You are on page 1of 13

PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS1 Oleh: M.

Akil Mochtar2

A. PERUBAHAN UUD 1945 DAN MAHKAMAH KONSTITUSI Perubahan besar tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa telah berhasil dilakukan oleh bangsa Indonesia melalui Perubahan UUD 1945 bercermin dari kelemahan sistem dan praktik penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu. Hal itu merupakan wujud kesadaran bahwa berbagai penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu tidak semata-mata terjadi karena faktor orang yang berkuasa, melainkan lebih ditentukan oleh sistem yang memungkinkan bahkan mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Kelemahan sistem tersebut antara lain adalah kekuasaan yang sangat besar berada di tangan Presiden sebagai mandataris MPR, yang berarti satu-satunya pelaksana amanat MPR. Di sisi lain, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, tetapi juga memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Hal itu dipertegas dengan penjelasan yang menyatakan bahwa konsentrasi kekuasaan negara ada di tangan Presiden

(concentration of power upon the President).


Di sisi yang lain, UUD 1945 sebelum perubahan tidak cukup mengatur pembatasan terhadap kekuasaan sebagai wujud paham konstitusionalisme. Hal itu di antaranya dapat dilihat dari sedikitnya ketentuan yang mengatur jaminan perlindungan, penghormatan, dan pemajuan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional warga negara. Bahkan, kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat pun ditetapkan dengan Undang-Undang, yang berarti hak tersebut diposisikan sebagai pemberian negara, bukan melekat sebagai hak asasi manusia. Selain itu, dalam UUD 1945 sebelum perubahan tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana pembentukan dan pengisian anggota lembaga
1 2

Bahan disampaikan pada Pendidikan Sespati Polri dan Pasis Sespim Polri. Lembang, 6 Juli 2009. Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi RI.

perwakilan (MPR, DPR, dan DPRD) dan juga tidak ada ketentuan yang mengatur tentang Pemilu. Oleh karena itu, sah jika pada saat itu komposisi anggota DPR dan MPR lebih banyak yang diangkat dari pada yang dipilih sehingga lebih merupakan representasi kehendak penguasa dari pada pilihan rakyat. Bahkan Pemilu pun dilaksanakan oleh pemerintah untuk memperkuat legitimasi sehingga tidak pernah berjalan secara jujur dan adil. Dengan kondisi yang demikian, berlakulah hukum besi Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan (powers tend to corrupt, absolut powers corrupt absolutly). Konstitusi tidak menjadi aturan hukum tertinggi karena dapat dikesampingkan oleh MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan oleh Presiden sebagai mandataris MPR. Konstitusi dalam konteks demikian telah kehilangan ruh konstitusionalismenya. Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, segenap komponen bangsa yang ada dalam MPR hasil Pemilu 1999 yang demokratis, termasuk wakil dari TNI dan Polri, bersepakat melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan tersebut dimulai dengan merumuskan kesepakatan dasar yang meliputi: a. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; b. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. Mempertegas sistem Presidensiil; d. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan e. Perubahan dilakukan dengan cara adendum. Pada tahap awal perubahan di tahun 1999 sesungguhnya telah diinventarisir dan dibahas keseluruhan materi perubahan. Namun demikian, karena setiap perubahan membutuhkan pembahasan mendalam, maka disepakati tahapan pembahasan dan pengesahan dengan mendahulukan hal-hal yang sudah dapat disepakati. Dengan demikian Perubahan UUD 1945 dari tahun 1999 hingga 2002 adalah satu rangkaian perubahan, hanya pengesahannya saja yang bertahap. Ketentuan yang sudah diubah sebelumnya tidak ada yang diubah lagi pada
2

perubahan berikutnya. Oleh karena itu adalah keliru jika menyatakan bahwa UUD 1945 sudah diubah empat kali. Dari rangkaian Perubahan UUD 1945, terdapat beberapa substansi pokok yang mempengaruhi tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa. Pertama, penegasan konstitusi sebagai hukum tertinggi atau supremasi konstitusi (the

supreme law of the land) di dalam Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian bagaimana kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi negara yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan, harus merujuk kepada Undang-Undang Dasar, bukan dilaksanakan sesuai kehendak lembaga tertentu. Prinsip supremasi konstitusi ini merupakan salah satu ciri utama negara hukum. Dengan ditegaskannya prinsip supremasi konstitusi, seluruh aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Semua aturan hukum dan tindakan penyelenggara negara pada hakikatnya adalah untuk melaksanakan ketentuan UUD 1945. UUD 1945 sebagai hukum tertinggi mengikat seluruh penyelenggara negara dan segenap warga negara. Kedua, untuk membatasi kekuasaan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, serta sesuai dengan kesepakatan dasar mempertegas sistem presidensiil, organisasi negara ditata ulang berdasarkan prinsip separation of

power. Wewenang Presiden dibatasi dengan mengembalikan kekuasaan membentuk


undang-undang kepada DPR serta berbagai bentuk pembatasan lain seperti dalam pemberian grasi, amnesti, dan abolisi; pengangkatan dan penerimaan duta/konsul; penyusunan kementerian negara; dan lain-lain. Kekuasaan kehakiman ditegaskan sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. MPR yang semula berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara diubah menjadi lembaga tinggi negara sederajat dengan lembaga tinggi lainnya dengan tugas dan wewenang sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dengan adanya pemisahan kekuasaan itu akan tumbuh mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi (checks

and balances) antara satu cabang kekuasaan dengan cabang kekuasaan lain
sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan berjalan tetap dalam koridor konstitusi.
3

Ketiga, konstitusi sebagai hukum dasar negara adalah bentuk perjanjian sosial tertinggi dari seluruh warga negara dengan tujuan untuk melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah. Oleh karena itu tidak wajar jika dalam suatu konstitusi tidak memuat hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang menjadi tanggungjawab negara untuk melindungi, menghormati, dan memajukannya. Keberadaan jaminan konstitusional terhadap HAM juga merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara untuk tidak melakukan pelanggaran secara sewenang-wenang baik melalui produk hukum maupun tindakan aparat negara. Ketiga hal mendasar tersebut membawa konsekuensi diperlukannya mekanisme dan institusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan: a. Bagaimana menjamin bahwa UUD 1945 dilaksanakan dalam peraturan perundang-undangan, atau bahwa peraturan perundang-undangan tidak saling bertentangan secara hirarkis dan berpuncak pada konstitusi? b. Dalam posisi kelembagaan negara yang sederajat berdasarkan prinsip

separation of powers dan checks and balances, mekanisme apa yang


digunakan untuk menyelesaikan persoalan jika terjadi sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara? Dan c. Bagaimana menjamin bahwa hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara tidak dilanggar oleh aturan hukum yang ada? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, teori dan praktik ketatanegaraan dari berbagai negara memiliki satu jawaban, yaitu perlu adanya lembaga pengadilan konstitusi atau Mahkamah Konstitusi (MK). Dari sisi teoretis keberadaan MK dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan tujuan untuk menjamin bahwa suatu undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi. Dari sisi praktis, pada saat MK RI dibentuk, sudah ada 77 negara yang memiliki MK. Selain itu, ada banyak negara yang memberikan wewenang-wewenang konstitusional memutus judicial

review dan interbrach dispute (sengketa kewenang lembaga negara) kepada


Mahkamah Agung. Tentu saja berbagai referensi teoretis dan praktis yang ada tidak diterapkan begitu saja dalam rangka pembentukan MK. Hal itu misalnya adalah pembatasan
4

wewenang MK hanya untuk pengujian UU terhadap UUD, sedangkan pengujian aturan di bawah UU diberikan kepada MA. Demikian pula dengan penambahan wewenang lain yang tidak semua MK negara lain memilikinya, yaitu memutus Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU). B. WEWENANG DAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberikan empat wewenang kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu: a. Memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; c. Memutus pembubaran partai politik; dan d. Memutus perselisihan hasil Pemilu. Selain itu, Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 memberikan kewajiban kepada MK untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai tahapan yang harus dilalui untuk pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 UUD 1945, MK merupakan lembaga negara sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, MK berkedudukan sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Kalaupun putusan MK dapat membatalkan suatu ketentuan dalam suatu undang-undang tidak berarti bahwa MK kedudukannya berada di atas pembentuk undang-undang. Demikian pula, kalaupun MK memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, hal itu tidak berarti MK berkedudukan di atas lembaga negara yang bersengketa. Kewenangan itu dimiliki semata-mata karena diberikan oleh konstitusi dan tidak menyebabkan kedudukan MK berada di atas lembaga negara lain. C. PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI Terdapat empat peran yang biasa dilekatkan kepada MK sesuai dengan latar belakang pembentukan wewenang yang dimiliki MK, yaitu:
5

1) pengawal konstitusi (the guardian of the constitution); 2) penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution); 3) pengawal demokrasi (the guardian of the democracy); 4) pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizens

constitutional rights) dan hak asasi manusia (the protector of human rights).
Produk hukum di bawah UUD 1945 yang menjabarkan aturan dasar konstitusional adalah undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Pembuatan undang-undang juga merupakan proses penafsiran terhadap UUD 1945, sehingga pembuat undang-undang, yaitu DPR bersama Presiden juga merupakan penafsir undang-undang. Namun demikian, karena UUD 1945 sendiri menentukan bahwa undang-undang tersebut dapat dimohonkan pengujian kepada MK yang berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, maka penafsiran MK lah yang merupakan penafsiran akhir dan harus dilaksanakan. Oleh karena itu MK merupaka penafsir final konstitusi (the final

intepreter of the constitution).


Dalam menjalankan wewenang memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 MK juga menjalankan peran sebagai penjaga konstitusi (the guardian of

the constitution). Selain itu, karena pelaksanaan kewenangan MK yang lain juga
dilakukan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945 untuk menyelesaikan perkara yang harus di putus, baik dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu, maupun pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya maka dalam konteks tersebut juga melekat peran MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the

constitution) dan penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).


Fungsi Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah sebagai penjaga demokrasi

(the guardian of the democracy). Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas
menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang berarti bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi. Prinsip demokrasi juga dapat dilihat dari diaturnya ketentuan Pemilu yang harus dilakukan secara berkala oleh komisi pemilihan umum yang tetap dan mandiri untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD,
6

Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Demokrasi dipandang sebagai sistem paling baik di antara sistem politik lain untuk mewujudkan dan menjaga kedaulatan rakyat. Namun, demokrasi dapat dimanipulasi dengan pelanggaran dan kecurangan yang menciderai kedaulatan rakyat. Proses tersebut harus dijaga dan dikawal melalui mekanisme hukum PHPU yang menjadi wewenang MK. Fungsi selanjutnya adalah sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector

of the human rights) dan pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the constitutional citizens rights). Adanya jaminan hak asasi dalam konstitusi
menjadikan negara memiliki kewajiban hukum konstitusional untuk melindungi, menghormati, dan memajukan hak-hak tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang dapat dilihat sebagai upaya melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 agar tidak dilanggar oleh ketentuan undang-undang. Jika ketentuan suatu undang-undang telah melanggar hak konstitusional warga negara, maka dapat dipastikan tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan yang dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut juga akan melanggar hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, kewenangan pengujian tersebut sekaligus mencegah agar tidak ada tindakan penyelenggara negara dan pemerintahan yang melanggar hak konstitusional warga negara. Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus perkara pembubaran partai politik yang dimaksudkan agar pemerintah tidak dapat secara sewenang-wenang membubarkan partai politik yang melanggar hak berserikat dan mengeluarkan pendapat. D. KEWENANGAN MEMUTUS PHPU Salah satu kewenangan konstitusional yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus tentang perselisihan hasil pemilihan umum.

Dari ketentuan tersebut belum jelas tentang pengertian dan ruang lingkup apa yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilihan umum (selanjutnya disingkat PHPU), sehingga beberapa masalah dapat diajukan, antara lain: 1. macam-macam pemilu yang dapat diperselisihkan hasilnya di MK; 2. pengertian PHPU, apakah juga termasuk proses Pemilu yang melanggar asas pemilu luber dan jurdil (pelanggaran administratif dan pidana Pemilu) yang dapat mempengaruhi hasil Pemilu; 3. mekanisme pengajuan keberatan di MK dan bagaimana tindak lanjut (eksekusi) putusan MK tentang PHPU. 1) Macam-macam Perselisihan Hasil Pemilu Secara eksplisit, melalui Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yang dimaksud dengan Pemilu adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) melalui Pasal 74 s.d. 79 UU MK hanya mengatur hukum acara perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Mengenai pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus dipilih secara demokratis, sehingga menimbulkan perdebatan apakah termasuk rezim hukum Pemilu atau bukan. Akan tetapi, berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (disingkat UU 22/2007) pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kemudian dikategorikan sebagai Pemilu yang juga harus diselenggarakan oleh KPU beserta jajarannya (KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota), sehingga disebut Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (untuk selanjutnya disingkat Pemilukada). Semula, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) berdasarkan Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA) untuk menyelesaikannya. Namun, dengan lahirnya UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua UU 32/2004, kewenangan mengadili perselisihan hasil Pilkada atau sekarang disebut Pemilukada dialihkan ke MK (vide Pasal 236C UU
8

12/2008) yang secara efektif telah berlaku sejak 1 November 2008 lewat serah terima resmi dari MA ke MK pada tanggal 29 Oktober 2008. Dengan demikian, macam-macam Pemilu dan PHPU ada tiga, yakni: a. Pemilu dan PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD; b. Pemilu dan PHPU Presiden dan Wakil Presiden; c. Pemilukada dan PHPU Pemilukada. 2) Pengertian dan Ruang Lingkup PHPU Di atas sudah dikemukakan bahwa UUD 1945 tidak menegaskan tentang pengertian dan ruang lingkup mengenai apa yang dimaksud dengan perselisihan tentang hasil pemilihan umum yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), sehingga undang-undanglah yang kemudian mengaturnya, yakni UUMK, UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU Pemilu Presiden, dan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah yang terakhir dengan UU 12/2008. Pasal 74 ayat (2) UUMK memberikan pengertian bahwa perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan mengenai penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: a. terpilihnya calon anggota DPD; b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; c. perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan. Pasal 258 UU 10/2008 merumuskan pengertian perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sbb.:

(1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. (2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.

Dari ketentuan Pasal 201 ayat (1) dan ayat (2) UU 42/2008 dapat disimpulkan bahwa pengertian perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah pengajuan keberatan yang diajukan oleh Pasangan Calon terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU yang penghitungan suaranya mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi. Dari ketentuan Pasal 74 ayat (2) UUMK junctis Pasal 258 UU 10/2008 dan Pasal 201 UU 42/2008 dapat disimpulkan bahwa: a. perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Peserta Pemilu (parpol, perseorangan calon anggota DPD, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden) dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu; b. yang diperselisihkan adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU; c. perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional dimaksud harus mempengaruhi: 1) perolehan kursi parpol di suatu daerah pemilihan; atau 2) terpilihnya calon anggota DPD; atau 3) penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (putaran kedua). Dengan demikian, meskipun antara Peserta Pemilu dan KPU terdapat perselisihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, namun apabila secara signifikan tidak mempengaruhi perolehan kursi parpol di suatu daerah pemilihan, atau terpilihnya calon anggota DPD, atau penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua Pemilu Presiden serta terpilihnya pasangan Presiden dan Wakil Presiden, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan objek sengketa perselisihan hasil Pemilu. Sedangkan mengenai pengertian perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah, dengan merujuk Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 dan UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, dapat disimpulkan bahwa:
10

a. perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah adalah perselisihan antara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai Peserta Pemilu Kepala Daerah dan KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilu; b. yang diperselisihkan adalah penetapan penghitungan suara hasil Pemilukada yang ditetapkan oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota yang mempengaruhi penentuan calon untuk masuk ke putaran kedua Pemilukada atau terpilihnya pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dari uraian tersebut di atas, undang-undang nampaknya membatasi masalah PHPU hanya pada persoalan perselisihan angka-angka perolehan suara Peserta Pemilu yang ditetapkan oleh KPU, sehingga tidak mencakup proses yang mempengaruhi hasil perolehan suara, seperti berbagai pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana Pemilu. Seolah-olah MK hanya diminta mengkoreksi kalkulasi suara yang telah dilakukan oleh KPU dan jajarannya dengan mengabaikan berbagai pelanggaran dalam proses Pemilu (electoral process). Padahal, kedudukan dan fungsi MK sebagaimana dijelaskan dalam UU MK adalah menjaga atau mengawal Konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi (Penjelasan Umum UU MK). Mengawal/menjaga Konstitusi berarti termasuk pula menjaga/mengawal agar asas-asas Pemilu yang Luber dan Jurdil dipatuhi baik oleh Penyelenggara Pemilu maupun Peserta Pemilu, bahkan juga seluruh insitusi yang terkait Pemilu. Memang, UU 10/2008 dan UU 42/2008, serta juga UU 32/2004 telah menyediakan mekanisme penyelesaian berbagai pelanggaran pemilu, baik administratif maupun pidana, bahkan Pasal 257 ayat (1) UU 10/2008 dan Pasal 200 ayat (1) UU 42/2008 telah menentukan bahwa kasus pelanggaran pidana Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu. Akan tetapi, dari pengalaman MK menangani PHPU tahun 2004 dan PHPU Pemilukada tahun 2008 serta PHPU legislatif 2009, menunjukkan bahwa berbagai pelanggaran Pemilu, baik administratif maupun pidana tidak tertangani di institusi yang berwenang menanganinya.
11

Dalam hal terjadi demikian, MK tentunya akan mengedepankan status dan fungsinya sebagai pengawal Konstitusi, in casu mengawal asas luber dan jurdil yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, menggali kebenaran dan keadilan materiil, tidak semata-mata prosedural, yaitu apakah pelanggaranpelanggaran Pemilu tersebut dilakukan secara sistemik dan massif, serta signifikan mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu, sehingga dapat mengubah perolehan kursi atau pemenang Pemilu. 3) Mekanisme pengajuan keberatan Mekanisme pengajuan keberatan terhadap penetapan hasil Pemilu yang diatur dalam Pasal 74 s.d. Pasal 79 UU MK sangat sumir dan hanya menyangkut PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang hanya memuat: 1. Pihak yang berhak mengajukan keberatan, yaitu perorangan WNI calon anggota DPD Peserta Pemilu, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilu, dan Partai Politik (Parpol) Peserta Pemilu, yang disebut sebagai Pemohon. UU MK bahkan tidak menegaskan apakah KPU merupakan Termohon; 2. Objek permohonan, yaitu penetapan hasil Pemilu yang ditetapkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD, penentuan pasangan Presiden dan wakil Presiden yang masuk putaran kedua atau terpilihnya pasangan calon, dan perolehan kursi Parpol disuatu daerah pemilihan (dapil); 3. Tenggat (tenggang waktu) mengajukan permohonan, yaitu 3 X 24 jam sejak KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional; 4. Isi permohonan, yaitu posita mengenai adanya kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU dan hasil yang benar menurut Pemohon, serta

petitum berupa permintaan membatalkan penetapan KPU dan menetapkan hasil


penghitungan suara yang benar menurut versi Pemohon; 5. Tenggat pengiriman berkas permohonan ke KPU, yaitu 3 hari kerja sejak permohonan diregistrasi di Kepaniteraan MK;

12

6. Tentang berbagai kemungkinan amar putusan: a) tidak dapat diterima, jika tak memenuhi syarat subjectum litis, objectum litis, dan tenggat; b) ditolak, jika permohonan tidak beralasan, dan c) dikabulkan, jika permohonan beralasan, disertai pernyataan pembatalan hasil Pemilu yang ditetapkan KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar; 7. Tenggat (batas waktu) penanganan PHPU di MK, yaitu untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan diregistrasi dan untuk PHPU Presiden dan Wakil Presiden 14 hari kerja sejak permohonan diregistrasi; 8. Penyampaian Putusan MK tentang PHPU kepada Presiden. Mengingat begitu sumirnya hukum acara PHPU yang diatur dalam UU MK, maka sesuai kewenangan yang diberikan Pasal 86 UU MK, diterbitkanlah berbagai Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), yaitu PMK No. 04/PMK/2004 dan PMK No.05/PMK/2004 yang memuat Pedoman Beracara dalam PHPU untuk Pemilu 2004. Sedangkan untuk PHPU pada Pemilu 2009, telah diterbitkan PMK No. 16 Tahun 2009 untuk PHPU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan PMK No. 17 tahun 2009 untuk PHPU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan untuk PHPU Pemilukada yang belum ada pengaturannya dalam UU MK telah dikeluarkan PMK No. 15 Tahun 2008 yang acuannya adalah UU 32/2004 dan PMK PHPU Presiden dan Wakil Presiden atas dasar pertimbangan bahwa pada hakikatnya prosedur penyelesaian PHPU Pemilukada hampir sama dengan PHPU Presiden dan Wakil Presiden, dalam tenggat 14 hari kerja, seluruh perkara sudah harus terselesaikan. Mahkamah Konstitusi harus kembali kepada khittahnya sebagai pengawal konstitusi tatkala berbagai pelanggaran Pemilu (baik pelanggaran administrasi maupun pidana) sudah menggoyahkan prinsip-prinsip pemilu yang luber dan jurdil. Selain itu, mengenai tindak lanjut Putusan MK mengenai PHPU, Pasal 259 ayat (3) UU 10/2008 dan Pasal 201 ayat (4) UU 42/2008 telah memuat ketentuan bahwa KPU beserta jajarannya wajib menindaklanjuti Putusan MK tentang PHPU.

13

You might also like