ,mana yang disebut sumbangan dan mana pula yang bisa dianggap korupsi . Bertitik tolak dari

itulah,maka beberapa dekade yang lalu Drs.Muhammad Hatta (Co proklamator RI)pernah menyebutkan,bahwa korupsi tersebut sudah sudah akrab dengan masyarakat Indonesia dan sudah menjadi budaya Indonesia. Dalam konteks bisnisasi pendidikan bukan rahasia lagi,sekiranya setiap tahun selalu ada berbagai pungutan dengan berbagai namanya yang sifatnya seringkali dikemas sedemikian rupa sehingga kelihatannya sangat religius .Dalam soal memperhalus bahasa kemungkinan orang-orang Indonesia sangat cerdas,meskipun berujung pada tujuan yang sama juga.Sejak istilah NALO(Nasional Lotre)dikemas menjadi SDSB(Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) ataupun PHK =pecat menjadi Dirumahkan,Pelacur menjadi WTS lalu berubah lagi menjadi PSK sampai sekarang hal-hal semacam itu sangat banyak,meskipun sesungguhnya tidak merubah arti dasar istilah tersebut.Istilah-istilah diperhalus sedemikian rupa,tetapi tanpa merubah maksud atau makna dasar istilah itu sendiri. Dalam dunia pendidikan Indonesia,seringkali istilah-istilah berubah sesuai selera pihakpihak tertentu supaya kelihatannya lebih halus dan religius.Memang pemerintah Indonesia melarang berbagai jenis pungutan dalam proses Pendaftaran Siswa Baru(PSB)yang kini berubah menjadi Pendaftaran Peserta Didik Baru( PPDB) ,tetapi dengan berbagai alasan pungutannya tetap ada.Kononnya pungutan tersebut yang disamarkan dengan istilah yang agamis yakni Infaqdi lakukan setelah disetujui orang tua murid,tetapi kenyataannnya justeru sebaliknya. Bahkan para wali atau orang tua murid jikapun diundang oleh Kepala Sekolah untuk sesuatu yang disebutnya musyawarah tidak lebih dari pada sebagai tukangaminnyasaja.Dalam hal ini orang tua murid tidak bedanya sebagaimana anggota DPR/MPR masa rejim Orde Baru dahulu,yang hanya datang,duduk dan dengar sesuatu yang sudah di tetapkan sebelumnya oleh Kepala Sekolah . Jika orang tua murid bernasib baik,maka dalam rapat tersebut ketetapan -ketetapan Kepsek terdapat beberapa alternatif pilihan yang harus di pilih salah satu diantaranya,yang sering pula melalui pernyataan orang tua murid yang harus di tanda tanganinya.Hal semacam ini juga terdapat di sekolah -sekolah negeri,apalagi jika sekiranya sekolah -sekolah swasta walaupun sekolah tersebut termasuk dalam kategori program gratis.Seringkali Yayasan penyelenggranyapun tergantung kepada dana bantuan pemerintah tersebut. Dan selain Kepala Sekolah proses pengelolaan dan pencairan dana itu tidak seorang gurupun mengetahuinya, serta jikapun ada tentu saja justeru individu-individu yang kebanyakannya setali tiga uang dengannya.Mengapa demikian ? karena dalam setiap pencairan dan pengelolaan dana pemerintah langsung disalurkan ke no. rekening sekolah,dalam hal ini adalah rekening pribadi kepala sekolah. Dalam kondisional seperti itu,hanya kepala sekolah yang memahami segala sesuatunya mengenai pencairan dan pengelolaan dana -dana bantuan pemerintah tersebut,seperti BOS,BOMM dan semacamnya.Apalagi jika kurang ketatnya pengawasan oleh pihak-pihak yang berkompeten untuk itu,sehingga tidak mustahil sekiranya hal-hal yang bertentangan dengan tujuan bantuan tersebut justeru yang sering terjadi ,seperti korupsi dan sebagainya. Untuk memanimalisasinya,sudah waktunya pemerintah dalam hal ini Depdiknas dan KPK turun melakukan Sidak(inpeksi mendadak)ataupunPekat(pengawasan melekat) secara diam-diam memeriksa pengelolaan dana-dana bantuan pendidikan itu.Kalau perlu KPK segera melakukannya tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada siapapun,termasuk jajaran pendidikan itu sendiri untuk menjamin kerahasiaannya.

ARTIKEL VII:

Kebijakan Ekonomi Neoliberal Sebabkan Kemiskinan Struktural


Sumber: http://berita.liputan6.com/read/332712/kebijakan_ekonomi_neoliberal_sebabkan_kemiskina n_struktural

Liputan6.com, Jakarta: Kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono dinilai kebijakan neoliberal. Kebijakan ini terbukti tak mampu meningkatkan kesejahteraan mayoritas rakyat, kecuali meningkatkan sebagian kecil elit di beberapa negara berkembang. Hal ini disebut sebagai kebijakan yang menyebakan kemiskinan struktural. "Ketika pekerjaan nyaris tidak ada dan pendapatan mayoritas rakyat sangat rendah, kenaikan harga pangan dan harga kebutuhan pokok selama hampir setahun terakhir, telah mengakibatkan kenaikan jumlah penduduk miskin dan kemerosotan kehidupan," kata mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli. Pernyataan disampaikan Rizal dalam pidato kebudayaan bertema "Perubahan Adalah Jawaban, Perubahan Sekarang Juga" di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Rabu (4/5). Menurut dia, ekonomi nasional yang tumbuh kurang lebih hanya enam persen tak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Sehingga kesejahteraan rakyat terpuruk. Bekas menteri perekonomian era Presiden Gus Dur itu menambahkan sekitar kurang dari 20 persen penduduk elit hidup lumayan, bisa menikmati arti kemerdekaan. Tetapi 80 persen sisanya belum pernah menikmati kemerdekaan. Dia juga menjelaskan, yang lebih penting lagi kebijakan ekonomi neoliberal itu merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi. Kemiskinan struktural yang disebabkan kebijakan ekonomi neoliberal memicu peningkatan kejahatan, ladang subur kekerasan sosial, meningkatkan rasa putus asa dan tindakan bunuh diri. "Rakyat menjadi tidak tenang, memunculkan konflik sosial dan agama," ujarnya mencontohkan. Kebijakan yang dilakukan pemerintahan SBY-Boediono, disebutkan Rizal telah memperparah kondisi perekonomian nasional yang berdampak meningkatnya kemiskinan, pengangguran, dan melebarnya kesenjangan ekonomi. Ketidakmampuan pemerintah melindungi hak-hak dasar warga negara dalam bidang kesejahteraan dan agama, merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.(AIS)

ARTIKEL VIII:

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?


Sumber: http://www.duniaesai.com/index.php/direktori/esai/37-ekonomi/114-mengapa-kemiskinan-diindonesia-menjadi-masalah-berkelanjutan.html SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin. Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angkaangka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Penyebab kegagalan Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN. Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu. Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS. Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik. Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal. Strategi ke depan

Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas. Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas. Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah. Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikatorindikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya. Belum memadai Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasiinformasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga. Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan. Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar

penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih. Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen. Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program. Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinasdinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai. Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten. Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat. Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik

ARTIKEL IX:

KEMISKINAN KULTURAL BUAH DARI KEMISKINAN STRUKTURAL


Sumber: http://rahmatullah.banten-institute.org/2010/04/kemiskinan-kultural-buah-dari.html Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda, income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar 1 dolar AS/ orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan. Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan sosial mengarah pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturanperaturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang naik kelas, artinya jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan. Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas,

mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut. Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya. Dalam konteks kemiskinan di Indonesia, jika ditinjauan dari makalah Masalah-Masalah Kemiskinan, secara tidak langsung menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural, terlebih status indonesia selain sebagai negara berkembang, juga mengalami proses sejarah penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan lahan baru dan membuka jalan raya, yang justru dampaknya adalah merosotnya kesejahteraan petani, memperkaya mereka yang memiliki modal besar yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca penjajahan belanda, pemerintah orde lama fokus pada pembangunan aspek politik, proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada fase ini kondisi perekonomian negara jauh dari stabil, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi prioritas. Masyarakat tidak beranjak dari situasi miskin karena secara struktural tidak terprioritaskan. Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalan melakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu IGGI yang kemudian berganti nama menjadi CGI. Namun dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus masalah kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya, yang pada akhirnya semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya mereka yang sudah kaya. Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, dalam konteks ke-Indonesiaan, Kemiskinan kultural merupakan buah dari kemiskinan struktural, masyarakat terbentuk menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap miskin sebagai nasib dan garis hidup, selain juga sering diperkual dalam mimbar-mimbar agama, mengenai pemahaman keliru mengenai takdir untuk selalu bersabar dan bersyukur, sebagaimana ajaran faham jabariyah, agar masyarakat tetap bersabar menerima takdir yang ada. Jika dilihat dari argumentasi diatas mayoritas kemiskinan yang hadir saat ini merupakan dominasi kemiskinan struktural, tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan dan tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.

You might also like