You are on page 1of 10

LIPPO BANK

Profil Perusahaan PT Bank Lippo Tbk merupakan perusahaan yang menyediakan produk perbankan umum dan pelayanan dengan segmen konsumen dan perusahaan di Indonesia. Pada 24 April 2007, beroperasi 400 cabang dan kantor, dan 693 anjungan tunai mandiri. Sejarah Bank Lippo dimulai pada tahun 1948 dan didirikan oleh Mochtar Riady bersama grup Lippo hingga sempat m e n j a d i b a n k k e s e m b i l a n terbesar dalam jumlah aktiva yang dimilikinya. Saat Asia mengalami krisis pada tahun 1997, Indonesia menjual sebagian saham di Bank Lippo yang digunakan untuk menutup defisit anggaran pemerintah Indonesia yang mencapai 450 triliun rupiah. Penjualan itu akhirnya juga digunakan untuk menyelamatkan keuangan bank-bank yang mengalami krisis pada saat itu. Kemudian pada tahun 2004 sebuah lembaga asal Swiss yang bernama Swissasia Global, membeli 52,1 persen saham Bank Lippo dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya Pada tanggal 26 Agustus 2005, pemegang saham bank dan Bank Indonesia menyetujui penjualan 52,05% saham mayoritas dimiliki oleh Swissasia Global ke Santubong Investment BV yang sepenuhnya dimiliki oleh Khazanah Nasional Berhad, sebuah institusi investasi milik pemerintah federal Malaysia. K h a z a n a h m e m i l i k i k e p e n t i n g a n l a n g s u n g d a r i 9 3 p e r s e n d i B a n k L i p p o melalui Santubong Investment BV dan Greatville Pte. Ltd, dan juga memiliki 64 persen dari Bank CIMB Niaga melalui Bumiputra-Commerce Holdings, Bank Niaga d a n Bank Lippo harus

digabung untuk memenuhi ke "kebijakan kepemilikan t u n g g a l "

bank

sentral

Indonesia.

Pada

November

2008,

Lippo

B a n k r e s m i bergabung dengan Bank CIMB Niaga dan dikenal sebagai PT Bank CIMB Niaga Tbk anak perusahaan Indonesia dari CIMB Group.

Overview Kasus Seperti diketahui, telah terjadi perbedaan laporan keuangan Bank L i p p o p e r 3 0 September 2002, antara yang dipublikasikan di media massa dan yang dilaporkan ke BEJ. Dalam laporan yang dipublikasikan melalui media cetak pada tanggal 28 November 2002 d i s e b u t k a n t o t a l a k t i v a perusahaan sebesar Rp 24 triliun dengan laba bersih Rp

9 8 Miliar. Sedangkan dalam laporan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002, total aktiva berkurangm e n j a d i R p 2 2 , 8 t r i l i u n d a n r u g i b e r s i h ( y a n g b e l u m d i a u d i t ) m e n j a d i R p 1 , 3 t r i l i u n . Manajemen Lippo beralasan, perbedaan itu terutama pada kemerosotan nilai agunan yang diambil alih (AYDA) dari Rp 2,393 triliun pada laporan publikasi dan Rp 1,42 triliun padalaporan ke BEJ. Akibatnya keseluruhan neraca dan akun-akun berbeda signifikan, termasuk penurunan rasio kecukupan modal (CAR) dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen. Dalam sebuah konferensi pers, Presiden Direktur Bank Lippo, I Gusti MadeMantera, menjelaskan bahwa perbedaan isi laporan disebabkan adanya peristiwa setelah tanggal neraca (subsequent event), yakni berupa penurunan nilai aset yang diambil alih (AYDA) dari Rp 2,4 triliun menjadi Rp 1,42 triliun. Menurut seorang pejabat Bank Lippo yang tak mau disebut namanya, penurunan drastis nilai asset yang kebanyakan berbentuk properti ini terjadi karena saat itu--Juni 2002BPPN mengguyur pasar melalui penjualan aset secara besar-besaran

dengan harga obral."Akibatnya, ketika aset itu dinilai otomatis nilainya turun," kata pejabat itu. Namun, yang menarik, pihak direksi terkesan berusaha menutupi fakta bahwa aset tersebut b e r a s a l d a r i G r u p L i p p o y a n g d i s e r a h k a n k e p a d a B a n k L i p p o m e n j e l a n g rekapitalisasi pada 19991.

Aset Yang Diambil Alih (AYDA) Ini bermula dari laporan keuangan kuartal ketiga 2002 yangdipublikasikan akhir November lalu. Saat itu Bank Lippo menyatakan total asetnya mencapai Rp 24 triliun, dengan keuntungan bersih Rp 99 miliar. Tapi hanya sebulan kemudian, dalam laporan ke Bursa Efek Jakarta, aset Lippo merosot menjadi Rp22,8 triliun. Keuntungan? Hilang lenyap, malah berganti dengan kerugian yang jumlahnya mencapai Rp 1,3 triliun. Menurut pengelola Bank Lippo, penurunan itu terkait dengan anjloknya nilai agunan yang sudah diambil alih (biasa disebutsebagai AYDA), dari semula Rp 2,4 triliun menjadi Rp 1 triliun. Untuk menutup jebloknya nilai agunan itu, Bank Lippo menyisihkan dana yang diambil dari posmodal. Tentu saja langkah ini membuat rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo melorot dari semula 24,8 persen menjadi 4,2 persen. Anjloknya nilai agunan yangbegitu dahsyat sungguh mencurigakan. Padahal sebagian besar jaminan yangdiambil alih Lippo berupa petak tanah. Menurut data sejumlah agen properti, harga tanah sejak 1998-2002 terus meningkat. Bagaimana mungkin nilai properti Lippo,yang merupakan 70 persen AYDA, turun sendirian. Lippo mengumumkan penjualan aset itu beberapa hari menjelang akhir tahun 2002, melalui iklan di surat kabar yang begitu kecil. Beberapa investor yang mencoba menawar seperti dihalangi dengan pelbagai syarat. Misalnya, mereka harus menyerahkan depositdalam jumlah besar, padahal informasi tentang asetnya sangat tak memadai. Dari

sinilah muncul kecurigaan adanya niat dari pengelola Bank Lippo menjual AYDA antara lain terdiri atas rumah dan tanah di Lippo Cikarang-kepada kelompok sendiri.Lantaran kecurigaan itu pula Komite Pemantau BPPN minta agar proses lelang itu dihentikan. Beberapa broker secara bergantian berusaha menyeret turun harga saham bank papan tengah itu. Salah satu broker itu sebagian sahamnya dimiliki Kelompok Lippo. Menjelang pasar ditutup, beberapa pialang menjual saham Bank Lippo di bawah harga pasar. Gerakan pelorotan itu dilakukan selama 40 hari berturut-turut sejak 4 November 2002 hingga 10 Januari 2003. Jatuhnya nilai buku dan penggorengan sahamberhasil memojokkan harga saham Bank Lippo. Dari Rp 450 di awal November menjadi cuma Rp 210, atau turun sekitar 50 persen. Merosotnya harga saham Bank Lippo terasa ganjil karena harga saham perbankan relatif stabil, bahkan menanjak. Bank Lippo tak punya pilihan lain kecuali melakukan suntikan kapital. Ini perlu agar Bank Lippo tetap masuk standar bank sehat menurut ketentuan Bank Indonesia, yang mengharuskan rasio kecukupan modal 8 persen. Kalau tak bisa menambah pilihan lain Bank Lippo adalah likuidasi. Tapi jurus ini kurang masuk akal mengingat Bank Lippo tergolong sistemic bank. Artinya, kalau ditutup, puluhan perusahaan yang terkait dengannya akan ikut terseret ambruk.

Permasalahan Terbitnya laporan keuangan Bank Lippo per tanggal 30 September 2002 yang telah dipublikasikan dalam dua laporan yang berbeda. Salah satu perbedaan yang prinsip dari kedua laporan keuangan tersebut adalah terjadinya penurunan nilai Aset Yang Diambil Alih (AYDA). Pada laporan yang dipublikasikan 28 November 2002, nilai

AYDA sebesar Rp 2,393 trilyun. Sementara pada laporan yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 27 Desember 2002 nilai AYDA Bank Lippo terjadi penurunan menjadi Rp 1,420 trilyun. Perubahan ini memberikan konsekuensi terhadap tingkat kesehatan bank yang diukur dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR), yang sebelumnya 24,72 persen menurun menjadi 4,23 persen. Nilai AYDA yang tercantum di Laporan Keuangan itu merupakan fokus dalam masalah ini dan merupakan hasil suatu penilaian aset oleh lembaga penilai.yang diukur dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR), yang sebelumnya 24,72 persen menurun menjadi 4,23 persen. Nilai AYDA yang tercantum di Laporan Keuangan itu merupakan fokus dalam masalah ini dan merupakan hasil suatu penilaian aset oleh lembaga penilai. AYDA pada umumnya adalah aset jaminan menurut UU Perbankan No 10 Tahun 1998, aset tersebut dapat diperoleh dari membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya kepada bank. Aset yang diambil alih ini wajib dicairkan secepatnya atau dalam jangka waktu satu tahun.2 Direksi ketiga perusahaan yang terlibat dalam penilaian AYDA Lippo yakni PT Satyatama Graha Tara, PT Pronilai Konsulis Indonesia, dan PT Provalindo Nusa, menyatakan telah melaksanakan tugas mereka sesuai dengan Standar Penilaian Indonesia (SPI) dan Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI).

Pembahasan Pengukuran aktiva tetap dilakukan selain pada awal perolehan juga dilakukan setelah aset tersebut diperoleh, dengan menggunakan dua metode sesuai dengan PSAK 16 yaitu :

-Metode Biaya Historis Dengan metode ini setelah aset tetap diakui sebagai aset tetap, aset tetap tersebut dicatat pada harga perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai asset -Metode Revaluasian Aset tetap yang nilainya dapat diukur secara andal dapat diukur dengan mengurangi nilai wajar pada tanggal pada tanggal revaluasian dengan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Dalam hal tidak ada pasar yang memperjualbelikan aset tetap yang serupa, penentuan nilai pasar wajar dapat dilakukan dengan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan (depreciated replacement cost approach). Frekuensi pelaksanaan revaluasi sendiri tergantung pada perubahan nilai wajar suatu aset. Apabila revaluasi dilakukan untuk yang kedua kali dan seterusnya, terdapat perlakuan yang berbeda. Perbedaan tersebut adalah: Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikredit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui di dalam laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah dilakukan sebelumnya dalam laporan laba rugi. Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke dalam ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut. Penentuan nilai aset dengan menggunakan nilai wajar pada umumnya dilakukan melalui penilai yang memiliki kualifikasi profesional. untuk melakukan penilaian

terhadap tanah dan bangunan biasanya penilai menggunakan bukti pasar. Sedangkan untuk penilaian aset tetap lain seperti pabrik dan peralatan penilai akan menentukan sendiri nilai pasar wajarnya. Sehingga dalam kasus LIPPO Bank ini, terdapat keanehan adanya penurunan nilai aset akibat adanya Aset yang dinilai kembali oleh lembaga penilaian. Secara garis besar, penilaian mengarah kepada dua tujuan utama, meliputi; penilaian untuk laporan keuangan (financial reporting) dan penilaian untuk ditujukan kepada jaminan pelunasan utang (lending purposes). Kedua peruntukan penilaian ini telah mengacu kepada Standar Penilaian Indonesia (SPI), yang merupakan standar yang diadopsi dari IVS (International Valuation Standards). Perbedaan yang cukup prinsip dari kedua peruntukan tersebut adalah pemahaman kedudukan aset sebagai bagian dari aset perusahaan di satu sisi dan aset sebagai jaminan di sisi lain. Perbedaan pandangan dalam melihat posisi aset sebagai aset jaminan, aset sitaan yang dibukukan sebagai aset yang diambil alih, atau aset itu untuk dijual atau dilelang sangat mempengaruhi penilaian terhadap nilai agunan yang diambil alih (AYDA). Sebagai bentuk antisipasi terhadap fenomena tersebut, maka Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter tertinggi telah menetapkan beberapa ketentuan berkaitan dengan penentuan nilai AYDA dalam laporan keuangan beserta metode penilaian dan pihak yang berwenang menilai3. Adapun definisi penilaian adalah pernyataan tertulis dari Penilai Independen atau penilai intern bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berupa aktiva tetap berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).

Bank Indonesia menetapkan bahwa yang bisa menjadi penilai dari AYDA adalah penilai Independen dari perusahaan penilai dengan syarat-syarat sebagai berikut : 1. Tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan baik dengan Bank maupun nasabah yang menerima fasilitas; 2. Melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuanketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang; 3. Menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; 4. Memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai4 5. Tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang.

Bank wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan net realizable value dari AYDA yang dilakukan saat pengambilalihan agunan dan pada masamasa berikutnya setelah dilakukan pengambilalihan agunan. Penetapan net realizable value wajib dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) atau lebih. Sementara untuk AYDA dengan nilai dibawah Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) dapat menggunakan penilai intern bank. Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat perbedaan nilai dari penilai independen atau penilai intern bank. Agunan yang diambil alih sehubungan dengan penyelesaian pembiayaan (disajikan dalam akun aset lain-lain) diakui sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi net realizable value. Nilai bersih yang dapat direalisasi adalah nilai wajar aset setelah dikurangi estimasi biaya pelepasan. Selisih antara nilai bersih yang dapat direalisasikan

dengan saldo piutang atau pembiayaan yang tidak dapat ditagih diakui sebagai penambah atau pengurang penyisihan kerugian piutang atau pembiayaan.

1 (http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/17/EB/mbm.20030217.EB85108.id.html) 2 Hamid Yusuf(http://article-penilaian.blogspot.com/2009/02/penilaian-aset-yang-diambil-alih-ayda.html) 3 (www2.kompas.com/kompas-cetak/0303/14/finansial/180961.htm) 4(http:// 64-pencatatan-dan-perlakuan-akuntansi-terhadap-agunan-yang-diambil-alih-ayda-pada-bank-syariah.html)

You might also like